ABSTRAK

advertisement
ISSN 0215 - 8250
628
MODEL PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERWAWASAN
KONSTRUKTIVIS YANG BERORIENTASI PADA GAYA
KOGNITIF DAN BUDAYA
oleh
I Made Ardana
Jurusan Pendidikan Matematika
Fakultas MIPA, Universitas Pendidikan Ganesha
Jln. Udayana Singaraja
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan suatu model
pembelajaran Matematika berwawasan konstruktivis yang berorientasi pada
gaya kognitif dan budaya siswa (model PMKGB). Penelitian ini adalah
penelitian pengembangan yang dilandasi oleh pengembangan Plomp.
Pengembangan model dan perangkat dilakukan melalui dua kali uji coba,
yaitu pada siswa kelas V(a/b) SD Laboratorium Undiksha Singaraja Tahun
Ajaran 2003/2004. Selanjutnya, implementasi dilakukan dua kali, yaitu
pada siswa kelas V: (1) SD Laboratorium Undiksha Singaraja Tahun
Ajaran 2004/2005, (2) SD No. 1 Banjar Jawa Singaraja, SD Laboratorium
Undiksha Singaraja, dan SD No. 6 Banjar Jawa Singaraja Tahun Ajaran
2005/2006. Data dikumpulkan dengan menggunakan lembar validasi, tes,
wawancara, kuesioner, dan catatan harian. Data yang telah terkumpul
dianalisis secara deskriptif. Temuan penelitian menunjukkan bahwa (1)
Syntax model PMKGB terdiri dari 4 fase, yakni Fase 1: Pengantar; Fase
2: Pemanfaatan konsepsi jengah dan gaya kognitif dalam kelompok
kooperatif; Fase 3 : Evaluasi (individual); Fase 4: Penghargaan Team; (2)
Model PMKGB merupakan model yang valid, praktis, dan efektif; (3)
Perangkat model PMKGB sangat membantu mengembangkan konsepsi
jengah siswa; (4) Prestasi belajar siswa berada dalam kategori baik, dan
secara umum perolehan skor siswa field-independent lebih baik dibanding
dengan skor siswa field-dependent.
Kata kunci : konstruktivis, gaya kognitif, dan budaya siswa
_______________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 3 TH. XXXXI Juli 2008
ISSN 0215 - 8250
629
ABSTRACT
The aim of this research is to develop a mathematics instructional
model with constructivist insight and which is oriented to cognitive style
and students’ culture (CCCMI model). This research is a development
research based on the Plomp. Model and tool are developed through two
try-outs, i.e. in grade V (a/b) of Singaraja Undiksha Laboratory
Elementary School, 2003/2004. Its implementation is also carried out
through two experiments, i.e. in grade V of (1) Singaraja Undiksha
Laboratory elementary school, the year of 2004/2005, (2) Banjar jawa
elementary school No. 1, Singaraja Undiksha Laboratory elementary
school, and Banjar Jawa elementary school No. 6, the year 2005/2006. Data
were collected using validation sheet, test, interview, questionnaire, and
daily notes. Data collected were then analyzed descriptively. Research
findings show that: (1) syntax of CCCMI model consists of 4 phases, i.e.
Phase 1: Introduction, Phase 2: Utilization of the concept of jengah and
cognitive style within the cooperative group, Phase 3: Individual
evaluation, Phase 4: Team reward; (2) CCCMI model is a valid, practical,
and effective model; (3) The instrument of CCCMI model is very useful in
helping students to develop their concept of jengah; (4) Students’
achievement is in good category, and in general, scores of field-independent
students are better than those of field-dependent students.
Key words : constructivist, cognitive style, and students’ culture.
1. Pendahuluan
Berdasarkan pengalaman peneliti dalam berkolaborasi dengan guru
mitra membelajarkan siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP)
Negeri Singaraja dalam kegiatan Academic Staff Deployment (ASD) dan
hasil tes yang disebarkan pada siswa, menunjukkan bahwa hampir 90%
siswa mengalami kesulitan melakukan operasi hitung sederhana
(penjumlahan dan pengurangan) Bilangan Bulat. Jika hal ini dibiarkan
_______________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 3 TH. XXXXI Juli 2008
ISSN 0215 - 8250
630
berlarut-larut, maka akan semakin banyak siswa mengalami kesulitan
memahami konsep Matematika mengingat materi Matematika bersifat
hirarkis.
Bertitik tolak dari hal tersebut, maka timbul pertanyaan peneliti, apa
yang terjadi dalam pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar (SD)
khususnya pembelajaran Bilangan Bulat. Untuk menjawab hal tersebut,
dilakukan observasi terhadap pelaksanaan pembelajaran di SD
Laboratorium Undiksha.
Berdasarkan hasil observasi selanjutnya
dilakukan diskusi secara kolaborasi dengan guru sehingga teridentifikasi
permasalahan sebagai berikut. (1) Proses pembelajaran cenderung
prosedural, pelaksanaan pembelajaran yang prosedural dikhawatirkan
pengetahuan siswapun bersifat prosedural. Namun demikian, bukan berarti
pengetahuan prosedural tidak diperlukan, melainkan pemahaman
prosedural dan konseptual perlu saling melengkapi. Sehubungan dengan
itu, Van de Walle (1990) mengatakan “ketika aturan atau prosedur yang
baik didasari oleh pengetahuan konseptual yang kita miliki maka kita
mampu menjelaskan tidak hanya apa yang kita lakukan melainkan mengapa
kita melakukannya”. (2) Siswa mengikuti pelajaran secara pasif dan kurang
memperhatikan penjelasan guru. Hal ini disebabkan oleh pembelajaran
yang dilakukan oleh guru belum memberikan kesempatan kepada siswa
untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuannya. Di samping itu,
pembelajaran belum memanfaatkan budaya dan gaya kognitif yang dimiliki
siswa. Sehubungan dengan itu, Ardhana dan Sudharta (1990: 13)
mengatakan “dalam kebudayaan Bali berkembang sangat kuat konsepsi
tentang Nasib di mana konsepsi ini secara ekstrim dapat mengecilkan
ikhtiar, usaha dan kemampuan manusia dalam perjuangan hidupnya,
sehingga dapat mewujudkan sikap pasif dan mudah menyerah, suatu sikap
_______________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 3 TH. XXXXI Juli 2008
ISSN 0215 - 8250
631
yang tidak potensial bagi kehidupan”. Kemp, Morrison, dan Ross (1994;
46) menulis “Cultural and social differences should be recognized because
they can affect such things as the ability to take responsibility for
individualized work or to engage in creative activities”.
Selain faktor budaya, faktor gaya kognitif merupakan salah satu
faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pembelajaran. Sehubungan
dengan itu Sriyono (1992; 50) menulis bahwa guru harus mengetahui tabiat,
kecenderungan, kebiasaan, perasaan, dan cara kognitif anak-anak sehingga
ia tidak salah dalam mengajar mereka. Dengan demikian karakteristik siswa
perlu mendapat perhatian dalam merencanakan dan melaksanakan
pembelajaran. Hal ini sesuai dengan pendapat Joyce, Weil, Showers (1992)
yang mengatakan “Well-executed, they work well and they provide positive
learning environments for a large range of students. However, they work
best when they are adapted to the characteristics of the students”.
Dengan demikian dipandang perlu menjawab rumusan masalah,
bagaimanakah pengembangan model pembelajaran Matematika
berwawasan konstruktivis berorientasi pada gaya kognitif dan budaya
siswa yang valid, praktis, dan efektif?
Ada beberapa pengertian tentang cognitive styles/gaya kognitif yang
dikemukakan oleh beberapa ahli, namun pada prinsipnya pengertian
tersebut relatif sama. Broverman (1960; 167) mengemukakan bahwa
cognitive
styles,
menggambarkan
cara
seseorang
memahami
lingkungannya. Kagan (Balter 1973; 160) mengemukakan bahwa cognitive
styles sebagai variasi cara individu dalam menerima, mengingat, dan
memikirkan informasi, atau sebagai perbedaan cara memahami,
menyimpan, mentransformasi, dan memanfaatkan informasi. Thomas
(1990; 610) mengemukakan bahwa cognitive styles merujuk pada cara
_______________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 3 TH. XXXXI Juli 2008
ISSN 0215 - 8250
632
seseorang memproses informasi dan menggunakan strategi untuk
menanggapi suatu tugas. Woolfolk (1993; 128) mengemukakan bahwa
cognitive styles adalah bagaimana seseorang menerima dan
mengorganisasikan informasi dari dunia sekitarnya.
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat dikatakan bahwa yang
dimaksud dengan cognitive styles adalah cara seseorang dalam memproses,
menyimpan, maupun menggunakan informasi untuk menanggapi suatu
tugas atau menanggapi berbagai jenis situasi lingkungannya.
Implikasi gaya kognitif berdasarkan perbedaan psikologis pada
siswa dalam pembelajaran menurut Thomas (1990) adalah sebagai berikut.
Siswa yang memiliki gaya kognitif field-independent cenderung memilih
belajar individual, menanggapi dengan baik, dan bebas (tidak tergantung
pada orang lain). Mereka dapat mencapai tujuan dengan motivasi intrinsik,
dan cenderung bekerja untuk memenuhi tujuan sendiri.
Siswa yang memiliki gaya kognitif field-dependent cenderung
memilih belajar dalam kelompok dan sesering mungkin berinteraksi dengan
guru, memerlukan ganjaran/penguatan yang bersifat ekstrinsik. Untuk siswa
dengan gaya kognitif field-dependent ini guru perlu merancang apa yang
harus dilakukan dan bagaimana melakukannya. Mereka akan bekerja kalau
ada tuntunan guru dan motivasi yang tinggi berupa pujian dan dorongan.
Mengingat gaya kognitif siswa berbeda, maka guru perlu
menyesuaikan pembelajaran dengan gaya tersebut. Sehubungan dengan itu
Witkin (Thomas, 1990; 614) mengatakan: “ Psychological differentation
affects student’s preference for, and response to, different teaching
methods” Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan psikologis mempengaruhi
minat dan respon siswa, sehingga memerlukan metoda mengajar yang
berbeda. Hal serupa dikemukakan oleh Coop dan White (1974; 262) bahwa
_______________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 3 TH. XXXXI Juli 2008
ISSN 0215 - 8250
633
guru hendaknya memperhatikan gaya kognitif ketika mengevaluasi tingkah
laku dan prestasi akademik dan non akademik. Hal ini sangat sensitif
karena gaya kognitif siswa mempengaruhi strategi mengajar dari guru.
Lebih lanjut Frank (Thomas, 1990; 614) mengatakan bahwa perbedaan
secara psikologis mempengaruhi cara pembelajaran yang dilakukan guru.
Berdasarkan hal di atas, guru perlu menyesuaikan gaya mengajar
dengan gaya kognitif yang dimiliki siswa. Sehubungan dengan itu Thomas
(1990) mengemukakan bahwa:
Field-independent teachers can help meet the needs of field-dependent
students by structuring their learning experiences enough to enable them to
cope effectively, providing encouragement and praise, being objective and
supportive when criticizing mistakes, and, in general, developing a positive
personal relationship with them. Field-dependent instructors accustomed to
indirect communication that depends on perception of subtle social cues
will need to be more direct with field-independent students who may not
recognize critical feedback unless it is presented explicitly (nor are they
likely to resent or become upset by such criticism). Also, field-independent
students are not likely to respond strongly or even positively to warmth or
praise from the teacher (nor should the teacher feel rejected when this
occurs). Finally, it is important that field-dependent teachers respect fieldindependent students’ needs for privacy and distance and that they avoid
penalizing these students unreasonably for low social participation.
Penyesuaian diri yang dilakukan guru dalam pembelajaran dapat
memudahkan siswa memproses atau mengorganisasikan informasi atau
konsep yang dibelajarkan guru. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
sangatlah perlu memperhitungkan gaya kognitif siswa dalam pembelajaran
Matematika, atau dalam melaksanakan pembelajaran Matematika, guru
perlu mempertimbangkan gaya kognitif yang dimiliki siswa. Selain gaya
_______________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 3 TH. XXXXI Juli 2008
ISSN 0215 - 8250
634
kognitif, faktor budaya merupakan faktor yang tidak bisa dikesampingkan
dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran.
Mantra (Ardhana dan Sudharta, 1990) mengemukakan “ada
beberapa konsepsi utama budaya Bali seperti konsepsi skala-niskala; desakala-patra; konsepsi yang lalu, kini, akan datang; tri-hita-karana; taksu
dan jengah yang dapat dipakai dalam membina ketahanan budaya dan
landasan bagi pengembangan berbagai segi kehidupan masyarakat”.
Mengingat konsepsi utama tersebut dapat dipakai sebagai landasan bagi
pengembangan berbagai segi kehidupan masyarakat, termasuk pendidikan,
maka konsepsi utama tersebut perlu dipertimbangkan dalam merancang dan
melaksanakan pembelajaran. Widja (1990; 24) mengatakan” konsep-konsep
dasar budaya seperti rwabhineda, tri-hita-karana, dan desa-kala-patra, dan
taksu dan jengah dapat dikaitkan dengan proses pendidikan untuk
menunjang pembangunan”. Di samping memperhatikan faktor-faktor di
atas dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran, paradigma
baru, yaitu paham konstruktivisme perlu diterapkan dalam pelaksanaan
pembelajaran.
Nickson (Grouws, 1992; 106) mengungkapkan pembelajaran
menurut pandangan konstruktivis adalah membantu siswa membangun
konsep/prinsip dengan kemampuannya sendiri melalui proses internalisasi,
sehingga konsep/prinsip itu terbangun kembali; transformasi informasi
yang diperoleh menjadi konsep/prinsip baru. Menurut Von Glasersfeld
(Collette & Chiappetta, 1994), konstruktivis menekankan bahwa manusia
mengkonstruksikan objek-objek dan hubungannya yang mereka rasakan
untuk memperluas konsepsi mereka sesuai dengan lingkungan. Pendapat
Bodner (1996) tentang konstruktivis mengatakan bahwa pengetahuan itu
dibangun dalam pikiran pebelajar berdasarkan pengetahuan awalnya.
_______________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 3 TH. XXXXI Juli 2008
ISSN 0215 - 8250
635
Hudojo (1998; 7) mengatakan pembelajaran Matematika menurut
pandangan konstruktivis antara lain dicirikan (1) siswa terlibat aktif dalam
belajarnya. Siswa belajar materi Matematika secara bermakna dengan
bekerja dan berpikir. Siswa belajar bagaimana belajar itu; (2) informasi
baru harus dikaitkan dengan informasi lain sehingga menyatu dengan
skemata yang dimiliki siswa agar pemahaman terhadap informasi (materi)
kompleks terjadi; dan (3) orientasi pembelajaran adalah investigasi dan
penemuan yang pada dasarnya adalah pemecahan masalah.
Gaya kognitif dan konsepsi jengah siswa dalam sistem pendidikan
merupakan faktor lingkungan/budaya. Dalam model PMKGB ini gaya
kognitif dan konsepsi jengah merupakan perhatian utama dari
pembelajaran. Siswa dibelajarkan sesuai dengan gaya kognitif yang dimiliki
dan diberikan kesempatan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuannya.
Pembelajaran ini dapat menimbulkan keyakinan siswa terhadap
kemampuan akademisnya. Kombinasi keyakinan siswa terhadap
kemampuan akademis dengan konsepsi jengah (semangat/ motivasi) yang
dimiliki dapat menimbulkan motivasi berprestasi pada siswa. Motivasi
berprestasi ini sangat menentukan keberhasilan siswa dalam meraih prestasi
belajarnya.
2. Metode Penelitian
Jenis penelitian adalah penelitian pengembangan, karena penelitian
ini memfokuskan pada pengembangan model pembelajaran beserta
perangkatnya dan merujuk pada pengembangan Plomp.
Pengembangan Plomp (1999), terdiri dari 5 fase, yaitu (1)
investigasi awal; (2) design/perancangan; (3) realisasi/konstruksi; (4) tes,
_______________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 3 TH. XXXXI Juli 2008
ISSN 0215 - 8250
636
evaluasi & revisi; dan (5) implementasi. Aktivitas setiap tahap
pengembangan seperti terlihat pada Gambar 01.
I
M
Menganalisisi a.l:
1) Materi
2) Karakteristik siswa
Mengkaji a.l:
1) Pembelajaran yg sdg
berlangsung, 2) teori &
Model pembelajaran, 3)
Kompnen budaya
Fase Investigasi Awal
P
L
E
Desain Model
1) Sintaksis, 2) Sistem sosial,
3) Prinsip Reaksi, 4) Sistem
pendukung, 5) Dampak
Instruksional dan pengiring
Mendasari
1) Desain Perangkat
Pembelajaran, 2) Desain
Instrumen Penelitian
Fase Desain
M
Fase Realisasi/Konstruksi
Prototype I
E
N
Prototype Ii
Perlu
Revisi?
Validasi
i ≥ 1, i N
Analisis Hasil
T
Ya
Tidak
Valid
Tidak
Prototype 2
Revisi
S
I
Ya
Revisi Kecil
Revisi Besar
A
F
A
S
E
Prototype 2 + i
Tidak
Praktis &
Efektif
Ya
i ≥ 1, i N
Analisis Hasil
Uji coba
Uji Coba i
i ≥ 1, i N
Prototype Final
T
E
,S,
E
V
A
L,
R
E
V
Implementasi
Gambar01 : Tahap-tahap pengembangan model, perangkat,
dan instrumen penelitian
_______________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 3 TH. XXXXI Juli 2008
ISSN 0215 - 8250
Keterangan :
637
Kegiatan
Urutan
Hasil
Siklus bila perlu
Data penelitian terdiri dari: gaya kognitif, validitas, kepraktisan, dan
keefektivan rancangan model PMKGB dan perangkatnya, aktivitas siswa
dalam pembelajaran, prestasi belajar, dan tanggapan siswa terhadap
pelaksanaan model PMKGB.
Sumber data penelitian ini adalah siswa kelas V SD Lab. Undiksha
Singaraja, SD No. 1 dan 6 Banjar Jawa, model PMKGB dan
keterlaksanaannya, serta validator.
Dalam penelitian ini digunakan teknik pengumpulan data seperti:
tes, lembar validasi, lembar observasi, wawancara, kuesioner, dan catatan
harian.
Data yang diperoleh dari test GEFT, dianalisis untuk
menggolongkan siswa ke dalam gaya kognitif field-independent atau fielddependent. Jika siswa memperoleh skor ≤ 50% dari skor maksimal ideal,
maka siswa digolongkan memiliki gaya kognitif field-dependent dan jika
siswa memperoleh skor > 50%, maka siswa digolongkan memiliki gaya
kognitif field-independent.
Produk model PMKGB dikatakan memiliki kualitas baik, jika
memenuhi aspek validitas, kepraktisan, dan efektivitas.
Validitas
Hasil validasi yang dilakukan oleh validator tentang validitas
model, dianalisis secara deskriptif selanjutnya dibandingkan dengan kriteria
kevalidan suatu model.
Model PMKGB dikatakan valid, jika memenuhi kriteria berikut ini.
(1) Lebih dari setengah (50%) validator menyatakan pembelajaran didasari
oleh teorEtik yang kuat. (2) Lebih dari setengah (50%) validator
_______________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 3 TH. XXXXI Juli 2008
ISSN 0215 - 8250
638
menyatakan komponen model pembelajaran secara konsisten saling
berkaitan. (3) Hasil uji coba menunjukkan komponen model pembelajaran
saling berkaitan (Diadaptasi dari Ratumanan, 2003: 119)
Hasil validasi yang dilakukan oleh validator tentang kepraktisan
model dianalisis secara deskriptif yaitu dengan menghitung banyaknya
validator yang menyatakan bahwa model PMKGB dapat diterapkan di
kelas. Selanjutnya hasil analisis dibandingkan dengan kriteria (1) dan (2)
kepraktisan model. Berdasarkan hasil observasi dapat dilihat tingkat
keterlaksanaan model. Untuk dapat membandingkan dengan kriteria (3),
sebelumnya dilakukan pertimbangan sebagai berikut. (1) minimal muncul
3 deskriptor untuk setiap indikator; (2) menghitung prosentase
keterlaksanaan model dengan cara membagi skor yang diperoleh dengan
skor total dikalikan 100%, (3) selanjutnya hasil no (2) dibandingkan dengan
kriteria 3).
Model PMKGB dikatakan praktis, jika memenuhi kriteria berikut
ini. (1) Lebih dari setengah (50%) validator memberikan pertimbangan
bahwa model pembelajaran didapat diterapkan di kelas. (2) Guru
menyatakan dapat menerapkan model pembelajaran di kelas. (3) Tingkat
keterlaksanaan model pembelajaran harus tinggi. Kriterianya sebagai
berikut.
KM  90%
: Sangat tinggi
80%  KM < 90% : Tinggi
70%  KM < 80% : Sedang
60%  KM < 70% : Rendah
KM < 60%
: Sangat rendah
Keterangan
: KM Keterlaksanaan model
(Diadaptasi dari Ratumanan, 2003: 119)
_______________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 3 TH. XXXXI Juli 2008
ISSN 0215 - 8250
639
Keefektivan
Keefektivan model PMKGB dilihat dari aktivitas siswa mengikuti
pembelajaran, prestasi belajar siswa, dan tanggapan siswa terhadap model.
Data tentang aktivitas siswa yang dikumpulkan melalui observasi dianalisis
secara deskriptif. Hasil analisis selanjutnya dibandingkan dengan kriteria
aktivitas siswa yang dimodifikasi dari sikap kerja sama dan demokratis
yang dikemukakan Depdikbud, 1994/1995; Depdiknas, 2002), sebagai
berikut. Aktivitas siswa tergolong (1) sangat tinggi, bila skor  85 %; (2)
tinggi, bila 70 %  skor  85%; (3) cukup, bila 55 %  skor  70 %; (4)
Rendah, bila 40 %  skor  55 %; (5) Sangat rendah, bila  40 %
(Adaptasi dari Depdikbud, 1994/1995; Depdiknas, 2002)
Setelah itu dibandingkan dengan kriteria keefektivan model
(kriteria 1).
Prestasi belajar siswa dianalisis secara deskriptif untuk melihat
rerata, daya serap, dan ketuntasan belajar siswa. Selanjutnya hasil ini
dibandingkan dengan kriteria keefektivan model (kriteria 2). Kategori hasil
belajar siswa adalah sebagai berikut.
Tabel 01 : Katagori Hasil Belajar Siswa
Skor (skala 100)
Keterangan
 71
Baik
56  Skor  70
Cukup
 55
Kurang
(Modifikasi dari Depdiknas, 2004: 1)
Sedangkan data tentang tanggapan siswa yang dikumpulkan melalui
kuesioner, dianalisis secara deskriptif dengan menghitung prosentase
_______________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 3 TH. XXXXI Juli 2008
ISSN 0215 - 8250
640
banyaknya siswa yang memberikan tanggapan positif dan kemudian
dibandingkan dengan kriteria 3.
Model PMKGB dikatakan efektif, jika memenuhi kriteria berikut
ini. (1) Aktivitas siswa dalam mengikuti pembelajaran tergolong tinggi. (2)
Prestasi belajar siswa tergolong baik yakni minimal memiliki daya serap
65% dan ketuntasan belajar 85%. (3) Minimal 85% siswa memiliki
tanggapan positif. Tanggapan positif dicirikan oleh jawaban siswa
mayoritas 4, dan 5 sedangkan tanggapan negatif dicirikan oleh jawaban
siswa 1, 2 , dan 3 dalam skala lima.
Untuk mengetahui validitas perangkat (RP, buku siswa, dan LKS),
dilakukan analisis terhadap data validasi yang dilakukan validator. Untuk
melihat kevalidan RP, buku siswa, dan LKS dilakukan analisis secara
deskriptif yaitu dengan menghitung rerata skor penilaian yang dilakukan
validator. RP, buku siswa, dan LKS dikatakan valid jika rerata penilaian
berada minimal pada kategori baik.
Kepraktisan perangkat dilihat berdasarkan analisis data hasil
observasi. Untuk kepraktisan RP, buku siswa, dan LKS dilakukan analisis
secara deskriptif dan rerata penilaian berada minimal pada kategori baik.
Untuk RP dilakukan dengan menghitung rerata skor penilaian yang
dilakukan observer dan guru. Keparkatisan Buku siswa dilakukan dengan
menghitung rerata skor penilaian yang dilakukan observer, guru, dan siswa.
Sedangkan kepraktisan LKS dilakukan dengan menghitung rerata skor
penilaian yang dilakukan observer dan siswa.
Data yang diperoleh dari hasil wawancara (interview) dan catatan
harian dianalisis dengan analisis logik, yaitu analisis yang didasarkan atas
penalaran logika. Analisis ini mengacu pada pendapat Miles dan Huberman
_______________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 3 TH. XXXXI Juli 2008
ISSN 0215 - 8250
641
(Rohidi; 1992; 16) tentang analisis logik yang terdiri dari: reduksi data,
penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
3. Hasil Penelitian dan Pembahasan
3.1 Hasil Penelitian
3.1.1 Kevalidan Model
Keterkaitan antar komponen model PMKGB (syntax, sistem sosial,
prinsip reaksi, sistem pendukung, dan dampak pengiring) masing-masing
berada dalam kategori kuat. Dengan memperhatikan kriteria validitas suatu
model dan membandingkan dengan hasil validasi oleh validator terhadap
teori yang melandasi model dan keterkaitan komponen model, serta hasil
uji coba untuk melihat keterkaitan antara komponen model, maka model
PMKGB dapat dikatakan telah memenuhi kriteria validitas suatu model.
Dengan kata lain, model PMKGB dapat dinyatakan valid.
3.1.2 Kepraktisan Model
Berdasarkan hasil observasi terhadap pemunculan deskriptor dari
setiap indikator keterlaksanaan model PMKGB, maka tingkat
keterlaksanaan model dapat dilaporkan seperti terlihat pada diagram 01
berikut.
Rerata KM = 93,8%
_______________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 3 TH. XXXXI Juli 2008
ISSN 0215 - 8250
642
Diagram 01 menunjukkan keterlaksanaan model berada pada
tingkat sangat tinggi dengan rerata 93,8%. Ini berarti bahwa model
PMKGB adalah praktis. Dengan kata lain, model PMKGB dapat
diterapkan dengan baik di kelas.
3.1.3 Keefektivan Model
Keefektifan model dilihat dari aktivitas siswa, prestasi belajar siswa,
dan tanggapan siswa terhadap pelaksanaan model PMKGB. Hasil aktivitas
siswa mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model PMKGB
seperti terlihat diagram 02.
Frekuensi
Diagram 2 Aktivitas Sisw a Mengikuti PMKGB
50
40
39
41
40
39
37
40
42
38
37
42
40
38
30
Ya
20
10
Tdk
3
2
2
5
1
5
3
4
0
4
2
0
10
11
12
0
Rerata =193,8%2
3
4
5
6
7
8
9
Pertanyaan Aktivitas ke
Diagram 02 menunjukkan 93,8% siswa telah beraktivitas sesuai
dengan yang diharapkan model PMKGB. Dengan demikian aktivitas siswa
dalam mengikuti pembelajaran dengan menerapkan model PMKGB
tergolong sangat tinggi. Prestasi belajar siswa dapat dilaporkan seperti
terlihat pada Diagram 3 yang menunjukkan Rerata (RT) = 8,83; Daya
Serap (DS) = 88,3 %; Ketuntasan Belajar (KB) = 97,62%, dan Daya Capai
_______________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 3 TH. XXXXI Juli 2008
ISSN 0215 - 8250
643
Kurikulum (DCK) = 100%. Ini berarti bahwa daya serap dan ketuntasan
belajar yang dicapai lebih besar dari kriteria yang ditetapkan. Dengan kata
lain, prestasi belajar siswa tergolong baik.
Berdasarkan hasil angket yang disebarkan pada siswa, maka
tanggapan siswa dapat dilaporkan seperti terlihat pada Diagram 4 berikut.
Diagram 4 menunjukkan tanggapan positif siswa selalu lebih banyak dari
tanggapan negatifnya. Oleh karena itu, keseluruhan siswa memberi
tanggapan positif terhadap pelaksanaan PMKGB.
Diagram 3 Perolehan Skor Hasil Belajar Siswa
12
10
10
9
10
10
10
10 10 10
10 10
10 10
10
10
9
8
8
Skor
10
9
8
8
8
10
10 10
9
8
9
8
7
8
9
10
9
8
9
8
8
8
7
6
6
5
6
4
2
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11 12 13
14 15 16
17 18 19
20 21 22
23 24 25
26 27 28
29 30 31
32 33 34
35 36 37
38 39 40
41 42
Kode Subjek
_______________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 3 TH. XXXXI Juli 2008
ISSN 0215 - 8250
644
3.2. Pembahasan
Pemanfaatan konsepsi jengah dalam model PMKGB berdampak
pada meningkatnya konsep diri akademis siswa yakni keyakinan siswa
terhadap kemampuan akademisnya. Siswa yang memiliki keyakinan
terhadap kemampuan akademis yang baik membawa dampak positif
terhadap prestasi belajar siswa. Sehubungan dengan itu, hasil penelitian
Marsh, Smith, dan Barnes (1985: 15) mengatakan bahwa “ada korelasi
positif antara konsep diri akademis dengan prestasi belajar”. Lebih lanjut
dikatakan bahwa korelasi tertinggi terjadi antara konsep diri akademis
Matematika dengan prestasi belajar Matematika. Mengingat konsepsi
jengah merupakan kekuatan pendorong yang ada dalam diri seseorang
untuk melakukan aktivitas tertentu dalam mencapai suatu tujuan, maka
pemanfaatan konsepsi jengah dalam model PMKGB berdampak pula
terhadap meningkatnya motivasi belajar Matematika siswa. Meningkatnya
motivasi belajar Matematika siswa dapat mendorong siswa untuk belajar
Matematika sehingga dapat mengantarkan mereka untuk mencapai prestasi
belajar diinginkan.
Penerapan model PMKGB memerlukan kesiapan yang baik dari
seorang guru terutama dalam mengembangkan konsepsi jengah siswa.
Pengembangan konsepsi jengah siswa dilakukan melalui pengungkapan
kalimat sugesti oleh guru seperti: “bapak/ibu yakin kamu tidak akan pernah
menyerah …”, “teman lain bisa… kamu pasti bisa…” , “kamu tidak kalah
dengan yang lain…”. “kamu pasti bisa…”, dsb. Dalam pengungkapan
kalimat sugesti inilah diperlukan keseriusan, ketepatan, dan ketegasan
dalam pengucapannya.
Keterlaksanaan model PMKGB berada pada tingkat yang sangat
tinggi. Walaupun demikian, guru kadang-kadang cenderung melibatkan diri
_______________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 3 TH. XXXXI Juli 2008
ISSN 0215 - 8250
645
terlalu dini dalam diskusi atau dalam pengambilan kesimpulan yang
dilakukan oleh kelompok. Hal ini disebabkan oleh adanya keraguan guru
terhadap keberhasilan model baru yang diterapkan dan lebih meyakini
pembelajaran pola lama yang dimilikinya. Akibatnya ketika guru
mengalami kesulitan dalam menerapkan pembelajaran yang baru, maka
mereka memilih untuk kembali menerapkan pembelajaran pola lama.
Sehubungan dengan itu Asthon (Smith; 1996, 387) mendefinisikan bahwa “
efikasi (efficacy) sebagai keyakinan guru atas kemampuannya akan
mempunyai pengaruh positif dalam membelajarkan siswa”. Kurang
konsistennya guru menempatkan diri sebagai fasilitator dalam
pembelajaran, karena guru mempertahankan pola mengajar di masa lalu.
Hal ini sesuai dengan analisis Smith (1996). Sikap semacam ini perlu
dikurangi dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan memberikan
penekanan kembali konsep belajar yang berorientasi pada gaya kognitif dan
berwawasan konstruktivis sehingga timbul kesadaran untuk mau menerima
dan mencobakan yang baru disertai tanggungjawab profesional.
Penerapan model PMKGB dapat berlangsung dengan baik, ketika
guru mampu menyesuaikan diri dengan gaya kognitif yang dimiliki siswa
baik dengan siswa field-independent maupun siswa field-dependent. Dalam
hal ini guru yang field-independent dapat membantu kebutuhan siswa fielddependent melalui menggali pengalaman belajar siswa, memberikan
penguatan, dan mengembangkan hubungan personal yang positif.
Sedangkan guru yang field-dependent perlu membiasakan diri untuk tidak
terlibat secara langsung, harus tanggap terhadap keperluan siswa, dan perlu
menjaga jarak demi kenyamanan mereka.
Aktivitas siswa dalam mengikuti pembelajaran tergolong sangat
tinggi, prestasi belajar siswa tergolong baik, dan tanggapan siswa positif
_______________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 3 TH. XXXXI Juli 2008
ISSN 0215 - 8250
646
terhadap pelaksanaan model PMKGB. Melalui model pembelajaran ini
siswa belajar dengan menerapkan secara maksimal kriteria diskusi
kelompok kecil yang terdiri dari: belajar antarsiswa, diskusi kelompok
(kooperatif), kepemimpinan, tutor sebaya, dan kerjasama. Penerapan
kriteria diskusi kelompok kecil dalam model PMKGB dapat berdampak
positif terhadap pembelajaran antara lain: pemahaman siswa anggota
kelompok donor terhadap konsep akan menjadi semakin mantap karena
sebelum memberikan penjelasan mereka berusaha memahami, kelompok
yang diberi penjelasan akan lebih berani mengemukakan pendapat atau
pertanyaan dan tanpa beban. Belajar dengan menggunakan tutor sebaya
memungkinkan siswa belajar secara familiar, bebas tanpa merasa ada
tuntutan, dan terjadi proses bimbingan di antara mereka baik bimbingan
dari siswa field-independent maupun dari siswa field-dependent.
Pembelajaran ini memudahkan mereka memahami konsep-konsep yang
dibelajarkan sehingga mengakibatkan terjadi peningkatan kategori
kemampuan baik pada siswa field-independent maupun pada siswa fielddependent setelah pelaksanaan model PMKGB. Hal ini sesuai dengan
pernyataan yang dikemukakan oleh Nativ (Nur ;1998, 31) yang berbunyi
”sejumlah besar penelitian telah menunjukkan bahwa dalam kelompok
kooperatif, siswa yang memberikan penjelasan ekstensif kepada siswa lain
belajar lebih baik daripada siswa yang memberikan atau menerima jawaban
pendek atau tidak menjawab”. Di samping itu pembelajaran yang dilakukan
telah memperhatikan prakonsepsi siswa sehingga siswa siap menerima
pelajaran terkait dengan konsep yang sedang dibelajarkan. Dengan kesiapan
belajar siswa menghasilkan prestasi belajar yang optimal. Sehubungan
dengan itu Tabrani Rusyan (1989) menyatakan hasil yang baik akan dicapai
dalam belajar bila ada kesiapan belajar. Di samping itu sebagai salah satu
_______________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 3 TH. XXXXI Juli 2008
ISSN 0215 - 8250
647
upaya pendekatan dalam pembelajaran yang memberikan siswa kesempatan
untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan memberikan solusi dalam
meningkatkan kualitas hasil belajar. Sehubungan dengan itu Kneller (1971)
mengemukakan “jika pendekatan dilakukan secara tepat maka segala
permasalahan dapat dipecahkan”.
4. Penutup
Berdasarkan hasil penelitian, dan pembahasan, maka dapat
disimpulkan bahwa syntax model PMKGB terdiri dari 4 fase, yaitu (1)
pengantar; (2) pemanfaatan konsepsi jengah dan gaya kognitif dalam
kelompok kooperatif; (3) evaluasi (individual); dan (4) penghargaan team.
Di samping itu model PMKGB merupakan model pembelajaran
Matematika yang valid, praktis, dan efektif.
Berdasarkan simpulan di atas, maka peneliti merekomendasikan
beberapa hal, antara lain (1) untuk mengembangkan konsepsi jengah siswa
guru perlu menerapkan/ mengucapkan kalimat sugesti dengan serius, tepat,
dan tegas, (2) agar penerapan model PMKGB dapat berlangsung dengan
baik, guru sangat perlu menyesuaikan diri dengan gaya kognitif yang
dimiliki siswa baik dengan siswa field-independent maupun siswa fielddependent; dan (3) jika model PMKGB diterapkan untuk materi lain
diperlukan pengembangan perangkat yang memiliki ciri memuat kalimat
sugesti.
_______________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 3 TH. XXXXI Juli 2008
ISSN 0215 - 8250
648
DAFTAR PUSTAKA
Ardhana, I.G.G, Sudharta. R.T. 1990. Keserasian Transformasi Nilai dan
Pembangunan Berwawasan Budaya dalam Masyarakat Bali.
Makalah Disajikan dalam Seminar Nasional Keserasian
Transformasi Nilai dan Pembangunan Berwawasan Budaya.
Denpasar: Fakultas Sastra.
Balter, P.B & Schaie, K.W. 1973. Developmental Psychology. NewYork:
Academic Press.
Bodner, G.M. 1986. Constructivism; A Theory of Knowledge. Journal of
Chemical Education. 63 (10).
Broverman, D.M. 1960. Dimensions of Cognitive Style. Journal of
Personality. Vol. 28.165 – 185.
Collette, A.T & Chiappetta, E.L. 1994. Science Instruction In The Meadle
and Secondary. Third Edition. New York: Macmillan Publishing
Company.
Coop, R.H & White K. 1974. Psychological Concepts in the Classroom. ,
New York: Harper & Row Publisher.
Depdikbud .1994/1995. Petunjuk Pelaksanaan Penilaian di Sekolah Dasar.
Jakarta: Depdikbud.
Depdiknas.2002. Petunjuk Pelaksanaan Penilaian di SD, SDLB, SLB
Tingkat Dasar, dan MI. Jakarta: Depdiknas.
_____.2004. Laporan Penilaian Hasil Belajar, Peraturan Dirjen
Dikdasmen No. 506/C/Kep/PP/2004, tanggal 11 Nopember 2004.
Jakarta: Depdiknas.
Hudojo, H. 1998. Pembelajaran Matematika Menurut Pandangan
Konstruktivistik. Makalah disajikan Dalam Seminar Nasional
Upaya-upaya Meningkatkan Peran Pendidikan Matematika dalam
Menghadapi Era Globalisasi. IKIP Malang, 4 April 1998.
_______________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 3 TH. XXXXI Juli 2008
ISSN 0215 - 8250
649
Joyce, B, Weil & M, Shower, B. 1992. Models of Teaching. Fourth
Edition. Needham Heights: Allyn and Bacon.
Kemp, J.E, Morrison, G.R & Ross, S.M. 1994. Designing Effective
Instruction. New York: Macmillan College Publishing Company.
Kneller. G.F. 1971. Foundation of Education. New York: Willey and Sons.
Marsh H.W, Smith T.D & Barnes, J. 1985. Multidimensional Self-concept.
Relation With Sex and Academic Acievement, Journal of
Educational Psychology, Vol.77.No.5.
Nur, M, dkk. 1999. Teori Belajar. Surabaya: University Press.
Plomp, T. 1997. Educational and Training System Design. Enschede:
University of Twente.
Ratumanan, T.G. 2003. Pengembangan Model Pembelajaran Interaktif
Dengan Setting Kooperatif (Model PISK) dan Pengaruhnya
Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa SLTP di Kota Ambon.
Desertasi. Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Surabaya.
Smith, John. P. 1996. Efficacy and Teaching Mathematics. Journal for
Research in Mathematics Education. Vol. 27. No. 4; 387-402.
Sriyono, dkk. 1992. Teknik Belajar Mengajar dalam CBSA. Jakarta: Rineka
Cipta.
Van de Walle. John A, 1990. Elementary School Mathematics (Teaching
Developmentally). London: Logman.
Woolfolk, Anrita. E. 1993. Educational Psychology, 5 Edition. Singapore:
Allyn and Bacon.
Widja, I G. 1990. Keserasian Transformasi Nilai dan Pembangunan
Berwawasan Budaya dalam Masyarakat Bali, Perspektif
Pendidikan. Makalah Disajikan dalam Seminar Nasional Keserasian
Transformasi Nilai dan Pembangunan Berwawasan Budaya.
Denpasar: Fakultas Sastra.
_______________Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, No. 3 TH. XXXXI Juli 2008
Download