ISSN 0215 - 8250 395 MEWUJUDKAN SOSOK GURU PROFESIONAL TANTANGAN DAN PROSPEKNYA (Suatu Tinjauan Sosiologi Pendidikan) oleh I Gde Widja Mantan Dosen Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas IPS, Universitas Pendidikan Ganesha ABSTRAK Tulian ini mencoba membahas upaya peningkatan profesionalisme guru sebagai penjabaran UU Guru dan Dosen (UU No. 15 tahun 2005) terutama melalui program sertifikasi profesi. Permasalahannya adalah, apakah upaya ini benar – benar akan berhasil mewujudkan guru profesional seperti yang diharapkan. Melalui pendekatan sosiologi pendidikan, pembahasan dalam tulisan ini menyimpulkan bahwa meskipun hal ini akan sangat tergantung pada motivasi guru sendiri untuk merasa terpanggil meningkatkan kualitas dirinya, namun di lain pihak akan sangat tergantung pada upaya penciptaan prakondisi (iklim / budaya kondusif) oleh pihak – pihak terkait dengan posisi guru, yang dimantapkan melalui proses transformasi sosial secara lebih menyeluruh dari masyarakat. Kata kunci : peningkatan kualitas guru, motivasi diri guru, transformasi sosial kultural. ABSTRACT This article tries to discuss the efforts to upgrade teachers’ professionalism following the declaration of “Teacher and Lecture Act” (UU No. 15 / 2005), particularly through professional certification program. The problem then, is wether this program will really generate professional teachers as expected. Using educational sociological approach, the _______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, Edisi Khusus TH. XXXX Mei 2007 ISSN 0215 - 8250 396 discussion concludes that although it depends absolutely on teachers’ self motivation to uplift their own competence, it will also very much rely on the efforts to create appropriate precondition (good climate / culture) for teacher empowered by comprehensive socio – cultural transformation of the society. Key words : teacher quality improvement, self motivation of teacher, sociocultural transformation 1. Pendahuluan Membahas masalah peningkatan tanggung jawab profesional guru pada saat ini tentunya sangat relevan dalam hubungan dengan isu peningkatan kualitas pendidikan nasional pada umumnya, khususnya peningkatan kualitas SDM pendidikan (guru). Hal ini memang terkait dengan diundangkannya UU Guru dan Dosen (UU No. 15 tahun 2005) yang diangggap penjabaran logis dari UU No. 20 tahun 2003( UU tentang Sistem Pendidikan Nasional). Munculnya gagasan peningkatan kualitas guru bermula pada peringatan Hari Guru Nasional tanggal 2 Desember 2004. Pada saat itu Mendiknas dalam rangka penyampaian program 100 hari kerja kabinet, menegaskan satu tema, yaitu “guru sebagai profesi”. Tentu saja pernyataan itu sendiri bukan sesuatu yang baru karena sejak awal munculnya pekerjaan ini hakikatnya sudah diakui sebagai profesi, bahkan profesi terhormat. Yang lebih menarik sebenarnya bahwa tema itu menunjukkan tekad Mendiknas untuk meningkatkan harkat dan martabat guru yang sedang terpuruk. Keterpurukan tersebut bisa dilihat antara lain pada realitas : menjadi guru tampaknya bukan pilihan pekerjaan yang ideal (kalau ada peluang lain ini akan ditinggalkan), juga dari realitas input siswa ke _______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, Edisi Khusus TH. XXXX Mei 2007 ISSN 0215 - 8250 397 lembaga pendidikan guru bukan lulusan terbaik dari sekolah, yang terlihat dari kelemahan penguasaan materi dari guru-guru yang dihasilkannya; dan yang juga merupakan kenyataan bahwa guru-guru banyak yang melakukan pekerjaan tambahan (yang sering bukan pekerjaan wajar) yang diakibatkan gaji/kesejahteraan guru yang sangat rendah. Maka dari itu, niat/tekad Mendiknas meluncurkan satu paket pembaharuaan di bidang mutu guru ini tentunya patut diapresiasi, apalagi kemudian didukung dengan upaya- upaya nyata ke arah realisasi tujuan tersebut (dengan undang-undang serta program-program pendukungnya). Namun, pertanyaan mendasar yang perlu diajukan adalah, apakah niat baik tersebut benar-benar bisa diwujudkan mengingat kondisi objektif yang ada justru belum sinkron dengan upaya-upaya yang sedang dijalankan. Di berbagai media massa telah muncul berbagai komentar kritis tentang kondisi nyata yang sedang dihadapi dunia pendidikan di Indoensia. Realitas-realitas itu antara lain menyangkut kebijakan pendidikan pemerintah pusat yang terkesan kontroversial bahkan bersifat anomali, kesan kuat penerapan kebijakan coba-coba (tidak atas dasar uji kelayakan) seperti dalam pemberlakukan kurikulum baru, pemberlakukan Ujian Nasional, dan lain-lain. Khusus menyangkut pelaksanaan UU Guru, juga dihadapkan pada banyak kondisi yang tidak menguntungkan baik dari segi teknis operasional maupun dari dasar – dasar filosofis idiologisnya. Yang jelas ini menyangkut jumlah guru yang cukup besar yang akan harus menjalani bukan saja program sertifikasi tapi juga peningkatan kualifikasi minimal yang akan terkait dengan dana yang besar yang perlu disediakan dari APBN. Di lain pihak yang juga cukup mengkhawatirkan adalah kegamangan mental psikologis guru menghadapi setiap langkah pemerintah menyangkut masa depan dirinya. Atas dasar gambaran kondisi di atas, tidak mengherankan _______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, Edisi Khusus TH. XXXX Mei 2007 ISSN 0215 - 8250 398 banyak pihak yang merasa pesimis menjawab pertanyaan mendasar yang diajukan di atas tadi. Namun, terlepas dari sikap tersebut kiranya tetap perlu dibahas lebih lanjut apa sebenarnya hakikat peningkatan profesionalisme guru itu dan aspek – aspek yang terkait di dalamnya. Lebih dari itu juga sangat penting dibahas strategi dasar kebijakan pendidikan yang ditempuh untuk mewujudkan peningkatan kualitas guru sebagai prasyarat peningkatan kualitas pendidikan secara keseluruhan. Ini semua akan dicoba dipaparkan dalam pembahasan berikut. 2. Pembahasan 2. 1 Gambaran Sososk Guru Profesional dan Permasalahannya Membahas persoalan sosok guru profesional ini tentu saja harus didahului dengan rumusan kita tentang konsep profesionalisme itu sendiri. Untuk pembahasan akan diarahkan pertama – tama pada kriteria normatif yang umumnya dituntut dari seorang guru sebagai suatu profesi. Mengutip anggapan Westly Gibson (dikutip dari Rindjin, 1991 : 8) ciri – ciri keprofesionalan itu, antara lain (1) masyarakat mengakui layanan yang diberikan atas dasar dimilikinya seperangkat ilmu dan keterampilan yang mendukung profesi itu; (2) diperlukan adanya proses pendidikan tertentu sebelum seseorang dapat / mampu melaksanakan tugas profesi tersebut; (3) dimilikinya mekanisme seleksi standar, sehingga hanya mereka yang kompeten boleh melakukan pekerjaan / profesi itu; dan (4) dimilikinya organisasi profesi untuk melindungi kepentingan anggotanya serta meningkatkan layanan kepada masyarakat, termasuk adanya kode etik profesi sebagai landasan perilaku keprofesionalannya. Dengan singkat bisa disimpulkan satu bidang pekerjaan tertentu bisa dikatakan memiliki ciri keprofesionalan, apabila dilaksanakan tidak secara _______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, Edisi Khusus TH. XXXX Mei 2007 ISSN 0215 - 8250 399 amatiran; atau seperti ditegaskan Raka Joni (1983 : 21), “pelakunya memiliki keterampilan teknis tentang bagaimana mengerjakan sesuatu, ia juga memiliki wawasan memadai mengapa ia mengerjakan tugas-tugasnya demikian”. Bila kriteria di atas dijabarkan pada sosok guru, maka butir-butir keprofesionalannya itu mestinya ditunjukkan pertama dari kualifikasi ijazah serta akta mengajar (dalam UU Guru disebut “sertifikasi profesi”) yang telah dicapainya sebagai dasar masyarakat mengakui layanannya. Ijazah serta sertifikat itu juga menunjukkan telah diakuinya proses pendidikan akademik dan keterampilan profesi tertentu. Dengan dasar ini pula bisa ditentukan mekanisme menyeleksi seseorang yang dianggap kompeten untuk tugas profesi bersangkutan. Sementara itu, mengenai organisasi profesi serta kode etik profesi, di Indonesia sudah lama dikenal organisasi para guru, yaitu Persatuan Guru Republik Indonesia atau PGRI (sejak reformasi muncul organisasi profesi guru baru yang dikenal dengan nama Federasi Guru Independen Indonesia / FGII) dan telah memiliki kode etik guru (belakangan juga muncul upaya untuk menyusun kode etik baru, tapi dianggap lebih banyak mengambil rumusan kode etik yang sudah ada, lihat kritik Darmaningtyas dalam Kompas 23-11-2004). Atas dasar butir-butir pemikiran di atas tidak perlu diragukan lagi bahwa pekerjaan sebagai guru adalah satu jenis profesi. Dengan dasar itu pula mestinya bisa ditumbuhkan hal-hal mendasar untuk mendukung keberadaan profesi guru atau menjaga citra guru. Mestinya sudah bisa pula dibangun satu situasi yang tidak begitu saja seseorang merasa mampu menjadi guru, atau dengan kata lain tidak ada kesan semua orang bisa jadi guru. Yang paling penting sebagai muaranya adalah berkembangnya rasa “kebanggaan profesi” sebagai seorang guru. _______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, Edisi Khusus TH. XXXX Mei 2007 ISSN 0215 - 8250 400 Dengan berlakunya UU Guru serta berbagai program yang menyertainya mestinya gambaran sosok guru profesional seperti dituliskan di atas ini akan segera terwujud. Tegasnya, keterpurukan citra guru seperti disinggung di bagian Pendahuluan tulisan ini segera bisa diakhiri. Hanya saja dalam kenyataannya reaksi yang muncul di masyarakat (seperti tercermin dalam berbagai ulasan di media massa) masih menunjukkan respon yang pesimistis. Tentu saja timbul pertanyaan, mengapa masih tetap ada keraguraguan seperti itu? Untuk lebih memahami permasalahan ini, maka dicoba didekati melalui konteks latar sosio budayanya. 2.2 Perubahan Citra Guru dalam Perspektif Pembaharuan Pendidikan di Indonesia Mencoba menjawab pertanyaan di atas ini, kiranya perlu disadari pertama-tama bahwa untuk mewujudkan sosok guru ideal seperti diharapkan oleh UU Guru dan kebijakan-kebijakan ikutannya bukanlah proses sekali jadi (instan). Seperti istilah yang dikemukakan oleh Drost, ini merupakan “on going formation”. Lebih-lebih lagi bila kondisi sebelumnya seperti digambarkan sebelumnya sudah demikian parah. Dalam perspektif sosial budaya, ini sangat terkait dengan konteks kondisi lingkungan sosial politik guru yang ada di sekitarnya. Melihat masalahnya seperti ini, maka apa yang perlu disadari adalah kenyataan bahwa apa yang secara legal ideologis bisa dirumuskan dengan baik dalam perencanaan seperti di atas tadi, dalam praktik belum tentu berjalan mulus. Ini disebabkan oleh realitas bahwa sumber permasalahan pendidikan tidak semata-mata terletak di lingkungan sekolah saja. Sebagiannya, tapi terutamannya, itu harus dicari pada hambatanhambatan struktural (structural constraints) dari sistem sosial itu sendiri. _______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, Edisi Khusus TH. XXXX Mei 2007 ISSN 0215 - 8250 401 Maka dari itu, bahkan perencanaan pendidikan yang telah dipersiapkan secara rapi pun, tidak luput dari kemungkinan terbentur pada faktor-faktor yang muncul secara tidak terduga dan tidak diharapkan sebelumnya. Hal di atas ini bisa dicarikan contoh, misalnya pada mekanisme hubungan antara kebutuhan pendidikan (educational need) dan tuntutan pendidikan (educational demand) dari masyarakat, yang di antara keduanya tidak selalu berjalan seimbang. Disequalibrium bisa tumbuh dari kedua belah pihak. Memang sebenarnya seperti terjadi di beberapa Negara kebutuhan yang mendahului dan mengembangkan permintaan, tapi di sebagian besar lainnya (terutama di negara – negara sedang berkembang) permintaan justru jauh melampaui kebutuhan. Hal ini terutama terjadi bila sistem pendidikan dalam perkembangannya berusaha mengimbangi fluktuasi ekonomi. Istilah-istilah seperti “the late development effect” (Dore, 1976) achievement suppression phenomenon (Lin & Yauger, 1975) adalah mencerminkan permasalahan ketidakseimbangan antara kebutuhan dan tuntutan pendidikan tersebut. Ciri-ciri dari situasi seperti ini digambarkan oleh Faure sebagai meledaknya jumlah murid, kecenderungan yang berangkai untuk memperpanjang / mempertinggi masa / level sekolah, makin meningkatnya keinginan melanjutkan sekolah bahkan di luar sektor pendidikan formal dan peningkatan alokasi dana bagi pendidikan (Faure, 1972). Selanjutnya situasi di atas menimbulkan serangkaian situasi kritis seperti problema antara perluasan pendidikan dan batas-batas kemampuan ekonomi, problema yang menyangkut penyediaan sumber-sumber dana dan yang kelihatannya paling kritis adalah ketidakseimbangan serta ketidakmerataan yang makin meningkat antara negara-negara industri maju dan negara-negara berkembang di samping juga ketidakmerataan di antara penduduk-penduduk dari satu negara. Maka dari itu muncul kritik- kritik _______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, Edisi Khusus TH. XXXX Mei 2007 ISSN 0215 - 8250 402 terhadap pertumbuhan sistem pendidikan modern yang antara lain disebutkan sebagai the dead end sistem (Faure, 1972:51), yang terutama diartikan sebagai ketidakmampuan pendidikan untuk memenuhi aspirasiaspirasi nasional kultural ataupun kebutuhan – kebutuhan sosial. Sekarang yang menarik bagi kita ialah mengajukan pertanyaan seberapa jauhkah situasi ini terefleksi dalam konteks masyarakat Indonesia? Bahwasanya terjadi peningkatan tuntutan masyarakat secara luar biasa terhadap pendidikan baik secara kuantitatif maupun kualitatif kelihatannya bukanlah merupakan masalah asing bagi masyarakat kita. Bukan saja hal ini dianggap gejala umum di negara-negara sedang berkembang, bahkan dalam satu seginya sering dipandang sebagai keberhasilan di dalam mendorong berkembangnya minat terhadap pendidikan di kalangan rakyat yang dianggap prasyarat bagi pembangunan dan modernisasi. Banyak pakar pendidikan mensinyalir bahwa seluruh lapisan masyarakat kita kelihatannya melihat pendidikan sebagai kebutuhan yang mendesak dalam hidupnya. Dalam pandangan mereka, berpendidikan dianggap sebagai sebuah nilai yang selalu lebih baik daripada tidak. Dengan kata lain, berpendidikan diangap sebagai suatu nilai tersendiri. Demikian membanjirnya minat rakyat terhadap pendidikan sampai-sampai ada yang menggambarkan gejala ini sebagai destination syndrome. Mendesaknya secara luar biasa apa yang kita sebut educational demand ini sampai dirasakan sebagai “kekurangwajaran sosial” bagi para pembuat kebijakan pendidikan yang menumbuhkan semacam ketegangan di kalangan mereka. Situasi ini bertambah-tambah lagi karena tuntutan yang semakin gencar dari kelompok teknokrat yang ingin mengejar ketinggalan – ketinggalan dalam pembangunan ekonomi / industri kita apabila mereka membandingkan dengan apa yang telah dicapai oleh negara – negara industri maju. Para pembuat kebijakan pendidikan menjadi dihinggapi _______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, Edisi Khusus TH. XXXX Mei 2007 ISSN 0215 - 8250 403 semacam kompleks “ketidaksabaran” untuk mencapai taraf yang meskipun tidak sama tapi setidak-tidaknya tidak terlalu jauh dari negara – negara industri maju, lebih sering tanpa terlalu menyadari bahwa perkembangan mereka (negara-negara industri maju tersebut) adalah hasil rintisan yang berabad-abad dan bahwa apa yang kita hadapi pada saat ini sebenarnya adalah apa yang oleh Dore disebut late development effect. Menghadapi permasalahan pendidikan yang demikian sudah kompleks itu dengan cara-cara yang di dalamnya terkandung dorongandorongan impulsive, tentu saja akan menambah kerumitan permasalahan yang terlihat misalnya pada situasi yang serba dilematis atau pada suasana yang menunjukkan kesenjangan antara aspirasi dan realitas makin menjadijadi (Naga, 1981). Salah satu gejala menonjol yang bisa kita rasakan, yang muncul dari situasi ini ialah timbulnya selalu kehendak untuk mengadakan perubahan / pembaharuan dari para pemegang kebijakan, tanpa terlalu jauh mencari jawaban atas pertanyaan pokok, yaitu perubahan / pembaharuan macam apa yang sebenarnya diperlukan untuk masyarakat kita dan bagaimana itu bisa dilaksanakan dengan efektif sesuai dengan kondisi kita. Berbagai alternatife pembaharuan diajukan dan sejalan dengan itu bermunculan gagasan demi gagasan yang dengan sendirinya didukung oleh argumentasi yang menyakinkan. Suatu gagasan yang mula-mula kelihatannya sudah cukup mantap menjadi seperti tidak ada artinya apabila tampil tokoh baru dengan gagasan baru, tentunya dengan argumentasi baru pula. Dalam sejarah pembaharuan pendidikan negara kita di waktu yang lalu menarik sekali misalnya permainan kata-kata “pikiran-pikiran pokok” dan “pokok-pokok pikiran” dalam siatuasi seperti di atas. Dalam rencana pembaharuan pendidikan pada zamannya Menteri P dan K Masyuri kita bisa membaca rumusan “Pikiran-pikiran pokok tentang pendidikan di Indonesia”, dan _______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, Edisi Khusus TH. XXXX Mei 2007 ISSN 0215 - 8250 404 kemudian hasil dari KPPN (Komisi Pembaharuan Pendidikan Nasional) pada zaman Menteri P dan K Daoed Joesoef mengemukakan “Pokok-pokok pikiran pembaharuan pendidikan nasional”. Akhirnya seorang pakar pendidikan berkomentar “Pokok-pokok pikiran (yang) belum lagi merupakan pikiran-pikiran pokok”. Jadi, kita seperti melingkar-lingkar di sekitar titik yang sama, pada hal tugas kita yang utama adalah mencari jalan keluar dari kompleksitas masalah pendidikan kita, sehingga nanti harapan bisa dipertemukan dengan kenyataan atau sedikit- dikitnya didekatkan jaraknya satu sama lain. Dari segi proses budaya gejala seperti ini disebut proses “involusi”, yang makna intinya adalah perubahan bentuk tanpa pembaharuan / kemajuan substansinya (lihat Widja, 2007). Situasi ini bisa diilustrasikan dengan baik dari kasus perubahan-perubahan kurikulum sekolah di negeri kita. Contoh paling muktahir adalah perubahan Kurikulum 1994, menjadi Kurikulum 2004 (KBK) yang tidak lama kemudian disusul dengan pemberlakukan apa yang sangat populer sekarang di lingkungan sekolah sebagai KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Celakanya lagi pemberlakukan KTSP yang jiwanya merupakan penjabaran kebijakan otonomi pendidikan / sekolah oleh beberapa pihak dianggap digerogoti oleh kebijakan lain tentang pemberlakukan Ujian Nasional (UN) yang diberi alasan sebagai upaya peningkatan kualitas luaran (output) sekolah. Situasi ini dikomentari oleh seorang pengamat pendidikan sebagai kebijakan pendidikan tanpa landasan filosofi yang kokoh, lebih-lebih lagi bila dikaitkan dengan upaya peningkatan kualitas guru melalui program sertifikasi (sesuai UU Guru dan Dosen) (lihat Abduhzen, dalam Kompas, 9 April 2007). Bagaimana kita bisa memaknai kasus di atas? Ternyata ada cara lain untuk memahami permasalahan pendidikan kita yang memungkinkan _______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, Edisi Khusus TH. XXXX Mei 2007 ISSN 0215 - 8250 405 kita bisa lebih menyadari apa yang bisa dicapai oleh kebijakan pembaharuan pendidikan di negeri kita. Masalahnya adalah seperti apa yang dikemukakan oleh Kaisiepo “memberi terlalu banyak harapan (dan juga tuntutan) kepada pendidikan, dapat menyesatkan pendidikan. Pendidikan hanyalah salah satu bagian (walaupun bagian yang penting) dari suatu tatanan sosial yang lebih luas dan kompleks. Jangan mengeluh tentang pendidikan yang mahal dan tidak merata, pendidikan yang tidak demokratis, kalau tatanan sosial itu sendiri tidak adil dan tidak demokratis” (Kaisiepo, 1981). Makna yang paling penting yang kiranya perlu ditekankan dari kata-kata Kaisepo ini ialah kenyataan seperti yang diungkapkan seorang ahli sosiologi bahwa education can never be divorced from its social setting, since the actors in education are social actors who carry with them the symbols and orientation marking them as belonging to distinct sectors of society (Worsley, 1971 : 180 – 192). 2.3 Hambatan – Hambatan Struktural Upaya Peningkatan Mutu Guru Gambaran di atas inilah yang rupanya sedang tejadi dalam berbagai kebijakan pembaharuan pendidikan secara makro di Indonesia. Hal itu tercermin pula pada masalah-masalah yang lebih khusus seperti yang menyangkut usaha-usaha untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan tenaga kependidikan (guru) yang profesional. Dengan kata lain, dalam konteks yang lebih menyeluruh, apa yang digambarkan tadi sekaligus menunjukkan bahwa upaya menyelesaikan masalah perbaikan kualitas guru bukanlah sesederhana yang kita duga. Kita mestinya menyadari guru bukanlah unsur yang terisolasi dalam konteks sosialnya. Dengan demikian kalau kita beranggapan merosotnya mutu guru seperti terlihat dari ketidakbecusan guru mengembangkan aspek-aspek _______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, Edisi Khusus TH. XXXX Mei 2007 ISSN 0215 - 8250 406 strategi serta metode proses belajarnya sebagai semata-mata kekurang profesionalan guru, barangkali kita lupa bahwa hal itu bisa terjadi pula karena guru berhadapan dengan kondisi-kondisi sosial objektif yang sulit mereka kontrol. Di sini kita mestinya menyadari bahwa ada faktor-faktor yang tidak tampak yang harusnya ditangani secara simultan dalam rangka mengatasi masalah mutu guru. Salah satunya, misalnya apa yang sudah sejak lama disinyalir oleh Dore, yang merupakan komplikasi lanjutan dari keterkaitan peran pendidikan pembangunan / modernisasi yang dia sebut dengan istilah qualification escalation atau certification devaluation yang secara keseluruhan digambarkan sebagai gejala berjangkitnya apa yang disebut the diploma disease (Dore, 1976 : 8-9). Ini ditandai antara lain dengan berkembangnya suatu sistem “persekolahan tanpa edukasi”(school without education) yaitu persekolahan yang hanya menekankan “kualifikasi”, suatu proses belajar yang semata-mata ditujukan pada usaha “sertifikasi”. Kalau edukasi berkaitan dengan proses belajar yang terutama menekankan pencapaian kompetensi (mastery) sebagai sasarannya, sedangkan sebagai konstrasnya, dalam proses sertifikasi murid-murid terutama menaruh perhatian bukan pada pencapaian kompetensi, tapi pada “tersertifikasi” (being certified) yang menunjukkan seakan-akan sudah mencapai kompetensi tertentu. Jadi, proses belajar hanyalah alat untuk mencapai tujuan yang berupa “ijazah” yang merupakan passport bagi usaha mendapatkan pekerjaan yang diidam – idamkan yang sekaligus juga berarti kekayaan dan status. Dengan demikian, mengikuti kata – kata Dore : if education is learning to do a job, qualification is a matter of learning in order to get a job (Dore, 1976 : 8-9). Gejala – gejala seperti ini kelihatannya ikut mewarnai praktikpraktiek pendidikan kita dan dalam keadaan begitu tujuan utama murid (tentu juga orang tua) menjadi how to pass the exam, bukan how to be well _______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, Edisi Khusus TH. XXXX Mei 2007 ISSN 0215 - 8250 407 prepared to pass the exam. Perhatikan misalnya gejala “nyontek” (cheating) yang kelihatannya makin berkembang di antara murid – murid kita ataupun cara – cara berlangsungnya proses pendidikan di sementara (tidak semua) sekolah / perguruan tinggi swasta yang menunjukkan gejala asal jalan saja. Dalam situasi yang demikian apapun yang dilakukan guru melalui startegi / proses belajar mengajarnya sulit dibayangkan akan mencapai sasaran yang optimal. Bagi orang awam tentu saja yang lebih kelihatan di sini bukanlah sertifikasi tapi lebih merupakan citra guru yang buram di sekolah / masyarakat. Diberlakukannya Ujian Nasional (UN) sebagai parameter utama keberhasilan belajar siswa sekaligus juga ukuran kualitas sekolah (pendidikan) tampaknya akan makin menyudutkan sekolah yang awalnya sebagai lembaga edukasi untuk berganti peran sebagai lembaga sertifikasi. Situasi ini diilustrasikan dengan baik oleh Faturrofiq dalam satu artikel di Harian Kompas dengan judul “Ujian Nasional” dan “Kekalahan Sekolah”. Yang paling dikhawatirkan oleh penulis artikel ini, bahwa sekolah/ guru yang didorong dengan tuntutan harus mempersiapkan (atau lebih tepat “mempertaruhkan” segalanya) agar siswanya lulus UN, akhirnya sekarang banyak katanya minta jasa lembaga bimbingan tes masuk sekolah untuk membantu penyiapan siswanya demi nama sekolah / guru bersangkutan. Lebih dari itu, proses belajar mengajar yang masih ditangani guru umumnya juga didominasi dengan kegiatan latihan tanya jawab soal – soal ujian (drilling). Bisa dibayangkan apa jadinya lulusan sekolah kita apabila gejala seperti itu makin menjadi – jadi (untuk ini lihat pula artikel Sriyanto yang berjudul “Nihilisasi Budaya Belajar”, Kompas, 16-4-2007, hal 14). Di samping itu kembali berbicara soal citra guru, kita kadang – kadang merasakan bahwa guru mempunyai posisi yang unik di negeri ini. Dikatakan unik karena di satu pihak dia disanjung bahkan dibuatkan lagu _______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, Edisi Khusus TH. XXXX Mei 2007 ISSN 0215 - 8250 408 dengan judul “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”, tapi di lain pihak dia dijepit dari dua jurusan: dari atas dan dari bawah. Dari atas (atasan) dia adalah sasaran komando, dan dari bawah (masyarakat) dia adalah sasaran “umpatan”. Di mata atasan dia sering digambarkan dengan profil konservatif (kurang tanggap atas pembaharuan / malas mencobakan macam- macam metode baru, malas memperkaya diri dengan ilmu, kurang inisiatif dan sebagainya). Di mata masyarakat malah sering dianggap “tukang peras” orang tua murid (dengan segala bentuk sumbangan yang dituntut dari orang tua murid), kurang berwibawa dalam mendisiplinkan murid dan sebagainya. Mungkin dalam beberapa hal gambaran ini benar adanya, tapi permasalahan kita yang lebih prinsipil adalah : apakah ini tidak merupakan akibat saja dari sumber gejala? Untuk itu marilah kita ikuti jalan pikiran berikut ini. Kita misalnya menuntut guru meningkatkan kualitas hasil pendidikan, tapi tiap penerimaan murid baru atau ujian akhir guru – guru justru kewalahan melayani “surat- surat pengantar kecil” yang tujuannya sudah jelas bagi kita semua. Kita bisa menuduh guru kurang berwibawa, karena itu murid kurang berdisiplin (suka bolos, nyontek dan sebagainya) pada hal ini bisa juga dianggap sebagai ekses dari apa yang di atas dikatakan sebagai “wabah diploma”. Murid bersekolah bukan terutama untuk mendapatkan pengetahuan, melainkan untuk mendapat ijazah/kualifikasi untuk mencapai pekerjaan tertentu. Kita ingin agar guru membawa pendidikan menuju perubahan / pembaharuan, padahal di lain pihak kita bertahan untuk tidak berubah (mempertahankan status quo). Demikianlah contoh-contoh ini bisa diperpanjang, misalnya : kita tuntut guru agar mendorong murid- murid berjiwa wiraswasta dalam kondisi semua orang ingin jadi pegawai negeri, karena nyatanya memang pegawai negeri lebih dimanjakan, dan lebih dihargai di masyarakat. Guru diharapkan _______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, Edisi Khusus TH. XXXX Mei 2007 ISSN 0215 - 8250 409 misalnya mendorong murid mencintai desanya dalam kondisi masyarakat sudah dibikin berorientasi ke kota; guru disuruh menganjurkan murid hidup sederhana dan hemat dalam situasi hidup yang bercorak konsumtif dan seterusnya. Hal-hal di atas tadi kiranya cukup menunjukkan bahwa guru lebih sering berada pada situasi yang bersifat memojokkannya, sehingga usaha meningkatkan mutu guru mestinya harus dimaknai dan diarahkan sebagai usaha melaksanakan tranformasi sosial secara menyeluruh. Tanpa upaya seperti ini bisa diduga berbagai perangkat aturan serta program-program yang sedang / akan dilaksanakan bisa menjadi pembaharuan yang melingkar, alias jalan di tempat (tidak menghasilkan perubahan substansial). 3. Penutup Bahwasannya upaya untuk mengubah citra guru, terutama dalam rangka peningkatan tanggung jawab profesionalnya adalah suatu keharusan, tentu tidak bisa disangkal lagi. Ini terutama terkait dengan tekad pemerintah dan bangsa ini untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional secara keseluruhan. Namun, untuk mewujudkan ideal di atas yang pertama-tama perlu disadari adalah sulit bahkan tidak mungkin mengubah citra guru, bila guru itu sendiri tidak punya motivasi untuk mengubah dirinya. Maka dari itu, perlu dikembangankan strategi internal yang ujung-ujungnya menggugah guru merasa berkepentingan untuk berubah. Ini meliputi berbagai langkah menciptakan kebanggaan profesi yang didasari munculnya jati diri sebagai seorang pendidik. Hanya saja berhasilnya unsur internal ini diwujudkan, memang tidak bisa lepas dari dukungan faktor-faktor eksternal, yaitu peran pihak_______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, Edisi Khusus TH. XXXX Mei 2007 ISSN 0215 - 8250 410 pihak di lingkungan guru yang sangat terkait dengan profesi guru. Unsurunsur berkepentingn tersebut, terutama pihak pengambil kebijakan (birokrasi pendidikan di tingkat pusat maupun daerah) perlu untuk menghindarkan tekanan-tekanan (fisik maupun mental) pada kenyamanan kerja guru. Malah mestinya berupaya dalam segala hal memfasilitasi (membuat kebijakan) yang menggairahkan guru (menyangkut kesejahteraan, sistem reward termasuk promosi dan dukungan lain yang bersifat suportif terhadap kerja guru). Pihak lain yang tidak kalah pentingnya adalah organisasi profesi yang terutama berperan memberi advokasi menyangkut hak-hak guru yang sering kurang diperhatikan (organisasi profesi). Akhirnya yang juga tidak kalah pentingnya adalah pihak lingkungan masyarakat (stake- holders) yang semestinya bekerja sama sangat erat bersama guru memecahkan masalah-masalah internal sekolah. Tujuan utamanya agar guru merasa mendapat dukungan masyarakat dalam menyelenggarakan tanggung jawab profesionalnya, bukan malah membebaninya atau memojokkannya terutama dalam hal yang terkait dengan praktik kerja professional guru. Berfungsinya secara positif unsur-unsur yang terkait dengan peran guru sebagai tenaga professional ini memang memerlukan satu transformasi sosial struktural yang lebih menyeluruh. DAFTAR PUSTAKA Abdulzen, Mohammad. 2007. “Filosofi Sertifikasi Guru”, dalam Kompas, 9-4-2007:13. _______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, Edisi Khusus TH. XXXX Mei 2007 ISSN 0215 - 8250 411 Darmaningtyas. 2007. “Merumuskan Kode Etik Guru”, dalam Kompas, 2311-2004:4. Dore, Ronald. 1976. The Diploma Disease: Education, Qualification and Development. London : George Allm & Unwin Ltd. Faturrofiq. 2007. “Nihilisasi Budaya Belajar”, dalam Kompas, 16-42007:14. Faure, Edgar et.al. 1972. Learning to be : The World of Education Today and Tomorrow. Paris : UNESCO – Harrap. Kaisepo, Manuel. 1981. “Kata Pengatar” dalam Penerbitan Khusus PRISMA, Feb. 1981. Lin, N & Yauger, D. 1975. “The Process of Occupational Status Achievement”, dalam American Journal of Sosiology no.81. Naga, Dali S. 1981. “Perubahan Pendidikan : Antara Harapan dan Kenyataan”, dalam Kompas, 2-5-1981 : 4. Raka Joni, T. 1983. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : P2LPTK Ditjen Dikti. Rindjin, Ketut. 1991. “ISPI Wadah Pembinaan Guru Profesional” (Makalah dalam Musyawarah Daerah ISPI Bali di Denpasar). Sriyanto, HJ. 2007. “Ujian Nasional dan Jiwa Pendidikan dalam Sistem Persekolahan Kita”, dalam JPP, Januari 2007. Widja, I Gde. 2007. “Membangun Kembali Jiwa Pendidikan dalam Sistem Persekolahan Kita” (Sati Tinjauan Cultural Studies). Artikel dalam Jurnal Pendidikan dan Pengajaran vol 40, no 1. Januari 2007). Worsly, Peter et.al. 1970. Introducing Sociology. Middlesex : Penguin Books. _______ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDIKSHA, Edisi Khusus TH. XXXX Mei 2007