OTONOMI DAN PROFESIONALISME GURU

advertisement
ISSN 0215 - 8250
1
OTONOMI DAN KEPROFESIONALAN GURU
oleh
Sumarsono
Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah
Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, IKIP Negeri Singaraja
ABSTRAK
Banyak orang berbicara tentang otonomi pendidikan dan keprofesionalan
guru, tetapi tidak banyak berbicara tentang otonomi guru dalam hubungannya
dengan keprofesionalannya. Otonomi pendidikan yang sebenarnya adalah otonomi
guru, dan untuk mampu memegang fungsi otonomi itu guru harus mempunyai
tingkat keprofesionalan tertentu. Ada beberapa ruang keprofesionalannya yang
memberi kemungkinan guru untuk berotonomi, yakni pada tingkat penyusunan
desain instruksional, diversifikasi kurikulum (dalam penyusunan silabus dan bahan
ajar), dalam kegiatan belajar-mengajar, dan dalam evaluasi. Implementasinya, jika
kita melakukan pembinaan untuk meningkatkan mutu keprofesionalan guru, yang
paling strategis dan praktis ialah di empat wilayah itu.
Kata kunci: otonomi guru, keprofesionalan guru.
ABSTRACT
Many people are recently talking about autonomy in education and about
teacher’s professionalism, but only a few are talking about the relation between
teacher’s autonomy and his/her professionalism. Actually, autonomy in education
is the teacher’s autonomy, and to meet this function of autonomy those teachers
have to have a certain quality level of professionalism. The professionalism area
which give space for the function would be in composing instructional design, in
making curriculum (syllabus, teaching materials) diversification, in managing
teaching-learning activities, and in administrating achievement test (from test
battery to test item analysis). The implementation is that, if we want to up-grade
the quality of teachers’ professionalism, our focus must be placed over the area.
Key words: teacher’s autonomy, teacher’s professionalism.
____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004
ISSN 0215 - 8250
2
1. Pendahuluan
Akhir-akhir ini orang banyak berbicara tentang otonomi pendidikan.
Sebenarnya, otonomi pendidikan itu tidak ada artinya jika tidak ada otonomi
sekolah,dan otonomi sekolah tidak ada artinya jika tidak ada otonomi guru.
Otonomi sekolah itu dalam praktik mewujud dalam bentuk Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS). MBS memberi kesempatan besar bagi sekolah untuk melakukan
konsep otonomi, dalam arti sekolah harus mandiri bukan hanya dalam hal
keuangan melainkan juga dalam berbagai kebijakan pengelolaan sekolah
berdasarkan visi dan misi yang disusun sendiri oleh sekolah, dan komponenkomponennya seperti kurikulum, silabus, administrasi, personalia (guru, pegawai,
siswa), sarana dan prasarana.
Dalam hal otonomi guru kita dapat mengatakan bahwa otonomi itu
langsung berhubungan dengan keprofesionalan guru karena dalam beberapa hal
guru diberi wewenang untuk mandiri dalam menyusun silabus, merancang desain
instruksional, menjalankan metode dan teknik mengajar di depan kelas, dan
menyelenggarakan evaluasi hasil belajar. Tulisan ini memfokus kepada hubungan
antara otonomi guru dan profesionalisme sebagaimana pernyataan terakhir
tersebut.
2. Istilah dan Cakupannya
Sudah sekian lama orang Indonesia mengartikan kata profesi sama dengan
pekerjaan saja, sehingga orang bisa menyebut seseorang dengan profesi sebagai
tukang becak, pencopet, pemulung, dsb. Ini tentu suatu penyimpangan makna di
luar proporsinya. Di samping itu muncul pula istilah profesionalitas dan
profesionalisme, keduanya kerap kali saling dipertukarkan penggunannya.
Dalam bahasa Indonesia kita mengenal empat istilah yang saling berkait,
yakni profesi, profesional, profesionalisme, dan profesionalisme. Dalam bahasa
Inggris kita temukan bentuk dasar verba profess dengan makna a.l. (1)
menyatakan bahwa seseorang mempunyai keperacayaan (kesukaan, minat, dsb.):
____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004
ISSN 0215 - 8250
3
He professes a distaste for modern music. Ia tidak mempunyai selera untuk
menikmati musik modern.; (2) menganut suatu kepercayaan (agama) tertentu:
profess Islam, ‘menganut Islam’; (3) (formal) mempunyai profesi atau bisnis
tertentu: profess law ‘berprofesi dalam bidang hukum’. Dari sini lahir nomina
berbentuk profession dengan makna utama pekerjaan, terutama yang menuntut
pendidikan lanjutan (tinggi) dan pelatihan khusus seperti hukum,
arsitektur,kedokteran, akuntansi, dsb. Muncul pula adjektiva professional, dengan
makna (1) mengenai profesi: professional skill ‘keterampilan profesional’; (2)
melakukan atau mempraktikkan sesuatu sebagai pekerjaan tetap, dengan
bayaran,dan untuk hidup, bukan sambilan (lawannya: amatiran): professional
football ‘sepak bola profesional’. Sebagai nomina, profesional (yang biasa
disingkat menjadi pro saja) berbarti (1) orang yang mengajar atau terkait dengan
olah raga untukmemperoleh uang; (2) orang yang melakukan sesuatu untuk
memperoleh bayaran, yang bagi orang lain hanya dipandang sebagai kesenangan
(tanpa dibayar): professional musician ‘pemusik profesional’. Jika kita memegang
makna ‘orang yang mengajar…’, dapat dipahami bahwa kata profesor bisa terkait
dengan kata profesional, karena professor bermakna university teacherof the
highest grade, holding a chair of some branch of learning. (Hornby,1986). Jika
dalam bahasa Indonesia kita hendak berbicara tentang ‘keadaan’ atau ‘perihal’
profesi, maka dapat dibentuk keprofesian ‘perihal profesi’; dan jika urusannya
tentang profesional kita bentuk keprofesionalan, sehingga kita bebas dari
persoalan profesionalisme dan profesionalitas.Tapi, persoalannya ialah apakah
guru itu profesi? Kalau jawabannya “Ya.”, lalu apakah syaratnya? Berikut ini
dicoba dijawab berdasarkan sumber di atas.
3. Apakah Guru itu Profesi?
Mari kita mencermati perian tentang kata profesi. Dikatakan di sana,
profesi itu (1) merupakan pekerjaan, yang (2) memerlukan pendidikan lanjutan
(advance eduacation),yang bagi masyarakat berbahasa Inggris berarti pendidikan
____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004
ISSN 0215 - 8250
4
“di atas SMA”, dan (3) memerlukan latihan khusus. Di Indonesia, seorang guru
jelas-jelas memenuhi ketiga syarat perian tersebut. Saya mempunyai profesi
sebagai guru, karena pekerjaan saya ialah guru. Untuk mencapai posisi guru itu
saya telah mengikuti pendidikan lanjutan di IKIP selama lima tahun. Dan di dalam
pendidikan lanjutan itu saya telah diberi latihan khusus di sekolah, baik di SMP
maupun di SMA, dan karena itu saya juga memperoleh ijasah sebagai guru dan
sertifikat kemampuan mengajar.
Keprofesian saya sebagai guru makin diperkuat karena saya bisa
menyebut diri sebagai guru yang profesional. Mengapa? Keprofesionalan saya
setidak-tidaknya dapat diukur dari perian di atas, yaitu saya telah melakukan
pekerjaan tetap bagi hidup saya; saya dibayar untuk pekerjaan tersebut, dan pasti
saya melakukannya tidak secara amatiran atau bukan karena sekadar kesenangan.
Namun, itu baru di atas kertas. Bagaimana seorang guru itu bisa disebut
profesional?
Berikut ini dicoba menjawab pertanyaan itu.
4. Ukuran Keprofesionalan
Yang jelas dapat dikatakan bahwa kriteria keprofesionalan seorang guru
tidak dapat ditentukan oleh si guru sendiri, melainkan ditentukan oleh pihak-pihak
yang terkait dan berkepentinagn dengan mereka, misalnya murid, orang tua murid,
pemerintah, dan masyarakat (Surya, 2002).
Mereka ini sebagian merupakan
orang awam dalam dunia pendidikan tetapi berharap akan sosok guru yang “ideal”.
Bagi murid, guru ideal itu guru yang mampu memberi motivasi belajar, sumber
keteladanan, ramah dan penuh kasih sayang, penyabar, menguasai bahan ajar,
mampu mengajar dengan “bagus”. Orang tua berharap agar guru itu menjadi mitra
pendidik bagi anak-anaknya, menjadi “orang tua” di sekolah sehingga dapat
melengkapi, menambah, dan memperbaiki pola pendidikan di rumah. Pemerintah
berharap agar guru bisa menjadi unsur penunjang kebijakan dan program
pemerintah di bidang pendidikan. Dari sudut pandang masyarakat luas, guru
____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004
ISSN 0215 - 8250
5
diharapkan menjadi “wakil” masyarakat di dunia pendidikan, dan “wakil” lembaga
pendidikan di dalam masyarakat. Seperti kita maklumi, masyarakat itu bersifat
normatif bagi dunia pendidikan, dan guru adalah pelestari nilai-nilai yang
dijunjung tinggi oleh masyakatnya (Joni, 1984).
Sosok guru semacam itu secara “ilmiah” dikemas dalam berbagai istilah.
Ringkasnya, seorang guru yang profesional harus memiliki kompetensi akademik
(intelektual), kompetensi pribadi, kompetensi sosial, bahkan kompetensi moralspiritual. Kompetensi akademik diwujudkan oleh pengetahuan dan kemampuan
guru dalam bidang ilmu pengetahuan yang digelutinya, mengikuti perkembangan
ilmu dan teknologi secara proaktif, dan kemampuannya dalam mengembangkan
ilmu tersebut setidak-tidaknya di dalam kelas. Kompetensi akademik juga perlu
ditunjukkan oleh guru dalam bentuk pengetahuan teoretis-filosofis tentang
pendidikan dan pengajaran, misalnya Wawasan Kependidikan Guru, serta
menerapkan teori dan filsafat itu dalam perilakunya di depan kelas. Pengetahuan
teoretis-filosofis ini bisa dipakai untuk mempertanggungjawabkan secara
akademik segala perilaku mengajarnya di dalam kelas.
Kompetensi pribadi sekurang-kurangnya berhubungan dengan sosoknya
sebagai pribadi yang utuh-matang secara fisik dan mental serta emosional. Sebagai
insan yang sudah utuh-matang, dia mempunyai motivasi tertinggi yang dalam
bahasa Abraham Maslow disebut motivasi aktualisasi diri,bukan motivasi
rendahan yang melatarbelakangi tugas keguruannya hanya sekadar untuk mencari
makan.(Lihat Dimyati dan Mudjiono, 1999). Dia harus mampu menjadi “guru
tanda seru” (“Inilah guru yang baik!”), dan bukan “guru tanda tanya” (“Inikah
guru?”, “Guru apa ini?”). Untuk mencapai tingkatan itu guru, menurut Heinz Kock
(1981), haruslah terus-menerus mau belajar, sehingga “tingkat persiapan harus
lebih tinggi daripada tingkat mengajar”. Atau, dalam bahasa Drost (2002), guru
harus selalu melakukan on-going formation, membentuk dirinya sendiri untuk
makin bermutu dan bermutu. “Menjadi manusia pembelajar”, kata Andreas Harefa
(2000), dan belajar itu tidak mesti di sekolah atau di kampus.
____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004
ISSN 0215 - 8250
6
Kompetensi sosial diwujudkan dalam bentuk kemampuannya dalam
berinteraksi dan berkomunikasi secara terbuka dan ikhlas dengan siswa dan rekanrekan guru serta orang tua siswa, dan dengan warga masyarakat tempat mereka
tinggal. Memang ada pendapat yang menyatakan bahwa ada sifat-sifat tertentu
pada guru yang sulit atau bahkan tidak bisa diubah karena sifat-sifat itu sudah
dibawa sejak lahir, apa lagi banyak guru yang menjadi guru bukan karena
“panggilan” melainkan karena terpaksa. Lalu muncul cap dan label seperti sukar
bergaul, judes, kaku, dsb.
Ada pula pandangan bahwa guru harus mempunyai kompetensi
profesional agar dapat disebut guru profesional. Kompetensi ini menyangkut
sepuluh kompetensi yang pada tahun 1980-an dikenal banyak orang, yakni mulai
dari kemampuan guru untuk menyusun desain instruksional (SP/Satpel),
menguasai bahan, menyampaikan bahan, menggunakan media, menguasai metode
dan teknik, menyusun tes hasil belajar, sampai kepada menganalisis skor hasil tes
dan memberikan remedinya. Dari sekian banyak kompetensi yang sudah disebut
ada sejumlah kompetensi yang berkaitan dengan otonomi guru.
5. Otonomi Guru dan Wilayahnya
Otonomi guru ialah kemandirian guru dalam banyak hal yang mengarah
kepada profesi guru. Kemandirian seseorang biasanya diukur dari kematangan
fisik, jiwa, sikap, pikiran, kepribadian, dan pengetahuan, serta nilai-nilai.
Kemandirian juga ditunjukkan oleh kemampuan seseorang untuk menentukan
sikap dan perilakunya sendiri tanpa harus ada campur tangan orang lain, tetapi dia
harus berani mempertanggungjawabkan perilaku pilihannya. Sepanjang
menyangkut profesi guru, perilaku pilihannya harus dapat dipertanggungjawabkan
secara filosofis, secara teoretis-ilmiah, dan secara sosiokultural kepada anak didik,
orang tua, sekolah, yayasan, dan masyarakat luas (Sumarsono, 2004, pracetak).
Pertanyaan yang dapat dimunculkan ialah di mana otonomi guru itu dapat
diterapkan, dan seberapa jauh dapat dilaksanakan? Untuk menjawab pertanyaan ini
____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004
ISSN 0215 - 8250
7
sebaiknya kita lihat dulu seberapa luas wilayah pertanggungjawaban guru dalam
dunia persekolahan dan pendidikan.
Tugas utama guru ialah mengajar. Pertanyaan di atas tampak sederhana
tetapi jika dicermati kita dapat menemukan betapa luasnya lingkup dan cakupan
“mengajar” itu, karena persoalannya bukan sekadar “mengajar”, melainkan
melibatkan banyak hal. Katakanlah, misalnya, bahwa mengajar itu memerlukan
persiapan; setelah itu guru melaksanakan apa yang sudah direncanakan tadi di
depan kelas: dia melakukan pengajaran. Setelah pengajaran selesai dia harus
melakukan penilaian atau evaluasi, baik evaluasi terhadap proses maupun hasil
belajar siswa serta mengajarnya.
5.1 Persiapan
Setelah lepas dari dunia kampus, peningkatan mutu seorang guru
bergantung kepada dirinya sendiri. Setelah dia ditugaskan sebagai guru dan diberi
tugas mengajar, maka dia harus membuat persiapan mengajar, yang mungkin
disebut rancangan pengajaran atau desain instruksional. Untuk itu guru (pada
saat ini) harus memahami betul: kurikulum, cara menyusun silabus, cara
menyusun rencana pelajaran. Itu yang bersifat fisik. Tampaknya juga “sederhana”.
Tetapi, sebenarnya ada segudang “persiapan” guru dalam bentuk teori filsafat,
teori ilmiah, dan isme-isme lain dalam dunia pendidikan.
5.1.1 Kurikulum
Secara umum kurikulum ialah progam pendidikan (formal) yang sekurangkurangnya mengandung (a) tujuan program, (b) isi materi (content), (c) langkahlangkah pengajaran dan pengalaman belajar yang diperlukan untuk mencapai
tujuan tersebut, dan (d) sejumlah perangkat penilaian (assessment) untuk
mengukur apakah tujun tadi tercapai atau tidak. Hanya saja, Anda tentu ingat ada
istilah kurikulum tersembunyi (hidden curriculum), yakni tujuan-tujuan tertentu
____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004
ISSN 0215 - 8250
8
yang tidak dapat dituliskan dalam kurikulum tetapi beada di balik apa yang ditul
iskan di dalam kurikulum.
Yang patut diperhatikan ialah bahwa kurikulum itu memberi peluang untuk
membuat diversifikasi kurikulum, keanekaragaman kurikulum, atau
keberagaman kurikulum, sesuai dengan ciri daerah, ciri sekolah, dan ciri siswa.
Di situlah letak pentingnya otonomi guru. Gurulah yang dianggap paling tahu
tentang kondisi daerah, sekolah, dan terutama siswanya. Di sinilah otonomi guru
berfungsi, dan di sinilah guru menemukan batu uji.
5.1.2 Silabus
Di dalam Kurikulum 2004, silabus itu hakikatnya ialah penjabaran dari
kurikulum. KBK memberi petunjuk bahwa silabus itu (a) merupakan seperangkat
rencana dan pelaksanaan pembelajaran beserta penilaiannya, (b) merupakan
wujud operasionalisasi (atau pelaksanaan) kompetensi dasar, penguraian materi
pokok, kegiatan pembelajaran, dan penilaian serta alokasi waktu; (c) silabus itu
tidak seragam, terjadi diversifikasi (penganekaragaman); (d) silabus itu disusun
oleh guru, MGMP (untuk SMP/SMA/SMK), KKG (untuk SD), Dinas Pendidikan.
Kemudian dijelaskan sejumlah unsur (komponen) dalam silabus (Lihat
Pengembangan Silabus Kurikulum Berbasis Kompetensi, Puskur, Balitbang,
Depdiknas, Juni 2002), a.l., (a) penulisan kompetensi dasar berguna untuk
mengingatkan guru seberapa jauh tuntutan sasaran kemampuan (target
kompetensi) yang harus dicapai (Ingat TIU pada kurikulum terdahulu.); (b) hasil
belajar, mencerminkan kemampuan siswa dalam memenuhi suatu tahap
pencapaian pengalaman belajar dalam kompetensi dasar; (c) indikator,
merupakan “kompetensi dasar yang lebih spesifik”; (d) langkah pembelajaran,
memuat rangkaian kegiatan yang harus dilakukan guru secara berurutan untuk
mencapai tujuan pembelajaran. Sekarang guru diminta untuk memahami istilah
diversifikasi. Yang sukar barang kali ialah bagaimana menemukan dan
____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004
ISSN 0215 - 8250
9
menetapkan (mengidetifikasi) ciri-ciri khas (karakteristik) dan jati diri (identitas)
siswa, sekolah, dan lingkungan sekolah.
Dalam hal penyusunan silabus masih ada ruang bagi guru untuk
memerankan otonominya jika dia merasa dirinya mampu. Pedoman mengatakan
bahwa silabus dimungkinkan untuk disusun oleh guru, bisa satu orang atau
sekelompok guru. Kompetensi dasar, yang menjadi tuntutan standar nasional,
memang tidak boleh disusutkan. Begitu pula hasil belajar dan indikator. Tetapi,
ihwal rancangan kegiatan belajar, otonomi guru harus berfungsi, karena gurulah
yang akan menjalankan rancangan itu di dalam kelas. Lebih-lebih dalam
pelaksanaannya, dalam proses belajar-mengajar, otonomi guru mutlak terjadi.
5.2 Pengelolaan Kelas
Sebuah kelas merupakan suatu satuan utuh, mencakup unsur yang
kelihatan dan yang tidak kelihatan. Unsur yang tampak secara fisik ialah ruangan
dengan segala isinya, siswa dan guru; bahan ajar yang akan disajikan, alat peraga.
Unsur yang tidak tampak ialah suasana kelas, suasana hubungan manusiawi antara
guru – siswa, dan siswa – siswa. Yang juga tidak tampak ialah kesiapan siswa
untuk belajar dan kesiapan guru untuk mengajar. Di dalam hal inilah guru secara
mutlak memiliki otonomi untuk mengelola kelas. Dia menjadi direktur (pengarah,
pengelola, pemimpin), menjadi derigen (yang akan mengatur jalannya “simponi”)
(DePorter dkk.,2000), menjadi seniman (yang secara kreatif mengatur suasana
gembira dalam belajar) (Suparno,1997), menjadi moderator (yang mengatur lalulintas interaksi antarsiswa dan antara guru–siswa), menjadi intelektual (yang
mengelola ilmu dan mengembangkannya di kelas) (Suparno,1997), menjadi
fasilitator (pemberi kemudahan siswanya untuk belajar). Dia juga harus berpikir
jauh ke depan tentang tujuan-tujuan “pendidikan” yang menjadi hidden
curriculum, dengan memikirkan bahwa suasana kelas merupakan bagian dari
kurikulum. Suasana kelas itu haruslah suasana yang mendidik, bukan sekadar
____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004
ISSN 0215 - 8250
suasana
untuk
“mengajar”.
Di
sinilah
guru
harus
mempertanggungjawabkan perilakunya secara filosofis dan teoretis.
10
mampu
5.3 Evaluasi
Evaluasi atau penilaian dapat dibagi menjadi dua wilayah yaitu penilaian
terhadap proses belajar dan penilaian terhadap hasil belajar. Dalam kurikulum baru
sekarang dinyatakan, antara lain, adanya penilaian berbasis kelas.. Dalam
pelaksanaannya dilakukan penilaian berkelanjutan yang lebih akurat dan konsisten
sebagai akuntabilitas (pertanggungjawaban) publik melalui penilaian terpadu
dengan kegiatan belajar di dalam kelas (berbasis kelas) dengan mengumpulkan
kerja siswa portofolio), hasil karya (produk), penugasan (proyek), kinerja, dan tes
tertulis.
Semua itu berarti, (1) bagi mereka yang menjadi guru kelas, seperti di SD,
evaluasi untuk hampir semua mata pelajaran (kecuali agama, olah raga, bahasa
Inggris, muatan lokal) menjadi tanggung jawabnya, dan (2) bagi mereka yang
menjadi guru mata pelajaran, seperti di SMP dan SMA, penilaian terbatas pada
satu mata pelajaran saja. Tetapi jelas sekali bahwa dalam hal penilaian ini otonomi
guru besar sekali. Dia yang paling tahu karakteristik siswanya, dia yang paling
otonom dalam mengelola kelas dan menyajikan pelajaran, dan dia yang paling
otonom memberikan tugas, memberikan ulangan (tes), mengamati perilaku tiap
siswa di dalam kegiatan kelas, dia yang mengumpulkan karya siswa, dan dia pula
yang membuat butir soal untuk tes dan dia pula yang memberi nilai untuk berbagai
kegiatan. Betapa besar “kekuasaan” guru dalam otonomi itu dan sekaligus betapa
besar tanggung jawab guru dalam menentukan “nasib” siswanya. Itulah sebabnya,
kurikulum ini memberi rambu-rambu: (1) penilaian itu harus berkelanjutan (agar
perkembangan kompetensi siswa diamati terus-menerus), (2) penilaian itu harus
akurat (sesuai dengan yang seharusnya) dan konsisten (terutama dalam penentuan
benar dan salahnya jawaban), (3) penilaian merupakan bagian dari tanggung jawab
guru terhadap publik (yaitu orang tua murid dan masyarakat, sehingga penilaian
____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004
ISSN 0215 - 8250
11
harus terbuka dan transparan); (4) penilaian harus komprehensif: bukan hanya dari
tes hasil belajar melainkan juga dari pengamatan guru terhadap murid di dalam
kelas; bukan hanya menilai segi intelek, melainkan juga segi afektif (sikap), dan
psikomotor. Ini semua berarti bahwa guru itu harus jujur sejujur-jujurnya dalam
menilai; dan adil (tanpa pilih kasih, tanpa ada anak emas dan anak tiri). Tanpa
kejujuran dan keadilan, otonomi yang dipercayakan kepadanya akan tidak punya
arti apa pun.
6. Penutup
Jika kita telah mengetahui bahwa wilayah keotonomian guru terletak pada
keempat ruang tersebut, dan kita bermaksud untuk meningkatkan mutu
keprofesionalan guru, maka di keempat ruang itulah seharusnya fokus kita
letakkan. Guru perlu diberdayakan agar mampu membuat silabus agar diversifikasi
kurikulum terwujud. Mereka juga harus memahami secara mendalam teori-teori
tentang filsafat konstruktivisme, kognitivisme, humanisme, kecerdasan ganda.
CBSA, keterampilan proses, dan E-learning untuk mendukung kemampuan
mengajarnya di dalam kelas. Yang tidak kurang pentingnya ialah guru harus
diberdayakan betul-betul agar mampu membuat butir tes yang andal karena kelak
evaluasi hasil belajar terletak di tangan sekolah, bukan UAN lagi.
DAFTAR PUSTAKA
DePorter, Bobbi, dkk.1999. Quantum Teaching. Bandung: Kaifa.
Dimyati dan Mudjiono. 1999. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Drost,J. 2002. “On Going Formation bagi Seorang Guru”. KOMPAS.14 Februari
2002.
Harefa, Andrias. 2000. Menjadi Manusia Pembelajar. Jakarta: Kompas.
Joni, T.Raka. 1984. Wawasan Kependidikan Guru. Jakarta: Dirjen Dikti, P2LPTK.
Kock, Heinz. 1981. Saya Guru yang Baik!?. Yogyakarta: Kanisius.
____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004
ISSN 0215 - 8250
12
Sumarsono. 2004 (pracetak). Otonomi Pendidikan. Jakarta: Komdik KWI
Surya, M. 2002. “Guru, antara Harapan, Kenyataan, dan Keharusan”, dalam
Tilaar,H.A.R. Pendidikan untuk Masyarakat Baru. Jakarta: Grasindo.
____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004
Download