ISSN 0215 - 8250 1 OTONOMI DAN KEPROFESIONALAN GURU oleh Sumarsono Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, IKIP Negeri Singaraja ABSTRAK Banyak orang berbicara tentang otonomi pendidikan dan keprofesionalan guru, tetapi tidak banyak berbicara tentang otonomi guru dalam hubungannya dengan keprofesionalannya. Otonomi pendidikan yang sebenarnya adalah otonomi guru, dan untuk mampu memegang fungsi otonomi itu guru harus mempunyai tingkat keprofesionalan tertentu. Ada beberapa ruang keprofesionalannya yang memberi kemungkinan guru untuk berotonomi, yakni pada tingkat penyusunan desain instruksional, diversifikasi kurikulum (dalam penyusunan silabus dan bahan ajar), dalam kegiatan belajar-mengajar, dan dalam evaluasi. Implementasinya, jika kita melakukan pembinaan untuk meningkatkan mutu keprofesionalan guru, yang paling strategis dan praktis ialah di empat wilayah itu. Kata kunci: otonomi guru, keprofesionalan guru. ABSTRACT Many people are recently talking about autonomy in education and about teacher’s professionalism, but only a few are talking about the relation between teacher’s autonomy and his/her professionalism. Actually, autonomy in education is the teacher’s autonomy, and to meet this function of autonomy those teachers have to have a certain quality level of professionalism. The professionalism area which give space for the function would be in composing instructional design, in making curriculum (syllabus, teaching materials) diversification, in managing teaching-learning activities, and in administrating achievement test (from test battery to test item analysis). The implementation is that, if we want to up-grade the quality of teachers’ professionalism, our focus must be placed over the area. Key words: teacher’s autonomy, teacher’s professionalism. ____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004 ISSN 0215 - 8250 2 1. Pendahuluan Akhir-akhir ini orang banyak berbicara tentang otonomi pendidikan. Sebenarnya, otonomi pendidikan itu tidak ada artinya jika tidak ada otonomi sekolah,dan otonomi sekolah tidak ada artinya jika tidak ada otonomi guru. Otonomi sekolah itu dalam praktik mewujud dalam bentuk Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS memberi kesempatan besar bagi sekolah untuk melakukan konsep otonomi, dalam arti sekolah harus mandiri bukan hanya dalam hal keuangan melainkan juga dalam berbagai kebijakan pengelolaan sekolah berdasarkan visi dan misi yang disusun sendiri oleh sekolah, dan komponenkomponennya seperti kurikulum, silabus, administrasi, personalia (guru, pegawai, siswa), sarana dan prasarana. Dalam hal otonomi guru kita dapat mengatakan bahwa otonomi itu langsung berhubungan dengan keprofesionalan guru karena dalam beberapa hal guru diberi wewenang untuk mandiri dalam menyusun silabus, merancang desain instruksional, menjalankan metode dan teknik mengajar di depan kelas, dan menyelenggarakan evaluasi hasil belajar. Tulisan ini memfokus kepada hubungan antara otonomi guru dan profesionalisme sebagaimana pernyataan terakhir tersebut. 2. Istilah dan Cakupannya Sudah sekian lama orang Indonesia mengartikan kata profesi sama dengan pekerjaan saja, sehingga orang bisa menyebut seseorang dengan profesi sebagai tukang becak, pencopet, pemulung, dsb. Ini tentu suatu penyimpangan makna di luar proporsinya. Di samping itu muncul pula istilah profesionalitas dan profesionalisme, keduanya kerap kali saling dipertukarkan penggunannya. Dalam bahasa Indonesia kita mengenal empat istilah yang saling berkait, yakni profesi, profesional, profesionalisme, dan profesionalisme. Dalam bahasa Inggris kita temukan bentuk dasar verba profess dengan makna a.l. (1) menyatakan bahwa seseorang mempunyai keperacayaan (kesukaan, minat, dsb.): ____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004 ISSN 0215 - 8250 3 He professes a distaste for modern music. Ia tidak mempunyai selera untuk menikmati musik modern.; (2) menganut suatu kepercayaan (agama) tertentu: profess Islam, ‘menganut Islam’; (3) (formal) mempunyai profesi atau bisnis tertentu: profess law ‘berprofesi dalam bidang hukum’. Dari sini lahir nomina berbentuk profession dengan makna utama pekerjaan, terutama yang menuntut pendidikan lanjutan (tinggi) dan pelatihan khusus seperti hukum, arsitektur,kedokteran, akuntansi, dsb. Muncul pula adjektiva professional, dengan makna (1) mengenai profesi: professional skill ‘keterampilan profesional’; (2) melakukan atau mempraktikkan sesuatu sebagai pekerjaan tetap, dengan bayaran,dan untuk hidup, bukan sambilan (lawannya: amatiran): professional football ‘sepak bola profesional’. Sebagai nomina, profesional (yang biasa disingkat menjadi pro saja) berbarti (1) orang yang mengajar atau terkait dengan olah raga untukmemperoleh uang; (2) orang yang melakukan sesuatu untuk memperoleh bayaran, yang bagi orang lain hanya dipandang sebagai kesenangan (tanpa dibayar): professional musician ‘pemusik profesional’. Jika kita memegang makna ‘orang yang mengajar…’, dapat dipahami bahwa kata profesor bisa terkait dengan kata profesional, karena professor bermakna university teacherof the highest grade, holding a chair of some branch of learning. (Hornby,1986). Jika dalam bahasa Indonesia kita hendak berbicara tentang ‘keadaan’ atau ‘perihal’ profesi, maka dapat dibentuk keprofesian ‘perihal profesi’; dan jika urusannya tentang profesional kita bentuk keprofesionalan, sehingga kita bebas dari persoalan profesionalisme dan profesionalitas.Tapi, persoalannya ialah apakah guru itu profesi? Kalau jawabannya “Ya.”, lalu apakah syaratnya? Berikut ini dicoba dijawab berdasarkan sumber di atas. 3. Apakah Guru itu Profesi? Mari kita mencermati perian tentang kata profesi. Dikatakan di sana, profesi itu (1) merupakan pekerjaan, yang (2) memerlukan pendidikan lanjutan (advance eduacation),yang bagi masyarakat berbahasa Inggris berarti pendidikan ____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004 ISSN 0215 - 8250 4 “di atas SMA”, dan (3) memerlukan latihan khusus. Di Indonesia, seorang guru jelas-jelas memenuhi ketiga syarat perian tersebut. Saya mempunyai profesi sebagai guru, karena pekerjaan saya ialah guru. Untuk mencapai posisi guru itu saya telah mengikuti pendidikan lanjutan di IKIP selama lima tahun. Dan di dalam pendidikan lanjutan itu saya telah diberi latihan khusus di sekolah, baik di SMP maupun di SMA, dan karena itu saya juga memperoleh ijasah sebagai guru dan sertifikat kemampuan mengajar. Keprofesian saya sebagai guru makin diperkuat karena saya bisa menyebut diri sebagai guru yang profesional. Mengapa? Keprofesionalan saya setidak-tidaknya dapat diukur dari perian di atas, yaitu saya telah melakukan pekerjaan tetap bagi hidup saya; saya dibayar untuk pekerjaan tersebut, dan pasti saya melakukannya tidak secara amatiran atau bukan karena sekadar kesenangan. Namun, itu baru di atas kertas. Bagaimana seorang guru itu bisa disebut profesional? Berikut ini dicoba menjawab pertanyaan itu. 4. Ukuran Keprofesionalan Yang jelas dapat dikatakan bahwa kriteria keprofesionalan seorang guru tidak dapat ditentukan oleh si guru sendiri, melainkan ditentukan oleh pihak-pihak yang terkait dan berkepentinagn dengan mereka, misalnya murid, orang tua murid, pemerintah, dan masyarakat (Surya, 2002). Mereka ini sebagian merupakan orang awam dalam dunia pendidikan tetapi berharap akan sosok guru yang “ideal”. Bagi murid, guru ideal itu guru yang mampu memberi motivasi belajar, sumber keteladanan, ramah dan penuh kasih sayang, penyabar, menguasai bahan ajar, mampu mengajar dengan “bagus”. Orang tua berharap agar guru itu menjadi mitra pendidik bagi anak-anaknya, menjadi “orang tua” di sekolah sehingga dapat melengkapi, menambah, dan memperbaiki pola pendidikan di rumah. Pemerintah berharap agar guru bisa menjadi unsur penunjang kebijakan dan program pemerintah di bidang pendidikan. Dari sudut pandang masyarakat luas, guru ____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004 ISSN 0215 - 8250 5 diharapkan menjadi “wakil” masyarakat di dunia pendidikan, dan “wakil” lembaga pendidikan di dalam masyarakat. Seperti kita maklumi, masyarakat itu bersifat normatif bagi dunia pendidikan, dan guru adalah pelestari nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyakatnya (Joni, 1984). Sosok guru semacam itu secara “ilmiah” dikemas dalam berbagai istilah. Ringkasnya, seorang guru yang profesional harus memiliki kompetensi akademik (intelektual), kompetensi pribadi, kompetensi sosial, bahkan kompetensi moralspiritual. Kompetensi akademik diwujudkan oleh pengetahuan dan kemampuan guru dalam bidang ilmu pengetahuan yang digelutinya, mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi secara proaktif, dan kemampuannya dalam mengembangkan ilmu tersebut setidak-tidaknya di dalam kelas. Kompetensi akademik juga perlu ditunjukkan oleh guru dalam bentuk pengetahuan teoretis-filosofis tentang pendidikan dan pengajaran, misalnya Wawasan Kependidikan Guru, serta menerapkan teori dan filsafat itu dalam perilakunya di depan kelas. Pengetahuan teoretis-filosofis ini bisa dipakai untuk mempertanggungjawabkan secara akademik segala perilaku mengajarnya di dalam kelas. Kompetensi pribadi sekurang-kurangnya berhubungan dengan sosoknya sebagai pribadi yang utuh-matang secara fisik dan mental serta emosional. Sebagai insan yang sudah utuh-matang, dia mempunyai motivasi tertinggi yang dalam bahasa Abraham Maslow disebut motivasi aktualisasi diri,bukan motivasi rendahan yang melatarbelakangi tugas keguruannya hanya sekadar untuk mencari makan.(Lihat Dimyati dan Mudjiono, 1999). Dia harus mampu menjadi “guru tanda seru” (“Inilah guru yang baik!”), dan bukan “guru tanda tanya” (“Inikah guru?”, “Guru apa ini?”). Untuk mencapai tingkatan itu guru, menurut Heinz Kock (1981), haruslah terus-menerus mau belajar, sehingga “tingkat persiapan harus lebih tinggi daripada tingkat mengajar”. Atau, dalam bahasa Drost (2002), guru harus selalu melakukan on-going formation, membentuk dirinya sendiri untuk makin bermutu dan bermutu. “Menjadi manusia pembelajar”, kata Andreas Harefa (2000), dan belajar itu tidak mesti di sekolah atau di kampus. ____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004 ISSN 0215 - 8250 6 Kompetensi sosial diwujudkan dalam bentuk kemampuannya dalam berinteraksi dan berkomunikasi secara terbuka dan ikhlas dengan siswa dan rekanrekan guru serta orang tua siswa, dan dengan warga masyarakat tempat mereka tinggal. Memang ada pendapat yang menyatakan bahwa ada sifat-sifat tertentu pada guru yang sulit atau bahkan tidak bisa diubah karena sifat-sifat itu sudah dibawa sejak lahir, apa lagi banyak guru yang menjadi guru bukan karena “panggilan” melainkan karena terpaksa. Lalu muncul cap dan label seperti sukar bergaul, judes, kaku, dsb. Ada pula pandangan bahwa guru harus mempunyai kompetensi profesional agar dapat disebut guru profesional. Kompetensi ini menyangkut sepuluh kompetensi yang pada tahun 1980-an dikenal banyak orang, yakni mulai dari kemampuan guru untuk menyusun desain instruksional (SP/Satpel), menguasai bahan, menyampaikan bahan, menggunakan media, menguasai metode dan teknik, menyusun tes hasil belajar, sampai kepada menganalisis skor hasil tes dan memberikan remedinya. Dari sekian banyak kompetensi yang sudah disebut ada sejumlah kompetensi yang berkaitan dengan otonomi guru. 5. Otonomi Guru dan Wilayahnya Otonomi guru ialah kemandirian guru dalam banyak hal yang mengarah kepada profesi guru. Kemandirian seseorang biasanya diukur dari kematangan fisik, jiwa, sikap, pikiran, kepribadian, dan pengetahuan, serta nilai-nilai. Kemandirian juga ditunjukkan oleh kemampuan seseorang untuk menentukan sikap dan perilakunya sendiri tanpa harus ada campur tangan orang lain, tetapi dia harus berani mempertanggungjawabkan perilaku pilihannya. Sepanjang menyangkut profesi guru, perilaku pilihannya harus dapat dipertanggungjawabkan secara filosofis, secara teoretis-ilmiah, dan secara sosiokultural kepada anak didik, orang tua, sekolah, yayasan, dan masyarakat luas (Sumarsono, 2004, pracetak). Pertanyaan yang dapat dimunculkan ialah di mana otonomi guru itu dapat diterapkan, dan seberapa jauh dapat dilaksanakan? Untuk menjawab pertanyaan ini ____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004 ISSN 0215 - 8250 7 sebaiknya kita lihat dulu seberapa luas wilayah pertanggungjawaban guru dalam dunia persekolahan dan pendidikan. Tugas utama guru ialah mengajar. Pertanyaan di atas tampak sederhana tetapi jika dicermati kita dapat menemukan betapa luasnya lingkup dan cakupan “mengajar” itu, karena persoalannya bukan sekadar “mengajar”, melainkan melibatkan banyak hal. Katakanlah, misalnya, bahwa mengajar itu memerlukan persiapan; setelah itu guru melaksanakan apa yang sudah direncanakan tadi di depan kelas: dia melakukan pengajaran. Setelah pengajaran selesai dia harus melakukan penilaian atau evaluasi, baik evaluasi terhadap proses maupun hasil belajar siswa serta mengajarnya. 5.1 Persiapan Setelah lepas dari dunia kampus, peningkatan mutu seorang guru bergantung kepada dirinya sendiri. Setelah dia ditugaskan sebagai guru dan diberi tugas mengajar, maka dia harus membuat persiapan mengajar, yang mungkin disebut rancangan pengajaran atau desain instruksional. Untuk itu guru (pada saat ini) harus memahami betul: kurikulum, cara menyusun silabus, cara menyusun rencana pelajaran. Itu yang bersifat fisik. Tampaknya juga “sederhana”. Tetapi, sebenarnya ada segudang “persiapan” guru dalam bentuk teori filsafat, teori ilmiah, dan isme-isme lain dalam dunia pendidikan. 5.1.1 Kurikulum Secara umum kurikulum ialah progam pendidikan (formal) yang sekurangkurangnya mengandung (a) tujuan program, (b) isi materi (content), (c) langkahlangkah pengajaran dan pengalaman belajar yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut, dan (d) sejumlah perangkat penilaian (assessment) untuk mengukur apakah tujun tadi tercapai atau tidak. Hanya saja, Anda tentu ingat ada istilah kurikulum tersembunyi (hidden curriculum), yakni tujuan-tujuan tertentu ____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004 ISSN 0215 - 8250 8 yang tidak dapat dituliskan dalam kurikulum tetapi beada di balik apa yang ditul iskan di dalam kurikulum. Yang patut diperhatikan ialah bahwa kurikulum itu memberi peluang untuk membuat diversifikasi kurikulum, keanekaragaman kurikulum, atau keberagaman kurikulum, sesuai dengan ciri daerah, ciri sekolah, dan ciri siswa. Di situlah letak pentingnya otonomi guru. Gurulah yang dianggap paling tahu tentang kondisi daerah, sekolah, dan terutama siswanya. Di sinilah otonomi guru berfungsi, dan di sinilah guru menemukan batu uji. 5.1.2 Silabus Di dalam Kurikulum 2004, silabus itu hakikatnya ialah penjabaran dari kurikulum. KBK memberi petunjuk bahwa silabus itu (a) merupakan seperangkat rencana dan pelaksanaan pembelajaran beserta penilaiannya, (b) merupakan wujud operasionalisasi (atau pelaksanaan) kompetensi dasar, penguraian materi pokok, kegiatan pembelajaran, dan penilaian serta alokasi waktu; (c) silabus itu tidak seragam, terjadi diversifikasi (penganekaragaman); (d) silabus itu disusun oleh guru, MGMP (untuk SMP/SMA/SMK), KKG (untuk SD), Dinas Pendidikan. Kemudian dijelaskan sejumlah unsur (komponen) dalam silabus (Lihat Pengembangan Silabus Kurikulum Berbasis Kompetensi, Puskur, Balitbang, Depdiknas, Juni 2002), a.l., (a) penulisan kompetensi dasar berguna untuk mengingatkan guru seberapa jauh tuntutan sasaran kemampuan (target kompetensi) yang harus dicapai (Ingat TIU pada kurikulum terdahulu.); (b) hasil belajar, mencerminkan kemampuan siswa dalam memenuhi suatu tahap pencapaian pengalaman belajar dalam kompetensi dasar; (c) indikator, merupakan “kompetensi dasar yang lebih spesifik”; (d) langkah pembelajaran, memuat rangkaian kegiatan yang harus dilakukan guru secara berurutan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Sekarang guru diminta untuk memahami istilah diversifikasi. Yang sukar barang kali ialah bagaimana menemukan dan ____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004 ISSN 0215 - 8250 9 menetapkan (mengidetifikasi) ciri-ciri khas (karakteristik) dan jati diri (identitas) siswa, sekolah, dan lingkungan sekolah. Dalam hal penyusunan silabus masih ada ruang bagi guru untuk memerankan otonominya jika dia merasa dirinya mampu. Pedoman mengatakan bahwa silabus dimungkinkan untuk disusun oleh guru, bisa satu orang atau sekelompok guru. Kompetensi dasar, yang menjadi tuntutan standar nasional, memang tidak boleh disusutkan. Begitu pula hasil belajar dan indikator. Tetapi, ihwal rancangan kegiatan belajar, otonomi guru harus berfungsi, karena gurulah yang akan menjalankan rancangan itu di dalam kelas. Lebih-lebih dalam pelaksanaannya, dalam proses belajar-mengajar, otonomi guru mutlak terjadi. 5.2 Pengelolaan Kelas Sebuah kelas merupakan suatu satuan utuh, mencakup unsur yang kelihatan dan yang tidak kelihatan. Unsur yang tampak secara fisik ialah ruangan dengan segala isinya, siswa dan guru; bahan ajar yang akan disajikan, alat peraga. Unsur yang tidak tampak ialah suasana kelas, suasana hubungan manusiawi antara guru – siswa, dan siswa – siswa. Yang juga tidak tampak ialah kesiapan siswa untuk belajar dan kesiapan guru untuk mengajar. Di dalam hal inilah guru secara mutlak memiliki otonomi untuk mengelola kelas. Dia menjadi direktur (pengarah, pengelola, pemimpin), menjadi derigen (yang akan mengatur jalannya “simponi”) (DePorter dkk.,2000), menjadi seniman (yang secara kreatif mengatur suasana gembira dalam belajar) (Suparno,1997), menjadi moderator (yang mengatur lalulintas interaksi antarsiswa dan antara guru–siswa), menjadi intelektual (yang mengelola ilmu dan mengembangkannya di kelas) (Suparno,1997), menjadi fasilitator (pemberi kemudahan siswanya untuk belajar). Dia juga harus berpikir jauh ke depan tentang tujuan-tujuan “pendidikan” yang menjadi hidden curriculum, dengan memikirkan bahwa suasana kelas merupakan bagian dari kurikulum. Suasana kelas itu haruslah suasana yang mendidik, bukan sekadar ____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004 ISSN 0215 - 8250 suasana untuk “mengajar”. Di sinilah guru harus mempertanggungjawabkan perilakunya secara filosofis dan teoretis. 10 mampu 5.3 Evaluasi Evaluasi atau penilaian dapat dibagi menjadi dua wilayah yaitu penilaian terhadap proses belajar dan penilaian terhadap hasil belajar. Dalam kurikulum baru sekarang dinyatakan, antara lain, adanya penilaian berbasis kelas.. Dalam pelaksanaannya dilakukan penilaian berkelanjutan yang lebih akurat dan konsisten sebagai akuntabilitas (pertanggungjawaban) publik melalui penilaian terpadu dengan kegiatan belajar di dalam kelas (berbasis kelas) dengan mengumpulkan kerja siswa portofolio), hasil karya (produk), penugasan (proyek), kinerja, dan tes tertulis. Semua itu berarti, (1) bagi mereka yang menjadi guru kelas, seperti di SD, evaluasi untuk hampir semua mata pelajaran (kecuali agama, olah raga, bahasa Inggris, muatan lokal) menjadi tanggung jawabnya, dan (2) bagi mereka yang menjadi guru mata pelajaran, seperti di SMP dan SMA, penilaian terbatas pada satu mata pelajaran saja. Tetapi jelas sekali bahwa dalam hal penilaian ini otonomi guru besar sekali. Dia yang paling tahu karakteristik siswanya, dia yang paling otonom dalam mengelola kelas dan menyajikan pelajaran, dan dia yang paling otonom memberikan tugas, memberikan ulangan (tes), mengamati perilaku tiap siswa di dalam kegiatan kelas, dia yang mengumpulkan karya siswa, dan dia pula yang membuat butir soal untuk tes dan dia pula yang memberi nilai untuk berbagai kegiatan. Betapa besar “kekuasaan” guru dalam otonomi itu dan sekaligus betapa besar tanggung jawab guru dalam menentukan “nasib” siswanya. Itulah sebabnya, kurikulum ini memberi rambu-rambu: (1) penilaian itu harus berkelanjutan (agar perkembangan kompetensi siswa diamati terus-menerus), (2) penilaian itu harus akurat (sesuai dengan yang seharusnya) dan konsisten (terutama dalam penentuan benar dan salahnya jawaban), (3) penilaian merupakan bagian dari tanggung jawab guru terhadap publik (yaitu orang tua murid dan masyarakat, sehingga penilaian ____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004 ISSN 0215 - 8250 11 harus terbuka dan transparan); (4) penilaian harus komprehensif: bukan hanya dari tes hasil belajar melainkan juga dari pengamatan guru terhadap murid di dalam kelas; bukan hanya menilai segi intelek, melainkan juga segi afektif (sikap), dan psikomotor. Ini semua berarti bahwa guru itu harus jujur sejujur-jujurnya dalam menilai; dan adil (tanpa pilih kasih, tanpa ada anak emas dan anak tiri). Tanpa kejujuran dan keadilan, otonomi yang dipercayakan kepadanya akan tidak punya arti apa pun. 6. Penutup Jika kita telah mengetahui bahwa wilayah keotonomian guru terletak pada keempat ruang tersebut, dan kita bermaksud untuk meningkatkan mutu keprofesionalan guru, maka di keempat ruang itulah seharusnya fokus kita letakkan. Guru perlu diberdayakan agar mampu membuat silabus agar diversifikasi kurikulum terwujud. Mereka juga harus memahami secara mendalam teori-teori tentang filsafat konstruktivisme, kognitivisme, humanisme, kecerdasan ganda. CBSA, keterampilan proses, dan E-learning untuk mendukung kemampuan mengajarnya di dalam kelas. Yang tidak kurang pentingnya ialah guru harus diberdayakan betul-betul agar mampu membuat butir tes yang andal karena kelak evaluasi hasil belajar terletak di tangan sekolah, bukan UAN lagi. DAFTAR PUSTAKA DePorter, Bobbi, dkk.1999. Quantum Teaching. Bandung: Kaifa. Dimyati dan Mudjiono. 1999. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Drost,J. 2002. “On Going Formation bagi Seorang Guru”. KOMPAS.14 Februari 2002. Harefa, Andrias. 2000. Menjadi Manusia Pembelajar. Jakarta: Kompas. Joni, T.Raka. 1984. Wawasan Kependidikan Guru. Jakarta: Dirjen Dikti, P2LPTK. Kock, Heinz. 1981. Saya Guru yang Baik!?. Yogyakarta: Kanisius. ____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004 ISSN 0215 - 8250 12 Sumarsono. 2004 (pracetak). Otonomi Pendidikan. Jakarta: Komdik KWI Surya, M. 2002. “Guru, antara Harapan, Kenyataan, dan Keharusan”, dalam Tilaar,H.A.R. Pendidikan untuk Masyarakat Baru. Jakarta: Grasindo. ____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004