ISSN 0215 - 8250 95 STRATEGI PENINGKATAN DAN PENGEMBANGAN KEPROFESIONALAN GURU BAHASA INDONESIA SEBAGAI PENGAJAR SASTRA DALAM MENGANTISIPASI KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI DI ERA GLOBALISASI oleh Gede Gunatama Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, IKIP Negeri Singaraja ABSTRAK Salah satu sasaran yang ingin dicapai dalam pendidikan adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), khususnya peningkatan dan pengembangan keprofesionalan guru. Berkaitan dengan itu, dewasa ini masih terdengar sinyalemen yang menyatakan bahwa pengajar bahasa Indonesia yang mengajarkan bidang sastra dewasa ini masih keliru karena dianggap kurang apresiatif dan terkesan teoretis serta kurang berbasis kompetensi. Akan tetapi, dilihat dari permasalahan yang ada, maka diperlukan strategi peningkatan dan pengembangan keprofesionalan guru, khususnya guru bahasa Indonesia sebagai pengajar sastra. Diperlukannya strategi itu, untuk menciptakan suasana yang menyenangkan, mengesankan, dan mengakrabkan sehingga siswa akan senang belajar, berkreasi, berkomunikasi, baik terhadap dirinya sendiri, sesamanya, gurunya, lingkungannya maupun dapat menghadapi serta menguasai persoalan hidupnya. Kata kunci : strategi, keprofesionalan guru, kurikulum berbasis kompetensi ABSTRACT One of the targets to be achieved in education is the improvement of the human resources quality (SDM), specifically the improvement and development of teachers’ professionalism. Concerning the target of the education, it is still observed that the Indonesian teachers that teach literature are not teaching appropriately, because they are considered to be less appreciative and mostly theoretical. The teaching activities are not really on the basis of competency based curriculum. Considering the nature of the problems, however, the strategy of improving and developing the teachers’ professinalism is required, specifically for ____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004 ISSN 0215 - 8250 96 Indonesia teachers that teach literature. The strategy is required to create a conducive, impressive and close relationship environment that can help the student to be happy and creative learners. Besides, the strategy can also help the students communicate to themselves, their friends, their teachers and their environments, and can master their lives’ problems. Keywords : strategy, teacher’s professionalism, competency based curriculum 1. Pendahuluan Pendidikan di alam demokrasi merupakan suatu usaha yang sadar untuk menyiapkan peserta didik dalam perannya di masyarakat, baik bersifat individu maupun sosial. Pendidikan yang bersifat individu adalah pendidikan yang memperhatikan aspek pribadi, sedangkan yang bersifat sosial mengaitkan aspek pribadi dengan sesama manusia untuk hidup bermasyarakat. Salah satu sasaran yang ingin dicapai dalam bidang pendidikan adalah peningkatan sumber daya manusia (SDM), khususnya peningkatan dan pengembangan keprofesionalan seorang guru. Karena itu, diperlukan pendidikan yang berkualitas tinggi melalui pendidikan formal. Dalam kaitannya dengan peningkatan dan pengembangan keprofesionalan guru, maka penting adanya keterlibatan para guru dan pihak-pihak yang lain. Keterlibatan komponen itu merupakan penentu berhasil tidaknya suatu perubahan dan pembangunan suatu bangsa ataupun daerah, terutama di era otonomi daerah. Konsekuensi logis dari pelaksanaan otonomi daerah, khususnya di bidang pendidikan merupakan tanggung jawab daerah. Itu berarti, implementasi otonomi daerah, khususnya di bidang pendidikan merupakan pemberian otonomi seluasluasnya kepada sekolah, termasuk keleluasaan peningkatan dan pengembangan kemampuan keprofesionalan guru. Dengan harapan, guru harus dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab keprofesionalannya yang memadai. Dengan kata lain, guru adalah tenaga profesional yang memiliki kemampuan keprofesionalan, personal, dan sosial (Surachmad, 1983). Inipun, kalau para guru memiliki pendidikan dan pengalaman yang profesional. ____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004 ISSN 0215 - 8250 97 Keprofesionalan guru sudah menjadi perhatian masyarakat, terutama yang berkecimpung di dunia pendidikan. Tentunya, ada kebebasan bersaing dalam memasuki era global dan sudah seharusnya para guru melakukan instrospeksi untuk menghasilkan kualitas diri sehingga tidak terlalu jauh ketinggalan dengan guru-guru lainnya. Pendidikan tersebut dapat dilaksanakan dalam dua jalur, yakni (1) jalur sekolah dapat dilakukan melalui (program Diploma, S-1, S-2, atau S-3) ataupun melalui kegiatan pengembangan profesi, dan (2) jalur luar sekolah, dapat dilakukan melalui penataran, pelatihan, kursus, seminar, diskusi, lokakarya, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang sejenis. Ini berarti, nantinya sebagai seorang profesional, guru dituntut dapat memberikan layanan ahli dan dapat mengevaluasi unjuk kerjanya sebagai balikan bagi upaya peningkatan kualitas proses pembelajaran sesuai dengan bidang ilmu atau akademiknya. Jika hal itu dikaitkan dengan UU No. 22 Tahun 1999 berarti guru memiliki peluang dengan leluasa untuk mengembangkan dirinya sebagai tenaga profesional yang mampu mengadakan pembaharuan sistem pendidikan dalam mentransfer ilmu dan keterampilan kepada peserta didik yang dilaksanakan secara terpadu dengan keprofesionalannya. Tentunya, tulisan ini akan membahas beberapa permasalahan, yakni (1) strategis peningkatan keprofesionalan seorang guru bahasa Indonesia sebagai pengajar sastra, dan (2) pengembangan keprofesionalan seorang guru bahasa Indonsia sebagai pengajar sastra di era globalisasi. 2. Pembahasan 2.1 Strategi Peningkatan Keprofesionalan Guru Bahasa Indonesia sebagai Pengajar Sastra Pengajaran sastra dewasa ini seharusnya mendapat perhatian yang memadai, baik kedudukannya, metode maupun strategi pembelajarannya. Berkaitan dengan masalah tersebut hingga kini masih terdengar sinyalemen yang menyatakan bahwa pengajar sastra dewasa ini masih keliru karena dianggap kurang apresiatif atau kurang mengajarkan nilai-nilai sosial yang terkandung ____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004 ISSN 0215 - 8250 98 dalam karya sastra (Moody, 1968), tetapi lebih banyak pembelajarannya ke teori. Di pihak lain, yang mengajarkan sastra kebanyakan dirangkap oleh guru bahasa Indonesia sehingga penyajian sastra di sekolah atau di kelas kurang memuaskan. Para praktisi sastra menuduh bahwa salah satu faktor penyebab “gagalnya” pengajaran sastra di sekolah-sekolah selama ini adalah kurang bersungguhsungguh atau terlalu leluasa guru bahasa Indonesia dalam mengajarkan sastra kepada siswanya. Guru, umumnya tampil di kelas (Harras, 1991) hanya sekadar “memberikan pengajaran meninjau” (the survey course) dan ada kecenderungan mengikuti norma-norma yang tersusun dalam kurikulum. Itu berarti, guru lebih banyak menyuruh siswa-siswanya menghafalkan sejumlah pengetahuan tentang sastra, seperti menghafal nama-nama sastrawan dan karyanya, nama-nama angkatan, aliran-aliran sastra, dan yang sejenisnya, padahal bahan-bahan yang bersifat kognitif itu seharusnya menjadi konsumsi siswa. Kondisi pengajaran sastra seperti itu, di pihak guru menangkis tuduhan yang dilontarkan kepadanya dengan berorientasi kurikulum yang dianggap “kurang jelas” atau materinya belum memperoleh bentuknya dan tampak masih menempel pokok bahasan sastra dalam materi bahasa Indonesia. Hal itu memang benar, bahwa materi pengajaran sastra dengan bahasa tercakup dalam satu wilayah mata pelajaran bahasa Indonesia. Sesungguhnya, mata pelajaran antara bahasa dan sastra mempunyai wilayah kajian atau karakteristik dan tujuan yang tersendiri. Sementara itu, banyak orang menuntut bahwa pengajaran sastra di sekolah-sekolah kepada siswa harus difokuskan pada upaya untuk memiliki kemampuan apresiasi, dan kemampuan memiliki sikap serta nilai kehidupan dan keindahan. Ironisnya, kelemahan pengajaran sastra di sekolah-sekolah adalah kurangnya guru-guru bahasa Indonesia memiliki minat bersastra, kurang memiliki daya apresiasi, kurang memiliki daya gairah dan simpatik terhadap karya sastra (Witherington, 1950), kurang memiliki kemampuan memburu (Culler, 1977), menangkap, menggauli makna karya sastra, dan kurang memiliki proses pengakraban karya sastra kepada siswa serta kurang memiliki rasa keindahan terhadap karya seni. ____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004 ISSN 0215 - 8250 99 Kemudian dalam nada yang sama, Saleh dalam Harras (1991) juga mengatakan bahwa pengajaran sastra di sekolah, sebaiknya dipisahkan dengan pengajaran bahasa agar para guru yang tidak berminat kepada bidang sastra tidak bisa dipaksakan mengajarkannya. Karena menurutnya, selama ini, baik di sekolahsekolah maupun di IKIP, sastra hanya diberikan sekadar untuk mengejar SKS. Akibatnya, peserta didik dan mahasiswa hanya diperkenalkan pada sastra hanya sebatas permukaan, tidak mendalam, bahkan tidak memberikan kesan nikmat dari wujud seni sastra itu sendiri. Berbeda halnya dengan Kurikulum 2004, yang di dalamnya memiliki berbagai aspek kompetensi minimal untuk setiap bidang studi yang sudah dirumuskan pada kurikulum bidang studi masing-masing, yang dikatakan sebagai Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Khususnya, jumlah kompetensi umum yang dimiliki untuk mata pelajaran bahasa, dan sastra Indonesia hanya enam kompetensi umum (Balitbang, 2001). Tentunya di sini, diperlukan juga guru bahasa Indonesia yang harus memiliki kemampuan dalam menyusun sendiri silabus, menyusun desain instruksional, menggunakan metode dan teknik mengajar di depan kelas sesuai dengan mata pelajaran yang diampunya masingmasing dan sesuai dengan tanggung jawabnya di kelas. Dikatakan demikian, melalui pengamatan dan mendengar keluhan-keluhan guru masih banyak yang bingung, ragu-ragu, dan tidak memahami, apa itu Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang sebenarnya, apakah kurikulum itu dapat mengukur seberapa jauh siswa memiliki pengetahuan, penguasaan, dan kompetensi minimal terhadap suatu bidang ilmu, pengetahuan, keterampilan, dan keahlian tertentu sebagai bentuk proses pendidikan yang diikutinya, dan apakah kurikulum ini lebih baik daripada kurikulum yang telah ada, seperti kurikulum 1954, 1961, 1968 (pendekatan materi pelajaran), 1984 (pencapaian tujuan pembelajaran), dan 1994 (pendekatan tematis) serta yang terakhir 2002 (aspek kompetensi minimal). Berkaitan dengan permasalahan ini, maka diperlukan guru yang mempunyai sikap profesional. Dengan kata lain, guru mampu mengembangkan profesinya melalui berpikir kreatif, kritis, reflektif, ekspresif, inovatif, tidak selalu menunggu petunjuk dari atas, mau melatih diri, dan siap melaksanakan proses pembelajaran sastra, baik ____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004 ISSN 0215 - 8250 100 yang apresiatif maupun yang berdasarkan KBK serta mau belajar sepanjang zaman. Guru yang profesional adalah guru yang mempunyai banyak ide dan kritis dengan situasi yang ada karena apa yang sudah dikerjakan dulu dianggap tidak berkembang dan dianggap tidak dapat mengatasi persoalan hidup yang dihadapi siswa. Dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) telah disebutkan bahwa tugas utama guru adalah membantu siswa menguasai kompetensi yang diharapkan dikuasai dan dimiliki. Agar tugas itu dapat diaktualisasikan dengan baik, diperlukan pengembangan kemampuan sikap profesional guru, seperti pengembangan kemampuan kepribadian, pengembangan dalam bidang studi, dan pengembangan dalam pendidikan/pembelajaran (Depdiknas, 2001). Oleh karena itu, kompetensi di atas dapat dikembangkan bila guru mau meningkatkan diri terus belajar, melatih diri untuk mampu memahami proses pembelajaran dan mampu memahami konteks materi pembelajaraan itu dengan masyarakat, lingkungan, ilmu lain, dan mau mengembangkan diri agar mempunyai wawasan pengetahuan yang lebih luas sehingga secara profesional guru dapat dengan mudah mengimplementasikan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) di era globalisasi. Pengalaman belajar yang diinginkan dalam KBK tersebut bukan sekadar pengalaman belajar yang menjadikan peserta didik memiliki pengetahuan, sikap, dan keterampilan saja, tetapi lebih dari itu, yakni agar peserta didik memiliki life skills, khususnya life skills yang non-vocational. Dengan kata lain, pendidikan ini perlu diberikan kepada peserta didik untuk mampu hidup di era globalisasi yang diharapkan siap bersaing di dalam negeri ataupun luar negeri. Hal itulah pemerintah mengambil kebijakan untuk menerapkan pendidikan life skills ini pada semua jenjang pendidikan. Semuanya itu, tentulah memerlukan guru sastra yang profesional atau yang cukup andal di bidangnya (Darma, 1981). Artinya, guru sastra yang dapat mencari suasana penyampaian pengajaran yang menggairahkan, menyenangkan, mengakrabkan karya sastra, dan mengajarkan sastra yang yang bersifat apresiatif, reseptif, dan produktif, di samping memberikan pengetahuan. Sesungguhnya, guru sastra itu bukanlah guru tukang mengkhayal, melainkan seorang seniman kreatif - kritis ____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004 ISSN 0215 - 8250 101 reflektif - ekspresif - reseptif, dan intelektual, yang harus terus menyesuaikan diri dengan situasi dan persoalan hidup yang dihadapinya. Hal semacam inilah merupakan problema yang dilematis di kalangan guru-guru bahasa Indonesia yang mengajar sastra. Jika, terlalu banyak menekankan pembelajaran sastra pada segi apresiatif akan berakibatkan ketinggalan pemilikan pengetahuan sastra di kalangan siswa. Demikian pula sebaliknya. Berdasarkan tuntutan Kurikulum Berbasis Kompetensi diharapkan guru benar-benar mempunyai pengalaman belajar yang menjadikan peserta didiknya tidak hanya memiliki pengetahuan, sikap, dan keterampilan, melainkan memiliki kecakapan hidup. Ini berarti, indikator utama dari keprofesionalan seorang guru yang diharapkan adalah adanya keseimbangan antara penguasaan materi pembelajaran dan keluasan wawasan kependidikannya, dalam hal ini Dantes (1996) mengatakan harus memiliki tanggung jawab filosofis, yang menyikapi dan memberikan tugasnya, di samping meningkatkan kualitas manusia dalam artian, “memanusiakan manausia”. Jadi, apa yang diharapkan olehnya agar guru (guru bahasa Indonesia) mampu berperan optimal dalam kelancaran roda sistem dan pengembangannya, ia memerlukan seperangkat pengetahuan, keterampilan, cara pembelajaran, dan sikap, baik yang diperoleh melalui program prajabatan maupun dalam jabatan. Itu artinya, kemampuan dasar keprofesionalan seorang guru adalah dapat mengelola dan mengkondisikan siswa dan lingkungannya dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Dengan kemampuan itulah diharapkan siswa berkembang menjadi manusia yang lebih mandiri dan kreatif dalam menghadapi kehidupan ini di bersama-sama dengan orang lain masyarakat. Dalam kaitan inilah, cara tersebut perlu diterapkan oleh guru dalam pembelajaran sastra dengan pola strategi mengajar (strategies of instrukction) dalam menanamkan apresiasi dan memberikan pengetahuan. Davies (1981) “strategi mengajar” (strategies of instruction), yakni sebagai “rancangan menyeluruh perbuatan pembelajaran yang serasi bagi pencapaian tujuan pembelajaran”. Tentunya, pola strategi pembelajaran ini diharapkan terjadinya perbuatan atau diperagakan antara guru-siswa di dalam bermacam-macam ____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004 ISSN 0215 - 8250 102 peristiwa pembelajaran (Joni, 1980). Kemudian, apresiasi berhubungan dengan sikap, keterampilan, dan nilai. Di dalamnya mencakup penikmatan, penerimaan, perbuatan, penanggapan, dan penilaian. Pengetahuan meliputi informasi dan konsep. Atau dengan kata lain,.pengajaran sastra harus mengarah pada peningkatan kapasitas perasaan dan pikiran. Wujud konkretnya adalah siswa diberi kesempatan dan didorong untuk bergaul dan bermain atau berperan dengan karya sastra sehingga siswa menggemari, mampu menikmati, dan mereaksi karya-karya sastra (Jabrohim, 2002). Pola ini sejalan dengan Wardani (1981) bahwa guru sastra yang profesional adalah guru sastra yang mengajarkan sastra secara apresiatif harus melalui beberapa tingkatan, yakni (1) tingkatan menggemari, yang ditandai oleh adanya rasa tertarik pada buku-buku serta keinginan membacanya; (2) tingkat menikmati, yakni mulai dapat menikmati karya sastra karena mulai tumbuhnya pengertian,; (3) tingkat mereaksi, yakni mulai ada keinginan untuk menyatakan pendapat tentang karya sastra yang dinikmati, misalnya menulis sebuah resensi, berdiskusi tentang sastra, dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan sastra; (4) tingkat produktif, yakni mulai ikut menghasilkan sebuah karya sastra. Berdasarkan strategi itu, sekolah, kelas, dan guru akan berubah menjadi lingkungan atau tempat dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan bersastra yang apresiatif kepada siswa, sedangkan guru menjadi layanan ahli dalam memfasilitasi berupa pengetahuan dan metodologi atau model pembelajaran sebagai dimensi wawasan kependidikan yang direpresentasikan dalam kegiatan-kegiatan atau keterampilan memilih alternatif dan pada akhirnya mengambil keputusan tentang strategi pembelajaran bersastra yang apresiatif kepada siswa sesuai dengan tugas guru dalam profesinya yang bersifat praktis. Kegiatan ini boleh dikatakan, lebih menekankan pada strategi peningkatan penguasaan pengetahuan, keterampilan, cara pembelajaran, sikap dalam mengelola pembelajaran yang baru dan praktis sesuai dengan tuntutan pengembangan keprofesionalan seorang guru, dan dapat memberikan pengalaman belajar siswa yang diturunkan dari kompetensi dasar yang memuat kecakapan hidup (life skills)--untuk pembelajaran sastra, life skills itu paling tidak memuat hidup tentang kesadaran diri, kecakapan berpikir, ____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004 ISSN 0215 - 8250 103 kecakapan sosial, kecakapan emosional, kecakapan menikmati, kecakapan menilai, kecakapan berkreasi, kecaakapan spiritual, dan kecakapan akademik. Dengan demikian, bahwa variabel guru dan siswa menjadi sangat penting bila dikaitkan dengan peristiwa pembelajaran sastra di sekolah sebagai representasi keprofesionalan seorang guru. Hal ini didasarkan atas pemikiran bahwa guru sastra mempunyai peranan penting dalam memanajemen dan mengkondisikan siswa serta lingkungannya dalam pembelajaran sastra untuk mencapai tujuan pembelajaran--dalam hal ini pembelajaran sastra yang telah ditetapkan. Begitu pula siswa, dalam hal ini sebagai individu yang melakukan tindak belajar yang berinteraksi dengan lingkungan sebagai sumber belajar yang difasilitasi oleh peran guru dan guru itu sendiri sebagai layanan ahli yang memfasilitasi pengetahuan dan pengalaman belajar kepada siswa melalui proses pembelajaran. Dengan mengenal siswa, maka guru dapat memberikan pelayanan atau membantu siswa belajar lebih baik sehingga seluruh potensi yang ada dalam diri siswa dapat dikembangkan. Jadi, kedekatan guru dengan siswa menjadi penting dalam pembelajaran tersebut. Siswa mau belajar bila ia menyenangi dan dapat memberikan kesan, baik terhadap dirinya maupun bahan itu serta menyenangi gurunya. Oleh karena itu, penting bagi bidang studi, dalam hal ini guru bahasa Indonesia yang mengajar sastra menciptakan suasana yang menyenangkan dan mengesankan, serta mengakrabkan suasana sehingga siswa senang dan mau belajar, berkreasi, dan berkomunikasi, baik terhadap dirinya, sesamanya, gurunya, dan lingkungannya atau masyarakatnya. 2.2 Pengembangan Keprofesionalan Guru Bahasa Indonesia sebagai Pengajar Sastra di Era Globalisasi Memasuki era globalisasi merupakan persaingan bebas dalam penampilkan kemajuan teknologi dan informasi. Penampilan ini akan mengakibatkan tidak ada negara yang mengisolasikan diri terbebas dari negara lain. Kehadiran itulah akan menimbulkan tidak ada larangan membatasi masuk-keluarnya produk asing, sumber daya manusia, dan teknologi dari dan ke negara lainnya. Akibatnya, ada ____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004 ISSN 0215 - 8250 104 persaingan bebas sehingga dapat merugikan negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia. Negara yang sedang berkembang akan disaingi dan akan dapat dijatuhkan oleh negara-negara maju karena negara-negara tersebut sudah memiliki kemampuan teknologi dan sistem informasi yang tinggi dan canggih sehingga akan mudah menguasai pasaran ke seluruh dunia. Situasi dan kondisi seperti ini, akan terjadi penjajahan di bidang ekonomi oleh negara-negara maju terhadap negara-negara yang sedang berkembang. Inipun akan berdampak juga pada persaingan sumber daya manusia (SDM), khususnya guru, termasuk guru bahasa Indonesia. Dengan adanya persaingan bebas, maka terjadi pengerahan guru antarnegara yang saling bersaing untuk menguasai pekerjaan di bidang keguruan dan kependidikan. Lebih-lebih pemerintah telah mengeluarkan kebijakan berupa pemberdayaan daerah, yang tertuang dalam UU RI NO.22/1999 tentang otonomi daerah. Dalam UU RI NO.22/1999 menjelaskan bahwa pemberian otonomi dimaksudkan untuk lebih memandirikan daerah dan memberdayakan masyarakat dengan penuh tanggung jawab. Jadi, yang mendasar dari undang-undang tersebut adalah upaya untuk melakukan perubahan dan penyesuaian kebutuhan masyarakat; upaya untuk mendorong memberdayakan masyarakat, menambah prakarsa dan kreativitas serta meningkatkan peran serta masyarakat secara luas; upaya untuk melakukan perubahan dan penyesuaian mewujudkan sistem pendidikan yang demokratis, memperhatikan keragaman kebutuhan, keadaan daerah, dan peserta didik serta mendorong peningkatan partisipasi masyarakat. Itu berarti, pemerintah telah melimpahkan kewenangan kepada daerah otonom untuk mengurus daerahnya sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat, termasuk peserta didik dan guru serta memperhatikan aspirasi yang berkembang di daerah dalam lingkup negara kesatuan. Tentunya, kewenangan yang diberikan itu, termasuk juga dalam mengelola di bidang pendidikan dan pengoptimalan sumber daya manusia (SDM), kemungkinan termasuk mengimpor guru dan ahli pendidikan dari negara lain. Keadaan seperti ini mungkin saja akan terjadi pada guru ? Alasannya, mungkin ____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004 ISSN 0215 - 8250 105 kurang puas terhadap kualitas produk dalam negeri karena sumber daya manusia (guru) kurang kompeten atau kurang profesional dalam bidangnya. Oleh karena itu, dalam memasuki era globalisasi sudah sepantasnya guru melakukan perbaikan diri untuk meningkatkan kualitas melalui peningkatan kemampuan dengan melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi ataupun melalui kegiatan pengembangan profesi sehingga dapat mengkontribusi keluaran pendidikan yang bekualitas pula. Berkaitan dengan itu, menurut Dantes (1996) bahwa perilaku seorang guru sebagai pekerja profesional mencerminkan tiga hal pokok, yakni (1) thoughtfullness, (2) adaptability, dan (3) cohesiveness. Dimensi pertama, thoughtfullness, yaitu peningkatan pengetahuan dan keterampilan guru yang dicapainya dapat dilaksanakan melalui pendidikan prajabatan atau melalui jalur sekolah dan berbagai tambahan pengalaman yang didapatkannya selama berada di dalam jabatan tersebut, yang dapat dipertanggungjawabkan. Kegiatan-kegiatan seperti itu, dapat dilaksanakan melalui penataran, pelatihan, diskusi, seminar, lokakarya, baik yang dilakukan oleh perguruan tinggi maupun dinas pendidikan. Misalnya, guru sastra dalam menyampaikan atau mengembangkan materi pembelajaran harus disesuaikan dengan keilmuan dan pengajaran sastra harus mencapai taraf apresiatif. Dimensi kedua, adaptability, sebagai guru yang profesional harus dapat mengadaptasikan dan menggeneralisasikan konsep-konsep teoretis yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan dengan situasi dan kondisi pada saat proses pembelajaran berlangsung serta tujuan pembelajaran. Misalnya, guru sastra sebelum proses pembelajaran sastra dimulai, hendaknya terlebih dahulu memilih bahan harus memperhatikan nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam karya sastra, yang akan diajarkan dengan memperhatikan tujuan dan pokok bahasan yang dituntut oleh kurikulum. Dimensi ketiga, cohesiveness, sebagai guru yang profesional dalam melaksanakan proses pembelajaran harus penuh dengan dedikasi yang berpedoman pada aturan-aturan, prosedur-prosedur, norma-norma yang berlaku bagi kemaslahatan orang lain. Misalnya, sebagai guru yang profesional dalam memilih bahan pembelajaran sastra (novel atau puisi), yang harus dilakukan guru adalah mengenali identitas novel atau puisi, kemudian ____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004 ISSN 0215 - 8250 106 membacanya, dan akhirnya mempertimbangkan apakah novel atau puisi tersebut dapat dan/atau akan disajikan atau tidak. Jika guru berkesimpulan bahwa novel atau puisi tersebut akan dipakai sebagai bahan pembelajaran, ia harus melakukan tindakan berikutnya, yakni memberikan bantuan untuk memudahkan siswa mampu memahami dan menanggapi serta mendiskusikan novel atau puisi tersebut. Bantuan yang diberikan guru kepada siswa bisa berupa memperkenalkan identitas novel atau puisi tersebut guna membangkitkan minat siswa untuk membacanya. Bantuan ini lebih lanjut diberikan sebagai introduksi. Setelah itu, barulah guru memberikan tugas agar siswa membaca kembali novel atau puisi tersebut di rumah karena tugas ini termasuk tingkat apresiaisi yang tinggi (Eliot dalam Hayword, 1958). Pada pertemuan berikutnya, novel atau puisi itu dipakai sebagai bahan pembelajaran. Selain upaya pengembangan profesi guru di atas, ada upaya alternatif lain yang dapat meningkatkan pengembangan profesi tersebut. Upaya yang dapat ditempuh guru, ternasuk guru bahasa Indonesia sebagai berikut. (1) Peningkatan pengetahuan sastra dan kemampuan guru sastra melalui keikutsertaan dalam kegiatan-kegiatan bersastra, seperti penataran, pelatihan, penyerapan, pemantapan, pembekalan pengendalian mutu guru sastra, seminar sastra, lokakarya sastra, diskusi sastra, baik yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi, lembaga bahasa, maupun dinas pendidikan ataupun instansi lainnya. (2) Mengikuti pertemuan atau kelompok-kelompok kerja ilmiah secara rutin di bidang sastra. (3) Peningkatan pelatihan penulisan karya ilmiah guru di bidang sastra yang dilaksanakan secara rutin ataupun terprogram. (4) Menerbitkan jurnal pendidikan sastra untuk menampung tulisan-tulisan sastra yang dihasilkan guru sastra. (5) Meningkatkan dan mengefektifkan kerja sama dinas pendidikan dengan perguruan tinggi setempat, untuk kegiatan penataran, pelatihan, penyerapan, pemantapan, penyuluhan, pembinaan, seminar, lokarya, diskusi, dan kegiatan ilmiah lainnya tentang sastra dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan guru dalam pembelajaran sastra. (6) Mengikuti workshop atau kegiatan sanggar sastra dalam penulisan artikel sastra, menciptakan karya seni, jurnalistik, penulisan karya sastra, pembuatan majalah sekolah, majalah dinding, dan pelatihan bermain peran. (7) ____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004 ISSN 0215 - 8250 107 Mengikuti kegiatan pengembangan kurikulum bahasa dan sastra Indonesia yang berdasarkan Kurikulum Berbasis Kompetensi. (8) Mengikuti pertemuanpertemuan ilmiah yang dilaksnakan oleh para guru bahasa, dan sastra Indonesia, misalnya Musyawarah Guru Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, Forum Kelompok Kerja Guru Bahasa, dan Sastra Indonesia, dan kelompok-kelompok yang sejenis. (9) Membuat buku pelajaran atau modul bahasa dan sastra Indonesia. (10) Membuat diktat pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. 3. Penutup Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa salah satu tugas pemerintah di bidang pendidikan dan pengajaran adalah meningkatkan sumber daya manusia (SDM), yakni guru. Peningkatan dan pengembangan keprofesionalan seorang guru dapat ditempuh melalui jenjang pendidikan. Pendidikan yang dapat ditempuh guru-guru dalam dua jalur, yaitu (1) jalur formal atau sekolah, dan (2) jalur informal atau luar sekolah. Jalur formal atau sekolah dapat dilakukan melalui pendidikan program Diploma, S-1, S-2, atau S-3, ataupun melalui kegiatan pengembangan profesi. Jalur informa atau luar sekolah dapat dilakukan melalui penataran, lokakarya, kursus, pelatihan, pemantapan, penyerapan, seminar, diskusi, workshop, dan kegiatan-kegiatan yang sejenisnya. Dengan peningkatan kualitas guru yang profesional dituntut dapat memberikan layanan ahli dan dapat mengevaluasi unjuk kerja sebagai balikan bagi upaya peningkatan kualitas pembelajaran sesuai dengan bidang studi ilmunya. Berkaitan dengan peningkatan keprofesionalan seorang guru tersebut, tentunya termasuk guru bahasa Indonesia yang mengajarkan bidang sastra karena masih terdengar sinyalemen yang menyatakan bahwa pengajaran sastra dewasa ini masih keliru dan kurang apresiatif serta lebih banyak bersifat teoretis. Di pihak lain, yang mengajar sastra kebanyakan dirangkap oleh guru bahasa Indonesia yang tidak berminat tentang sastra sehingga pembelajaran sastra di sekolah atau di kelas kurang memuaskan dan kondusif serta kurang mengesankan, menyenangkan, dan mengakrabkan siswa. ____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004 ISSN 0215 - 8250 108 Demikian pula, guru-guru bahasa Indonesia dalam menghadapi penggunaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), yang di dalamnya memiliki berbagai aspek kompetensi minimal yang dirumuskan pada kurikulum bidang studi masing-masing, masih banyak guru bahasa Indonesia merasa mengeluh dan ragu-ragu serta tidak memahami, apa itu KBK yang sebenarnya, dan apakah KBK itu dapat mengukur seberapa jauh siswa memiliki pengetahuan, penguasaan, dan kompetensi minimal terhadap suatu bidang ilmu, pengetahuan, keterampilan, dan keahlian tertentu. Berkaitan dengan permasalahan itu, maka diperlukan guru yang mempunyai sikap profesional yang memadai dan dituntut aktif, kreatif, reflektif, kritis, ekspresif, reseptif, inovatif, tidak mau menunggu petunjuk dari atas, dan mau belajar sepanjang zaman. Untuk peningkatan dan pengembangan keprofesionalan seorang guru yang telah diuraikan di atas merupakan syarat atau anjuran yang harus dipenuhi guru, baik dalam peningkatan kenaikan jabatan maupun untuk peningkatan dan pengembangan profesi sesuai dengan bidang ilmunya masing-masing. Berdasarkan jawaban permasalahan di atas, saran yang relevan dapat dikemukakan seperti berikut. (1) Peningkatan keikutsertaan guru, khususnya guru bahasa Indonesia yang mengajar sastra, hendaknya secara rutin atau terprogram mengikuti kegiatan-kegiatan ilmiah, seperti penataran, lokakarya, pelatihan, penyerapan, seminar, diskusi, workshop, dan yang sejenisnya dan relevan dengan bidangnya. (2) Perlu adanya kerja sama Kantor Dinas Pendidikan dengan Perguruan Tinggi, khususnya kegiatan pelatihan kemampuan guru, peningkatan dan pengembangan keprofesionalan seorang guru, dan peningkatan mutu sekolah pada umumnya. (3) Khususnya kepada guru-guru bahasa Indonesia perlu proaktif menggeluti KBK dan menyusun serta mengembangkan kurikulum KBK, baik dalam bidangnya maupun dalam sekolah yang sama antarbidang. (5) Agar para guru bahasa Indonesia, baik yang mengajar bahasa Indionesia maupun yang mengajar sastra dapat lebih proaktif, hendaknya Kepala Sekolah, Yayasan dalam sekolah Swasta, Kepala Kantor Dinas, dan termasuk para orang tua siswa harus memberikan peluang dan sarana agar para guru dapat aktif mendalami KBK. ____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004 ISSN 0215 - 8250 109 DAFTAR PUSTAKA Boen S. Oemarjati. 1980. “Pengajaran Apresiasi Sastra di Sekolah Lanjutan:Keakraban Guru-Guru dan Karya Sastra” dalam Pembinaan Bahasa Indonesia. Nomor 3 Tahun I. Jakarta : Djambatan. Culler, Jonathan. 1977. Structuralist Poetics. London : Methuen & Co. Ltd. Dantes, Nyoman (Eds.). 1996. Orientasi tentang Profesi Pengembangannya.Singaraja : STKIP Singaraja. Guru Depdiknas, 2001. Kurikulum Berbasis Kompetensi:Kebijaksanaan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta : Depdiknas. dan Umum …………, 2003. Kurikulum 2004 : Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar, dan Hasil Belajar. Jakarta : Puskur-Dit PTKSD. DPR RI. 1999. UU NO.22 TAHUN 1999. Jakarta:DPR RI. Darma, Budi. 1983. Solilokui. Jakarta : Gramedia. Davies, I.K. 1981. Instructional Technique. New York : Mc Graw-Hill Book Co. Harras, Kholid A. 1991. “Guru Bahasa dan Guru Sastra” Mimbar Pendidikan Bahasa dan Seni. Bandung : FPBS IKIP Bandung. Hayward, John (Ed.). 1958. T.S. Eliot:Selected Prose. Great Britain : Penguin Book. Jabrohim. 2002. “Strategi Pengajaran Sastra : sebuah Tawaran Alternatif”. Bahasa dan Sastra Indonesia. Yogyakarta : Gama Media. Joni, T. Raka. 1980. Strategi Belajar-Mengajar:suatu Tinjauan Pengantar. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Moody, H.L.B. 1968. Literary Appreciation. London : Longman. Saleh, Mbiyo. 1991. “Guru Bahasa dan Guru Sastra” Mimbar Pendidikan Bahasa dan Seni. Bandung : FPBS IKIP Bandung. ____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004 ISSN 0215 - 8250 110 Witherington, H. Carl. 1950. Educational Psycology. Boston : Heinemann Educational Book Ltd. ____ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus TH. XXXVII Desember 2004