Komunikasi dan Masalah Sosial

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
SOSIOLOGI KOMUNIKASI
Komunikasi dan Masalah Sosial
Fakultas
Program Studi
Ilmu
Komunikasi
Public Relations
Tatap Muka
15
Kode MK
Disusun Oleh
85005
Enjang Pera Irawan, S.Sos.,M.I.Kom.
Abstract
Kompetensi
Kemajemukan
program-program
tayangan
televisi kita pada kenyataannya merefleksikan
homogenisasi selera. Institusi media berikut
kepentingan
pasarnya
menentukan
arah
pembentukan selera bersama yang berkiblat
pada kebudayaan kekerasan, kebebasan
seksual,
mistisme,
hingga
budaya
memarginalkan ras, etnis, dan agama.
Mahasiswa
diharapkan
dapat
memahami dan mengevaluasi berbagai
permasalahan
sosial
di
dalam
masyarakat
akibat
ekses
yang
ditimbulkan oleh media khususnya
televisi.
.
.
.
Komunikasi dan Masalah Sosial
Masalah sosial adalah suatu kondisi yang dirumuskan atau dinyatakan oleh suatu entitas
yang berpengaruh, yang mengancam nilai-nilai suatu masyarakat sehingga berdampak
kepada sebagian besar anggota masyarakat dan kondisi itu diharapkan dapat diatasi melalui
kegiatan bersama. Entitas tersebut dapat merupakan pembicaraan umum atau menjadi topik
ulasan di media massa, seperti televisi, internet, radio dan surat kabar.
Jadi yang memutuskan bahwa sesuatu itu merupakan masalah sosial atau bukan, adalah
masyarakat yang kemudian disosialisasikan melalui suatu entitas. Dan tingkat keparahan
masalah sosial yang terjadi dapat diukur dengan membandingkan antara sesuatu yang ideal
dengan realitas yang terjadi (Coleman dan Cresey, 1987). Dan untuk memudahkan
mengamati masalah-masalah sosial, Stark (1975) membagi masalah sosial menjadi 3
macam yaitu :

Konflik dan kesenjangan, seperti : kemiskinan, kesenjangan, konflik antar kelompok,
pelecehan seksual dan masalah lingkungan.

Perilaku menyimpang, seperti : kecanduan obat terlarang, gangguan mental,
kejahatan, kenakalan remaja dan kekerasan pergaulan.

Perkembangan manusia, seperti : masalah keluarga, usia lanjut, kependudukan
(seperti urbanisasi) dan kesehatan seksual.
Salah satu penyebab utama timbulnya masalah sosial adalah pemenuhan akan kebutuhan
hidup (Etzioni, 1976). Artinya jika seorang anggota masyarakat gagal memenuhi kebutuhan
hidupnya maka ia akan cenderung melakukan tindak kejahatan dan kekerasan. Hal ini
diperparah oleh peran media massa sekarang ini yang mengalami sedikit perubahan, bukan
lagi sebagai institusi yang memberi informasi yang edukatif dan hiburan yang edukatif, akan
tetapi lebih pada media yang memberi informasi, hiburan dan edukasi yang kurang edukatif.
Kenyataan Komunikasi massa yang semakin terus berkembang semakin banyak pula
menimbulkan masalah-masalah sosial. Jadi, wajah ganda media massa menjadi profil
utama industri media massa saat ini karena disatu sisi ia menamakan diri sebagai agen
(agent of change) perubahan dalam pengertian yang sesungguhnya, namun disisi lain ia
juga sebagai agen perusak (agent of destroyer) dan pemicu masalah-masalah social.
Kenyataan bahwa media massa justru miskin dari fungsi edukasi nilai-nilai kemanusiaan,
media massa justru lebih banyak menjadi corong provokasi nilai-nilai kehewanan, seperti,
materialisme, hedonisme, seks, konsumerisme, mistisme dan semacamnya yang semua itu
menurut banyak kalangan sebagai sumber pemicu berbagai persoalan social di masyarakat
saat ini.
‘13
2
Sosiologi Komunikasi
Enjang Pera Irawan, S.Sos.,M.I.Kom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Maraknya demontrasi atau protes yang dilakukan oleh masyarakat berkaitan dengan
pornografi yang ada di media massaa, menunjukan bahwa media massa dengan tayangantayangan merupakan pemicu dari masalah-masalah sosial yang ada di masyarakat.
Meningkatnya kenakalan remaja, moral semakin menurun, semakin meningkatnya
kejahatan, merupakan masalah-maslah sosial yang harus mendapat perhatian dari semua
pihak. Dalam hal ini keterkaitan masalah-masalah sosial tersebut dengan media sering
disebut-sebut bahwa media massa harus turut bertanggung jawab terhadap masalah sosial
tersebut.
Berdasarkan penjelasan tersebut, masalah komunikasi dalam hal ini pergeseran peran
media massa memiliki pengaruh yang kuat terhadap terjadinya masalah sosial di
masyarakat, hal ini dapat dilihat dari indikator-indikator sebagai berikut:
Media massa sekarang ini bukan saja dianggap sebagai media yang memberikan informasi
dan edukasi pada masayarakat, akan tetapi juga dianggap sebagai pemicu dari masalahmasalah sosial yang ada di masayarakat. Media massa dianggap sebagai pemicu atau
pihak yang juga bertanggung jawab dalam masalah-masalah sosial yaitu semakin
meningkatnya kejahatan, semakin menurunya moralitas, semakin tingginya kenalakan
remaja adalah karena tayangan-tayangan yang disampaikan oleh media massa.
Institusi Media dan Praktek Sosial Baru
Media dianalogikan jembatan yang menghubungkan antara realita empirik dengan
kenyataan semu. Hal tersebut bisa kita amati melalui kejadian berikut ini.
Kecelakaan tunggal terjadi di Jalan Hayam Wuruk, Jakarta, saat dini hari.
Melibatkan empat penumpang perempuan di dalam Honda Jazz yang melaju
kencang dari arah Kota menuju Harmoni kemudian menubruk bangunan ruko.
Hanya dalam waktu kurang dari satu jam kecelakaan dapat diatasi oleh aparat
kepolisian satu keadaan yang tidak biasa mengingat satu kecelakaan umumnya
memakan proses lama untuk diselesaikan di tempat kejadian perkara.
Kerumunan massa banyak menonton saat kejadian tengah berlangsung dan
beberapa jam kemudian masyarakat mendapatkan informasi melalui liputan
infotainment jika kecelakaan tersebut melibatkan anak dari petinggi negara.
Hampir dua minggu, kejadian ini diberitakan melalui media televisi maupun
media online mengalahkan pamor berita penangkapan KPK terhadap pejabat
yang korupsi.
‘13
3
Sosiologi Komunikasi
Enjang Pera Irawan, S.Sos.,M.I.Kom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Media sebagai corong pemberitaan dalam tugasnya tidak hanya merepresentasikan
kenyataan namun sekaligus memproduksi fakta. Beragam aktifitas sosial dipublikasikan
dengan merubah fakta menjadi kumpulan data dan gambar yang memuat daya persuasi
kuat bagi masyarakat. Masyarakat adalah sumber berita yang secara kreatif lembaga media
mengubah fakta kehidupan sosial menjadi citra yang sarat pesan dan makna. Dapat
dikatakan “X” sebagai putri pejabat penting di republik ini yang secara sembrono
mengemudi dengan tidak bertanggung jawab, ia menjadi tokoh yang dibicarakan semua
orang dan ketenarannya mengalahkan politisi atau artis. “X” telah menjadi selebritas dan
media-lah yang menciptakannya.
Institusi media selaku entitas kebudayaan sebagaimana halnya dengan institusi-institusi
sosial lainnya, menjadi satu institusi yang sangat penting di tengah-tengah situasi dunia
yang digambarkan Marshall McLuhan sebagai desa global (global village). Dikatakan desa
global ketika media massa modern khususnya media elektronik berdaya organisir sekaligus
memperkenalkan konsepsi baru tentang ruang dan waktu. Telepon selular sebagai contoh
perwujudkan teknologi media, alat ini telah menciptakan definisi tersendiri menyangkut
pembagian waktu dan ruang (tempat) bagi penggunanya. Jika dulu, rencana bertemu
seseorang dapat dilakukan hanya dengan satu kali berkirim kabar, sekarang kita perlu
melakukan panggilan telepon ataupun mengirim pesan singkat untuk menanyakan secara
berulang-ulang rencana pertemuan. McLuhan menekankan jika media elektronik menjadi
jembatan komunikasi yang dapat memanipulasi waktu dan ruang secara unik, hingga pada
akhirnya media ini menjadi medium yang dengan caranya sendiri-sendiri dapat
mempengaruhi persepsi manusia tentang realita dan cara manusia mengorganisir ulang
aktifitas sosialnya (McLuhan, 1962, 1964, dan 1967 dalam Lull, 1987:25).
Satu tata kehidupan baru berlangsung di dalam masyarakat melalui perpanjangan tangan
teknologi. Perkembangan teknologi transportasi misalnya, telah memutus keterbatasan jarak
hingga merangsang pertumbuhan ekonomi. Demikian halnya dengan teknologi-teknologi
komunikasi berupa surat kabar, radio, televisi, dan internet. Wujud teknologi media ini telah
mengurangi keterjarakan fisik dalam sistem komunikasi manusia. Harold Innis dengan jeli
mengamati revolusi teknologi media mendasari munculnya gejala komunikasi manusia
modern. Menurutnya, kemajuan teknologi selainnya menyederhanakan cara manusia saling
terhubung namun menyimpan problematika sosial budaya tersendiri berupa konsekuensi
ekonomi, politik, dan kebudayaan. Institusi media merupakan satu lembaga yang mampu
memproduksi dan mereproduksi isi pesan sejalan dengan kepentingan-kepentingan industri.
Pesan-pesan
yang
disampaikan
utamanya
memuat
indoktrinisasi
yang
dapat
menstrukturkan cara berpikir, bersikap, dan berperilaku orang menyangkut di mana
‘13
4
Sosiologi Komunikasi
Enjang Pera Irawan, S.Sos.,M.I.Kom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
seharusnya bertempat tinggal, tempat apa yang sesuai untuk membelanjakan uang,
bagaimana caranya menjadi awet muda, dan sistem pengaturan dan pengorganisasian
hidup sejalan dengan ideologi yang distandarisasi media.
Gambaran Umum Program-Program Televisi
‘Desa Global’ sebagai konsepsi McLuhan diperdalam Jean Baudrillard ke dalam ‘Desa
Hiperealitas’. Di tengah keberagaman penemuan teknologi baru dalam bidang informasi dan
komunikasi, masyarakat diposisikan selaku konsumen yang menyerap sepenuhnya produkproduk yang dihasilkan industri komunikasi, hingga menghadirkan pemadatan makna waktu
dan tempat sebagai fenomena yang tidak dapat terbayangkan satu abad yang lampau.
Baudrillard menyatakan bahwa sains dan teknologi komunikasi tidak saja memperpanjang
badan dan sistem syaraf manusia bahkan mampu menghadirkan fantasi dan ilusi melalui
film di layar bioskop, televisi, chip memory, alat perekam video, CD/VCD/DVD, dan
sebagainya.
Industrialisasi abad ini tidak terbatas pada upaya memproduksi barang dan jasa tetapi juga
mengemas produk ke dalam sistem penandaan yang sarat simbolik. Mode produksi yang
bersalin rupa ke arah mode simulasi menjadi pusat industri yang menghasilkan keuntungan
berlipat bagi lembaga-lembaga bisnis semacam rumah produksi, kursus keperibadian, agenagen yang memproduksi artis, ataupun perusahaan media. Model produksi yang dapat kita
sebut sebagai ‘mode simulasi’ menciptakan tokoh rekaan sebagai model nyata yang tanpa
asal-usul atau ‘hiperialitas’ (Baudrillard dalam Agger, 2003;282). Konsepsi simulasi
dinarasikan sebagai suatu situasi manakala manusia ditempatkan pada satu realitas yang
hiperealitas di mana batas antara fantasi dan kenyataan nyaris tidak ada perbedaannya.
Jika institusi pendidikan formal dalam proses pendidikannya mengajarkan para peserta didik
tentang etika yang dapat membentuk perilaku hingga dapat diterima dalam sistem pergaulan
– maka media melakukan sosialisasi serupa melalui tokoh rekaan James Bond atau Victoria
Beckham, yang dapat menginternalisasi semua orang tentang karakter yang diidolakan.
Organisasi media bekerja dalam mendistribusikan konten pesan yang mencerminkan juga
sekaligus mempengaruhi kebudayaan masyarakat. Sehingga apapun pesan yang
disampaikan bersumber pada masyarakat dan membawa penggaruh pada pembentukan
kebudayaan tertentu. Lembaga media selaku institusi informasi perannya cukup besar
dalam menyampaikan informasi, informasi yang disiarkan tentunya berlandaskan pada
keseimbangan muatan informasi (diversity of content) yang mana hal ini bisa terlaksana
ketika institusi media dapat dikelola oleh setiap lapisan masyarakat (diversity of ownership).
‘13
5
Sosiologi Komunikasi
Enjang Pera Irawan, S.Sos.,M.I.Kom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Media selaku agen perubahan (agen of change) dapat berperan juga sebagai agen perusak
(agen of destroyer), sebagaimana metafora semesta membagi segala sesuatu berdasarkan
dualisme. Menyoal pada media massa khususnya televisi sebagai saluran yang relatif dapat
diakses semua strata sosial masyarakat, maka saluran ini memiliki kecenderungan besar
dalam mempengaruhi aspek kognitif, afektif, dan konatif dari khalayaknya. Berbagai kategori
program televisi dapat kita sebutkan, yaitu : film televisi/serial, film layar lebar (movie), game
show, komedi situasi, reality show, hiburan tradisional, infotainment, acara musik dan
olahraga, talkshow, berita dan dokumenter, serta iklan. Dapat dikatakan hampir seluruh
program layar kaca tersebut menyisipkan issue berupa kekerasan dan sadisme, seksualitas
dan pornografi, pelecehan kelompok minoritas dan pelecehan norma kesusilaan serta
pelecehan agama, mistik atau supranatural.
Tayangan Kekerasan dan Sadisme. Dalam program movie ataupun film serial kerap kita
menjumpai adegan yang menampilkan kekerasan fisik maupun non-fisik. Bentuk kekerasan
yang pertama dapat berupa adegan perkelahian yang diakhiri dengan kemenangan satu
pihak dan kematian di pihak lain yang disertai dengan luka tembak maupun sabetan parang.
Kerja seorang seniman grafis terlihat terampil dalam mengelola gambar hingga tampilan
adegan saling melukai disertai cipratan darah dan luka yang tampak menyeramkan hingga
menyerupai kenyataan aslinya. Sedangkan kekerasan non-fisik ditampakkan pada berbagai
bentuk kata-kata makian atau kasar yang banyak muncul pada acara komedi situasi. Contoh
lainnya, pada program dokumenter, dapat kita amati adegan sadisme muncul manakala
kamera mengarahkan pada gambar korban ataupun mayat manusia dan hewan yang
terkena bencana alam atau musibah. Pada bentuk acara berita misalnya, kita bisa melihat
proses eksekusi terpidana mati yang tengah meregang nyawa oleh suntikan mati atau
sengatan listrik. Tayangan sadisme lainnya pada peliputan secara langsung oleh media
yang menangkap gambar pembekukan aksi terorisme.
Tayangan Seksualitas dan Pornografi. Informasi seks menjadi porsi yang senantiasa kaya
untuk ditampilkan sebab memuat nilai jual yang tinggi. Semisal, pasangan remaja yang
melakukan hubungan seksual di dalam bilik warnet (warung internet) yang tertangkap
kamera CCTV. Peristiwa arakan pasangan kumpul kebo di satu kampung yang diliput media
elektronik dan dapat ‘dinikmati’ dengan mengunggah youtube. Majalah dewasa atau iklan
film, selalu memperlihatkan postur perempuan dengan tampilan tubuh memperlihatkan aurat
sebagai daya tarik yang diakui dapat menjaring konsumen untuk membeli.
Kehidupan seks merupakan realitas kebudayaan yang universal sifatnya sekaligus privat.
Untuk itu agama dan negara perlu mengatur segala hal menyangkut aktifitas seksual antara
‘13
6
Sosiologi Komunikasi
Enjang Pera Irawan, S.Sos.,M.I.Kom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
laki-laki dengan perempuan. Dalam perjalanan revolusi informasi, hak ikhwal seksualitas
lantas berkembang menjadi gejala yang bersifat publik. Menjadi publik ketika setiap orang
dapat secara terang-terangan mendeskripsikan perilaku seksualnya pada khalayak melalui
tayangan reality show, misalnya. Pornografi atau tindakan pencabulan memiliki varian
konsep berupa pornoteks, pornosuara, pornoaksi yang kesemuanya dapat menjadi sajian
dalam satu media dan kita dapat menyebutnya sebagai pornomedia (Bungin, 2008:337).
Media menciptakan realitas porno melalui teks-teks porno pada media cetak, film-film porno
melalui media online, cerita-cerita cabul yang tayang lewat radio, atau iklan di televisi yang
mengumbar suara-suara bernuansa porno.
Pelecehan kelompok Minoritas, Pelecehan Norma Kesusilaan, dan Pelecehan Agama.
Indonesia dengan keberagaman masyarakatnya terdiri dari berjenis-jenis stratifikasi ras
maupun etnis, serta pengelompokkan agama – situasi ini menciptakan kemajemukan pola
komunikasi antar warganya. Angka statistik secara kuantitatif mendeskripsikan jika
Indonesia memiliki mayoritas kelompok sosial beragama Islam, sementara agama-agama
lainnya diyakini oleh sebagian kecil penduduknya. Hubungan mayoritas dan minoritas dalam
soal keyakinan beragama menjadi central issue yang memiliki nilai tukar ekonomi cukup
tinggi bagi program-program televisi. Selainnya itu terdapat pengelompokkan sosial
berdasar latar belakang suku dengan karaktersitik kebudayaan yang khas, di mana bahasa
pergaulan maupun keseniannya digunakan sebagai daya penarik dalam acara-acara
televisi. Persoalan mayoritas dan minoritas dari sudut pandang agama maupun suku bangsa
dikemas melalui sinetron pada jam tayang prime time. Sinema elektronik bernuansa Islami
belakangan ini memenuhi layar kaca kita sebagai tontonan sebenarnya nir-dakwah
melainkan perilaku etnosentrisme yang melekat pada setiap ujaran-ujaran dari artis-artis
pendukungnya. Memarginalkan suku tertentu dan pengaburan informasi (miss information)
terhadap nilai-nilai keyakinan beragama tampak menjadi objek tontonan yang memiliki
reputasi dan apresiasi khalayak lebih banyak.
Mistik atau Supranatural. Acara televisi yang mengemas mistisme atau supranatural
merupakan produk media yang memiliki rating tinggi karena digemari publik. Tayangan
mistik didefinisikan sebagai praktek simulasi atau praktek reka ulang terhadap suatu
peristiwa, reka ulang menyangkut keberadaan the other yang bersifat abstrak. Tayangan
model serupa ini pada masanya pernah mengalami kejayaan sekalipun pada saat sekarang
gejala sejenis dapat ditemukan dalam program-program reality show ataupun film layar
lebar. Keterbatasan pengetahuan manusia untuk menjangkau keberadaan the other
menyebabkan jenis tayangan ini menarik minat banyak orang untuk menonton. Sebab,
‘13
7
Sosiologi Komunikasi
Enjang Pera Irawan, S.Sos.,M.I.Kom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
tayangan-tayangan ini membantu manusia untuk menggali ketidaktahuannya tentang
kehidupan supranatural.
Kesimpulan
Tayangan media elektronik kita umumnya mengambil genre adegan kekerasan dan
sadisme, tayangan seksualitas dan pornografi, serta pelecehan terhadap kelompok
marginal. Setiap genre ini memiliki pangsa khalayak tersendiri dan umumnya menjadi issue
yang berdaya jual tinggi dalam soal menarik angka rating yang tinggi.
Dampak yang ditimbulkan melalui setiap genre tayangan televisi dapat menjadi beragam.
Dapat berwujud pada akibat positip maupun negatip yang mengeksposur pada setiap
pelapisan masyarakat, dari segi jenis kelamin, usia, kategori ras dan etnis serta stratifikasi
agama. Kemajemukan program acara televisi yang dilatari dengan bumbu yang seragam
berupa tayangan pornografi, kekerasan, dan mistisme tampaknya menjadi satu produk
hiburan yang memadai untuk dtonton masyarakat di waktu-waktu senggang. Model
penayangan sejenis ini timbul sebagai ekses kebebasan bermedia yang hadir semenjak Era
Reformasi. Pada masa sekarang, institusi media memiliki keleluasaan dalam menentukan
konten siaran yang mengambil ide kebebasan pasar (market-center) – berbeda keadaannya
di era pemerintahan sebelumnya ketika negara mengambil peran besar dalam menentukan
muatan pesan media (state-center). Kita sadari bersama jika sistem kapitalis menjadi urat
nadi berlangsung pola pembentukan isi dari suatu program tayangan televisi kita. Ketika
kepentingan ekonomi lebih kuat perannya maka yang terjadi adalah homogenisasi konten
siaran demi keberlangsungan keuntungan ekonomi. Sebagaimana kita amati bersama,
homogenisasi selera tengah dibentuk oleh kekuatan pasar melalui produser kebudayaan
yaitu institusi media. Media mengambil ide dari kultur masyarakat dalam mengolah isi pesan
dan melemparkan kembali ke masyarakat setelah melalui proses reproduksi makna. Diyakini
bersama, jika masyarakat kita telah semakin permisif menerima simbol-simbol kebudayaan
baru sebagai akibat semakin terbukanya arus komunikasi global. Televisi maupun saluran
massa lainnya memindahkan realitas sosial ke dalam realitas media. Permasalahannya
adalah, ketika lembaga media beroperasi sebagai institusi produksi daripada institusi
edukasi, hal inilah yang menimbulkan permasalahan kompleks menyangkut perubahanperubahan masyarakat yang mengandung masalah sosial.
Tayangan kekerasan dan sadisme, informasi pornografi, dan perilaku etnosentrisme menjadi
sumber informasi yang dibenamkan melalui tontotan televisi kita sehari-hari. Perlu kita
pahami jika ketiga perilaku tersebut sebenarnya merupakan kenyataan dalam kehidupan
‘13
8
Sosiologi Komunikasi
Enjang Pera Irawan, S.Sos.,M.I.Kom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
sosial harian namun memuat akibat ketika hal-hal tersebut dikemas oleh institusi media
menjadikan sebagai alat pembenaran bagi setiap individu dalam mengekploitasi setiap
keinginan yang bertentangan dengan hak hidup individu lain. Pada hakekatnya, institusi
media merupakan lembaga yang dibebani tanggung jawab sebagai agen produsen
kebudayaan dalam hal menyosialisasi nilai-nilai kehidupan positip yang dapat dipelajari
orang banyak untuk keperluan hidup bersama-sama hingga menciptakan aturan hidup yang
harmoni.
‘13
9
Sosiologi Komunikasi
Enjang Pera Irawan, S.Sos.,M.I.Kom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka
Baudrillard, Jean. 1983. Simulation, dalam Ben Agger, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan
dan Implikasinya, Yogyakarta: Kreasi Wacana, Cetakan Pertama 2003.
Burhan, Bungin. 2006. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi
Komunikasi di Masyarakat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Desiana E. Pramesti. Modul Bahan Ajar Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Universitas Mercu
Buana.
McLuhan, M. 1962. The Gutenberg Galaxy: The Making of Typografic Man, dalam James
Lull, Media, Komunikasi, dan kebudayaan: Suatu Pendekatan Global, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, Edisi Pertama 1998.
McLuhan, M. 1964. Understanding Media: The Axtentions of Man, dalam James Lull, Media,
Komunikasi, dan kebudayaan: Suatu Pendekatan Global, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, Edisi Pertama 1998.
McLuhan, M. 1967. The Medium is Massage, dalam James Lull, Media, Komunikasi, dan
kebudayaan: Suatu Pendekatan Global, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Edisi
Pertama 1998.
Nasution, Zulkarimein. 2002. Sosiologi Komunikasi Massa. Universitas Terbuka: Jakarta.
Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa. Raja Grafindo Persada: Jakarta
Soekanto, Soerjono. 2007.Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Syam, Nina. 2012. Sosiologi Sebagai Akar Ilmu Komunikasi, Simbiosa Rekatama Media;
Bandung
‘13
10
Sosiologi Komunikasi
Enjang Pera Irawan, S.Sos.,M.I.Kom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download