MODUL PERKULIAHAN SOSIOLOGI KOMUNIKASI Komunikasi dan Masalah Sosial Fakultas Program Studi Ilmu Komunikasi Public Relations Tatap Muka 15 Kode MK Disusun Oleh 85005 Enjang Pera Irawan, S.Sos.,M.I.Kom. Abstract Kompetensi Kemajemukan program-program tayangan televisi kita pada kenyataannya merefleksikan homogenisasi selera. Institusi media berikut kepentingan pasarnya menentukan arah pembentukan selera bersama yang berkiblat pada kebudayaan kekerasan, kebebasan seksual, mistisme, hingga budaya memarginalkan ras, etnis, dan agama. Mahasiswa diharapkan dapat memahami dan mengevaluasi berbagai permasalahan sosial di dalam masyarakat akibat ekses yang ditimbulkan oleh media khususnya televisi. . . . Komunikasi dan Masalah Sosial Masalah sosial adalah suatu kondisi yang dirumuskan atau dinyatakan oleh suatu entitas yang berpengaruh, yang mengancam nilai-nilai suatu masyarakat sehingga berdampak kepada sebagian besar anggota masyarakat dan kondisi itu diharapkan dapat diatasi melalui kegiatan bersama. Entitas tersebut dapat merupakan pembicaraan umum atau menjadi topik ulasan di media massa, seperti televisi, internet, radio dan surat kabar. Jadi yang memutuskan bahwa sesuatu itu merupakan masalah sosial atau bukan, adalah masyarakat yang kemudian disosialisasikan melalui suatu entitas. Dan tingkat keparahan masalah sosial yang terjadi dapat diukur dengan membandingkan antara sesuatu yang ideal dengan realitas yang terjadi (Coleman dan Cresey, 1987). Dan untuk memudahkan mengamati masalah-masalah sosial, Stark (1975) membagi masalah sosial menjadi 3 macam yaitu : Konflik dan kesenjangan, seperti : kemiskinan, kesenjangan, konflik antar kelompok, pelecehan seksual dan masalah lingkungan. Perilaku menyimpang, seperti : kecanduan obat terlarang, gangguan mental, kejahatan, kenakalan remaja dan kekerasan pergaulan. Perkembangan manusia, seperti : masalah keluarga, usia lanjut, kependudukan (seperti urbanisasi) dan kesehatan seksual. Salah satu penyebab utama timbulnya masalah sosial adalah pemenuhan akan kebutuhan hidup (Etzioni, 1976). Artinya jika seorang anggota masyarakat gagal memenuhi kebutuhan hidupnya maka ia akan cenderung melakukan tindak kejahatan dan kekerasan. Hal ini diperparah oleh peran media massa sekarang ini yang mengalami sedikit perubahan, bukan lagi sebagai institusi yang memberi informasi yang edukatif dan hiburan yang edukatif, akan tetapi lebih pada media yang memberi informasi, hiburan dan edukasi yang kurang edukatif. Kenyataan Komunikasi massa yang semakin terus berkembang semakin banyak pula menimbulkan masalah-masalah sosial. Jadi, wajah ganda media massa menjadi profil utama industri media massa saat ini karena disatu sisi ia menamakan diri sebagai agen (agent of change) perubahan dalam pengertian yang sesungguhnya, namun disisi lain ia juga sebagai agen perusak (agent of destroyer) dan pemicu masalah-masalah social. Kenyataan bahwa media massa justru miskin dari fungsi edukasi nilai-nilai kemanusiaan, media massa justru lebih banyak menjadi corong provokasi nilai-nilai kehewanan, seperti, materialisme, hedonisme, seks, konsumerisme, mistisme dan semacamnya yang semua itu menurut banyak kalangan sebagai sumber pemicu berbagai persoalan social di masyarakat saat ini. ‘13 2 Sosiologi Komunikasi Enjang Pera Irawan, S.Sos.,M.I.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Maraknya demontrasi atau protes yang dilakukan oleh masyarakat berkaitan dengan pornografi yang ada di media massaa, menunjukan bahwa media massa dengan tayangantayangan merupakan pemicu dari masalah-masalah sosial yang ada di masyarakat. Meningkatnya kenakalan remaja, moral semakin menurun, semakin meningkatnya kejahatan, merupakan masalah-maslah sosial yang harus mendapat perhatian dari semua pihak. Dalam hal ini keterkaitan masalah-masalah sosial tersebut dengan media sering disebut-sebut bahwa media massa harus turut bertanggung jawab terhadap masalah sosial tersebut. Berdasarkan penjelasan tersebut, masalah komunikasi dalam hal ini pergeseran peran media massa memiliki pengaruh yang kuat terhadap terjadinya masalah sosial di masyarakat, hal ini dapat dilihat dari indikator-indikator sebagai berikut: Media massa sekarang ini bukan saja dianggap sebagai media yang memberikan informasi dan edukasi pada masayarakat, akan tetapi juga dianggap sebagai pemicu dari masalahmasalah sosial yang ada di masayarakat. Media massa dianggap sebagai pemicu atau pihak yang juga bertanggung jawab dalam masalah-masalah sosial yaitu semakin meningkatnya kejahatan, semakin menurunya moralitas, semakin tingginya kenalakan remaja adalah karena tayangan-tayangan yang disampaikan oleh media massa. Institusi Media dan Praktek Sosial Baru Media dianalogikan jembatan yang menghubungkan antara realita empirik dengan kenyataan semu. Hal tersebut bisa kita amati melalui kejadian berikut ini. Kecelakaan tunggal terjadi di Jalan Hayam Wuruk, Jakarta, saat dini hari. Melibatkan empat penumpang perempuan di dalam Honda Jazz yang melaju kencang dari arah Kota menuju Harmoni kemudian menubruk bangunan ruko. Hanya dalam waktu kurang dari satu jam kecelakaan dapat diatasi oleh aparat kepolisian satu keadaan yang tidak biasa mengingat satu kecelakaan umumnya memakan proses lama untuk diselesaikan di tempat kejadian perkara. Kerumunan massa banyak menonton saat kejadian tengah berlangsung dan beberapa jam kemudian masyarakat mendapatkan informasi melalui liputan infotainment jika kecelakaan tersebut melibatkan anak dari petinggi negara. Hampir dua minggu, kejadian ini diberitakan melalui media televisi maupun media online mengalahkan pamor berita penangkapan KPK terhadap pejabat yang korupsi. ‘13 3 Sosiologi Komunikasi Enjang Pera Irawan, S.Sos.,M.I.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Media sebagai corong pemberitaan dalam tugasnya tidak hanya merepresentasikan kenyataan namun sekaligus memproduksi fakta. Beragam aktifitas sosial dipublikasikan dengan merubah fakta menjadi kumpulan data dan gambar yang memuat daya persuasi kuat bagi masyarakat. Masyarakat adalah sumber berita yang secara kreatif lembaga media mengubah fakta kehidupan sosial menjadi citra yang sarat pesan dan makna. Dapat dikatakan “X” sebagai putri pejabat penting di republik ini yang secara sembrono mengemudi dengan tidak bertanggung jawab, ia menjadi tokoh yang dibicarakan semua orang dan ketenarannya mengalahkan politisi atau artis. “X” telah menjadi selebritas dan media-lah yang menciptakannya. Institusi media selaku entitas kebudayaan sebagaimana halnya dengan institusi-institusi sosial lainnya, menjadi satu institusi yang sangat penting di tengah-tengah situasi dunia yang digambarkan Marshall McLuhan sebagai desa global (global village). Dikatakan desa global ketika media massa modern khususnya media elektronik berdaya organisir sekaligus memperkenalkan konsepsi baru tentang ruang dan waktu. Telepon selular sebagai contoh perwujudkan teknologi media, alat ini telah menciptakan definisi tersendiri menyangkut pembagian waktu dan ruang (tempat) bagi penggunanya. Jika dulu, rencana bertemu seseorang dapat dilakukan hanya dengan satu kali berkirim kabar, sekarang kita perlu melakukan panggilan telepon ataupun mengirim pesan singkat untuk menanyakan secara berulang-ulang rencana pertemuan. McLuhan menekankan jika media elektronik menjadi jembatan komunikasi yang dapat memanipulasi waktu dan ruang secara unik, hingga pada akhirnya media ini menjadi medium yang dengan caranya sendiri-sendiri dapat mempengaruhi persepsi manusia tentang realita dan cara manusia mengorganisir ulang aktifitas sosialnya (McLuhan, 1962, 1964, dan 1967 dalam Lull, 1987:25). Satu tata kehidupan baru berlangsung di dalam masyarakat melalui perpanjangan tangan teknologi. Perkembangan teknologi transportasi misalnya, telah memutus keterbatasan jarak hingga merangsang pertumbuhan ekonomi. Demikian halnya dengan teknologi-teknologi komunikasi berupa surat kabar, radio, televisi, dan internet. Wujud teknologi media ini telah mengurangi keterjarakan fisik dalam sistem komunikasi manusia. Harold Innis dengan jeli mengamati revolusi teknologi media mendasari munculnya gejala komunikasi manusia modern. Menurutnya, kemajuan teknologi selainnya menyederhanakan cara manusia saling terhubung namun menyimpan problematika sosial budaya tersendiri berupa konsekuensi ekonomi, politik, dan kebudayaan. Institusi media merupakan satu lembaga yang mampu memproduksi dan mereproduksi isi pesan sejalan dengan kepentingan-kepentingan industri. Pesan-pesan yang disampaikan utamanya memuat indoktrinisasi yang dapat menstrukturkan cara berpikir, bersikap, dan berperilaku orang menyangkut di mana ‘13 4 Sosiologi Komunikasi Enjang Pera Irawan, S.Sos.,M.I.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id seharusnya bertempat tinggal, tempat apa yang sesuai untuk membelanjakan uang, bagaimana caranya menjadi awet muda, dan sistem pengaturan dan pengorganisasian hidup sejalan dengan ideologi yang distandarisasi media. Gambaran Umum Program-Program Televisi ‘Desa Global’ sebagai konsepsi McLuhan diperdalam Jean Baudrillard ke dalam ‘Desa Hiperealitas’. Di tengah keberagaman penemuan teknologi baru dalam bidang informasi dan komunikasi, masyarakat diposisikan selaku konsumen yang menyerap sepenuhnya produkproduk yang dihasilkan industri komunikasi, hingga menghadirkan pemadatan makna waktu dan tempat sebagai fenomena yang tidak dapat terbayangkan satu abad yang lampau. Baudrillard menyatakan bahwa sains dan teknologi komunikasi tidak saja memperpanjang badan dan sistem syaraf manusia bahkan mampu menghadirkan fantasi dan ilusi melalui film di layar bioskop, televisi, chip memory, alat perekam video, CD/VCD/DVD, dan sebagainya. Industrialisasi abad ini tidak terbatas pada upaya memproduksi barang dan jasa tetapi juga mengemas produk ke dalam sistem penandaan yang sarat simbolik. Mode produksi yang bersalin rupa ke arah mode simulasi menjadi pusat industri yang menghasilkan keuntungan berlipat bagi lembaga-lembaga bisnis semacam rumah produksi, kursus keperibadian, agenagen yang memproduksi artis, ataupun perusahaan media. Model produksi yang dapat kita sebut sebagai ‘mode simulasi’ menciptakan tokoh rekaan sebagai model nyata yang tanpa asal-usul atau ‘hiperialitas’ (Baudrillard dalam Agger, 2003;282). Konsepsi simulasi dinarasikan sebagai suatu situasi manakala manusia ditempatkan pada satu realitas yang hiperealitas di mana batas antara fantasi dan kenyataan nyaris tidak ada perbedaannya. Jika institusi pendidikan formal dalam proses pendidikannya mengajarkan para peserta didik tentang etika yang dapat membentuk perilaku hingga dapat diterima dalam sistem pergaulan – maka media melakukan sosialisasi serupa melalui tokoh rekaan James Bond atau Victoria Beckham, yang dapat menginternalisasi semua orang tentang karakter yang diidolakan. Organisasi media bekerja dalam mendistribusikan konten pesan yang mencerminkan juga sekaligus mempengaruhi kebudayaan masyarakat. Sehingga apapun pesan yang disampaikan bersumber pada masyarakat dan membawa penggaruh pada pembentukan kebudayaan tertentu. Lembaga media selaku institusi informasi perannya cukup besar dalam menyampaikan informasi, informasi yang disiarkan tentunya berlandaskan pada keseimbangan muatan informasi (diversity of content) yang mana hal ini bisa terlaksana ketika institusi media dapat dikelola oleh setiap lapisan masyarakat (diversity of ownership). ‘13 5 Sosiologi Komunikasi Enjang Pera Irawan, S.Sos.,M.I.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Media selaku agen perubahan (agen of change) dapat berperan juga sebagai agen perusak (agen of destroyer), sebagaimana metafora semesta membagi segala sesuatu berdasarkan dualisme. Menyoal pada media massa khususnya televisi sebagai saluran yang relatif dapat diakses semua strata sosial masyarakat, maka saluran ini memiliki kecenderungan besar dalam mempengaruhi aspek kognitif, afektif, dan konatif dari khalayaknya. Berbagai kategori program televisi dapat kita sebutkan, yaitu : film televisi/serial, film layar lebar (movie), game show, komedi situasi, reality show, hiburan tradisional, infotainment, acara musik dan olahraga, talkshow, berita dan dokumenter, serta iklan. Dapat dikatakan hampir seluruh program layar kaca tersebut menyisipkan issue berupa kekerasan dan sadisme, seksualitas dan pornografi, pelecehan kelompok minoritas dan pelecehan norma kesusilaan serta pelecehan agama, mistik atau supranatural. Tayangan Kekerasan dan Sadisme. Dalam program movie ataupun film serial kerap kita menjumpai adegan yang menampilkan kekerasan fisik maupun non-fisik. Bentuk kekerasan yang pertama dapat berupa adegan perkelahian yang diakhiri dengan kemenangan satu pihak dan kematian di pihak lain yang disertai dengan luka tembak maupun sabetan parang. Kerja seorang seniman grafis terlihat terampil dalam mengelola gambar hingga tampilan adegan saling melukai disertai cipratan darah dan luka yang tampak menyeramkan hingga menyerupai kenyataan aslinya. Sedangkan kekerasan non-fisik ditampakkan pada berbagai bentuk kata-kata makian atau kasar yang banyak muncul pada acara komedi situasi. Contoh lainnya, pada program dokumenter, dapat kita amati adegan sadisme muncul manakala kamera mengarahkan pada gambar korban ataupun mayat manusia dan hewan yang terkena bencana alam atau musibah. Pada bentuk acara berita misalnya, kita bisa melihat proses eksekusi terpidana mati yang tengah meregang nyawa oleh suntikan mati atau sengatan listrik. Tayangan sadisme lainnya pada peliputan secara langsung oleh media yang menangkap gambar pembekukan aksi terorisme. Tayangan Seksualitas dan Pornografi. Informasi seks menjadi porsi yang senantiasa kaya untuk ditampilkan sebab memuat nilai jual yang tinggi. Semisal, pasangan remaja yang melakukan hubungan seksual di dalam bilik warnet (warung internet) yang tertangkap kamera CCTV. Peristiwa arakan pasangan kumpul kebo di satu kampung yang diliput media elektronik dan dapat ‘dinikmati’ dengan mengunggah youtube. Majalah dewasa atau iklan film, selalu memperlihatkan postur perempuan dengan tampilan tubuh memperlihatkan aurat sebagai daya tarik yang diakui dapat menjaring konsumen untuk membeli. Kehidupan seks merupakan realitas kebudayaan yang universal sifatnya sekaligus privat. Untuk itu agama dan negara perlu mengatur segala hal menyangkut aktifitas seksual antara ‘13 6 Sosiologi Komunikasi Enjang Pera Irawan, S.Sos.,M.I.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id laki-laki dengan perempuan. Dalam perjalanan revolusi informasi, hak ikhwal seksualitas lantas berkembang menjadi gejala yang bersifat publik. Menjadi publik ketika setiap orang dapat secara terang-terangan mendeskripsikan perilaku seksualnya pada khalayak melalui tayangan reality show, misalnya. Pornografi atau tindakan pencabulan memiliki varian konsep berupa pornoteks, pornosuara, pornoaksi yang kesemuanya dapat menjadi sajian dalam satu media dan kita dapat menyebutnya sebagai pornomedia (Bungin, 2008:337). Media menciptakan realitas porno melalui teks-teks porno pada media cetak, film-film porno melalui media online, cerita-cerita cabul yang tayang lewat radio, atau iklan di televisi yang mengumbar suara-suara bernuansa porno. Pelecehan kelompok Minoritas, Pelecehan Norma Kesusilaan, dan Pelecehan Agama. Indonesia dengan keberagaman masyarakatnya terdiri dari berjenis-jenis stratifikasi ras maupun etnis, serta pengelompokkan agama – situasi ini menciptakan kemajemukan pola komunikasi antar warganya. Angka statistik secara kuantitatif mendeskripsikan jika Indonesia memiliki mayoritas kelompok sosial beragama Islam, sementara agama-agama lainnya diyakini oleh sebagian kecil penduduknya. Hubungan mayoritas dan minoritas dalam soal keyakinan beragama menjadi central issue yang memiliki nilai tukar ekonomi cukup tinggi bagi program-program televisi. Selainnya itu terdapat pengelompokkan sosial berdasar latar belakang suku dengan karaktersitik kebudayaan yang khas, di mana bahasa pergaulan maupun keseniannya digunakan sebagai daya penarik dalam acara-acara televisi. Persoalan mayoritas dan minoritas dari sudut pandang agama maupun suku bangsa dikemas melalui sinetron pada jam tayang prime time. Sinema elektronik bernuansa Islami belakangan ini memenuhi layar kaca kita sebagai tontonan sebenarnya nir-dakwah melainkan perilaku etnosentrisme yang melekat pada setiap ujaran-ujaran dari artis-artis pendukungnya. Memarginalkan suku tertentu dan pengaburan informasi (miss information) terhadap nilai-nilai keyakinan beragama tampak menjadi objek tontonan yang memiliki reputasi dan apresiasi khalayak lebih banyak. Mistik atau Supranatural. Acara televisi yang mengemas mistisme atau supranatural merupakan produk media yang memiliki rating tinggi karena digemari publik. Tayangan mistik didefinisikan sebagai praktek simulasi atau praktek reka ulang terhadap suatu peristiwa, reka ulang menyangkut keberadaan the other yang bersifat abstrak. Tayangan model serupa ini pada masanya pernah mengalami kejayaan sekalipun pada saat sekarang gejala sejenis dapat ditemukan dalam program-program reality show ataupun film layar lebar. Keterbatasan pengetahuan manusia untuk menjangkau keberadaan the other menyebabkan jenis tayangan ini menarik minat banyak orang untuk menonton. Sebab, ‘13 7 Sosiologi Komunikasi Enjang Pera Irawan, S.Sos.,M.I.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id tayangan-tayangan ini membantu manusia untuk menggali ketidaktahuannya tentang kehidupan supranatural. Kesimpulan Tayangan media elektronik kita umumnya mengambil genre adegan kekerasan dan sadisme, tayangan seksualitas dan pornografi, serta pelecehan terhadap kelompok marginal. Setiap genre ini memiliki pangsa khalayak tersendiri dan umumnya menjadi issue yang berdaya jual tinggi dalam soal menarik angka rating yang tinggi. Dampak yang ditimbulkan melalui setiap genre tayangan televisi dapat menjadi beragam. Dapat berwujud pada akibat positip maupun negatip yang mengeksposur pada setiap pelapisan masyarakat, dari segi jenis kelamin, usia, kategori ras dan etnis serta stratifikasi agama. Kemajemukan program acara televisi yang dilatari dengan bumbu yang seragam berupa tayangan pornografi, kekerasan, dan mistisme tampaknya menjadi satu produk hiburan yang memadai untuk dtonton masyarakat di waktu-waktu senggang. Model penayangan sejenis ini timbul sebagai ekses kebebasan bermedia yang hadir semenjak Era Reformasi. Pada masa sekarang, institusi media memiliki keleluasaan dalam menentukan konten siaran yang mengambil ide kebebasan pasar (market-center) – berbeda keadaannya di era pemerintahan sebelumnya ketika negara mengambil peran besar dalam menentukan muatan pesan media (state-center). Kita sadari bersama jika sistem kapitalis menjadi urat nadi berlangsung pola pembentukan isi dari suatu program tayangan televisi kita. Ketika kepentingan ekonomi lebih kuat perannya maka yang terjadi adalah homogenisasi konten siaran demi keberlangsungan keuntungan ekonomi. Sebagaimana kita amati bersama, homogenisasi selera tengah dibentuk oleh kekuatan pasar melalui produser kebudayaan yaitu institusi media. Media mengambil ide dari kultur masyarakat dalam mengolah isi pesan dan melemparkan kembali ke masyarakat setelah melalui proses reproduksi makna. Diyakini bersama, jika masyarakat kita telah semakin permisif menerima simbol-simbol kebudayaan baru sebagai akibat semakin terbukanya arus komunikasi global. Televisi maupun saluran massa lainnya memindahkan realitas sosial ke dalam realitas media. Permasalahannya adalah, ketika lembaga media beroperasi sebagai institusi produksi daripada institusi edukasi, hal inilah yang menimbulkan permasalahan kompleks menyangkut perubahanperubahan masyarakat yang mengandung masalah sosial. Tayangan kekerasan dan sadisme, informasi pornografi, dan perilaku etnosentrisme menjadi sumber informasi yang dibenamkan melalui tontotan televisi kita sehari-hari. Perlu kita pahami jika ketiga perilaku tersebut sebenarnya merupakan kenyataan dalam kehidupan ‘13 8 Sosiologi Komunikasi Enjang Pera Irawan, S.Sos.,M.I.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id sosial harian namun memuat akibat ketika hal-hal tersebut dikemas oleh institusi media menjadikan sebagai alat pembenaran bagi setiap individu dalam mengekploitasi setiap keinginan yang bertentangan dengan hak hidup individu lain. Pada hakekatnya, institusi media merupakan lembaga yang dibebani tanggung jawab sebagai agen produsen kebudayaan dalam hal menyosialisasi nilai-nilai kehidupan positip yang dapat dipelajari orang banyak untuk keperluan hidup bersama-sama hingga menciptakan aturan hidup yang harmoni. ‘13 9 Sosiologi Komunikasi Enjang Pera Irawan, S.Sos.,M.I.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Daftar Pustaka Baudrillard, Jean. 1983. Simulation, dalam Ben Agger, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya, Yogyakarta: Kreasi Wacana, Cetakan Pertama 2003. Burhan, Bungin. 2006. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Desiana E. Pramesti. Modul Bahan Ajar Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Universitas Mercu Buana. McLuhan, M. 1962. The Gutenberg Galaxy: The Making of Typografic Man, dalam James Lull, Media, Komunikasi, dan kebudayaan: Suatu Pendekatan Global, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Edisi Pertama 1998. McLuhan, M. 1964. Understanding Media: The Axtentions of Man, dalam James Lull, Media, Komunikasi, dan kebudayaan: Suatu Pendekatan Global, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Edisi Pertama 1998. McLuhan, M. 1967. The Medium is Massage, dalam James Lull, Media, Komunikasi, dan kebudayaan: Suatu Pendekatan Global, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Edisi Pertama 1998. Nasution, Zulkarimein. 2002. Sosiologi Komunikasi Massa. Universitas Terbuka: Jakarta. Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa. Raja Grafindo Persada: Jakarta Soekanto, Soerjono. 2007.Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Syam, Nina. 2012. Sosiologi Sebagai Akar Ilmu Komunikasi, Simbiosa Rekatama Media; Bandung ‘13 10 Sosiologi Komunikasi Enjang Pera Irawan, S.Sos.,M.I.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id