MODUL PERKULIAHAN SOSIOLOGI KOMUNIKASI Teori Peniruan dari Media Massa Fakultas Program Studi Ilmu Komunikasi Public Relations Tatap Muka 10 Kode MK Disusun Oleh 85005 Enjang Pera Irawan, S.Sos.,M.I.Kom. Abstract Kompetensi Komunikasi massa mentransformasikan suatu pesan yang dapat digunakan audience-nya sebagai acuan peniruan, pengidentifikasian, sekaligus media pembelajaran sosial. Ketiga aktifitas sosialisasi ini menjadi pedoman bagi masyarakat tentang perilaku ideal sebagai hasil kontruksi lembaga media terhadap khalayaknya. Mahasiswa dapat memahami pengertian Teori-Teori Imitasi, Identifikasi, dan Belajar Sosial. Melalui ketiga teori ini, Mahasiswa diharapkan dapat mengenali efek yang ditimbulkan media massa terhadap masyarakat yang memungkinkan bagi munculnya peniruan, identifikasi, maupun belajar sosial. . Teori Peniruan Media Massa Pendahuluan Media massa menumbuhkan efek peniruan, identifikasi, dan belajar sosial bagi anggota masyarakat. Seseorang cenderung terinternalisasi isi pesan media massa ketika nilai-nilai yang ditawarkan memenuhi kepentingannya dan mengabaikan ketika dianggap tidak mewakili kebutuhannya. Dua kenyataan efek komunikasi massa tersebut merupakan pengalaman keseharian kita. Program hiburan melalui kategorinya berupa drama sinetron dengan suguhan gaya hidup hedonis mungkin tidak akan disimak audience dengan pandangan hidup rasional. Berbeda halnya pada individu lain, tayangan ini bisa jadi digemari sebagai media penghibur tanpa terganggu dengan pragmatisme alur ceritanya. Pada individu pertama, sinetron tidak memberikan efek peniruan terhadap praktik berkehidupannya. Menjadi berbeda pada individu kedua, kemungkinannnya sinetron berdampak pada dimilikinya need for achievment yang mendorong pelaku bekerja giat memenuhi harapan hidup yang distandarisasi nilai-nilai hedonis dalam sinetron. Media massa berkontribusi menyalurkan nilai-nilai kehidupan pada masyarakat luas. Norma sosial ini dibutuhkan oleh setiap orang sebagaimana kecenderungan manusia asalinya ingin tahu, ingin mempelajari sesuatu, dan meniru berbagai hal. Melalui Modul Kesembilan ini, akan dibahas teori-teori efek komunikasi massa yang menimbulkan aktifitas peniruan, identifikasi, dan belajar sosial dari individu selaku khalayak pengkonsumsi isi pesan media. Pengertian Teori Imitasi, Teori Identifikasi, dan Teori Belajar Sosial Teori Imitasi. Keinginan meniru tingkah laku sesama adalah salah satu dorongan (drive) naluri yang dimiliki manusia – selain dorongan mempertahankan hidup, dorongan seks, dorongan mencari makan, dorongan berinteraksi, dorongan berbakti, dan dorongan keindahan (Koentjaraningrat, 1990:109). Dikatakan sebagai dorongan sebabnya sudah tertanam dalam gen sebagai bagian dari naluri. Setiap orang diyakini G. Tarde memiliki dorongan meniru tingkah laku. Upaya peniruan diperoleh melalui berbagai sarana sosialisasi, salah satu agen potensial adalah melalui media massa. Saluran ini menginternalisasi manusia tentang polapola tingkah laku yang mantap hingga dapat digunakan untuk berhubungan dengan ‘13 2 Sosiologi Komunikasi Enjang Pera Irawan, S.Sos.,M.I.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id manusia lain. Stimulus berulang-ulang menghasilkan respon tertentu bergantung kebutuhan dari audience menanggapi keperluannya (G. Tarde dalam Les Lois de I’Imitation, 1890, dalam Koentjaraningrat, 1990:110). Melalui eksperimen, Tarde menguji teori positivistisnya untuk menemukan kecenderungan perilaku peniruan diakibatkan terpaan pesan yang secara intensif diarahkan pada responden hingga pelaku memiliki perangkat konsep meniru perilaku model. Pandangan ini determinan sebab teorinya dinilai lemah untuk menjelaskan bahwa perilaku imitasi didapat seseorang melalui proses belajar (learned action) dengan meniru berbagai macam tindakan dari berbagai sumber. Studi Seymour Feshbach, mengkaji ulang pandangan Tarde. Menurutnya, tidak semua sosialisasi pesan media dapat dijadikan model imitasi, hanya perilaku tertentu yang ditiru seseorang untuk dijadikan pola perilakunya. Aksi kekerasan dalam tayangan televisi tidak selalu memberikan efek kekerasan pada audience-nya, justru sebaliknya suguhan kekerasan menumbuhkan frustasi – hal ini memperkecil kemungkinan khalayak meniru adegan kekerasan dalam dunia nyata (Feshbach, Personality, 1995). Annisa penyuka fanatik “Pesbuker” dan tayangan situation comedies lainnya semacam “RT Sukowi” atau “Opera van Java”. Berbeda halnya dengan Latifah, ia lebih menyukai tayangan televisi yang dianggapnya lebih berbobot seperti “Apa kabar Indonesia Malam”, “Bedah Editorial Indonesia” hingga “Dialog TVRI”. Bang Amri jarang menonton televisi yang dianggapnya sebagai media yang isinya monoton berita atau sinetron, ia memilih menyetel radionya keras-keras untuk memenuhi kecintaannya terhadap musik dangdut. Setiap orang mengkonsumsi media massa didorong beragam motivasi. Perbedaan motiv mengkonsumsi media mengakibatkan reaksi yang berbeda terhadap setiap media. Jelasnya komunikasi massa menyediakan berbagai model yang dapat ditiru khalayaknya. Media cetak menyediakan gagasan yang lebih jelas dan mudah dipahami dibandingkan penjelasan yang diberikan oleh seseorang. Media piktorial seperti televisi, film, buku bergambar menyediakan alat peniruan berupa gambaran fisik yang lebih mudah ditiru. Melalui mediamedia inilah, setiap orang mendapatkan pengetahuan tentang berbagai hal. Teori Peniruan atau Imitasi adalah, suatu teori yang menjelaskan jika media berkontribusi mengembangkan kemampuan afektif manusia. Dalam upaya pengembangan kemampuan ini, manusia menekankan orientasi eksternalnya untuk mencari gratifikasi (pemuasan kebutuhan psikologi dan sosial) (Rakhmat, 2004:216) ‘13 3 Sosiologi Komunikasi Enjang Pera Irawan, S.Sos.,M.I.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Penjelasan teori ini dapat disimpulkan, jika setiap orang memiliki instingtif berempati meniru perilaku orang lain. Media massa menyediakan beragam model untuk dijadikan contoh perilaku ideal oleh setiap orang hanya saja tidak setiap pesan dapat dijadikan model acuan berperilaku. Model-model ini dipelajari untuk dijadikan milik keperibadian seseorang hanya ketika contoh imitasi sesuai nilai-nilai kebudayaan yang menjadi rujukan peniruan. Hingga menjadi masuk akal bagi kita, tidak semua pesan-pesan bermuatan kekerasan menimbulkan efek perilaku kekerasan pada masyarakat pengkonsumsi media. Teori Identifikasi Kenneth Burke Burke memulai dengan perbedaan antara tindakan dan gerakan. Tindakan terdiri atas perilaku sukarela dan bertujuan; gerakan tidak bertujuan dan tidak mengandung makna. Burke memandang individu secara biologis dan neurologis, dibedakan dengan menggunakan simbol perilaku atau kemampuan untuk bertindak . manusia menciptakan simbol untuk menamai benda dan situasi Identifikasi dapat berarti ajakan dan penyampaian yang efektif atau menjadi akhir dari komunikasi itu sendiri. Identifikasi dapat disadari atau tidak disadari, direncanakan atau tidak direncanakan. Tiga sumber identifikasi yang saling berkaitan, yaitu: 1. Identifikasi Materi (material identification). Hasil dari kebaikan, kepemilikan dan benda, seperti memiliki mobil yang sama atau bercita rasa busana yang sama. 2. Identifikasi Idelistis (idealistic identification). Hasil dari ide yang terbagi, sikap, perasaan dan nilai, seperti menjadi anggota dari gereja atau partai politik yang sama. 3. Identifikasi Formal (formal identification). Hasil dari penyusunan, bentuk atau pengaturan dari peristiwa dimana kedua orang tersebut bertisipasi Contoh: Anas Urbaningrum figur populer yang dijadikan tokoh hero pada Era Reformasi hingga menjelang masa kejatuhannya akibat issue Korupsi Hambalang di akhir Tahun 2012. Remaja atau ABG (Anak Baru Gede) mendapatkan model kepahlawanan melalui kelompok vokal “Coboy Junior”. Setiap orang pastinya memiliki figur selaku tokoh panutan. Ada yang menjadikan ayah-ibunya atau kakak kandungnya, guru, ataupun politisi sebagai tokoh yang perlu dicontoh, apakah perilaku positip maupun negatip. Setiap sosok yang diwakili melalui berbagai tokoh hero ini dianggap menjadi model bagi setiap orang, di mana seseorang berupaya mengikuti apapun yang dilakukan oleh tokoh ‘13 4 Sosiologi Komunikasi Enjang Pera Irawan, S.Sos.,M.I.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id idolanya. Konsep identifikasi merupakan kenyataan yang berbeda dengan imitiasi. Pada perilaku peniruan, seseorang berupaya mengimitasi dengan mengambil sebagian dari cara berpikir dan berperilaku tokoh yang diidolakan – sementara pada perilaku identifikasi, individu mengambil seluruh figur fisik maupun non-fisik dari tokoh yang diidolakan hingga pelaku seolah-olah mirip atau identik dengan tokoh pahlawannya. Media massa menyediakan bahan bagi proyek identifikasi individu. Media massa dalam hal ini berfungsi sebagai agen pembentukan identitas yang menawarkan beragam status dan peran yang dapat dikonsumsi khalayak. Selaku agen sosialisasi skunder, media massa menyajikan informasi fiktif maupun faktual seorang tokoh dengan peranan dan gaya tertentu sesuai agenda setting yang ditetapkan lembaga media. Pembentukan peranan yang bersifat fiktif eksplisitnya menampilkan tokoh yang dirancang untuk dikagumi oleh penampilan serba trendi, kaya, cantik dan tampan, awet muda, dan glamour serta gagasan-gagasannya yang utopis. Media pun merancang tokoh faktual yang dideskripsikan menjalankan peranan sebagaimana masyarakat pada umumnya. Teori Identifikasi adalah, suatu metode yang dipergunakan orang dalam menghadapi orang lain dan membuatnya menjadi bagian daripada keperibadiannya (Sigmund Freud dalam The Ego and The Id, 1950, dalam Suryabrata, 1995:141) Freud memisahkan pengertian imitasi dengan identifikasi. Peniruan dangkal lekat sebagai imitasi sedangkan identifikasi dimaknai sebagai upaya peniruan yang kemudian dijadikan sebagai bagian dari keperibadiannya. Identifikasi satu gejala primer bagi manusia melalui aktifitas ini memungkinkan seseorang mereduksi ketegangan dengan cara bertingkahlaku seperti perilaku orang lain. Aktifitas identifikasi dimulai sejak seseorang mulai mengenal dunia hingga ia meninggal, di awali ketika masa kanak-kanak, seseorang mulai diperkenalkan dengan tokoh-tokoh yang dapat dijadikan panutan mulai dari lingkup keluarga inti, keluarga luas, teman bermain, institusi pendidikan formal, hingga figur kepahlawanan yang ditawarkan media massa. Agen-agen sosialisasi ini sebagai sumber rujukan seseorang yang tanpa disadari dijadikan figur ideal yang dapat membantunya mencapai maksud tertentu. Proses trial dan eror mewarnai aktifitas penemuan jati diri, hingga seseorang dapat menemukan pola identifikasi yang sesuai keperluannya. Pada teori imitasi dan sugesti dari Davis P. Philips. Philips adalah ahli sosiologi. Ia menyebutkan bahwa teorinya bukanlah hal yang baru. Ahli-ahli sosiologi seperti Tarde, Le Bon, dan Mead telah membicarakan peranan imitasi dan sugesti. Begitu pula para psikolog telah banyak mengulas teori modeling. Yang baru dari Philips ialah menggunakan kerangka teori imitasi pada efek media massa terhadap anggota-anggota masyarakat. ‘13 5 Sosiologi Komunikasi Enjang Pera Irawan, S.Sos.,M.I.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Misalkan, peristiwa bunuh diri diberitakan besar-besaran dalam televisi apakah berita tu akan mendorong anggota-anggota masyarakat untuk melakukan bunuh diri pula ? David P. Philips menjawab “ya”. Ia menguji hipotesisnya dengan meniliti peristiwa bunuh diri dan kecelakaan mobil sesudah publikasi bunuh diri dalam media massa. Hasilnya dilaporkan: (1) peristiwa bunuh diri bertambah secara menonjol setelah publikasi bunuh diri ; (2) kecelakaan mobil yang fatal juga meningkat setelah pemberitaan bunuh diri; (3) kecelakaan mobil yang dikemudikan sendiri juga meningkat.; (4) usia bunuh diri dalam berita media massa; (5) makin luas pemberitaan peristiwa bunuh diri, makin besar peningkatan jumlah orang yang bunuh diri atau mendapat kecelakaan lalulintas yang fatal; (6) tingkat bunuh diri tertinggi dan tingkat kecelakaan tertinggi terjadi terutama sekali pada wilayah geografis dimana diberitakan peristiwa bunuh diri. Penelitian Philips menarik. Apalagi setelah ia juga menganalisa hubungan antara publikasi peristiwa bunuh diri dengan kecelakaan pesawat terbang di Amerika Serikat. Tampaknya, banyak pilot yang membunuh diri dengan mencelakakan pesawat yang dikendalikannnya, berikut penumpang-penumpangnya karena “terilhami” oleh peristiwa bunuh diri yang dilihatnya pada media massa. Yang lebih menariknya lagi sebetulnya penjelasan Philips tentang teorinya. Ia menyebut proses imitasi ini sebagai penularan cultural (cultural contagion) yang ia analogikan dengan penularan penyakit (biological contagion). Ia menyebutkan enam karakter penularan cultural: 1) Periode Inkubasi. Dalam penularan penyakit, gejala penyakit baru muncul beberapa saat setelah orang dikenai mikroorganisme. Phillips membuktikan bahwa peristiwa bunuh diri berikutnya terjadi rata-rata tiga atau empat hari sesudah pemberitaan bunuh diri. 2) Imunisasi. Penyakit menular dapat dihindari dengan imunisasi. Kita dapat mengimunisasi orang terhadap penyakit cacar dengan menginjeksikan dengan dosis kecil mikroorganisme lain yang sejenis (misalnya, cowpox). Begitu pula, orang tidak akan terpengaruh oleh peristiwa bunuh diri, bila kepadanya telah diberikan beritaberita bunuh diri yang kecil-kecil. 3) Penularan Khusus atau Umum. Dalam penularan biologis, mikroorganismetertentu hanya menyebabkan penyakit tertentu. Bakteri diphtheria hanya menyebabkan diphtheria. Menurut Phillips, kisah bunuh diri ternyata dapat menular khsus dan juga umum. Peristiwa seseorang yang bunuh diri menyebabkan kecelakaan kendaraan yang ditumpangi oleh pengemudinya saja ; tetapi juga dapat mendorong peristiwa bunuh diri dan kecelakaan mobil. ‘13 6 Sosiologi Komunikasi Enjang Pera Irawan, S.Sos.,M.I.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 4) Kerentanan untuk Ditulari. Orang-orang yang tergangu kesehatan biologisnya mudah ditulari penyakit. Demikian pula mereka psikologis sakit (misalnya rendah diri, sering gagal, kehilangan pegangan hidup cenderung mudah meniru peristiwa bunuh diri. 5) Media Infeksi. Beberapa penyakit ditularkan lebih efektif lewat media tertentu. Kolera lebih mudah menyebar melalui air dari pada udara. Pneumonia sebaliknya. Dalam penelitian Phillips, peristiwa bunuh diri lebih cepat menular bila diberitakan oleh surat kabar dari pada televisi. 6) Karantina. Penyebaran penyakit dapat dihentikan dengan mengkarantinakan individu yang menderita penyakit itu. Penderita TBC dikrim ke sanatorium. Phillips menemukan bahwa peniruan bunuh diri dapat dikurangi dengan mengurangi publisitas peristiwa bunuh diri. Ia juga menemukan bahwa berita bunuh diri yang dimuat pada halaman dalam (halaman 3 atau 4) surat kabar tidak menimbulakan efek pada kematian berikutnya. Teori Social Learning (Bandura) Menurut teori belajar sosial dari Bandura, orang cenderung meniru perilaku yang diamatinya; stimuli menjadi teladan untuk perilakunya. Orang belajar bahasa Indonesia yang baik setelah mengamatinya dalam televisi. Dalam film (televisi) sering disajikan adegan pembunuhan, pemerkosaan, perusakan, dan sebagainya, yang merusak atau mencelakakan orang lain. Adegan kekerasan ini biasanya dianggap sebagai bagian yang “ramai” dari penyajian film. Penonton menyukainya, dan produser tentu saja menyukainya pula. Bersama dengan adegan seks, adegan kekerasan adalah pemancing penonton yang paling manjur. Akibatnya presentase film film “darah dan dada” (blood-and-breast) mangkin meningkat. Di Indonesia, belakangan gejala seperti ini mulai menonjol. Secara singkat, hasil penelitian tentang efek adegan kekerasan dalam film atau televisi dapat disimpulkan pada tiga tahap: (1) mula-mula penonton mempelajari metode agresi setelah melihat contoh (observational learning); (2) selanjutnya, kemampuan penonton untuk mengendalikan dirinya berkurang (disinhibition) dan (3) akhirnya, mereka tidak lagi tersentuh oleh orang yang menjadi korban agresi (desensitization). Jadi film kekerasan mengajarkan agresi, mengurangi kendali moral penontonnya, dan menumpulkan perasaan mereka. Lewat proses imitasi (peniruan) dan modelling, pemirsa belajar menyikapi realitas dunia ketika fenomena di televisi muncul dalam kenyataan hidup sehari-hari. Sebagian besar tingkah laku individu diperoleh sebagai hasil belajar melalui pengamatan atau tingkah laku yang ditampilkan oleh individu lain yang menjadi model. Misalnya, pemirsa remaja lebih ‘13 7 Sosiologi Komunikasi Enjang Pera Irawan, S.Sos.,M.I.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id tertarik untuk mengamati bahkan mencontoh tingkah laku yang menghasilkan penguatan yang lebih besar dibanding tingkah laku yang menghasilkan penguatan yang lebih kecil. Ilmu Komunikasi sebagai kajian multidispliner melibatkan konsep Psikologi dalam kaitannya menerangkan efek komunikasi massa memberikan dampak pada perilaku individu. Teori Belajar sebagai turunan Teori Psikologi, berpijak pada aliran Behaviorisme yang menganggap konsepsi manusia sebagai Homo Mechanicus atau Manusia Mesin. Kita dapat mengartikan Teori Belajar sebagai : Seluruh perilaku manusia (kecuali insting) adalah hasil dari belajar. Belajar dimaknai sebagai perubahan perilaku organisme yang dikendalikan oleh faktorfaktor lingkungan hingga dalam hal ini, manusia berupaya mengembangkan kelakuannya hingga sesuai tuntutan lingkungannya (Rakhmat, 2004:21) Media massa dalam konteks Teori Belajar diasumsikan memberikan efek prososial maupun anti-sosial bagi seseorang, dengan mana kita dapat belajar melalui gambaran pengalaman yang ditawarkan media hingga kita dapat melakukan peniruan (modelling). Bandura dan rekan sejawatnya - Byrne, mengidentifikasi kegiatan belajar sosial ke dalam empat tahapan proses : (1). Proses Perhatian Proses belajar diawali manakala seseorang mengamati peristiwa yang terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Peristiwa yang diamati dapat berwujud tindakan maupun abstract modelling seperti sikap, pandangan, persepsi realitas sosial. Hanya peristiwa yang dianggap bermakna yang dapat dijadikan pusat perhatian untuk diteladani. Peristiwa ini biasanya terjadi berulang-ulang dan mendatangkan perasaan positip atau memuaskan kebutuhan psikologis. (2). Proses Pengingatan Efek prososial atau anti-sosial perlu diperkuat lagi melalui penyimpanan setiap peristiwa yang dianggap penting melalui visual imagery dan verbal. Penyimpanan dalam memori perlu dikuatkan dengan keterampilan membayangkan secara mental dalam bentuk imajinal dan bahasa. Kita dapat memfantasikan diri seolah-olah sesuai dengan gambaran imajiner terhadap sesuatu yang dipanuti atau merekamnya dalam kalimat pengingat. (3). Proses Reproduksi Motoris ‘13 8 Sosiologi Komunikasi Enjang Pera Irawan, S.Sos.,M.I.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Setiap memori yang telah kita simpan dapat kita keluarkan pada saat diperlukan. Setiap perilaku maupun sikap dapat kita modifikasi sedemikian rupa hingga sesuai dengan kebutuhan kita. (4). Proses Motivasional Proses reproduksi perilaku, sikap, gagasan bergantung pada kekuatan motivasi atau peneguhan. Motiv ini dapat berlatar sifat peneguhan yang beragam, terdapat motiv eksternal, motiv gantian (vicarious reinforcement), dan motiv diri (self reinforcement). Pada motiv pertama, dapat dicontohkan melalui peneguhan profesional bekerja bebas korupsi. Seseorang akan melakukan perilaku ini ketika sistem sosialnya mendukung anti korupsi, sebaliknya kita menyembunyikan sifat kejujuran ketika anggota lingkungan sebagian besarnya melakukan praktek korupsi. Pada motiv kedua, kita dapat saja bersikap anti-korupsi atau menjadi koruptor ketika terdapat figur menteladani perilaku korupsi. Ganjaran yang diperoleh seorang hero seperti penghargaan, cacian, status sosial positip atau negatip secara tidak langsung merupakan ganjaran yang kita peroleh jika kita berperilaku sama. Pada motiv ketiga, tindakan korupsi atau anti-korupsi akan kita lakukan ketika diri (self) merealisasikan perilaku tersebut. Dorongan tentang rasa puas, senang, atau terpenuhi citra ideal menjadi fakta penyebab seseorang mengeksekusi tindakannya. (Bandura dan Byrne, Social Psyschology: Understanding Human Interaction, 1977 dalam Rakhmat, 2004:240) Kita dapat ambilkan contoh efek media massa yang mengeksposur adegan kekerasan dalam tayangan film atau tontonan televisi. Termuat lebih seratus bukti penelitian menyangkut riset ini jika merujuk pada Jalaludin Rakhmat. Namun secara general kita dapat simpulkan proses belajar yang ditimbulkan dari dampak adegan kekerasan : (1). Penonton mempelajari adegan agregasi setelah melihat model (observational learning) (2). Kemampuan diri penonton berkurang pasca menonton adegan kekerasan (disinhibitation) (3). Penonton pada akhirnya tidak lagi tersentuh oleh orang yang menjadi korban agresi (desensitization) Dalam uraian proses belajar tindak kekerasan melalui televisi, kita beroleh gambaran jika tayangan bernuansa agresi mengajarkan masyarakat tentang perilaku agresi, mengurangi ‘13 9 Sosiologi Komunikasi Enjang Pera Irawan, S.Sos.,M.I.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id kendali moral, dan menumpulkan perasaan. Agresi dalam hal ini dapat kita definisikan sebagai : Setiap bentuk perilaku yang diarahkan untuk merusak atau melukai orang lain yang menghindari perlakuan seperti itu (Baron dan Byrne, Social Psychology: Understanding Human Interaction, 1979, dalam Rakhmat, 2004:243) Pada kesimpulannya, Teori Belajar menjelaskan jika media massa menjalankan fungsi strategis dalam proses sosialisasi berbagai nilai-nilai sosial dan kebudayaan. Sebagai agen sosialisasi skunder, media massa mentransmisikan pengetahuan yang pada gilirannya memberikan pembaca, pendengar, pirsawan role model bagi perilaku prososial dan juga anti-sosial. Kesimpulan Melalui Teori Imitasi, Teori Identifikasi, dan Teori Belajar Sosial kita dapat memahami jika komunikasi massa melalui beragam saluran massanya memberikan pengetahuan kepada masyarakat luas tentang gagasan-gagasan yang diidealisasikan oleh lembaga media massa. Tokoh rekaan dalam wujud fiktif dan faktualnya memberikan pedoman bagi orang banyak tentang perilaku, sikap, dan cara berpikir yang sedianya dapat dijadikan alternatif suri tauladan. Proyek pembentukan tokoh panutan sebenarnya merupakan wujud konversi komunikasi massa antara infrastruktur komunikasi atau khalayak dengan suprastruktur komunikasi atau dalam hal ini terdiri dari lembaga media massa dan pemerintah yang membentuk output berupa Kebijakan Komunikasi Nasional. Melalui penjelasan Teori Peniruan kita dapat menguraikan realitas menyangkut posisi media massa selaku agen pembentuk citra diri bagi konsumen media. Adapun Teori Identifikasi menerangkan kenyataan menyangkut upaya peniruan secara menyeluruh individu terhadap tokoh rekaan yang dirancang media. Namun kegiatan imitasi maupun identifikasi menjadi citra diri bagi seseorang memerlukan penjelasan Teori Belajar Sosial. Sebagai konsep yang menerangkan jika seseorang tidak serta merta meniru dan mengindentifikasi dirinya merujuk pada sosok hero yang ditawarkan media – namun individu akan melakukan proses penyeleksian sumber pengetahuan ataupun perilaku panutan yang dapat dijadikan identitas dirinya. ‘13 10 Sosiologi Komunikasi Enjang Pera Irawan, S.Sos.,M.I.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Daftar Pustaka Bandura dan Byrne. 1977. Social Psyschology: Understanding Human Interaction, dalam Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, Cetakan Keduapuluhsatu, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004. Desiana E. Pramesti. Modul Bahan Ajar Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Universitas Mercu Buana. Feshbach, Seymour & Weiner, Bernard & Bohart, Arthur. 1995. Personality, 4 Edition, Wadswort Publising. Freud, Sigmund. 1950. The Ego and The Id, dalam Sumadi Suryabrata, Psikologi Kepribadian, Edisi 1 Cetakan 7, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995. G. Tarde. 1890. Les Lois de I’Imitation, dalam Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Cetakan Kedelapan, Jakarta: PT Rineka Cipta., 1990. Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi, Cetakan Kedelapan, Jakarta: PT Rineka Cipta. Rakhmat, Jajaluddin. 2004. Psikologi Komunikasi, Cetakan Keduapuluhsatu, Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Suryabrata, Sumadi. 1995. Psikologi Kepribadian, Edisi 1 Cetakan 7, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. ‘13 11 Sosiologi Komunikasi Enjang Pera Irawan, S.Sos.,M.I.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id