5289

advertisement
ARTIKEL
PENGELOLAAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI HALUSINASI PENDENGARAN PADA TN. A
DI RSJ PROF. DR. SOEROJO MAGELANG
DI SUSUN OLEH:
WINDA RAHMAWATI
0131774
AKADEMI KEPERAWATAN NGUDI WALUYO
UNGARAN
2016
Pengelolaan Gangguan Persepsi Sensori Halusinasi Pendengaran Pada Tn. A Di
RSJ Prof. Dr. Soerojo Magelang
Winda Rahmawati*, Ana Puji Astuti**, Mukhamad Musta’in***
Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo Ungaran
[email protected]
ABSTRAK
Gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran merupakan salah satu gejala skizofrenia.
Halusinasi merupakan penyerapan persepsi panca indra tanpa ada rangsangan dari luar yang dapat
meliputi semua sistem panca indra. Tujuan penulisan ini untuk melaporkan pengelolaan keperawatan
gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran di Wisma Harjuna RSJ Prof. Dr. Soerojo Magelang.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara dan observasi tingkah laku
klien. Metode yang digunakan dengan pendekatan metodologi keperawatan yaitu memberikan
pengelolaan kasus selama 2 hari yang berupa asuhan keperawatan pada klien dalam mengatasi masalah
gangguan persepsi sensori : halusinasi.
Hasil pengelolaan didapatkan klien mampu melakukan cara mengontrol halusinasi dengan cara
menghardik, bercakap-cakap dan melakukan kegiatan. Klien mampu mengulangi ketiga strategi
pelaksanaan yang sudah diajarkan. Pada strategi pelaksanaan ketiga yaitu kegiatan, kegiatan yang dipilih
klien dengan menyapu.
Saran bagi perawat pelaksana diharapkan untuk dapat meningkatkan kreatifitas dalam
melakukan interaksi atau tindakan dengan klien.
Kata kunci
Kepustakaan
: Halusinasi pendengaran, bercakap-cakap, melakukan kegiatan.
: 22 (2006-2016)
PENDAHULUAN
Kesehatan jiwa merupakan suatu
kondisi sehat emosional, psikologis dan sosial
yang terlihat dari hubungan interpersonal,
perilaku dan koping yang efektif, kondisi diri
yang positif serta kestabilan emosional menurut
Johnson dalam Direja (2011). Undang–Undang
Kesehatan No. 3 Tahun 1996 dalam Prabowo
(2014), kesehatan jiwa adalah kondisi yang
memungkinkan perkembangan fisik, intelektual,
emosional secara optimal dari seseorang dan
perkembangan ini berjalan selaras dengan
orang lain. Kesehatan jiwa harus selaras dengan
pengendalian diri seseorang agar terbebas dari
stress yang berlebihan. Jadi kesehatan jiwa itu
mengandung berbagai karakteristik yang positif
yang
menggambarkan
keselarasan
dan
keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan
kedewasaan kepribadiannya agar tidak terjadi
gangguan jiwa.
Gangguan jiwa dimasa lalu dianggap
sebagai hukuman karena pelanggaran agama,
sosial dan norma yang biasa terjadi pada
masyarakat. Gangguan jiwa itu sendiri dapat
diartikan sebagai sindrom yang terjadi pada
individu, sindrom itu dihubungkan dengan
adanya distress atau ketidakmampuan pada
salah satu bagian fungsi penting dalam tubuh
dan disertai peningkatan resiko secara
bermakna untuk mati, sakit dan kehilangan
kebebasan (Prabowo, 2014).
World Health Organization menyatakan
angka
penderita
gangguan
jiwa
mengkhawatirkan secara global, sekitar 450 juta
orang yang menderita gangguan jiwa yang
terdiri 150 juta mengalami depresi, 90 juta
gangguan zat dan alkohol, 38 juta epilepsi, 25
juta skizorenia serta 1 juta melakukan bunuh
diri setiap tahun, dalam Pinilih dkk (2015).
Salah satu bentuk gangguan jiwa yang
terjadi di Indonesia adalah gangguan jiwa berat.
Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo
Berdasarkan data Riskesdas 2013 di Indonesia
jumlah seluruh responden dengan gangguan
jiwa berat adalah sebanyak 1.728 orang.
Prevalensi psikosis tertinggi di DI Yogyakarta,
Aceh, Sulawesi Tenggara dan Jawa Tengah,
sedangkan yang terendah di Kalimantan
Barat. Prevalensi gangguan jiwa di Jawa Tengah
sebesar (2,3%).
Salah satu gangguan jiwa berat dikenal
dengan sebutan psikosis, contoh psikosis adalah
skizofrenia. Gejala yang terjadi pada skizofrenia
salah satunya gangguan persepsi sensori:
halusinasi. Halusinasi dapat diartikan sebagai
hilangnya kemampuan dalam membedakan
rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan
eksternal (dunia luar). Klien memberi persepsi
atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada
objek atau rangsangan yang nyata (Kusumawati
dan Hartono, 2010).
Berdasarkan data instalasi rekam medik
RSJ prof. dr. Soerojo Magelang selama 3 tahun
terakhir yaitu pada tahun 2013 sampai 2015
angka gangguan mengalami peningkatan,
sedangkan angka penurunan terdapat pada
tahun 2014, seperti pada tabel di bawah ini:
Tabel Distensi Frekuensi Pasien Skizofrenia di
RSJ Prof. Dr. Soerojo Magelang Tahun
2013-2015.
Pasien jiwa
berdasarkan jenis
kelamin
Perem
Laki-laki
puan
2539
1471
N
o
Tahun
1
2013
2
2014
837
3
2015
1036
Jumlah
4412
Juml
ah
Perse
ntase
(%)
meningkat dikarenakan kebutuhan sosial
ekonomi semakin mendesak yang membuat
laki-laki harus bekerja keras sedangkan
lapangan pekerjaan semakin susah didapat.
Pada penelitian Erlina dkk (2010), dengan judul
Determinan Timbulnya Skizofenia pada Pasien
Rawat Jalan Di Rumah Sakit Prof. HB SAANIN
Padang Sumatra Barat membuktikan pada
kelompok skiofrenia proporsi terbanyak adalah
laki-laki (72%), laki-laki sebagai kepala rumah
tangga sehingga lebih besar mengalami tekanan
hidup dari pada perempuan yang lebih sedikit
mengalami resiko gangguan jiwa karena
perempuan lebih bisa menerima situasi
kehidupan. (Erlina dkk, 2010)
METODE PENGELOLAAN
Metode yang digunakan dengan cara
memberikan asuhan keperawatan dengan
cara wawancara untuk mendapatkan
informasi serta data yang selengkaplengkapnya mengenai klien baik secara
subyektif
maupun
obyektif
dan
mengobservasi tingkah laku klien. Dalam
pengkajian hal yang dapat dilakukan yaitu :
melakukan pengkajian persepsi. Persepsi
yang dikaji meliputi persepsi pendengaran.
HASIL
401
0
58.38%
348
118
5
17.25%
Hasil pengelolaan yang didapatkan
klien mengalami gangguan persepsi sensori
halusinasi
pendengaran.
Pada
saat
melakukan pengkajian halusinasi klien tidak
muncul.
638
167
4
24.37%
PEMBAHASAN
686
9
100.0
0%
2457
Dari data diatas dengan pasien jiwa
berdasarkan jenis kelamin, sebagian besar
pasien depresi yang dirawat inap adalah lakilaki. Tingkat depresi pada laki-laki cenderung
Dari data yang sudah didapatkan pada
pengkajian yang didapatkan penulis, penulis
membuat analisa data untuk menegakkan
diagnosa keperawatan. Dari hasil pengkajian
yang penulis dapatkan, penulis merumuskan
tiga diagnosa pada klien yang pertama
gangguan persepsi sensori: halusinasi, menarik
diri: isolasi sosial, dan resiko perilaku kekerasan.
Menurut Yusuf (2015), pada pohon masalah
Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo
dijelaskan bahwa gangguan isolasi sosial:
menarik diri merupakan penyebab atau etiologi
gangguan persepsi sensori. Sedangkan resiko
mencederai diri sendiri lingkungan dan orang
lain merupakan akibat dari adanya gangguan
persepsi sensori halusinasi.
Gangguan
persepsi
merupakan
seseorang tidak dapat membedakan atau
mengartikan suatu rangsangan, hal serupa
dikemukakan oleh Dermawan dan Rusdi (2013),
gangguan persepsi adalah ketidakmampuan
manusia dalam membedakan rangsangan yang
timbul dari pikiran dan stimulus eksternal.
Menurut penulis, halusinasi merupakan salah
satu gejala gangguan jiwa, klien yang mengalami
halusinasi akan mengalami merasakan sensasi
palsu yang dapat berupa suara, penglihatan,
pengecapan, perabaan dan penciuman yang
sebenarnya tidak ada. Hal ini didukung oleh
pendapat Prabowo (2014), yang menyebutkan
halusinasi merupakan perubahan persepsi
sensori dimana pasien mempersepsikan sesuatu
yang sebenarnya tidak terjadi.
Diagnosa gangguan persepsi sensori
ditegakkan karena menurut penulis saat
melakukan pengkajian, akibat dari timbulnya
halusinasi itu sendiri klien sering menyendiri,
berbicara tidak nyambung atau nglantur,
tatapan mata fokus saat melakukan interaksi
dengan penulis. Pada kasus Tn. A pada analisa
data penulis lebih memprioritaskan masalah
dengan gangguan persepsi sensori: halusinasi
pendengaran. Penulis menegakkan diagnosa
halusinasi sebagai prioritas utama yang
ditemukan karena merupakan masalah yang
harus segera dilakukan penanganan, saat
muncul halusinasi terjadinya ketidakmampuan
klien untuk mempersepsikan stimulus secara
nyata yang nantinya dapat menyulitkan klien.
Apabila tidak segera diatasi klien akan asyik
dengan halusinasinya yang dapat menyebabkan
munculnya masalah yang lain yang dapat
mencederai diri sendiri dan orang lain.
Implementasi yang sudah dilakukan
pada tanggal 8 April 2016 di Wisma Harjuna RSJ
Prof. dr. Soerojo Magelang adalah dengan cara
bercakap–cakap
(SP2).
Melakukan
cara
mengontrol halusinasi dengan bercakap–cakap
yang sudah diajarkan penulis pada klien agar
klien mampu mengatasi halusinasinya saat
muncul, pada saat melakukan interaksi pada
klien diharapkan klien tetap fokus pada
berbincangan.
Untuk mengontrol halusinasi dengan
cara bercakap–cakap dapat dilakukan dengan
orang lain seperti teman klien dan perawat.
Prinsip membina hubungan saling percaya
dilakukan penulis pada klien agar klien mau
terbuka dan percaya pada penulis dengan cara
berbincang-bincang, hubungan saling percaya
harus dilakukan karena hubungan saling percaya
merupakan dasar pada hubungan antara klien
dan penulis yang dapat menyebabkan terjadinya
kepercayaan yang penuh dari klien terhadap
penulis. menurut Muhith (2015) membina
hubungan saling percaya dapat menggunakan
prinsip komukasi terapeutik dengan melakukan
perbincangan pada klien dapat meingkatkan
kepercayan klien dalam mengatasi masalah
yang klien hadapi. Ketika klien bercakap–cakap
dengan orang lain maka terjadi distraksi atau
fokus perhatian klien akan beralih dari
halusinasi ke percakapan yang dilakukan dengan
orang lain tersebut. Sehingga salah satu cara
yang efektif untuk mengontrol halusinasi adalah
dengan bercakap–cakap dengan orang lain yang
diungkapkan oleh Yosep dan Sutini, (2014).
Alasan tindakan keperawatan yang
dilakukan langsung SP2 karena klien
sebelumnya sudah diajarkan cara menghardik
oleh perawat, dan saat penulis meminta klien
mengulanginya, klien kompeten atau dapat
melakukan kembali cara menghardik yang
sudah diajarkan.
Pada pertemuan kedua hari Sabtu
tanggal 9 April 2016 penulis mengevaluasi
tindakan yang sudah diberikan sebelumnya
kepada klien. Setelah itu penulis mengajarkan
cara yang selanjutnya (SP3) dengan cara
mengontrol halusinasi dengan melakukan
kegiatan, kegiatan yang akan dilakukan oleh
klien yaitu dengan menyapu. Kegiatan yang
dilakukan bertujuan agar klien tidak berfokus
dengan halusinasinya saja saat muncul dan klien
dapat mengalihkan halusinasinya dengan cara
seperti menyapu yang dipilih klien dalam
Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo
mengatasi halusinasi pada pengelolaan yang
dilakukan penulis. Dengan melakukan kegiatan
atau beraktifitas secara terjadwal klien tidak
akan mengalami banyak waktu luang yang
seringkali mencetuskan halusinasi. Untuk itu
klien yang mengalami halusinasi bisa dibantu
dengan cara melakukan kegiatan sesuai apa
yang disukai klien selama seminggu dari pagi
sampai malam. (Muhith, 2015)
EVALUASI
Evaluasi yang dilakukan pada tanggal 8
dan 9 April 2016 didapatkan pada klien yang
pertama yaitu, klien mampu mengulang kembali
apa yang sudah diajarkan seperti cara
menghardik, bercakap-cakap, dan melakukan
kegiatan. Klien perlu mendapat pengawasan
yang lebih terkait dengan halusinasinya agar
klien tetap melakukan apa yang sudah diajarkan
agar halusinasi tidak muncul kembali. Pada saat
melakukan tindakan klien terlihat tampak lebih
tenang, lebih kooperatif.
Evaluasi yang didapatkan sudah sesuai
dengan kriteria hasil menurut Prabowo (2014),
yaitu saat melakukan bercakap-cakap dengan
perawat terlihat lebih kooperatif, ekspresi
wajah senang dan klien dapat menyebutkan
tindakan yang biasa klien lakukan pada saat
mengontrol halusinasi dengan cara kegiatan.
KESIMPULAN
Hasil pengelolaan pada klien dengan
gangguan persepsi sensori yang didapatkan
selama 2x24 jam klien dapat melakukan kembali
apa yang sudah diajarkan seperti mengontrol
halusinasi
dengan
bercakap-cakap
dan
melakukan kegiatan.
SARAN
Diharapkan masyarakat membentuk
kader jiwa melalui kerja sama dengan rumah
sakit ataupun puskesmas untuk meminimalkan
terjadinya kekambuhan pada klien dan
masyarakat mau menerima, tidak mengucilkan
dan tidak memasung klien dengan gangguan
jiwa.
Daftar Pustaka
Dermawan, D., & Rusdi. (2013). Keperawatan
Jiwa, Konsep dan Kerangka Kerja
Asuhan
Keperawatan
Jiwa.
Yogyakarta: Gosyen Publising.
Direja, A. H. S. (2011). Buku Ajar Keperawatan
Psikiatri Edisi 3. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Ernila, dkk. (2010). Determinan Terhadap
Timbulnya Skizofrenia pada Pasien
Rawat Jalan di Rumah Sakit Jiwa
Prof. HB Saanin Padang Sumatra
Barat.
http://jurnal.ugm.ac.id/bkm/article/
view/3471/2998 diakses 21 Mei 2016
jam 19.51.
Kusumawati, F., & Hartono. Y. (2010). Buku Ajar
Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika.
Muhith, A. (2015). Pendidikan Keperawatan
Jiwa Teori dan Aplikasi. Yogyakarta:
CV ANDI OFFSET.
Pinilih, dkk. (2015). Manajemen Kesehatan Jiwa
Berbasis
Komunitas
Melalui
Pelayanan Keperawatan Kesehatan
Jiwa Komunita di Wilayah Dinas
Kesehatan Kabupaten Magelang.
http://jurnal.unimus.ac.id/index.php
/psn1201210/article/viewfile/1640/1
692 diakses tanggal 24 April 2016
jam 22.00.
Prabowo, Eko. (2014). Konsep dan Aplikasi
Asuhan
Keperawatan
Jiwa.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Riskesdas. (2013). Kesehatan Jiwa Menurut
Riskesdas
2013.
http://www.litbang.depkes.go.id/site
s/download/rkd2013/Laporan_riskes
das_2013_final.pdf diakses tanggal
26 Mei 2016 jam 18.00 WIB
Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo
Yosep, I., & Sutini, T. (2014). Buku Ajar
Keperawatan Jiwa. Bandung: PT.
Refika Aditama.
Yusuf, dkk. (2015). Buku Ajar Keperawatan
Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika.
Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo
Download