ARTIKEL PENGELOLAAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI HALUSINASI PENDENGARAN PADA TN. A DI RSJ PROF. DR. SOEROJO MAGELANG DI SUSUN OLEH: WINDA RAHMAWATI 0131774 AKADEMI KEPERAWATAN NGUDI WALUYO UNGARAN 2016 Pengelolaan Gangguan Persepsi Sensori Halusinasi Pendengaran Pada Tn. A Di RSJ Prof. Dr. Soerojo Magelang Winda Rahmawati*, Ana Puji Astuti**, Mukhamad Musta’in*** Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo Ungaran [email protected] ABSTRAK Gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran merupakan salah satu gejala skizofrenia. Halusinasi merupakan penyerapan persepsi panca indra tanpa ada rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua sistem panca indra. Tujuan penulisan ini untuk melaporkan pengelolaan keperawatan gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran di Wisma Harjuna RSJ Prof. Dr. Soerojo Magelang. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara dan observasi tingkah laku klien. Metode yang digunakan dengan pendekatan metodologi keperawatan yaitu memberikan pengelolaan kasus selama 2 hari yang berupa asuhan keperawatan pada klien dalam mengatasi masalah gangguan persepsi sensori : halusinasi. Hasil pengelolaan didapatkan klien mampu melakukan cara mengontrol halusinasi dengan cara menghardik, bercakap-cakap dan melakukan kegiatan. Klien mampu mengulangi ketiga strategi pelaksanaan yang sudah diajarkan. Pada strategi pelaksanaan ketiga yaitu kegiatan, kegiatan yang dipilih klien dengan menyapu. Saran bagi perawat pelaksana diharapkan untuk dapat meningkatkan kreatifitas dalam melakukan interaksi atau tindakan dengan klien. Kata kunci Kepustakaan : Halusinasi pendengaran, bercakap-cakap, melakukan kegiatan. : 22 (2006-2016) PENDAHULUAN Kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi sehat emosional, psikologis dan sosial yang terlihat dari hubungan interpersonal, perilaku dan koping yang efektif, kondisi diri yang positif serta kestabilan emosional menurut Johnson dalam Direja (2011). Undang–Undang Kesehatan No. 3 Tahun 1996 dalam Prabowo (2014), kesehatan jiwa adalah kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual, emosional secara optimal dari seseorang dan perkembangan ini berjalan selaras dengan orang lain. Kesehatan jiwa harus selaras dengan pengendalian diri seseorang agar terbebas dari stress yang berlebihan. Jadi kesehatan jiwa itu mengandung berbagai karakteristik yang positif yang menggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan kedewasaan kepribadiannya agar tidak terjadi gangguan jiwa. Gangguan jiwa dimasa lalu dianggap sebagai hukuman karena pelanggaran agama, sosial dan norma yang biasa terjadi pada masyarakat. Gangguan jiwa itu sendiri dapat diartikan sebagai sindrom yang terjadi pada individu, sindrom itu dihubungkan dengan adanya distress atau ketidakmampuan pada salah satu bagian fungsi penting dalam tubuh dan disertai peningkatan resiko secara bermakna untuk mati, sakit dan kehilangan kebebasan (Prabowo, 2014). World Health Organization menyatakan angka penderita gangguan jiwa mengkhawatirkan secara global, sekitar 450 juta orang yang menderita gangguan jiwa yang terdiri 150 juta mengalami depresi, 90 juta gangguan zat dan alkohol, 38 juta epilepsi, 25 juta skizorenia serta 1 juta melakukan bunuh diri setiap tahun, dalam Pinilih dkk (2015). Salah satu bentuk gangguan jiwa yang terjadi di Indonesia adalah gangguan jiwa berat. Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo Berdasarkan data Riskesdas 2013 di Indonesia jumlah seluruh responden dengan gangguan jiwa berat adalah sebanyak 1.728 orang. Prevalensi psikosis tertinggi di DI Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Tenggara dan Jawa Tengah, sedangkan yang terendah di Kalimantan Barat. Prevalensi gangguan jiwa di Jawa Tengah sebesar (2,3%). Salah satu gangguan jiwa berat dikenal dengan sebutan psikosis, contoh psikosis adalah skizofrenia. Gejala yang terjadi pada skizofrenia salah satunya gangguan persepsi sensori: halusinasi. Halusinasi dapat diartikan sebagai hilangnya kemampuan dalam membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata (Kusumawati dan Hartono, 2010). Berdasarkan data instalasi rekam medik RSJ prof. dr. Soerojo Magelang selama 3 tahun terakhir yaitu pada tahun 2013 sampai 2015 angka gangguan mengalami peningkatan, sedangkan angka penurunan terdapat pada tahun 2014, seperti pada tabel di bawah ini: Tabel Distensi Frekuensi Pasien Skizofrenia di RSJ Prof. Dr. Soerojo Magelang Tahun 2013-2015. Pasien jiwa berdasarkan jenis kelamin Perem Laki-laki puan 2539 1471 N o Tahun 1 2013 2 2014 837 3 2015 1036 Jumlah 4412 Juml ah Perse ntase (%) meningkat dikarenakan kebutuhan sosial ekonomi semakin mendesak yang membuat laki-laki harus bekerja keras sedangkan lapangan pekerjaan semakin susah didapat. Pada penelitian Erlina dkk (2010), dengan judul Determinan Timbulnya Skizofenia pada Pasien Rawat Jalan Di Rumah Sakit Prof. HB SAANIN Padang Sumatra Barat membuktikan pada kelompok skiofrenia proporsi terbanyak adalah laki-laki (72%), laki-laki sebagai kepala rumah tangga sehingga lebih besar mengalami tekanan hidup dari pada perempuan yang lebih sedikit mengalami resiko gangguan jiwa karena perempuan lebih bisa menerima situasi kehidupan. (Erlina dkk, 2010) METODE PENGELOLAAN Metode yang digunakan dengan cara memberikan asuhan keperawatan dengan cara wawancara untuk mendapatkan informasi serta data yang selengkaplengkapnya mengenai klien baik secara subyektif maupun obyektif dan mengobservasi tingkah laku klien. Dalam pengkajian hal yang dapat dilakukan yaitu : melakukan pengkajian persepsi. Persepsi yang dikaji meliputi persepsi pendengaran. HASIL 401 0 58.38% 348 118 5 17.25% Hasil pengelolaan yang didapatkan klien mengalami gangguan persepsi sensori halusinasi pendengaran. Pada saat melakukan pengkajian halusinasi klien tidak muncul. 638 167 4 24.37% PEMBAHASAN 686 9 100.0 0% 2457 Dari data diatas dengan pasien jiwa berdasarkan jenis kelamin, sebagian besar pasien depresi yang dirawat inap adalah lakilaki. Tingkat depresi pada laki-laki cenderung Dari data yang sudah didapatkan pada pengkajian yang didapatkan penulis, penulis membuat analisa data untuk menegakkan diagnosa keperawatan. Dari hasil pengkajian yang penulis dapatkan, penulis merumuskan tiga diagnosa pada klien yang pertama gangguan persepsi sensori: halusinasi, menarik diri: isolasi sosial, dan resiko perilaku kekerasan. Menurut Yusuf (2015), pada pohon masalah Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo dijelaskan bahwa gangguan isolasi sosial: menarik diri merupakan penyebab atau etiologi gangguan persepsi sensori. Sedangkan resiko mencederai diri sendiri lingkungan dan orang lain merupakan akibat dari adanya gangguan persepsi sensori halusinasi. Gangguan persepsi merupakan seseorang tidak dapat membedakan atau mengartikan suatu rangsangan, hal serupa dikemukakan oleh Dermawan dan Rusdi (2013), gangguan persepsi adalah ketidakmampuan manusia dalam membedakan rangsangan yang timbul dari pikiran dan stimulus eksternal. Menurut penulis, halusinasi merupakan salah satu gejala gangguan jiwa, klien yang mengalami halusinasi akan mengalami merasakan sensasi palsu yang dapat berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan dan penciuman yang sebenarnya tidak ada. Hal ini didukung oleh pendapat Prabowo (2014), yang menyebutkan halusinasi merupakan perubahan persepsi sensori dimana pasien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Diagnosa gangguan persepsi sensori ditegakkan karena menurut penulis saat melakukan pengkajian, akibat dari timbulnya halusinasi itu sendiri klien sering menyendiri, berbicara tidak nyambung atau nglantur, tatapan mata fokus saat melakukan interaksi dengan penulis. Pada kasus Tn. A pada analisa data penulis lebih memprioritaskan masalah dengan gangguan persepsi sensori: halusinasi pendengaran. Penulis menegakkan diagnosa halusinasi sebagai prioritas utama yang ditemukan karena merupakan masalah yang harus segera dilakukan penanganan, saat muncul halusinasi terjadinya ketidakmampuan klien untuk mempersepsikan stimulus secara nyata yang nantinya dapat menyulitkan klien. Apabila tidak segera diatasi klien akan asyik dengan halusinasinya yang dapat menyebabkan munculnya masalah yang lain yang dapat mencederai diri sendiri dan orang lain. Implementasi yang sudah dilakukan pada tanggal 8 April 2016 di Wisma Harjuna RSJ Prof. dr. Soerojo Magelang adalah dengan cara bercakap–cakap (SP2). Melakukan cara mengontrol halusinasi dengan bercakap–cakap yang sudah diajarkan penulis pada klien agar klien mampu mengatasi halusinasinya saat muncul, pada saat melakukan interaksi pada klien diharapkan klien tetap fokus pada berbincangan. Untuk mengontrol halusinasi dengan cara bercakap–cakap dapat dilakukan dengan orang lain seperti teman klien dan perawat. Prinsip membina hubungan saling percaya dilakukan penulis pada klien agar klien mau terbuka dan percaya pada penulis dengan cara berbincang-bincang, hubungan saling percaya harus dilakukan karena hubungan saling percaya merupakan dasar pada hubungan antara klien dan penulis yang dapat menyebabkan terjadinya kepercayaan yang penuh dari klien terhadap penulis. menurut Muhith (2015) membina hubungan saling percaya dapat menggunakan prinsip komukasi terapeutik dengan melakukan perbincangan pada klien dapat meingkatkan kepercayan klien dalam mengatasi masalah yang klien hadapi. Ketika klien bercakap–cakap dengan orang lain maka terjadi distraksi atau fokus perhatian klien akan beralih dari halusinasi ke percakapan yang dilakukan dengan orang lain tersebut. Sehingga salah satu cara yang efektif untuk mengontrol halusinasi adalah dengan bercakap–cakap dengan orang lain yang diungkapkan oleh Yosep dan Sutini, (2014). Alasan tindakan keperawatan yang dilakukan langsung SP2 karena klien sebelumnya sudah diajarkan cara menghardik oleh perawat, dan saat penulis meminta klien mengulanginya, klien kompeten atau dapat melakukan kembali cara menghardik yang sudah diajarkan. Pada pertemuan kedua hari Sabtu tanggal 9 April 2016 penulis mengevaluasi tindakan yang sudah diberikan sebelumnya kepada klien. Setelah itu penulis mengajarkan cara yang selanjutnya (SP3) dengan cara mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan, kegiatan yang akan dilakukan oleh klien yaitu dengan menyapu. Kegiatan yang dilakukan bertujuan agar klien tidak berfokus dengan halusinasinya saja saat muncul dan klien dapat mengalihkan halusinasinya dengan cara seperti menyapu yang dipilih klien dalam Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo mengatasi halusinasi pada pengelolaan yang dilakukan penulis. Dengan melakukan kegiatan atau beraktifitas secara terjadwal klien tidak akan mengalami banyak waktu luang yang seringkali mencetuskan halusinasi. Untuk itu klien yang mengalami halusinasi bisa dibantu dengan cara melakukan kegiatan sesuai apa yang disukai klien selama seminggu dari pagi sampai malam. (Muhith, 2015) EVALUASI Evaluasi yang dilakukan pada tanggal 8 dan 9 April 2016 didapatkan pada klien yang pertama yaitu, klien mampu mengulang kembali apa yang sudah diajarkan seperti cara menghardik, bercakap-cakap, dan melakukan kegiatan. Klien perlu mendapat pengawasan yang lebih terkait dengan halusinasinya agar klien tetap melakukan apa yang sudah diajarkan agar halusinasi tidak muncul kembali. Pada saat melakukan tindakan klien terlihat tampak lebih tenang, lebih kooperatif. Evaluasi yang didapatkan sudah sesuai dengan kriteria hasil menurut Prabowo (2014), yaitu saat melakukan bercakap-cakap dengan perawat terlihat lebih kooperatif, ekspresi wajah senang dan klien dapat menyebutkan tindakan yang biasa klien lakukan pada saat mengontrol halusinasi dengan cara kegiatan. KESIMPULAN Hasil pengelolaan pada klien dengan gangguan persepsi sensori yang didapatkan selama 2x24 jam klien dapat melakukan kembali apa yang sudah diajarkan seperti mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap dan melakukan kegiatan. SARAN Diharapkan masyarakat membentuk kader jiwa melalui kerja sama dengan rumah sakit ataupun puskesmas untuk meminimalkan terjadinya kekambuhan pada klien dan masyarakat mau menerima, tidak mengucilkan dan tidak memasung klien dengan gangguan jiwa. Daftar Pustaka Dermawan, D., & Rusdi. (2013). Keperawatan Jiwa, Konsep dan Kerangka Kerja Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Gosyen Publising. Direja, A. H. S. (2011). Buku Ajar Keperawatan Psikiatri Edisi 3. Yogyakarta: Nuha Medika. Ernila, dkk. (2010). Determinan Terhadap Timbulnya Skizofrenia pada Pasien Rawat Jalan di Rumah Sakit Jiwa Prof. HB Saanin Padang Sumatra Barat. http://jurnal.ugm.ac.id/bkm/article/ view/3471/2998 diakses 21 Mei 2016 jam 19.51. Kusumawati, F., & Hartono. Y. (2010). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika. Muhith, A. (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: CV ANDI OFFSET. Pinilih, dkk. (2015). Manajemen Kesehatan Jiwa Berbasis Komunitas Melalui Pelayanan Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunita di Wilayah Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang. http://jurnal.unimus.ac.id/index.php /psn1201210/article/viewfile/1640/1 692 diakses tanggal 24 April 2016 jam 22.00. Prabowo, Eko. (2014). Konsep dan Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika. Riskesdas. (2013). Kesehatan Jiwa Menurut Riskesdas 2013. http://www.litbang.depkes.go.id/site s/download/rkd2013/Laporan_riskes das_2013_final.pdf diakses tanggal 26 Mei 2016 jam 18.00 WIB Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo Yosep, I., & Sutini, T. (2014). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung: PT. Refika Aditama. Yusuf, dkk. (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika. Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo