MODUL PERKULIAHAN Pancasila Pancasila sebagai Sistem Etika Politik Fakultas Bidang Studi MKCU MKCU Tatap Muka 09 Kode MK Disusun Oleh 90037 Finy F. Basarah, M.Si Abstract Kompetensi Pancasila sebagai sistem Etika Politik (Etika, etika Pancasila, dan etika politik) Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan Pancasila sebagai suatu sistem etika politik 9.1 Etika dan Etika Pancasila Etika merupakan cabang ilmu filsafat yang membahas masalah baik dan buruk. Ranah pembahasannya meliputi kajian praksis dan refleksi filsafati atas moralitas secara normatif. Kajian praksis menyentuh moralitas sebagai perbuatan sadar, yang dilakukan dan didasarkan pada norma – norma masyarakat yang mengatur perbuatan baik (susila) atau buruk (asusila). Sedangkan refleksi filsafat tentang ajaran moral filsafat, mengajarkan bagaimana moral tersebut dapat dijawab secara rasional dan bertanggung jawab. Aktualisasi Pancasila sebagai sumber etika, tercermin dalam sila – silanya, yaitu: 1. Sila Pertama: menghormati setiap orang atau warga Negara atas berbagai kebebasannya dalam menganut agama dan kepercayaannya masing – masing, serta menjadikan ajaran – ajarannya sebagai panutan untuk menuntun maupun mengarahkan jalan hidupnya. 2. Sila Kedua: menghormati setiap orang dan warga Negara sebagai pribadi (persona) “utuh sebagai manusia”, manusia sebagai subjek pendukung, penyangga, pengemban serta pengelola hak – hak dasar kodrati, merupakan suatu keutuhan dengan eksistensi dirinya secara bermartabat. 3. Sila Ketiga: bersikap dan bertindak adil dalam mengatasi segmentasi – segmentasi atau primordialisme sempit dengan jiwa dan semangat “Bhinneka Tunggal Ika”, yaitu bersatu dalam perbedaan dan berbeda dalam persatuan. 4. Sila Keempat: kebebasan, kemerdekaan, kebersamaan, dimiliki dan dikembangkan dengan dasar musyawarah untuk mencapai kemufakatan secara jujur dan terbuka dalam menata berbagai aspek kehidupan. 5. Sila Kelima: membina dan mengembangkan masyarakat yang berkeadilan sosial yang mencakup kesamaan derajat (equality) dan pemerataan (equity) bagi setiap orang atau setiap warga Negara. Sila – sila dalam Pancasila merupakan satu kesatuan integral dan integratif menjadikan dirinya sebagai referensi kritik sosial kritis, komprehensif serta sekaligus evaluatif bagi pengembagan etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa 2013 1 Pancasila Finy F. Basarah, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id maupun bernegara. Konsekuensi dan implikasinya ialah bahwa norma etis yang mencerminkan satu sila akan mendasari dan mengarahkan sila – sila yang lain. Pancasila sebagai dasar etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara diberdayakan melalui kebebasan akademik untuk mendasari suatu sikap mental atau attitude. Kebebasan akademik adalah hak dan tanggung jawab seorang akademisi. Hak dan tanggung jawab itu terikat pada susila akademik, yaitu sbb.: 1. Curiosity, dalam arti terus menerus mempunyai keinginan untuk mengetahui hal – hal baru dalam perkembangan ilmu pengetahuan, tidak mengenal titik henti yang dampak dan pengaruhnya dengan sendirinya juga timbul terhadap perkembangan etika. 2. Wawasan, luas dan mendalam dalam arti bahwa nilai – nila etika sebagai norma dasar bagi kehidupan suatu bangsa dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara tidak terlepas dari unsur – unsur budaya yang hidup dan berkembang dengan ciri – ciri khas yang membedakan bangsa itu dari bangsa lain. 3. Terbuka, dalam arti luas bahwa kebenaran ilmiah adalah sesuatu yang tentatif, bahwa kebenaran ilmiah bukanlah sesuatu yang hanya sekali ditentukan dan bukan sesuatu yang tidak dapat diganggu gugat, yang implikasinya ialah bahwa pemahaman suatu norma etika tidak hanya tekstual melainkan juga kontekstual untuk diberi makna baru sesuai dengan kondisi aktual yang berkembang dalam masyaraat. 4. Open mindedness, dalam arti rela dan dengan rendah hati (modest) bersedia menerima kritik dari pihak lain terhadap pendirian atau sikap intelektualnya. Contohnya adalah jujur, dalam arti menyebutkan setiap sumber atau informasi yang diperoleh dari pihak lain dalam mendukung sikap atau pendapatnya. 5. Independen, dalam arti bertanggung jawab atas sikap dan pendapatnya, bebas dari tekanan atau “kehendak yang dipesankan” oleh siapapun dan dari manapun. Pancasila sebagai core philosophy bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, juga memahami etika yang sarat dengan nilai – nilai filsafati, jika tidak 2013 2 Pancasila Finy F. Basarah, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id dilandasi dengan pemahaman segi – segi filsafatnya, maka yang kita tangkap hanyalah segi – segi fenomenalnya saja tanpa menyentuh inti hakikinya. 9.2 Bidang Etika Politik Sebagai salah satu cabang etika, maka etika politik termasuk dalam lingkungan filsafat. Filsafat yang langsung mempertanyakan praksis manusia adalah etika. Etika mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia. Ada berbagai bidang etika khusus, seperti etika individu, etika sosial, etika keluarga, etika profesi, dan etika pendidikan. Dalam hal ini termasuk etika politik yang berkenaan dengan dimensi politis kehidupan manusia. Etika berkaitan dengan norma moral, yaitu norma untuk mengukur betul – salahnya tindakan manusia sebagai manusia. Dengan demikian, etika politik mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia sebagai manusia dan bukan hanya sebagai warga Negara terhadap Negara, atau terhadap hukum yang berlaku, dan lain sebagainya. Fungsi etika politik dalam masyarakat terbatas pada penyediaan alat – alat teoritis, untuk mempertanyakan serta menjelaskan legitimasi politik secara bertanggung jawab. Jadi, tidak berdasarkan emosi, prasangka, dan apriori, melainkan secara rasional, objektif, dan argumentatif. Etika politik tidak langsung mencampuri politik praktis. Tugas etika politik membantu agar pembahasan masalah – masalah ideologis dapat dijalankan secara objektif. Etika politik dapat memberikan patokan orientasi dan pegangan normatif bagi mereka yang memang mau menilai kualitas tatanan dan kehidupan politik dengan tolak ukur martabat manusia atau mempertanyakan legitimasi moral sebagai keputusan politik. Suatu keputusan bersifat politis apabila diambil dengan memperhatikan kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Hukum dan kekuasaan Negara merupakan pembahasan utama etika politik. Hukum sebagai lembaga penata masyarakat yang normatif, kekuasaan Negara sebagai kemampuan manusia (makhluk individu dan sosial). Jadi, etika politik membahas hukum dan kekuasaan. Sebetulnya keduanya tidak terpisah, hukum tanpa kekuasaan Negara tidak dapat berbuat apa – apa, sifatnya normatif belaka, hukum tidak mempunyai kemampuan untuk bertindak. Sedangkan Negara tanpa hukum adalah buta. Negara yang memakai kekuasaannya di luar hukum sama dengan 2013 3 Pancasila Finy F. Basarah, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id manusia yang berbuat tanpa pengertian. Negara semacam itu menjadi Negara penindas dan sangat mengerikan. Prinsip – prinsip etika politik yang menjadi titik acuan orientasi moral bagi suatu Negara adalah adanya cita – cita the rule of law, partisipasi demokratis masyarakat, jaminan hak – hak asasi manusia menurut kekhasan paham kemanusiaan dan struktur sosial budaya masyarakat masing – masing, dan keadilan sosial. 9.2.1 Legitimasi kekuasaan Pokok permasalahn etika politk adalah legitimasi kekuasaan, yang dapat dirumuskan dengan suatu pertanyaan, yaitu dengan moral apa seseorang atau sekelompok orang memegang dan menggunakan kekuasaan yang mereka miliki. Betapa besar kekuasan yang dimiliki seseorang, dia harus berhadapan dengan tuntutan untuk mempertanggungjawabkannya. Paham pertanggungjawaban menyatakan, bahwa penguasa memang memiliki kekuasaan dan masyarakat berhak untuk menuntut pertanggungjawaban. Dalam etika politik, kekuatan batin penguasa berpancaran sebagai wibawa ke dalam masyarakat, sehingga rakyat dapat merasakannya. Penguasa dianggap memiliki kekuatan – kekuatan tertentu. Wibawa penguasa itu bukan suatu yang sekedar psikis atau mistis, melainkan ditunjang oleh kemampuannya untuk mengerahkan kekuatan fisik. Ia dapat mengatur dan mengorganisasi orang banyak dan memastikan kemampuannya itu dengan ancaman atau sanksi terhadap mereka yang mau membangkang. Kewibawaan penguasa yang paling meyainkan adalah keselarasan sosial, yaitu tidak terjadi keresahan dalam masyarakat. Segala bentuk kritik, ketidapuasan, tantangan. perlawanan, dan kekacauan merupakan tanda bahwa masyarakat resah. Sebaliknya, keselarasan akan tampak apabila masyarakat merasa tenang, tenteram, dan sejahtera. Budi luhur penguasa tampak dalam cara ia menjalankan pemerintahannya. Sesuai dengan sifat dan hakikat kekuasaan sendiri dengan cara pemakaiannya yang hakus. Kehalusan pemerintahan diharapkan dapat mencapai keadaan sejahtera, dan tenteram dalam masyarakat, tanpa perlu memakai kata – kata kasar. Penyusutan kekuasaan seorang penguasa akan dihubungkan dengan pamrih yang berlebihan, karena pamrih menunjukkan bahwa ia tidak lagi sanggup untuk 2013 4 Pancasila Finy F. Basarah, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id memusatkan diri pada alam batin atau hati nurani yang sebenarnya. Karena pamrih penguasa untuk menyadap kekuatan – kekuatan alam semesta semakin berkurang sampai akhirnya ia kehilangan kekuasaannya. Sejarah telah membuktikan, bahwa sekuat – kuatnya seorang penguasa, pada titik puncaknya dia akan jatuh bagaikan tidak bermaya. Oleh karena itu, bahaya besar bagi kedudukan penguasa tidak berasal dari musuh di luar atau faktor objektif dalam masyarakat, melainkan dari kemerosotan akhlak dan budi pekerti penguasa itu sendiri. Apabila ia menyalahgunakan kedudukannya untuk memperkaya diri dan keluarganya, ia membuktikan bahwa secara batiniah sudah miskin. Begitu juga kalau kekuasaannya merosot menjadi sistem penghisapan kekayaan dan tenaga masyarakat demi keuntungan material, maka hakikat kekuasaan yang sempurna sudah menguap hilang. Jadi, secara etika politik seorang penguasa yang sesungguhnya dilihat dari keluhuran budinya. Legitimasi kekuasaan meliputi: 1. Legitimasi etis, yaitu pembenaran atau pengabsahan wewenang Negara (kekuasaan Negara) berdasarkan prinsip – prinsip moral. 2. Legitimasi legalitas, yaitu keabsahan kekuasaan itu berkaitan dengan fungsi – fungsi kekuasaan Negara dan menuntut agar fungsi – fungsi itu diperoleh dan dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku. Tuntutan legalitas itu merupakan tuntutan etika politik. Namun, legalitas semata – mata tidak dapat menjamin legitimasi etis, karena legalitas menggunakan hukum yang berlaku (hukum positif). Padaha belum tentu, bahwa hukum yang berlaku sendiri dapat dibenarkan secara etis. Oleh karena itu, hukum dalam kerangka etika politik adalah hukum yang berkeadilan dengan fungsisnya untuk memanusiaakan penggunaan kekuasaan. Karena dengan adanya hukum, kehidupan bersama masyarakat tidak ditentukan semata – mata oleh kepentingan mereka yang kuat, melainkan oleh suatu aturan rasional yang seoptimal mungkin menjamin kepentingan semua pihak. 9.2.2 2013 Legitimasi Moral dalam Kekuasaan 5 Pancasila Finy F. Basarah, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Legitimasi etis mempersoalkan keabsahan – keabsahan politik dari segi norma – norma moral. Legitimasi ini muncul dalam konteks setiap tindakan Negara, baik dari legislatif maupun eksekutif, dapat dipertanyakan dari segi norma – norma moral. Tujuannya adalah agar kekuasaan itu mengarahkan kekuasaan ke pemakaian kebijakan dan cara – cara yang semakin sesuai dengan tuntutan – tuntutan kemanusiaan yang adil dan beradab. Pada zaman modern seperti sekarang, tuntutan legitimasi moral merupakan salah satu unsur pokok dalam kesadaran bermasyarakat. Anggapan bahwa Negara hanya boleh bertindak dalam batas – batas hukum, bahwa hukum harus menghormati hak asasi manusia, begitu pula berbagai penolakan terhadap kebijakan politik tertentu seperti isu ketidakadilan sosial, semua berwujud tuntutan agar Negara melegitimasikan diri secara moral. Dalam hal inilah, kalangan paham agama secara klasik membuat rumusan, bahwa kita harus lebih taat kepada Tuhan daripada kepada manusia. Moralitas kekuasaan lebih banyak ditentukan oleh nilai – nilai yang kebenarannya diyakini masyarakat. Apabila masyarakatnya adalah masyaraat religius, maka ukuran apakah penguasa itu memiliki etika politik atau tidak, tidak lepas dari moral agama yang dianut oleh masyarakatnya. Oleh karena itu, banyak pernyataan – pernyataan yang sering dilontarkan oleh umat beragama, bahwa kekuasaan itu adalah amanah dari Tuhan dan harus dipertanggungjawabkan kepada-Nya kelak. Di samoing itu terdapat juga ungkapan dari tradisi masyarakat yang menyatakan “Raja adil Raja disembah, Raja dzalim Raja disanggah”. Makna dari ungkapan ini tidak lepas dari kemuliaan dan kebaikan seorang penguasa sangat ditentukan oleh masyarakatnya, tentunya sikap masyarakat tersebut dilandasi oleh moralitas yang hidup dalam lingkungan masyarakat ybs. Oleh karena itu, alat pengukur etika politik yang dilaksanakan oleh penguasa ditentukan oleh nilai, moral, dan norma yang berkembang dalam masyarakat. Pada hakikatnya, kekuasaan memiliki hati nurani, yaitu keadilan dan kemakmuran rakyat. Apabila kehilangan hati nurani tersebut, maka kekuasaan yang terlihat adalah perebutan kekuasaan semata – mata yang dilumuri oleh intrik fitnah, dengki, caci maki, dan iri hati. Sehingga kekuasaan akan merusak tatanan kerukunan hidup bermasyarakat. Apabila hati nurani kekuasaan melekat pada nurani seorang penguasa, maka kekuasaan adalah amanat rakyat, sehingga akan melahirkan martabat, harga diri, dan rezeki. 2013 6 Pancasila Finy F. Basarah, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 9.3 Pengertian Nilai, Moral, dan Norma Nilai, moral, dan norma merupakan konsep yang saling berkaitan. Ketiga konsep ini saling terkait dalam memahami Pancasila sebagai etika politik. 9.3.1 Nilai Kehidupan manusia dalam masyarakat, baik sebagai pribadi maupun sebagai kolektivitas, senantiasa berhubungan dengan nilai – nilai, norma, dan moral. Kehidupan masyarakat di mana pun tumbuh dan berkembang dalam ruang lingkup interaksi nilai, norma, dan moral, akan memberi motivasi dan arah seluruh anggota masyarakat untuk berbuat, bertingkah, dan bersikap. Dengan demikian, nilai adaah sesuatu yang berhagra, berguna, indah, memperkaya batin, dan menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang berfungsi mendorong dan mengarahkan sikap dan perilaku manusia. Nilai sebagai suatu sistem (sistem nilai) merupakan salah satu wujud kebudayaan, disamping sistem sosial dan karya. Cita – cita, gagasan, konsep, ide tentang sesuatu adalah wujud kebudayaan sebagai sistem nilai. Oleh karena itu, nilai dapat dihayati atau dipersepsikan dalam konteks kebudayaan, atau sebagai wujud kebudayaan yang abstrak. Dalam menghadapi alam sekitarnya, manusia didorong untuk membuat hubungan yang bermakna melalui budinya. Budi manusia menilai benda- benda itu, serta kejadian yang beraneka ragam di sekitarnya dan dipilihnya menjadi kelakuan kebudayaannya. Proses pemilihan itu dilakukan secara terus – menerus. Alport mengidentifikasikan nilai – nilai yang terdapat dalam kehidupan masyarakat pada enam macam, yaitu nilai teori, ekonomi, estetika, sosial, politik, dan religi. Dalam memilih nilai – nilai, manusia menempuh berbagai cara yang dapat dibedakan menurut tujuannya, pertimbangannya, penalarannya, dan kenyataannya. Apabila tujuan penilaian itu untuk mengetahui identitas benda serta kejadian yang terdapat di sekitarnya, maka terlihat proses penilaian teori yang menghasilkan pengetahuan yang disebut nilai teori. Jika tujuannya untuk menggunakan benda – benda atau kejadian, manusia dihadapkan kepoada proses penilaian ekonomi, yang mengikuti nalar efisiensi untuk memenuhi kebutuhan hidup, disebut nilai ekonomi. Perpaduan antara nilai teori dan nilai ekonomi itu merupakan aspek progresif dari kebudayaan manusia. 2013 7 Pancasila Finy F. Basarah, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Apabila manusia menilai alam sekitar sebagai wujud rahasia kehidupan dan alam semesta, di situlah tampak nilai religi, yang dipersepsikan sebagai sesuatu yang suci. Jika manusia mencoba memahami yang indah, kita berhadapan dengan proses penilaian estetik. Perpaduan antara nilai religi dan nilai estetik yang ebih menekankan kepada intuisi, rasa, dan imajinasi, merupakan aspek ekspresif dari kebudayaan. Nilai estetik mempunyai kedudukan yang khusus karena nilai itu bukan hanya menyangkut keindahan yang dapat memperkaya batin, tetapi juga berfungsi sebagai media yang memperhalus budi pekerti. Nilai sosial berorientasi kepada hubungan antarmanusia dan menekankan pada segi – segi kemanusiaan yang luhur. Sedangkan nilai politik berpusat kepada kekuasaan serta pengaruh yang terdapat dalam kehidupan masyarakat maupun politik. 9.3.2 Moral Moral berasal dari kata mos (mores), yang berarti kesusilaan, tabiat, kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia. Seorang pribadi yang taat kepada aturan – aturan, kaidah – kaidah dan norma yang berlaku dalam masyarakatnya, dianggap sesuai dan bertindak benar secara moral. Jika sebaliknya yang terjadi, maka pribadi itu dianggap tidak bermoral. Moral dalam perwujudannya dapat berupa peraturan, prinsip – prinsip yang benar, baik, terpuji, dan mulia. Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma yang mengikat kehidupan masyarakat, Negara, dan bangsa. Sebagaimana nilai dan norma, moral pun dapat dibedakan seperti moral ketuhanan atau agama, moral filsafat, moral etika, moral hukum, dan moral ilmu. Nilai, norma, dan moral secara etika bersama mengatur kehidupan masyarakat dalam berbagai aspeknya. 9.3.3 Norma Manusia cenderung untuk memelihara hubungan dengan Tuhan, masyarakat, dan alam sekitarnya dengan selaras. Hubungan manusia terjalin secara vertikal (Tuhan), horizontal (masyarakat), dan hubungan vertikal – horizontal (alam, lingkungan alam) secara seimbang, serasi, dan selaras. Oleh karena itu, manusia juga memerlukan pengendalian diri, baik terhadap manusia sesamanya, lingkungan alam, dan Tuhan. Kesadaran akan hubungan yang ideal akan menumbuhkan kepatuhan terhadap 2013 8 Pancasila Finy F. Basarah, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id peraturan dan norma. Norma adalah petunjuk tingkah laku yang harus dijalankan dalam kehidupan sehari – hari berdasarkan motivasi tertentu. Norma sesungguhnya merupakan perwujudan martabat manusia sebagai makhluk budaya, sosial, moral, dan religi. Norma merupakan suatu kesadaran dan sikap luhur yang dikehendaki oleh tata nilai untuk dipatuhi. Oleh karena itu, norma dalam perwujudannya dapat berupa norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan norma hukum. Daftar Pustaka Syarbaini, Syahrial. 2012. Pendidikan Pancasila (Implementasi Nilai – Nilai Karakter Bangsa) di Perguruan Tinggi. Edisi Revisi, Cetakan Kelima. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2013 9 Pancasila Finy F. Basarah, M.Si Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id