Modul Pancasila [TM10]

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
Makna Pancasila sebagai
Sistem Etika
Modul
9
Perkuliahan di
Universitas Mercu Buana
Fakultas
Program Studi
MKCU
Manajemen
Tatap Muka
10
Kode MK
Disusun Oleh
MK
Drs. Sugeng Baskoro, M.M
Abstract
Kompetensi
Setelah perkualiahan ini
mahasiswa diharapan dapat
menganalisis Pancasila
sebagai etika berbangsa dan
bernegara
Setelah pembahasan dalam
modul ini diharapkan mahasiswa
dapat memahami dan
menganalisis Pancasila sebagai
sistem etika yang meliputi :
-
Pengertian etika
Pancasila sistem etika
bangsa
Pancasila etika bernegara
A.
Makna Pancasila sebagai Etika dan Karakter Bangsa
Etika Pancasila tidak memposisikan secara berbeda atau bertentangan dengan aliran-aliran
besar etika yang mendasarkan pada kewajiban, tujuan tindakan dan pengembangan karakter
moral, namun justru merangkum dari aliran-aliran besar tersebut. Etika Pancasila adalah etika
yang mendasarkan penilaian baik dan buruk pada nilai-nilai Pancasila, yaitu nilai ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Suatu perbuatan dikatakan baik bukan
hanya apabila tidak bertentangan dengan nilai-nilai tersebut, namun juga sesuai dan
mempertinggi nilai-nilai Pancasila tersebut. Nilai-nilai Pancasila meskipun merupakan
kristalisasi nilai yang hidup dalam realitas sosial, keagamaan, maupun adat kebudayaan
bangsa Indonesia, namun sebenarnya nilai-nilai Pancasila juga bersifat universal dapat
diterima oleh siapapun dan kapanpun. Etika Pancasila berbicara tentang nilai-nilai yang
sangat mendasar dalam kehidupan manusia.
Nilai yang pertama adalah ketuhanan.
Secara hirarkis nilai ini bias dikatakan sebagai nilai yang tertinggi karena menyangkut
nilai yang bersifat mutlak. Seluruh nilai kebaikan diturunkan dari nilai ini. Suatu perbuatan
dikatakan baik apabila tidak bertentangan dengan nilai, kaidah dan hokum Tuhan. Pandangan
demikian secara empiris bisa dibuktikan bahwa setiap perbuatan yang melanggar nilai, kaidah
dan hukum Tuhan, baik itu kaitannya dengan hubungan antara manusia maupun alam pasti
akan berdampak buruk. Misalnya pelanggaran akan kaidah Tuhan tentang menjalin hubungan
kasih sayang antarsesama akan menghasilkan konflik dan permusuhan. Pelanggaran kaidah
Tuhan untuk melestarikan alam akan menghasilkan bencana alam, dan lain-lain
Nilai yang kedua adalah kemanusiaan.
Suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Prinsip
pokok dalam nilai kemanusiaan Pancasila adalah keadilan dan keadaban. Keadilan
mensyaratkan keseimbangan, antara lahir dan batin, jasmani dan rohani, individu dan sosial,
makhluk bebas mandiri dan makhluk Tuhan yang terikat hukum-hukum Tuhan. Keadaban
mengindikasikan keunggulan manusia dibanding dengan makhluk lain, yaitu hewan,
tumbuhan, dan benda tak hidup. Karena itu perbuatan itu dikatakan baik apabila sesuai
dengan nilai-nilai kemanusiaan yang didasarkan pada konsep keadilan dan keadaban.
Nilai yang ketiga adalah persatuan.
Suatu perbuatan dikatakan baik apabila dapat memperkuat persatuan dan kesatuan. Sikap
egois dan menang sendiri merupakan perbuatan buruk, demikian pula sikap yang memecah
belah persatuan. Sangat mungkin seseorang seakan-akan mendasarkan perbuatannya atas
nama agama (sila ke-1), namun apabila perbuatan tersebut dapat memecah persatuan dan
kesatuan maka menurut pandangan etika Pancasila bukan merupakan perbuatan baik.
Nilai yang keempat adalah kerakyatan
Dalam kaitan dengan kerakyatan ini terkandung nilai lain yang sangat penting yaitu nilai
hikmat/kebijaksanaan dan permusyawaratan. Kata hikmat/kebijaksanaan berorientasi pada
tindakan yang mengandung nilai kebaikan tertinggi. Atas nama mencari kebaikan, pandangan
minoritas belum tentu kalah dibanding mayoritas. Pelajaran yang sangat baik misalnya
peristiwa penghapusan tujuh kata dalam sila pertama Piagam Jakarta. Sebagian besar anggota
PPKI menyetujui tujuh kata tersebut, namun memperhatikan kelompok yang sedikit (dari
wilayah Timur) yang secara argumentatif dan realistis bisa diterima, maka pandangan
minoritas ‘dimenangkan’ atas pandangan mayoritas. Dengan demikian, perbuatan belum tentu
baik apabila disetujui/bermanfaat untuk orang banyak, namun perbuatan itu baik jika atas
dasar musyawarah yang didasarkan pada konsep hikmah/kebijaksanaan.
Nilai yang kelima adalah keadilan
Apabila dalam sila kedua disebutkan kata adil, maka kata tersebut lebih dilihat dalam
konteks manusia selaku individu. Adapun nilai keadilan pada sila kelima lebih diarahkan pada
konteks sosial. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai dengan prinsip keadilan
masyarakat banyak. Menurut Kohlberg (1995: 37), keadilan merupakan kebajikan utama bagi
setiap pribadi dan masyarakat. Keadilan mengandaikan sesama sebagai partner yang bebas
dan sama derajatnya dengan orang lain.
Menilik nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, maka Pancasila dapat menjadi
sistem etika yang sangat kuat, nilai-nilai yang ada tidak hanya bersifat mendasar, namun juga
realistis dan aplikatif. Apabila dalam kajian aksiologi dikatakan bahwa keberadaan nilai
mendahului fakta, maka nilai-nilai Pancasila merupakan nilai-nilai ideal yang sudah ada
dalam cita-cita bangsa Indonesia yang harus diwujudkan dalam realitas kehidupan. Nilai-nilai
tersebut dalam istilah Notonagoro merupakan nilai yang bersifat abstrak umum dan universal,
yaitu nilai yang melingkupi realitas kemanusiaan di manapun, kapanpun dan merupakan dasar
bagi setiap tindakan dan munculnya nilai-nilai yang lain. Sebagai contoh, nilai ketuhanan
akan menghasilkan nilai spiritualitas, ketaatan, dan toleransi. Nilai kemanusiaan,
menghasilkan nilai kesusilaan, tolong menolong, penghargaan, penghormatan, kerjasama, dan
lain-lain. Nilai persatuan menghasilkan nilai cinta tanah air, pengorbanan dll. Nilai kerakyatan
menghasilkan nilai menghargai perbedaan, kesetaraan, dll. Nilai keadilan menghasilkan nilai
kepedulian, kesejajaran ekonomi, kemajuan bersama dll.
Nilai-nilai Pancasila apabila betul-betul dipahami, dihayati dan diamalkan tentu mampu
menurunkan angka korupsi. Penanaman satu sila saja, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,
apabila bangsa Indonesia menyadari jati dirinya sebagai makhluk Tuhan, tentu tidak akan
mudah menjatuhkan martabat dirinya ke dalam kehinaan dengan melakukan korupsi.
Perbuatan korupsi terjadi karena hilangnya kontrol diri dan ketidakmampuan untuk menahan
diri melakukan kejahatan. Kebahagiaan material dianggap segala-galanya disbanding
kebahagiaan spiritual yang lebih agung, mendalam dan jangka panjang. Keinginan
mendapatkan kekayaan dan kedudukan secara cepat menjadikannya nilai-nilai agama
dikesampingkan. Kesadaran manusia akan nilai ketuhanan ini, secara eksistensial akan
menempatkan manusia pada posisi yang sangat tinggi. Hal ini dapat dijelaskan melalui hirarki
eksistensial manusia, yaitu dari tingkatan yang paling rendah, penghambaan terhadap harta
(hal yang bersifat material), lebih tinggi lagi adalah penghambaan terhadap manusia, dan yang
paling tinggi adalah penghambaan pada Tuhan. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang
paling sempurna tentu tidak akan merendahkan dirinya diperhamba oleh harta, namun akan
menyerahkan diri sebagai hamba Tuhan. Buah dari pemahaman dan penghayatan nilai
ketuhanan ini adalah kerelaan untuk diatur Tuhan, melakukan yang diperintahkan dan
meninggalkan yang dilarang-Nya.
Penanaman satu nilai tentunya tidak cukup dan memang tidak bisa dalam konteks
Pancasila, karena nilai-nilai Pancasila merupakan kesatuan organis yang tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lain. Dengan demikian, akan menjadi kekuatan moral besar
manakala keseluruhan nilai Pancasila yang meliputi nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan dan keadilan dijadikan landasan moril dan diejawantahkan dalam seluruh
kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam pemberantasan korupsi. Penanaman nilai
sebagaimana tersebut di atas paling efektif adalah melalui pendidikan dan media. Pendidikan
informal di keluarga harus menjadi landasan utama dan kemudian didukung oleh pendidikan
formal di sekolah dan nonformal di masyarakat. Peran media juga sangat penting karena
memiliki daya jangkau dan daya pengaruh yang sangat kuat bagi masyarakat. Media harus
memiliki visi dan misi mendidik bangsa dan membangun karakter masyarakat yang maju
namun tetap berkepribadian Indonesia.
Nilai-nilai Pancasila bersifat universal yang memperlihatkan nafas humanisme,
karenanya Pancasila dapat dengan mudah diterima oleh siapa saja. Sekalipun Pancasila
memiliki sifat universal akan tetapi tidak begitu saja dapat dengan mudah diterima oleh
semua bangsa. Perbedaannya terletak pada fakta sejarah bahwa
nilai-nilai secara sadar
dirangkai dan disahkan menjadi satu kesatuan yang berfungsi sebagai basis perilaku politik
dan sikap moral bangsa. Dalam arti bahwa Pancasila adalah milik khas bangsa Indonesia dan
sekaligus menjadi identitas bangsa berkat legitimas moral dan budaya bangsa Indonesia
sendiri. Nilai-nilai khusus yang termuat dalam Pancasila dapat ditemukan dalam sila-silanya
(Andre Ata Ujan 1998), yaitu:
Sila Petama, Ketuhanan Yang Maha Esa, pada dasarnya memuat pengakuan eksplisit
akan eksistensi Tuhan sebagai sumber dan pencipta universum. Pengakuan ini sekaligua
memperlihatkan relasi esensial antara yang mencipta dan yang diciptakan serta menunjukkan
ketergantungan yang diciptakan terhadp yang mencipta.
Sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab, sesungguhnya merupakan refleksi lebih
lanjut dari sila pertama, Sila ini memperlihatkan secara mendasar dari negara atas martabat
manusia dan sekaligus komitmen untuk melindunginya. Asumsi dasar di balik prinsip kedua
ini ialah bahwa manusia, karena kedudukannya yang khusus di antara ciptaan-ciptaan lainnya
di dalam universum, mempunyai hak dan kewajiban untuk mengembangkan kesempatan
untuk meningkatkan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Dengan demikian manusia
secara natural, dengan akal dan budinya mempunyai kewajiban untuk mengembangkan
dirinya menjadi person yang bernilai.
Sila ketiga, Persatuan Indonesia, secara khusus meminta perhatian setiap warga negara
akan hak dan kewajiban dan tanggung jawabnya pada negara. Khususnya dalam menjaga
eksistensi negara dan bangsa..
Sila keempat, demokrasi
yang dipimpin
oleh
hikmat
kebijaksanaan dalam
permusyawaratan dan perwakilan, memperlihatkan pengakuan negara serta perlindungannya
terhadap kedaulatan rakyat yang dilaksanakan dalam iklim “musyawarah dan mufakat”.
Dalam iklim keterbukaan untuk saling mendengarkan, mempertimbangkan satu sama lain dan
juga sikap belajar serta saling menerima dan memberi. Hal ini berarti bahwa setiap orang
diakui dan dilindungi haknya untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik.
Sila kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, secara istimewa menekankan
keseimbangan antara hak dan kewajiban. Setiap warga negara harus bias menikmati keadilan
secara nyata, tetapi iklim keadilan yang merata hanya bias dicapai apabila struktur sosial
masyarakat sendiri adil. Keadilan sosial terutama menuntut informasi struktur-struktur sosial,
yaitu struktur ekonomi, politik, budaya dan ideologi ke arah yang lebih akomodatif terhadap
kepentingan masyarakat.
Dalam Pancasila sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan landasan bagi sila-sila
berikutnya, maka impelentasi sila pertama telah menjadi etika dalam kehidupan masyarakat
Indonesia yaitu melakukan perbuatan baik yang disuruh oleh Tuhan dan mengentikan laranglarang Tuhan, seperti larangan Tuhan berikut ini:
a. Jangan menyembah kepada siapapun
selain kepada Tuhan/Allah
b. Jangan
menyebut
nama
Tuhan
dengan sembarangan
c. Jangan membunuh
d. Jangan berzina
e. Jangan mencuri
f. Jangan minum-minuman keras
g. Jangan berjudi
h. Jangan mendaku (mengakui milik
orang miliknya), milik orang lain)
i. Jangan menghina orang lain
j. Jangan korupsi
k. Jangan berkhianat
l. Jangan berbicara kotor
m. Jangan memfitnah
n. Jangan sewenang-wenang
o. Jangan rakus
p. Jangan berdusta
q. Jangan Ingkar janji
r. Jangan membrontah
s. Jangan berpikir jahat
t. Jangan menghasut.
Pancasila sebagai sistem etika merupakan kristalisasi nilai yang hidup dalam realitas sosial,
keagamaan, maupun adat kebudayaan bangsa Indonesia, seperti etika budaya yang hidup dalam
masyarakat yaitu:
1. Etika Sabar Mensyukuri
2. Cinta kasih
3. Suka menolong
4. Jujur
5. Tanggung jawab
6. Rendah hati
7. Toleransi
8. Kerja sama
9. Sopan santun
Sekedar menambah wawasan untuk sampai pada kesimpulan bahwa konsep yang terdapat dalam
Pancasila, merupakan living reality masyarakat, berikut disampaikan beberapa ungkapan yang
dapat ditemui di berbagai daerah
Minangkabau
“ Bulat air oleh pembuluh, bulat kata oleh mufakat – konsep sovereinitas.
Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah – konsep religiositas.
Syarak mangato, adat memakai.
Adat nan kawi, syarak nan lazim.
Penghulu beraja ke mufakat, mufakat beraja pada kebenaran – kosep humanitas”.
Minahasa
“Pangilekenta waja si Empung si Rumer reindeng rojor – konsep religiositas
(Sekalian kita maklum bahwa yang memberikan rahmat yakni Tuhan Yang Maha Esa)..
Empung renga-rengan wengkesan umei i la leindeng – konsep religiositas”
(Tuhan yang seumur dengan dunia ini, bukakan jalan dan bukalah hati supaya selalu
memujaMu).
“Tia kaliuran si masena impalampangan – konsep religiositas”
(Jangan lupa kepada “Dia” yang memberi terang).
Lampung
“Tebak cotang di serambi, mupakat dilemsesat “– konsep sovereinitas
(Simpang siur di luar, mufakat di dalam balai).
Bolaang Mangondow
“Na’ buah pinayung” – konsep nasionalitas/persatuan
(Tetap bersatu dan rukun).
Madura
“Abantal sadat, sapo’ iman, payung Allah” – konsep religiositas
(Iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa).
Bugis/Makasar, Sulawesi Selatan
“Tak sakrakai allowa ritang ngana langika “– konsep religiositas
(Matahari tak akan tenggelam di tengah langit).
Bengkulu
“Kalau takut dilambur pasang, jangan berumah di pinggir pantai”.
Maluku
“Kaulete mulowang lalang walidase nausavo sotoneisa etolomai kukuramese upasasi netane
kwelenetane ainetane “– konsep humanitas dan persatuan
(Mari kita bersatu baik di laut maupun di darat untuk menentang kezaliman).
Batak (Mandailing)
“Songon siala sampagul rap tuginjang rap tu toru” – konsep persatuan dan kebersamaan.
(Berat sama dipanggul, ringan sama dijinjing)
Batak (Toba)
“Sai masia minaminaan songon lampak ni pisang, masitungkol tungkolan songon suhat
dirobean” – konsep persatuan
( Biarlah kita bersatu seperti batang pisang dan mendukung seperti pohon tales di kebun)
Ungkapan-ungkapan tersebut menggambarkan bahwa konsep yang terkandung dalam
Pancasila hidup tersebar di seluruh antero bumi Nusantara.
Pancasila sebagai sistem etika, khususnya dalam etika Islam menyatakan secara tegas tentang etika
yang sesuai dengan sistematika Pancasila, seperti yang disebutkan dalam ayat 177 surat Al-Baqarah,
yang menyatakan ciri-ciri orang yang beriman dan bertakwa yang disebutkan melakukan kebajikan
yang sesungguhnya yaitu:
1) Beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat, kitab-kitab dan nabi-nabinya (sesuai dengan
makna sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa)
2) Memberikan (menafkahkan) harta yang paling dicintainya: kepada kerabatnya, anak yatim,
orang miskin, musafir, peminta-minta serta memerdekakan budak (etika ini sesuai dengan sila
Kemanusiaan yang adil dan beradab)
3) Mendirikan shalat dan menunaikan zakat, etika ini mengandung unsur hubungan manusia
dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan sesama manusia sebagai hakikat dari makna
sila Persatuan Indonesia
‘13
95
PENDIDIKAN PANCASILA
Drs. Sugeng Baskoro, M.M.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
4) Orang-orang yang menempati janji bila dia berjanji, etika ini adalah inti dari demokrasi yaitu
seorang yang dipilih sebagai pemerintah harus dapat memenuhi janjinya sebagaimana makna
yang terkandung dalam Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan.
5) Orang-orang yang sabar dalam kemelaratan/kemiskinan serta penderitaan, jiwa kesabaran
adalah kunci terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
B.
Aktualisasi Pancasila sebagai Etika dalam kehidupan bernegara
Etika berkaitan dengan norma moral, yaitu norma untuk mengukur betul – salahnya tindakan manusia
sebagai manusia. Dengan demikian etika politik mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban
manusia sebagai manusia dan bukan hanya sebagai warga negara terhadap negara, hukum yang
berlaku dan lain sebagainya
Fungsi etika politik dalam masyarakat terbatas pada penyediaan alat-alat teoritis untuk
mempertanyakan serta menjelaskan legitimasi politik secara bertanggung jawab. Jadi tidak
berdasarkan emosi, prasangka dan apriori, melainkan secara rasional, obyektif dan argumentif. Etika
politik tidak langsung mencampuri politik praktis. Tugas etika politik membantu agar pembahasan
masalah-masalah ideologis dapat dijalankan secara obyektif, etika politik dapat memberikan patokan
orientasi dan pegangan normatif bagi mereka yang memang mau menilai kualitas tatanan dan
kehidupan politik dengan tolak ukur martabat manusia atau mempertanyakan legitimasi moral
perlbagai keputusan politik. Suatu keputusan bersifat politis apabila diambil dengan memperhatikan
kepentingan masyarakat secara keseluruhan.
Hukum dan kekuasan negara merupakan pembahasan utama etika politik. Hukum sebagai
lembaga penata masyarakat yang normatif, kekuasaan negara sebgai lembaga penata masyarakat yang
efektif sesuai dengan struktur ganda kemampuan manusia (makhluk individu dan sosial). Jadi etika
politik membahas hukum dan kekuasaan. Sebetulnya keduanya tidak terpisah, Hukum tanpa kekuasan
negara tidak dapat berbuat apa-apa, sifatnya normatif belaka, hukum tidak mempunyai kemampuan
untuk bertindak. Sedangkan negara tanpa hukum adalah buta. Negara yang memakai kekuasaannya
diluar hukum sama dengan manusia yang berbuat tanpa pengertian. Negara semacam itu menjadi
negara penindas dan sangat mengerikan.
Prinsip-prinsip etika politik yang menjadi titik acuan orientasi moral bagi suatu negara adalah
adanya cita-cita “the rule of law”, partisipasi demokratis masyarakat, jaminan hak-hak asasi manusia
menurut kekhasan paham kemanusiaan dan struktur sosial budaya masyarakat masing-masing dan
keadilan sosial.
1. Legitimasi Kekuasaan
‘13
96
PENDIDIKAN PANCASILA
Drs. Sugeng Baskoro, M.M.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Pokok permasalahan etika politik adalah legitimasi etis kekuasaan, yang dapat dirumuskan
dengan suatu pertanyaan: dengan moral apa seseorang atau sekelompok orang memegang dan
menggunakan yang mereka miliki? Betapa besarnya kekuasaan yang dimiliki seseorang, dia harus
berhadapat dengan tuntutan untuk mempertanggungjawabkannya. Paham pertanggungjawaban
menyatakan bahwa penguasa memang memiliki kekuasaan dan bahwa masyarakat berhak untuk
menuntut pertanggungjawaban.
Dalam etikan politik, kekuatan batin penguasa berpancaran sebagai wibawa ke dalam
masyarakat. Rakyat dapat merasakannya. Penguasa dianggap memiliki kekuatan-kekuatan tertentu.
Wibawa penguasa itu bukan suatu yang sekedar psikis atau mistik melainkan ditunjang oleh
kemampuannya untuk mengerahkan kekuatan fisik. Ia dapat mengatur dan mengorganisir orang
banyak dan memastikan kemampuannya itu dengan ancam,an atau sanksi nya terhadap mereka yang
mau membangkang.
Kewibawan penguasa yang paling menyakinkan adalah keselarasan sosial, yaitu tidak terjadi
keresahan dalam masyarakat. Segala bentuk kritik, ketidak puasan, tantangan, perlawanan dan
kekacauan merupakan tanda bahwa masyarakat resah. Sebaliknya keselarasan nampak apabila
masyarakat merasa tenang, tenteram dan sejahtera.
Budi luhur penguasa nampak dalam cara ia menjalankan pemerintahannya. Sesuai dengan sifat
dan hakekat kekuasaan sendiri cara pemakaiannya secara halus. Kehalusan pemerintahan diharapkan
dapat mencapai keadaan sejahtera, adil dan tenteran dalam masyarakat tanpa perlu memakai cara-cara
kasar..
Penyusutan kekuasan seorang penguasa akan dihubungkan dengan pamrih yang berlebihan,
karena pamrih menunjukkan bahwa ia tidak lagi sanggup untuk memusatkan diri pada alam batin atau
hati nurani yang sebenarnya. Karena pamrih penguasa untuk menyadap kekuatan-kekuatan alam
semesta semakin berkurang sampai akhirnya ia kehilangan kekuasaannya. Oleh sebab itulah sejarah
telah membuktikan sekuat-kuatnya seorang penguasa pada titik puncaknya, namun diakhirnya dia
akan jatuh bagaikan tidak bermaya. Maka oleh sebab itu, bahaya besar bagi kedudukan penguasa
tidak berasal dari musuh di luar atau faktor obyektif dalam masyarakat, melainkan dari kemerosotan
akhlak dan budi pekerti penguasa itu sendiri. Apabila ia menyelahgunakan kedudukkannya untuk
memperkaya diri dan keluarganya, ia membuktikan bahwa secara batiniah sudah miskin. Begitu juga
kalu kekuasannya merosot menjadi sistem penghisapan kekayaan dan tenaga masyarakat demi
keuntungan material, maka hakikat keuasaan yang sempurna sudah menguap hilang. Jadi secara etika
politik seorang penguasa yang sesungguhnya adalah keluhuran budinya.
Legitimasi kekuasaan meliputi:
1) legitimasi etis, yaitu pembenaran atau pengabsahan wewenang negara (kekuasaan
negara) berdasarkan prinsip-prinsip moral.
‘13
97
PENDIDIKAN PANCASILA
Drs. Sugeng Baskoro, M.M.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
2) Legitmimasi legalitas, yaitu keabsahan kekuasaan itu berkaitan dengan fungsi-fungsi
kekuasaan negara dan menuntut agar fungsi-fungsi itu diperoleh dan dilakukan sesuai
dengan hukum yang berlaku.
Tuntutan legalitas itu merupakan tuntutan etika politik. Namun, legalitas semata-mata tidak dapat
menjamin legitimasi etis, karena legalitas menggunakan hukum yang berlaku (hukum positif).
Padahal belum tentu bahwa hukum yang berlaku sendiri dapat dibenarkan secara etis. Oleh sebab itu,
hukum dalam kerangka etika politik
adalah hukum yang berkeadilan dengan fungsinya untuk
memanusiakan penggunaan kekuasaan. Karena adanya hukum, kehidupan bersama masyarakat tidak
ditentukan semata-mata oleh kepentingan mereka yang kuat, melainkan oleh suatu aturan rasional
yang seoptimal mungkin menjamin kepentingan semua pihak.
2. Moralitas Kekuasaan
Legitimasi etis mempersoalkan keabsahan kekuasaan politik dari segi norma-norma moral.
Legitimasi ini muncul dalam konteks bahwa setiap tindakan negara baik dari legislatif maupun
eksekutif dapat dipertanyakan dari segi norma-norma moral. Tujuannya adalah agar kekuasaan itu
mengarahkan kekuasaan ke pemakaian kebijaksanaan dan cara-cara yang semakin sesuai dengan
tuntutan-tuntutan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Pada zaman sekarang (modern) tuntutan legitimasi moral merupakan salah satu untuk pokok
dalam kesadaran bermasyarakat. Anggapan bahawa negara hanya boleh bertindak dalam batas-batas
hukum, bahawa hukum harus menghormati hak asasi manusia, begitu pula pelbagai penolakan
terhadap kebijaksanaan politik tertentu, seperti isu ketidak adilan sosial, semua berwujud tuntutan
agar negara melegitimasikan diri secara moral. Dalam hal inilah kalanagan paham agama secara
klasik membuat rumusan bahawa “kita harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia”.
Moralitas kekuasaan lebih banyak ditentukan oleh nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh
masyarakat. Apabila masyarakatnya adalah masyarakat religius, maka ukuran apakah penguasan itu
memiliki etika politik tidak lepas dari moral agama yang dianut oleh masyarakatnya. Oleh sebab itu,
pernyataan-pernyataan yang sering dilontarkan oleh umat beragama adalah bahawa kekuasaan itu
adalah amanah dari Allah dan harus dipertanggung jawabkan kepadaNya kelak. Di samping terdapat
juga ungkapan dari tradisi masyarakat yang menyatakan “raja adil raja disembah, raja zalim raja
disanggah”. Makna dari ungkapan ini tidak lepas dari kemuliaan dan kebaikan seseorang penguasa
sangat ditentukan oleh masyarakatnya, tentunya sikap masyarakat tersebut dilandasi oleh moralitas
yang hidup dalam masyarakat tersebut. Oleh sebab itu, alat pengukur etika politik yang dilaksanakan
oleh penguasa ditentukan oleh nilai, moral dan norma yang berkembang dalam masyarakat.
Pada hakikatnya kekuasaan memiliki hati nurani, yaitu keadilan dan memakmuran rakyat,
apabila kehilangan hati nurani tersebut maka kekuasan yang terlihat perebutan kekuasaan sematamata yang dilumuri oleh intrik, fitnah, dengki, cavi maki dan iri hati. Sehingga kekuasaan akan
merusak tatatan kerukuan hidup masyarakat. Apabila hati nurani kekuasaan melekat pada nurani
‘13
98
PENDIDIKAN PANCASILA
Drs. Sugeng Baskoro, M.M.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
seorang penguasa, maka kekuasaan adalah amat rakyat sehingga akan melahirkan martabat, harga diri
dan rezeki.
Etika Politik Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Sesuai dengan
Tap. MPR No.VI/MPR/2001 dinyatakan pengertian dari etika
kehidupan
berbangsa adalah rumusan yang bersumber dari ajaran agama yang bersifat universal dan bilai-nilai
budaya bangsa yang terjamin dalam Pancasila sebagai acuan dalam berpikir, bersikap dan bertingkah
laku dalam kehidupan berbangsa.
Pola berpikir untuk membangun kehidupan berpolitik secara jernih mutlak diperlukan .
pembangunan moral politik yang berbudaya adalah untuk melahirkan kultur politik yang berdasarkan
kepada Iman dan Takwa terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa, menggalang suasana kasih sayang
sesama manusia Indonesia, yang berbudi kemanusiaan luhur, yang mengindahkan kaidah-kaidah
musyawarah secara kekuluargaan yang bersih dan jujur, dan menjalin asas pemerataan keadilan di
dalam menikmati dan menggunakan kekayaan negara. Membangun etika politik berdasarkan
Pancasila akan diterima baik oleh segenab golongan dalam masyarakat.
Pembinaan etika politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangatlah urgen. Langkah
permulaan dimulai dengan membangun konstruksi berpikir dalam rangkan menata kembali kultur
politik bangsa Indonesia. Kita sebagai warga negara telah memiliki hak-hak politik, pelaksanaan hakhak politik dalam kehidupan bernegara akan saling bersosialisasi, berkomunikasi dan berinteraksi
dengan sesama warga negara dalam pelbagai wadah, yaitu dalam wadah infra-struktur dan suprastruktur.
Wadah infrastruktur antaralain: mimbar bebas, ujut rasa, bicara secara lissan atau tulisan,
aktifitas organisasi partai politik atau lembaga sosial kemasyarakatan, kampanye pemilihan umum,
penghitungan suara dalam memilih wakil di DPR atau pimpinan eksekutif. Disamping wdah suprastruktur antara lain semua lembaga legislatif disemua tingkat dan jajaraan eksekutif (mulai dari
Presiden sampai ke RT/RW) dan semua jajaran lembaga kekuasaan kehakiman (tingkat pusat sampai
ke daerah-daerah). Kesemua wadah tersebut telah diatur dengan perundang-undangan dengan
sedemikian rupa agar hak-hak politik terdapat berjalan sebagaimana mestinya.
Sudahkah kita sebagai warga negara telah berpodaman kepada perundang-undang yang
berlaku dalam menjalankan hak-hak politik kita itu. Jawaban yang sesuai adalah hati nurani dan
kejujuran batin, karena hukum positif yang berlaku tidak menjamin bahwa hak-hak politik warga
negara telah dilaksanakan. Beberapa kasus dapat kita lihat, seperti korupsi, pelanggaran pemilihan
umum,
politik uang dalam merebut jabatan dan lain sebagainya hanya dapat dirasakan tetapi
sangatlah sulit untuk dibuktikan secara hukum, sehingga terjadi bermacam ketidakadilan. Oleh sebab
itu, semua pelanggaran dan kejahatan ini sangat sulit dibrantas melalui jalur hukum, kecuali hanya
‘13
99
PENDIDIKAN PANCASILA
Drs. Sugeng Baskoro, M.M.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
etika berpolitik yang berasaskan nilai-nilai Pancasila yang betul-betul ada keinginan dari setiap warga
negara sebagai insan politik mau mengalamankan dalam kehidupan riil dalam masyarakat.
Etika politik lebih banyak bergerak dalam wilayah, dimana seseorang secara ikhlas dan jujur
melaksanakan hukum yang berlaku tanpa adanya rasa takut kepada sanksi daripada hukum yang
berlaku. Dalam demokrasi liberal, sering ditemukan apabila seseorang kepala pemerintahan gagal
melaksanakan tugasnya sesuai dengan janjinya saat kampanye pemilihan umum, atau dituduh terlibat
korupsi yang belum sampai dibuktikan di pengadilan, maka pemimpin itu mengundurkan diri. Ada
suatu pandangan dalam demokrasi liberal bahwa jabatan publik (Perdana Menteri, anggota parlemen,
hakim, pegawai birokrasi dan lain-lain) di anggap suci, mulia dan terhormat dalam negara. Oleh sebab
itu, setiap orang yang berkeinginan atau sedang menduduki jabatan tersebut harus bersih dan jujur.
Apabila ada tuduhan masyarakat bahwa seseorang pejabat publik tidak bersih, maka hati nurani
pejabat tersebut langsung mengundurkan diri. Kasus di negara Malaysia tahun 1990an adalah suatu
contoh dalam perkara ini, dimana Muhammad bin Muhammad Tahib adalah Gubernur (Menteri
Besar) Negara bagian Selangor dituduh melakukan suatu pelanggaran hukum, namun beliau
mengundurkan diri dari Gubernur dan kemudian mempertangungjawabkan perbuatannya
secara
hukum, ternyata tidak bersalah tetapi beliau rela tidak kembalai ke jabatan semua.. Bagaimana dengan
Indonesia, dimana ada diantara pejabat publik yang dijatuhi hukuman penjara di pengadilan tingkat
rendah belum juga bersedia untuk mengundurkan diri atau banyak pejabat negara baik di DPR
maupun eksekutif kurang memenuhi tata tertib, seperti sering absen dan lain sebagainya. Inilah suatu
contoh krisis moral dan termasuk juga kepada krisis etika politik.
Banyak pengamatan yang dapat dilihat bahwa kerusakan kronis dalam selurh sistem berbangsa
dan bernegara pada awal masa reformasi di mana suatu pandangan jabatan yang diduduki sekedar
bermakna kekuasan untuk meraih kepentingan berupa status, politik dan uang. Kerusakan pola
berfikir dan bertindak dari para petinggi di negeri ini telah mencemaskan hati nurani rakyat banyak,
sepeti terbukti bersalah tak mau mundur, salah urus jalan terus,, jika ada kasus dibawah tanggung
jawabnya, selalu menyalahkan bawahan dan lain sebagainya. Jabatan kekuasaan seakan-akan untuk
diri sendiri bukan diabadikan kepada rakyat. Perlulah kita menoinjau ulang kepemimpinan yang
bagaimanakah yang diperlukan dalam kehidupan bernegara kita. Belumada suatu bukti keberhasilan
kepeminpinan simbolik, feodalistik dan selebriti dapat menyelesaikan permasalahan berbangsa dan
bernegara.
Di samping itu dengan perubahan UUD 1945 yang lebih memberdayakan politisi sipil juga harus
meningkatkan proses politik yang cantik dala seluruh kehidupan politik. Misalnya politik yang
berjalan tanpa premanisme dan kekerasan. Khsusnya dalam pelaksaaan Pemilu oleh parati-parati
politik, apakah pemilu betul-betul terhindar dari korupsi, KKN, premanisme dan kekerasan politik,
politik uang dan cara-cara yang tidak halal lainnya. Inilah suatu ujian bagi partai politik yang ikut
pemilu apakah mampu melaksanan seluruh kegiatan politik yang penuh dengan etika politik
berdasarkan nilai-nilai luhur Pancasila.
‘13
10
0
PENDIDIKAN PANCASILA
Drs. Sugeng Baskoro, M.M.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Pada hekakatnya etika politik tidak diatur dalam hukum tertulis secara lengkap, tetapi melalui
moralitas yang bersumber dari hati nurani, rasa malu kepada masyarakat, rasa takut kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa . Adanya kemauan dan memiliki itikat baik dalam hidup bernegara, dapat
mengukur secara seimbang antara hak yang telah dimiliki dengan kewajiban yang telah ditunaikan,
tidak memiliki ambisius yang berlebihan dalam merebut jabatan, namum membekali diri dengan
kemampuan secara kompotitif yang terbuka untuk menduduki suatu jabatan, tidak melakukan caracara yang terlarang, seperti penipuan untuk memenangkan persaingan politik. Dengan kata lain tidak
menghalalkan segala macam cara untuk mencapai suatu tujuan politik.
Daftar Pustaka
Pendidikan Pancasila, 2015. Ghraha Ilmu
Pancasila. 2014. Ghalia Indonesia.
‘13
10
1
PENDIDIKAN PANCASILA
Drs. Sugeng Baskoro, M.M.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download