Hukum Acara PTUN - Ridho Mubarak, SH, MH.

advertisement
Hukum Acara PTUN
Oleh Ridho Mubarak Piliang, SH.MH
2016
KETENTUAN UMUM PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, diuraikan tentang
pengertian-pengertian yang berkaitan dengan Peradilan Tata Usaha Negara,
sebagai berikut:
1. Tata Usaha Negara adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi
untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan, baik di pusat maupun di
daerah.
2. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang
melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku.

3. Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) adalah penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi
tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual, dan
final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata.
4. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam
bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata
dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun
di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha
Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
5. Gugatan Tata Usaha Negara adalah permohonan yang berisi
tuntutan terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan
diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan keputusan.
6. Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada
padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh
orang atau badan hukum perdata.
7. Penggugat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 53 ayat (1)
Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 adalah Setiap Orang atau
Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan
akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara.
8. Gugatan Perwakilan Kelompok adalah suatu tata cara pengajuan
gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok
mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan
sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang
memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok
dan anggota kelompok dimaksud (Pasal 1 huruf a Peraturan
Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2002).
Subjek

Yang menjadi subjek di Peradilan
Tata Usaha Negara adalah Seseorang
atau Badan Hukum Perdata sebagai
Penggugat dan Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara sebagai Tergugat.
Objek
Dari pengertian Keputusan Tata Usaha
Negara tersebut di atas dapat diambil unsurunsurnya sebagai berikut:
1.Penetapan Tertulis.
2.Dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata
Usaha Negara.
3.Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara.
4.Berdasarkan Peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
5.Bersifat konkret, individual, dan final.
6.Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang
atau badan hukum perdata.

Perluasan:
Pasal 3 UU Peradilan Tata Usaha Negara yang biasa disebut
Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat fiktif negatif merupakan
perluasan pengertian Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana
dimaksud dalam pasal 1 angka 3, yaitu:
1) Apabila badan/pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan
keputusan sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal
tersebut disamakan dengan keputusan tata usaha negara.
2) Jika suatu badan/pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan
keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang dimaksud
telah lewat, maka badan/pejabat tata usaha negara tersebut
dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.
3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak
menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya
permohonan, badan/pejabat tata usaha negara yang bersangkutan
dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.

Mempersempit:
Pasal 49 UU Peradilan Tata Usaha Negara merupakan
ketentuan yang mempersempit pengertian Keputusan
Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud pasal 1
angka 3 dengan kata lain mempersempit kompetensi
pengadilan, yaitu: “pengadilan tidak berwenang
memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata
usaha
tertentu
dalam
hal
keputusan
yang
disengketakan itu dikeluarkan:
a. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan
bencana alam, atau keadaan luar biasa yang
membahayakan, berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku;
b. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum
berdasarkan peraturan perundang2an yang berlaku.

Pengecualian:
Pasal 2 UU Peradilan Tata Usaha Negara
merupakan
pengecualian
dari
pengertian
Keputusan Tata Usaha Negara, yaitu; “Tidak
termasuk dalam pengertian keputusan tata usaha
negara menurut Undang-undang ini:
a. Keputusan tata usaha negara yang merupakan
perbuatan hukum perdata;
b. Keputusan tata usaha negara yang merupakan
pengaturan yang bersifat umum;
c. Keputusan tata usaha negara yang masih
memerlukan persetujuan;
d. Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan
berdasarkan ketentuan
d. KUHPidana/KUHAcara Pidana/Peraturan
Perundang-undagan yang bersifat hukum
pidana;
e. Keputusan tata usaha negara yang
dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan
badan peradilan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f. Keputusan tata usaha negara mengenai tata
usaha Tentara Nasional Indonesia;
g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di
pusat maupun di daerah mengenai hasil
pemilihan umum.”
Asas-Asas Yang Terdapat Dalam Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara
Atas dasar undang-undang dan peraturanperaturan lain yang berlaku di Indonesia,
maka terdapat beberapa asas yang terdapat
pada hukum acara peradilan tata usaha
negara. Adapun asas-asas tersebut adalah:
1.Asas praduga rechmatig (vermoeden van
rechtmatigheid, praesumptio iustae causa).
asas ini menganggap bahwa setiap tindakan
penguasa selalu harus dianggap berdasarkan
hukum (benar) sampai ada pembatalan (Lihat
Pasal 67 ayat (1) UU PTUN).
2. “Asas pembuktian bebas”.
Hakimlah yang menetapkan beban
pembuktian. Hal ini berbeda dengan
ketentuan 1865 BW (lihat Pasal 101,
dibatasi ketentun Pasal 100;
3.Asas gugatan pada dasarnya tidak dapat
menunda pelaksanaan keputusan tata
usaha
negara
(KTUN)
yang
dipersengketakan, kecuali ada kepentingan
yang mendesak dari penggugat (Pasal 67
ayat 1 dan ayat 4 huruf a)

4. Asas para pihak harus
didengar (audi et alteram partem).

Para pihak mempunyai kedudukan
sama dan harus diperlakukan
diperhatikan secara adil. Hakim
dibenarkan hanya memperhatikan
bukti, keterangan, atau penjelasan
satu pihak saja
yang
dan
tidak
alat
salah
5. Asas kesatuan beracara (dalam
perkara yang sejenis);

Asas kesatuan beracara dalam perkara sejenis
baik dalam pemeriksaan di peradilan judex facti,
maupun kasasi dengan Mahkamah Agung sebagai
puncaknya. Atas dasar satu kesatuan hukum
berdasarkan wawasan nusantara, maka dualisme
hukum acara dalam wilayah Indonesia menjadi
tidak relevan. Sebagaimana yang pernah terjadi
pada zaman Hindia Belanda yang diatur dalam
HIR, Rbg, dan Rv yang membagi wilayah Indonesia
(Jawa-Madura dan luar Jawa-Madura) dan
memisahkan beracara landraad dan Raad van
Justitie.
6. Asas penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman yang bebas

penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
yang merdeka dan bebas dari segala
macam campur tangan kekuasaan yang lain
baik secara langsung maupun tidak
langsung bermaksud untuk mempengaruhi
keobjektifan putusan pengadilan. (Pasal 24
UUD 1945 jo Pasal 4 UU 14/1970).
7. Asas Peradilan dilakukan dengan sederhana,
cepat, dan biaya ringan (Pasal 4 UU 14/1970).

Sederhana adalah hukum acara yang
mudah difahami dan tidak berbelit-belit.
Dengan hukum acara yang mudah
dipahami peradilan akan berjalan dalam
waktu yang relatif cepat. Dengan demikian
biaya perkara juga menjadi ringan.
8. Asas keaktifan hakim (dominus litis)

Sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap pokok sengketa
hakim
mengadakan
rapat
permusyawaratan
untuk
menetapkan apakah gugatan tidak diterima atau tidak
berdasar yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan
(Pasal 62 UU PTUN) dan pemeriksaan persiapan untuk
mengetahui apakah gugatan penggugat kurang jelas, sehingga
penggugat perlu untuk melengkapinya (Pasal 63 UU PTUN).
Dengan demikian asas ini memberikan peran kepada hakim
dalam proses persidangan guna memperoleh suatu kebenaran
materiil dan untuk itu UU PTUN mengarah pada pembuktian
bebas. Bahkan, jika dianggap perlu untuk mengatasi kesulitan
penggugat memperoleh informasi atau data yang diperlukan,
maka hakim dapat memerintahkan badan atau pejabat TUN
sebagai pihak tergugat itu untuk memberikan informasi atau
data yang diperlukan itu (Pasal 85 UU PTUN).
9. Asas Sidang terbuka untuk umum

Asas ini membawa konsekuensi bahwa
semua putusan pengadilan hanya sah dan
mempunyai kekuatan hukum apabila
diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum (Pasal 17 dan Pasal 18 UU 14/1970
jo Pasal 70 UU PTUN).
10. Asas peradilan berjenjang.

Jenjang peradilan dimulai dari tingkat yang
terbawah yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN), kemudian Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara (PTTUN), dan puncaknya adalah
Mahkamah Agung (MA). Dengan dianutnya asas ini,
maka kesalahan dalam putusan pengadilan yang
lebih dapat dikoreksi oleh pengadilan yang lebih
tinggi. Terhadap putusan yang belum mempunyai
hukum tetap dapat diajukan upaya hukum banding
kepada PTTUN dan kasasi kepada MA. Sedangkan
terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap dapat diajukan upaya hukum
permohonan peninjauan kembali kepada MA.
11. Asas Pengadilan sebagai upaya
terakhir

Asas
ini
menempatkan
pengadilan
sebagi ultimum remedium. Sengketa Tata
Usaha Negara sedapat mungkin terlebih
dahulu diupayakan penyelesaiannya melalui
musyawarah untuk mencapai mufakat bukan
secara konfrontatif. Penyelesaian melalui
upaya administratif yang diatur dalam pasal
48
UUPTUN
lebih
menunjukkan
penyelesaian ke arah itu. Apabila musyawarah
tidak mencapai mufakat, maka barulah
penyelesaian melalui PTUN dilakukan.
12. Asas objektivitas.

Untuk tercapainya putusan yang adil, maka hakim
atau panitera wajib mengundurkan diri, apabila
terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda
sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau
istri meskipun telah bercerai dengan tergugat,
penggugat atau penasihat hukum atau antara
hakim dengan salah seorang hakim atau panitera
juga terdapat hubungan sebagaimana yang
disebutkan di atas, atau hakim atau panitera
tersebut mempunyai kepentingan langsung atau
tidak langsung dengan sengketanya (Pasal 78 dan
pasal 79 UU PTUN)
Asas-Asas diatas berpengaruh terhadap
persamaan dan perbedaan antara Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara dengan Hukum
Acara Peradata. Adapun perbedaan tersebut
antara lain:
1. Pada Peradilan Tata Usaha Negara, hakim
bereperan lebih aktif dalam proses
persidangan
guna
memperoleh
suatu
kebenaran materil dan untuk itu undangundang ini mengarah pada pembuktian bebas.
2. Suatu gugatan Tata Usaha Negara pada
dasarnya tidak bersifat menunda pelaksanaan
Keputusan Tata Usaha Negara.

1.
2.
3.
4.
5.
6.
Selanjutnya sesuai dengan fungsi Peradilan Tata Usaha Negara untuk
memberikan perlindungan kepada masyarakat, maka dalam undang-undang
ini diberi kemudahan bagi warga masyarakat pencari keadilan, antara lain;
Mereka yang tidak pandai membaca dan menulis dibantu oleh
Panitera Pengadilan untuk merumuskan gugatannya.
Warga pencari keadilan dari golongan masyarakat yang tidak
mampu diberikan kesempatan untuk berperkara secara cuma-cuma.
Apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak, atas
permohonan penggugat, Ketua Pengadilan dapat menentukan
dilakukannya pemeriksaan dengan acara cepat.
Penggugat dapat mengajukan gugatannya kepada Pengadilan Tata
Usaha Negara yang paling dekat dengan tempat kediamannya untuk
kemudian diteruskan ke Pengadilan yang berwenang mengadilinya.
Dalam hal tertentu gugatan dimungkinkan untuk diadili oleh
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
penggugat.
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dipanggil sebagai saksi
diwajibkan untuk datang sendiri.
Asas Legalitas
Asas legalitas (asas wetmatigheid van het
bestuur) tersebut merupakan salah satu asas
yang selalu dijunjung tinggi oleh setiap negara
yang menyatakan dirinya sebagai negara
hukum. Asas legalitas ini semula di negaranegara Barat hanya berkaitan dengan usaha
melawan hak raja-raja untuk memungut pajak
dari rakyat, kalau rakyat tidak diwakili dalam
badan perwakilan (“notaxation withou
representation”), atau kalau raja melakukan
penahanan dan menjatuhkan pidana
sekarang pengertian asas tersebut meluas sampai
mengenai semua wewenang dari aparat-aparat
pemerintah yang melanggar kebebasan atau hak milik
warga masyarakat di tingkat manapun. Asas tersebut
mencanangkan, bahwa tanpa adanya dasar wewenang
yang diberikan oleh suatu perundang-undangan yang
berlaku, maka segala macam aparat pemerintah itu
tidak akan memiliki wewenang yang dapat
mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi
hukum warga masyarakatnya. Ini berarti, bahwa setiap
wewenang
pemerintahan
untuk
melakukan
kebijaksanaan dan tindakan hukum TUN, baik
mengenai bentuk dari tindakan-tindakan hukum
demikian itu serta isi hubungan hukum yang
diciptakan olehnya harus ada dasar atau sumbernya
pada (diberikan oleh) suatu ketentuan peraturan
perundang-undangan (hukum tertulis).
Dalam literatur Peranacis, asas tersebut
dinamakan le principe de la le’galite de
l’administration,
Di Jerman dinamakan Gesetzmassingkeit der
Verwaltung.
Di Inggris, asas tersebut dianggap sebagai
bagian dari rule of law.
Asas Pemerintahan Menurut
Hukum
Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik
(AAUPB) itu mempunyai arti penting,
karena seperti norma hukum lainnya, asasasas tersebut merupakan pedoman arah
bagi Badan atau Jabatan TUN dalam
menemukan atau menentukan hukum
pada waktu mereka melaksankan fungsi
pemerintahan dengan mengeluarkan
keputusan-keputusan TUN.
AAUPB, meliputi :
1. Asas kepastian hukum;
2. Asas tertib penyelenggara negara;
3. Asas keterbukaan;
4. Asas proporsionalitas;
5. Asas profesionalitas; dan
6. Asas akuntabilitas
Asas kepastian hukum
Adalah suatu jaminan bahwa suatu hukum
harus dijalankan dengan cara yang baik
atau tepat.
Kepastian pada intinya merupakan tujuan
utama dari hukum. Jika hukum tidak ada
kepastian maka hukum akan kehilangan
jati diri serta maknanya.
jika hukum tidak memiliki jati diri maka
hukum tidak lagi digunakan sebagai
pedoman perilaku setiap orang.
Adanya kepastian hukum dalam suatu negara
menyebabkan adanya upaya pengaturan
hukum dalam suatu perundang-undangan
yang ditetapkan oleh pemerintah.
Asas kepastian hukum dalam penyelenggara
adalah sebuah konsep untuk memastikan
bahwa hukum dijalankan dengan baik
sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi
siapapun.
Hukum harus bisa menjadi pedoman,
mengayomi dan melindungi masyarakat dari
berbagai tindak kejahatan pada individu atau
kelompok.
Download