Asas-Asas Yang Terdapat Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Atas dasar undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang berlaku di Indonesia, maka terdapat beberapa asas yang terdapat pada hukum acara peradilan tata usaha negara. Adapun asas-asas tersebut adalah:[3] 1. Asas praduga rechmatig (vermoeden van rechtmatigheid, praesumptio iustae causa). Dengan asas ini setiap tindakan pemerintahan selalu dianggap rechtmatig sampai ada pembatalan (Lihat Pasal 67 ayat (1) UU PTUN). 2. Asas gugatan pada dasarnya tidak dapat menunda pelaksanaan keputusan tata usaha negara (KTUN) yang dipersengketakan, kecuali ada kepentingan yang mendesak dari penggugat (Pasal 67 ayat 1 dan ayat 4 huruf a). 3. Asas para pihak harus didengar (audi et alteram partem). Para pihak mempunyai kedudukan yang sama dan harus diperlakukan dan diperhatikan secara adil. Hakim tidak dibenarkan hanya memperhatikan alat bukti, keterangan, atau penjelasan salah satu pihak saja. 4. Asas kesatuan beracara dalam perkara sejenis baik dalam pemeriksaan di peradilan judex facti, maupun kasasi dengan Mahkamah Agung sebagai puncaknya. Atas dasar satu kesatuan hukum berdasarkan wawasan nusantara, maka dualisme hukum acara dalam wilayah Indonesia menjadi tidak relevan. Sebagaimana yang pernah terjadi pada zaman Hindia Belanda yang diatur dalam HIR, Rbg, dan Rv yang membagi wilayah Indonesia (JawaMadura dan luar Jawa-Madura) dan memisahkan beracara landraad dan Raad van Justitie. 5. Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari segala macam campur tangan kekuasaan yang lain baik secara langsung maupun tidak langsung bermaksud untuk mempengaruhi keobjektifan putusan pengadilan. (Pasal 24 UUD 1945 jo Pasal 4 UU 14/1970). 6. Asas Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 4 UU 14/1970). Sederhana adalah hukum acara yang mudah difahami dan tidak berbelit-belit. Dengan hukum acara yang mudah dipahami peradilan akan berjalan dalam waktu yang relatif cepat. Dengan demikian biaya perkara juga menjadi ringan. 7. Asas hakim aktif. Sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap pokok sengketa hakim mengadakan rapat permusyawaratan untuk menetapkan apakah gugatan tidak diterima atau tidak berdasar yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan (Pasal 62 UU PTUN) dan pemeriksaan persiapan untuk mengetahui apakah gugatan penggugat kurang jelas, sehingga penggugat perlu untuk melengkapinya (Pasal 63 UU PTUN). Dengan demikian asas ini memberikan peran kepada hakim dalam proses persidangan guna memperoleh suatu kebenaran materiil dan untuk itu UU PTUN mengarah pada pembuktian bebas. Bahkan, jika dianggap perlu untuk mengatasi kesulitan penggugat memperoleh informasi atau data yang diperlukan, maka hakim dapat memerintahkan badan atau pejabat TUN sebagai pihak tergugat itu untuk memberikan informasi atau data yang diperlukan itu (Pasal 85 UU PTUN). 8. Asas Sidang terbuka untuk umum. Asas ini membawa konsekuensi bahwa semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 17 dan Pasal 18 UU 14/1970 jo Pasal 70 UU PTUN). 9. Asas peradilan berjenjang. Jenjang peradilan dimulai dari tingkat yang terbawah yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), kemudian Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN), dan puncaknya adalah Mahkamah Agung (MA). Dengan dianutnya asas ini, maka kesalahan dalam putusan pengadilan yang lebih dapat dikoreksi oleh pengadilan yang lebih tinggi. Terhadap putusan yang belum mempunyai hukum tetap dapat diajukan upaya hukum banding kepada PTTUN dan kasasi kepada MA. Sedangkan terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan upaya hukum permohonan peninjauan kembali kepada MA. 10. Asas Pengadilan sebagai upaya terakhir untuk mendapatkan keadilan. Asas ini menempatkan pengadilan sebagi ultimum remedium. Sengketa Tata Usaha Negara sedapat mungkin terlebih dahulu diupayakan penyelesaiannya melalui musyawarah untuk mencapai mufakat bukan secara konfrontatif. Penyelesaian melalui upaya administratif yang diatur dalam pasal 48 UUPTUN lebih menunjukkan penyelesaian ke arah itu. Apabila musyawarah tidak mencapai mufakat, maka barulah penyelesaian melalui PTUN dilakukan. 11. Asas objektivitas. Untuk tercapainya putusan yang adil, maka hakim atau panitera wajib mengundurkan diri, apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan tergugat, penggugat atau penasihat hukum atau antara hakim dengan salah seorang hakim atau panitera juga terdapat hubungan sebagaimana yang disebutkan di atas, atau hakim atau panitera tersebut mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan sengketanya (Pasal 78 dan pasal 79 UU PTUN). Asas-Asas diatas berpengaruh terhadap persamaan dan perbedaan antara Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dengan Hukum Acara Peradata. Adapun perbedaan tersebut antara lain:[4] 1. Pada Peradilan Tata Usaha Negara, hakim bereperan lebih aktif dalam proses persidangan guna memperoleh suatu kebenaran materil dan untuk itu undangundang ini mengarah pada pembuktian bebas. 2. Suatu gugatan Tata Usaha Negara pada dasarnya tidak bersifat menunda pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara. Selanjutnya sesuai dengan fungsi Peradilan Tata Usaha Negara untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat, maka dalam undang-undang ini diberi kemudahan bagi warga masyarakat pencari keadilan, antara lain:[5] 1. Mereka yang tidak pandai membaca dan menulis dibantu oleh Panitera Pengadilan untuk merumuskan gugatannya. 2. Warga pencari keadilan dari golongan masyarakat yang tidak mampu diberikan kesempatan untuk berperkara secara cuma-cuma. 3. Apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak, atas permohonan penggugat, Ketua Pengadilan dapat menentukan dilakukannya pemeriksaan dengan acara cepat. 4. Penggugat dapat mengajukan gugatannya kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang paling dekat dengan tempat kediamannya untuk kemudian diteruskan ke Pengadilan yang berwenang mengadilinya. 5. Dalam hal tertentu gugatan dimungkinkan untuk diadili oleh Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat. 6. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dipanggil sebagai saksi diwajibkan untuk datang sendiri. Walaupun penjelasan umum dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tersebut diatas menyebutkan bahwa Hukum Acara yang digunakan dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara, mempunyai persamaan dengan Hukum Acara yang digunakan di Peradilan Umum untuk perkara perdata, itu tidak berarti bahwa begitu saja dapat menerapkan ketentuan peraturan yang berlaku dalam Hukum Acara Perdata dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara. Karena hal ini akan dibatasi oleh prinsip dasar yang berlaku di Pengadilan Tata Usaha Negara, terutama yang menyangkut masalah kompetensi (kewenangan mengadili). Seperti yang diketahui bahwa Peradilan Tata Usaha Negara tersebut hanya berwenang mengadili sengketa Tata Usaha Negara, yaitu sengketa antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Sengketa ini berpangkal dari ditetapkannya suatu Keputusan Tata Usaha Negara oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Oleh karena itu pada hakikatnya sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa tentang sah atau tidaknya suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang telah dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Berdasarkan hal ini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa: 1. Yang dapat digugat dihadapan Peradilan Tata Usaha Negara hanyalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. 2. Sengketa yang dapat diadili oleh Peradilan Tata Usaha Negara adalah sengketa mengenai sah atau tidaknya suatu Keputusan Tata Usaha Negara, bukan sengketa mengenai kepentingan hak.[6] Oleh karena itu gugat balik (gugat rekonvensi) dan gugat mengenai ganti rugi yang dikenal dalam Hukum Acara Perdata, semestinya tidak ada dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara yang digugat, bukan lagi Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat, tetapi adalah warga masyarakat atau Badan Hukum Perdata. Sedangkan gugat ganti rugi merupakan wewenang Peradilan Umum untuk mengadilinya. Sebaliknya berdasarkan ketentuan pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1986, yang dapat bertindak sebagai penggugat di Peradilan Tata Usaha Negara hanyalah orang atau Badan Hukum Perdata, sehingga tidak mungkin terjadi saling menggugat antara sesama Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara di Peradilan Tata Usaha Negara (Pasal 1. UPTUN).[7] Disamping asas-asas tersebut di peradilan Tata Usaha Negara juga diberlakukan asas peradilan cepat, murah, dan sederhana serta semacam asas praduga tak bersalah (presumtion of innoncent) seperti yang dikenal dalam Hukum Acara Pidana. Di mana seorang Pejabat Tata Usaha Negara tetap dianggap tidak bersalah di dalam membuat suatu Keputusan Tata Usaha Negara sebelum ada putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan ia salah di dalam membuat keputusan Tata Usaha Negara atau dengan kata lain suatu Keputusan Tata Usaha Negara tetap dianggap sah (tidak melawan hukum), sebelum adanya putusan Hakim yang telah kekuatan hukum tetap yang menyatakan keputusan tersebut tidak sah (melawan hukum). Sehingga digugatnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara, tidak akan menyebabkan tertundanya pelaksanaan keputusan tersebut.[8] Peradilan Tata Usaha Negara juga mengenal Peradilan In Absentia sebagaimana berlaku dalam Peradilan untuk Tindak Pidana Khusus, di mana sidang berlangsung tanpa hadirnya tergugat.[9] Menurut pasal 72 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 bila tergugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan dua kali berturut-turut dan/atau menanggapi gugatan tanapa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan, walaupun setiap kali telah dipanggil secara patut, maka Hakim Ketua Sidang dengan Surat Penetapan meminta atasan tergugat untuk memerintahkan tergugat hadir atau menanggapi gugatan. Setelah lewat dua bulan sesudah dikirimkan dengan surat tercatat penetapan dimaksud, tidak diterima berita, baik dari atasan tergugat maupun dari tergugat sendiri, maka Hakim Ketua Sidang menetapkan hari sidang berikutnya dan pemeriksaan sengketa dilanjutkan menurut acara biasa, tanpa hadir tergugat. Putusan terhadap pokok gugatan dapat dijatuhkan hanya setelah pemeriksaan mengenai segi pebuktiannya tetap dilakukan secara tuntas.[10] Berbeda dengan acara yang berlaku di persidangan Peradilan Perdata, dalam hal demikian Hakim dapat langsung menjatuhkan putusan verstek. Dalam Peradilan Tata Usaha Negara, Hakim tidak langsung menjatuhakan putusan verstek, tetapi tetap melanjutkan sidang dengan acara biasa. Putusan baru bisa dijatuhkan setelah pemeriksaan segi pembuktian dilaksanakan secara tuntas. Cara ini ditempuh dalam Peradilan Tata Usaha Negara, untuk menjaga agara jangan sampai kepentingan negara dirugikan karena kelalaian tergugat.[11] C. Asas Legalitas Asas legalitas (asas wetmatigheid van het bestuur) tersebut merupakan salah satu asas yang selalu dijunjung tinggi oleh setiap negara yang menyatakan dirinya sebagai negara hukum. Asas legalitas ini semula di negara-negara Barat hanya berkaitan dengan usaha melawan hak raja-raja untuk memungut pajak dari rakyat, kalau rakyat tidak diwakili dalam badan perwakilan (“notaxation withou representation”), atau kalau raja melakukan penahanan dan menjatuhkan pidana. Sekarang pengertian asas tersebut meluas sampai mengenai semua wewenang dari aparat-aparat pemerintah yang melanggar kebebasan atau hak milik warga masyarakat di tingkat manapun. Asas tersebut mencanangkan, bahwa tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu perundang-undangan yang berlaku, maka segala macam aparat pemerintah itu tidak akan memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya. Ini berarti, bahwa setiap wewenang pemerintahan untuk melakukan kebijaksanaan dan tindakan hukum TUN, baik mengenai bentuk dari tindakan-tindakan hukum demikian itu serta isi hubungan hukum yang diciptakan olehnya harus ada dasar atau sumbernya pada (diberikan oleh) suatu ketentuan peraturan perundang-undangan (hukum tertulis). Dalam literatur Peranacis, asas tersebut dinamakan le principe de la le’galite de l’administration, di Jerman dinamakan Gesetzmassingkeit der Verwaltung. Di Inggris, asas tersebut dianggap sebagai bagian dari rule of law.[12] Dengan demikian, asas yang dikandung dalam pasal 1 ayat 2 UU Nomor 5 Tahun 1986 juga menentukan, bahwa setiap wewenang pemerintahan yang harus diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan kepada siapa pun yang harus diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan kepada siapa pun yang melaksanakan urusan pemerintahan negara ini tentu ada batasnya (baik secara express atau implied) juga hanya diberikan untuk maksud dan tujuan-tujuan tertentu (asas spesialitas). Selanjutnya asas tersebut juga dimaksudkan untuk menjamin dijalankannya kesamaan perlakuan oleh pemerintah. Karena undang-undang itu sebagai peraturan yang bersifat umum dan mengikat sebenarnya menurut sifatnya diarahkan kepada berlakunya kesamaan perlakuan. Maksudnya, setiap orang yang ditentukan dalam suatu ketentuan undang-undang itu, berhak dan berkewajiban untuk berbuat seperti apa yang ditentukan dalam undang-undang tersebut.[13] Di samping itu, asas legalitas pemerintahan juga menunjang berlakunya kepastian hukum. Sebab, tindakan hukuman pemerintahan itu hanya dimungkinkan kalau ada pengaturannya dalam undang-undang. Oleh karena, peraturan tersebut dapat membuat semua tindakan yang akan dilakukan pemerintah itu diramalkan/diperkirakan lebih dahulu, dengan melihat kepada peraturan-peraturan yang berlaku, maka pada asasnya lalu dapat dilihat atau diharapkan apa yang akan dilakukan oleh aparat pemerintahan yang bersangkutan. Dengan demikian, warga masyarakat lalu dapat menyesuaikan dengan keadaan tersebut.[14] Karena itu setiap perbuatan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dilakukan oleh Badan atau Jabatan TUN mana pun apabila keluar dari batas-batas dan tujuan pemberian wewenang atau melanggar asas legalitas tersebut, tentu tidak akan dibenarkan oleh hukum. Dalam praktek, ternyata dengan berlakunya asas legalitas itu tidak berarti, bahwa untuk setiap perbuatan pemerintahan selalu harus sama bobot legalitasnya dalam peraturan dasarnya. Hal itu disebabkan karena:[15] 1. Dasar legalitas untuk setiap perbuatan material dengan tindakan hukum itu selalu tidak sama. Bagi perbuatan material pada umumnya tidak diperlukan adanya dasar ketentuan dalam suatu undang-undang, misal merobohkan rumah yang sudah membahayakan, menderek mobil yang salah parkir, merobohkan tembok yang sudah retak-retak di pinggir jalan umum yang sudah tampak membahayakan, dan lain-lain. 2. Dasar legalitas bagi tindakan hukum pemerintahan itu perlu dibedakan antara tindakan hukum menurut hukum perdata dengan tidakan hukum menurut hukum publik. Tindakan membeli alat tulis menulis tidaklah memerlukan dasar legalitas dalam peraturan khusus. Sebaliknya untuk memecat seorang pegawai diperlukan dasar aturannya dalam undangundang tentang pokok-pokok kepegawaian. Seperti kita ketahui dalam menjalankan urusan pemerintahan, sering Badan atau jabatan TUN juga ikut serta dalam pergaulan atau lalu lintas hukum sehari-hari dalam masyarakat. Selain melakukan tindakan hukum menurut hukum publik juga sering melakukan tindakan hukum menurut hukum perdata. Bobot dari batasan yang diterapkan oleh asas legalitas mengenai kedua tindakan hukum itu dalam praktek tidak sama. Ada kalanya untuk mengurus suatu suatu bidang pemerintahan, dapat ditempuh baik melalui jalur hukum publik. Tetapi apabila untuk perlindungan hukum warga masyarakat yang bersangkutan dengan jalur hukum publik ia akan memperoleh jaminan yang lebih baik, maka seyogyanya jalur hukum publiklah yang harus ditempuh. Selanjutnya, tindakan-tindakan hukum menurut hukum publik yang dapat dilakukan oleh Badan atau Jabatan TUN itu diantaranya dapat dibedakan antara yang bersifat membebankan dengan yang bersifat menguntungkan. Asas legalitas ini secara tajam hanya berlaku pada tindakan hukum para Badan atau Jabatan TUN yang bersifat membebankan. Artinya, apabila tindakan-tindakan hukum publik yang dilakukan Badan atau Jabatan TUN itu dapat melanggar atau mendesak kebebasan atau hak milik seseorang atau lebih, maka harus diperhatikan benar apakah untuk tindakan hukum yang demikian itu ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebaliknya keputusan yang memberikan subsidi, jadi bersifat menguntungkan, tidak ada orang yang akan menanyakan di mana dasar undang-undangnya. D. Asas Pemerintahan Menurut Hukum Wewenang pemerintahan dari Badan atau Jabatan TUN untuk melakukan tindakantindakan hukum TUN itu pertama-tama harus bersumber atau berdasar pada suatu ketentuan peraturan perundang-undangan. Di samping itu pelaksanan dari wewenang pemerintahan juga harus memperhatikan norma-norma yang tidak tertulis yang benar-benar ada dan hidup yang berada di antara norma-norma juris (hukum) dan etika (moral/kepatutan) yang mempedomani para Badan atau Jabatan TUN pada waktu melaksanaan fungsi pemerintahannya. Ia merumupakan asas-asas yang mengandung suatu nilai hukum. Ia dianggap yang menjembatani norma-norma hukum dengan norma-norma etika. Scholten menganggapnya sebagai yang memberikan dasar kecenderungan yang bersifat etis pada tertib hukum. Di Perancis ada yang mengatakan sebagai principes de morale juridique. Bellefroid dan Hommes menyebut tentang “norma dasar atau pedoman untuk pemebentukan hukum. Konijnenbelt mengatakan, asas-asas umum pemerintahan yang baik itu mempunyai arti penting, karena seperti norma hukum lainnya, asas-asas tersebut merupakan pedoman arah bagi Badan atau Jabatan TUN dalam menemukan atau menentukan hukum pada waktu mereka melaksankan fungsi pemerintahan dengan mengeluarkan keputusan-keputusan TUN. Asas-asas tersebut seperti norma-norma hukum yang dikandung dalam peraturan perundangundangan ikut menentukan keluarnya suatu keputusan TUN, suatu keputusan hukum TUN yang tepat dan benar. Umpamanya, apakah perlu dikeluarkan suatu izin, kalau perlu. Kalau diperlukan, syarat-syarat apa yang dapat dilekatkan pada izin seperti itu, apakah tepat suatu keputusan yang menguntungkan itu dicabut, apakah perlu dilakukan suatu tindakan penertiban, dan sebagainya.[16] Karena asas-asas umum pemerintahan yang baik itu dalam kenyataannya memang ada dan benar berlaku serta bersemayam dalam kesadaran masyarakat yang menganggap norma itu sebagai norma yang baik dan harus ditaati. Oleh karenanya, Badan atau Jabatan TUN itu harus selalu berpedoman dan menaati norma-norma tersebut, maka sudah seharusnya asas-asas tersebut merupakan dasar pengujian bagi Hakim TUN pada waktu menilai apakah suatu keputusan TUN itu menurut hukum atau tidak.[17]