EKSISTENSI DAN RUANG LINGKUP PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DI INDONESIA EXISTENCE AND SCOPE OF THE ADMINITRATIVE COURTS PENULIS : CHRISTIN ANDRIANI, SH NIM : A. 2021131043 ABSTRACT One element of a constitutional state is functioning of independent judicial power committed by the judiciary . Basic law of justice in Indonesia is as stated in the 1945 Constitution of the Republic Indonesia . In addition, the Indonesian judicial restated in statute No. 48 on 2009 about Judicial authority is the District Courts, Religious Courts , Administrative Courts and Military Courts . With the establishment of the State Administrative Court in Indonesia can provide legal protection to the public from all acts of state administration , and also provide legal protection for the state administration in performing their duties , functions and responsibilities. The administrative Court can also control the actions of officials of state administration ABSTRAK Salah satu unsur negara hukum adalah berfungsinya kekuasaan kehakiman yang merdeka yang dilakukan oleh badan peradilan. Dasar hukum tentang peradilan di Negara Indonesia adalah sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu mengenai peradilan di Indonesia dinyatakan kembali di dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer. Dengan dibentuknya 1 Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia dapat memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat dari segala perbuatan administrasi negara, dan juga memberikan perlindungan hukum bagi administrasi negara dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenangnya. PTUN juga dapat berperan untuk mengontrol tindakan para pejabat tata usaha negara. 2 I. Pendahuluan Salah satu unsur negara hukum adalah berfungsinya kekuasaan kehakiman yang merdeka yang dilakukan oleh badan peradilan. Pemberian kewenangan yang merdeka tersebut merupakan “katup penekan” (pressure valve), atas setiap pelanggaran hukum tanpa kecuali. Pemberian kewenangan ini dengan sendirinya menempatkan kedudukan badan peradilan sebagai benteng terakhir (the last resort) dalam upaya penegakan “kebenaran” dan “keadilan”. Dalam hal ini tidak ada badan lain yang berkedudukan sebagai tempat mencari penegakan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and justice) apabila timbul sengketa atau pelanggaran hukum.1 Dasar hukum tentang peradilan di Negara Indonesia adalah sebagaimana tercantum dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Amandemen ke 4 Tahun 2002) yang berbunyi: (1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. (2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. (3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang 1 M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Sistem Peradilan Dan Penyelesaian Sengketa, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 34. 3 Indonesia menganut system hukum civil law yang diwarisi dari kolonial Netherland dan Negara-negra yang menganut paham civil law (Eropa Kontinental) pada umumnya mempunyai pengadilan administrasi sebagai pranata tersendiri, sedangkan negara yang menganut sistem common law tidak mempunyai pengadilan administrasi tersendiri, akan tetapi membentuk berbagai Pengadilan untuk mengadili sengketa-sengketa administrasi. Mengenai peradilan di Indonesia dinyatakan kembali di dalam UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman pada Pasal 25 yang menyatakan: (1) Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. (2) Peradilan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Peradilan agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (4) Peradilan militer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 4 (5) Peradilan tata usaha negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Peradilan-peradilan yang dibentuk tersebut adalah merupakan kekuasan kehakiman yang merdeka, diberikan kewenangan penegakan hukum dan keadilan dibawah langsung lembaga yudisial yaitu Mahkamah Agung. Selain menjadi pengawas pada peradilan-peradilan tersebut, Makamah Agung juga diberikan kewenangan guna mengadili pada tingkat kasasi, juga menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang Dalam perkembangan sejarah perlindungan hukum di Indonesia, fungsi peradilan memang semakin dibutuhkan dan diharapkan dapat memberikan keadilan dan kepastian hukum karena setiap orang mempunyai kesempatan untuk membela hak-haknya yang mungkin merasa dirugikan akibat adanya pelanggaran hukum hak atau kewajiban atau perbuatan melawan hukum oleh pihak lain dan untuk itu mereka mengajukan gugatan kepada Pengadilan secara personal (individu) atau secara bersama-sama. Pada tanggal 29 Desember 1986 Presiden mengesahkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan mulai efektif pada tanggal 14 Januari 1991. Kemudian pada tanggal 29 Maret 2004 disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan terakhir dirubah dengan Undang-Undang nomor 51 Tahun 2009 (selanjutnya dalam 5 penulisannya akan disingkat menjadi, UU No. 5 Tahun 1986, UU No. 9 Tahun 2004 dan UU No. 51 Tahun 2009). Dalam perubahan tersebut tidak semua Pasal diubah. Bahkan pasal-pasal yang mengatur tentang kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara tetap dipertahankan dan masih tetap berlaku. Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, memberikan kompetensi absolut kepada Peradilan Tata Usaha Negara untuk mengontrol tindakan pemerintah secara yuridis (judicial control), tindakan pemerintahan yang dinilai melanggar ketentuan administrasi (mal administrasi) ataupun perbuatan yang bertentangan dengan hukum (abuse of power) Tujuan Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa perlindungan hukum bagi rakyat dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum preventif adalah perlindungan hukum dimana rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang defenitif, artinya perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan sebaliknya perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Perlindungan hukum yang preventif sangat besar artinya bagi tindakan pemerintah yang didasarkan kepada kebebasan bertindak, karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi. Sesuai dengan asas negara hukum (recht staat), maka semua tindakan hukum (recht handelingen) dan atau tindakan faktual (feitelijke handelingen) 6 Pejabat/Badan administrasi pemerintahan, baik yang menyangkut kewenangan, substansi maupun prosedur harus berdasarkan pada ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku serta sesuai dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB). Oleh karena Pejabat/Badan administrasi pemerintahan dapat melakukan tindakan hukum dan atau tindakan faktual, maka dengan demikian subyek hukum tidak hanya terbatas pada orang atau badan hukum perdata saja ( seperti Perseroan Terbatas, Koperasi, Yayasan), akan tetapi juga Pejabat/Badan administrasi pemerintahan sehingga Pejabat/Badan administrasi pemerintahan dapat dikategorikan sebagai subyek hukum. Dalam kedudukannya sebagai subyek hukum, maka Pejabat/Badan administrasi pemerintahan dapat melakukan tindakan hukum yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban secara hukum. Pengadilan tata usaha Negara di Indonesia saat ini merupakan hasil dari percampuran antara gagasan-gagasan hukum, dan kekuasaaan poliik dan dalam pembentukan PTUN di Indonesia banyak proses dan tahapan serta alasan-alasan yang melatarbelakangi pendirin PTUN, dan dalam hal ini penulis akan membahas mengenai sejauh mana eksistensi dan ruang lingkup Pengadian Tata Usaha Negara di Indonesia. Hal-hal yang menjadi karakteristik Peradilan Tata Usaha Negara dalam hal ini adalah perkembangan dalam hukum acaranya yaitu: 1. Peranan Hakim yang aktif (Dominus litis) Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah karena hakim tata usaha negara dibebani dengan tugas untuk mencari sebuah kebenaran yang bersifat materiil dan dapat dipertanggung jawabkan. (pasal 63 ayat 2a dan b/ pasal 80 ayat 1/ 7 pasal 85/ pasal 95 ayat 1/ dan pasal 103 ayat 1 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara). 2. Kompensasi ketidak seimbangan antara kedudukan antara penggugat dan juga oeh tergugat. 3. Sistem pembuktian yang mengarah kepada pembuktian bebas (vrijbewijs) yang terbatas. Hakim yang menetapkan beban pembuktian, dimana terdapat perbedaan dengan ketentuan pasal 1865 BW. Asas ini dianut dalam pasal 107 Undang-undang no. 5 tahun 1986 hanya saja masih dibatasi ketentuan pasal 100. 4. Gugatan di pengadilan tidak bersifat mutlak dan bersifat menunda pelaksanaan suatu keputusan Peradilan Tata Usaha Negara (TUN) yang digugat. Di dalam pasal 67 dijelaskan tentang hal tersebut dimana keputusan Tata Usaha Negara yang di gugat itu diperintahkan penundaannya. Pengadilan akan mengabulkan permohonan penundaan pelaksanaan keputusan Tata Usaha Negara tersebut hanya apabila: pertama, terdapat keadaan yang sangat mendesak, yaitu jika kerugian yang akan diderita penggugat akan sangat tidak seimbang dan sebanding dengan manfaat bagi kepentingan yang akan dilindungi oleh keputusan dan pelaksanaan dari keputusan tata usaha negara itu; kedua, pelaksanaan keputusan Tata Usaha Negara yang digugat tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan umum dalam rangka pembangunan. 5. Keputusan yang akan ditetapkan oleh hakim adalah tidak boleh bersifat ultra petita (melebihi tuntutan dari penggugat dalam persidangan) tetapi akan dimungkinkan adanya reformatio in peius (membawa penggugat kedalam 8 sesuatu keadaan yang lebih buruk) selama masih diatur di dalam undangundang. 6. Terhadap putusan hakim tata usaha negara berlaku dan mengikat asas erga omnes. Dimana dimaksudkan bahwa putusan itu tidak hanya berlaku bagi para pihak yang bersengketa, tetapi juga akan berlaku bagi para pihak lain yang akan terkait. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa hukum publik. Dengan demikian putusan pengadilan Tata Usaha Negara berlaku bagi siapa saja. Dalam rangka ini pasal 83 bertentangan dengan asas erga omnes. 7. Dalam proses pemeriksaan yang dipersidangan akan berlaku asas auti et alteram partem. Dimana asas ini dimaksudkan para pihak yang saling bersengketa harus diberikan kesempatan-kesempatan untuk memberikan penjelasan tentang perkara tersebut sebelum hakim memberikan sebuah keputusan 8. Dalam mengajukan sebuah gugatan harus terdapat kepentingan oleh salah satu pihak yang bersengketa, jadi apabila tidak terdapat kepentingan maka tidak boleh mengajukan sebuah gugatan. Gugatan yang ditujukan haruslah memiliki hal yang kuat dan penting bagi si penggugat dan memiliki dasar yang kuat dalam pengajuan gugatan. 9. Kebenaran yang akan dicapai adalah sebuah kebenaran materill dengan tujuan yaitu menyeimbangkan dari sebuah kepentingan perseorangan dengan kepentingan bersama. 9 10. Suatu keputusan Tata Usaha Negara akan selalu mengandung asas “prasumptio iustae causa”, yaitu bahwa suatu keputusan Tata Usaha Negara (TUN) atau disebut beschikking harus selalu dianggap sah selama belum dibuktikan sebaliknya sehingga pada prinsipnya harus selalu dianggap sah sebelum ada keputusan pengadilan. II. Permasalahan 2.1 Bagaimana peranan PTUN dalam hukum di Indonesia? 2.2 Apa saja Ruang Lingkup PTUN? III. PEMBAHASAN 3.1 Perkembangan dan Peran PTUN di Indonesia Pada zaman pemerintahan Belanda tidak dikenal adanya Peradilan TUN sebagai suatu lembaga yang berdiri sendiri, yang diberi kewenangan untuk memeriksa dan menyelesaikan sengketa di bidang Tata Usaha Negara. Peradilan Administrasi Negara pada waktu itu dilakukan oleh hakim administrasi Negara yaitu hakim khusus yang memeriksa perkara administrasi Negara , maupun hakim perdata. Ketentuan yang digunakan pada waktu itu adalah pasal 134 IS jo ( Indische Staatsregeling ) UUD 1945, dalam pasal 24 berbunyi sebagai berikut : (1) Kekuasaaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. (2) Susunan dan kekuasaan badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang. Selanjutnya Pasal 25 UUD 1945, 10 mengatakan sebagai berikut : syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang. Didalam kedua ketentuan tersebut ternyata tidak diatur tetang PTUN sebagai badan peradilan yang berdiri sendiri (pranata khusus), akan tetapi hanya mengatur bahwa apabila ada sengketa TUN, akan disidangkan di Pengadilan Tinggi dalam tingkat pertama dan di Mahkamah Agung dala tingkat kedua. Dalam UUD 1945 Pasal 108 menurut Sjachran Basah membuka 2 (dua) macam kemungkinan, yang memberika kesempatan kepada pembentukan Undangundang untuk memenuhi salah satu dari 4 (empat) jalan, seperti: 1. Pengadilan Perdata secara umum 2. Pengadilan perdata, khusus untuk sengketa tata usaha tertentu 3. Badan pemutus untuk semua sengketa tata usaha, bukan peradilan perdata yang dibentuk secara istimewa.2 Badan peradilan secara bertahap semakin mendapatkan tekanan akibat perkembangan politik di Indonesia. Hal ini mengancam baik status lembaga peradilan maupun mutu keadilan yang dihasilkan. Dan pada tahun 1953 para hakim membentuk Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) untuk membela kepentingan mereka, dan Pada tanggal 29 Desember 1986 Presiden mengesahkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan mulai efektif pada tanggal 14 Januari 1991. 2 Sjahran Basah, “Eksistensi dan Tolak Ukur Peradilan Administrasi di Indonesia”, (disertasi Doktor Universitas Padjajaran, Bandung, 1984) hlm.88 11 Dengan dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia dapat memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat dari segala perbuatan administrasi negara, dan disamping itu pada dasarnya juga memberikan perlindungan hukum bagi administrasi negara dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenangnya. Dengan kata lain Hukum Administrasi Negara memberikan batasanbatasan keabsahan bagi perbuatan yang dilakukan oleh administrasi negara dan menjamin keadilan bagi masyarakat yang haknya dirugikan oleh perbuatan administrasi negara tersebut. PTUN juga dapat berperan sebagai pengawas dan mengontrol tindakan para pejabat tata usaha negara. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa meskipun segala bentuk tindakan pejabat administrasi negara telah diatur dalam norma-norma hukum administrasi negara akan tetapi bila tidak ada lembaga penegak hukum dari hukum administrasi negara itu sendiri, maka norma-norma tersebut tidak mempunyai arti apa-apa. Oleh sebab itu eksistensi pengadilan administrasi negara (PTUN) sesuatu yang wajib, dengan maksud selain sebagai sarana kontrol yuridis terhadap pelaksana administrasi negara juga sebagai suatu bentuk atau wadah perlindungan hukum bagi masyarakat karena dari segi kedudukan hukumnya berada pada posisi yang lemah. Mekanisme perlindungan hukum ini penting karena didalam kehdupan masyarakat sering ditemui permasalahan atau sengketa antara individu , baik perorangan maupun kelompok, dengan pemerintah yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan dan Keputusan Tata Usaha Negara, yang dikeluarkan oleh pejabat tata usaha negara. Sengketa TUN muncul jikaau seseorang atau badan 12 hukum perdata merasa dirugikan, sebagai akibat dikeluarkanya suatu keputusan. UU PTUN dikenal ada 2 jalur penyelesaian sengketa yaitu:3 1. Melalui upaya administratif 2. Melalui gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. 3.2 Ruang Lingkup PTUN 3.2.1 Kompetensi PTUN Ketentuan pasal 4 Undang-Undang nomor 5 Tahun 1986 mengatur bahwa “Pengadilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa tata usaha negaraa. Selain daripada itu, pasal 47 menyatakan bahawa Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelsaikan sengketa tata usaha negara” Menurut Thorbecke berkaitan dengan hal-hal kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara, bila mana pokok sengketa (fundamentum petendi) terletak dilapangan hukum publik yang berwenang memutuskannya adalah hakim administrasi.4 Dan kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara dibagi menjadi 2 yaitu Kompetensi absolute dan Kompetensi relatif. a. Kompetensi Absolut Kompetensi Absolut adalah menyangkut kewenangan badan peradilan apa yang akan memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara. Berdasarkan 3 Nikey. K Rumokoy, Peran PTUN Dalam Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara, Vol.XX No.2/Januari-Maret. 2012 . hal. 127 4 Yaved, Victor, Implikasi Pembatasan Kompetensi Absolut, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006 hal 78 13 pasal 10 UU No 14 Tahun 1970 setidaknya da 4 (empat) peradilan di Indonesia yaitu : Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer yang mana masing-masing mempunyai kompetensi mengadili yang berbeda-beda, dan Peradilan Tata Usaha Negara hanya menyelesaiakan perkara atau sengketa yang bersifat administrasi saja ,terutama mengenai keputusan administrasi atau keputusan tata usaha negara yang mana hal tersebut dairtikan sebagai sengketa tata usaha negara. Sengketa tata usaha negara menurut pasal 1 ayat 4 UU No 5 tahun 1986 adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan huku perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Atas dasar rumusan tersebut dapat dikemukakan unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk adanya sengekta TUN yakni: a) Harus ada perbedaan pendapat tentang sesuatu hak ataupun kewajiban; hak dan kewajiban tersebut adalah merupakan akibat saja dari penerapan hukum tertentu. Ini berarti bahwa sengketa timbul karena terlebih dahulu ada penerapan hukum yang dilakukan oleh pejabat tata usah negara. b) Sengketa itu terletak di bidang tata usaha negara, yang dimaksud tata usaha negara adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah 14 c) Subjek yang bersengketa adalah individu atau badan hukum perdata sebagai pihak penggugat dan badan atau pejabat tata usaha negara sebagai pihak tergugat. d) Sengketa tersebut timbul karena berlakunya keputusan tata usaha negara5 b. Kompetensi Relatif Kompetensi relatif kewenangan suatu pengadilan ditentukan berdasarkan wilayah hukum yang menjadi wilayah kewenangannya. Suatu pengadilan berwenang memeriksa suatu sengketa apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak yang bersengketa berkediaman di wilayah hukumnya. Pada dasarnya gugatan diajukan ditempat kedudukan tergugat dan bilamana tergugat lebih dari satu badan/pejabat tata usaha negara, gugatan dapat diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu badan/pejabat tata usaha negara tersebut.6 Sesuai asas “Actor Sequitur From Rei” (yang berwenang adalah pengadilan tempat kedudukan tergugat)Mengenai kompetensi relatif diatur di dalam Pasal 54 ayat 1 Undang-Undang nomor 5 Tahun 1986 yaitu: “Gugatan sengketa tata usaha negara diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.” Dalam penjelasan pasal 54 ayat 1 menegaskan, bahwa yang dimaksud dengan “tempat kedudukan tergugat” adalah tempat kedudukan secara nyata atau tempat kedudukan menurut hukum. 5 Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Yogyakarta, Liberty, hal.58-59 6 S.F Marbun Peradilan Administrasi dan Upaya Administratif di Indonesia, UII Press, 2003, hal 175 15 Namun demikian pasal 54 ayat 3 menyatakan :“Dalam hal tempat kedudukan tergugat tidak berada dalam daerah hukum Pengadilan tempat kediaman penggugat, maka gugatan dapat diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat untuk selanjutnya diteruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan.” Dan dalam penjelasanya apabila tempat kedudukan tergugat berada di luar daerah hukum pengadilan tempat kediaman penggugat, gugatan dapat disampaikan kepada pengadilan tata usaha negara tempat kediaman penggugat untuk diteruskan kepada pengadilan yang bersangkutan. Tanggal diterimanya gugatan oleh panitera pengadilan tersebut dianggap sebagai tanggal diajukannya gugatan kepada pengadilan yang berwenang. Panitera pengadilan tersebut berkewajiban memberikan petunjuk secukupnya kepada penggugat mengenai gugatan penggugat tersebut. Apabila penggugat dan tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri, gugatan dapat diajukan kepada pengadilan di jakarta. Penggugat yang bertempat kediaman di luar negeri dapat mengajukan gugatannya, dan diajukan di pengadilan jakarta. Dimana penggugat dapat mengajukan gugatannya dengan surat atau menunjuk seseorang yang diberi kuasa yang berada di Indonesia. Berkaitan dengan Kompetensi relatif ini menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara pada Pasal 6 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut :“Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di Ibukota kabupaten/Kota, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota “. Dan 16 dalam ayat (2) berbunyi “ Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di Ibukota Provinsi, dan daerah hukum nya meliputi wilayah provinsi “. 3.2.2 Para Pihak a. Penggugat Undang-undang nomor 5 Tahun 1985 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, pada pasal 53 ayat (1) menyatakan “Seseorang atau Badan hukum perdata yang merasa kepentinganya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi” Daari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dapat bertindak sebagai Penggugat dalam sengketa tata usaha negara adalah: Seseorang (atau beberapa orang masing-masing selaku pribadi); Badan hukum perdata, yaitu setiap badan yang bukan badan hukum public, seperti perusahaan-perusahaan swasta, organisasi-organisasi, atau perkumpulan-perkumpulan kemasyarakatan yang dapat diwakili oleh pengurusnya yang ditunjuk oleh anggaran dasarnya b. Tergugat Sedangkan yang dapat menjadi pihak Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang telah mengeluarkan Surat Keputusan Tata Usaha Negara . Dalam pasal 1 ayat 6 Undang-undang nomor 5 tahun 1986 memberikan definisi sebagai berikut: “Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata 17 Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewennag yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum peradata” Sedangkan pengertian Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diatur dalam pasal 1 ayat 2 yaitu: “Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yng melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan peraundang-undangan yang berlaku” Yang dapat digugat atau dijadikan tergugat sebagaimana diuraikan dalam pengertian tergugat diatas adalah jabatan yang ada pada Badan Tata Usaha Negara yang mengeluarkan KTUN berdasarkan wewenang dari Badan TUN itu atau wewenang yang dilimpahkan kepadanya. Hal ini mengandung arti bahwa bukanlah orangnya secara pribadi yang digugat tetapi jabatan yang melekat kepada orang tersebut Sebagai jabatan TUN yang memiliki kewenangan pemerintahan, sehingga dapat menjadi pihak Tergugat dalam Sengketa TUN dapat dikelompokkan menjadi:7 a. Instansi resmi pemerintah yang berada di bawah Presiden sebagai Kepala eksekutif b. Instansi-intansi dalam lingkungan kekuasaan negara diluar lingkungan eksekutif tang berdasarkan peraturan perundang-undangan, melaksanakan suatu urusan pemerintahan. c. Badan-badan hukum privat yang didirikan dengan maksud untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan 7 Siti soetami, A, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT. Refika Aditama, Jakarta , 2005, hal.5 18 d. Instansi-instansi yang merupakan kerja sama antara pemerintahan dan pihak swasta yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan e. Lembaga-lembaga hukum swasta yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan 3.2.3 Objek Sengketa Salah satu bagian yang penting dalam objek studi dalam hukum adminstrasi adalah Keputusan Tata Usaha Negara (Keputusan Pejabat Admnistrasi) Mengenai pengertian KTUN dapat dijumpai pada Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menentukan Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Jika diuraikan terdapat 5 unsur terhadap pengertian Keputusan Tata Usaha Negara tersebut yaitu: 1) Penetapan Tertulis Penetapan tertulis dalam penjelasan pasal 1 angka 3 menyebutkan “bahwa istilah penetapan tertulis terutama menunjuk kepada isi dan bukan kepada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, Keputusan Tata Usaha Negara itu memang diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan tertulis bukanlah bentuk formalnya seperti surat keputusan pengangkatan dan sebagainya” Hal tersebut membawa konsekuensi 19 bahwa sebuah memo atau nota pun kalau sudah memenuhi ketiga kreteria diatas dapat dianggap sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). 2) Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara Pengertian Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam Pasal 1 Angka 2 Undang-undang No 5 Tahun 1986 adalah “ Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku”. Indroharto menegaskan bahwa saiapa saja dan apa saja yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku berwenang melaksanakan suatu bidang urusan pemerintahan, maka ia dapat dianggap berkedudukan sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara8 3) Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundangundangan Tindakan hukum Tata Usaha Negara menurut penjelasan dalam Pasal 1 angka 3 adalah perbuatan hukum Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersumber pada ketentuan hukum Tata Usaha Negara yang dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain” Unsur ini berkaitan dengan salah satu prinsip negara hukum atau asas legalitas, sebab adminitrasi negara dalam pengertian yuridis adalah pelaksana atau penyelenggara dari undang-undang dalam arti luas (wet in ruine zin). Oleh karenanya setiap tindakan hukum tata usaha negara yang dituangkan dalam suatu keputusan (beschikking) , harus merupakan tindakan hukum dalam ranah 8 Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hal 166 20 hukum tata usaha negara atau hukum publik yang harus berdasarkan aturan perundang-undangan. Apabila suatu keputusan telah melanggar dari aturan peraturan perundang-undangan atau tidak sesuai dapat dinyatakan sebagai keputusan yang bertentangan denga pertauran perundang-undangan baik yang bersifat prosedural maupun substansial seperti pada ketentuan pasal 53 ayat (2) UU No 5 Tahun 1986. 4) Bersifat Konkret, Individual dan Final9 a) Konkret yaitu objek yang diputuskan dalam Keputusan Tata Usaha Negara ini tidak abstrak tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan. Kemudian, dalam hal apa dan kepada siapa keputusan tata usaha negara itu dikeluarkan, harus secara jelas disebutkan dalam keputusan tersebut. artinya, obyek dan subyeknya harus disebutkan secara tegas dan jlas dalam keputusan itu b) Individual artinya Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamt maupun hal yang dituju. Jika yang dituju lebih dari seorang maka tiap-tiap orang yang terkena keputusan harus disebutkan namanya satu per satu. Sebaliknya, apabila keputusan itu tidak bersifat individual, tetapi bersifat umum (abstrak) dapat diebut sebagai peraturan (regeling). c) Final artinya keputusan tersebut telah bersifat definitive, sehingga karenanya baru mempunyai akibat huku tertentu. Keputusan yang belum definitif karena masih memerlukan persetujuan dari instansi atasan atau 9 Op.cit, S.F Marbun, hal 118 21 instansi lainnya belum dapat dikatakan bersifat final, sehigga belum menimbulkan hak dan kewajiban bagi yang terkena keputusan tersebut, misalnya keputusan pengangkatan seorang pegawai negeri memerlukan persetujuan dari Badan Adminstrasi Kepegawaian Negara. d) Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata Yang dimaksud dengan menimbulkan akibat hukum adalah suatu bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan telah mempunyai akibat hukum yaitu menimbulkan kerugian atau juga menguntungkan salah satu pihak. Dan apabila keputusan tersebut tidak menimbulkan akibat hukum maka hal tersebut bukanlah tindakan hukum sehingga tidak dapat diajukan gugatan, akibat hukum yang dimaksud adalah yang menimbulkan kerugian. Mengenai objek sengketa didalam PTUN, ada pembatasanpembatasan yang termuat dalam ketentuan Pasal-Pasal UU No. 5 Tahun 1986 UU jo. No. 9 Tahun 2004 jo UU No. 51 Tahun 2009 yaitu : - Pasal 2 UU menentukan, bahwa tidak termasuk Keputusan tata usaha negara menurut UU ini : a. Keputusan tata usaha negara yang merupakan perbuatan hukum perdata. b. Keputusan tata usaha negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum. c. Keputusan tata usaha negara yang masih memerlukan persetujuan. 22 d. Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundangundangan lain yang bersifat hukum pidana. e. Keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. f. Keputusan tata usaha negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia. g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum. - Pasal 49, Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara tertentu dalam hal keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu dikeluarkan : a) Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b) Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. - Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1986 yang menyebutkan, (1) Dalam hal suatu Badan atau Pejabat tata usaha negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan 23 secara administratif sengketa tata usaha negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia. (2) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya adminisratif yang bersangkutan telah digunakan Membahas mengenai Keputusan Tata Usaha Negara kaitaneratnya dengan administrasi, Menurut G. Pringgodigdo, pengertian Hukum Administrasi Negara mencakup 3 (tiga) unsur yaitu10 1. Hukum Tata Pemerintahan (HTP) yaitu eksklusif atau aktivitas eksekutif atau tata pelaksanaan Undang-Undang 2. Hukum Adminsitrasi Negara (HAN) dalam arti semit yaitu tentang tata pengurusan rumah tangga negara (rumah tangga negara dimaksudkan, segaka tugas-tugas yang ditetapkan dengan Undang-Undang sebagai urusan negara); dan 3. Hukum Tata Usaha Negara (HTUN) yang berkaitan dengan surat menyurat atau kearsipan Dengan unsur-unsur tersebut maka dengan berdirinya Pengadilan Tata Usaha Negara adalah setidaknya membantu dalam menyelesaiakan sengketa atau permasalahan yang disebabkan adanya tindakan pemerintah atau Pejabat Tata Usaha dalam hal administrasi dalam mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) 10 Op.cit Indroharto , hal. 11 24 Tolok ukur atau keabsahan dari Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan pasal 53 ayat (2) Undang-Undang no 9 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang no 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah: a. Keputusan Tata Usaha Negara sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku b. Keputusan Tata Usaha Negera sesuai dengan Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik . IV. Penutup 4.1 Kesimpulan 1. Dengan dibentuknya PTUN dan juga diundangkanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 196 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara, telah memberikan peran penting bagi perkembangan hukum di indonesia khususnya penyelesaian sengketa yang diakibatkan oleh tindakan pejabat tata usaha negara yang tidak sesuai denga peraturan perundang-undangan didalam mengekuarkan keputusan tata usaha negara. 2. Proses beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara mempunyai beberapa ketentuan dan mempunyai batasan-batasan baik bagi pihak yang menggugat maupun pihak yang digugat, dan objek sengketa yang digugat adalah Suatu penetapan atau surat Keputusan Tata Usaha Negara 4.2 Saran Dengan semakin banyaknya sengketa di PTUN, apalagi menyangkut tindakan pejabat Tata Usaha Negara, seharusnya diperlukan penyempurnaan UU 25 peratun , meskipun UU peratun telah direvisi 2 kali yaitu UU No. 9 tahun 2004 kemudian UU No. 51 Tahun 2009 akan tetapi sepertinya belum memberikan efek jera pada para pejabat yang telah melanggar aturan undang-undang, karena tidak adanya sanksi tegas, oleh karenanya harus dibuat aturan tentang bagaimana sanksi dan pelaksanaan eksekusi putusan sehingga nantinya dapat terlaksana secara tegas dan dapat mempunyai efek jera pada Pejabat Tata Usaha Negara yang melanggar. 26 DAFTAR PUSTAKA BUKU Basah, Sjahran, Eksistensi dan Tolak Ukur Peradilan Administrasi di Indonesia, (disertasi Doktor Universitas Padjajaran), Bandung, 1984. Harahap, M. Yahya, Beberapa Tinjauan Sistem Peradilan Dan Penyelesaian Sengketa, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993 Muchasan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Yogyakarta. Rumokoy, Niken R, Peran PTUN Dalam Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara, Vol.XX No.2/Januari-maret, 2012. S.F Marbun, Peradilan Administrasi dan Upaya Administratif di Indonesia, UII Press, 2003 Soetami, Siti, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT. Refika Aditama, Jakarta, 2005 Victor, Yaved, Implikasi Pembatasan Kompetensi Absolut, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006 . UNDANG-UNDANG 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara 2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara 3. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undangundang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara 27 28