MATERI KE1 Istilah, Pengertian Sejarah dan Tujuan Pembentukan PTUN PENDAHULUAN Adanya perubahan atau Amandemen pada Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945, membawa konsekuensi hukum adanya perubahan peraturan perundang-undangan yang ada untuk disesuaikan dengan amandemen UUD 1945 tersebut. Dalam Pasal 24 UUD 1945 disebutkan bahwa: (1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. (2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. (3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Perubahan UUD 1945 telah membawa perubahan penting terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, sehingga Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 tahun 1999 perlu dilakukan penyesuaian dengan Undang-undang Dasar 1945. Karena itu, lahirlah Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 1 Undang-undang tersebut, dinyatakan bahwa ”Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”. Sedangkan Pasal 2 Undang-undang tersebut, menyatakan bahwa ”Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Pasal 2 ini dipertegas lagi dalam Pasal 10 Undang-undang tersebut, yang berbunyi: (1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi . (2) Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Dari perubahan perundang-undangan tersebut dapat dilihat bahwa: 1. Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka; Kekuasaan yang merdeka ini mengandung arti bahwa siapapun atau lembaga apapun tidak boleh melakukan intervensi terhadap pelaksanaan kekuasaan kehakiman, hal ini dipertegas dalam Pasal 4 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, yang menyatakan bahwa ”Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain diluar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945”. 2. Kekuasaan yang merdeka ini adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan Perundang-undangan tersebut telah meletakkan hukum dan keadilan dalam posisi yang setara atau seimbang, artinya kekuasaan kehakiman harus mampu menegakkan hukum dan menjunjung nilai-nilai keadilan sebagai suatu keharusan dalam pelaksanaan peradilan. Hakim dalam memutus suatu perkara tidak hanya berpatokan kepada peraturan perundang-undangan yang ada tetapi juga wajib mempertimbangkan nilai-nilai keadilan masyarakat. Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 28 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, yang berbunyi; (1) Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. (2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa. Disisi yang lain, Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 juga menyatakan bahwa: ”Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. 3. Kekuasaan kehakiman ini dilakukan oleh 4 (empat) lingkungan peradilan, yaitu: a. Lingkungan Peradilan Umum b. Lingkungan Peradilan Agama c. Lingkungan Peradilan Militer d. Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara Peradilan Tata Usaha Negara sebagai lingkungan peradilan yang terakhir dibentuk, yang ditandai dengan disahkannya Undang-undang No. 5 tahun 1986 pada tanggal 29 Desember 1986, dalam konsideran “Menimbang” undang-undang tersebut disebutkan bahwa salah satu tujuan dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) adalah untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram serta tertib yang menjamin kedudukan warga masyarakat dalam hukum dan menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta selaras antara aparatur di bidang tata usaha negara dengan para warga masyarakat. Dengan demikian lahirnya PERATUN juga menjadi bukti bahwa Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kepastian hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). Sebagai negara yang demokratis, Indonesia memiliki sistem ketatanegaraan dengan memiliki lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dari ketiga lembaga tersebut eksekutif memiliki porsi peran dan wewenang yang paling besar apabila dibandingkan dengan lembaga lainnya, oleh karenanya perlu ada kontrol terhadap pemerintah untuk adanya check and balances. Salah satu bentuk konrol yudisial atas tindakan administrasi pemerintah adalah melalui lembaga peradilan. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara perlu ada perubahan pengaturan, utamanya mengenai hukum acaranya, karena Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan menurut Undang-undang Dasar 1945 hasil amandemen. Karena itu, diundangkanlah Undangundang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Kata perubahan dalam undang-undang ini, berbeda pengertiannya dengan pergantian Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 tahun 1999 menjadi Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004. Pergantian disini mengbawa konsekuensi hukum bahwa Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 tahun 1999, dinyatakan tidak berlaku lagi. Sedangkan perubahan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 menjadi Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, membawa konsekuensi hukum bahwa ada bagian-bagian tertentu yang tidak diadakan perubahan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tetap dinyatakan berlaku, tetapi bagianbagian tertentu dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 yang telah dirubah dinyatakan tidak berlaku lagi dan yang berlaku adalah ketentuan dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004. Pasal-pasal yang dirubah dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dan dimasukkan dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, meliputi; Pasal 2, Pasal 4, Pasal 6, Pasal 7, diantara Pasal 9 dan Pasal 10 disisipi Pasal 9A, Pasal 12 s/d Pasal 22, Pasal 26, Pasal 28 s/d Pasal 38, Pasal 39 disisipi 5 pasal (39A, 39B, 39C, 39D dan 39E), Pasal 42, Pasal 44 s/d Pasal 46, Pasal 53, Pasal 116, Pasal 118 dihapus, dan Pasal 143 disisipi Pasal 143A. Perubahan yang sangat mendasar dari UU No. 5 Tahun 1986 adalah dengan dihilangkannya wewenang pemerintah ic. Departemen Kehakiman sebagai pembina organisasi, administrasi, dan keuangan serta dihilangkannya wewenang untuk melakukan pembinaan dan pengawasan umum bagi hakim PERATUN, yang kemudian semuanya beralih ke Mahkamah Agung. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan indepedensi lembaga PERATUN. Di samping itu adanya pemberlakuan sanksi berupa dwangsom dan sanksi administratif serta publikasi (terhadap Badan atau Pejabat TUN (Tergugat) yang tidak mau melaksanakan putusan PERATUN, menjadikan PERATUN yang selama ini dinilai oleh sebagian masyarakat sebagai “macan ompong”, kini telah mulai menunjukan “gigi” nya. Sedangkan peraturan perundang-undangan sebagai pelaksana Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tetap dinyatakan berlaku, seperti: 1. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya pada Peradilan Tata Usaha Negara. 2. Keputusan Meneteri Keuangan RI Nomor 1129/KKM.01/1991 tentang Tata Cara Pembayaran Ganti Rugi Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. Pengertian-pengertian Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, diuraikan tentang pengertianpengertian yang berkaitan dengan Peradilan Tata Usaha Negara, sebagai berikut: 1. Tata Usaha Negara adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah. 2. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. 4. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 5. Gugatan Tata Usaha Negara adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan keputusan. 6. Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata. 7. Penggugat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 adalah Setiap Orang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara. 8. Gugatan Perwakilan Kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud (Pasal 1 huruf a Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2002) 2.2 Subyek Peradilan Tata Usaha Negara Subyek dalam Peradilan Tata Usaha Negara sering disebut dengan para pihak, yaitu: 1. Penggugat Dari pengertian penggugat diatas dapat ditentukan bahwa pihak-pihak yang dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara adalah: - Orang yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN); - Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Jadi, pada pemeriksaan di sidang pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara tidak dimungkinkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara bertindak sebgai Penggugat. Namun terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dimungkinkan bertindak sebagai Penggugat dalam Sengketa Tata Usaha Negara khusus tentang sertifikat tanah, karena alas hak dari gugatan adalah hak keperdataan dari BUMN tersebut. Dalam hal ini, BUMN tersebut tidak bertindak sebagai Badan Tata Usaha Negara, tetapi sebagai Badan Hukum Perdata (Wiyono R, 2008: 59). Berapa banyak orang atau badan hukum perdata yang dapat bertindak sebagai Penggugat dalam pemeriksaan di sidang pengadilan tidak menjadi masalah, asalkan semua orang atau badan hukum perdata tersebut merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu KTUN. Sehingga dimungkinkan juga terjadinya gugatan oleh Perwakilan Kelompok yang sering disebut dengan Class Action. Demikian pula, tidak menjadi masalah apakah orang atau badan hukum perdata itu adalah orang atau badan hukum perdata yang dituju atau bukan dari KTUN tersebut. Dalam arti pihak yang namanya tidak ada dalam KTUN itu pun bisa bertindak sebagai Penggugat asalkan yang bersangkutan merasa dirugikan oleh dikeluarkannya KTUN tersebut. Salah satu contoh kasus: Ketut Budi mengajukan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) yang diperuntukkan untuk usaha, setelah IMBnya dikeluarkan kemudian Ketut Budi mulai mendirikan bangunan berupa sebuah Slip Penggilingan Padi, yang kebetulan slip tersebut dibangun di daerah yang padat penduduk. Made Simpen yang rumahnya bersebelahan dengan bangunan slip itu dan kebetulan cerobong asap dari slip itu menghadap kearah rumahnya, sehingga ketika slip beroperasi maka Made Simpen merasa terganggu oleh pencemaran udara yang dikeluarkan dari cerobong slip dimaksud. Dalam hal ini Made Simpen merasa kepentingannya dirugikan akibat diterbitkannya KTUN berupa IMB tersebut. Karena itu, walaupun namanya tidak tercantum atau dituj u dalam IMB tersebut, Made Simpen berhak bertindak sebagai Penggugat dalam Peradilan Tata Usaha Negara. Kepentingan yang dimaksud dalam kaitannya dengan pengajuan gugatan tersebut, mengandung arti, yaitu: 1. Menunjuk kepada nilai yang harus dilindungi oleh hukum, dan 2. Kepentingan proses, artinya apa yang hendak dicapai dengan melakukan suatu proses gugatan yang bersangkutan (Indroharto, 1993: 38-40). Menurut yurisprudensi peradilan perdata, kepentingan nilai yang harus dilindungi oleh hukum itu baru ada, jika kepentingan tersebut jelas: 1. Ada hubungan dengan penggugat sendiri, artinya untuk dianggap sebagai orang yang berkepentingan, penggugat itu harus mempunyai kepentingan sendiri untuk mengajukan gugatan tersebut, 2. Kepentingan tersebut harus bersifat pribadi, artinya penggugat mengajukan gugatan karena kepentingan penggugat sendiri, yang jelas dapat dibedakan dengan kepentingan orang lain, 3. Kepentingan tersebut harus bersifat langsung, artinya kerugian yang diderita akibat dikeluarkannya KTUN harus benar-benar dirasakan secara langsung oleh penggugat. 4. Kepentingan itu secara obyektif yang dapat ditentukan, baik mengenai luas maupun intensitasnya. Menurut Yurisprudensi Administratieve Rechtspraak Overheidsbeslissingen (dalam Indroharto, 1993: 46) , untuk adanya suatu perkumpulan yang dianggap sebagai badan hukum perdata diperlukan beberapa persyaratan sebagai berikut: a. Adanya lapisan anggota-anggota, hal ini dapat dilihat pada pengadministrasian anggotaanggotanya; b. Merupaka suatu organisasi dengan tujuan tertentu, diadakan rapat anggota, diadakan pemilihan pengurus, adanya kerja sama antara para anggota dengan tujuan fungsionalnya secara kontinu; c. Ikut dalam pergaulan lalu lintas hukum sebagai suatu kesatuan. Kata ”merasa” dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, menurut Ketut Suraputra (1993:87) dapat diartikan bahwa ”kepentingan tersebut (kerugian) belum perlu sudah nyata-nyata terjadi”. Contoh; seseorang yang telah mendapatkan IMB, maka tetangganya sudah dapat mengajukan gugatan terhadap KTUN tersebut, bilamana ia merasa kepentingannya dirugikan. 2. Tergugat Yang dapat digugat atau dijadikan tergugat sebagaimana diuraikan dalam pengertian tergugat diatas adalah jabatan yang ada pada Badan Tata Usaha Negara yang mengeluarkan KTUN berdasarkan wewenang dari Badan TUN itu atau wewenang yang dilimpahkan kepadanya. Hal ini mengandung arti bahwa bukanlah orangnya secara pribadi yang digugat tetapi jabatan yang melekat kepada orang tersebut. Misalnya; Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Buleleng, Bupati Buleleng dan lain-lain, sehingga tidak akan menjadi masalah ketika terjadi pergantian orang pada jabatan tersebut. Sebagai jabatan TUN yang memiliki kewenangan pemerintahan, sehingga dapat menjadi pihak Tergugat dalam Sengketa TUN dapat dikelompokkan menjadi: a. Instansi resmi pemerintah yang berada di bawah Presiden sebagai Kepala eksekutif. b. Instansi-instansi dalam lingkungan kekuasaan negara diluar lingkungan eksekutif yang berdasarkan peraturan perundang-undangan, melaksanakan suatu urusan pemerintahan. c. Badan-badan hukum privat yang didirikan dengan maksud untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. d. Instansi-instansi yang merupakan kerja sama antara pemerintahan dan pihak swasta yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. e. Lembaga-lembaga hukum swasta yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan (Siti Soetami, 2005: 5). Untuk dapat menentukan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara menjadi Tergugat dalam Sengketa Tata Usaha Negara, perlu lebih dahulu diperhatikan jenis dari wewenang Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut pada waktu mengeluarkan KTUN. Jenis wewenang yang dimaksud adalah: 1. Atribusi; adalah wewenang yang langsung diberikan atau langsung ditentukan oleh peraturan perundang-undangan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Dalam hal ini, yang menjadi Tergugat apabila terjadi Sengketa Tata Usaha Negara adalah yang menerima wewenang secara atribusi ini. 2. Mandat; adalah wewenang yang diberikan kepada mandataris (penerima mandat) dari mandans (pemberi mandat) melaksanakan wewenang untuk dan atas nama mandans. Pada wewenang yang diberikan dengan mandat, mandataris hanya diberikan kewenangan untuk mengeluarkan KTUN untuk dan atas nama mandans, dengan demikian tidak sampai ada pengalihan wewenang dari mandans kepada mandataris. Oleh karena itu, tanggungjawab atas dikeluarkannya KTUN tersebut masih tetap ada pada mandans, sehingga yang menjadi Tergugat apabila terjadi Sengketa Tata Usaha Negara adalah mandans (Pemberi mandat). 3. Delegasi; adalah wewenang yang diberikan dengan penyerahan wewenang dari delegans (pemberi delegasi) kepada delegataris (penerima delegasi). Dalam hal ini, delegataris telah diberikan tanggung jawab untuk mengeluarkan KTUN untuk dan atas nama delegataris sendiri, sehingga yang menjadi Tergugat apabila terjadi Sengketa Tata Usaha Negara adalah delegataris (Penerima Delegasi). Obyek dalam Peradilan Tata Usaha Negara Yang menjadi obyek dalam Peradilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Keputusan Tata Usaha Negara adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. - Penetapan tertulis bukan hanya dilihat dari bentuknya saja tetapi lebih ditekankan kepada isinya, yang berisi kejelasan tentang: a. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mana yang mengeluarkannya; b. Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan tersebut; dan c. Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan di dalamnya. Hal tersebut membawa konsekuensi bahwa sebuah memo atau nota pun kalau sudah memenuhi ketiga kreteria diatas dapat dianggap sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). - Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN Sebagai suatu Keputusan TUN, Penetapan tertulis itu juga merupakan salah satu instrumen yuridis pemerintahan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN dalam rangka pelaksanaan suatu bidang urusan pemerintahan. Selanjutnya mengenai apa dan siapa yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat TUN sebagai subjek Tergugat, disebutkan dalam pasal 1 angka 2 :“Badan atau Pejabat Tata Usaha negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Badan atau Pejabat TUN di sini ukurannya ditentukan oleh fungsi yang dilaksanakan Badan atau Pejabat TUN pada saat tindakan hukum TUN itu dilakukan. Sehingga apabila yang diperbuat itu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan suatu pelaksanaan dari urusan pemerintahan, maka apa saja dan siapa saja yang melaksanakan fungsi demikian itu, saat itu juga dapat dianggap sebagai suatu Badan atau Pejabat TUN. Yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah segala macam urusan mengenai masyarakat bangsa dan negara yang bukan merupakan tugas legislatif ataupun yudikatif. Dengan demikian apa dan siapa saja tersebut tidak terbatas pada instansi-instansi resmi yang berada dalam lingkungan pemerintah saja, akan tetapi dimungkinkan juga instansi yang berada dalam lingkungan kekuasaan legislatif maupun yudikatif pun, bahkan dimungkinkan pihak swasta, dapat dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat TUN dalam konteks sebagai subjek di Peratun. - Berisi tindakan Hukum TUN Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa suatu Penetapan Tertulis adalah salah satu bentuk dari keputusan Badan atau Pejabat TUN, dan keputusan yang demikian selalu merupakan suatu tindakan hukum TUN, dan suatu tindakan hukum TUN itu adalah suatu keputusan yang menciptakan, atau menentukan mengikatnya atau menghapuskannya suatu hubungan hukum TUN yang telah ada. Dengan kata lain untuk dapat dianggap suatu Penetapan Tertulis, maka tindakan Badan atau Pejabat TUN itu harus merupakan suatu tindakan hukum, artinya dimaksudkan untuk menimbulkan suatu akibat hukum TUN. - Berdasarkan Peraturan perundang-undangan; yang dimaksud adalah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum, yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah, baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah, serta semua Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara , baik ditingkat pusat maupun tingkat daerah yang juga mengikat secara umum (Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986). Sedangkan menurut Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dimaksud dengan peraturan perundangundangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. - Bersifat konkret diartikan obyek yang diputuskan dalam keputusan itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan. Misalnya; Keputusan mengenai Pembongkaran rumah Dewi Setyawati, Ijin Mendirikan Bangunan bagi Komang Sriwati, atau Surat Keputusan Pemberhentian dengan Hormat Ketut Kaplug sebagai Pegawai Negeri. Dengan kata lain wujud dari keputusan tersebut dapat dilihat dengan kasat mata, namun terhadap ketentuan ini ada pengecualian sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, yang berbunyi: (1) Apabila Badan atau Pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan TUN; (2) Jika suatu Badan atau Pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat TUN tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud; (3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dalam ayat (2), maka setelah lewat waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat TUN yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan. - Bersifat individual, diartikan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun yang dituju. Kalau yang dituju itu lebih dari satu orang, maka tiap-tiap individu harus dicantumkan namanya dalam keputusan tersebut. - Bersifat final, diartikan keputusan tersebut sudah definitif , keputusan yang tidak lagi memerlukan persetujuan dari instansi atasan atau instansi lain, karenanya keputusan ini dapat menimbulkan akibat hukum. - Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata Menimbulkan Akibat Hukum disini artinya menimbulkan suatu perubahan dalam suasana hukum yang telah ada. Karena Penetapan Tertulis itu merupakan suatu tindakan hukum, maka sebagai tindakan hukum ia selalu dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Apabila tidak dapat menimbulkan akibat hukum ia bukan suatu tindakan hukum dan karenanya juga bukan suatu Penetapan Tertulis. Sebagai suatu tindakan hukum, Penetapan Tertulis harus mampu menimbulkan suatu perubahan dalam hubungan-hubungan hukum yang telah ada, seperti: a. Menguatkan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang telah ada (declaratoir); b. Menimbulkan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang baru (constitutief) c. 1. Menolak untuk menguatkan hubungan hukum atau keadaan hukum yang telah ada. 2. Menolak untuk menimbulkan hubungan hukum atau keadaan hukum yang baru (Amrah Muslimin, 1985: 118-119) Syarat-syarat untuk sahnya suatu Keputusan Tata Usaha Negara adalah sebagai berikut : 1. Syarat Materiil : a) Keputusan harus dibuat oleh alat negara (organ) yang berwenang ; b) Karena keputusan itu suatu pernyataan kehendak (wilsverklaring), maka pembentukan kehendak itu tidak boleh memuat kekurangan yuridis ; c) Keputusan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan dasarnya dan pembuatnya harus memperhatikan cara (prosedur) membuat keputusan itu, bilamana hal ini ditetapkan dengan tegas dalam peraturan dasar tersebut. d) Isi dan tujuan keputusan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar ; 2. Syarat Formil : a) Syarat-syarat yang ditentukan yang berhubungan dengan persiapan dibuatnya keputusan dan yang berhubungan dengan cara dibuatnya keputusan, harus dipenuhi ; b) Keputusan harus diberi bentuk yang ditentukan ; c) Syarat-syarat yang ditentukan yang berhubungan dengan dilakukannya keputusan, harus dipenuhi ; d) Jangka waktu yang ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya keputusan dan diumumkannya keputusan itu tidak boleh dilewati ; Dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 menentukan bahwa tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini: 1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata; 2. Keputusan tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum; 3. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan; 4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundangundangan lain yang bersifat hukum pidana; 5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia; 7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum. Dengan demikian, maka keputusan-keputusan tersebut diatas tidak dapat dijadikan obyek sengketa yang menjadi kompetensi mengadili dari Pengadilan Tata Usaha Negara. Pembatasan ini diadakan, oleh karena ada beberapa jenis keputusan yang karena sifat atau maksudnya memang tidak dapat digolongkan dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini (Penjelasan Pasal 2 Undang-undang Nomo 9 Tahun 2004).