PENDEKATAN DALAM PSIKOLOGI KLINIS (APPROACHES TO CLINICAL PSYCHOLOGY) Bidang psikologi klinis dapat dipahami secara lengkap atau sempurna ketika diuji dari beberapa perspektif yang berbeda, masing-masing menekankan aspeknya atas yang lainnya. Masing-masing pendekatan mencoba untuk menerangkan/menjelaskan bagaiman perilaku berkembang/terjadi dan bagaimana perilaku menjadi bermasalah dan masing-masing pendekatan mempengaruhi kegiatan-kegiatan asesmen, tritmen dan riset. Misal, terdapat pendekatan yang melihat perilaku disebabkan/ditinjau dari apa yang manusia makan. Klinisi yang mengambil pendekatan ini akan membuat prediksi tentang bagaimana diet mempengaruhi perkembangan manusia. Klinisi juga dapat menghasilkan hipotesa tentang bagaimana diet berhubungan dengan gangguan mental. Klinisi juga dapat mengembangkan prosedur pengukuran yang spesifik untuk melihat pola makan klien dan untuk melihat komponen nutrisi dari makanan yang ia makan. Tritmennya mungkin memfokuskan pada perubahan kabiasaan makan klien. Risetnya juga mungkin mengevaluasi prosedur pengukuran dan perubahan makanan yang masuk ke badan dan mungkin juga melihat hubungan kausal antara diet dan gangguan. Meskipun diet penting dalam berbagai aspek kehidupan, tetapi pemikiran dan aktivitas kebanyakan klinisi sekarang dipengaruhi berbagai kombinasi pendekatan psikodinamika (psychodynamic), perilakuan (behavioral), fenomenologi, interpersonal. PRO DAN KONTRA PENGAMBILAN PENDEKATAN TERTENTU Berbagai pendekatan dalam psikologi klinis membantu klinisi menerangkan suatu perilaku, menuntun dalam pembuatan keputusan atau intervensi dan untuk berkomunikasi dengan sesama kolega dengan menggunakan bahasa yang sama. Misal, perilaku manusia dapat diuji pada beberapa level, dari interaksi antar sel otak sampai interaksi antar manusia bahkan interaksi antar bangsa atau kebudayaan. Klinisi harus memutuskan aspek-aspek perilaku mana yang perlu mendapat perhatian, data asesmen mana yang sekiranya bermanfaat atau yang dapat memberikan informasi, teknik tritmen mana yang sekiranya pantas/cocok digunakan dan riset yang seperti apa yang dapat memberikan manfaat. Pendekatan yang diambil/digunakan klinisi akan mengarahkan/menuntun keputusan-keputusan hal di atas, oleh karena itu membantu agar lebih terarah. Masing-masing pendekatan akan cenderung diikuti oleh pendukungnya baik dari yang sekedar simpati sampai yang fanatik. Namun, kegunaan pendekatan ini akan dikaji berdasarkan dimensi tertentu bukan berdasarkan banyaknya pendukung atau banyaknya orang yang tertarik pada pendekatan tersebut. 1 Dalam istilah ilmiah, pendekatan yang paling baik adalah pendekatan yang memiliki implikasi dan hipotesis dapat diuji dengan berbagai cara. Agar memberikan nilai/manfaat yang besar bagi psikolog klinis, suatu pendekatan sebaiknya mampu memberikan penjelasan secara lengkap dan dapat diuji mengenai perkembangan, pemeliharaan dan perubahan pada perilaku yang bermasalah maupun yang tidak bermasalah. Pendekatan yang dapat memenuhi persyaratan tersebut terbuka terhadap pengujian/evaluasi secara eksperimental dan pendekatan tersebut akan bertahan atau gugur/jatuh karena data yang lengkap. Secara ironis, pendekatan tertentu dapat bertindak tidak hanya sebagai pedoman atau panduan, tetapi juga dapat menjerumuskan. Misal, beberapa klinisi memilih pendekatan yang dirasa cocok sehingga mengarahkan pemikiran/penjelasan tentang perilaku bermasalah dan yang tidak bermasalah sehingga mereka menjadi rigit/kaku dan tertutup terhadap ide dari pendekatan lain yang mungkin saja bermanfaat. Secara singkat, pandangan mereka menjadi tidak terarrah, tetapi menjadi kolot, tidak mungkin melakukan evaluasi secara objektif dan pada akhirnya juga tidak bersedia untuk berubah khususnya dalam praktek profesionalnya. Klinisi menjadi sangat tergantung pada pendekatan tertentu yang dapat berlanjut untuk selalu melakukan/berpegang terlalu kaku/ ketat terhadap prinsip-prinsip pendekatan tersebut bahkan meskipun terdapat bukti empiris yang mendukung adanya perubahan. Dengan kata lain, pengambilan/pemilihan pendekatan tertentu secara spesifik dapat menguntungkan tetapi dapat juga merugikan.. Masalah yang berkaitan dengan pengambilan/pemilihan pendekatan tertentu dalam psikologi klinis dapat dikurangi dengan (1) menghindari kefanatikan yang dapat mengembangkan kekakuan dalam memegang konsep, perilaku tidak fleksibel dan penggunaan semantic yang sempit (2) mengevaluasi pendekatan mendasarkan metode ilmiah dan melakukan revisi terhadap pendekatan apabila memang data menunjukkan perlunya perbaikan. Hal ini bukan berarti bahwa penggunaan pendekatan tertentu secara sistematik adalah tidak penting. Namun, pemahaman dan apresiasi terhadap pendekatan lain dapat mengurangi pemikiran yang berpusat hanya pada satu pendekatan. Penulis berharap bahwa materi dalam bab ini akan membantu pembaca untuk tetap mempunyai pemikiran yang terbuka. PENDEKATAN PSIKODINAMIKA Model psikodinamika berakar dari tulisan Sigmund Freud tetapi model ini meluas mencakup/meliputi ide-ide yang telah direvisi maupun konsep-konsep yang ditentang. Model ini didasarkan pada asumsi di bawah ini: 1. Perilaku manusia ditentukan oleh impuls, keinginan, motif, konflik yang semua dikenal/disebut dengan istilah intrapsikis (ada dalam pikiran) dan sering di luar kesadaran 2 2. Faktor-faktor intrapsikis penyebab perilaku normal atau tidak normal. Maka, kecemasan yang melumpuhkan dapat diatribusikan/disebabkan oleh konflik yang tidak terpecahkan/tidak terselesaikan atau kebutuhan yang tidak terpenuhi 3. Fondasi/dasar perilaku diletakkan pada masa kanak-kanak melalui pemuasan atau tidak terpuasnya/tidak terpenuhi kebutuhan-kebutuhan dan impuls-impuls. Karena peran sentral dari kebutuhan tersebut maka hubungan awal dengan keluarga, teman sebaya, dan figure otoriter mendapat perhatian khusus 4. Asesmen klinis, tritmen dan riset sebaiknya menekankan aktivitas intrapsikis, meskipun sering tidak dapat dilihat dari observasi langsung tetapi harus ditemukan jika perilaku ingin dipahami atau perilaku ingin dihilangkan. Freudian Psychoanalysis Teori psikodinamika dari Freud dikenal sebagai psikoanalisa psychic determinism yakni perilaku dapat disebabkan oleh factor-faktor psikologis yang tidak dapat dilihat oleh orang lain maupun diri sendiri. Dari perspektif ini, hampir perilaku dilihat sebagai sesuatu yang berarti karena memberikan petunjuk adanya konflik-konflik dan motivasi yang tersembunyi/tidak dapat dilihat. Misal, kata beast dapat dibaca breast , lupa pada nama-nama tertentu atau menghilangkan buku yang dipinjam semua itu dapat diinterpretasi sebagai ekspresi perasaan dan impuls yang tidak nampak dalam kesadaran. Freud menyebutnya sebagai unconscious merupakan bagian fungsi mental yang berada di luar kesadaran dan tidak siap untuk menerimanya. Dalil dasar Freud yang lain adalah perilaku manusia berasal dari perjuangan antara keinginan individu untuk memuaskan isnting seksual dan agresif dan kebutuhan untuk menghormati/mentaati aturan dan realitas yang ada di dunia luar. Ia melihat masing-masing individu menghadapi pencarian yang panjang/lama untuk mendapatkan cara mengekspresikan insting tanpa mendapatkan hukuman atau konsekuensi negatif lainnya. Menurut Freud, pikiran manusia merupakan arena dimana apa yang ingin ia lakukan (insting) harus disesuaikan dengan apa yang dapat atau sebaiknya dilakukan (alasan dan moralitas). Missal, seorang ibu mengatakan kepada anaknya yang berumur 7 tahun untuk berhenti main video jika ia kemudian makan enam roti dan memuntahkannya pada ibunya, seorang psikoanalisa melihat perilaku anak tersebut sebagai ekspresi impuls agresif yang disembunyikan dengan cukup baik untuk menghindari hukuman. Struktur mental (mental structure). Dalam system yang dikemukakan Freud, insting yang tidak disadari merupakan id yakni ada saat lahir dan berisi semua energi psikis (atau libido) tersedia untuk memotivasi perilaku. Id berusaha memuaskan keinginannya tanpa penundaan, oleh kerena itu, dikatakan bekerja berdasarkan prinsip-prinsip kesenangan (missal, jika mengenakkan maka lakukan) karena anak\bayi tumbuh dan dunia luar memberikan batasan-batasan terhadap pemuasan id maka ego mulai 3 mengatur, sebagai hasil perkembangan dari id sekitar umur 1 tahun dan mulai menemukan cara yang aman untuk mengekspresikan insting. Saat ego umur 7 tahun, sebagai contoh, akan membalas dendam (marah) kepada ibunya maka ego yang mengatur/mengendalikan perilaku. Karena ego menyesuaikan dengan tuntutan ekternal, maka ego dapat dikatakan berprinsip/beroperasi berdasarkan reality principle (prinsip realitas)(misal:”jika kamu ingin melakukannya, setidaknya lakukan dengan diam-diam). Agen mental ke 3 yaitu super ego merupakan hasil dari sosialisasi pengaruh realitas. Hal ini berisi semua hal yang diajarkan keluarga dan budaya mengenai etika, moral dan nilai, dan menurut Freud, apa yang diajarkan ini diinternalisasikan menjadi “ego ideal” atau bagaimana sebaiknya/semestinya seseorang itu. Superego juga berisi kesadaran (consience), yang mencari untuk menuju pada kesempurnaan, kepatuhan, perilaku yang diterima secara social dan biasanya berlawanan dengan id. Mechanisms of defense (mekanisme pertahanan diri/ego). Struktur mental yang ketiga adalah keterkaitannya dalam kecemasan yang menyebabkan konflik internal. Ego mencoba menjaga konflik ini dan ketidaknyamanannya apabila sampai mencapai kesadaran dengan memainkan berbagai mekanisme pertahanan, biasanya bekerja pada tingkat ketidaksadaran. Salah satu yang paling umum adalah represi, yaitu ego berusaha mempertahankan pikiran atau perasaan yang tidak dapat diterima keluar dari kesadaran. Represi disebut juga dengan terdorong untuk melupakan (motivated forgetting). Sebagai contoh, seorang individu yang memiliki kebencian terhadap orang tua dialami secara tidak sadar bisa menekan rasa benci tersebut (ketika seseorang menyadari impuls/dorongan tersebut dan secara sadar menolak keberadaan rasa benci tersebut, maka proses tersebut disebut supresi) Meskipun selalu berusaha menekan/represi, dorongan yang tidak diinginkan, ibarat balon yang dimasukkan dalam air yang sewaktu-waktu akan muncul ke permukaan. Untuk melindungi hal ini, ego memainkan tambahan pertahanan yang tidak disadari. Misal dengan reaksi formasi (reaction formation), yaitu seseorang berpikir dan bertindak berlawanan dengan impuls yang tidak disadarinya. Maka seseroang yang membenci ayahnya dapat mengekspresikan perasaan cinta yang sangat dan jug sangat perhatian. Tapi jika mekanisme pertahanan yang digunakan adalah proyeksi maka si anak mengatribusikan/mencari penyebab perasaan negatif (benci) tersebut kepada orang lain. Mekanisme pertahanan yang disebut displacement memungkinkan mengekspresikan beberapa impuls id, tetapi ditujukan pada sesuatu yang lebih aman, misal teman kerja atau orang lain yang menjadi ganti figure ayah. 4 Maka anak tersebut bisa mengkritik/berlaku kasar pada orang yang dianggap sebagai pengganti figure ayah. Meskipun pertahanan diri ini dapat dilakukan/berhasil, setidaknya untuk sementara, tetapi mekanisme pertahanan ini memboroskan/membuang banyak energi psikis dan dibawah tekanan akan mendorong seseorang yang bermasalah akan mengalami kemunduran atau regresi, pada tingkat karakteristik perilaku sebelumnya, atau tahap perkembangan yang kurang matang. Kedalaman regresi dalam kasus tertentu sebagai fungsi dari sejarah perkembangan psikoseksual individu. Development Stage (Tahap Perkembangan). Freud menyatakan bahwa anak-anak melalui/melewati beberapa tahap perkembangan psikoseksual, nama dikaitkan dengan bagian tubuh yang dihubungkan dengan bagian tubuh yang dihubungkan dengan kesenangan sesuai tahap tersebut. Tahun pertama atau sering disebut sebagai tahap oral karena makan, menghisap, menggigit dan aktivitas oral lainnya merupakan sumber utama kesenangan. Jika penyapihan tertunda/terlalu lama atau terlalu dini, kebutuhan oral yang terhalangi atau terlalu berlebihan, maka anak akan gagal melalui tahap oral tanpa terpakuatau menjadi fiksasi pada tahap tersebut, sehingga perilakunya akan terkait dengan tahap tersebut. Orang dewasa yang perilakunya tergantung pada pola perilaku oral seperti merokok, terlalu banyak makan berarti ia mengalami fiksasi pada tahap oral. Freud mengemukakan bahwa semakin kuat fiksasi individu pada tahap psikoseksual tertentu, perilaku yang khas pada tahap tersebut ditunjukkan dikemudian hari dan kemungkinan akan mengalami regresi pada tahap tersebut ketika mengalami tekakan/berada dibawah tekanan. Seseorang yang menjadi sangat tergantung atau tertekan (depresi) ketika kebutuhan untuk tergantung tidak terpenuhi maka berarti orang tersebut mengalami regresi pada tahap oral. Tahun ke-2 sering disebut dengan tahap anal, karena Freud melihat anus dan rangsangan/stimuli yang dikaitkan dengan membersihkan dan menahan tinja/kotoran sebagai sumber penting dari kesenangan pada tahap ini. Ciri yang paling penting pada tahap ini adalah toilet training, dimana ada pertentangan kemauan antara orang tua dan anak. Fiksasi anal diperkirakan berasal dari cara pelatihan ini/toilet training ini baik terlalu ketat ataupun terlalu permisif/bebas. Orang dewasa yang kikir, keras kepala, sangat menekankan keteraturan dan juga terlalu menekankan pada kebersihan, atau orang yang tidak rapi, tidak teratur dan sangat pemurah hati berarti mengalami fiksasi pada tahap ini. Anak masuk pada tahap phallic kira-kira pada umur 3 atau 4 tahun, akrena genital menjadi sumber utama kesenangan. 5 Freud mengemukakan bahwa selama tahap phallic, anak mulai memiliki keinginan seksual atas ibunya dan ingin melakukan kompetesi/persaingan dengan ayahnya. Situasi ini dikenal dengan Oedipal . Konflik oedipal secara normal diubah dengan menekan keinginan seksual terhadap ibunya, dengan mengidentifikasi dengan ayah dan nantinya pada akhirnya menemukan pasangan seksual wanita. Meskipun Freud menekankan perkembangan psikoseksual laki-laki, ia membicarakan kompleks Oedipus, dimana seorang anak perempuan menderita penis envy dan perasaan rendah diri karena ia percaya ia telah “dikebiri” karena mencintai/menginginkan ayahnya. Anak perempuan mengubah perasaan ini dengan mengganti keinginan punya anak dengan keinginan memiliki penis sehingga kemudian melakukan identifikasi terhadap ibunya. Freud percaya bahwa pemecahan konflik yang baik pada tahap ini merupakan sesuatu yang penting bagi perkembangan psikologis yang sehat dan bahwa fiksasi pada tahap ini akan mempengaruhi perilaku interpersonal pada waktu dewasa yaitu perilaku memberontak, agresi dan penyimpangan perilaku seksual antara lain homoseksual, exhibitionism, fetishism. Freud mempercayai bahwa periode/tahap latency merupakan tahap setelah phallic. Selama latency, dorongan id berkurang/menyusut dan prinsip realitas menjadi kekuatan yang lebih kuat dalam kehidupan anak-anak, setelah anak memfokuskan pada perkembangan social dan keterampilan akademik. Tahap latency diperluas sampa masa remaja, ketika kemasakan fisik individu mengantarkan ke tahap genital. Akhir tahap ini yaitu sepanjang masa dewasa, kesenangan kembali berfokus pada daerah genital, tetapi ketika semua tahap sebelumnya berjalan dengan baik, minat seksual tidak hanya diarahkan pada karakteristik kepuasan diri pada tahap phallic, tetapi diarahkan pada hubungan yang stabil, hubungan dalam jangka panjang dimana kebutuhan-kebutuhan orang lain menjadi pertimbangan. Pendekatan psikodinamika yang lain Beberapa pengikut Freud menciptakan variasi pada pendekatan psikodinamika. Variasi ini distimulasi oleh beberapa factor antara lain (1) ketidakpuasan pada peran sentral yang diberikan Freud pada insting ketidaksaran dalam motivasi/menjadi motivasi, (2) meningkatnya pemahaman pengaruh variabel social dan budaya pada perilaku manusia, (3) pemahaman peran aspek kesdaran dalam kepribadian, (4) keyakinan bahwa perkembangan tidak berhenti hanya pada masa kanak-kanak. Sebagai contoh, beberapa melihat ego sebagai sesuatu yang positif, kreatif, mekanisme coping tidak hanya sebagai “wasit” pada konflik intrapsikis. Dalam versi ini, ego dilihat mempunyai energi independen dan potensi berkembang tidak hanya terkait sebagai fungsi defensif dari ketidaksadaran. 6 Revisi lain yang juga penting dilakukan oleh Erik H. Erikson, seorang psikolog Amerika yang menekankan factor social dalam perkembangan manusia. Erikson mengemukakan 8 tahap psikososial yang beorientasi social dari seseorang daripada aktivitas intrapsikis. Sebagaimana ditunjukkan dalam tabel, terdapat krisis social pada masing-masing tahap yaitu satu sisi yang berhasil dikuasai dan sisi kiri yang tidak berhasil dikuasai. 7 Tahap Umur Berhasil menguasai menuntun pada: Pengharapan (hope) Tidak berhasil menguasai menuntun pada: Ketakutan (fear) 1-3 th Kemauan (willpower) Keragu-raguan (self doubt) 4-5 th Tujuan (purpose) Tidak berguna (unworthiness) 6-11 th Kompetensi (competency) Tidak mampu (Incompetency) 1. Kepercayaan dasar lawan ketidakpercayaan dasar (trust versus mistrust ) [oral] 2. Otonomi lawan perasaan malu dan ragu-ragu (Autonomy versus shame & doubt) [anal] 3. Inisiatif lawan rasa bersalah (Initiative versus guilt) [phallic] 4. Kerajinan lawan inferioritas (Industry versus inferiority) [latency] 5. Identitas lawan kekacauan identitas (Ego identity versus role confusion) Lahir-1 th 12-20 th Kesetiaan (fidelity) Ketidaktentuan/Tidak pasti (uncertainty) 6. Keintiman lawan isolasi (Intimacy versus isolation) 7. Generativitas lawan stagnasi (Generativity versus stagnation) 8. Intergritas lawan keputusasaan (Ego integrity versus despair) 20-24 th Cinta (love) Promiscuity 25-65 th Pemeliharaan (care) Selfishness 65 sampai Kebijaksanaan meninggal (wisdom) 8 Meaninglessness despair & Alfred Adler, seorang pengikut Freud yang mengembangkan cabang psikoanalisis yang lebih dikenal dengan nama psikologi individual (individual psychology), yaitu menganggap bahwa factor psikologis yang paling penting dalam perkembangan manusia dan perilaku manusia adalah inferioritas (inferiority), bulan insting. Adler juga menekankan keluarga sebagai keseluruhan tidak hanya pada situasi oedipal. Ia juga mengajukan suatu teori tentang efek tahapan kelahiran terhadap kepribadian yang sampai sekarang masih diperdebatkan. Catatan, bahawa setiap orang memulai kehidupan dengan posisi ketidakberdayaan dan inferioritas. Adler mengemukakan bahwa perilaku dikemudian harinya/setelahnya merupakan bentuk kompensasi “striving for superiority (berjuang untuk superioritas)” yaitu pertama berjuang dalam keluarga dan kemudian dalam dunia social yang lebih luas. Cara tertentu dari individu mencari superioritas tersusun menjadi suatu gaya hidup (style of life). Gaya hidup yang adaptif dikarakteristikan/dicirikan dengan adanya kerja sama (cooperation), minat social, dorongan dan akal sehat/pikiran sehat. Gaya hidup yang maladaptive dicirikan dengan kompetitif yang ekstrim atau tergantung/dependen, kurang perhatian terhadap orang lain dan distorsi tentang realitas. Adler percaya bahwa gaya hidup yang maladaptive perilaku yang bermasalah disebabkan oleh kesalahan konsepsi individu tentang dunia. Maka jika anak kecil menemukan bahwa ia dapat mengontrol orang lain (dan kemudian mencapai perasaan superioritas) dengan meminta bantuan dalam segala hal dari berpakaian sampai makan, ia kemungkinan akan mengembangkan kesalahan konsepsi bahwa ia adalah “seseorang yang spesial” ia tidak dapat menghadapi dunia dengan kemampuannya. Seseorang yang memiliki gaya hidup yang berkembang dari kesalahan ide seperti itu akan menjadi orang yang selalu ketakutan, sakit atau catat dengan cara menuntut perhatian yang spesial/khusus dan perhatian dari orang lain. Revisi dan reformulasi/perumusan kembali ide-ide Freud juga datang dari Carl Jung, Karen horney, erich Fromm dan Harry Stack Sullivan yang juga menyumbangkan terhadap pendekatan psikodinamika ke psikologi klinis. Evaluasi terhadap model psikodinamika Freud Sigmund Freud memberikan/menghadirkan teori perilaku yang paling komprehensif dan revolusioner. Ia memperkenalkan konsep yang menangkap imajinasi psikiatri, psikologi, profesial lainnya, tidak mengacu literature, religi, sosialogi dan antroplogi. Penelitian yang insentif terhadap individu, bertatap muka untuk asesmen atau tritmen, memandang bahwa perilaku yang nampak secara sistematis berhubungan dengan sebab-sebab psikologis yang dapat dikenali, kemungkinan bahwa perilaku individu dipengaruhi oleh factor-faktor yang tidak disadari, efek dari pengalaman masa kanak-kanak terhdap perilaku dewasa, symbol-simbol yang berarti/penting 9 dari perilaku yang tidak nampak, pentingnya konflik dan kecemasan dan factor lain yang ditekankan oleh banyak klinisian secara langsung dipenagruhi oleh Freud Namun demikian, pendekatan Freud juga mendapatkan banyak kritikan antara lain: 1. Konsep dasar psikodinamika semisal proyeksi, motif yang tidak disadari dan represi dilihat terlalu membingungkan/tidak jelas untuk diukur dan dites secara ilmiah. Kritik lain bahwa psikoanalisa tidak dipengaruhi oleh data yang kontradiktori. Misal perilaku bermusuhan merupakan bukti dari perasaan permusuhan yang tidak disadari, tetapi perilaku ini dapat menjadi terlalu baik/ramah kalau dilihat sebagai reaksi dari formasi reaksi (reaction formation) 2. Pendekatan Freud tidak disusun/dikembangkan dari riset yang sistematis tetapi adri pengalamannya sebagai klinisi dengan sejumlah kecil pasien kelas atas yang tinggal di Vienna diakhir tahun 1800an. Pertanyaan yang muncul apakah laporan/hasil kasus tersebut dapat bias dan seberapa cocok ide/teori Freud tersebut apabila diaplikasikan/diterapkan pada orang-orang dari social ekonomi dan latar belakang budaya yang berbeda. Pandangan Freud yang bias tentang wanita juga menyebabkan banyak laki-laki dan perempuan yang mendukung pandangan feminis menolak teori perkembangan Freud. 3. Teknik validitas dan reliabilitas yang dirancang untuk mengukur konstruk kepribadian dari Freud nampak lemah dan efektivitas tritmen psikoanalisa dipertanyakan. 4. Penjelasan psikoanalitik tentang perilaku terlalu banyak menekankan pada insting seksual dan agresif dan tidak cukup penjelasan mengenai potensi berkembang dari manusia, pengalaman belajar dan latar belakang sosialkultural. 5. Penekanan Freud pada masa kanak-kanak sebagai penyebab perilaku dewasa menolak peran pengaruh situasional terhadap perilaku. Aspek psikoanalisa klasik menuntun pengikut neo-Freudian untuk menekankan pentingnya factorfaktor sepanjang rentang kehidupan. PENDEKATAN PERILAKU (BEHAVIORAL APPROACH) pendekatan perilaku (behavioral) memfokuskan secara langsung pada perilaku dan hubungannya dengan lingkungan serta kondisi pribadi (personal) yang mempengaruhinya. Asumsi dasar dari pendekatan ini adalah bahwa perilaku pada dasarnya dipengaruhi oleh belajar yang terjadi/berlangsung dalam konteks social (social context). Klinisi yang memilih pendekatan behavioral cenderung melihat perbedaan individu dalam bertingkah laku dikarenakan sejarah belajar yang unik yang dimiliki masing-masing orang, bukan pada sifat, karakteristik kepribadiannya atau “sakit mental (mental illness).” 10 Maka seorang murid yang beruntung/diuntungkan karena tindakan menyonteknya yang dilakukan pada masa lalu/lampau maka kemungkinan perilaku menyonteks tersebut akan diulangi lagi saat dia naik kelas berikutnya. Sementara itu, individu yang pada masa lalunya mendapat penghargaan (reward) atas usaha belajarnya yang rajin/karena rajin belajar maka akan lebih kecil kemungkinannya untuk berperilaku tidak jujur (missal menyontek). Factor-faktor budaya secara umum dilihat sebagai bagian sejarah belajar yang dimiliki orang. Penerimaan atas kegagalan/ketidaklulusan pada ujian penentuan, pada beberapa nilai cultural/budaya tertentu yang dimiliki siswa dapat menyebabkan rasa malu yang sangat sehingga dapat mendorong usaha bunuh diri, untuk yang lain, (misal dalam kebudayaan tradisional) kagagalan/ketidaklulusan dapat menimbulkan keinginan balas dendam. Pendekatan behavioral melihat kesamaan manusia sebagai hasil dari komunalitas (kepemilikan bersama) terhadap aturan, nilai dan sejarah belajar yang dimiliki secara bersama dalam kebudayaan yang sama sehingga perhatian mahasiswa selama kuliah tidak dilihat sebagai menifestasi kolektif dari proses intrapsikis tetapi lebih karena pemenuhan kelompok terhadap peran mahasiswa untuk belajar sosial, yang nampak dalam situasi akademik pada waktu tertentu. Prinsip belajar yang sama untuk menjelaskan perbedaan dan kesamaan perilaku diantara individu digunakan juga untuk menjelaskan konsistensi dan diskrepansi diantara individual. Orang-orang behavioral memandang konsistensi tingkahlaku (pendekatan lain menyebutnya sebagai “kepribadian”) berasal dari belajar yang digeneralisasikan, kemampuan kognitif yang stabil dan atau kesamaan situasi stimulus. Sebagai contoh, seorang nampak tenang dalam menghadapi kebanyakan situasi jika ketenangan tersebut mendapat penghargaan (reward) selama bertahun-tahun dan dalam berbagai situasi. Pendekatan behavioral menjelaskan ketidakkonsistenan dan phenomena lain yang tidak diprediksi dengan istilah behavioral specificity. Tiga versi utama dari pendekatan behavioral yaitu operant learning, respondent learning dan kognitif behaviorisme, mempunyai perbedaan dalam beberapa hal tetapi mempunyai asumsi umum sebagai berikut: 1. Tingkah laku yang dapat diukur merupakan materi/bahan pokok dalam psikologi klinis. Dapat diukur bukan berarti harus “tampak (overt)”. Klinisi yang beorientasi behavioral tertarik./berminat dari perilaku yang objektif dan jelas (misal jumlah waktu yang digunakan untuk percakapan) sampai perilaku yang tampak (covert) missal kejelasan visualisasi, isi pikiran. Hampir semua perilaku dapat dijadikan sasaran sepanjang perilaku tersebut dapat diukur secara reliable. 2. Walaupun faktor genetik dan biologis memberikan pondasi bagi perkembangan perilaku, faktor lingkungan sangat berpengaruh. Maka diasumsikan bahwa gen pembawa sifat (genes) mempengaruhi kecenderungan perilaku umum dimana pengalaman belajar kemudian membentuk pola yang lebih spesifik. 3. Metode riset empiris adalah cara yang paling baik untuk belajar mengenai asesmen, perkembangan dan modifikasi perilaku. Pendekatan behavioral bagi 11 psikologi klinis telah menuntun pada cara pengoperasionalan dan penyelidikan/penelitian psikopatologi dan psikoterapi secara eksperimen. 4. Asesmen klinis dan tritmen sebaiknya didasarkan dari hasil riset empiris. Pendekatan behavioral mendorong praktisioner meneliti/memeriksa dengan cermat bukti-bukti empiris tentang prosedur asesmen atau tritmen sebelum memutuskan untuk mengadopsinya dan untuk menggunakanya yakni dengan memperhatikan bukti-bukti empiris yang ada. 5. Prinsip belajar yang sama menentukan baik perilaku bermasalah maupun yang tidak bermasalah. Oleh karena itu, asesmen klinis sebaiknya dirancang untuk menentukan bagaimana permasalahan klien saat ini telah dipelajari dan bagaimana perilaku tersebut dipertahankan agar lebih adaptif, belajar dapat direncanakan/didesign secara individual disesuaikan dengan kondisi individu. Misal, ketika menangani anak TK yang takut ke sekolah, tritmen yang dilakukan oleh klinisi yang berorientasi behavior tidak mendasarkan pada “prosedur standar” untuk menangani anak yang didiagnosis phobia, tetapi tergantung/mendasarkan pada asesment yang sekiranya menjadi penyebab problem/perilaku bermasalah tersebut. Dengan kata lain, asesmen dan tritmen sebaiknya diintergrasikan. Terdapat 3 versi dalam pendekatan behavioral yaitu operant conditioning, classical conditioning atau social/cognitive Operant Learning Versi operant dari pendekatan behavioral merefleksikan ide dari Skinner. Skinner mengemukakan bahwa belajar merupakan hubungan antara stimuli lingkungan dan perilaku yang nampak (overt) yaitu khususnya hubungan antara perilaku dan anteseden (penyebab) dan konsekuensinya (akibat) yang secara lengkap dapat menjelaskan perkembangan, pemeliharaan dan perubahan perilaku. Metode Skinner disebut functional analysis karena memfokuskan pada penggambaran dan penjelasan hubungan fungsional antara stimuli, respon dan akibatnya. klinisi yang beorientasi Skinner akan menjelaskan hubungan antara perilaku agresif dan akibatnya. Jika perilaku agresif klien diberi reward/hadiah maka tidak perlu dijelaskan berdasarkan kondisi internal (karena ada kebutuhan untuk dominan) tetapi lebih dijelaskan bahwa klien telah mempelajari perilaku agresif. Classical Conditioning Versi yang lain dari pendekatan behavioral ditunjukkan oleh tulisan Joseph Wolpe (1958, 1982) dan Hans Eysenk (1982). Mereka memfokuskan pada aplikasi prinsip-prinsip kondisioning classical atau respondent untuk memahami dan mengurangi penderitaan manusia, khususnya tentang kecemasan. Dengan tidak menolak pentingnya reinforcement dan punishment dalam pembentukan perilaku, behavioris yang menekankan kondisioning classical menekankan hubungan stimuli yang dikondisikan dan yang tidak dikondisikan. Sebagai contoh, seorang laki-laki yang sangat takut sehingga menghindari situasi social, hal ini terjadi tidak hanya karena penghinaan saja atau pengalaman negatif 12 lainnya (operant conditioning) tetapi juga karena ketidaknyamannya dari pengalaman-pengalaman yang telah diperolehnya, atau melalui classical conditioning yaitu hal tersebut dikaitkan/dihubungkan dengan pesta yang mana ia pernah mengalami kecemasan saat menerima undangan pesta tersebut. Social Learning (Cognitive-behavioral) Theories Pandangan Skinner, Wolpe, Eysenck dan yang lainnya hanya memfokuskan pada perilaku yang nampak sebagai target dari asesmen klinis dan tritmen, tetapi beberapa behavioris melihat pandangan ini tidak lengkap. Sehingga, teori kognitif dan belajar social (social learning and cognitive behavioral ) telah menambahkan penekanan pada peran proses kognitif (misal pikiran) dalam perkembangan, pemeliharaan dan perubahan perilaku. Dua pandangan utama yang mewakili pandangan ini adalah Albert Bandura dan Walter Mischel yang mempelajari dan menggambarkan bagaimana pengaruh social dan aktivitas kognitif mempengaruhi belajar. Ciri-ciri utama dari teori Bandura adalah perhatiannya pada belajar observasional atau proses kognitif vicarious (observational learning or vicarious cognitive processs). Dalam pandangan ini, perilaku berkembang tidak hanya secara langsung melalui observasi dan gambaran kognitif tentang dunia. Sebagai contoh, Bandura menyatakan bahwa manusia dapat memperoleh perilaku baru tanpa reinforcement atau latihan, tetapi dengan cara mengobservasi individu lain atau mengobservasi model. Salah satu eksperimen, anak kecil yang telah mengamati/melihat model yang berperilaku agresif terhadap boneka “Bobo” cenderung meniru perilaku model, sementara anak-anak yang melihat model yang tidak agresif (diam) cenderung tidak agresif. Menurut Bandura, efek proses vicarious menjadi sama pentingnya pada efek belajar langsung. Bandura juga melihat variable kognitif memainkan peran dalam gangguan perilaku sebagaimana seorang laki-laki yang telah dicontohkan di atas yang takut situasi social. Bandura menjelaskan bahwa ketidaknyaman laki-laki tersebut tidak hanya saja berasal dari pengalaman social yang negatif dan stimuli lingkungan yang berhubungan dengannya, tetapi juga dari pikiran tentang situasi social yang membangkitkan kecemasan (misal “saya akan mempermalukan diri saya sendiri” atau “tidak ada orang yang saya kenal”) yang mendorong untuk menghindari situasi tersebut. Bandura meyakini bahwa orang pasti mempunyai pengharapan/harapan tentang apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan dalam situasi tertentu yang dikenal dengan efikasi diri (self efficacy), dan hal ini akan sangat berpengaruh pada bagaimana seseorang akan berperilaku. Dapat dikatakan bahwa semakin tinggi efikasi diri maka akan semakin baik performancenya/prestasinya. Bandura mengemukakan bahwa kehidupan emosional seseorang secara luas ditentukan oleh kombinasi pengaruh efikasi diri dan penilaian akan hasil. Sebagai contoh, orang yang rendah efikasi dirinya kemungkinan akan merasa apatis jika mereka juga percaya bahwa tidak ada yang dapat mengontrol suatu 13 kejadian dalam kehidupan ini, cemas jika tidak dapat/tidak mampu mengontrol hal-hal yang membahayakan dalam kehidupannya dan depresi jika yakin bahwa tindakan orang lain (bukan tindakan dirinyalah) yang mempengaruhi sesuatu/hasil yang diinginkan. Orang yang memiliki efikasi diri tinggi mungkin menjadi marah jika ia melihat dunia/lingkungan tidak responsive terhadap usahanya, tetapi akan lebih memiliki keyakinan diri (self assured) jika ia melihat usahanya membawa hasil yang baik/memuaskan. Teori kognitif behavior yang lain memberikan perhatian pada beberapa factor antara lain bagaimana orang mengevaluasi dan menjelaskan perilakunya dan bagaimana mereka yakin bahwa kejadian/peristiwa tertentu didunia ini dapat diatasi. Faktor-faktor ini sangat bermanfaat dalam menghadapi depresi dan gangguan kecemasan. Sebagai contoh, menurut Aaron Beck (1976) bahwa evaluasi kognitif seseorang atau penilaian (appraisal) terhadap perilakunya mendahuli/menyebabkan dan mempengaruhi reaksi emosional terhadap kejadian tersebut. Sehingga individu yang mengevaluasi secara terus-menerus prestasi/performancenya sebagai sesuatu kebetulan (bukan karena kemampuannya) maka akan menilai/menginterpretasikan pujian sebagai sesuatu yang basa-basi (tidak sungguh-sungguh memuji) sehingga cenderung melihat dirinya sebagai seorang yang tidak mampu atau tidak berharga dan hal ini akan memberikan kecenderungan pemikiran yang depresif. Menurut Beck, pemikiran ini ahkirnya tanpa disadari menjadi otomatis sehingga mempengaruhi reaksi-reaksi emosi selanjutnya. Tujuan terapi kognitif Beck adalah menjadikan pemikiran negatif ini disadari sehingga individu dapat menilai secara logis kemampuan-kemampuan sebagai sesuatu yang pantas. Penjelasan tentang penyebab suatu kejadian/hal termasuk mencari penjelasan terhadap perilaku kita yang biasa disebut atribusi juga dapat memberikan akibat/konsekuensi emosional yang penting. Atribusi ini cenderung bergerak dalam 3 dimensi yaitu (1) internality : apakah seseorang melihat penyebab suatu kejadian karena dirinya sendiri atau karena sesuatu hal di luar dirinya/lingkungan, (2) stability :apakah seseorang melihat penyebab sebagai sesuatu yang persisten/menetap atau temporer/sementara (3) globalness : apakah seseorang melihat penyebab karena spesifik pada situasi tertentu atau meluas pada semua situasi. Sebagai contoh, menjelaskan performance/hasil suatu tes karena tes tersebut sulit (external, unstabil & spesifik) atau karena saya bodoh yang merefleksikan atribusi internal, stabil dan global. Individu yang membuat atribusi internal, stabl dan global terhadap kegagalan akan lebih mungkin mengalami depresi. Teori cognitive-behavioral dari Albert Ellis tidak hanya memfokuskan pada peran pengharapan, penilaian dan atribusi tetapi juga pada bagaiaman keyakinan irasional dan keyakinan menyalahkan diri yang terjadi pada waktu lama/jangka panjang dapat menghasilkan tekanan/distress psikologis. 14 Pemikiran irasional ini antara lain pernyataan “seharusnya/should” misal “setiap orang semestinya menyukaiku” dan standar yang terlalu tinggi yang tidak realistis misal saya harus menjadi orang yang sempurna/perfect”. Pemikiran seperti ini akan menyebabkan seseorang akan merasa gagal dan kecewa. Terapi rational emotive dari Ellis akan menyerang keyakinan-keyakinan yang salah sampai klien menyadari bahwa pemikiran tersebut salah. Para teoritikus kognitif mempelajari kognisi yaitu pikiran-pikiran, harapanharapan, dan sikap-sikap yang menyertai dan mungkin mendasari perilaku abnormal. Sseorang berfokus pada bagaimana realitas diwarnai oleh harapanharapan dan sikap-sikap individu dan bagaimana tidak akurat atau biasnya pemrosesan informasi tentang dunia yang kemudian dapat menimbulkan perilaku abnormal. Para teorikus kogmitif meyakini bahwa interpretasi terhadap peristiwa dalam kehidupan dan bukan peristiwa itu sendiri yang menentukan keadaan emosional manusia. Beberapa model kognitif yang paling menonjol dari pola-pola perilaku abnormal adalah model-model yang dikembangkan oleh psikolog Albert Ellis dan psikiater Aaron Beck. Albert Ellis Seorang teoritikus terkemuka yang meyakini bahwa peristiwa-peristiwa yang menyulitkan dalam diri mereka tidak menyebabkan kecemasan, depresi atau gangguan perilaku. Namun keyakinan tidak rasional yang dimilikinya tentang keyakinan tidak mujurlah yang memicu emosi negatif dan perilaku tidak adaptif. Misalnya seseorang kehilangan pekerjaan dan menjadi cemas serta sedih karenanya. Dalam hal ini, tampaknya dipecat menjadi penyebab langsung dari ketidakbahagiaan seseorang, namun ketidakbahagiaan ini sebenarnya berasal dari keyakinan orang tersebut mengenai kehilangan itu sendiri. Ellis menggunakan “pendekatan ABC” untuk menjelaskan penyebab dari ketidakbahagiaan. Dipecat merupakan peristiwa yang menggerakkan (activating event/A). Hasil yang maksimal atau konsekuensi (consequence/C) adalah distress emosional. Namun peristiwa yang menggerakkan (A) dan konsekuensi (C) dijembatani oleh berbagai keyakinan (belief/B). Beberapa keyakinan ini mungkin meliputi “pekerjaan itu merupakan hal yang utama dalam hidup saya”, “Betapa tidak bergunanya saya”, “Keluargaku akan kelaparan”, “saya tidak akan pernah menemukan pekerjaan lain yang sebaik itu”, “saya tidak dapat melakukan apa pun dalam hal ini”. Keyakinan-keyakinan yang berlebihan dan tidak rasional tersebut menyebabkan depresi, mengembangkan ketidakberdayaan dan menganggu dalam evaluasi tentang apa yang dapat dilakukan. Sebagai contoh, keyakinan “saya tidak dapat melakukan apa pun dalam hal ini” dan “betapa tidak bergunanya saya” memicu ketidakberdayaan. Ellis menekankan bahwa kecemasan terhadap masa depan dan perasaan kekecewaan sangatlah wajar apabila orang mengalami kehilangan. Namun, penerimaan keyakinan yang tidak rasional menyebabkan orang untuk mengkatastrofekan (melebih-lebihkan konsekuensi negatif dari peristiwaperistiwa) kekecewaan mereka, menyebabkan distres yang mendalam dan kondisi depresi. Dengan mengintenskan respon emosional dan memelihara perasaan tidak 15 berdaya, keyakinan semacam ini menyebabkan menurunnya kemampuan coping. Contoh-contoh keyakinan yang tidak rasional mencakup “saya harus memiliki cinta dan dukungan dari hampir semua orang yang penting bagi saya, jika tidak saya adalah orang yang tidak berharga dan tidak dapat dicintai” dan “saya harus kompeten pada semua hal yang saya lakukan atau jika tidak saya adalah orang yang tidak adekuat dan tidak kompeten” Aaron Beck Aaron Beck berpendapat bahwa depresi mungkin merupakan hasil dari “kesalahan kognitif”, seperti menilai diri sendiri sepenuhnya atas dasar kesalahan atau kegagalan dan menginterpretasi peristiwa dalam cara yang negatif. Beberapa distorsi kognitif antara lain: 1. Abstraksi selektif (selective abstraction). Orang mungkin secara selektif mengabstraksi (fokus hanya pada) bagian-bagian dari pengalaman mereka yang mencerminkan kegagalan mereka dan mengabaikan bukti dari kompetensi mereka. Misal seorang siswa mungkinsepenuhnya berfokus pada satu nilai “rendah” yang ia peroleh pada tes matematika dan mengabaikan nilai-nilai yang lebih baik. 2. Generalisasi yang berlebihan (overgeneralization). Orang memandang masa depan sebagai tidak ada harapan karena ia dipecat dari pekerjaan 3. Magnification. Orang mengembangkan proporsi atau membesarkan pentingnya peristiwa-peristiwa yang tidak menguntungkan. Misal mahasiswa membesar-besarkan sebuah nilai yang jelek dalam suatu mata kuliah dengan langsung membuat kesimpulan dia akan dikeluarkan dari perguruan tinggi dan kehidupannya akan hancur. 4. Pemikiran absolut (absolutist thinking). Orang yang selalu berpikir absolut memandang dunia selalu dalam hitan dan putih, dibandingkan bayangan abuabu. Contoh pemikiran absolut adalah jika mendapat nilai kurang dari A berarti gagal total. Evaluasi terhadap Pendekatan Behavioral Sejak kemunculannya pada akhir 1950an, pendekatan behavioral telah banyak mendapatkan dukungan dari meningkatnya sejumlah pengikut setia yang memiliki nilai pandangan ilmiah terhadap perilaku manusia, yaitu mendefinisikan konsep secara operasional, aplikasi prinsip-prinsip belajar ke problem-problem klinis didasarkan pada penelitian-penelitian laboratorium dan komitmennya terhadap evaluasi asesmen dan tritmen secara empiris. Secara singkat, pendekatan behavioral dilihat sebagai pendekatan terbaik untuk mengaplikasikan psikologi sebagai ilmu pengetahuan tentang perilaku di bidang klinis. Namun demikian, ditemukan beberapa kritikan terhadap pendekatan ini, antara lain: 1. Dilihat bagi beberapa orang sebagai mereduksi manusia ke sejumlah respon yang diperoleh dari hubungan secara mekanis dari lingkungan. Bahkan versi cognitive-behavioral dibanding pendekatan lain nampak kurang memberi perhatian pada pengalaman subjektif, genetik, fisiologis dan pengaruhpengaruh perilaku lainnya yang tidak didasarkan pada proses belajar 16 2. Prinsip-prinsip belajar dapat menjelaskan phobia dan hubungan stimulusrespon yang relatif sederhana, tetapi tidak cukup kuat menjelaskan proses internal yang lebih kompleks. “menyamakan manusia dengan perilaku binatang, dan memfokuskan hanya pada perilaku yang nampak daripada kondisi internal (inner state), yang justru meminimalkan nilai-nilai (value), perasaan, fantasi dan motif yang paling membedakan dan menjadi masalah dalam kehidupan manusia. 3. Prinsip-prinsip belajar yang menjadi dasar pendekatan behaviorostik masih menjadi masalah yang diperdebatkan diantara ilmuwan belajar (learning theorists) dan bahkan jika semua prinsip disetujui maka ada pertanyaan apakah penelitian di laboratorium dengan menggunakan binatang memungkinkan diaplikasikan pada manusia. 4. Pendekatan behavioral bukan ilmu pengetahuan yang unik atau sejelas sebagaimana diharapkan pengikut behavioristik. Banyak prosedur tritmen dan asesmen lebih didasarkan pada pengalaman klinis daripada penelitianpenelitian eksperimen dan dimana bukti-bukti riset yang tersedia, tidak secara tegas mendukung tknik-teknik yang mendasarkan prinsip belajar. PENDEKATAN PHENOMEMOLOGICAL Pendekatan psikologi klinis yang sudah dibicarakan terdahulu melihat perilaku manusia dipengaruhi oleh (a) konflik intrapsikis dan insting, atau (b) factor lingkungan dan kognitif. Pendekatan phenomenological menolak asumsi yang dikemukakan pendekatan behavioral maupun psikodinamika, dimana pendekatan ini melihat perilaku masing-masing manusia/individu pada moment tertentu terutama ditentukan oleh persepsi unik manusia terhadap dunia. Klinisi dengan pendekatan phenomenological cenderung mengikuti asumsi sebagai berikut: 1. Manusia adalah aktif, menganggap manusia secara individual mempunyai tanggung jawab terhdap apa yang mereka lakukan dan secara penuh mampu membuat keputusan tentang perilakunya. Pendekatan ini cenderung melihat pada proses yang mendasari disiplin diri (selfdiscipline), pembuatan keputusan dan karakteristik manusia yang unik bukan memfokuskan pada karakteristik manusianya 2. Tidak ada seorangpun dapat memahami perilaku orang lain tanpa mempersepsikan dunia melalui kacamata orang tersebut. Pendekatan phenomenology mengasumsikan bahwa semua aktivitas manusia dapat dipahami ketika dilihat dalam konteks social dan dari titik pandang orang yang diamati (when viewed within the social; context, and from the point of view, of the person being observed). Maka, wanita yang melakukan kekerasan tidak akan dilihat sebagai mengekspresikan impuls id atau memperlihatkan perilaku yang mendapat reinforcement tetapi perilakunya sejalan dengan persepsinya terhadap dunia sekitarnya pada waktu itu. Pendekatan phenomenological sebagian dikembangkan sebagai reaksi terhadap Freud yang dimulai ketika Adler menolak insting sebagai dasar perilaku dan dan menekankan persepsi seseorang dan potensi tumbuh/growt. 17 Penekanan pada persepsi individu terhadap realitas juga dikemukakan oleh Heidegger, kierkegaard, Sartre dan filosof eksistensialis yang menilai bahwa arti dan nilai kehidupan buka pada insting, tetapi disusun oleh pemersepsi (prang yang melakukan persepsi). Maka orang tidak dilihat baik atau jahat, kualitas ini disusun ketika orang lain mereaksi terhadap orang tersebut dan ada suatu “realitas” yang berbeda tergantung masing-masing individu yang mengamati. Focus pada pandangan realitas individual dipertajam oleh sejumlah psikolog Jerman yang dikenal sebagai sekolah gestalt (misal Koffka, 1935; Kohler, 1925) antara lain menduga ada banyak kasus dimana persepsi subjektif seseorang dapat melampau stimuli yang secara “objektif” ada dan dimana objek yang “sama” dapat diinterpretasikan dalam cara berbeda. Di Amerika Utara, klinisi yang mengadopsi pendekatan phenomenology cenderung mengasumsikan bahwa masing-masing orang memiliki suatu potensi untuk tumbuh yang memberikan pendorong bagi sebagian besar perilaku. Mereka memandang manusia pada dasarnay baik dan berjuang secara natural menuju kreativitas, cinta dan tujuan-tujuan positif lainnya (untuk alasan ini, pendekatan ini sering disebut humanistik). Dalam kerja klinis, penekanan buka pada mendapatkan data asesmen tentang masa lalu klien atau mencoba memecahkan problem perilaku tertentu, tetapi pada memfasilitasi pertumbuhan personal/pribadi klien dan pilihan di “sini dan sekarang/here and now”. Rogerss Self Actualization Theory Roger mengasumsikan bahwa orang mempunyai suatu motif ke arah pertumbuhan, yang disebut dengan self-actualization : dorongan untuk berkembang, tumbuh dan matang yaitu kecenderungan untuk mengekspresikan dan mengaktifkan semua kapasitas organisme. Roger melihat bahwa semua perilaku dari perilaku dasar mencari makan sampai artistik kreatif, dari percakapan normal sampai delusi yang kacau merupakan/sebagai refleksi dari usaha individu untuk self actualization dalam dunia yang dipersepsikan secara unik. Dalam pandangan Roger, usaha ini sudah dimulai saat lahir. Sebagai anak yang berkembang mulai melakukan perbedaan antara diri dan dunia sekitarnya, ada kesadaran yang tumbuh dari diri yaitu suatu pemahaman terhadap “I” atau “me”. Menurut Roger, semua pengalaman manusia meliputi pengalaman “diri/self” dievaluasi sebagai positif atau negatif, tergantung pada apakah mereka/pengalaman tersebut konsisten atau tidak konsisten dengan kecenderungan self actualizing. Namun, evaluasi ini tidak dibuat secara langsung perasaan organismic itu sendiri seperti ketika anak mengevaluasi rasa permen itu manis. Mereka/penilaian pengalaman juga dipengaruhi oleh orang lain. Maka seorang anak laki-laki bisa mengakhiri mengevaluasi secara negatif pengalaman mengusap-usap alat genitalnya (bahkan meskipun perasaan yang dialami adalah positif) karena orang tuanya mengatakan bahwa ia anak yang jelek apabila melakukan hal tersebut. 18 Pengaruh sosialisasi membantu mengintergrasikan perkembangan individual dalam masyarakat, khususnya ketika penilaian dari orang lain sesuai/cocok dengan perasaan organismiknya. Sebagai contoh, jika anak-anak latihan membaca dan mengalami perasaan positif atas pencapaian kompetensi tersebut dan mendapatkan penghargaan positif dari orang tua atas apa yang dilakukannya tersebut, maka akan menilai positif pengalaman dirinya (self experience) yaitu “saya suka membaca”. Di sini, pengalaman diri (self experience) kongruen dengan pengalaman organismik dan anak dapat menerima perilakunya (“saya membaca lebih sering”) dan penilaiannya (“saya suka membaca”). Namun, Roger menilai bahwa kebanyakan anak sangat membutuhkan penghargaan positif dari orang lain (menilai penghargaan positif orang lain tersebut sangat tinggi) sehingga mereka akan mencarinya bahkan meskipun ia harus berpikir dan bertindak dengan cara yang tidak kongruen (incongruent) yang oleh Roger disebut dengan penghargaan/penilaian yang bersyarat (condition worth) yaitu suatu kondisi/keadaan dimana seseorang menerima penghargaan positif dari orang lain (yang pada akhirnya, dari dirinya sendiri) hanya untuk perilaku-perilaku, sikap-sikap dan keyakinan-keyakinan yang disetujui saja. Penghargaan/penilaian yang bersyarat (condition worth) pertama-tama diciptakan oleh orang tua, keluarga dan agen social lainnya, tetapi kemudian diinternalisasi oleh individu (menjadi milik individu), hal ini mirip dengan konsep super ego milik Freud. Orang yang menerima/menghadapi penghargaan/penilaian yang bersyarat (condition worth) secara ekstrim atau berlebihan akan menjadi tidak nyaman (uncomfortable). Jika mereka bertingkah laku terutama untuk menyenangkan orang lain, hal ini menjadi mengorbankan pertumbuhan pribadi (personal growth). Sebagai contoh, seorang wanita yang mencoba untuk mematuhi budaya yang mendukung peran wanita sebagai pekerja meskipun keinginan dirinya adalah menjadi ibu rumah tangga murni/sepenuhnya. Sementara itu, ketika seseorang memperlihatkan perilaku dan perasaannya yang asli/otentik maka ia akan mengalami ketidaksesuaian dengan penghargaan/penilaian yang bersyarat (condition worth) dengan resiko kehilangan penghargaan positif dari orang lain dan diri. Roger percaya bahwa untuk mengurangi ketidaknyaman yang bersal dari inkongruensi semacam itu, individu bisa menyimpangkan realitas dengan cara yang salah. Sebagai contoh, seorang laki-laki yang memiliki orang tua yang memberikan penghargaan/penilaian yang bersyarat (condition worth) yaitu lakilaki tidak boleh menangis dan seseorang yang menunjukkan “maskulinitas” dipuji maka ia akan mempertegas bahwa “ seseorang yang menangis adalah lemah”. Pernyataan ini menunjukkan suatu distorsi perasaan yang sebenarnya. Roger percaya bahwa ketidakcocokan/ketidaksesuaian(discrepancy) yang semakin besar antara perasaan real individu dan konsep diri yang dipengaruhi secara social/masyarakat, sering menghasilkan perilaku bermasalah. 19 Roger percaya bahwa perilaku bermasalah dapat dihindari. Individu sebaiknya menerima hanya penghargaan positif tanpa syarat (unconditional positif regard), sehingga penilaian diri (self-regard) tidak akan pernah berbeda dengan evaluasi organismic dan individu akan menjadi individu yang berfungsi penuh (fully functioning). Apabila kondisi tersebut tidak ada pada masa lalunya/kecilnya, maka kondisi tersebut dapat diciptakan pada kondisi saat ini/sekarang. Sehingga, Roger mengembangkan pendekatan terapeutik yang menggunakan unconditional positive regard dan factor-faktor lain untuk membantu orang-orang bermasalah dengan mengurangi inkongruensi tanpa harus menyimpangkan realitas. Maslow and Humanistic Psychology Pendekatan phenomenological versi Abraham Maslow dipengaruhi dari Amerika Utara. Dalam menemukan gerakan yang dikenal sebagai psikologi humanistic, Maslow menekankan bahwa manusia adalah positif dan kreatif. Sebagaimana Roger, Maslow melihat manusia mempunyai kemampuan (membutuhkan) untuk self actualization, tetapi ia mengemukakan bahwa kegagalan merealisasikan potensi seseorang secara penuh bukan disebabkan oleh inkongruensi antara pengalaman diri dan pengalaman organismic, tetapi oleh karena ada kebutuhan yang tidak terpenuhi. Maslow percaya bahwa kebutuhan tersebut membentuk hirarki yang mulai dari pemenuhan kebutuhan dasar (seperti makanan dan air) dan bergerak ke pemenuhan kebutuhan lebih tinggi seperti rasa aman, cinta/rasa memiliki, harga diri dan terakhir self actualization. Kepuasan kebutuhan pada tingkat tertentu tidak mungkin terjadi sebelum kebutuhan tingkat/level di bawahnya terpenuhi. Maka, seseorang tidak akan perhatian pada kebutuhan cinta ketika masih ada ketidakpastian dimana ia akan mendapatkan makan. Maslow menunjukkan bahwa kebanyakan masyarakat dengan kebudayaan Barat berusaha mencari untuk memenuhi kebutuhan yang masih dibawah self actualization dan sehingga orientasi masih mengarah pada sesuatu yang terkait dengan rasa aman, cinta, rasa memiliki dan harga diri (self esteem). Termotivasi kekurangan (deficiency motivated) atas kebutuhan-kebutuhan yang belum terpenuhi secara lengkap sering menuntun manusia untuk bertindak membeli tanpa pertimbangan, kompetisi yang kejam/kasar, dan problem-problem lainnya yang pada dasarnya merupakan perilaku untuk pemenuhan kebutuhan. Hanya beberapa oang saja yang dapat memenuhi kebutuhan tingkat dasar sehingga membebaskan seseorang untuk mencari self actualization secara lengkap. Hal ini yang disebut Maslow sebagai motivasi untuk tumbuh (growth motivation), yang memungkinkannya untuk memfokuskan pada apa yang mereka dapat/miliki bukan pada apa yang seharusnya ia dapat/miliki. Pengalaman pada titik tertinggi (peal experiences) dimana self actualization dapat tercapai/terjadi, biasanya secara individual dan menunjukkan sesuatu yang terbaik dalam diri kita. 20 Terapi dari pendekatan Maslow memfokuskan membantu orang untuk menghadapi rintangan yang menghalangi pertumbuhan alami, kebahagiaan dan pemenuhan kebutuhan. Fritz Perls dan Gestalt Psychology Pandangan phenomenological yang lain diberikan oleh Freidrich S (Fritz) Perls, seorang psikiater yang pertama kali mengekspresikan ketidakpuasannya dengan teori Freudian yang tradisional dalam bukunya yang terbit tahun 1947 yaitu Ego, Hunger and Aggression : A Revision of freud’s Theory and Method. Perls merasa bahwa Freud terlalu menekankan insting seksual dan menolak bahwa ia menyebut lapar (hunger) sebagai suatu insting atau kecenderungan mengarah pada self preservation (penjagaan/perlindungan diri) dan self actualization. Sebagaimana Freud, Perls melihat ego memfasilitasi pertumbuhan seseorang dan self persevation dengan memperantarai konflik antara kebutuhan internal dan tekanan lingkungan. Namun, ia berpikir ego bukan struktur psikis, tetapi suatu proses yang tujuannya adalah pengurangan ketegangan antara seseorang dengan lingkungan. Karena terjadi proses ini, seseorang tumbuh secara psikologis, menemukan cara baru untuk memenuhi tuntutan lingkungan tanpa mengabaikan kebutuhan internal. Perls mengatakan bahwa pertumbuhan ini tergantung pada seseorang tetap benarbenar sadar/menyadari adanya kebutuhan internal dan tuntutan lingkungan. Namun, jika orang mengatur perhatiannya dan persepsinya supaya menghindari memfokuskan pada tuntutan tidak menyenangkan, kebutuhan yang tidak terpenuhi, atau konflik yang menekan, kesadarannya (awareness) dapat menjadi terpecah atau menyimpang (distorted). Ketika hal ini terjadi, pertumbuhan terhenti dan problem mulai muncul/terjadi. Sebagai contoh, seorang dengan dorongan seksual yang kuat yang tumbuh dalam keluarga yang berpegang bahwa perasaan seperti itu adalah “immoral” bisa melakukan distorsi terhadap kesadaran, untuk sementara hal ini cukup membantu menyelesaikan, tetapi pada akhirnya hal tersebut akan memunculkan masalah. Distorsi ini akan melibatkan penolakan terhadap dorongan seksual atau persepsi yang sangat membesar-besarkan tekanan teman sebaya untuk melakukan hubungan seksual. Distorsi yang sering dilakukan dapat mengakibatkan masalahmasalah yang lebih serius. Sebagai contoh, jika seseorang tidak mampu untuk mengakui adanya perasaan permusuhan terhadap orang lain, maka akan memunculkan persepsi terhadap orang lain sebagai musuh (bentuk suatu proyeksi) dan kecemasan yang sangat untuk keluar dari rumah. Orang ini akan menolak meninggalkan rumah karena “dunia begitu bahaya”. Pendekatan tritmen Perls disebut terapi Gestalt, yang bertujuan untuk memulai kembali pertumbuhan dengan memantapkan kembali proses kesadaran (aware). Evaluasi terhadap Model Phenomenological Pendekatan phenomenological mempunyai daya tarik intrnsik yang kuat. Hal ini memberikan peran sentral pada pengalaman amsing-masing orang, yaitu menekankan keunikan masing-masing orang dan membanggakan karakteristik manusia bahwa kita adalah spesial spesies. Pendekatan optimis phenomenology 21 humanistic memfokuskan pada potensi kehidupan manusia dan kemampuan masing-masing individu untuk tumbuh mengarah pada pemenuhan personal secara maksimal. Kritik terhdap pendekatan phenomenological antara lain: CLINICAL APPROACHES IN ACTION (PENDEKATAN KLINIS DALAM TINDAKAN) Pendekatan yang berbeda-beda akan mempunyai pengaruh yang berbeda dalam asesmen, tritmen dan aktivitas dari psikolog klinis. Kasus Mr B Mr B berumur 58 tahun, seorang eksekutif dari suatu perusahaan komputer bertaraf nasional. Ia tumbuh dalam keluarga kelas buruh, ia anak tertua dari 3 bersaudara. Ia termasuk anak-anak dengan kepandaian rata-rata pada masa sekolahnya dan tidak pernah memberikan masalah pada orang tuanya, ia juga ingat bahwa “ia tidak begitu bahagia”. Karena semasa kecil, ia dimanja oleh orang tuanya dan sering digoda teman-temannya dengan sebutan “anak mami”. Ia agak terlalu gemuk sebagai seorang remaja dan selalu merasakan diabaikan/tidak dianggap oleh temen-temennya yang suka olah raga. Mr B menikahi pacar saat SMA-nya yang juga masuk dalam universitas yang sama. Mereka menikah pada umur 35 tahun dan mempunyai 2 anak. Sebagai tambahan gajinya sebesar 150.000 $ per tahun dan juga masih mendapat tambahan dari beberapa bidang usahanya. Mr B cenerung menilai dirinya dan orang lain dari materi dan penampilan luar. Ia selalu ingin dipuji, kadang menjengkelkan orang lain dan ia sangat sensitive terhadap kritikan dan juga sangat senang mengkritik orang lain. Mr B selalu mencoba menyenangkan anak-anaknya dengan uang dan hadiah, tetapi hubungan dengan anak-anaknya cenderung jauh. Ia selalu berkeluh kesah “saya telah bekrja dengan membanting tulang dan tidak ada seorangpun yang menghargainya” Mr B merasa resah/gelisah dan merasa tidak bahagia selama 2 tahun dan “menjadi selalu cemas”. Perutnya “selalu mengalami gangguan perut” dan ia sering “tidak dapat bernafas”. Pengujian medical menunjukkan bahwa Mr B mempuyai penyakit Crohn’s disease, suatu gangguan usus yang berpotansial berbahaya. Banyak dokter yang ia kunjungi memberikan resep obat anti cemas dan anti depressant, tetapi obat tersebut memiliki efek samping sehingga Mr B tidak meminumnya. Pada suatu saat, ia merasa gelisah yang menyebabkan ia tidak dapat duduk tenang, tidak dapat konsentrasi dalam bekerja dan mempunyai gangguan mengingat. Pada akhirnya, ia membawa pulang pekerjaan dan meninggalkan beberapa kertas kerja (kasus-kasus) di lantai parkir. Kualitas kerja mulai menurun. Ia tidak dapat tidur sampai jam 3 dan hampir setiap malam karena pikirannya “selalu berputar” dengan kecemasan/kekhawatiran tentang problem pekerjaan dan problem perkawinan. Ia menjelaskan pernikahannya sebagai “sangat tegang dan tidak nyaman/tenang”, ia dan istrinya selalu berusaha untuk sebisa mungkin selalu menghindar. Meskipun ia mengatakan secara seksual “impotent) dengan istrinyasuatu problem yang menyebabkan ia mencoba mendapatkan kehidupan sek- yaitu 22 ia telah berselingkuh dengan rekan kerja selama beberapa tahun. Ia merasa bahwa penipuan dalam menyembunyikan hubungan ini dari setiap orang mulai ketahuan. Mr B juga khawatir karena perusahan “mulai mengurangi” pengaruhnya/kekuasaannya/wewenangnya. Akhir-akhir ini, eksekutif tingkat menengah telah menyerangnya dan Mr B yakin hal ini akan menjadi masalah sebelum ia diberhentikan dari perusahaan.Ia meyakini bahwa pada umurnya sekarang ini, tidak ada seorangpun yang akan menerima bekerja. Sering sekali, ketika ia memikirkan masa depan, Mr B merasa tertekan (depresi) dan putus asa. Dalam kenyataannya, ia menjadi terlalu terobsesi bahwa ia akan segera meninggal dan kadang-kadang ia berpikir sebaiknya ia mengakhiri hidupnya sehingga akan hilang ketidaktenangan dan ketakutannya. Psikodinamika A. asesmen memperoleh sejarah kehidupan klien : pengalaman masa kanak-kanak & kaitannya dg simptom saat ini & relationship tes psikologi (tat) : lebih mengetahui konflik, dysfungsi khususnya isu-isu dinamika interpersonal B. hipotesis penyebab/dinamika kepribadian narcissistic: refleksi cinta ortu yang konflik, ambivelensi, tidak konsisiten : anak menjadi insecure/tidak aman misal: masa keci tidak bahagia, tidak pernah merepotkan ortu, anak mami (hubungan patologi/terlalu diperhatikan/dimanja), saat dewasa merasa tidak adekuat sbg laki-laki mencari simbol tuk menunjukkan rasa bernilai hubungan patologi:gagal memperoleh hubungan yg akrab/hubungan yg berarti; hub dg anak tidak sehat, affair C. rencana tritmen hunbungan yg tidak mengancam/supportif (terapi melukai harga diri) terapi perlu kemamuan tuk membongkar, menjawab stressor masa lalu & nampak tidak cukup kuat;menunggu mood, konsentrasi normal dulu (dpt dg obat) didorong tuk mendiskusikan & merefleksikan masalah,menemukan bgmn ia berkembang, diasuh : asosiasi bebas (pikiran/fantasi) terapis merefleksikan & mengklarifikasi pikiran/perasaan yg berhubungan dg masalah agar menjadi fokus perhatian interpretasi difokuskan pd tema yg berhub dg asosiasi bebas, mimpi, simptom klinis, hubungan saat ini & sejarah anak-anak behavior A. asesmen structured clinical interview for dsm-iv axis i disorder (scid) hamilton anxiety rating scale 23 hamilton depression rating scale beck depression inventory attributional style questionnaire (menilai pandangan thd penyebab kejadian positif /negatif) dysfunctional attitude scale (mengukur perfectionis/penilaian sosial) dyadic adjusment scale (kepuasan perkawinan B. hipotesis penyebab/dinamika generalized anxiety disorder (cemas dlm sgl hal, sulit konsentrasi, pelupa, ttidak dpt hidup) major depressive disoder (kehilangan kesenangan, ide bunuh diri, insomnia dll) kebutuhan penilaian krn kurang penerimaan baik keluarga & teman sebaya : jarang menerima feedback sosial yg positif ortu bukan model yg baik tuk ekspresi afeksi & penilaian fungsi sosial rendah:kesulitan komunikasi, tidak dekat dg seorangpun, kesepian, mencari penilaian dr orang lain penilaian sosial & sexual : affair menekankan tanda-tanda kegagalan, belief yg tdk adekuat C. rencana tritmen menggunakan cognitive behavior therapy(cbt) cognitif: situasi sosial kerja dg pikiran negatif, skema utama orang yg tdk mampu behavior: kemampuan komunikasi rendah, kurang pernyataan positif, kurang keterampilan social cbt : perubahan emosi dicapai tdk langsung dr perubahan kognitif, perubahan biologi (relaksasi) & perilaku relaksasi (mengurangi stres/insomnia) perubahan kognitif : belajar bicara gd diri (merasa tdk mampu) monitor perasaan (baik/buruk) mencatat situasi mencatat pikiran yg muncul misal standar tinggi perasaan negative monitor : situation-thoughts-feeling-alternative thoughts-new feeling) mengembangkan pemahaman pikiran negatif menyebabkan keyakinan utama/skema dr ketidakmampuan & penolakan sosial : prosedur menantang kognitif/hypotesis testing behavior : keterampilan pengakuan positif (bgmn memuji & menerima kritik), keterampilan komunikasi 24