PENDEKATAN DALAM PSIKOLOGI KLINIS

advertisement
PENDEKATAN DALAM PSIKOLOGI KLINIS
(APPROACHES TO CLINICAL PSYCHOLOGY)
 Bidang psikologi klinis dapat dipahami secara lengkap atau sempurna ketika
diuji dari beberapa perspektif yang berbeda, masing-masing menekankan
aspeknya atas yang lainnya.
 Masing-masing pendekatan mencoba untuk menerangkan/menjelaskan
bagaiman perilaku berkembang/terjadi dan bagaimana perilaku menjadi
bermasalah dan masing-masing pendekatan mempengaruhi kegiatan-kegiatan
asesmen, tritmen dan riset.
 Misal, terdapat pendekatan yang melihat perilaku disebabkan/ditinjau dari apa
yang manusia makan.
 Klinisi yang mengambil pendekatan ini akan membuat prediksi tentang
bagaimana diet mempengaruhi perkembangan manusia.
 Klinisi juga dapat menghasilkan hipotesa tentang bagaimana diet
berhubungan dengan gangguan mental.
 Klinisi juga dapat mengembangkan prosedur pengukuran yang spesifik
untuk melihat pola makan klien dan untuk melihat komponen nutrisi dari
makanan yang ia makan. Tritmennya mungkin memfokuskan pada
perubahan kabiasaan makan klien.
 Risetnya juga mungkin mengevaluasi prosedur pengukuran dan perubahan
makanan yang masuk ke badan dan mungkin juga melihat hubungan kausal
antara diet dan gangguan.
 Meskipun diet penting dalam berbagai aspek kehidupan, tetapi pemikiran dan
aktivitas kebanyakan klinisi sekarang dipengaruhi berbagai kombinasi
pendekatan psikodinamika (psychodynamic), perilakuan (behavioral),
fenomenologi, interpersonal.
PRO DAN KONTRA PENGAMBILAN PENDEKATAN TERTENTU
 Berbagai pendekatan dalam psikologi klinis membantu klinisi menerangkan
suatu perilaku, menuntun dalam pembuatan keputusan atau intervensi dan
untuk berkomunikasi dengan sesama kolega dengan menggunakan bahasa
yang sama.
 Misal, perilaku manusia dapat diuji pada beberapa level, dari interaksi antar
sel otak sampai interaksi antar manusia bahkan interaksi antar bangsa atau
kebudayaan. Klinisi harus memutuskan aspek-aspek perilaku mana yang perlu
mendapat perhatian, data asesmen mana yang sekiranya bermanfaat atau yang
dapat memberikan informasi, teknik tritmen mana yang sekiranya
pantas/cocok digunakan dan riset yang seperti apa yang dapat memberikan
manfaat.
Pendekatan
yang
diambil/digunakan
klinisi
akan
mengarahkan/menuntun keputusan-keputusan hal di atas, oleh karena itu
membantu agar lebih terarah.
 Masing-masing pendekatan akan cenderung diikuti oleh pendukungnya baik
dari yang sekedar simpati sampai yang fanatik. Namun, kegunaan pendekatan
ini akan dikaji berdasarkan dimensi tertentu bukan berdasarkan banyaknya
pendukung atau banyaknya orang yang tertarik pada pendekatan tersebut.
1
 Dalam istilah ilmiah, pendekatan yang paling baik adalah pendekatan yang
memiliki implikasi dan hipotesis dapat diuji dengan berbagai cara.
 Agar memberikan nilai/manfaat yang besar bagi psikolog klinis, suatu
pendekatan sebaiknya mampu memberikan penjelasan secara lengkap dan
dapat diuji mengenai perkembangan, pemeliharaan dan perubahan pada
perilaku yang bermasalah maupun yang tidak bermasalah.
 Pendekatan yang dapat memenuhi persyaratan tersebut terbuka terhadap
pengujian/evaluasi secara eksperimental dan pendekatan tersebut akan
bertahan atau gugur/jatuh karena data yang lengkap.
 Secara ironis, pendekatan tertentu dapat bertindak tidak hanya sebagai
pedoman atau panduan, tetapi juga dapat menjerumuskan.
 Misal, beberapa klinisi memilih pendekatan yang dirasa cocok sehingga
mengarahkan pemikiran/penjelasan tentang perilaku bermasalah dan yang
tidak bermasalah sehingga mereka menjadi rigit/kaku dan tertutup terhadap
ide dari pendekatan lain yang mungkin saja bermanfaat.
 Secara singkat, pandangan mereka menjadi tidak terarrah, tetapi menjadi
kolot, tidak mungkin melakukan evaluasi secara objektif dan pada akhirnya
juga tidak bersedia untuk berubah khususnya dalam praktek profesionalnya.
 Klinisi menjadi sangat tergantung pada pendekatan tertentu yang dapat
berlanjut untuk selalu melakukan/berpegang terlalu kaku/ ketat terhadap
prinsip-prinsip pendekatan tersebut bahkan meskipun terdapat bukti empiris
yang mendukung adanya perubahan.
 Dengan kata lain, pengambilan/pemilihan pendekatan tertentu secara spesifik
dapat menguntungkan tetapi dapat juga merugikan..
 Masalah yang berkaitan dengan pengambilan/pemilihan pendekatan tertentu
dalam psikologi klinis dapat dikurangi dengan (1) menghindari kefanatikan
yang dapat mengembangkan kekakuan dalam memegang konsep, perilaku
tidak fleksibel dan penggunaan semantic yang sempit
(2) mengevaluasi pendekatan mendasarkan metode ilmiah dan melakukan
revisi terhadap pendekatan apabila memang data menunjukkan perlunya
perbaikan.
 Hal ini bukan berarti bahwa penggunaan pendekatan tertentu secara sistematik
adalah tidak penting. Namun, pemahaman dan apresiasi terhadap pendekatan
lain dapat mengurangi pemikiran yang berpusat hanya pada satu pendekatan.
 Penulis berharap bahwa materi dalam bab ini akan membantu pembaca untuk
tetap mempunyai pemikiran yang terbuka.
PENDEKATAN PSIKODINAMIKA
Model psikodinamika berakar dari tulisan Sigmund Freud tetapi model ini meluas
mencakup/meliputi ide-ide yang telah direvisi maupun konsep-konsep yang
ditentang. Model ini didasarkan pada asumsi di bawah ini:
1. Perilaku manusia ditentukan oleh impuls, keinginan, motif, konflik yang
semua dikenal/disebut dengan istilah intrapsikis (ada dalam pikiran) dan
sering di luar kesadaran
2
2. Faktor-faktor intrapsikis penyebab perilaku normal atau tidak normal.
Maka, kecemasan yang melumpuhkan dapat diatribusikan/disebabkan oleh
konflik yang tidak terpecahkan/tidak terselesaikan atau kebutuhan yang
tidak terpenuhi
3. Fondasi/dasar perilaku diletakkan pada masa kanak-kanak melalui
pemuasan atau tidak terpuasnya/tidak terpenuhi kebutuhan-kebutuhan dan
impuls-impuls. Karena peran sentral dari kebutuhan tersebut maka
hubungan awal dengan keluarga, teman sebaya, dan figure otoriter
mendapat perhatian khusus
4. Asesmen klinis, tritmen dan riset sebaiknya menekankan aktivitas
intrapsikis, meskipun sering tidak dapat dilihat dari observasi langsung
tetapi harus ditemukan jika perilaku ingin dipahami atau perilaku ingin
dihilangkan.
Freudian Psychoanalysis
Teori psikodinamika dari Freud dikenal sebagai psikoanalisa
 psychic determinism yakni perilaku dapat disebabkan oleh factor-faktor
psikologis yang tidak dapat dilihat oleh orang lain maupun diri sendiri.
 Dari perspektif ini, hampir perilaku dilihat sebagai sesuatu yang berarti
karena memberikan petunjuk adanya konflik-konflik dan motivasi yang
tersembunyi/tidak dapat dilihat.
 Misal, kata beast dapat dibaca breast , lupa pada nama-nama tertentu atau
menghilangkan buku yang dipinjam semua itu dapat diinterpretasi sebagai
ekspresi perasaan dan impuls yang tidak nampak dalam kesadaran.
 Freud menyebutnya sebagai unconscious merupakan bagian fungsi mental
yang berada di luar kesadaran dan tidak siap untuk menerimanya.
 Dalil dasar Freud yang lain adalah perilaku manusia berasal dari perjuangan
antara keinginan individu untuk memuaskan isnting seksual dan agresif dan
kebutuhan untuk menghormati/mentaati aturan dan realitas yang ada di dunia luar.
 Ia melihat masing-masing individu menghadapi pencarian yang
panjang/lama untuk mendapatkan cara mengekspresikan insting tanpa
mendapatkan hukuman atau konsekuensi negatif lainnya.
 Menurut Freud, pikiran manusia merupakan arena dimana apa yang ingin
ia lakukan (insting) harus disesuaikan dengan apa yang dapat atau sebaiknya
dilakukan (alasan dan moralitas). Missal, seorang ibu mengatakan kepada
anaknya yang berumur 7 tahun untuk berhenti main video jika ia kemudian
makan enam roti dan memuntahkannya pada ibunya, seorang psikoanalisa
melihat perilaku anak tersebut sebagai ekspresi impuls agresif yang
disembunyikan dengan cukup baik untuk menghindari hukuman.
 Struktur mental (mental structure). Dalam system yang dikemukakan
Freud, insting yang tidak disadari merupakan id yakni ada saat lahir dan
berisi semua energi psikis (atau libido) tersedia untuk memotivasi perilaku.
 Id berusaha memuaskan keinginannya tanpa penundaan, oleh kerena itu,
dikatakan bekerja berdasarkan prinsip-prinsip kesenangan (missal, jika
mengenakkan maka lakukan) karena anak\bayi tumbuh dan dunia luar
memberikan batasan-batasan terhadap pemuasan id maka ego mulai
3
mengatur, sebagai hasil perkembangan dari id sekitar umur 1 tahun dan
mulai menemukan cara yang aman untuk mengekspresikan insting.
 Saat ego umur 7 tahun, sebagai contoh, akan membalas dendam (marah)
kepada ibunya maka ego yang mengatur/mengendalikan perilaku. Karena ego
menyesuaikan dengan tuntutan ekternal, maka ego dapat dikatakan
berprinsip/beroperasi
berdasarkan
reality
principle
(prinsip
realitas)(misal:”jika kamu ingin melakukannya, setidaknya lakukan dengan
diam-diam).
 Agen mental ke 3 yaitu super ego merupakan hasil dari sosialisasi
pengaruh realitas. Hal ini berisi semua hal yang diajarkan keluarga dan
budaya mengenai etika, moral dan nilai, dan menurut Freud, apa yang
diajarkan ini diinternalisasikan menjadi “ego ideal” atau bagaimana
sebaiknya/semestinya seseorang itu.
 Superego juga berisi kesadaran (consience), yang mencari untuk menuju
pada kesempurnaan, kepatuhan, perilaku yang diterima secara social dan
biasanya berlawanan dengan id.
 Mechanisms of defense (mekanisme pertahanan diri/ego). Struktur mental
yang ketiga adalah keterkaitannya dalam kecemasan yang menyebabkan
konflik internal.
 Ego mencoba menjaga konflik ini dan ketidaknyamanannya apabila
sampai mencapai kesadaran dengan memainkan berbagai mekanisme
pertahanan, biasanya bekerja pada tingkat ketidaksadaran.
 Salah satu yang paling umum adalah represi, yaitu ego berusaha
mempertahankan pikiran atau perasaan yang tidak dapat diterima keluar dari
kesadaran.
 Represi disebut juga dengan terdorong untuk melupakan (motivated
forgetting). Sebagai contoh, seorang individu yang memiliki kebencian
terhadap orang tua dialami secara tidak sadar bisa menekan rasa benci
tersebut (ketika seseorang menyadari impuls/dorongan tersebut dan secara
sadar menolak keberadaan rasa benci tersebut, maka proses tersebut disebut
supresi)
 Meskipun selalu berusaha menekan/represi, dorongan yang tidak
diinginkan, ibarat balon yang dimasukkan dalam air yang sewaktu-waktu
akan muncul ke permukaan.
 Untuk melindungi hal ini, ego memainkan tambahan pertahanan yang
tidak disadari. Misal dengan reaksi formasi (reaction formation), yaitu
seseorang berpikir dan bertindak berlawanan dengan impuls yang tidak
disadarinya. Maka seseroang yang membenci ayahnya dapat
mengekspresikan perasaan cinta yang sangat dan jug sangat perhatian.
 Tapi jika mekanisme pertahanan yang digunakan adalah proyeksi maka si
anak mengatribusikan/mencari penyebab perasaan negatif (benci) tersebut
kepada orang lain.
 Mekanisme pertahanan yang disebut displacement memungkinkan
mengekspresikan beberapa impuls id, tetapi ditujukan pada sesuatu yang
lebih aman, misal teman kerja atau orang lain yang menjadi ganti figure ayah.
4
Maka anak tersebut bisa mengkritik/berlaku kasar pada orang yang dianggap
sebagai pengganti figure ayah.
 Meskipun pertahanan diri ini dapat dilakukan/berhasil, setidaknya untuk
sementara, tetapi mekanisme pertahanan ini memboroskan/membuang
banyak energi psikis dan dibawah tekanan akan mendorong seseorang yang
bermasalah akan mengalami kemunduran atau regresi, pada tingkat
karakteristik perilaku sebelumnya, atau tahap perkembangan yang kurang
matang.
 Kedalaman regresi dalam kasus tertentu sebagai fungsi dari sejarah
perkembangan psikoseksual individu.
 Development Stage (Tahap Perkembangan).
 Freud menyatakan bahwa anak-anak melalui/melewati beberapa tahap
perkembangan psikoseksual, nama dikaitkan dengan bagian tubuh yang
dihubungkan dengan bagian tubuh yang dihubungkan dengan kesenangan
sesuai tahap tersebut.
 Tahun pertama atau sering disebut sebagai tahap oral karena makan,
menghisap, menggigit dan aktivitas oral lainnya merupakan sumber utama
kesenangan.
 Jika penyapihan tertunda/terlalu lama atau terlalu dini, kebutuhan oral
yang terhalangi atau terlalu berlebihan, maka anak akan gagal melalui
tahap oral tanpa terpakuatau menjadi fiksasi pada tahap tersebut, sehingga
perilakunya akan terkait dengan tahap tersebut.
 Orang dewasa yang perilakunya tergantung pada pola perilaku oral seperti
merokok, terlalu banyak makan berarti ia mengalami fiksasi pada tahap
oral.
 Freud mengemukakan bahwa semakin kuat fiksasi individu pada tahap
psikoseksual tertentu, perilaku yang khas pada tahap tersebut ditunjukkan
dikemudian hari dan kemungkinan akan mengalami regresi pada tahap
tersebut ketika mengalami tekakan/berada dibawah tekanan.
 Seseorang yang menjadi sangat tergantung atau tertekan (depresi) ketika
kebutuhan untuk tergantung tidak terpenuhi maka berarti orang tersebut
mengalami regresi pada tahap oral.
 Tahun ke-2 sering disebut dengan tahap anal, karena Freud melihat anus
dan
rangsangan/stimuli yang dikaitkan dengan membersihkan dan
menahan tinja/kotoran sebagai sumber penting dari kesenangan pada tahap
ini.
 Ciri yang paling penting pada tahap ini adalah toilet training, dimana ada
pertentangan kemauan antara orang tua dan anak.
 Fiksasi anal diperkirakan berasal dari cara pelatihan ini/toilet training ini
baik terlalu ketat ataupun terlalu permisif/bebas.
 Orang dewasa yang kikir, keras kepala, sangat menekankan keteraturan dan
juga terlalu menekankan pada kebersihan, atau orang yang tidak rapi, tidak
teratur dan sangat pemurah hati berarti mengalami fiksasi pada tahap ini.
 Anak masuk pada tahap phallic kira-kira pada umur 3 atau 4 tahun, akrena
genital menjadi sumber utama kesenangan.
5
 Freud mengemukakan bahwa selama tahap phallic, anak mulai memiliki
keinginan seksual atas ibunya dan ingin melakukan kompetesi/persaingan
dengan ayahnya. Situasi ini dikenal dengan Oedipal . Konflik oedipal
secara normal diubah dengan menekan keinginan seksual terhadap ibunya,
dengan mengidentifikasi dengan ayah dan nantinya pada akhirnya
menemukan pasangan seksual wanita.
 Meskipun Freud menekankan perkembangan psikoseksual laki-laki, ia
membicarakan kompleks Oedipus, dimana seorang anak perempuan
menderita penis envy dan perasaan rendah diri karena ia percaya ia telah
“dikebiri” karena mencintai/menginginkan ayahnya. Anak perempuan
mengubah perasaan ini dengan mengganti keinginan punya anak dengan
keinginan memiliki penis sehingga kemudian melakukan identifikasi
terhadap ibunya.
 Freud percaya bahwa pemecahan konflik yang baik pada tahap ini
merupakan sesuatu yang penting bagi perkembangan psikologis yang sehat
dan bahwa fiksasi pada tahap ini akan mempengaruhi perilaku
interpersonal pada waktu dewasa yaitu perilaku memberontak, agresi dan
penyimpangan perilaku seksual antara lain homoseksual, exhibitionism,
fetishism.
 Freud mempercayai bahwa periode/tahap latency merupakan tahap setelah
phallic. Selama latency, dorongan id berkurang/menyusut dan prinsip
realitas menjadi kekuatan yang lebih kuat dalam kehidupan anak-anak,
setelah anak memfokuskan pada perkembangan social dan keterampilan
akademik.
 Tahap latency diperluas sampa masa remaja, ketika kemasakan fisik
individu mengantarkan ke tahap genital. Akhir tahap ini yaitu sepanjang
masa dewasa, kesenangan kembali berfokus pada daerah genital, tetapi
ketika semua tahap sebelumnya berjalan dengan baik, minat seksual tidak
hanya diarahkan pada karakteristik kepuasan diri pada tahap phallic, tetapi
diarahkan pada hubungan yang stabil, hubungan dalam jangka panjang
dimana kebutuhan-kebutuhan orang lain menjadi pertimbangan.
Pendekatan psikodinamika yang lain
Beberapa pengikut Freud menciptakan variasi pada pendekatan psikodinamika.
Variasi ini distimulasi oleh beberapa factor antara lain
(1) ketidakpuasan pada peran sentral yang diberikan Freud pada insting
ketidaksaran dalam motivasi/menjadi motivasi,
(2) meningkatnya pemahaman pengaruh variabel social dan budaya pada perilaku
manusia,
(3) pemahaman peran aspek kesdaran dalam kepribadian, (4) keyakinan bahwa
perkembangan tidak berhenti hanya pada masa kanak-kanak.
Sebagai contoh, beberapa melihat ego sebagai sesuatu yang positif, kreatif,
mekanisme coping tidak hanya sebagai “wasit” pada konflik intrapsikis.
Dalam versi ini, ego dilihat mempunyai energi independen dan potensi
berkembang tidak hanya terkait sebagai fungsi defensif dari ketidaksadaran.
6
Revisi lain yang juga penting dilakukan oleh Erik H. Erikson, seorang psikolog
Amerika yang menekankan factor social dalam perkembangan manusia.
Erikson mengemukakan 8 tahap psikososial yang beorientasi social dari seseorang
daripada aktivitas intrapsikis.
Sebagaimana ditunjukkan dalam tabel, terdapat krisis social pada masing-masing
tahap yaitu satu sisi yang berhasil dikuasai dan sisi kiri yang tidak berhasil
dikuasai.
7
Tahap
Umur
Berhasil
menguasai
menuntun pada:
Pengharapan
(hope)
Tidak
berhasil
menguasai menuntun
pada:
Ketakutan (fear)
1-3 th
Kemauan
(willpower)
Keragu-raguan (self
doubt)
4-5 th
Tujuan
(purpose)
Tidak
berguna
(unworthiness)
6-11 th
Kompetensi
(competency)
Tidak
mampu
(Incompetency)
1. Kepercayaan dasar
lawan
ketidakpercayaan
dasar (trust versus
mistrust )
[oral]
2. Otonomi
lawan
perasaan malu dan
ragu-ragu (Autonomy
versus shame &
doubt)
[anal]
3. Inisiatif lawan rasa
bersalah
(Initiative
versus guilt)
[phallic]
4. Kerajinan
lawan
inferioritas (Industry
versus inferiority)
[latency]
5. Identitas
lawan
kekacauan identitas
(Ego identity versus
role confusion)
Lahir-1 th
12-20 th
Kesetiaan
(fidelity)
Ketidaktentuan/Tidak
pasti (uncertainty)
6. Keintiman
lawan
isolasi
(Intimacy
versus isolation)
7. Generativitas lawan
stagnasi (Generativity
versus stagnation)
8. Intergritas
lawan
keputusasaan
(Ego
integrity
versus
despair)
20-24 th
Cinta (love)
Promiscuity
25-65 th
Pemeliharaan
(care)
Selfishness
65 sampai Kebijaksanaan
meninggal (wisdom)
8
Meaninglessness
despair
&
Alfred Adler,
seorang pengikut Freud yang mengembangkan cabang psikoanalisis yang lebih
dikenal dengan nama psikologi individual (individual psychology), yaitu
menganggap bahwa factor psikologis yang paling penting dalam perkembangan
manusia dan perilaku manusia adalah inferioritas (inferiority), bulan insting.
Adler juga menekankan keluarga sebagai keseluruhan tidak hanya pada situasi
oedipal.
Ia juga mengajukan suatu teori tentang efek tahapan kelahiran terhadap
kepribadian yang sampai sekarang masih diperdebatkan.
Catatan, bahawa setiap orang memulai kehidupan dengan posisi ketidakberdayaan
dan inferioritas.
Adler mengemukakan bahwa perilaku dikemudian harinya/setelahnya merupakan
bentuk kompensasi “striving for superiority (berjuang untuk superioritas)” yaitu
pertama berjuang dalam keluarga dan kemudian dalam dunia social yang lebih
luas.
Cara tertentu dari individu mencari superioritas tersusun menjadi suatu gaya hidup
(style of life).
Gaya hidup yang adaptif dikarakteristikan/dicirikan dengan adanya kerja sama
(cooperation), minat social, dorongan dan akal sehat/pikiran sehat.
Gaya hidup yang maladaptive dicirikan dengan kompetitif yang ekstrim atau
tergantung/dependen, kurang perhatian terhadap orang lain dan distorsi tentang
realitas.
Adler percaya bahwa gaya hidup yang maladaptive perilaku yang bermasalah
disebabkan oleh kesalahan konsepsi individu tentang dunia.
Maka jika anak kecil menemukan bahwa ia dapat mengontrol orang lain (dan
kemudian mencapai perasaan superioritas) dengan meminta bantuan dalam segala
hal dari berpakaian sampai makan, ia kemungkinan akan mengembangkan
kesalahan konsepsi bahwa ia adalah “seseorang yang spesial” ia tidak dapat
menghadapi dunia dengan kemampuannya.
Seseorang yang memiliki gaya hidup yang berkembang dari kesalahan ide seperti
itu akan menjadi orang yang selalu ketakutan, sakit atau catat dengan cara
menuntut perhatian yang spesial/khusus dan perhatian dari orang lain.
Revisi dan reformulasi/perumusan kembali ide-ide Freud juga datang dari Carl
Jung, Karen horney, erich Fromm dan Harry Stack Sullivan yang juga
menyumbangkan terhadap pendekatan psikodinamika ke psikologi klinis.
Evaluasi terhadap model psikodinamika Freud
Sigmund Freud memberikan/menghadirkan teori perilaku yang paling
komprehensif dan revolusioner.
Ia memperkenalkan konsep yang menangkap imajinasi psikiatri, psikologi,
profesial lainnya, tidak mengacu literature, religi, sosialogi dan antroplogi.
Penelitian yang insentif terhadap individu, bertatap muka untuk asesmen atau
tritmen, memandang bahwa perilaku yang nampak secara sistematis berhubungan
dengan sebab-sebab psikologis yang dapat dikenali, kemungkinan bahwa perilaku
individu dipengaruhi oleh factor-faktor yang tidak disadari, efek dari pengalaman
masa kanak-kanak terhdap perilaku dewasa, symbol-simbol yang berarti/penting
9
dari perilaku yang tidak nampak, pentingnya konflik dan kecemasan dan factor
lain yang ditekankan oleh banyak klinisian secara langsung dipenagruhi oleh
Freud
Namun demikian, pendekatan Freud juga mendapatkan banyak kritikan
antara lain:
1. Konsep dasar psikodinamika semisal proyeksi, motif yang tidak disadari dan
represi dilihat terlalu membingungkan/tidak jelas untuk diukur dan dites
secara ilmiah. Kritik lain bahwa psikoanalisa tidak dipengaruhi oleh data yang
kontradiktori. Misal perilaku bermusuhan merupakan bukti dari perasaan
permusuhan yang tidak disadari, tetapi perilaku ini dapat menjadi terlalu
baik/ramah kalau dilihat sebagai reaksi dari formasi reaksi (reaction
formation)
2. Pendekatan Freud tidak disusun/dikembangkan dari riset yang sistematis tetapi
adri pengalamannya sebagai klinisi dengan sejumlah kecil pasien kelas atas
yang tinggal di Vienna diakhir tahun 1800an. Pertanyaan yang muncul apakah
laporan/hasil kasus tersebut dapat bias dan seberapa cocok ide/teori Freud
tersebut apabila diaplikasikan/diterapkan pada orang-orang dari social
ekonomi dan latar belakang budaya yang berbeda. Pandangan Freud yang bias
tentang wanita juga menyebabkan banyak laki-laki dan perempuan yang
mendukung pandangan feminis menolak teori perkembangan Freud.
3. Teknik validitas dan reliabilitas yang dirancang untuk mengukur konstruk
kepribadian dari Freud nampak lemah dan efektivitas tritmen psikoanalisa
dipertanyakan.
4. Penjelasan psikoanalitik tentang perilaku terlalu banyak menekankan pada
insting seksual dan agresif dan tidak cukup penjelasan mengenai potensi
berkembang dari manusia, pengalaman belajar dan latar belakang
sosialkultural.
5. Penekanan Freud pada masa kanak-kanak sebagai penyebab perilaku dewasa
menolak peran pengaruh situasional terhadap perilaku. Aspek psikoanalisa
klasik menuntun pengikut neo-Freudian untuk menekankan pentingnya factorfaktor sepanjang rentang kehidupan.
PENDEKATAN PERILAKU (BEHAVIORAL APPROACH)
pendekatan perilaku (behavioral) memfokuskan secara langsung pada perilaku
dan hubungannya dengan lingkungan serta kondisi pribadi (personal) yang
mempengaruhinya.
Asumsi dasar dari pendekatan ini adalah bahwa perilaku pada dasarnya
dipengaruhi oleh belajar yang terjadi/berlangsung dalam konteks social (social
context).
Klinisi yang memilih pendekatan behavioral cenderung melihat perbedaan
individu dalam bertingkah laku dikarenakan sejarah belajar yang unik yang
dimiliki masing-masing orang, bukan pada sifat, karakteristik kepribadiannya atau
“sakit mental (mental illness).”
10
Maka seorang murid yang beruntung/diuntungkan karena tindakan menyonteknya
yang dilakukan pada masa lalu/lampau maka kemungkinan perilaku menyonteks
tersebut akan diulangi lagi saat dia naik kelas berikutnya.
Sementara itu, individu yang pada masa lalunya mendapat penghargaan (reward)
atas usaha belajarnya yang rajin/karena rajin belajar maka akan lebih kecil
kemungkinannya untuk berperilaku tidak jujur (missal menyontek).
Factor-faktor budaya secara umum dilihat sebagai bagian sejarah belajar yang
dimiliki orang. Penerimaan atas kegagalan/ketidaklulusan pada ujian penentuan,
pada beberapa nilai cultural/budaya tertentu yang dimiliki siswa dapat
menyebabkan rasa malu yang sangat sehingga dapat mendorong usaha bunuh diri,
untuk yang lain, (misal dalam kebudayaan tradisional) kagagalan/ketidaklulusan
dapat menimbulkan keinginan balas dendam.
Pendekatan behavioral melihat kesamaan manusia sebagai hasil dari komunalitas
(kepemilikan bersama) terhadap aturan, nilai dan sejarah belajar yang dimiliki
secara bersama dalam kebudayaan yang sama sehingga perhatian mahasiswa
selama kuliah tidak dilihat sebagai menifestasi kolektif dari proses intrapsikis
tetapi lebih karena pemenuhan kelompok terhadap peran mahasiswa untuk belajar
sosial, yang nampak dalam situasi akademik pada waktu tertentu.
Prinsip belajar yang sama untuk menjelaskan perbedaan dan kesamaan perilaku
diantara individu digunakan juga untuk menjelaskan konsistensi dan diskrepansi
diantara individual.
Orang-orang behavioral memandang konsistensi tingkahlaku (pendekatan lain
menyebutnya sebagai “kepribadian”) berasal dari belajar yang digeneralisasikan,
kemampuan kognitif yang stabil dan atau kesamaan situasi stimulus.
Sebagai contoh, seorang nampak tenang dalam menghadapi kebanyakan situasi
jika ketenangan tersebut mendapat penghargaan (reward) selama bertahun-tahun
dan
dalam
berbagai
situasi.
Pendekatan
behavioral
menjelaskan
ketidakkonsistenan dan phenomena lain yang tidak diprediksi dengan istilah
behavioral specificity.
Tiga versi utama dari pendekatan behavioral yaitu operant learning, respondent
learning dan kognitif behaviorisme, mempunyai perbedaan dalam beberapa hal
tetapi mempunyai asumsi umum sebagai berikut:
1. Tingkah laku yang dapat diukur merupakan materi/bahan pokok dalam
psikologi klinis. Dapat diukur bukan berarti harus “tampak (overt)”. Klinisi
yang beorientasi behavioral tertarik./berminat dari perilaku yang objektif dan
jelas (misal jumlah waktu yang digunakan untuk percakapan) sampai perilaku
yang tampak (covert) missal kejelasan visualisasi, isi pikiran. Hampir semua
perilaku dapat dijadikan sasaran sepanjang perilaku tersebut dapat diukur
secara reliable.
2. Walaupun faktor genetik dan biologis memberikan pondasi bagi
perkembangan perilaku, faktor lingkungan sangat berpengaruh. Maka
diasumsikan bahwa gen pembawa sifat (genes) mempengaruhi kecenderungan
perilaku umum dimana pengalaman belajar kemudian membentuk pola yang
lebih spesifik.
3. Metode riset empiris adalah cara yang paling baik untuk belajar mengenai
asesmen, perkembangan dan modifikasi perilaku. Pendekatan behavioral bagi
11
psikologi klinis telah menuntun pada cara pengoperasionalan dan
penyelidikan/penelitian psikopatologi dan psikoterapi secara eksperimen.
4. Asesmen klinis dan tritmen sebaiknya didasarkan dari hasil riset empiris.
Pendekatan behavioral mendorong praktisioner meneliti/memeriksa dengan
cermat bukti-bukti empiris tentang prosedur asesmen atau tritmen sebelum
memutuskan untuk mengadopsinya dan untuk menggunakanya yakni dengan
memperhatikan bukti-bukti empiris yang ada.
5. Prinsip belajar yang sama menentukan baik perilaku bermasalah maupun yang
tidak bermasalah. Oleh karena itu, asesmen klinis sebaiknya dirancang untuk
menentukan bagaimana permasalahan klien saat ini telah dipelajari dan
bagaimana perilaku tersebut dipertahankan agar lebih adaptif, belajar dapat
direncanakan/didesign secara individual disesuaikan dengan kondisi individu.
Misal, ketika menangani anak TK yang takut ke sekolah, tritmen yang
dilakukan oleh klinisi yang berorientasi behavior tidak mendasarkan pada
“prosedur standar” untuk menangani anak yang didiagnosis phobia, tetapi
tergantung/mendasarkan pada asesment yang sekiranya menjadi penyebab
problem/perilaku bermasalah tersebut. Dengan kata lain, asesmen dan tritmen
sebaiknya diintergrasikan.
Terdapat 3 versi dalam pendekatan behavioral yaitu operant conditioning,
classical conditioning atau social/cognitive
Operant Learning
Versi operant dari pendekatan behavioral merefleksikan ide dari Skinner.
Skinner mengemukakan bahwa belajar merupakan hubungan antara stimuli
lingkungan dan perilaku yang nampak (overt) yaitu khususnya hubungan antara
perilaku dan anteseden (penyebab) dan konsekuensinya (akibat) yang secara
lengkap dapat menjelaskan perkembangan, pemeliharaan dan perubahan perilaku.
Metode Skinner disebut functional analysis karena memfokuskan pada
penggambaran dan penjelasan hubungan fungsional antara stimuli, respon dan
akibatnya.
klinisi yang beorientasi Skinner akan menjelaskan hubungan antara perilaku
agresif dan akibatnya. Jika perilaku agresif klien diberi reward/hadiah maka tidak
perlu dijelaskan berdasarkan kondisi internal (karena ada kebutuhan untuk
dominan) tetapi lebih dijelaskan bahwa klien telah mempelajari perilaku agresif.
Classical Conditioning
Versi yang lain dari pendekatan behavioral ditunjukkan oleh tulisan Joseph Wolpe
(1958, 1982) dan Hans Eysenk (1982).
Mereka memfokuskan pada aplikasi prinsip-prinsip kondisioning classical atau
respondent untuk memahami dan mengurangi penderitaan manusia, khususnya
tentang kecemasan.
Dengan tidak menolak pentingnya reinforcement dan punishment dalam
pembentukan perilaku, behavioris yang menekankan kondisioning classical
menekankan hubungan stimuli yang dikondisikan dan yang tidak dikondisikan.
Sebagai contoh, seorang laki-laki yang sangat takut sehingga menghindari situasi
social, hal ini terjadi tidak hanya karena penghinaan saja atau pengalaman negatif
12
lainnya (operant conditioning) tetapi juga karena ketidaknyamannya dari
pengalaman-pengalaman yang telah diperolehnya, atau melalui classical
conditioning yaitu hal tersebut dikaitkan/dihubungkan dengan pesta yang mana ia
pernah mengalami kecemasan saat menerima undangan pesta tersebut.
Social Learning (Cognitive-behavioral) Theories
Pandangan Skinner, Wolpe, Eysenck dan yang lainnya hanya memfokuskan pada
perilaku yang nampak sebagai target dari asesmen klinis dan tritmen, tetapi
beberapa behavioris melihat pandangan ini tidak lengkap.
Sehingga, teori kognitif dan belajar social (social learning and cognitive
behavioral ) telah menambahkan penekanan pada peran proses kognitif (misal
pikiran) dalam perkembangan, pemeliharaan dan perubahan perilaku.
Dua pandangan utama yang mewakili pandangan ini adalah Albert Bandura dan
Walter Mischel yang mempelajari dan menggambarkan bagaimana pengaruh
social dan aktivitas kognitif mempengaruhi belajar.
Ciri-ciri utama dari teori Bandura adalah perhatiannya pada belajar observasional
atau proses kognitif vicarious (observational learning or vicarious cognitive
processs).
Dalam pandangan ini, perilaku berkembang tidak hanya secara langsung melalui
observasi dan gambaran kognitif tentang dunia. Sebagai contoh, Bandura
menyatakan bahwa manusia dapat memperoleh perilaku baru tanpa reinforcement
atau latihan, tetapi dengan cara mengobservasi individu lain atau mengobservasi
model.
Salah satu eksperimen, anak kecil yang telah mengamati/melihat model yang
berperilaku agresif terhadap boneka “Bobo” cenderung meniru perilaku model,
sementara anak-anak yang melihat model yang tidak agresif (diam) cenderung
tidak agresif. Menurut Bandura, efek proses vicarious menjadi sama pentingnya
pada efek belajar langsung.
Bandura juga melihat variable kognitif memainkan peran dalam gangguan
perilaku sebagaimana seorang laki-laki yang telah dicontohkan di atas yang takut
situasi social.
Bandura menjelaskan bahwa ketidaknyaman laki-laki tersebut tidak hanya saja
berasal dari pengalaman social yang negatif dan stimuli lingkungan yang
berhubungan dengannya, tetapi juga dari pikiran tentang situasi social yang
membangkitkan kecemasan (misal “saya akan mempermalukan diri saya sendiri”
atau “tidak ada orang yang saya kenal”) yang mendorong untuk menghindari
situasi tersebut.
Bandura meyakini bahwa orang pasti mempunyai pengharapan/harapan tentang
apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan dalam situasi tertentu yang dikenal
dengan efikasi diri (self efficacy), dan hal ini akan sangat berpengaruh pada
bagaimana seseorang akan berperilaku. Dapat dikatakan bahwa semakin tinggi
efikasi diri maka akan semakin baik performancenya/prestasinya.
Bandura mengemukakan bahwa kehidupan emosional seseorang secara luas
ditentukan oleh kombinasi pengaruh efikasi diri dan penilaian akan hasil.
Sebagai contoh, orang yang rendah efikasi dirinya kemungkinan akan merasa
apatis jika mereka juga percaya bahwa tidak ada yang dapat mengontrol suatu
13
kejadian dalam kehidupan ini, cemas jika tidak dapat/tidak mampu mengontrol
hal-hal yang membahayakan dalam kehidupannya dan depresi jika yakin bahwa
tindakan orang lain (bukan tindakan dirinyalah) yang mempengaruhi sesuatu/hasil
yang diinginkan.
Orang yang memiliki efikasi diri tinggi mungkin menjadi marah jika ia melihat
dunia/lingkungan tidak responsive terhadap usahanya, tetapi akan lebih memiliki
keyakinan diri (self assured) jika ia melihat usahanya membawa hasil yang
baik/memuaskan.
Teori kognitif behavior yang lain memberikan perhatian pada beberapa factor
antara lain bagaimana orang mengevaluasi dan menjelaskan perilakunya dan
bagaimana mereka yakin bahwa kejadian/peristiwa tertentu didunia ini dapat
diatasi.
Faktor-faktor ini sangat bermanfaat dalam menghadapi depresi dan gangguan
kecemasan.
Sebagai contoh, menurut Aaron Beck (1976) bahwa evaluasi kognitif seseorang
atau penilaian (appraisal) terhadap perilakunya mendahuli/menyebabkan dan
mempengaruhi reaksi emosional terhadap kejadian tersebut.
Sehingga
individu
yang
mengevaluasi
secara
terus-menerus
prestasi/performancenya
sebagai
sesuatu
kebetulan
(bukan
karena
kemampuannya) maka akan menilai/menginterpretasikan pujian sebagai sesuatu
yang basa-basi (tidak sungguh-sungguh memuji) sehingga cenderung melihat
dirinya sebagai seorang yang tidak mampu atau tidak berharga dan hal ini akan
memberikan kecenderungan pemikiran yang depresif.
Menurut Beck, pemikiran ini ahkirnya tanpa disadari menjadi otomatis sehingga
mempengaruhi reaksi-reaksi emosi selanjutnya. Tujuan terapi kognitif Beck
adalah menjadikan pemikiran negatif ini disadari sehingga individu dapat menilai
secara logis kemampuan-kemampuan sebagai sesuatu yang pantas.
Penjelasan tentang penyebab suatu kejadian/hal termasuk mencari penjelasan
terhadap perilaku kita yang biasa disebut atribusi juga dapat memberikan
akibat/konsekuensi emosional yang penting.
Atribusi ini cenderung bergerak dalam 3 dimensi yaitu
(1) internality : apakah seseorang melihat penyebab suatu kejadian karena dirinya
sendiri atau karena sesuatu hal di luar dirinya/lingkungan,
(2) stability :apakah seseorang melihat penyebab sebagai sesuatu yang
persisten/menetap atau temporer/sementara
(3) globalness : apakah seseorang melihat penyebab karena spesifik pada situasi
tertentu atau meluas pada semua situasi. Sebagai contoh, menjelaskan
performance/hasil suatu tes karena tes tersebut sulit (external, unstabil & spesifik)
atau karena saya bodoh yang merefleksikan atribusi internal, stabil dan global.
Individu yang membuat atribusi internal, stabl dan global terhadap kegagalan akan
lebih mungkin mengalami depresi.
Teori cognitive-behavioral dari Albert Ellis tidak hanya memfokuskan pada peran
pengharapan, penilaian dan atribusi tetapi juga pada bagaiaman keyakinan
irasional dan keyakinan menyalahkan diri yang terjadi pada waktu lama/jangka
panjang dapat menghasilkan tekanan/distress psikologis.
14
Pemikiran irasional ini antara lain pernyataan “seharusnya/should” misal “setiap
orang semestinya menyukaiku” dan standar yang terlalu tinggi yang tidak realistis
misal saya harus menjadi orang yang sempurna/perfect”.
Pemikiran seperti ini akan menyebabkan seseorang akan merasa gagal dan
kecewa. Terapi rational emotive dari Ellis akan menyerang keyakinan-keyakinan
yang salah sampai klien menyadari bahwa pemikiran tersebut salah.
Para teoritikus kognitif mempelajari kognisi yaitu pikiran-pikiran, harapanharapan, dan sikap-sikap yang menyertai dan mungkin mendasari perilaku
abnormal. Sseorang berfokus pada bagaimana realitas diwarnai oleh harapanharapan dan sikap-sikap individu dan bagaimana tidak akurat atau biasnya
pemrosesan informasi tentang dunia yang kemudian dapat menimbulkan perilaku
abnormal. Para teorikus kogmitif meyakini bahwa interpretasi terhadap peristiwa
dalam kehidupan dan bukan peristiwa itu sendiri yang menentukan keadaan
emosional manusia. Beberapa model kognitif yang paling menonjol dari pola-pola
perilaku abnormal adalah model-model yang dikembangkan oleh psikolog Albert
Ellis dan psikiater Aaron Beck.
Albert Ellis
Seorang teoritikus terkemuka yang meyakini bahwa peristiwa-peristiwa yang
menyulitkan dalam diri mereka tidak menyebabkan kecemasan, depresi atau
gangguan perilaku. Namun keyakinan tidak rasional yang dimilikinya tentang
keyakinan tidak mujurlah yang memicu emosi negatif dan perilaku tidak adaptif.
Misalnya seseorang kehilangan pekerjaan dan menjadi cemas serta sedih
karenanya. Dalam hal ini, tampaknya dipecat menjadi penyebab langsung dari
ketidakbahagiaan seseorang, namun ketidakbahagiaan ini sebenarnya berasal dari
keyakinan orang tersebut mengenai kehilangan itu sendiri.
Ellis menggunakan “pendekatan ABC” untuk menjelaskan penyebab dari
ketidakbahagiaan. Dipecat merupakan peristiwa yang menggerakkan (activating
event/A). Hasil yang maksimal atau konsekuensi (consequence/C) adalah distress
emosional. Namun peristiwa yang menggerakkan (A) dan konsekuensi (C)
dijembatani oleh berbagai keyakinan (belief/B). Beberapa keyakinan ini mungkin
meliputi “pekerjaan itu merupakan hal yang utama dalam hidup saya”, “Betapa
tidak bergunanya saya”, “Keluargaku akan kelaparan”, “saya tidak akan pernah
menemukan pekerjaan lain yang sebaik itu”, “saya tidak dapat melakukan apa pun
dalam hal ini”. Keyakinan-keyakinan yang berlebihan dan tidak rasional tersebut
menyebabkan depresi, mengembangkan ketidakberdayaan dan menganggu dalam
evaluasi tentang apa yang dapat dilakukan. Sebagai contoh, keyakinan “saya tidak
dapat melakukan apa pun dalam hal ini” dan “betapa tidak bergunanya saya”
memicu ketidakberdayaan.
Ellis menekankan bahwa kecemasan terhadap masa depan dan perasaan
kekecewaan sangatlah wajar apabila orang mengalami kehilangan. Namun,
penerimaan keyakinan yang tidak rasional menyebabkan orang untuk
mengkatastrofekan (melebih-lebihkan konsekuensi negatif dari peristiwaperistiwa) kekecewaan mereka, menyebabkan distres yang mendalam dan kondisi
depresi. Dengan mengintenskan respon emosional dan memelihara perasaan tidak
15
berdaya, keyakinan semacam ini menyebabkan menurunnya kemampuan coping.
Contoh-contoh keyakinan yang tidak rasional mencakup “saya harus memiliki
cinta dan dukungan dari hampir semua orang yang penting bagi saya, jika tidak
saya adalah orang yang tidak berharga dan tidak dapat dicintai” dan “saya harus
kompeten pada semua hal yang saya lakukan atau jika tidak saya adalah orang
yang tidak adekuat dan tidak kompeten”
Aaron Beck
Aaron Beck berpendapat bahwa depresi mungkin merupakan hasil dari “kesalahan
kognitif”, seperti menilai diri sendiri sepenuhnya atas dasar kesalahan atau
kegagalan dan menginterpretasi peristiwa dalam cara yang negatif. Beberapa
distorsi kognitif antara lain:
1. Abstraksi selektif (selective abstraction). Orang mungkin secara selektif
mengabstraksi (fokus hanya pada) bagian-bagian dari pengalaman mereka
yang mencerminkan kegagalan mereka dan mengabaikan bukti dari
kompetensi mereka. Misal seorang siswa mungkinsepenuhnya berfokus pada
satu nilai “rendah” yang ia peroleh pada tes matematika dan mengabaikan
nilai-nilai yang lebih baik.
2. Generalisasi yang berlebihan (overgeneralization). Orang memandang masa
depan sebagai tidak ada harapan karena ia dipecat dari pekerjaan
3. Magnification. Orang mengembangkan proporsi atau membesarkan
pentingnya peristiwa-peristiwa yang tidak menguntungkan. Misal mahasiswa
membesar-besarkan sebuah nilai yang jelek dalam suatu mata kuliah dengan
langsung membuat kesimpulan dia akan dikeluarkan dari perguruan tinggi dan
kehidupannya akan hancur.
4. Pemikiran absolut (absolutist thinking). Orang yang selalu berpikir absolut
memandang dunia selalu dalam hitan dan putih, dibandingkan bayangan abuabu. Contoh pemikiran absolut adalah jika mendapat nilai kurang dari A
berarti gagal total.
Evaluasi terhadap Pendekatan Behavioral
Sejak kemunculannya pada akhir 1950an, pendekatan behavioral telah
banyak mendapatkan dukungan dari meningkatnya sejumlah pengikut setia yang
memiliki nilai pandangan ilmiah terhadap perilaku manusia, yaitu mendefinisikan
konsep secara operasional, aplikasi prinsip-prinsip belajar ke problem-problem
klinis didasarkan pada penelitian-penelitian laboratorium dan komitmennya
terhadap evaluasi asesmen dan tritmen secara empiris. Secara singkat, pendekatan
behavioral dilihat sebagai pendekatan terbaik untuk mengaplikasikan psikologi
sebagai ilmu pengetahuan tentang perilaku di bidang klinis. Namun demikian,
ditemukan beberapa kritikan terhadap pendekatan ini, antara lain:
1. Dilihat bagi beberapa orang sebagai mereduksi manusia ke sejumlah respon
yang diperoleh dari hubungan secara mekanis dari lingkungan. Bahkan versi
cognitive-behavioral dibanding pendekatan lain nampak kurang memberi
perhatian pada pengalaman subjektif, genetik, fisiologis dan pengaruhpengaruh perilaku lainnya yang tidak didasarkan pada proses belajar
16
2. Prinsip-prinsip belajar dapat menjelaskan phobia dan hubungan stimulusrespon yang relatif sederhana, tetapi tidak cukup kuat menjelaskan proses
internal yang lebih kompleks. “menyamakan manusia dengan perilaku
binatang, dan memfokuskan hanya pada perilaku yang nampak daripada
kondisi internal (inner state), yang justru meminimalkan nilai-nilai (value),
perasaan, fantasi dan motif yang paling membedakan dan menjadi masalah
dalam kehidupan manusia.
3. Prinsip-prinsip belajar yang menjadi dasar pendekatan behaviorostik masih
menjadi masalah yang diperdebatkan diantara ilmuwan belajar (learning
theorists) dan bahkan jika semua prinsip disetujui maka ada pertanyaan
apakah penelitian di laboratorium dengan menggunakan binatang
memungkinkan diaplikasikan pada manusia.
4. Pendekatan behavioral bukan ilmu pengetahuan yang unik atau sejelas
sebagaimana diharapkan pengikut behavioristik. Banyak prosedur tritmen dan
asesmen lebih didasarkan pada pengalaman klinis daripada penelitianpenelitian eksperimen dan dimana bukti-bukti riset yang tersedia, tidak secara
tegas mendukung tknik-teknik yang mendasarkan prinsip belajar.
PENDEKATAN PHENOMEMOLOGICAL
Pendekatan psikologi klinis yang sudah dibicarakan terdahulu melihat perilaku
manusia dipengaruhi oleh (a) konflik intrapsikis dan insting, atau (b) factor
lingkungan dan kognitif. Pendekatan phenomenological menolak asumsi yang
dikemukakan pendekatan behavioral maupun psikodinamika, dimana pendekatan
ini melihat perilaku masing-masing manusia/individu pada moment tertentu
terutama ditentukan oleh persepsi unik manusia terhadap dunia.
Klinisi dengan pendekatan phenomenological cenderung mengikuti asumsi
sebagai berikut:
1. Manusia adalah aktif, menganggap manusia secara individual mempunyai
tanggung jawab terhdap apa yang mereka lakukan dan secara penuh
mampu membuat keputusan tentang perilakunya. Pendekatan ini
cenderung melihat pada proses yang mendasari disiplin diri (selfdiscipline), pembuatan keputusan dan karakteristik manusia yang unik
bukan memfokuskan pada karakteristik manusianya
2. Tidak ada seorangpun dapat memahami perilaku orang lain tanpa
mempersepsikan dunia melalui kacamata orang tersebut. Pendekatan
phenomenology mengasumsikan bahwa semua aktivitas manusia dapat
dipahami ketika dilihat dalam konteks social dan dari titik pandang orang
yang diamati (when viewed within the social; context, and from the point
of view, of the person being observed). Maka, wanita yang melakukan
kekerasan tidak akan dilihat sebagai mengekspresikan impuls id atau
memperlihatkan perilaku yang mendapat reinforcement tetapi perilakunya
sejalan dengan persepsinya terhadap dunia sekitarnya pada waktu itu.
Pendekatan phenomenological sebagian dikembangkan sebagai reaksi terhadap
Freud yang dimulai ketika Adler menolak insting sebagai dasar perilaku dan dan
menekankan persepsi seseorang dan potensi tumbuh/growt.
17
Penekanan pada persepsi individu terhadap realitas juga dikemukakan oleh
Heidegger, kierkegaard, Sartre dan filosof eksistensialis yang menilai bahwa arti
dan nilai kehidupan buka pada insting, tetapi disusun oleh pemersepsi (prang yang
melakukan persepsi). Maka orang tidak dilihat baik atau jahat, kualitas ini disusun
ketika orang lain mereaksi terhadap orang tersebut dan ada suatu “realitas” yang
berbeda tergantung masing-masing individu yang mengamati.
Focus pada pandangan realitas individual dipertajam oleh sejumlah psikolog
Jerman yang dikenal sebagai sekolah gestalt (misal Koffka, 1935; Kohler, 1925)
antara lain menduga ada banyak kasus dimana persepsi subjektif seseorang dapat
melampau stimuli yang secara “objektif” ada dan dimana objek yang “sama”
dapat diinterpretasikan dalam cara berbeda.
Di Amerika Utara, klinisi yang mengadopsi pendekatan phenomenology
cenderung mengasumsikan bahwa masing-masing orang memiliki suatu potensi
untuk tumbuh yang memberikan pendorong bagi sebagian besar perilaku.
Mereka memandang manusia pada dasarnay baik dan berjuang secara natural
menuju kreativitas, cinta dan tujuan-tujuan positif lainnya (untuk alasan ini,
pendekatan ini sering disebut humanistik).
Dalam kerja klinis, penekanan buka pada mendapatkan data asesmen tentang
masa lalu klien atau mencoba memecahkan problem perilaku tertentu, tetapi pada
memfasilitasi pertumbuhan personal/pribadi klien dan pilihan di “sini dan
sekarang/here and now”.
Rogerss Self Actualization Theory
Roger mengasumsikan bahwa orang mempunyai suatu motif ke arah
pertumbuhan, yang disebut dengan self-actualization :
dorongan untuk
berkembang, tumbuh dan matang yaitu kecenderungan untuk mengekspresikan
dan mengaktifkan semua kapasitas organisme.
Roger melihat bahwa semua perilaku dari perilaku dasar mencari makan sampai
artistik kreatif, dari percakapan normal sampai delusi yang kacau
merupakan/sebagai refleksi dari usaha individu untuk self actualization dalam
dunia yang dipersepsikan secara unik.
Dalam pandangan Roger, usaha ini sudah dimulai saat lahir. Sebagai anak yang
berkembang mulai melakukan perbedaan antara diri dan dunia sekitarnya, ada
kesadaran yang tumbuh dari diri yaitu suatu pemahaman terhadap “I” atau “me”.
Menurut Roger, semua pengalaman manusia meliputi pengalaman “diri/self”
dievaluasi sebagai positif atau negatif, tergantung pada apakah
mereka/pengalaman tersebut konsisten atau tidak konsisten dengan
kecenderungan self actualizing.
Namun, evaluasi ini tidak dibuat secara langsung perasaan organismic itu sendiri
seperti ketika anak mengevaluasi rasa permen itu manis.
Mereka/penilaian pengalaman juga dipengaruhi oleh orang lain. Maka seorang
anak laki-laki bisa mengakhiri mengevaluasi secara negatif pengalaman
mengusap-usap alat genitalnya (bahkan meskipun perasaan yang dialami adalah
positif) karena orang tuanya mengatakan bahwa ia anak yang jelek apabila
melakukan hal tersebut.
18
Pengaruh sosialisasi membantu mengintergrasikan perkembangan individual
dalam masyarakat, khususnya ketika penilaian dari orang lain sesuai/cocok
dengan perasaan organismiknya.
Sebagai contoh, jika anak-anak latihan membaca dan mengalami perasaan positif
atas pencapaian kompetensi tersebut dan mendapatkan penghargaan positif dari
orang tua atas apa yang dilakukannya tersebut, maka akan menilai positif
pengalaman dirinya (self experience) yaitu “saya suka membaca”. Di sini,
pengalaman diri (self experience) kongruen dengan pengalaman organismik dan
anak dapat menerima perilakunya (“saya membaca lebih sering”) dan
penilaiannya (“saya suka membaca”).
Namun, Roger menilai bahwa kebanyakan anak sangat membutuhkan
penghargaan positif dari orang lain (menilai penghargaan positif orang lain
tersebut sangat tinggi) sehingga mereka akan mencarinya bahkan meskipun ia
harus berpikir dan bertindak dengan cara yang tidak kongruen (incongruent) yang
oleh Roger disebut dengan penghargaan/penilaian yang bersyarat (condition
worth) yaitu suatu kondisi/keadaan dimana seseorang menerima penghargaan
positif dari orang lain (yang pada akhirnya, dari dirinya sendiri) hanya untuk
perilaku-perilaku, sikap-sikap dan keyakinan-keyakinan yang disetujui saja.
Penghargaan/penilaian yang bersyarat (condition worth) pertama-tama diciptakan
oleh orang tua, keluarga dan agen social lainnya, tetapi kemudian diinternalisasi
oleh individu (menjadi milik individu), hal ini mirip dengan konsep super ego
milik Freud.
Orang yang menerima/menghadapi penghargaan/penilaian yang bersyarat
(condition worth) secara ekstrim atau berlebihan akan menjadi tidak nyaman
(uncomfortable).
Jika mereka bertingkah laku terutama untuk menyenangkan orang lain, hal ini
menjadi mengorbankan pertumbuhan pribadi (personal growth).
Sebagai contoh, seorang wanita yang mencoba untuk mematuhi budaya yang
mendukung peran wanita sebagai pekerja meskipun keinginan dirinya adalah
menjadi ibu rumah tangga murni/sepenuhnya.
Sementara itu, ketika seseorang memperlihatkan perilaku dan perasaannya yang
asli/otentik
maka
ia
akan
mengalami
ketidaksesuaian
dengan
penghargaan/penilaian yang bersyarat (condition worth) dengan resiko kehilangan
penghargaan positif dari orang lain dan diri.
Roger percaya bahwa untuk mengurangi ketidaknyaman yang bersal dari
inkongruensi semacam itu, individu bisa menyimpangkan realitas dengan cara
yang salah. Sebagai contoh, seorang laki-laki yang memiliki orang tua yang
memberikan penghargaan/penilaian yang bersyarat (condition worth) yaitu lakilaki tidak boleh menangis dan seseorang yang menunjukkan “maskulinitas”
dipuji maka ia akan mempertegas bahwa “ seseorang yang menangis adalah
lemah”.
Pernyataan ini menunjukkan suatu distorsi perasaan yang sebenarnya. Roger
percaya bahwa ketidakcocokan/ketidaksesuaian(discrepancy) yang semakin besar
antara perasaan real individu dan konsep diri yang dipengaruhi secara
social/masyarakat, sering menghasilkan perilaku bermasalah.
19
Roger percaya bahwa perilaku bermasalah dapat dihindari. Individu sebaiknya
menerima hanya penghargaan positif tanpa syarat (unconditional positif regard),
sehingga penilaian diri (self-regard) tidak akan pernah berbeda dengan evaluasi
organismic dan individu akan menjadi individu yang berfungsi penuh (fully
functioning).
Apabila kondisi tersebut tidak ada pada masa lalunya/kecilnya, maka kondisi
tersebut dapat diciptakan pada kondisi saat ini/sekarang. Sehingga, Roger
mengembangkan pendekatan terapeutik yang menggunakan unconditional
positive regard dan factor-faktor lain untuk membantu orang-orang bermasalah
dengan mengurangi inkongruensi tanpa harus menyimpangkan realitas.
Maslow and Humanistic Psychology
Pendekatan phenomenological versi Abraham Maslow dipengaruhi dari Amerika
Utara. Dalam menemukan gerakan yang dikenal sebagai psikologi humanistic,
Maslow menekankan bahwa manusia adalah positif dan kreatif.
Sebagaimana Roger, Maslow melihat manusia mempunyai kemampuan
(membutuhkan) untuk self actualization, tetapi ia mengemukakan bahwa
kegagalan merealisasikan potensi seseorang secara penuh bukan disebabkan oleh
inkongruensi antara pengalaman diri dan pengalaman organismic, tetapi oleh
karena ada kebutuhan yang tidak terpenuhi.
Maslow percaya bahwa kebutuhan tersebut membentuk hirarki yang mulai dari
pemenuhan kebutuhan dasar (seperti makanan dan air) dan bergerak ke
pemenuhan kebutuhan lebih tinggi seperti rasa aman, cinta/rasa memiliki, harga
diri dan terakhir self actualization.
Kepuasan kebutuhan pada tingkat tertentu tidak mungkin terjadi sebelum
kebutuhan tingkat/level di bawahnya terpenuhi.
Maka, seseorang tidak akan perhatian pada kebutuhan cinta ketika masih ada
ketidakpastian dimana ia akan mendapatkan makan.
Maslow menunjukkan bahwa kebanyakan masyarakat dengan kebudayaan Barat
berusaha mencari untuk memenuhi kebutuhan yang masih dibawah self
actualization dan sehingga orientasi masih mengarah pada sesuatu yang terkait
dengan rasa aman, cinta, rasa memiliki dan harga diri (self esteem).
Termotivasi kekurangan (deficiency motivated) atas kebutuhan-kebutuhan yang
belum terpenuhi secara lengkap sering menuntun manusia untuk bertindak
membeli tanpa pertimbangan, kompetisi yang kejam/kasar, dan problem-problem
lainnya yang pada dasarnya merupakan perilaku untuk pemenuhan kebutuhan.
Hanya beberapa oang saja yang dapat memenuhi kebutuhan tingkat dasar
sehingga membebaskan seseorang untuk mencari self actualization secara
lengkap.
Hal ini yang disebut Maslow sebagai motivasi untuk tumbuh (growth motivation),
yang memungkinkannya untuk memfokuskan pada apa yang mereka dapat/miliki
bukan pada apa yang seharusnya ia dapat/miliki.
Pengalaman pada titik tertinggi (peal experiences) dimana self actualization dapat
tercapai/terjadi, biasanya secara individual dan menunjukkan sesuatu yang terbaik
dalam diri kita.
20
Terapi dari pendekatan Maslow memfokuskan membantu orang untuk
menghadapi rintangan yang menghalangi pertumbuhan alami, kebahagiaan dan
pemenuhan kebutuhan.
Fritz Perls dan Gestalt Psychology
Pandangan phenomenological yang lain diberikan oleh Freidrich S (Fritz) Perls,
seorang psikiater yang pertama kali mengekspresikan ketidakpuasannya dengan
teori Freudian yang tradisional dalam bukunya yang terbit tahun 1947 yaitu Ego,
Hunger and Aggression : A Revision of freud’s Theory and Method.
Perls merasa bahwa Freud terlalu menekankan insting seksual dan menolak bahwa
ia menyebut lapar (hunger) sebagai suatu insting atau kecenderungan mengarah
pada self preservation (penjagaan/perlindungan diri) dan self actualization.
Sebagaimana Freud, Perls melihat ego memfasilitasi pertumbuhan seseorang dan
self persevation dengan memperantarai konflik antara kebutuhan internal dan
tekanan lingkungan.
Namun, ia berpikir ego bukan struktur psikis, tetapi suatu proses yang tujuannya
adalah pengurangan ketegangan antara seseorang dengan lingkungan.
Karena terjadi proses ini, seseorang tumbuh secara psikologis, menemukan cara
baru untuk memenuhi tuntutan lingkungan tanpa mengabaikan kebutuhan internal.
Perls mengatakan bahwa pertumbuhan ini tergantung pada seseorang tetap benarbenar sadar/menyadari adanya kebutuhan internal dan tuntutan lingkungan.
Namun, jika orang mengatur perhatiannya dan persepsinya supaya menghindari
memfokuskan pada tuntutan tidak menyenangkan, kebutuhan yang tidak
terpenuhi, atau konflik yang menekan, kesadarannya (awareness) dapat menjadi
terpecah atau menyimpang (distorted).
Ketika hal ini terjadi, pertumbuhan terhenti dan problem mulai muncul/terjadi.
Sebagai contoh, seorang dengan dorongan seksual yang kuat yang tumbuh dalam
keluarga yang berpegang bahwa perasaan seperti itu adalah “immoral” bisa
melakukan distorsi terhadap kesadaran, untuk sementara hal ini cukup membantu
menyelesaikan, tetapi pada akhirnya hal tersebut akan memunculkan masalah.
Distorsi ini akan melibatkan penolakan terhadap dorongan seksual atau persepsi
yang sangat membesar-besarkan tekanan teman sebaya untuk melakukan
hubungan seksual. Distorsi yang sering dilakukan dapat mengakibatkan masalahmasalah yang lebih serius. Sebagai contoh, jika seseorang tidak mampu untuk
mengakui adanya perasaan permusuhan terhadap orang lain,
maka akan
memunculkan persepsi terhadap orang lain sebagai musuh (bentuk suatu proyeksi)
dan kecemasan yang sangat untuk keluar dari rumah.
Orang ini akan menolak meninggalkan rumah karena “dunia begitu bahaya”.
Pendekatan tritmen Perls disebut terapi Gestalt, yang bertujuan untuk memulai
kembali pertumbuhan dengan memantapkan kembali proses kesadaran (aware).
Evaluasi terhadap Model Phenomenological
Pendekatan phenomenological mempunyai daya tarik intrnsik yang kuat. Hal ini
memberikan peran sentral pada pengalaman amsing-masing orang, yaitu
menekankan keunikan masing-masing orang dan membanggakan karakteristik
manusia bahwa kita adalah spesial spesies. Pendekatan optimis phenomenology
21
humanistic memfokuskan pada potensi kehidupan manusia dan kemampuan
masing-masing individu untuk tumbuh mengarah pada pemenuhan personal
secara maksimal.
Kritik terhdap pendekatan phenomenological antara lain:
CLINICAL APPROACHES IN ACTION (PENDEKATAN KLINIS
DALAM TINDAKAN)
Pendekatan yang berbeda-beda akan mempunyai pengaruh yang berbeda
dalam asesmen, tritmen dan aktivitas dari psikolog klinis.
Kasus Mr B
Mr B berumur 58 tahun, seorang eksekutif dari suatu perusahaan komputer
bertaraf nasional. Ia tumbuh dalam keluarga kelas buruh, ia anak tertua dari 3
bersaudara. Ia termasuk anak-anak dengan kepandaian rata-rata pada masa
sekolahnya dan tidak pernah memberikan masalah pada orang tuanya, ia juga
ingat bahwa “ia tidak begitu bahagia”. Karena semasa kecil, ia dimanja oleh orang
tuanya dan sering digoda teman-temannya dengan sebutan “anak mami”. Ia agak
terlalu gemuk sebagai seorang remaja dan selalu merasakan diabaikan/tidak
dianggap oleh temen-temennya yang suka olah raga. Mr B menikahi pacar saat
SMA-nya yang juga masuk dalam universitas yang sama. Mereka menikah pada
umur 35 tahun dan mempunyai 2 anak. Sebagai tambahan gajinya sebesar 150.000
$ per tahun dan juga masih mendapat tambahan dari beberapa bidang usahanya.
Mr B cenerung menilai dirinya dan orang lain dari materi dan penampilan
luar. Ia selalu ingin dipuji, kadang menjengkelkan orang lain dan ia sangat
sensitive terhadap kritikan dan juga sangat senang mengkritik orang lain. Mr B
selalu mencoba menyenangkan anak-anaknya dengan uang dan hadiah, tetapi
hubungan dengan anak-anaknya cenderung jauh. Ia selalu berkeluh kesah “saya
telah bekrja dengan membanting tulang dan tidak ada seorangpun yang
menghargainya”
Mr B merasa resah/gelisah dan merasa tidak bahagia selama 2 tahun dan
“menjadi selalu cemas”. Perutnya “selalu mengalami gangguan perut” dan ia
sering “tidak dapat bernafas”. Pengujian medical menunjukkan bahwa Mr B
mempuyai penyakit Crohn’s disease, suatu gangguan usus yang berpotansial
berbahaya. Banyak dokter yang ia kunjungi memberikan resep obat anti cemas
dan anti depressant, tetapi obat tersebut memiliki efek samping sehingga Mr B
tidak meminumnya. Pada suatu saat, ia merasa gelisah yang menyebabkan ia tidak
dapat duduk tenang, tidak dapat konsentrasi dalam bekerja dan mempunyai
gangguan mengingat. Pada akhirnya, ia membawa pulang pekerjaan dan
meninggalkan beberapa kertas kerja (kasus-kasus) di lantai parkir. Kualitas kerja
mulai menurun. Ia tidak dapat tidur sampai jam 3 dan hampir setiap malam karena
pikirannya “selalu berputar” dengan kecemasan/kekhawatiran tentang problem
pekerjaan dan problem perkawinan.
Ia menjelaskan pernikahannya sebagai “sangat tegang dan tidak
nyaman/tenang”, ia dan istrinya selalu berusaha untuk sebisa mungkin selalu
menghindar. Meskipun ia mengatakan secara seksual “impotent) dengan istrinyasuatu problem yang menyebabkan ia mencoba mendapatkan kehidupan sek- yaitu
22
ia telah berselingkuh dengan rekan kerja selama beberapa tahun. Ia merasa bahwa
penipuan dalam menyembunyikan hubungan ini dari setiap orang mulai ketahuan.
Mr
B
juga
khawatir
karena
perusahan
“mulai
mengurangi”
pengaruhnya/kekuasaannya/wewenangnya. Akhir-akhir ini, eksekutif tingkat
menengah telah menyerangnya dan Mr B yakin hal ini akan menjadi masalah
sebelum ia diberhentikan dari perusahaan.Ia meyakini bahwa pada umurnya
sekarang ini, tidak ada seorangpun yang akan menerima bekerja. Sering sekali,
ketika ia memikirkan masa depan, Mr B merasa tertekan (depresi) dan putus asa.
Dalam kenyataannya, ia menjadi terlalu terobsesi bahwa ia akan segera meninggal
dan kadang-kadang ia berpikir sebaiknya ia mengakhiri hidupnya sehingga akan
hilang ketidaktenangan dan ketakutannya.
Psikodinamika
A. asesmen
 memperoleh sejarah kehidupan klien : pengalaman masa kanak-kanak &
kaitannya dg simptom saat ini & relationship
 tes psikologi (tat) : lebih mengetahui konflik, dysfungsi khususnya isu-isu
dinamika interpersonal
B. hipotesis penyebab/dinamika
kepribadian narcissistic:
 refleksi cinta ortu yang konflik, ambivelensi, tidak konsisiten : anak
menjadi insecure/tidak aman
 misal: masa keci tidak bahagia, tidak pernah merepotkan ortu, anak mami
(hubungan patologi/terlalu diperhatikan/dimanja), saat dewasa merasa
tidak adekuat sbg laki-laki
 mencari simbol tuk menunjukkan rasa bernilai
 hubungan patologi:gagal memperoleh hubungan yg akrab/hubungan yg
berarti; hub dg anak tidak sehat, affair
C. rencana tritmen
 hunbungan yg tidak mengancam/supportif (terapi melukai harga diri)
 terapi perlu kemamuan tuk membongkar, menjawab stressor masa lalu &
nampak tidak cukup kuat;menunggu mood, konsentrasi normal dulu (dpt
dg obat)
 didorong tuk mendiskusikan & merefleksikan masalah,menemukan bgmn
ia berkembang, diasuh : asosiasi bebas (pikiran/fantasi)
 terapis merefleksikan & mengklarifikasi pikiran/perasaan yg berhubungan
dg masalah agar menjadi fokus perhatian
 interpretasi difokuskan pd tema yg berhub dg asosiasi bebas, mimpi,
simptom klinis, hubungan saat ini & sejarah anak-anak
behavior
A. asesmen
 structured clinical interview for dsm-iv axis i disorder (scid)
 hamilton anxiety rating scale
23



hamilton depression rating scale
beck depression inventory
attributional style questionnaire (menilai pandangan thd penyebab
kejadian positif /negatif)
 dysfunctional attitude scale (mengukur perfectionis/penilaian sosial)
 dyadic adjusment scale (kepuasan perkawinan
B. hipotesis penyebab/dinamika
 generalized anxiety disorder (cemas dlm sgl hal, sulit konsentrasi, pelupa,
ttidak dpt hidup)
 major depressive disoder (kehilangan kesenangan, ide bunuh diri,
insomnia dll)
 kebutuhan penilaian krn kurang penerimaan baik keluarga & teman sebaya
: jarang menerima feedback sosial yg positif
 ortu bukan model yg baik tuk ekspresi afeksi & penilaian
 fungsi sosial rendah:kesulitan komunikasi, tidak dekat dg seorangpun,
kesepian, mencari penilaian dr orang lain
 penilaian sosial & sexual : affair
 menekankan tanda-tanda kegagalan, belief yg tdk adekuat
C. rencana tritmen
 menggunakan cognitive behavior therapy(cbt)
 cognitif: situasi sosial kerja dg pikiran negatif, skema utama orang yg tdk
mampu
 behavior: kemampuan komunikasi rendah, kurang pernyataan positif,
kurang keterampilan social
 cbt : perubahan emosi dicapai tdk langsung dr perubahan kognitif,
perubahan biologi (relaksasi) & perilaku
 relaksasi (mengurangi stres/insomnia)
 perubahan kognitif : belajar bicara gd diri (merasa tdk mampu)
 monitor perasaan (baik/buruk)
 mencatat situasi
 mencatat pikiran yg muncul
 misal standar tinggi perasaan negative
 monitor : situation-thoughts-feeling-alternative thoughts-new feeling)
 mengembangkan pemahaman pikiran negatif menyebabkan keyakinan
utama/skema dr ketidakmampuan & penolakan sosial : prosedur
menantang kognitif/hypotesis testing
 behavior : keterampilan pengakuan positif (bgmn memuji & menerima
kritik), keterampilan komunikasi
24
Download