PENDEKATAN DALAM PSIKOLOGI KLINIS

advertisement
PENDEKATAN DALAM PSIKOLOGI KLINIS
(APPROACHES TO CLINICAL PSYCHOLOGY)
Bidang psikologi klinis dapat dipahami secara lengkap atau sempurna ketika
diuji dari beberapa perspektif yang berbeda, masing-masing menekankan aspeknya
atas
yang
lainnya.
Masing-masing
pendekatan
mencoba
untuk
menerangkan/menjelaskan bagaiman perilaku berkembang/terjadi dan bagaimana
perilaku menjadi bermasalah dan masing-masing pendekatan mempengaruhi
kegiatan-kegiatan asesmen, tritmen dan riset. Misal, terdapat pendekatan yang
melihat perilaku disebabkan/ditinjau dari apa yang manusia makan.
1. Klinisi yang mengambil pendekatan ini akan membuat prediksi tentang
bagaimana diet mempengaruhi perkembangan manusia.
2. Klinisi juga dapat menghasilkan hipotesa tentang bagaimana diet berhubungan
dengan gangguan mental.
3. Klinisi juga dapat mengembangkan prosedur pengukuran yang spesifik untuk
melihat pola makan klien dan untuk melihat komponen nutrisi dari makanan
yang ia makan. Tritmennya mungkin memfokuskan pada perubahan kabiasaan
makan klien.
4. Risetnya juga mungkin mengevaluasi prosedur pengukuran dan perubahan
makanan yang masuk ke badan dan mungkin juga melihat hubungan kausal
antara diet dan gangguan.
Meskipun diet penting dalam berbagai aspek kehidupan, tetapi pemikiran dan
aktivitas kebanyakan klinisi sekarang dipengaruhi berbagai kombinasi pendekatan
psikodinamika
(psychodynamic),
perilakuan
(behavioral),
fenomenologi,
interpersonal.
PRO DAN KONTRA PENGAMBILAN PENDEKATAN TERTENTU
Berbagai pendekatan dalam psikologi klinis membantu klinisi menerangkan
suatu perilaku, menuntun dalam pembuatan keputusan atau intervensi dan untuk
berkomunikasi dengan sesama kolega dengan menggunakan bahasa yang sama.
Misal, perilaku manusia dapat diuji pada beberapa level, dari interaksi antar sel otak
sampai interaksi antar manusia bahkan interaksi antar bangsa atau kebudayaan.
Klinisi harus memutuskan aspek-aspek perilaku mana yang perlu mendapat perhatian,
data asesmen mana yang sekiranya bermanfaat atau yang dapat memberikan
informasi, teknik tritmen mana yang sekiranya pantas/cocok digunakan dan riset
yang seperti apa yang dapat memberikan manfaat. Pendekatan yang
diambil/digunakan klinisi akan mengarahkan/menuntun keputusan-keputusan hal di
atas, oleh karena itu membantu agar lebih terarah.
Masing-masing pendekatan akan cenderung diikuti oleh pendukungnya baik
dari yang sekedar simpati sampai yang fanatik. Namun, kegunaan pendekatan ini
akan dikaji berdasarkan dimensi tertentu bukan berdasarkan banyaknya pendukung
atau banyaknya orang yang tertarik pada pendekatan tersebut. Dalam istilah ilmiah,
6
pendekatan yang paling baik adalah pendekatan yang memiliki implikasi dan
hipotesis dapat diuji dengan berbagai cara. Agar memberikan nilai/manfaat yang
besar bagi psikolog klinis, suatu pendekatan sebaiknya mampu memberikan
penjelasan secara lengkap dan dapat diuji mengenai perkembangan, pemeliharaan dan
perubahan pada perilaku yang bermasalah maupun yang tidak bermasalah.
Pendekatan yang dapat memenuhi persyaratan tersebut terbuka terhadap
pengujian/evaluasi secara eksperimental dan pendekatan tersebut akan bertahan atau
gugur/jatuh karena data yang lengkap.Secara ironis, pendekatan tertentu dapat
bertindak tidak hanya sebagai pedoman atau panduan, tetapi juga dapat
menjerumuskan. Misal, beberapa klinisi memilih pendekatan yang dirasa cocok
sehingga mengarahkan pemikiran/penjelasan tentang perilaku bermasalah dan yang
tidak bermasalah sehingga mereka menjadi rigit/kaku dan tertutup terhadap ide dari
pendekatan lain yang mungkin saja bermanfaat.
Secara singkat, pandangan mereka menjadi tidak terarrah, tetapi menjadi
kolot, tidak mungkin melakukan evaluasi secara objektif dan pada akhirnya juga tidak
bersedia untuk berubah khususnya dalam praktek profesionalnya. Klinisi menjadi
sangat tergantung pada pendekatan tertentu yang dapat berlanjut untuk selalu
melakukan/berpegang terlalu kaku/ ketat terhadap prinsip-prinsip pendekatan tersebut
bahkan meskipun terdapat bukti empiris yang mendukung adanya perubahan. Dengan
kata lain, pengambilan/pemilihan pendekatan tertentu secara spesifik dapat
menguntungkan tetapi dapat juga merugikan..
Masalah yang berkaitan dengan pengambilan/pemilihan pendekatan tertentu
dalam psikologi klinis dapat dikurangi dengan (1) menghindari kefanatikan yang
dapat mengembangkan kekakuan dalam memegang konsep, perilaku tidak fleksibel
dan penggunaan semantic yang sempit (2) mengevaluasi pendekatan mendasarkan
metode ilmiah dan melakukan revisi terhadap pendekatan apabila memang data
menunjukkan perlunya perbaikan.
Hal ini bukan berarti bahwa penggunaan pendekatan tertentu secara sistematik
adalah tidak penting. Namun, pemahaman dan apresiasi terhadap pendekatan lain
dapat mengurangi pemikiran yang berpusat hanya pada satu pendekatan. Penulis
berharap bahwa materi dalam bab ini akan membantu pembaca untuk tetap
mempunyai pemikiran yang terbuka.
PENDEKATAN PSIKODINAMIKA
Model psikodinamika berakar dari tulisan Sigmund Freud tetapi model ini
meluas mencakup/meliputi ide-ide yang telah direvisi maupun konsep-konsep yang
ditentang. Model ini didasarkan pada asumsi di bawah ini:
1. Perilaku manusia ditentukan oleh impuls, keinginan, motif, konflik yang
semua dikenal/disebut dengan istilah intrapsikis (ada dalam pikiran) dan
sering di luar kesadaran
2. Faktor-faktor intrapsikis penyebab perilaku normal atau tidak normal. Maka,
kecemasan yang melumpuhkan dapat diatribusikan/disebabkan oleh konflik
7
yang tidak terpecahkan/tidak terselesaikan atau kebutuhan yang tidak
terpenuhi
3. Fondasi/dasar perilaku diletakkan pada masa kanak-kanak melalui pemuasan
atau tidak terpuasnya/tidak terpenuhi kebutuhan-kebutuhan dan impulsimpuls. Karena peran sentral dari kebutuhan tersebut maka hubungan awal
dengan keluarga, teman sebaya, dan figure otoriter mendapat perhatian khusus
4. Asesmen klinis, tritmen dan riset sebaiknya menekankan aktivitas intrapsikis,
meskipun sering tidak dapat dilihat dari observasi langsung tetapi harus
ditemukan jika perilaku ingin dipahami atau perilaku ingin dihilangkan.
Freudian Psychoanalysis
Teori psikodinamika dari Freud dikenal sebagai psikoanalisa
 psychic determinism yakni perilaku dapat disebabkan oleh factor-faktor
psikologis yang tidak dapat dilihat oleh orang lain maupun diri sendiri.
 Dari perspektif ini, hampir perilaku dilihat sebagai sesuatu yang berarti karena
memberikan petunjuk adanya konflik-konflik dan motivasi yang
tersembunyi/tidak dapat dilihat.
 Misal, kata beast dapat dibaca breast , lupa pada nama-nama tertentu atau
menghilangkan buku yang dipinjam semua itu dapat diinterpretasi sebagai
ekspresi perasaan dan impuls yang tidak nampak dalam kesadaran.
 Freud menyebutnya sebagai unconscious merupakan bagian fungsi mental
yang berada di luar kesadaran dan tidak siap untuk menerimanya.
 Dalil dasar Freud yang lain adalah perilaku manusia berasal dari perjuangan
antara keinginan individu untuk memuaskan isnting seksual dan agresif dan
kebutuhan untuk menghormati/mentaati aturan dan realitas yang ada di dunia luar.
 Ia melihat masing-masing individu menghadapi pencarian yang panjang/lama
untuk mendapatkan cara mengekspresikan insting tanpa mendapatkan hukuman
atau konsekuensi negatif lainnya.
 Menurut Freud, pikiran manusia merupakan arena dimana apa yang ingin ia
lakukan (insting) harus disesuaikan dengan apa yang dapat atau sebaiknya
dilakukan (alasan dan moralitas). Missal, seorang ibu mengatakan kepada
anaknya yang berumur 7 tahun untuk berhenti main video jika ia kemudian
makan enam roti dan memuntahkannya pada ibunya, seorang psikoanalisa
melihat perilaku anak tersebut sebagai ekspresi impuls agresif yang
disembunyikan dengan cukup baik untuk menghindari hukuman.
 Struktur mental (mental structure). Dalam system yang dikemukakan Freud,
insting yang tidak disadari merupakan id yakni ada saat lahir dan berisi semua
energi psikis (atau libido) tersedia untuk memotivasi perilaku.
 Id berusaha memuaskan keinginannya tanpa penundaan, oleh kerena itu,
dikatakan bekerja berdasarkan prinsip-prinsip kesenangan (missal, jika
mengenakkan maka lakukan) karena anak\bayi tumbuh dan dunia luar
memberikan batasan-batasan terhadap pemuasan id maka ego mulai mengatur,
8
sebagai hasil perkembangan dari id sekitar umur 1 tahun dan mulai menemukan
cara yang aman untuk mengekspresikan insting.
 Saat ego umur 7 tahun, sebagai contoh, akan membalas dendam (marah)
kepada ibunya maka ego yang mengatur/mengendalikan perilaku. Karena ego
menyesuaikan dengan tuntutan ekternal, maka ego dapat dikatakan
berprinsip/beroperasi berdasarkan reality principle (prinsip realitas)(misal:”jika
kamu ingin melakukannya, setidaknya lakukan dengan diam-diam).
 Agen mental ke 3 yaitu super ego merupakan hasil dari sosialisasi pengaruh
realitas. Hal ini berisi semua hal yang diajarkan keluarga dan budaya mengenai
etika, moral dan nilai, dan menurut Freud, apa yang diajarkan ini
diinternalisasikan menjadi “ego ideal” atau bagaimana sebaiknya/semestinya
seseorang itu.
 Superego juga berisi kesadaran (consience), yang mencari untuk menuju pada
kesempurnaan, kepatuhan, perilaku yang diterima secara social dan biasanya
berlawanan dengan id.
 Mechanisms of defense (mekanisme pertahanan diri/ego). Struktur mental yang
ketiga adalah keterkaitannya dalam kecemasan yang menyebabkan konflik
internal.
 Ego mencoba menjaga konflik ini dan ketidaknyamanannya apabila sampai
mencapai kesadaran dengan memainkan berbagai mekanisme pertahanan,
biasanya bekerja pada tingkat ketidaksadaran.
 Salah satu yang paling umum adalah represi, yaitu ego berusaha
mempertahankan pikiran atau perasaan yang tidak dapat diterima keluar dari
kesadaran.
 Represi disebut juga dengan terdorong untuk melupakan (motivated
forgetting). Sebagai contoh, seorang individu yang memiliki kebencian terhadap
orang tua dialami secara tidak sadar bisa menekan rasa benci tersebut (ketika
seseorang menyadari impuls/dorongan tersebut dan secara sadar menolak
keberadaan rasa benci tersebut, maka proses tersebut disebut supresi)
 Meskipun selalu berusaha menekan/represi, dorongan yang tidak diinginkan,
ibarat balon yang dimasukkan dalam air yang sewaktu-waktu akan muncul ke
permukaan.
 Untuk melindungi hal ini, ego memainkan tambahan pertahanan yang tidak
disadari. Misal dengan reaksi formasi (reaction formation), yaitu seseorang
berpikir dan bertindak berlawanan dengan impuls yang tidak disadarinya. Maka
seseroang yang membenci ayahnya dapat mengekspresikan perasaan cinta yang
sangat dan jug sangat perhatian.
 Tapi jika mekanisme pertahanan yang digunakan adalah proyeksi maka si
anak mengatribusikan/mencari penyebab perasaan negatif (benci) tersebut
kepada orang lain.
 Mekanisme pertahanan yang disebut displacement memungkinkan
mengekspresikan beberapa impuls id, tetapi ditujukan pada sesuatu yang lebih
9
aman, misal teman kerja atau orang lain yang menjadi ganti figure ayah. Maka
anak tersebut bisa mengkritik/berlaku kasar pada orang yang dianggap sebagai
pengganti figure ayah.
 Meskipun pertahanan diri ini dapat dilakukan/berhasil, setidaknya untuk
sementara, tetapi mekanisme pertahanan ini memboroskan/membuang banyak
energi psikis dan dibawah tekanan akan mendorong seseorang yang bermasalah
akan mengalami kemunduran atau regresi, pada tingkat karakteristik perilaku
sebelumnya, atau tahap perkembangan yang kurang matang.
 Kedalaman regresi dalam kasus tertentu sebagai fungsi dari sejarah
perkembangan psikoseksual individu.
 Development Stage (Tahap Perkembangan).
 Freud menyatakan bahwa anak-anak melalui/melewati beberapa tahap
perkembangan psikoseksual, nama dikaitkan dengan bagian tubuh yang
dihubungkan dengan bagian tubuh yang dihubungkan dengan kesenangan
sesuai tahap tersebut.
 Tahun pertama atau sering disebut sebagai tahap oral karena makan,
menghisap, menggigit dan aktivitas oral lainnya merupakan sumber utama
kesenangan.
 Jika penyapihan tertunda/terlalu lama atau terlalu dini, kebutuhan oral yang
terhalangi atau terlalu berlebihan, maka anak akan gagal melalui tahap oral
tanpa terpakuatau menjadi fiksasi pada tahap tersebut, sehingga perilakunya
akan terkait dengan tahap tersebut.
 Orang dewasa yang perilakunya tergantung pada pola perilaku oral seperti
merokok, terlalu banyak makan berarti ia mengalami fiksasi pada tahap oral.
 Freud mengemukakan bahwa semakin kuat fiksasi individu pada tahap
psikoseksual tertentu, perilaku yang khas pada tahap tersebut ditunjukkan
dikemudian hari dan kemungkinan akan mengalami regresi pada tahap tersebut
ketika mengalami tekakan/berada dibawah tekanan.
 Seseorang yang menjadi sangat tergantung atau tertekan (depresi) ketika
kebutuhan untuk tergantung tidak terpenuhi maka berarti orang tersebut
mengalami regresi pada tahap oral.
 Tahun ke-2 sering disebut dengan tahap anal, karena Freud melihat anus dan
rangsangan/stimuli yang dikaitkan dengan membersihkan dan menahan
tinja/kotoran sebagai sumber penting dari kesenangan pada tahap ini.
 Ciri yang paling penting pada tahap ini adalah toilet training, dimana ada
pertentangan kemauan antara orang tua dan anak.
 Fiksasi anal diperkirakan berasal dari cara pelatihan ini/toilet training ini baik
terlalu ketat ataupun terlalu permisif/bebas.
 Orang dewasa yang kikir, keras kepala, sangat menekankan keteraturan dan
juga terlalu menekankan pada kebersihan, atau orang yang tidak rapi, tidak
teratur dan sangat pemurah hati berarti mengalami fiksasi pada tahap ini.
10
 Anak masuk pada tahap phallic kira-kira pada umur 3 atau 4 tahun, akrena
genital menjadi sumber utama kesenangan.
 Freud mengemukakan bahwa selama tahap phallic, anak mulai memiliki
keinginan seksual atas ibunya dan ingin melakukan kompetesi/persaingan
dengan ayahnya. Situasi ini dikenal dengan Oedipal . Konflik oedipal secara
normal diubah dengan menekan keinginan seksual terhadap ibunya, dengan
mengidentifikasi dengan ayah dan nantinya pada akhirnya menemukan
pasangan seksual wanita.
 Meskipun Freud menekankan perkembangan psikoseksual laki-laki, ia
membicarakan kompleks Oedipus, dimana seorang anak perempuan menderita
penis envy dan perasaan rendah diri karena ia percaya ia telah “dikebiri”
karena mencintai/menginginkan ayahnya. Anak perempuan mengubah
perasaan ini dengan mengganti keinginan punya anak dengan keinginan
memiliki penis sehingga kemudian melakukan identifikasi terhadap ibunya.
 Freud percaya bahwa pemecahan konflik yang baik pada tahap ini merupakan
sesuatu yang penting bagi perkembangan psikologis yang sehat dan bahwa
fiksasi pada tahap ini akan mempengaruhi perilaku interpersonal pada waktu
dewasa yaitu perilaku memberontak, agresi dan penyimpangan perilaku
seksual antara lain homoseksual, exhibitionism, fetishism.
 Freud mempercayai bahwa periode/tahap latency merupakan tahap setelah
phallic. Selama latency, dorongan id berkurang/menyusut dan prinsip realitas
menjadi kekuatan yang lebih kuat dalam kehidupan anak-anak, setelah anak
memfokuskan pada perkembangan social dan keterampilan akademik.
 Tahap latency diperluas sampa masa remaja, ketika kemasakan fisik individu
mengantarkan ke tahap genital. Akhir tahap ini yaitu sepanjang masa dewasa,
kesenangan kembali berfokus pada daerah genital, tetapi ketika semua tahap
sebelumnya berjalan dengan baik, minat seksual tidak hanya diarahkan pada
karakteristik kepuasan diri pada tahap phallic, tetapi diarahkan pada hubungan
yang stabil, hubungan dalam jangka panjang dimana kebutuhan-kebutuhan
orang lain menjadi pertimbangan.
Pendekatan psikodinamika yang lain
Beberapa pengikut Freud menciptakan variasi pada pendekatan psikodinamika.
Variasi ini distimulasi oleh beberapa factor antara lain
(1) ketidakpuasan pada peran sentral yang diberikan Freud pada insting ketidaksaran
dalam motivasi/menjadi motivasi,
(2) meningkatnya pemahaman pengaruh variabel social dan budaya pada perilaku
manusia,
(3) pemahaman peran aspek kesdaran dalam kepribadian, (4) keyakinan bahwa
perkembangan tidak berhenti hanya pada masa kanak-kanak.
11
Sebagai contoh, beberapa melihat ego sebagai sesuatu yang positif, kreatif,
mekanisme coping tidak hanya sebagai “wasit” pada konflik intrapsikis.
Dalam versi ini, ego dilihat mempunyai energi independen dan potensi berkembang
tidak hanya terkait sebagai fungsi defensif dari ketidaksadaran.
Revisi lain yang juga penting dilakukan oleh Erik H. Erikson, seorang psikolog
Amerika yang menekankan factor social dalam perkembangan manusia.
Erikson mengemukakan 8 tahap psikososial yang beorientasi social dari seseorang
daripada aktivitas intrapsikis.
Sebagaimana ditunjukkan dalam tabel, terdapat krisis social pada masing-masing
tahap yaitu satu sisi yang berhasil dikuasai dan sisi kiri yang tidak berhasil dikuasai.
12
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Tahap
Umur
Berhasil
menguasai
menuntun pada:
Pengharapan
(hope)
Tidak
berhasil
menguasai menuntun
pada:
Ketakutan (fear)
Kepercayaan
dasar
lawan
ketidakpercayaan dasar
(trust versus mistrust )
[oral]
Otonomi
lawan
perasaan malu dan
ragu-ragu (Autonomy
versus shame & doubt)
[anal]
Inisiatif lawan rasa
bersalah
(Initiative
versus guilt)
[phallic]
Kerajinan
lawan
inferioritas
(Industry
versus inferiority)
[latency]
Identitas
lawan
kekacauan
identitas
(Ego identity versus
role confusion)
Lahir-1 th
1-3 th
Kemauan
(willpower)
Keragu-raguan (self
doubt)
4-5 th
Tujuan (purpose)
Tidak
berguna
(unworthiness)
6-11 th
Kompetensi
(competency)
Tidak
mampu
(Incompetency)
12-20 th
Kesetiaan
(fidelity)
Ketidaktentuan/Tidak
pasti (uncertainty)
Keintiman lawan isolasi
(Intimacy
versus
isolation)
Generativitas
lawan
stagnasi (Generativity
versus stagnation)
Intergritas
lawan
keputusasaan
(Ego
integrity versus despair)
20-24 th
Cinta (love)
Promiscuity
25-65 th
Pemeliharaan
(care)
Selfishness
65 sampai Kebijaksanaan
meninggal (wisdom)
13
Meaninglessness
despair
&
Alfred Adler,
seorang pengikut Freud yang mengembangkan cabang psikoanalisis yang lebih
dikenal dengan nama psikologi individual (individual psychology), yaitu menganggap
bahwa factor psikologis yang paling penting dalam perkembangan manusia dan
perilaku manusia adalah inferioritas (inferiority), bulan insting.
Adler juga menekankan keluarga sebagai keseluruhan tidak hanya pada situasi
oedipal.
Ia juga mengajukan suatu teori tentang efek tahapan kelahiran terhadap kepribadian
yang sampai sekarang masih diperdebatkan.
Catatan, bahawa setiap orang memulai kehidupan dengan posisi ketidakberdayaan
dan inferioritas.
Adler mengemukakan bahwa perilaku dikemudian harinya/setelahnya merupakan
bentuk kompensasi “striving for superiority (berjuang untuk superioritas)” yaitu
pertama berjuang dalam keluarga dan kemudian dalam dunia social yang lebih luas.
Cara tertentu dari individu mencari superioritas tersusun menjadi suatu gaya hidup
(style of life).
Gaya hidup yang adaptif dikarakteristikan/dicirikan dengan adanya kerja sama
(cooperation), minat social, dorongan dan akal sehat/pikiran sehat.
Gaya hidup yang maladaptive dicirikan dengan kompetitif yang ekstrim atau
tergantung/dependen, kurang perhatian terhadap orang lain dan distorsi tentang
realitas.
Adler percaya bahwa gaya hidup yang maladaptive perilaku yang bermasalah
disebabkan oleh kesalahan konsepsi individu tentang dunia.
Maka jika anak kecil menemukan bahwa ia dapat mengontrol orang lain (dan
kemudian mencapai perasaan superioritas) dengan meminta bantuan dalam segala hal
dari berpakaian sampai makan, ia kemungkinan akan mengembangkan kesalahan
konsepsi bahwa ia adalah “seseorang yang spesial” ia tidak dapat menghadapi dunia
dengan kemampuannya.
Seseorang yang memiliki gaya hidup yang berkembang dari kesalahan ide seperti itu
akan menjadi orang yang selalu ketakutan, sakit atau catat dengan cara menuntut
perhatian yang spesial/khusus dan perhatian dari orang lain.
Revisi dan reformulasi/perumusan kembali ide-ide Freud juga datang dari Carl Jung,
Karen horney, erich Fromm dan Harry Stack Sullivan yang juga menyumbangkan
terhadap pendekatan psikodinamika ke psikologi klinis.
Evaluasi terhadap model psikodinamika Freud
Sigmund Freud memberikan/menghadirkan teori perilaku yang paling komprehensif
dan revolusioner.
Ia memperkenalkan konsep yang menangkap imajinasi psikiatri, psikologi, profesial
lainnya, tidak mengacu literature, religi, sosialogi dan antroplogi.
Penelitian yang insentif terhadap individu, bertatap muka untuk asesmen atau
tritmen, memandang bahwa perilaku yang nampak secara sistematis berhubungan
dengan sebab-sebab psikologis yang dapat dikenali, kemungkinan bahwa perilaku
14
individu dipengaruhi oleh factor-faktor yang tidak disadari, efek dari pengalaman
masa kanak-kanak terhdap perilaku dewasa, symbol-simbol yang berarti/penting dari
perilaku yang tidak nampak, pentingnya konflik dan kecemasan dan factor lain yang
ditekankan oleh banyak klinisian secara langsung dipenagruhi oleh Freud
Namun demikian, pendekatan Freud juga mendapatkan banyak kritikan antara
lain:
1. Konsep dasar psikodinamika semisal proyeksi, motif yang tidak disadari dan
represi dilihat terlalu membingungkan/tidak jelas untuk diukur dan dites secara
ilmiah. Kritik lain bahwa psikoanalisa tidak dipengaruhi oleh data yang
kontradiktori. Misal perilaku bermusuhan merupakan bukti dari perasaan
permusuhan yang tidak disadari, tetapi perilaku ini dapat menjadi terlalu
baik/ramah kalau dilihat sebagai reaksi dari formasi reaksi (reaction formation)
2. Pendekatan Freud tidak disusun/dikembangkan dari riset yang sistematis tetapi
adri pengalamannya sebagai klinisi dengan sejumlah kecil pasien kelas atas yang
tinggal di Vienna diakhir tahun 1800an. Pertanyaan yang muncul apakah
laporan/hasil kasus tersebut dapat bias dan seberapa cocok ide/teori Freud
tersebut apabila diaplikasikan/diterapkan pada orang-orang dari social ekonomi
dan latar belakang budaya yang berbeda. Pandangan Freud yang bias tentang
wanita juga menyebabkan banyak laki-laki dan perempuan yang mendukung
pandangan feminis menolak teori perkembangan Freud.
3. Teknik validitas dan reliabilitas yang dirancang untuk mengukur konstruk
kepribadian dari Freud nampak lemah dan efektivitas tritmen psikoanalisa
dipertanyakan.
4. Penjelasan psikoanalitik tentang perilaku terlalu banyak menekankan pada insting
seksual dan agresif dan tidak cukup penjelasan mengenai potensi berkembang
dari manusia, pengalaman belajar dan latar belakang sosialkultural.
5. Penekanan Freud pada masa kanak-kanak sebagai penyebab perilaku dewasa
menolak peran pengaruh situasional terhadap perilaku. Aspek psikoanalisa klasik
menuntun pengikut neo-Freudian untuk menekankan pentingnya factor-faktor
sepanjang rentang kehidupan.
PENDEKATAN PERILAKU (BEHAVIORAL APPROACH)
pendekatan perilaku (behavioral) memfokuskan secara langsung pada perilaku dan
hubungannya dengan lingkungan serta kondisi pribadi (personal) yang
mempengaruhinya.
Asumsi dasar dari pendekatan ini adalah bahwa perilaku pada dasarnya dipengaruhi
oleh belajar yang terjadi/berlangsung dalam konteks social (social context).
Klinisi yang memilih pendekatan behavioral cenderung melihat perbedaan individu
dalam bertingkah laku dikarenakan sejarah belajar yang unik yang dimiliki masingmasing orang, bukan pada sifat, karakteristik kepribadiannya atau “sakit mental
(mental illness).”
15
Maka seorang murid yang beruntung/diuntungkan karena tindakan menyonteknya
yang dilakukan pada masa lalu/lampau maka kemungkinan perilaku menyonteks
tersebut akan diulangi lagi saat dia naik kelas berikutnya.
Sementara itu, individu yang pada masa lalunya mendapat penghargaan (reward) atas
usaha belajarnya yang rajin/karena rajin belajar maka akan lebih kecil
kemungkinannya untuk berperilaku tidak jujur (missal menyontek).
Factor-faktor budaya secara umum dilihat sebagai bagian sejarah belajar yang
dimiliki orang. Penerimaan atas kegagalan/ketidaklulusan pada ujian penentuan, pada
beberapa nilai cultural/budaya tertentu yang dimiliki siswa dapat menyebabkan rasa
malu yang sangat sehingga dapat mendorong usaha bunuh diri, untuk yang lain,
(misal dalam kebudayaan tradisional) kagagalan/ketidaklulusan dapat menimbulkan
keinginan balas dendam.
Pendekatan behavioral melihat kesamaan manusia sebagai hasil dari komunalitas
(kepemilikan bersama) terhadap aturan, nilai dan sejarah belajar yang dimiliki secara
bersama dalam kebudayaan yang sama sehingga perhatian mahasiswa selama kuliah
tidak dilihat sebagai menifestasi kolektif dari proses intrapsikis tetapi lebih karena
pemenuhan kelompok terhadap peran mahasiswa untuk belajar sosial, yang nampak
dalam situasi akademik pada waktu tertentu.
Prinsip belajar yang sama untuk menjelaskan perbedaan dan kesamaan perilaku
diantara individu digunakan juga untuk menjelaskan konsistensi dan diskrepansi
diantara individual.
Orang-orang behavioral memandang konsistensi tingkahlaku (pendekatan lain
menyebutnya sebagai “kepribadian”) berasal dari belajar yang digeneralisasikan,
kemampuan kognitif yang stabil dan atau kesamaan situasi stimulus.
Sebagai contoh, seorang nampak tenang dalam menghadapi kebanyakan situasi jika
ketenangan tersebut mendapat penghargaan (reward) selama bertahun-tahun dan
dalam berbagai situasi. Pendekatan behavioral menjelaskan ketidakkonsistenan dan
phenomena lain yang tidak diprediksi dengan istilah behavioral specificity.
Tiga versi utama dari pendekatan behavioral yaitu operant learning, respondent
learning dan kognitif behaviorisme, mempunyai perbedaan dalam beberapa hal tetapi
mempunyai asumsi umum sebagai berikut:
1. Tingkah laku yang dapat diukur merupakan materi/bahan pokok dalam psikologi
klinis. Dapat diukur bukan berarti harus “tampak (overt)”. Klinisi yang
beorientasi behavioral tertarik./berminat dari perilaku yang objektif dan jelas
(misal jumlah waktu yang digunakan untuk percakapan) sampai perilaku yang
tampak (covert) missal kejelasan visualisasi, isi pikiran. Hampir semua perilaku
dapat dijadikan sasaran sepanjang perilaku tersebut dapat diukur secara reliable.
2. Walaupun faktor genetik dan biologis memberikan pondasi bagi perkembangan
perilaku, faktor lingkungan sangat berpengaruh. Maka diasumsikan bahwa gen
pembawa sifat (genes) mempengaruhi kecenderungan perilaku umum dimana
pengalaman belajar kemudian membentuk pola yang lebih spesifik.
3. Metode riset empiris adalah cara yang paling baik untuk belajar mengenai
asesmen, perkembangan dan modifikasi perilaku. Pendekatan behavioral bagi
16
psikologi klinis telah menuntun pada cara pengoperasionalan dan
penyelidikan/penelitian psikopatologi dan psikoterapi secara eksperimen.
4. Asesmen klinis dan tritmen sebaiknya didasarkan dari hasil riset empiris.
Pendekatan behavioral mendorong praktisioner meneliti/memeriksa dengan
cermat bukti-bukti empiris tentang prosedur asesmen atau tritmen sebelum
memutuskan untuk mengadopsinya dan untuk menggunakanya yakni dengan
memperhatikan bukti-bukti empiris yang ada.
5. Prinsip belajar yang sama menentukan baik perilaku bermasalah maupun yang
tidak bermasalah. Oleh karena itu, asesmen klinis sebaiknya dirancang untuk
menentukan bagaimana permasalahan klien saat ini telah dipelajari dan
bagaimana perilaku tersebut dipertahankan agar lebih adaptif, belajar dapat
direncanakan/didesign secara individual disesuaikan dengan kondisi individu.
Misal, ketika menangani anak TK yang takut ke sekolah, tritmen yang dilakukan
oleh klinisi yang berorientasi behavior tidak mendasarkan pada “prosedur
standar” untuk menangani anak yang didiagnosis phobia, tetapi
tergantung/mendasarkan pada asesment yang sekiranya menjadi penyebab
problem/perilaku bermasalah tersebut. Dengan kata lain, asesmen dan tritmen
sebaiknya diintergrasikan.
Terdapat 3 versi dalam pendekatan behavioral yaitu operant conditioning,
classical conditioning atau social/cognitive
Operant Learning
Versi operant dari pendekatan behavioral merefleksikan ide dari Skinner.
Skinner mengemukakan bahwa belajar merupakan hubungan antara stimuli
lingkungan dan perilaku yang nampak (overt) yaitu khususnya hubungan antara
perilaku dan anteseden (penyebab) dan konsekuensinya (akibat) yang secara lengkap
dapat menjelaskan perkembangan, pemeliharaan dan perubahan perilaku.
Metode Skinner disebut functional analysis karena memfokuskan pada penggambaran
dan penjelasan hubungan fungsional antara stimuli, respon dan akibatnya.
klinisi yang beorientasi Skinner akan menjelaskan hubungan antara perilaku agresif
dan akibatnya. Jika perilaku agresif klien diberi reward/hadiah maka tidak perlu
dijelaskan berdasarkan kondisi internal (karena ada kebutuhan untuk dominan) tetapi
lebih dijelaskan bahwa klien telah mempelajari perilaku agresif.
Classical Conditioning
Versi yang lain dari pendekatan behavioral ditunjukkan oleh tulisan Joseph Wolpe
(1958, 1982) dan Hans Eysenk (1982).
Mereka memfokuskan pada aplikasi prinsip-prinsip kondisioning classical atau
respondent untuk memahami dan mengurangi penderitaan manusia, khususnya
tentang kecemasan.
Dengan tidak menolak pentingnya reinforcement dan punishment dalam
pembentukan perilaku, behavioris yang menekankan kondisioning classical
menekankan hubungan stimuli yang dikondisikan dan yang tidak dikondisikan.
17
Sebagai contoh, seorang laki-laki yang sangat takut sehingga menghindari situasi
social, hal ini terjadi tidak hanya karena penghinaan saja atau pengalaman negatif
lainnya (operant conditioning) tetapi juga karena ketidaknyamannya dari
pengalaman-pengalaman yang telah diperolehnya, atau melalui classical conditioning
yaitu hal tersebut dikaitkan/dihubungkan dengan pesta yang mana ia pernah
mengalami kecemasan saat menerima undangan pesta tersebut.
Social Learning (Cognitive-behavioral) Theories
Pandangan Skinner, Wolpe, Eysenck dan yang lainnya hanya memfokuskan pada
perilaku yang nampak sebagai target dari asesmen klinis dan tritmen, tetapi beberapa
behavioris melihat pandangan ini tidak lengkap.
Sehingga, teori kognitif dan belajar social (social learning and cognitive behavioral )
telah menambahkan penekanan pada peran proses kognitif (misal pikiran) dalam
perkembangan, pemeliharaan dan perubahan perilaku.
Dua pandangan utama yang mewakili pandangan ini adalah Albert Bandura dan
Walter Mischel yang mempelajari dan menggambarkan bagaimana pengaruh social
dan aktivitas kognitif mempengaruhi belajar.
Ciri-ciri utama dari teori Bandura adalah perhatiannya pada belajar observasional
atau proses kognitif vicarious (observational learning or vicarious cognitive
processs).
Dalam pandangan ini, perilaku berkembang tidak hanya secara langsung melalui
observasi dan gambaran kognitif tentang dunia. Sebagai contoh, Bandura menyatakan
bahwa manusia dapat memperoleh perilaku baru tanpa reinforcement atau latihan,
tetapi dengan cara mengobservasi individu lain atau mengobservasi model.
Salah satu eksperimen, anak kecil yang telah mengamati/melihat model yang
berperilaku agresif terhadap boneka “Bobo” cenderung meniru perilaku model,
sementara anak-anak yang melihat model yang tidak agresif (diam) cenderung tidak
agresif. Menurut Bandura, efek proses vicarious menjadi sama pentingnya pada efek
belajar langsung.
Bandura juga melihat variable kognitif memainkan peran dalam gangguan perilaku
sebagaimana seorang laki-laki yang telah dicontohkan di atas yang takut situasi
social.
Bandura menjelaskan bahwa ketidaknyaman laki-laki tersebut tidak hanya saja
berasal dari pengalaman social yang negatif dan stimuli lingkungan yang
berhubungan dengannya, tetapi juga dari pikiran tentang situasi social yang
membangkitkan kecemasan (misal “saya akan mempermalukan diri saya sendiri” atau
“tidak ada orang yang saya kenal”) yang mendorong untuk menghindari situasi
tersebut.
Bandura meyakini bahwa orang pasti mempunyai pengharapan/harapan tentang apa
yang dapat dan tidak dapat dilakukan dalam situasi tertentu yang dikenal dengan
efikasi diri (self efficacy), dan hal ini akan sangat berpengaruh pada bagaimana
seseorang akan berperilaku. Dapat dikatakan bahwa semakin tinggi efikasi diri maka
akan semakin baik performancenya/prestasinya.
18
Bandura mengemukakan bahwa kehidupan emosional seseorang secara luas
ditentukan oleh kombinasi pengaruh efikasi diri dan penilaian akan hasil.
Sebagai contoh, orang yang rendah efikasi dirinya kemungkinan akan merasa apatis
jika mereka juga percaya bahwa tidak ada yang dapat mengontrol suatu kejadian
dalam kehidupan ini, cemas jika tidak dapat/tidak mampu mengontrol hal-hal yang
membahayakan dalam kehidupannya dan depresi jika yakin bahwa tindakan orang
lain (bukan tindakan dirinyalah) yang mempengaruhi sesuatu/hasil yang diinginkan.
Orang yang memiliki efikasi diri tinggi mungkin menjadi marah jika ia melihat
dunia/lingkungan tidak responsive terhadap usahanya, tetapi akan lebih memiliki
keyakinan diri (self assured) jika ia melihat usahanya membawa hasil yang
baik/memuaskan.
Teori kognitif behavior yang lain memberikan perhatian pada beberapa factor antara
lain bagaimana orang mengevaluasi dan menjelaskan perilakunya dan bagaimana
mereka yakin bahwa kejadian/peristiwa tertentu didunia ini dapat diatasi.
Faktor-faktor ini sangat bermanfaat dalam menghadapi depresi dan gangguan
kecemasan.
Sebagai contoh, menurut Aaron Beck (1976) bahwa evaluasi kognitif seseorang atau
penilaian (appraisal) terhadap perilakunya mendahuli/menyebabkan dan
mempengaruhi reaksi emosional terhadap kejadian tersebut.
Sehingga individu yang mengevaluasi secara terus-menerus prestasi/performancenya
sebagai sesuatu kebetulan (bukan karena kemampuannya) maka akan
menilai/menginterpretasikan pujian sebagai sesuatu yang basa-basi (tidak sungguhsungguh memuji) sehingga cenderung melihat dirinya sebagai seorang yang tidak
mampu atau tidak berharga dan hal ini akan memberikan kecenderungan pemikiran
yang depresif.
Menurut Beck, pemikiran ini ahkirnya tanpa disadari menjadi otomatis sehingga
mempengaruhi reaksi-reaksi emosi selanjutnya. Tujuan terapi kognitif Beck adalah
menjadikan pemikiran negatif ini disadari sehingga individu dapat menilai secara
logis kemampuan-kemampuan sebagai sesuatu yang pantas.
Penjelasan tentang penyebab suatu kejadian/hal termasuk mencari penjelasan
terhadap perilaku kita yang biasa disebut atribusi juga dapat memberikan
akibat/konsekuensi emosional yang penting.
Atribusi ini cenderung bergerak dalam 3 dimensi yaitu
(1) internality : apakah seseorang melihat penyebab suatu kejadian karena dirinya
sendiri atau karena sesuatu hal di luar dirinya/lingkungan,
(2) stability :apakah seseorang melihat penyebab sebagai sesuatu yang
persisten/menetap atau temporer/sementara
(3) globalness : apakah seseorang melihat penyebab karena spesifik pada situasi
tertentu atau meluas pada semua situasi. Sebagai contoh, menjelaskan
performance/hasil suatu tes karena tes tersebut sulit (external, unstabil & spesifik)
atau karena saya bodoh yang merefleksikan atribusi internal, stabil dan global.
Individu yang membuat atribusi internal, stabl dan global terhadap kegagalan akan
lebih mungkin mengalami depresi.
19
Teori cognitive-behavioral dari Albert Ellis tidak hanya memfokuskan pada peran
pengharapan, penilaian dan atribusi tetapi juga pada bagaiaman keyakinan irasional
dan keyakinan menyalahkan diri yang terjadi pada waktu lama/jangka panjang dapat
menghasilkan tekanan/distress psikologis.
Pemikiran irasional ini antara lain pernyataan “seharusnya/should” misal “setiap
orang semestinya menyukaiku” dan standar yang terlalu tinggi yang tidak realistis
misal saya harus menjadi orang yang sempurna/perfect”.
Pemikiran seperti ini akan menyebabkan seseorang akan merasa gaagl dan kecewa.
Terapi rational emotive dari Ellis akan menyerang keyakinan-keyakinan yang salah
sampai klien menyadari bahwa pemikiran tersebut salah.
Evaluasi terhadap Pendekatan Behavioral
Sejak kemunculannya pada akhir 1950an, pendekatan behavioral telah
banyak mendapatkan dukungan dari meningkatnya sejumlah pengikut setia yang
memiliki nilai pandangan ilmiah terhadap perilaku manusia, yaitu mendefinisikan
konsep secara operasional, aplikasi prinsip-prinsip belajar ke problem-problem klinis
didasarkan pada penelitian-penelitian laboratorium dan komitmennya terhadap
evaluasi asesmen dan tritmen secara empiris. Secara singkat, pendekatan behavioral
dilihat sebagai pendekatan terbaik untuk mengaplikasikan psikologi sebagai ilmu
pengetahuan tentang perilaku di bidang klinis. Namun demikian, ditemukan beberapa
kritikan terhadap pendekatan ini, antara lain:
1. Dilihat bagi beberapa orang sebagai mereduksi manusia ke sejumlah respon yang
diperoleh dari hubungan secara mekanis dari lingkungan. Bahkan versi cognitivebehavioral dibanding pendekatan lain nampak kurang memberi perhatian pada
pengalaman subjektif, genetik, fisiologis dan pengaruh-pengaruh perilaku lainnya
yang tidak didasarkan pada proses belajar
2. Prinsip-prinsip belajar dapat menjelaskan phobia dan hubungan stimulus-respon
yang relatif sederhana, tetapi tidak cukup kuat menjelaskan proses internal yang
lebih kompleks. “menyamakan manusia dengan perilaku binatang, dan
memfokuskan hanya pada perilaku yang nampak daripada kondisi internal (inner
state), yang justru meminimalkan nilai-nilai (value), perasaan, fantasi dan motif
yang paling membedakan dan menjadi masalah dalam kehidupan manusia.
3. Prinsip-prinsip belajar yang menjadi dasar pendekatan behaviorostik masih
menjadi masalah yang diperdebatkan diantara ilmuwan belajar (learning theorists)
dan bahkan jika semua prinsip disetujui maka ada pertanyaan apakah penelitian di
laboratorium dengan menggunakan binatang memungkinkan diaplikasikan pada
manusia.
4. Pendekatan behavioral bukan ilmu pengetahuan yang unik atau sejelas
sebagaimana diharapkan pengikut behavioristik. Banyak prosedur tritmen dan
asesmen lebih didasarkan pada pengalaman klinis daripada penelitian-penelitian
20
eksperimen dan dimana bukti-bukti riset yang tersedia, tidak secara tegas
mendukung tknik-teknik yang mendasarkan prinsip belajar.
PENDEKATAN PHENOMEMOLOGICAL
Pendekatan psikologi klinis yang sudah dibicarakan terdahulu melihat perilaku
manusia dipengaruhi oleh (a) konflik intrapsikis dan insting, atau (b) factor
lingkungan dan kognitif. Pendekatan phenomenological menolak asumsi yang
dikemukakan pendekatan behavioral maupun psikodinamika, dimana pendekatan ini
melihat perilaku masing-masing manusia/individu pada moment tertentu terutama
ditentukan oleh persepsi unik manusia terhadap dunia.
Klinisi dengan pendekatan phenomenological cenderung mengikuti asumsi
sebagai berikut:
1. Manusia adalah aktif, menganggap manusia secara individual mempunyai
tanggung jawab terhdap apa yang mereka lakukan dan secara penuh mampu
membuat keputusan tentang perilakunya. Pendekatan ini cenderung melihat
pada proses yang mendasari disiplin diri (self-discipline), pembuatan
keputusan dan karakteristik manusia yang unik bukan memfokuskan pada
karakteristik manusianya
2. Tidak ada seorangpun dapat memahami perilaku orang lain tanpa
mempersepsikan dunia melalui kacamata orang tersebut. Pendekatan
phenomenology mengasumsikan bahwa semua aktivitas manusia dapat
dipahami ketika dilihat dalam konteks social dan dari titik pandang orang
yang diamati (when viewed within the social; context, and from the point of
view, of the person being observed). Maka, wanita yang melakukan kekerasan
tidak akan dilihat sebagai mengekspresikan impuls id atau memperlihatkan
perilaku yang mendapat reinforcement tetapi perilakunya sejalan dengan
persepsinya terhadap dunia sekitarnya pada waktu itu.
Pendekatan phenomenological sebagian dikembangkan sebagai reaksi terhadap Freud
yang dimulai ketika Adler menolak insting sebagai dasar perilaku dan dan
menekankan persepsi seseorang dan potensi tumbuh/growt.
Penekanan pada persepsi individu terhadap realitas juga dikemukakan oleh
Heidegger, kierkegaard, Sartre dan filosof eksistensialis yang menilai bahwa arti dan
nilai kehidupan buka pada insting, tetapi disusun oleh pemersepsi (prang yang
melakukan persepsi). Maka orang tidak dilihat baik atau jahat, kualitas ini disusun
ketika orang lain mereaksi terhadap orang tersebut dan ada suatu “realitas” yang
berbeda tergantung masing-masing individu yang mengamati.
Focus pada pandangan realitas individual dipertajam oleh sejumlah psikolog Jerman
yang dikenal sebagai sekolah gestalt (misal Koffka, 1935; Kohler, 1925) antara lain
menduga ada banyak kasus dimana persepsi subjektif seseorang dapat melampau
stimuli yang secara “objektif” ada dan dimana objek yang “sama” dapat
diinterpretasikan dalam cara berbeda.
21
Di Amerika Utara, klinisi yang mengadopsi pendekatan phenomenology cenderung
mengasumsikan bahwa masing-masing orang memiliki suatu potensi untuk tumbuh
yang memberikan pendorong bagi sebagian besar perilaku.
Mereka memandang manusia pada dasarnay baik dan berjuang secara natural menuju
kreativitas, cinta dan tujuan-tujuan positif lainnya (untuk alasan ini, pendekatan ini
sering disebut humanistik).
Dalam kerja klinis, penekanan buka pada mendapatkan data asesmen tentang masa
lalu klien atau mencoba memecahkan problem perilaku tertentu, tetapi pada
memfasilitasi pertumbuhan personal/pribadi klien dan pilihan di “sini dan
sekarang/here and now”.
Rogerss Self Actualization Theory
Roger mengasumsikan bahwa orang mempunyai suatu motif ke arah pertumbuhan,
yang disebut dengan self-actualization : dorongan untuk berkembang, tumbuh dan
matang yaitu kecenderungan untuk mengekspresikan dan mengaktifkan semua
kapasitas organisme.
Roger melihat bahwa semua perilaku dari perilaku dasar mencari makan sampai
artistik kreatif, dari percakapan normal sampai delusi yang kacau merupakan/sebagai
refleksi dari usaha individu untuk self actualization dalam dunia yang dipersepsikan
secara unik.
Dalam pandangan Roger, usaha ini sudah dimulai saat lahir. Sebagai anak yang
berkembang mulai melakukan perbedaan antara diri dan dunia sekitarnya, ada
kesadaran yang tumbuh dari diri yaitu suatu pemahaman terhadap “I” atau “me”.
Menurut Roger, semua pengalaman manusia meliputi pengalaman “diri/self”
dievaluasi sebagai positif atau negatif, tergantung pada apakah mereka/pengalaman
tersebut konsisten atau tidak konsisten dengan kecenderungan self actualizing.
Namun, evaluasi ini tidak dibuat secara langsung perasaan organismic itu sendiri
seperti ketika anak mengevaluasi rasa permen itu manis.
Mereka/penilaian pengalaman juga dipengaruhi oleh orang lain. Maka seorang anak
laki-laki bisa mengakhiri mengevaluasi secara negatif pengalaman mengusap-usap
alat genitalnya (bahkan meskipun perasaan yang dialami adalah positif) karena orang
tuanya mengatakan bahwa ia anak yang jelek apabila melakukan hal tersebut.
Pengaruh sosialisasi membantu mengintergrasikan perkembangan individual dalam
masyarakat, khususnya ketika penilaian dari orang lain sesuai/cocok dengan perasaan
organismiknya.
Sebagai contoh, jika anak-anak latihan membaca dan mengalami perasaan positif atas
pencapaian kompetensi tersebut dan mendapatkan penghargaan positif dari orang tua
atas apa yang dilakukannya tersebut, maka akan menilai positif pengalaman dirinya
(self experience) yaitu “saya suka membaca”. Di sini, pengalaman diri (self
experience) kongruen dengan pengalaman organismik dan anak dapat menerima
perilakunya (“saya membaca lebih sering”) dan penilaiannya (“saya suka membaca”).
Namun, Roger menilai bahwa kebanyakan anak sangat membutuhkan penghargaan
positif dari orang lain (menilai penghargaan positif orang lain tersebut sangat tinggi)
22
sehingga mereka akan mencarinya bahkan meskipun ia harus berpikir dan bertindak
dengan cara yang tidak kongruen (incongruent) yang oleh Roger disebut dengan
penghargaan/penilaian yang bersyarat (condition worth) yaitu suatu kondisi/keadaan
dimana seseorang menerima penghargaan positif dari orang lain (yang pada akhirnya,
dari dirinya sendiri) hanya untuk perilaku-perilaku, sikap-sikap dan keyakinankeyakinan yang disetujui saja.
Penghargaan/penilaian yang bersyarat (condition worth) pertama-tama diciptakan
oleh orang tua, keluarga dan agen social lainnya, tetapi kemudian diinternalisasi oleh
individu (menjadi milik individu), hal ini mirip dengan konsep super ego milik Freud.
Orang yang menerima/menghadapi penghargaan/penilaian yang bersyarat (condition
worth) secara ekstrim atau berlebihan akan menjadi tidak nyaman (uncomfortable).
Jika mereka bertingkah laku terutama untuk menyenangkan orang lain, hal ini
menjadi mengorbankan pertumbuhan pribadi (personal growth).
Sebagai contoh, seorang wanita yang mencoba untuk mematuhi budaya yang
mendukung peran wanita sebagai pekerja meskipun keinginan dirinya adalah menjadi
ibu rumah tangga murni/sepenuhnya.
Sementara itu, ketika seseorang memperlihatkan perilaku dan perasaannya yang
asli/otentik maka ia akan mengalami ketidaksesuaian dengan penghargaan/penilaian
yang bersyarat (condition worth) dengan resiko kehilangan penghargaan positif dari
orang lain dan diri.
Roger percaya bahwa untuk mengurangi ketidaknyaman yang bersal dari
inkongruensi semacam itu, individu bisa menyimpangkan realitas dengan cara yang
salah. Sebagai contoh, seorang laki-laki yang memiliki orang tua yang memberikan
penghargaan/penilaian yang bersyarat (condition worth) yaitu laki-laki tidak boleh
menangis dan seseorang yang menunjukkan “maskulinitas” dipuji maka ia akan
mempertegas bahwa “ seseorang yang menangis adalah lemah”.
Pernyataan ini menunjukkan suatu distorsi perasaan yang sebenarnya. Roger percaya
bahwa ketidakcocokan/ketidaksesuaian(discrepancy) yang semakin besar antara
perasaan real individu dan konsep diri yang dipengaruhi secara social/masyarakat,
sering menghasilkan perilaku bermasalah.
Roger percaya bahwa perilaku bermasalah dapat dihindari. Individu sebaiknya
menerima hanya penghargaan positif tanpa syarat (unconditional positif regard),
sehingga penilaian diri (self-regard) tidak akan pernah berbeda dengan evaluasi
organismic dan individu akan menjadi individu yang berfungsi penuh (fully
functioning).
Apabila kondisi tersebut tidak ada pada masa lalunya/kecilnya, maka kondisi tersebut
dapat diciptakan pada kondisi saat ini/sekarang. Sehingga, Roger mengembangkan
pendekatan terapeutik yang menggunakan unconditional positive regard dan factorfaktor lain untuk membantu orang-orang bermasalah dengan mengurangi
inkongruensi tanpa harus menyimpangkan realitas.
23
Maslow and Humanistic Psychology
Pendekatan phenomenological versi Abraham Maslow dipengaruhi dari Amerika
Utara. Dalam menemukan gerakan yang dikenal sebagai psikologi humanistic,
Maslow menekankan bahwa manusia adalah positif dan kreatif.
Sebagaimana Roger, Maslow melihat manusia mempunyai kemampuan
(membutuhkan) untuk self actualization, tetapi ia mengemukakan bahwa kegagalan
merealisasikan potensi seseorang secara penuh bukan disebabkan oleh inkongruensi
antara pengalaman diri dan pengalaman organismic, tetapi oleh karena ada kebutuhan
yang tidak terpenuhi.
Maslow percaya bahwa kebutuhan tersebut membentuk hirarki yang mulai dari
pemenuhan kebutuhan dasar (seperti makanan dan air) dan bergerak ke pemenuhan
kebutuhan lebih tinggi seperti rasa aman, cinta/rasa memiliki, harga diri dan terakhir
self actualization.
Kepuasan kebutuhan pada tingkat tertentu tidak mungkin terjadi sebelum kebutuhan
tingkat/level di bawahnya terpenuhi.
Maka, seseorang tidak akan perhatian pada kebutuhan cinta ketika masih ada
ketidakpastian dimana ia akan mendapatkan makan.
Maslow menunjukkan bahwa kebanyakan masyarakat dengan kebudayaan Barat
berusaha mencari untuk memenuhi kebutuhan yang masih dibawah self actualization
dan sehingga orientasi masih mengarah pada sesuatu yang terkait dengan rasa aman,
cinta, rasa memiliki dan harga diri (self esteem).
Termotivasi kekurangan (deficiency motivated) atas kebutuhan-kebutuhan yang
belum terpenuhi secara lengkap sering menuntun manusia untuk bertindak membeli
tanpa pertimbangan, kompetisi yang kejam/kasar, dan problem-problem lainnya yang
pada dasarnya merupakan perilaku untuk pemenuhan kebutuhan.
Hanya beberapa oang saja yang dapat memenuhi kebutuhan tingkat dasar sehingga
membebaskan seseorang untuk mencari self actualization secara lengkap.
Hal ini yang disebut Maslow sebagai motivasi untuk tumbuh (growth motivation),
yang memungkinkannya untuk memfokuskan pada apa yang mereka dapat/miliki
bukan pada apa yang seharusnya ia dapat/miliki.
Pengalaman pada titik tertinggi (peal experiences) dimana self actualization dapat
tercapai/terjadi, biasanya secara individual dan menunjukkan sesuatu yang terbaik
dalam diri kita.
Terapi dari pendekatan Maslow memfokuskan membantu orang untuk menghadapi
rintangan yang menghalangi pertumbuhan alami, kebahagiaan dan pemenuhan
kebutuhan.
Fritz Perls dan Gestalt Psychology
Pandangan phenomenological yang lain diberikan oleh Freidrich S (Fritz) Perls,
seorang psikiater yang pertama kali mengekspresikan ketidakpuasannya dengan teori
Freudian yang tradisional dalam bukunya yang terbit tahun 1947 yaitu Ego, Hunger
and Aggression : A Revision of freud’s Theory and Method.
24
Perls merasa bahwa Freud terlalu menekankan insting seksual dan menolak bahwa ia
menyebut lapar (hunger) sebagai suatu insting atau kecenderungan mengarah pada
self preservation (penjagaan/perlindungan diri) dan self actualization.
Sebagaimana Freud, Perls melihat ego memfasilitasi pertumbuhan seseorang dan self
persevation dengan memperantarai konflik antara kebutuhan internal dan tekanan
lingkungan.
Namun, ia berpikir ego bukan struktur psikis, tetapi suatu proses yang tujuannya
adalah pengurangan ketegangan antara seseorang dengan lingkungan.
Karena terjadi proses ini, seseorang tumbuh secara psikologis, menemukan cara baru
untuk memenuhi tuntutan lingkungan tanpa mengabaikan kebutuhan internal.
Perls mengatakan bahwa pertumbuhan ini tergantung pada seseorang tetap benarbenar sadar/menyadari adanya kebutuhan internal dan tuntutan lingkungan.
Namun, jika orang mengatur perhatiannya dan persepsinya supaya menghindari
memfokuskan pada tuntutan tidak menyenangkan, kebutuhan yang tidak terpenuhi,
atau konflik yang menekan, kesadarannya (awareness) dapat menjadi terpecah atau
menyimpang (distorted).
Ketika hal ini terjadi, pertumbuhan terhenti dan problem mulai muncul/terjadi.
Sebagai contoh, seorang dengan dorongan seksual yang kuat yang tumbuh dalam
keluarga yang berpegang bahwa perasaan seperti itu adalah “immoral” bisa
melakukan distorsi terhadap kesadaran, untuk sementara hal ini cukup membantu
menyelesaikan, tetapi pada akhirnya hal tersebut akan memunculkan masalah.
Distorsi ini akan melibatkan penolakan terhadap dorongan seksual atau persepsi yang
sangat membesar-besarkan tekanan teman sebaya untuk melakukan hubungan
seksual. Distorsi yang sering dilakukan dapat mengakibatkan masalah-masalah yang
lebih serius. Sebagai contoh, jika seseorang tidak mampu untuk mengakui adanya
perasaan permusuhan terhadap orang lain,
maka akan memunculkan persepsi
terhadap orang lain sebagai musuh (bentuk suatu proyeksi) dan kecemasan yang
sangat untuk keluar dari rumah.
Orang ini akan menolak meninggalkan rumah karena “dunia begitu bahaya”.
Pendekatan tritmen Perls disebut terapi Gestalt, yang bertujuan untuk memulai
kembali pertumbuhan dengan memantapkan kembali proses kesadaran (aware).
Evaluasi terhadap Model Phenomenological
Pendekatan phenomenological mempunyai daya tarik intrnsik yang kuat. Hal ini
memberikan peran sentral pada pengalaman amsing-masing orang, yaitu menekankan
keunikan masing-masing orang dan membanggakan karakteristik manusia bahwa kita
adalah spesial spesies. Pendekatan optimis phenomenology humanistic memfokuskan
pada potensi kehidupan manusia dan kemampuan masing-masing individu untuk
tumbuh mengarah pada pemenuhan personal secara maksimal.
Kritik terhdap pendekatan phenomenological antara lain:
25
CLINICAL APPROACHES IN ACTION (PENDEKATAN KLINIS DALAM
TINDAKAN)
Pendekatan yang berbeda-beda akan mempunyai pengaruh yang berbeda
dalam asesmen, tritmen dan aktivitas dari psikolog klinis.
Kasus Mr B
Mr B berumur 58 tahun, seorang eksekutif dari suatu perusahaan komputer
bertaraf nasional. Ia tumbuh dalam keluarga kelas buruh, ia anak tertua dari 3
bersaudara. Ia termasuk anak-anak dengan kepandaian rata-rata pada masa
sekolahnya dan tidak pernah memberikan masalah pada orang tuanya, ia juga ingat
bahwa “ia tidak begitu bahagia”. Karena semasa kecil, ia dimanja oleh orang tuanya
dan sering digoda teman-temannya dengan sebutan “anak mami”. Ia agak terlalu
gemuk sebagai seorang remaja dan selalu merasakan diabaikan/tidak dianggap oleh
temen-temennya yang suka olah raga. Mr B menikahi pacar saat SMA-nya yang juga
masuk dalam universitas yang sama. Mereka menikah pada umur 35 tahun dan
mempunyai 2 anak. Sebagai tambahan gajinya sebesar 150.000 $ per tahun dan juga
masih mendapat tambahan dari beberapa bidang usahanya.
Mr B cenerung menilai dirinya dan orang lain dari materi dan penampilan
luar. Ia selalu ingin dipuji, kadang menjengkelkan orang lain dan ia sangat sensitive
terhadap kritikan dan juga sangat senang mengkritik orang lain. Mr B selalu mencoba
menyenangkan anak-anaknya dengan uang dan hadiah, tetapi hubungan dengan anakanaknya cenderung jauh. Ia selalu berkeluh kesah “saya telah bekrja dengan
membanting tulang dan tidak ada seorangpun yang menghargainya”
Mr B merasa resah/gelisah dan merasa tidak bahagia selama 2 tahun dan
“menjadi selalu cemas”. Perutnya “selalu mengalami gangguan perut” dan ia sering
“tidak dapat bernafas”. Pengujian medical menunjukkan bahwa Mr B mempuyai
penyakit Crohn’s disease, suatu gangguan usus yang berpotansial berbahaya. Banyak
dokter yang ia kunjungi memberikan resep obat anti cemas dan anti depressant, tetapi
obat tersebut memiliki efek samping sehingga Mr B tidak meminumnya. Pada suatu
saat, ia merasa gelisah yang menyebabkan ia tidak dapat duduk tenang, tidak dapat
konsentrasi dalam bekerja dan mempunyai gangguan mengingat. Pada akhirnya, ia
membawa pulang pekerjaan dan meninggalkan beberapa kertas kerja (kasus-kasus) di
lantai parkir. Kualitas kerja mulai menurun. Ia tidak dapat tidur sampai jam 3 dan
hampir setiap malam karena pikirannya “selalu berputar” dengan
kecemasan/kekhawatiran tentang problem pekerjaan dan problem perkawinan.
Ia menjelaskan pernikahannya sebagai “sangat tegang dan tidak
nyaman/tenang”, ia dan istrinya selalu berusaha untuk sebisa mungkin selalu
menghindar. Meskipun ia mengatakan secara seksual “impotent) dengan istrinyasuatu problem yang menyebabkan ia mencoba mendapatkan kehidupan sek- yaitu ia
telah berselingkuh dengan rekan kerja selama beberapa tahun. Ia merasa bahwa
penipuan dalam menyembunyikan hubungan ini dari setiap orang mulai ketahuan. Mr
B
juga
khawatir
karena
perusahan
“mulai
mengurangi”
pengaruhnya/kekuasaannya/wewenangnya. Akhir-akhir ini, eksekutif tingkat
26
menengah telah menyerangnya dan Mr B yakin hal ini akan menjadi masalah
sebelum ia diberhentikan dari perusahaan.Ia meyakini bahwa pada umurnya sekarang
ini, tidak ada seorangpun yang akan menerima bekerja. Sering sekali, ketika ia
memikirkan masa depan, Mr B merasa tertekan (depresi) dan putus asa. Dalam
kenyataannya, ia menjadi terlalu terobsesi bahwa ia akan segera meninggal dan
kadang-kadang ia berpikir sebaiknya ia mengakhiri hidupnya sehingga akan hilang
ketidaktenangan dan ketakutannya.
27
psikodinamika
A. asesmen
 memperoleh sejarah kehidupan klien : pengalaman masa kanak-kanak &
kaitannya dg simptom saat ini & relationship
 tes psikologi (tat) : lebih mengetahui konflik, dysfungsi khususnya isu-isu
dinamika interpersonal
B. hipotesis penyebab/dinamika
kepribadian narcissistic:
 refleksi cinta ortu yang konflik, ambivelensi, tidak konsisiten : anak menjadi
insecure/tidak aman
 misal: masa keci tidak bahagia, tidak pernah merepotkan ortu, anak mami
(hubungan patologi/terlalu diperhatikan/dimanja), saat dewasa merasa tidak
adekuat sbg laki-laki
 mencari simbol tuk menunjukkan rasa bernilai
 hubungan patologi:gagal memperoleh hubungan yg akrab/hubungan yg
berarti; hub dg anak tidak sehat, affair
C. rencana tritmen
 hunbungan yg tidak mengancam/supportif (terapi melukai harga diri)
 terapi perlu kemamuan tuk membongkar, menjawab stressor masa lalu &
nampak tidak cukup kuat;menunggu mood, konsentrasi normal dulu (dpt dg
obat)
 didorong tuk mendiskusikan & merefleksikan masalah,menemukan bgmn ia
berkembang, diasuh : asosiasi bebas (pikiran/fantasi)
 terapis merefleksikan & mengklarifikasi pikiran/perasaan yg berhubungan dg
masalah agar menjadi fokus perhatian
 interpretasi difokuskan pd tema yg berhub dg asosiasi bebas, mimpi, simptom
klinis, hubungan saat ini & sejarah anak-anak
behavior
A. asesmen
 structured clinical interview for dsm-iv axis i disorder (scid)
 hamilton anxiety rating scale
 hamilton depression rating scale
 beck depression inventory
 attributional style questionnaire (menilai pandangan thd penyebab kejadian
positif /negatif)
 dysfunctional attitude scale (mengukur perfectionis/penilaian sosial)
 dyadic adjusment scale (kepuasan perkawinan
B. hipotesis penyebab/dinamika
28

generalized anxiety disorder (cemas dlm sgl hal, sulit konsentrasi, pelupa,
ttidak dpt hidup)
 major depressive disoder (kehilangan kesenangan, ide bunuh diri, insomnia
dll)
 kebutuhan penilaian krn kurang penerimaan baik keluarga & teman sebaya :
jarang menerima feedback sosial yg positif
 ortu bukan model yg baik tuk ekspresi afeksi & penilaian
 fungsi sosial rendah:kesulitan komunikasi, tidak dekat dg seorangpun,
kesepian, mencari penilaian dr orang lain
 penilaian sosial & sexual : affair
 menekankan tanda-tanda kegagalan, belief yg tdk adekuat
C. rencana tritmen
 menggunakan cognitive behavior therapy(cbt)
 cognitif: situasi sosial kerja dg pikiran negatif, skema utama orang yg tdk
mampu
 behavior: kemampuan komunikasi rendah, kurang pernyataan positif, kurang
keterampilan social
 cbt : perubahan emosi dicapai tdk langsung dr perubahan kognitif, perubahan
biologi (relaksasi) & perilaku
 relaksasi (mengurangi stres/insomnia)
 perubahan kognitif : belajar bicara gd diri (merasa tdk mampu)
 monitor perasaan (baik/buruk)
 mencatat situasi
 mencatat pikiran yg muncul
 misal standar tinggi perasaan negative
 monitor : situation-thoughts-feeling-alternative thoughts-new feeling)
 mengembangkan pemahaman pikiran negatif menyebabkan keyakinan
utama/skema dr ketidakmampuan & penolakan sosial : prosedur menantang
kognitif/hypotesis testing
 behavior : keterampilan pengakuan positif (bgmn memuji & menerima kritik),
keterampilan komunikasi
29
Download