Modul Teknologi Komunikasi [TM13]

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
TEKNOLOGI KOMUNIKASI
FILM SEBAGAI TEKNOLOGI KOMUNIKASI
Fakultas
Program Studi
Ilmu Komunikasi
Advertising & Marketing
Communications
Tatap Muka
Kode MK
Disusun Oleh
13
MK43020
Sari Widuri, SE, MSi.
Abstract
Kompetensi
Modul ini membahas tentang konsep dan
fungsi film sebagai bagian dari media
teknologi komunikasi.
Setelah mengikuti mata kuliah ini
diharapkan mahasiswa mengetahui konsep
dan fungsi film sebagai bagian dari media
teknologi komunikasi.
SEJARAH FILM VoIP
Kemunculan film tak terlepas dari stimulasi yang dibawa oleh teknologi fotograf. Teknologi
film sebenarnya merupakan teknologi dari lanjutan dari fotograf. Awal hadirnya inspirasi
untuk membuat gambar bergerak muncul setelah seorang ilmuwan yang bekerja di Paris
memotret pergerakan binatang dengan tujuan membandingkan pergerakan binatang satu
dan lainnya. Dia adalah Etienne Jules Marey. Saat itu dia memotret pergerakan kuda
menggunakan kamera foto. Informasi mengenai temuannya dipublis menjadi sebuah buku
berjudul Animal Mechanism.
Selanjutnya, pada 1877, Seorang fotograf bernama Eardweard Muybridge disewa oleh
seorang peternak kuda jutawan, Leland Stanford. Stanford hendak membuktikan taruhannya
bahwa ketika berlari keempat kaki kuda di angkat ke atas tanah. Untuk itulah Muybridge
kemudian mengatur strategi agar dapat merekam pergerakan kuda yang simultan.
Muybridge menggunakan Sequential Photographs untuk menciptakan ilusi pergerakan.
Muybridge memotret pergerakan kuda menggunakan 12 kamera berbeda yang disebar
sepanjang jalan yang dilalui kuda. Hasilnya, ternyata benar bahwa keempat kaki kuda
diangkat ke atas tanah ketika berlari. Hasil potret Muybridge pun memberi sumbangsih
besar dalam perkembangan studi gambar bergerak. Muybridge pun terus melakukan
eksperimen pemotretan, jumlah kamera terus ditambah menjadi 24 kamera. Dia memotret
hewan-hewan,
lalu
memotret
pergerakan
manusia.
Muybridge
berkeliling
Eropa
mempertunjukkan hasil-hasil potretannya. Akhirnya, pada suatu ketika, dia dan Marey
bertemu. Hingga pada 1882, Marey menyempurnakan sebuah photographic gun camera
yang dapat mengambil 12 potret dalam satu piringan (kamera gambar bergerak yang
pertama). Inilah kamera gambar bergerak yang pertama ditemukan.
Temuan-temuan Marey dan Muybridge terus dikembangkan oleh para ilmuwan lain. Gambar
bergerak terus disempurnakan. Dimulai dari disempurnakannya kamera hasil Marey, lalu
ditemukan proyektor untuk memutar gambar bergerak pada layar lebar, dilakukannya
pembuatan dan pemutaran film hitam-putih, dikembangkannya teknik-teknik pengambilan
gambar dan trik kamera, kemudian industri perfilman menjadi semakin ramai dengan
banyaknya
‘13
2
bermunculan
studio-studio
Integrated Marketing Communications 2
Sari Widuri, Se, Msi.
film
besar
di
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Hollywood,
lalu
semakin
berkembangnya teknologi perfilman yang membuat film menyertakan suara, warna, dan
animasi serta 3 dimensi. Hingga saat ini, perkembangan teknologi film terus berkelanjutan.
 Periode 1900 – 1940

Film pertama kali diputar di Indonesia, berupa film dokumenter dari Belanda
tentang perjalanan Ratu Olanda dan Raja Hertog Hendrik.
Film yang mulai
diputar pada 5 Desember 1900 ini.

5 tahun setelah pemutaran film pertama dunia oleh Lumière) disebut “Gambar
Idoep”. Pemutaran di Indonesia tidak sukses karena tiket terlalu mahal. Pada
tahun 1905 film cerita pertama masuk Indonesia, impor dari Amerika. Film lokal
masih berbentuk dokumenter.

Animo masyarakat akan film cerita impor meningkat di Indonesia, sehingga
sampai tahun 1923 jumlah bioskop juga meningkat.
Bioskop terbuka, yang
biasanya terletak di pasar malam lebih memiliki daya tarik. Film China mulai
masuk melalui China Moving Picture “Li Ting Lang” dan “Satoe Perempoean Jang
Berboedi”). Semua film yang diputar masih film bisu.

Film lokal pertama diproduksi pada tahun 1926, berupa film cerita bisu. Film
berjudul “Loetoeng Kasaroeng” ini diproduksi oleh NV Java Film Company, yang
kemudian juga memproduksi “Eulis Atjih”. Setelah itu makin banyak perusahaanperusahaan film lainnya. Film-film bersuara mulai masuk ke Indonesia, bahkan
ada yang telah menggunakan teks Melayu.

Film lokal bersuara baru diproduksi pada tahun 1931 oleh Tans Film Company
dan Kruegers Film Bedrif berjudul “Atma de Vischer”. Sampai dengan tahun 1931
telah diproduksi 21 judul film bisu dan bersuara. Jumlah bioskop meningkat,
tidak hanya di kota besar, tapi juga di kota kecil (misal: Ambarawa, Balige,
Subang, Tegal).
 Periode 1941 – 1970

Film lokal panen pada 1941, dengan 30 film cerita dan 11 film dokumenter. Tema
film kebanyakan romantisme, diselingi lagu, tarian, lawakan dan laga.
‘13
3
Integrated Marketing Communications 2
Sari Widuri, Se, Msi.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id

Tahun berikutnya film lokal anjlok karena pendudukan Jepang, yang melarang
pembuatan film.
Pada masa itu film diurus oleh Nippon Eiga Sha yang
menjadikan film sebagai alat propaganda politik, film Amerika dilarang. Setelah
Jepang kalah, film-film Hollywood masuk kembali dengan deras, tanpa dibatasi
kuota impornya. Film lokal ada beberapa, misalnya “Moestika Dari Djenar” dan
“Koeda Sembrani”.

Usmar Ismail mendirikan Perfini pada tahun 1950 dengan produksi perdana
“Darah dan Doa”.
Dewan Film Nasional menetapkan tanggal pengambilan
gambar pertama film ini (30 Maret), sebagai Hari Film Nasional.

Djamaludin
Malik
membuat
Festival
Film
Indonesia
(FFI)
untuk
lebih
mempopulerkan film lokal pada tahun 1955. Film karya Usmar Ismail “Lewat Jam
Malam” dinobatkan sebagai film terbaik, lalu diikutsertakan dalam Festival Film
Asia II di Singapore.

PARFI (Persatuan Artis Film Indonesia) berdemonstrasi di depan Presiden
Soekarno
(1956) dan PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia) menutup
semua studionya agar pemerintah membatasi kuota impor film asing.
Film Indonesia terus anjlok setelah FFI I, puncaknya pada zaman PKI tahun 1965. Krisis
politik yang melanda Indonesia berimbas pada perfilman nasional.
Aksi pemboikotan
terhadap film Amerika oleh PARFIAS (Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika
Serikat) menyebabkan film-film impor mati. Film impor selama ini ikut mendukung film lokal
dalam segi dana, sehingga dengan matinya film impor, film lokal pun menderita. Banyak
bioskop yang terpaksa tutup. Setelah boikot usai, film impor beredar lagi, bioskop baru
bermunculan. Namun film nasional tidak juga bangkit dari keterpurukannya.
 Periode 1970 – 1980

Film nasional mulai bangkit pada tahun 1970, dengan produksi 20 judul film. PWI
jaya mengadakan pemilihan Aktor dan Aktris Terbaik di tahun 1971.
Badan
Sensor Film mulai melonggarkan adegan-adegan seks dan ciuman dalam film,
untuk mendongkrak minat penonton. Pemerintah juga menekan peredaran fim
impor.
‘13
4
Integrated Marketing Communications 2
Sari Widuri, Se, Msi.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id

Pada tahun 1974 “Badai pasti berlalu” meraih Piala Antemas sebagai film laris
yang baik, walaupun itu bukanlah film terlaris saat itu. Hal ini karena penonton
lebih tertarik pada film dengan tema seks akibat longgarnya BSF terhadap film
lokal. Film terlaris sebetulnya “Akibat Pergaulan Bebas”.

Tahun 1977 adalah masa paling produktif film nasional, karena pemerintah
mengharuskan importir film untuk memproduksi film lokal. Akibatnya produser
hanya memproduksi film-film demi keuntungan saja, bukan kualitas. Pemerintah
juga mengetatkan kuota terhadap film impor.
 Periode 1980 – 1990

Di tahun 80-an, produksi film-film lokal meningkat (721 judul).
Tema yang
ditampilkan komedi, seks, sex horor, musik (dangdut). Film-film Warkop dan
Rhoma Irama selalu ditunggu penonton.
Film “Lupus” dan “Catatan si Boy”
dibuat sequelnya berkali-kali.

Film paling monumental pada periode ini mungkin “Pengkhianatan G30S/PKI”.
Jumlah penontonnya sangat besar, karena selain campur tangan pemerintah
Orde Baru, film ini juga diputar di TV. Film ini mengukuhkan fungsi film yang
juga sebagai alat tunggangan kepentingan tertentu.

Jumlah bioskop meningkat, bahkan sampai ke pinggiran kota.
Hal ini
memperbesar akses masyarakat, memperbanyak pilihan dan mendewasakan
masyarakat dalam memilih film yang akan ditonton. Bioskop mulai berkelaskelas.

Dewasanya masyarakat dalam memilih film, mendorong semakin gencarnya filmfilm Hollywood yang lebih menjanjikan hiburan yangsesungguhnya. Film lokal
dinilai monoton, tak bermutu, profit oriented serta asal-asalan.

Film berkualitas pada periode ini misalnya “Doea Tanda Mata” dan “Tjoe Njak
Dien”, yang mendapat penghargaan dalam Festival Film Asia Pasifik 1986.
Hal-hal yang mendukung terpuruknya film lokal/nasional:
 Film-film impor dikelola swasta, dan film lokal dibina pemerintah.
Sehingga
memungkinkan terjadi sogok, suap dan KKN dalam peredarannya di bioskop.
‘13
5
Integrated Marketing Communications 2
Sari Widuri, Se, Msi.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
 Cinemascope (21 Grup) hanya mau memutar film produksi Hollywood, tidak memberi
peluang terhadap film lokal.
 Dana hasil peredaran film impor yang sedianya dimanfaatkan untuk memajukan film
nasional tidak dikelola dengan baik oleh BP2N.
Selama 30 tahun hanya
memproduksi 10 judul.
 TV-TV swasta mulai hadir dengan tontonan sinetron dan telenovelanya.
 Periode 1990 – 2000

Garin Nugroho hadir dengan nafas baru perfilman nasional, dengan keberhasilan
menghadirkan tema seks dewasa dan tidak vulgar dalam “Cinta Dalam Sepotong
Roti”. Film lain, “Taxi” karya Arifin C. Noer juga mencetak sukses.

Dewan Film Nasional berusaha mengangkat film nasional dalam “Bulan Tertusuk
Ilalang”, dengan Garin sebagai sutradara. Film ini selain unik dan puitis judulnya,
alur ceritanya tidak teratur dan dituturkan secara linier, dialog yang minim serta
sangat menonjolkan perjalanan kejiwaan tokohnya.. Sayangnya masyarakat kita
belum siap dengan gaya baru perfilman ini.

Film yang dianggap sukses baik di pasaran maupun segi kualitas adalah “Daun di
Atas Bantal” karya Garin lagi. Film ini berhasil menembus dominasi film impor di
21 dan meraih berbagai penghargaan di Festival Film Canes.
TEKNOLOGI FILM
Teknologi fim memiliki karakter yang spesial karena bersifat audio dan visual. Karakter ini
menjadikan film sebagai cool media yang artinya film merupakan media yang dalam
penggunaannya menggunakan lebih dari satu indera. Film pun menjadi media yang sangat
unik karena dengan karakter yang audio-visual film mampu memberikan pengalaman dan
perasaan yang spesial kepada para penonton/khalayak. Para penonton dapat merasakan ilusi
dimensi parasosial yang lebih ketika menyaksikan gambar-gambar bergerak, berwarna, dan
bersuara. Dengan karakter audio-visual ini juga film dapat menjadi media yang mampu
menmbus batas-batas kultural dan sosial.
‘13
6
Integrated Marketing Communications 2
Sari Widuri, Se, Msi.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Teknologi perfilman di Indonesia mengikuti perkembangan teknologi internasional. Dari film
bisu (dokumenter atau cerita), bersuara, warna dan teknik sinematografi lainnya. Adanya
kamera digital dan handy-cam memungkinkan dibuatnya film-film yang sifatnya amatir dan
pribadi, walau ada juga yang disalahgunakan (kasus film porno).
Dari segi distribusi film, media video di awal 80-an sempat populer. Banyak rental-rental
video yang mendukung animo masyarakat terhadap film-film di video. Teknologi kita yang
mengacu ke Jepang menyebabkan video yang beredar dalam bentuk Beta (dipopulerkan
oleh Sony Betamax), padahal di Amerika video dalam bentuk VHS. Masa kejayaan video
(Beta) ini tak lama bertahan. Muncul video Laser yang kualitasnya jauh lebih baik dari video.
Namun laser tidak terlalu populer karena perangkatnya mahal dan video Lasernya masih
jarang. Tidak banyak rental yang menyewakan laser, karena laser biasanya harus asli, yang
otomatis mahal. Laser dengan mudah digantikan oleh VCD. Kecenderungan terhadap VCD
ini terus meningkat walaupun di USA, VCD sudah tergantikan oleh DVD.
DVD yang
menawarkan teknologi gambar dan suara yang bermutu, juga lebih dapat memvisualisasikan
efek khusus film.
DVD sebenarnya dapat meredam pembajakan jika dilakukan sesuai
prosedur.
KELEBIHAN DAN KELEMAHAN FILM
Kelebihan film adalah karakternya yang audio-visual menjadikan film lebih kuat dalam
menyampaikan pesan kepada khalayak yang multikultur dan lintas kelas sosial. Perasaan dan
pengalaman yang hadir saat menonton film pun menjadikan film sebagai media yang spesial
karena dapat membuat khalayak terbawa ke dalam film bersama dimensi parasosial yang
dihadirkan. Bagi para pembuat film, film merupakan media yang sangat representatif atas
ide-ide kreatif mereka. Dan keakraban film terhadap khalayak menjadikan ide-ide dan pesan
para pembuat film lebih gampang diterima khalayak.
Kekurangan dari film adalah sebagai sangat multitafsir. Diperlukan analisa tersendiri untuk
memahami unsur-unsur semiotik yang ditampilkan dalam film. Kemampuan film menembus
batas-batas kultural di sisi lain justru membuat film-film yang membawa unsur tradisional
susah untuk ditafsirkan bahkan salah tafsir oleh penonton yang berasal dari kelompok
‘13
7
Integrated Marketing Communications 2
Sari Widuri, Se, Msi.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
budaya lain. Sedangkan kekurangan lain dari film adalah film-film yang dibuat dalam
universalitas akan turut membentuk apa yang disebut common culture yang dapat mengikis
lokalitas masyarakat tertentu. Film juga sangat memberikan efek pada orang yang
menontonnya terutama anak-anak, sehingga untuk jenis film-film tertentu seperti horor,
kekerasan dan pornografi akan memberikan pengaruh negatif bagi khalayak. Dari segi
industri, industrialisasi dan komersialisasi film telah menjadikannya sebagai media yang
dikomodifikasi. Sahingga saat ini banyak film-film yang hanya mengejar pangsa pasar dan
profit semata, kualitas pun tidak dipedulikan. Ideologi yang diusung film pun tidak jelas,
semuanya hanya mengejar.
FUNGSI & KARAKTERISTIK FILM
Seperti halnya televisi siaran, tujuan khalayak menonton film terutama adalah ingin
memperoleh hibutan. Akan tetapi dalam film dapat terkandung fungsi informatif maupun
edukatif, bahkan persuasif. Film meiliki karakteriktik tersendiri, karakteristtik film:

Layar yang luas/lebar

Pengambilan Gambar pemandangan menyeluruh

Konsentrasi penuh

Identifikasi Psikologis
Jenis film:
Film Cerita : Jenis film yang mengandung suatu cerita yang lazim dipertunjukan di

gedung-gedung bioskop dengan bintang tenar film tenar dan didistribusikan sebagai
barang cadangan
‘13

Film Berita : Peristiwa fakta, yang benar-benar terjadi

Film Dokumenter : Karya ciptaan mengenai kenyataan.

Film Kartun : Dikonsumsi untuk anak-anak.
8
Integrated Marketing Communications 2
Sari Widuri, Se, Msi.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
FILM SEBAGAI MEDIA BUDAYA
Melalui film sebenarnya kita banyak belajar tentang budaya. Baik itu budaya masyarakat di
mana kita hidup di dalamnya, atau bahkan budaya yang sama sekali asing buat kita. Dan kita
menjadi mengetahui bahwa budaya masyarakat ini begini dan budaya masyarakat itu begitu,
terutama melalui film. Film juga dilihat sebagai media sosialisasi dan media publikasi budaya
yang ampuh dan persuasif. Buktinya adalah ajang-ajang festival film semacam Jiffest (Jakarta
International Film Festival), Festival Film Perancis, Pekan Film Eropa, dan sejenisnya
merupakan ajang tahunan yang rutin di selenggarakan di Indonesia. Festival Film Indonesia
dalam beberapa tahun ini mulai dihidupkan lagi setelah terhenti cukup lama.
Film-film yang disajikan dalam pelbagai ajang festival tadi telah berperan sebagai duta besar
kebudayaan mereka sendiri, untuk diperkenalkan kepada masyarakat yang memiliki budaya
yang tentunya berbeda dengan dari mana film tersebut berasal. Duta besar yang tidak
birokratis. Begitu pula dengan audiensnya. Mereka dengan sadar datang menonton film
salah satunya untuk mengenal budaya pihak lainnya. Mereka menonton film Iran karena
ingin tahu bagaimana kehidupan sosial budaya masyarakat Iran dan berbagai dinamikanya.
Belum lagi film Ceko, Hongaria, Cile, Korea Utara, dan sebagainya.
Unsur-unsur dan nilai budaya ini yang sering luput dari sajian televisi. Media televisi tidak
bisa atau lebih tepatnya tidak merasa perlu untuk menyajikan nilai budaya sebagaimana
yang tersajikan melalui media film. Film untuk itu dipahami sebagai representasi budaya.
Film digunakan sebagai cerminan untuk mengaca atau untuk melihat bagaimana budaya
bekerja atau hidup di dalam suatu masyarakat. Ketika kita melihat film Ali Topan maka pada
dasarnya kita sedang melihat cerminan dari budaya remaja yang terjadi pada era di mana Ali
Topan itu hidup. Dan ketika kita menonton film Ada Apa Dengan Cinta maka kita juga
sedang melihat representasi budaya remaja era Dian Sastro dan Nicolas Saputra.
Chris Barker menyebutkan bahwa representasi merupakan kajian utama dalam cultural
studies. Representasi sendiri dimaknai sebagai bagaimana dunia dikonstruksikan secara
sosialn dan disajikan kepada kita dan oleh kita di dalam pemaknaan tertentu. Cultural studie
memfokuskan diri kepada bagaimana proses pemaknaan representasi itu sendiri.
‘13
9
Integrated Marketing Communications 2
Sari Widuri, Se, Msi.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Menurut Stuart Hall (1997), representasi adalah salah satu praktek penting yang
memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan
menyangkut ‘pengalaman berbagi’. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama
jika manusia-manusia yang ada disitu membagi pengalaman yang sama, membagi kodekode kebudayaan yang sama, berbicara dalam ‘bahasa’ yang sama, dan saling berbagi
konsep-konsep yang sama.
Representasi film harus lebih dilihat sebagai upaya menyajikan ulang sebuah realitas. Dalam
usaha menyajikan ulang ini tentunya sampai kapan juga tidak akan pernah menyajikan
dirinya sebagai realitas yang aslinya. Film sebagai representasi budaya hanyalah
sebagai second hand reality. Belum lagi jika kita membedah lebih lanjut bagaimana proses
produksi film sebagai proses representasi tadi. Di balik proses representasi ada siapa saja
yang terlibat di dalamnya, dalam rangka kepentingan apa, dan bagaimana representasi yang
mereka lakukan. Jadi yang namanya representasi itu sangat sulit untuk dibilang netral atau
alamiah.
‘13
10
Integrated Marketing Communications 2
Sari Widuri, Se, Msi.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
DAFTAR PUSTAKA
1. http://uniqpost.com/20645/sejarah-perkembangan-handphone-untuk-pertamakalinya/
2. http://mazipanneh.wordpress.com/2012/01/04/sejarah-dan-perkembanganhandphone-dari-masa-ke-masa/
3. http://id.wikipedia.org/wiki/Telepon_genggam
4. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21668/4/Chapter%20I.pdf
5. http://saepulhamdi.blogspot.com/2013/05/perkembangan-teknologi-radio.html
6. Suryo, RM Roy. 1996. Televisi Sebagai Fungsi Media Komunikasi Massa.Yogyakarta.
Bahan Diktat Pendidikan Audio Visual Reguler LPM MANDIRI Yogyakarta
7. Sastro Subroto, Darwanto. 1994. Produksi Acara Televisi. Yogyakarta : Duta Wacana
University Press
8. Sumarno, Marselli. 1996. Dasar-Dasar
Apresiasi Film. Jakarta : PT Gramedia
Widiasarana Indonesia
9. http://husnun.wordpress.com/2011/04/27/film-sebagai-bagian-dari-media-massa/
‘13
11
Integrated Marketing Communications 2
Sari Widuri, Se, Msi.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download