BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang sangat majemuk terdiri dari berbagai macam suku, budaya, ras dan agama. Setiap suku tersebut memiliki kebudayaan-kebudayaan asli yang menjadi ciri khasnya dan terus dipertahankan. Salah satu aspek yang menarik dari kebudayaan di Indonesia adalah keaslian budaya beberapa daerah yang masih tetap dipertahankan. Budaya tersebut sangat berpengaruh pada suku tertentu dalam berinteraksi dengan suku lainnya. Hal ini sangat jelas sebab kita pun berasal dari daerah dan suku yang berbeda dan membutuhkan waktu untuk memahami budaya dan adat setempat. Pemahaman tentang kebudayaan adalah suatu persoalan yang sangat dalam dan luas, bidang cakupannya meliputi seluruh pikiran, rasa,karsa, dan hasil karya manusia. Kebudayaan selalu menunjukkan adanya derajat menyangkut tingkatan hidup dan penghidupan manusia. Pada dasarnya budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat, yang berkenaan dengan cara hidup. Budaya yang menampakkan diri dalam pola-pola bahasa dan bentuk kegiatan dan perilaku yang befungsi sebagai model-model dalam tindakan-tindakan penyesuaian diri dalam segala gaya komunikasi yang memungkinkan orang-rang tinggal dalam suatu masyarakat di suatu lingkungan geografis tertentu pada suatu tingkat perkembangan teknis tertentu pada suatu saat tertentu, budaya juga berkenaan dengan sifat-sifat dari 1 obyek-obyek materi yang berupa bentuk rumah, alat-alat pertanian dan jenis-jenis alat transportasi yang memainkan peranan penting dalam kehidupan sehari-hari. Manusia sebagai makhluk budaya mengandung pengertian bahwa manusia menciptakan budaya dan kemudian budaya memberika arah dalam hidup dan tingkah laku manusia. Kebudayaan merupakan hasil dari adanya ide-ide dan gagasan-gagasan yang kemudian mengakibatkan terjadinya aktivitas dan menghasilkan suatu karya (kebudayaan fisik). Menurut Marvin Harris (dalam Spradley, 2007:5) konsep kebudayaan ditampakkan dalam berbagai pola tingkah laku yang dikaitkan dengan kelompok-kelompok masyarakat tertentu seperti adat atau cara hidup masyarakat. Kebudayaan selalu menunjukkan adanya derajat dan penghidupan manusia. Dengan menciptakan adat, budaya serta lingkungan sosial yang berbeda-beda dapat ditumbuhkembangkan dan diwariskan kepada generasi ke generasi. Budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan, karena pada hakikatnya seluruh perbendaharaan perilaku kita sangat brgantung pada budaya tempat kita dibesarkan. Cara kita berkomunikasi sangat bergantung pada budaya kita: bahasa, aturan-aturan dan norma-norma kita masing-masing. Budaya dan komunikasi mempunyai hubungan yang timbal balik, seperti dua sisi dari satu mata uang. Budaya yang menjadi bagian dari perilaku komunikasi dan pada gilirannya komunikasi itu turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya, dapat ditekankan bahwa budaya adalah komunikasi dan komunikasi adalah budaya. Terdapat hubungan yang mutlak antara manusia dengan kebudayaannya sehingga pada hakikatnya dapat disebut sebagai makhluk budaya. “Kebudayaan 2 sendiri adalah merupakan kesatuan dari gagasan simbol-simbol dan nilai-nilai yang mendasari hasil karya dan perilaku manusia, sehingga tidaklah berlebihan apabila dilanjutkan bahwa begitu eratnya kebudayaan dan simbol-simbol yang diciptakan oleh manusia sehingga manusia disebut sebagai Homo Simbolicum”. (Said. 2004:3) Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa karya budaya manusia penuh dengan simbolisme, sesuai dengan tata pemikiran atau paham yang mengarahkan pola-pola kehidupan sosialnya. Seperti pada budaya suku Toraja di Sulawesi Selatan, suku ini memiliki banyak hal yang dapat diungkapakan secara simbolik, baik dari segi ritual upacaranya yaitu Rambu Tuka’dan Rambu Solo’ dan juga dalam unsur visual seperti arsitektur rumah adat yang dipenuhi berbagai macam corak ukiran. Semuanya berpatokan pada nilai tradisonal yang terkandung dalam kepercayaan asli Toraja yaitu Aluk Todolo. Tongkonan berasal dari kata Tongkon yang bermakna menduduki atau tempat duduk. Dikatakan sebagai tempat duduk karena dahulu menjadi tempat berkumpulnya bangsawan Toraja yang duduk dalam tongkonan untuk berdiskusi. Rumah adat ini mempunyai fungsi sosial dan budaya yang bertingkat-tingkat di masyarakat. Awalnya merupakan pusat pemerintahan, kekuasaan adat, sekaligus perkembangan kehidupan sosial budaya masyarakat Toraja. Ada beberapa jenis rumah adat tongkonan, antara lain (pesio'aluk), yaitu tempat menyusun aturan-aturan Tongkonan layuk sosial keagamaan. Tongkonanpekaindoran (pekamberan atau kaparengngesan), yaitu berfungsi sebagai tempat pengurus atau pengatur pemerintahan adat.Ada juga batu a'riri yang berfungsi 3 sebagai Tongkonan penunjang yang mengatur dan membina persatuan keluarga serta membina warisan. Tongkonan milik bangsawan Toraja berbeda dengan dari orang awam, yaitu pada bagian dinding, jendela, dan kolom, dihiasi motif ukiran yang halus, detail, dan beragam. Ada ukiran bergambar ayam, babi, dan kerbau, serta diselang-seling sulur mirip batang tanaman. Menurut cerita masyarakat setempat bahwa Tongkonan pertama itu dibangun oleh Puang Matua atau sang pencipta di surga. Dulu hanya bangsawan yang berhak membangun Tongkonan. Selain itu, rumah adat Tongkonan tidak dapat dimiliki secara individu tapi diwariskan secara turun-temurun oleh marga suku Toraja. Rumah Tongkonan rata-rata dibangun selama tiga bulan dengan sepuluh pekerja. Kemudian ditambah proses mengecat dan dekorasi satu bulan berikutnya. Setiap bagian Tongkonan melambangkan adat dan tradisi masyarakat Toraja. Tongkonan akan terus dibangun dan didekorasi ulang oleh masyarakat Toraja. Hal itu bukan karena alasan perbaikan tetapi lebih untuk menjaga gengsi dan pengaruh dari kaum bangsawan. Pembangunan kembali rumah tongkonan akan disertai upacara rumit yang melibatkan seluruh warga dan tidak jauh berbeda dengan upacara pemakaman. Ukiran Toraja bukan hanya sebagai gambar yang diciptakan begitu saja untuk menghiasi suatu bentuk atau benda ataupun Tongkonan tetapi seluruh macam ukiran itu lahir dari pengertian masalah hidup atau pergaulan hidup serta cita-cita kehidupan masyarakat, makanya seluruh ukiran yang ada sekarang mempunyai arti yang dalam. Menurut sejarah ukiran pada mulanya hanya dikenal 4 (empat) bentuk dasar gambar 4 (lambang) yaitu lambang dari 4 (empat) pokok kehidupan manusia, dan kemudiaan diaplikasikan pada Tongkonan dengan maksud akan tetap menjadi perhatian dan selalu diingat oleh masyarakat. Oleh karena itu pemasangan ukiran tidak diletakkan sembarangan tempat pada rumah adat, tetapi dipasang menurut pandangan dan falsafah hidup Toraja. Ukiran-ukiran yang ada di rumah adat Toraja melambangkan status sosial masyarakat Toraja. Ukiran Toraja terinspirasi dari beragam hal seperti cerita rakyat, benda langit, binatang yang disakralkan, peralatan rumah tangga, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain yang oleh orang Toraja memang disakralkan (Sitonda, 2007). Ukiran Toraja merupakan bentuk seni ukir yang dicetak menggunakan alat ukir khusus di atas sebuah papan kayu, tiang rumah adat, jendela atau pintu (Kadang, 1960). Ditinjau dari segi fungsinya, ukiran Toraja selain sabagai elemen estetis, juga berfungsi sebagai media ekspresi simbolik untuk melampiaskan hasrat, pengabdian, persembahan, dan kebaktian terhadap nenek moyang atau dewa yang dihormati, terutama dalam hubungannya dengan kepercayaan Aluk Todolo. (Tangdilintin, 1985:23-25) Ornamen ukiran rumah Tongkonan berupa tanduk kerbau serta empat warna dasar yaitu: hitam, merah, kuning, dan putih yang mewakili kepercayaan asli Toraja (Aluk To Dolo). Tongkonan milik bangsawan Toraja berbeda dengan dari orang umumnya, yaitu pada bagian dinding, jendela, dan kolom, dihiasi motif ukiran yang halus, detail, dan beragam. Ada ukiran bergambar ayam, babi, dan kerbau, serta diselang-seling sulur mirip batang tanaman. 5 Simbol dalam suatu masyarakat merupakan salah satu pedoman penunjuk arah untuk bertingkah laku secara mantap dan pasti. Ukiran yang ada pada Tongkonan dapat digunakan untuk melihat dan mengetahui simbol status sosial pemilik Tongkonan. Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tingi, ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan dari bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga. Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga, tinggal di tongkonan, sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat Tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapa gerak sosial yang dapat memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki. Budak dalam masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga. Kadang-kadang orang Toraja menjadi budak karena terjerat utang dan membayarnya dengan cara menjadi budak. 6 Budak bisa dibawa saat perang, dan perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa membeli kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi status budak. Budak tidak diperbolehkan memakai perunggu atau emas, makan dari piring yang sama dengan tuan mereka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati. Diperlukan peran aktif dan pastisipasi dari masyarakat dalam melestarikan budaya, karena bila tidak dilakukan maka budaya asli akan hilang karena akulturasi denga budaya lain atau berubah oleh pola pikir masyarakatnya. Kebudayaan yang ada pada suatu kelompok masyarakat atau etnis tertentu tidak akan hilang begitu saja semudah membalikkan telapak tangan, akan tetapi kebudayaan dapat berubah atau berakulturasi dengan kebudayaan lain seiring dengan perkembangan pola pikir dari masyarakat (Koentjaraningrat, 2002:248). Kebudayaan juga mencakup aturan, prinsip, dan ketentuan-ketentuan kepercayaan yang terpelihara rapi yang secara turun temurun diwariskan kepada generasi ke generasi, ini juga dapat dilihat dalam masyarakat Toraja, kebudayaan yang ada dan dikembangkan serta diketahui dan diakui pihak lain, menunjukkan adanya pewarisan budaya dari leluhur masyarakat Toraja. Berdasarkan pengamatan sementara, dari beberapa generasi muda Toraja yang ditanya tentang nama dan arti dari ukiran Toraja, ternyata mereka kurang memahaminya, bahkan ada juga dari kalangan orang tua yang juga tidak memahami akan kebudayaan mereka tersebut. Dari hasil pengamatan sementara tersebut, dapat dilihat bahwa, budaya lokal Toraja di kalangan generasi muda Toraja kini mulai terkikis. Seharusnya kebudayaan tersebut dilestarikan tetapi malah diabaikan. 7 Menurut mereka, ukiran-ukiran tersebut tidak diajarkan di sekolah, sehingga merekapu tidak memahaminya. Makna ukiran pada rumah adat Toraja hanya sebagian dari masyarakat Toraja yang memahaminya. Banyak rumah adat yang dibangun harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada sejak dahulu kala. Berdasarkan pemaparan di atas maka penulis terdorong untuk melakukan penelitian dengan judul :“Makna Pesan Pada Corak Ukiran Tongkonan Sebagai Simbol Status Sosial Masyarakat Toraja’’. B. Rumusan Masalah Tongkonan merupakan salah satu bentuk kearifan lokal di Indonesia yang mengagumkan. Rumah adat ini dipenuhi berbagai macam corak ukiran yang memiliki makna masing-masing. Berbagai variasi gambar dan simbol yang diukir menghiasi hampir semua bagian dari Tongkonan. Ukiran-ukiran tersebut untuk menunjukkan konsep keagamaan dan sosial suku Toraja yang disebut Passura’ (tulisan). Ukiran tersebut bukan hanya sebagai gambar yang diciptakan begitu saja untuk menghiasi Tongkonan tetapi seluruh corak ukiran tersebut lahir dari pengertian masalah hidup atau pergaulan hidup serta cita-cita kehidupan masyarakat Toraja serta berpatokan pada nilai tradisi yang terkandung dalam kepercayaan asli di Toraja yaitu Aluk Todolo. Pola yang terukir memiliki makna dengan persentase simbol tertentu dari pemilik ataupun rumpun keluarga dan merupakan simbol status sosial dari pemilik rumah adat tersebut. 8 Berdasarkan uraian di atas beberapa permasalahan dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut : 1. Corak ukiran apa saja yang terdapat pada Tongkonan yang melambangkan status sosial masyarakat Toraja? 2. Pesan-pesan apa yang terdapat pada ukiran Tongkonan sebagai simbol status sosial masyarakat Toraja? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui corak ukiran pada Tongkonan yang melambangkan simbol status sosial masyarakat Toraja. 2. Untuk mengetahui pesan-pesan yang terdapat pada ukiran Tongkonan sebagai simbol status sosial masyarakat Toraja. Kegunaan Penelitian a. Kegunaan Teoritis - Sebagai bahan rujukan bagi mahasiswa yang melakukan penelitian di bidang komunikasi antarbudaya. - Sebagai sumber data ilmiah bagi pihak-pihak tertentu yang membutuhkannya sebagai bahan kajian. 9 b. Kegunaan Praktis - Sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan studi di jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin. - Penambah wawasan tentang budaya Toraja bagi masyarakat dalam memahami makna ukiran Toraja. D. Kerangka Konseptual Mengkaji kebudayaan tidak dapat terlepas dari data yang dapat dikategorikan kedalam lima jenis, yaitu,artifak, perilaku kinetis yang digerakkan oleh otot manusia, perilaku verbal yang mewujudkan diri ke dalam dua bentuk yaitu tuturan yang terdiri atas bunyi bahasa danteks yang terdiri atas tanda-tanda visual. Semua obyek dari kajian teori kebudayaan memperlihatkan tata susunan atau pola keteraturan tertentu yang dijadikan dasar untuk memperlakukan hal-hal itu sebagai data yang bermakna, karena merupakan hasil kegiatan manusia sebagai mahluk yang terikat pada kelompok atau kolektiva, dan karena keterikatan itu mewujudkan kebermaknaan itu. Kebudayaan merupakan sebuah sistem, dimana sistem itu terbentuk dari perilaku, baik itu perilaku badan maupun pikiran. Hal ini berkaitan erat dengan adanya gerak dari masyarakat, dimana pergerakan yang dinamis dan dalam kurun waktu tertentu akan menghasilkan sebuah tatanan ataupun sistem tersendiri dalam kumpulan masyarakat. 10 Menurut Said (2004:3) kebudayaan itu adalah satuan dari gagasan, simbolsimbol dan nilai-nilai yang mendasari hasil karya dan perilaku manusia, sehingga tidak berlebihan apabila dilanjutkan bahwa begitu eratnya kebudayaan dengan simbol-simbol yang diciptakan manusia sehingga manusia dapat disebut sebagai Homo Symbolicum. Untuk mengerti simbol-simbol yang terdapat dalam masyarakat tradisional yang mungkin berkaitan dengan mitos dan spirit religius maka dibutuhkan pengetahuan mengenai sistem budaya yang berlaku dalam masyarakat itu, termasuk pengalaman hidupnya. Demikian halnya dengan makna corak ukiran pada rumah adat Toraja hanya apat dipahami bila terlebih dahulu mengerti sistem budaya masyarakatnya. Menurut Van Romondt ( Said, 2004:7), rumah adalah suatu shelter atau tempat berlindung manusia dalam menghadapi cuaca panas, dingin, hujan dan angin. Dahulu pengertian rumah tinggal adalah sebagai tempat berlindung dari panasnya matahari dan serangan binatang binatang buas yang menjdi musuh manusia. Namun, sekarang selain hal tersebut di atas, juga berarti sebagai tempat beristirahat, membina keluarga, tempat bekerja sekaligus sebagai lambang sosial. Masyarakat Toraja menganggap rumah Tongkonan sebagai ibu, sedangkan alang sura (lumbung padi) sebagai bapak. Tongkonan berfungsi untuk rumah tinggal, kegiatan sosial, upacara adat, serta membina kekerabatan. Ragam hias rumah adat Toraja memiliki ciri khas tersendiri, bentuk dan fungsinya juga demikian. Corak ukiran yang ada pada Tongkonan memiliki makna pesan masing-masing. Corak yang dipasang merupakan lambang atau tanda status sosial dari pemilik rumah adat tersebut. 11 Simbol adalah bentuk yang menandai sesuatu yang lain di luar perwujudan bentuk simbolik itu sendiri. Simbol juga dapat semacam tanda, lukisan, perkataan, lencana, dan sebagainya, yang menyatakan sesuatu hal, atau mengandung maksud tertentu. Misalnya, warna putih merupakan lambang kesucian, lambang padi lambang kemakmuran, dan kopiah merupakan salah satutanda pengenal bagi warga Negara Republik Indonesia. Dalam konsep Pierce simbol diartikan sebagai tanda yang mengacu pada objek tertentu di luar tanda itu sendiri. Semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol. Simbol adalah objek atau peristiwa apa pun yang merujuk pada sesuatu. Semua simbol melibatkan tiga unsur, yaitu symbol itu sendiri, satu rujukan atau lebih, dan hubungan antara symbol dengan rujukan. Ketiga hal ini mrupakan dasar bagi semua makna simbolik ( Spradley 2007:134). Simbol atau lambang merupakan salah satu kategori tanda (sign). Dalam wawasan Pierce, tanda (sign) terdiri atas ikon (icon), indeks (index), dan simbol (symbol). Pada dasarnya ikon merupakan tanda yang bisa menggambarkan ciri utama sesuatu, meskipun sesuatu yang lazim disebut sebagai objek acuan tersebut tidak hadir. Misalnya, gambar Amin Rais adalah ikon Amin Rais. Indeks adalah tanda yang hadir secara asosiatif akibat terdapatnya hubungan ciri acuan yang sifatnya tetap. Kata rokok, misalnya, memiliki indeks asap. Banyak orang yang selalu mengartikan simbol sama dengan tanda. Sebetulnya tanda berkaitan langsung dengan objek, sedangkan simbol memerlukan proses pemaknaan yang lebih intensif setelah menghubungkan dia dengan objek. Dengan kata lain, simbol lebih substantive 12 daripada tanda. Dalam hal ini yang simbol dari rumah adat Toraja adalah Tongkonan, dan makna yang terkandung dalam setiap corak ukiran yang ada pada rumah adat tersebut yang mewakili eksistensi dari daerah Toraja. Salah satu kebutuhan pokok manusia, seperti yang dikatakan Susanne K. Langer adalah kebutuhan sosialisasi atau pengguna lambang. Ernest Cassier menyatakan bahwa keunggulan manusia atas makhluk lainnya adalah mereka sebagai animal symbolicum (Mulyana, 2000:84). Simbol merupakan salah satu unsur komunikasi sehingga seperti halnya komunikasi, simbol tidak muncul dalam ruang hampa social melainkan dalam suatu konteks (fisik, waktu, historis, psikologis, social dan budaya) atau situasi tertentu. Dalam “bahasa” komunkasi, simbol seringkali disitilahkan sebagai lambang. Simbol atau lambang adalah sesuatu yang digunakan untuk merujuk sesuatu berdasarkan kesepakatan kelompok orang. Dimensi simbolik dapat ditemukan dalam berbagai bentuk, baik yang konkrit maupun yang abstrak sebagai tanda dari adanya suatu nilai yang ditunjukkan dalam sebuah adat dari budaya simbol yang diekspresikan. Budaya terdiri dari simbol-simbol, dimiliki bersama oleh anggota masyarakat, tergantung pada persepsi seseorang dapat mengartikan makna dari simbol Ketika semua bentuk komunikasi adalah tanda, maka dunia ini penuh dengan tanda. Ketika kita berkomunikasi, kita menciptakan tanda sekaligus makna. Dalam perspektif semiologi atau semiotika, pada akhirnya komunikasi akan menjadi suatu ilmu untuk mengungkapkan pemaknaan dari tanda yang diciptakan oleh proses 13 komunikasi itu sendiri. Teori relasional makna didasarkan pada premis bahwa makna symbol apapun merupakan hubungan simbol itu dengan symbol lain (Spradley 2007:137). Pada penyusunan kerangka teori dalam penelitian ini, peneliti juga menggunakan pragmatisme Charles Sanders Peirce. Simbol yang diartikan Pierce sebagai tanda yang mengacu pada objek itu sendiri, melibatkan tiga unsur mendasar dalam teori segi tiga makna : simbol itu sendiri, satu rujukan atau lebih dan hubungan antara simbol dengan rujukan (Sobur, 2003 : 156). Di sini dapat dilihat, bahwa hubungan antara simbol sebagai penanda dengan sesuatu yang ditandakan (petanda) sifatnya konvensional. Berdasarkan konvesi tersebut, Alex Sobur (2003 : 156) memaparkan, masyarakat pemakainya menafsirkan ciri hubungan antara simbol dengan objek yang diacu dan menafsirkan maknanya. Tanda dalam Peirce, (Sobur:17) adalah sesuatu yang hidup dan dihidupi (cultifated), ia hadir dalam proses interpretasi (semiosis) yang mengalir. 14 Berikut bagan konseptual dari penelitian ini : Tongkonan Ukiran Interpretasi Simbol Makna Pesan Status Soisal Bagan: Kerangka Konseptual E. Metode Penelitian 1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilakukan kurang lebih 3 bulan, mulai dari bulan Juni-Agustus 2012. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan. 2. Tipe Penelitian Tipe penelitian yang akan digunakan adalah deskripstif kualitatif yaitu penulis memberikan gambaran dan penjelasan tentang makna corak ukiran yang terdapat 15 pada rumah adat Toraja agar dapat dipahami oleh masyarakat lain yang belum mengetahuinya. 3. Informan Informan dalam penelitian ini adalah dua orang tokoh adat Toraja, ahli ukir Toraja dan masyarakat biasa yang mempunyai wawasan dan paham tentang makna ukiran Toraja. 4. Jenis danSumber Data a. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan berdasarkan pengamatan langsung, dialog dan wawancara mendalam dengan informan yang telah ditentukan. b. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh penulis melalui kajian kepustakaan, yaitu pengumpulan data yang diperoleh dari berbagai data yang berhubungan dengan berupa buku-buku, data dari perpustakaan dan literatur-literatur lain yang berhubungan dengan penelitian tersebut. 5. Teknik pengumpulan data 1. Observasi Observasi adalah pengumpulan data yang dilakukan dengan pengamatan langsung di lokasi penelitian. 16 2. Wawancara Pengumpulan data ini dilakukan melalui wawancara terhadap informan dan membaca literatur-literatur menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti. F. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan untuk penelitian ini adalah analisis data kualitatif, yaitu dengan melakukan interpretasi terhadap makna corak ukiran yang terdapat pada Tongkonan. 17 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA A. Komunikasi Kata atau istilah komunikasi (dari bahasa Inggris “communication”),secara etimologis atau menurut asal katanya adalah dari bahasa Latin communicatus, dan perkataan ini bersumber pada kata communis. Dalam kata communis ini memiliki makna ‘berbagi’ atau ‘menjadi milik bersama’ yaitu suatu usaha yang memiliki tujuan untuk kebersamaan atau kesamaan makna. Komunikasi secara terminologis merujuk pada adanya proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain. Jadi dalam pengertian ini yang terlibat dalam komunikasi adalah manusia. Karena itu merujuk pada pengertian Ruben dan Steward(1998:16) mengenai komunikasi manusia yaitu : Human communication is the process through which individuals –in relationships, group, organizations and societies—respond to and create messages to adapt to the environment and one another. Bahwa komunikasi manusia adalah proses yang melibatkan individu-individu dalam suatu hubungan, kelompok, organisasi dan masyarakat yang merespon dan menciptakan pesan untuk beradaptasi dengan lingkungan satu sama lain. Untuk memahami pengertian komunikasi tersebut sehingga dapat dilancarkan secara efektif dalam Effendy(1994:10) bahwa para peminat komunikasi seringkali mengutip paradigma yang dikemukakan oleh Harold Lasswell dalam karyanya, The 18 Structure and Function of Communication in Society. Lasswell mengatakan bahwa cara yang baik untuk untuk menjelaskan komunikasi ialah dengan menjawab pertanyaan sebagai berikut: Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect? Paradigma Lasswell di atas menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan itu,yaitu: 1. Komunikator (siapa yang mengatakan?) 2. Pesan (mengatakan apa?) 3. Media (melalui saluran/ channel/media apa?) 4. Komunikan (kepada siapa?) 5. Efek (dengan dampak/efek apa?). Jadi berdasarkan paradigma Lasswell tersebut, secara sederhana proses komunikasi adalah pihak komunikator membentuk (encode) pesan dan menyampaikannya melalui suatu saluran tertentu kepada pihak penerima yang menimbulkan efek tertentu. Beberapa definisi Komunikasi menurut para ahli : Onong Cahyana Effendi : “Komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberitahu, mengubah sikap, pendapat, atau perilaku, baik secara lisan (langsung) ataupun tidak langsung (melalui media)”. Harold Laswell : “Komunikasi adalah gambaran mengenai siapa, mengatakan apa, melalui media apa, kepada siapa, dan apa efeknya." 19 Raymond Ross : “Komunikasi adalah proses menyortir, memilih, dan pengiriman simbolsimbol sedemikian rupa agar membantu pendengar membangkitkan respons/ makna dari pemikiran yang serupa dengan yang dimaksudkan oleh komunikator”. Gerald R. Miller : “Komunikasi terjadi saat satu sumber menyampaikan pesan kepada penerima dengan niat sadar untuk mempengaruhi perilaku mereka”. Everett M. Rogers : “Komunikasi adalah proses suatu ide dialihkan dari satu sumber kepada satu atau banyak penerima dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka”. Carl I. Hovland : “Komunikasi adalah suatu proses yang memungkinkan seseorang menyampaikan rangsangan (biasanya dengan menggunakan lambang verbal) untuk mengubah perilaku orang lain”. New Comb : “Komunikasi adalah transmisi informasi yang terdiri dari rangsangan diskriminatif dari sumber kepada penerima”. Bernard Barelson & Garry A. Steiner : “Komunikasi adalah proses transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan dan sebagainya dengan menggunakan simbol-simbol, kata-kata, gambar, grafis, angka, dsb”. Colin Cherry : “Komunikasi adalah proses dimana pihak-pihak saling menggunakan informasi dengan untuk mencapai tujuan bersama dan komunikasi merupakan kaitan hubungan yang ditimbulkan oleh penerus rangsangan dan pembangkitan balasannya”. 20 Hovland, Janis dan Kelley : “Komunikasi merupakan proses individu mengirim rangsangan (stimulus) yang biasanya dalam bentuk verbal untuk mengubah tingkah laku orang lain. Pada definisi ini mereka menganggap komunikasi sebagai suatu proses”. Louis Forsdale : “Menurut Forsdale (1981), ahli komunikasi dan pendidikan “communication is the process by which a system is established, maintained and altered by means of shared signals that operate according to rules”. Komunikasi adalah suatu proses dimana suatu 21ystem dibentuk, dipelihara, dan diubah dengan tujuan bahwa sinyalsinyal yang dikirimkan dan diterima dilakukan sesuai dengan aturan”. William J. Seller : “William J.Seller mengatakan bahwa komunikasi adalah proses dimana simbol verbal dan nonverbal dikirimkan, diterima dan diberi arti”. 1. Unsur - Unsur Komunikasi Proses komunikasi yang efektifakan berlangsung apabila terdapat unsur-unsur komunikasi yaitu : 1. Sumber (source) Komunikator atau sumber adalah orang yang menciptakan tindakan komunikasi. Sumber/komunikator adalah pelaku utama/pihak yang mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi atau yang memulai suatu komunikasi,bisa seorang individu,kelompok,organisasi sebagai komunikator. 2. Penerima Orang yang menerima pesan sebagai akibatnya menjadi terhubungkan dengan sumber pesan. Penerima bias dikehendaki atau mungkin yang tidak dikehendaki sumber. 21 3. Penyandian (encoding) Kegiatan internal seseorang untuk memilih dan merangsang perilaku verbal dan nonverbal yang sesuai dengan aturan-aturan tata bahasa dan sintaksis guna menciptakan suatu pesan. 4. Pesan (message) Hasil dari perilaku menyandi adalah pesan (message) baik pesan verbal maupun nonoverbal. 5. Saluran (channel), yang menjadi penghubung antara sumber dan penerima. 6. Penyandian balik (decoding) Proses internal penerima pemberian makna kepada perilaku sumber yang mewakili perasaan dan pikiran sumber. 7. Respons penerima (receiver respons) Menyangkut apa yang penerima lakukan setelah ia menerima pesan. Respon bisa beraneka ragam bisa minimum hingga maksimum. Respon minimum keputusan penerima mengabaikan pesan, sebaliknya yang maksimum tindakan penerima segera, terbuka dan mungkin mengandung kekerasan. Komunikasi dianggap berhasil bila respons berhasil penerima mendekati apa yag dikehendaki oleh sumber. 22 8. Umpan balik (feed back) Informasi yang tersedia bagi sumber yang memungkinkannya meneilai keefektifan komunikasi yang dilakukannya. Porter dan Samovar (Mulyana dan Rahmat, 2006) dalam Sihabudin, 2011:16). 2. Karakteristik Komunikasi Ada beberapa karakteristik komunikasi yang dapat membantu dalam memahami bagaimana komunikasi berlangsung yaitu : 1. Komunikasi bersifat dinamaik Komunikasi adalah suatu aktivitas yang terus berlangsung dan selalu berubah. 2. Komunikasi itu interaktif Komunikasi terjadi anataraa sumber dan penerima. 3. Komunikasi itu tak dapat dibalik (irreversible) Maksudnya adalah sekali kita mengatakan sesuatu dan sesorang telah menerima dan menyandi pesan, kita tidak dapat menarik kembali pesan itu dan sama sekali meniadakan pengaruhnya. 4. Komunikasi berlangsung dalam konteks fisik dan konteks sosial Ketika berinteraksi dengan seseorang, interaksi itu tidak terisolasi tetapi ada dalam lingkungan fisik dinamika sosial tertentu. Lingkungan fisik meliputi objek-objek fisik seperti tumbuh-tumbuhan, kenyamanan atau ketidak nyamanan atau suasana ruanga di mana komunikasi itu berlangsung. Konteks sosial mementukan hubungan sosial antara sumber dan penerima. 23 3. Fungsi Komunikasi Dalam kajian ilmu komunikasi banyak ahli mengemukakan pendapatnya tentang fungsi-fungsi komunikasi. Nurudin (2008:15) mengambil pendapat Harold D. Lasswel tentang fungsi-fungsi komunikasi yaitu: 1. Penjagaan/pengawasan lingkungan (surveillance of the environment), fungsi ini dijalankan oleh para diplomat, etase dan koresponen luar negeri sebagai usaha menjaga lingkungan. 2. Menghubungkan bagian-bagian yang terpisahkan dari masyrakat untuk menanggapi lingkungannya (correlation of the part of sosiety in responding to the environment), fungsi ini diperankan oleh para editor, wartawan dan juru bicara sebagai penghubung respon internal. 3. Menurunkan warisan sosial dari generasi ke generasi (transmission of the social heritage), fungsi ini adalah para pendidik di dalam pendidikan formal atau informal karena terlibat mewariskan adat kebiasaan, nilai dari generasi ke generasi. Selain fungsi di atas, Charles R. Wright menambahkan fungsi lain yaitu entertainment (hiburan) yang menunjukkan pada tindakan-tindakan komunikatif yang terutama dimaksudkan untuk menghibur dengan tindakan efek-efek instrumental yang dimilikinya. 24 4. Komunikasi sebagai proses simbolik Manusia merupakan satu-satunya hewan yang menggunakan lambang, seperti kebutuhan pokok manusia adalah kebutuhan simbolisasi atau kebutuhan penggunaan lambang, dan hal itulah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Hampir semua pernyataan manusia baik yang ditujukan untuk kepentingan dirinya, maupun untuk kepentingan orang lain, dinyatakan dalam bentuk simbol. Hubungan antara pihak yang ikut serta dalam proses komunikasi banyak ditentukan oleh simbol atau lambang-lambang yang digunakan dalam berkomunikasi (Cangara, 2011:52). Kebutuhan dasar yang memang hanya ada pada manusia, adalah kebutuhan akan simbolisasi. Fungsi pembentukan simbol ini adalah satu di antara kegiatankegiatan dasar manusia, seperti makan, melihat, dan bergerak. Ini adalah proses fundamental bergantung pada penggunaan simbol-simbol menurut Susanne K.Langer (Sihabudin, 2011:64). Menurut Hayakawa (1990:102) kemampuan kita berpaling, melihat proses simbolik yang sedang berlangsung. Proses simbolik menembus kehidupan manusia dalam tingkat paling primitif dan tingkat paling beradab. Pada manusia kegiatan secara arbitrer menjadikan hal-hal tertentu untuk mewakili hal-hal lainnya bisa disebut proses simbolik. Lambang atau simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (verbal), perilaku nonverbal, dan objek yang maknanya disepakati bersama. 25 Ada beberapa sifat lambang yang perlu kita ketahui anatara lain adalah, lambang bersifat sembarang, manasuka, atau sewenang-wenang. Segala sesuatu yang ada di sekeliling kita bisa dijadikan lambang, hal ini tergantubg kesepakatan bersama. Lambang hadir di mana-mana di sekeliling kita, namun alam tidak memberikan penjelasan kepada kita mengapa menggunakan lambang-lambang tertentu untuk menunjukkan pada hal-hal tertentu, baik yang bersifat konkrit maupun yang bersifat abstrak. Sifat yang kedua dari lambang adalah pada dasarnya lambang itu tidak memiliki makna, kitalah yang memberi makna pada lambang. Makna sebenarnya ada dalam kepala kita, bukan terletak apda lambang itu sendiri. Sifat yang ketiga dari lambang adalah lambang itu bervariasi dari satu budaya ke budaya yang lain, dari satu tempat ke tempat lain dan dari satu konteks waktu ke konteks waktu yang lain. Makna yang diberikan terhadap suatu lambang boleh jadi berubah seiring dengan waktu, meskipun perubahannya berjalan lambat. B. Komunikasi Verbal dan Nonverbal Komunikasi verbal dan nonverbal merupakan dua bentuk yang dari tindak komunikasi yang tidak dapat dipisahkan, keduanya saling membutuhkan guna tercapainya komunikasi yang efektif, masing- masing bekerja bersama-sama untuk menciptakan suatu makna. Walaupun antara keduanya memiliki sifat holistik, namun keberadaannya meurut Donn Stacks dan kawan-kawannya dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu kesengajaan atau intensionalitas, perbedaan-perbedaan simbolik dan pemrosesan informasi. 26 Komunikasi nonverbal dapat didefinisikan: Non berarti tidak, Verbal bermakna kata-kata (words), sehingga komunikasi nonverbal dimaknai sebagai komunikasi tanpa kata-kata. Batasan lain mengenai komunikasi nonverbal yang dekemukakan oleh beberapa para ahli, yaitu: Frank E.X. Dance dan Carl E. Larson: ”Komunikasi nonverbal adalah sebuah stimuli yang tidak bergantung pada isi simbolik untuk memaknainya”. Edward Sapir: ”Komunikasi nonverbal adalah sebuah kode yang luas yang ditulis tidak di mana pun jiga, diketahui oleh tidak seorang pun dan dimengerti oleh semua”. Malandro dan Berker: - Komunikasi nonverbal adalah komunikasi tanpa kata-kata. - Komunikasi nonverbal terjadi bila individu berkomunikasi tanpa menggunakan suara. - Komunikasi nonverbal adalah setiap hal yang dilakukan oleh sesorang yang diberi makna oleh orang lain. - Komunikasi nonverbal adalah suatu studi mengenai ekspresi wajah, sentuhan, waktu, gerak isyarat, bau, perilaku mata dan lain-lain. Perbedaan antara Komunikasi Verbal dan Nonverbal Menurut Don Stacks dan kawan-kawan, ada tiga perbedaan utama diantara keduanya yaitu: 27 1. Kesengajaan pesan (the intentionality of the message), komunikasi nonverbal tidak banyak dibatasi oleh niat atau intent tersebut. Persepsi sederhana mengenai niat ini oleh seorang penerima sudah cukup dipertimbangkan menjadi komunikasi nonverbal. Sebab, komunikasi nonverbal cenderung kurang dilakukan dengan sengaja dan kurang halus apabila dibandingkan dengan komunikasi verbal. Selain itu komunikasi nonverbal juga mengaraha pada norma-norma yang berlaku, sementara niat atau intent tidak terdefinisikan dengan jelas. 2. Tingkat simbolisme dalam tindakan atau pesan (the degree of symbolism in the act or message), 3. Pemrosesan mekanisme (processing mechanism). Perbedaan lainnya dapat terlihat dari segi kulaitatifnya. Menurut Knapp (1980), perbedaan secara kulaitatif antara komunikasi verbal dan nonverbal, terutama bila dilihat dari tiga segi : 1. Ciri pesan Komunikasi verbal memepunyai pesan yang terpisah-pisah, sedangkan komunikasi nonverbal memiliki ciri yang bersifat berkesinambungan. 2. Saluran Komunikasi verbal merupakan komunikasi bersaluran tunggal, sedangkan komunikasi nonverbal meemiliki saluran yang banyak. 3. Pengawasan 28 Komunikasi verbal selalu berada di bawah pengawasan setiap manusia secara sadar maupun sukarela, sedangkan komunikasi nonverbal tidak dapat diawasi dengan baik apa lagi sempurna. Fungsi Komunikasi Verbal dan Nonverbal 1. Perilaku nonverbal memeberi aksen atau penekanan pada pesan verbal. Misalnya menyatakan terima kasih dengan tersenyum. 2. Perilaku nonverbal sebagai pengulangan dari bahasa verbal. 3. Tindak komunikasi nonverbal melengkapai pernyataan verbal. 4. Perilaku nonverbal sebagai pengganti dari komunikasi verbal. Komunikasi nonverbal digunakan untuk memastikan bahwa makna yang sebenarnya dari pesan-pesan verbal dan nonverbal, kurang dapat beroperasi secara terpisah, satu sama lain saling membutuhkan guna mencapai komunikasi yang efektif. Menurut Knapp dan Tubss (1987) seperti yang dikutip oleh Alo Liliweri, pemahaman terhadap pesan nonverbal hendaknya dilihat sebagai suatu kesatuan dengan pesan yang bersifat verbal, karena pada dasarnya pemaknaan terhadap pesan komunikasi akan lebih lengkap jika pesan verbal ataupun nonverbal dipahami secara bersamaan. Jadi secara umum, komunikasi nonverbal mempunyai fungsi pendukung dalam pemberian makna yang disamapaikan secara verbal. Knapp dan Tubss juga menyebtukan beberapa fungsi pesan-pesan nonverbal dalam kaitannya dengan pemahaman terhadap pesan verbal, yaitu: 1. Repetisi atau Pengulangan 29 Perilaku nonverbal dapat mengulangi apa yang telah disampaikan dalam pesan verbal. Perilaku nonverbal disini berfungsi untuk memperkuat pemaknaan dari pesan verbal. 2. Kontradiksi atau berlawanan Adakalanya seseorang mengatakan suatu pesan verbal tertentu, tetapi tidak diikuti oleh perilaku non-verbal yang mendukung pesan verbalnya. 3. Subtitusi atau pengganti Perilaku nonverbal juga berfungsi sebagai pengganti pesan verbal yang seharusnya disampaikan. 4. Regulasi atau pengatur Perilaku nonverbal juga dapat berfungsi sebagai pengatur pada komunikasi verbal. Mungkin anda sering melihat seseorang berbicara sambil menggerakkan anggota badannya sebagai peneguhan terhadap pesan verbal yang disampaikanyya. 5. Aksentuasi atau penekanan Perilaku nonverbal dapat juga memberi tekanan pada pesan verbal yang disampaikan oleh seseoarang. 6. Kompleman atau pelengkap Perilaku nonverbal dapat juga berfungsi sebagai pelengkap tehadap pesan verbal. 30 Karakteristik Komunikasi Nonverbal Menurut Ronald Adler dan George Rodman, komunikasi nonverbal memiliki 4 karakteristik yaitu keberadaanya, kemampuannya ,menyampaikan pesan tanpa bahasa verbal, sifat ambiguitasnya dan keterikatannya dalam suatu kultur tertentu. Keberadaan komunikasi nonverbal akan dapat diamati ketika kita melakukan tindak komunikasi secara verbal, maupun pada saat bahasa verbal tidak digunakan, atau dengan kata lain, komunikasi nonverbal akan selalu muncul dalam setiap tindakan komunikasi, disadari atau tidak disadari. Keberadaan komunikasi nonverbal ini pada gilirannya akan membawa kepada cirinya yang lain, yaitu bahawa kita dapat berkomunikasi secara nonverbal, karena setiap orang mampu mengirim pesan secara nonverbal kepada orang lain, tanpa menggunakan tanda-tanda verbal. Sifat ambiguitas dari komunikasi nonverbal, dalam arti ada banyak kemungkinan penafsiran terhadap setiap perilaku. Sifat ambigu atau mendua ini sangat penting bagi penerima (receiver) untuk menguji setiap interpretasi sebelum sampai pada kesimpulan tentang makna dari suatu pesan nonverbal. Karakteristik terakhir adalah bahwa komunikasi nonverbal terikat dalam suatu kultur atau budaya tertentu, maksudnya, perilaku-perilaku yang memiliki makna khusus dalam suatu budaya, akan mengekspresikan pesan-pesan yang berbeda dalam ikatan kultur. Sebagai komponen budaya, pesan nonverbal mempunyai persamaan dengan pesan verbal. Keduanya dianggap sebagai proses pemberian makna (penyandian) terhadap suatu pesan yang diwariskan sebagai bagian pengalaman budaya. Karena 31 budaya sangat mempengaruhi pesan nonverba ini, makan tidaklah mengherankan jika pesan-pesan yang ingin disampaikan merupakan sesuatu yang telah budaya sebarkan dan wariskan pada anggota dari budaya tersebut. Jelaslah bahwa budaya sangat mempengaruhi pembentukan dan pemberian makna tehadap lambang-lambang atau perilaku-perilaku nonverbal serta responsrespons yang ditimbulakan oleh lambang-lambang tersbut pada suatu bangsa/masyarakat. Selanjutnya jika lambang-lambang nonverbal tersbut telah diakui sebagai lambang yang bersifat umum, maka lambang-lambang tersebut kemudian diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya. Budaya juga mempengaruhi dan mengarahkan anggota-anggota dari suatu masyarakat/bangsa di mana yang menyangkut cara-cara orang tersebut berkomunikasi, dari mulai bagaimana mengirim, menerima dan merespons pesanpesan nonverbal tersebut. Pada kehidupan sehari-hari perilaku nonverbal yang diperlihatkan oleh orangorang yang berkomunikasi itu merupakan bentuk gerakan yang normal. Beberapa hal penting yang menjadi ciri dari pesan yang bersifat nonverbal, yaitu: 1. Suatu pesan nonverbal yang sama akan mempunyai makna yang berbeda jika diperlihatkan pada situasi dan kondisi yang berlainan. 2. Suatu pesan nonverbal yang sama dapat mempunyai pengertian yang berbeda pada suatu masyarakat/bangsa masyarakat/bangsa lain 32 yang satu dengan 3. Pemahaman terhadap pesan nonverbal juga tergantung pada pesan verbal yang menyertainya. Jadi, adakalanya suatu perilaku yang sama akan berbeda jika pesan verbal yang dikatakannya berbeda. 4. Dalam kegiatan komunikasi, pemahaman terhadap pesan nonverbal harus dilihat sebagai kesatuan dengan pemahaman terhadap pesan verbal yang disampaikannya. 5. Pesan nonverbal dapat bermakna ganda dan biasanya bersifat bertentangan. Hal ini terjadi jika dalam pesan komunikasi ditemui adanya ketidaksesuaian antara pesan verbal dan nonverbal. 6. Pemberian makna terhadap suatu pesan nonverbal didasarkan nilai atau norma yang berlaku pada suatu kelompok atau masyarakat tertentu. Oleh karenanya, pemaknaan dan aturan terhadap suatu perilaku nonverbal sangat bervariasi. C. Budaya Mengkaji kebudayaan tidak dapat terlepas dari data yang dapat dikategorikan kedalam lima jenis, yaitu, (a) artifak, (b) perilaku kinetis yang digerakkan oleh otot manusia, (c) perilaku verbal yang mewujudkan diri ke dalam dua bentuk yaitu (d) tuturan yang terdiri atas bunyi bahasa dan (e) teks yang terdiri atas tanda-tanda visual. Semua obyek dari kajian Teori Kebudayaan memperlihatkan tata susunan atau pola keteraturan tertentu yang dijadikan dasar untuk memperlakukan hal-hal itu sebagai data yang bermakna, karena merupakan hasil kegiatan manusia sebagai mahluk yang 33 terikat pada kelompok atau kolektiva, dan karena keterikatan itu mewujudkan kebermaknaan itu. Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Menurut Koentjaraningrat (2000:181) kebudayaan dengan kata dasar budaya berasal dari bahasa sansakerta ”buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Jadi Koentjaraningrat, mendefinisikan budaya sebagai “daya budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa itu. Koentjaraningrat juga menerangkan bahwa pada dasarnya banyak sarjana yang membedakan antara budaya dan kebudayaan, dimana budaya merupakan perkembangan majemuk budi daya, yang berati daya dari budi. Namun, pada kajian Antropologi, budaya dianggap merupakan singkatan dari kebudayaan, tidak ada perbedaan dari definsi. Jadi, kebudayaan atau disingkat “budaya”, menurut Koentjaraningrat merupakan “keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.”Lalu, dilain pihak Clifford Geertz mengatakan bahwa kebudayaan merupakan sistem mengenai konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam bentuk simbolik, yang dengan cara ini manusia dapat berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan dan sikapnya terhadap kehidupan. (Abdullah, 2006:1) Lebih sepesifik lagi, E. B Taylor, dalam bukunya “Primitive Cultures”, mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya 34 terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.” (Setiadi, 2007:27) Dari berbagai definisi di atas, maka penulis menarik kesimpulan bahwa kebudayaan atau budaya merupakan sebuah sistem, dimana sistem itu terbentuk dari perilaku, baik itu perilaku badan maupun pikiran. Hal ini berkaitan erat dengan adanya gerak dari masyarakat, dimana pergerakan yang dinamis dan dalam kurun waktu tertentu akan menghasilkan sebuah tatanan ataupun sistem tersendiri dalam kumpulan masyarakat. Pemahaman tentang kebudayaan adalah suatu persoalan yang sangat dalam dan luas, bidang cakupannya meliputi seluruh pikiran, rasa,karsa, dan hasil karya manusia. Kebudayaan selalu menunjukkan adanya derajat menyangkut tingkatan hidup dan penghidupan manusia. Pada dasarnya budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat, yang berkenaan dengan cara hidup. Budaya yang menampakkan diri dalam pola-pola bahasa dan bentuk kegiatan dan perilaku yang befungsi sebagai model-model dalam tindakan-tindakan penyesuaian diri dalam segala gaya komunikasi yang memungkinkan orang-rang tinggal dalam suatu masyarakat di suatu lingkungan geografis tertentu pada suatu tingkat perkembangan teknis tertentu pada suatu saat tertentu, budaya juga berkenaan dengan sifat-sifat dari obyek-obyek materi yang berupa bentuk rumah, alat-alat pertanian dan jenis-jenis alat transportasi yang mamainkan peranan penting dalam kehidupan sehari-hari. 35 J. J Honigmann (dalam Koenjtaraningrat, 2000) membedakan adanya tiga ‘gejala kebudayaan’ : yaitu : (1) ideas, (2) activities, dan (3) artifact, dan ini diperjelas oleh Koenjtaraningrat yang mengistilahkannya dengan tiga wujud kebudayaan : 1. Wujud kebudayaan sebagai suatu yang kompleks dari ide-ide, gagasangagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.Wujud kebudayaan dalam konteks ini adalah wujud idiil dari kebudayaan yang bersifat abstrak. Kebudayaan dalam arti ini berfungsi sebagai adat-istiadat yang mengatur, mengendalikan, dan memberi arahan pola perilaku dan perbuatan dari masyarakat yang hidup dalam lingkup kebudayaan tersebut. Contoh wujud kebudayaan ini adalah sistem nilai budaya, norma, hukum, dan peraturan-peraturan semacam sopan santun dan lain sebagainya. 2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.Wujud kebudayaan dalam konteks ini disebut sebagai sistem sosial yang terdiri dari aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, bergaul berdasarkan pola tata perilaku tertentu. 3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.Wujud ketiga kebudayaan ini merupakan kebudayaan fisik dan merupakan kebudayaan yang paling konkret, misalnya bangunan, artefak, candi-candi, gedung bertingkat, rumah, dan lain-lain. Mengenai wujud kebudayaan ini, Elly M.Setiadi dkk dalam Buku Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (2007:29-30) memberikan penjelasannya sebagai berikut : 36 1. Wujud Ide , wujud ini menunjukann wujud ide dari kebudayaan, sifatnya abstrak, tak dapat diraba, dipegang ataupun difoto, dan tempatnya ada di alam pikiran warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup.Budaya ideal mempunyai fungsi mengatur, mengendalikan, dan memberi arah kepada tindakan, kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat sebagai sopan santun. Kebudayaan ideal ini bisa juga disebut adat istiadat. 2. Wujud perilaku, wujud ini dinamakan sistem sosial, karena menyangkut tindakan dan kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Wujud ini bisa diobservasi, difoto dan didokumentasikan karena dalam sistem ssosial ini terdapat aktivitasaktivitas manusia yang berinteraksi dan berhubungan serta bergaul satu dengan lainnya dalam masyarakat. Bersifat konkret dalam wujud perilaku dan bahasa. 3. Wujud Artefak, wujud ini disebut juga kebudayaan fisik, dimana seluruhnya merupakan hasil fisik. Sifatnya paling konkret dan bisa diraba, dilihat dan didokumentasikan. Contohnya : bangunan. Menurut Said (2004:3) kebudayaan itu adalah satuan dari gagasan, simbolsimbol dan nilai-nilai yang mendasari hasil karya dan perilaku manusia, sehingga tidak berlebihan apabila dilanjutkan bahwa begitu eratnya kebudayaan dengan simbol-simbol yang diciptakan manusia sehingga manusia dapat disebut sebagai Homo Symbolicum. Clifford Geertz (1973) mengemukakan suatu definisi kebudayaan sebagai: (1) suatu sisitem keteraturan dari makna dan simbol-simbol, yang dengan makna dan simbol tersebut individu-individu mendefinisikan dunia mereka, mengekspresikan 37 persaan-perasaan mereka, dan membuat penilaian mereka; (2) suatu pola maknamakna yang ditransmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik, yang melalui bentuk-bentuk simbolik tersebut manusia berkomunikasi, memantapkan, dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap terhadap kehidupan; (3) suatu peralatan simbolik bagi pengontrol perilaku, sumbersumber ekstrasomatik dari informasi; dan (4) oleh karena kebudayaan adalah suatu sistem simbol, maka proses kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan, dan diinterpretasi. Bahasa simbolik dari kebudayaan adalah public, dan oleh sebab itu peneliti tidak boleh berpura-pura telah memperoleh pengetahuan yang mendalam mengenai sudut-sudut gelam dalam pikiran individu. Fungsi simbolik itu universal, dan manusia tidak dapat memahami kebudayaan suatu masyarakat tanpa fungsi ini, yang bekerja di sepanjang kode genetik itu sendiri. (Geertz 1973). Clifford Geertz (1973) mengemukakan suatu definisi kebudayaan sebagai: (1) suatu sisitem keteraturan dari makna dan simbol-simbo, yang dengan makna dan simbol tersebut individu-individu mendefinisikan dunia mereka, mengekspresikan persaan-perasaan mereka, dan membuat penilaian mereka; (2) suatu pola maknamakna yang ditransmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik, yang melalui bentuk-bentuk simbolik tersebut manusia berkomunikasi, memantapkan, dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap terhadap kehidupan; (3) suatu peralatan simbolik bagi pengontrol perilaku, sumbersumber ekstrasomatik dari informasi; dan (4) oleh karena kebudayaan adalah suatu sistem simbol, maka proses kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan, dan 38 diinterpretasi. Bahasa simbolik dari kebudayaan adalah public, dan oleh sebab itu peneliti tidak boleh berpura-pura telah memperoleh pengetahuan yang mendalam mengenai sudut-sudut gelam dalam pikiran individu. Fungsi simbolik itu universal, dan manusia tidak dapat memahami kebudayaan suatu masyarakat tanpa fungsi ini, yang bekerja di sepanjang kode genetik itu sendiri. (Geertz 1973). Jadi, menjadi manusia berarti berkebudayaan. Selain itu, kebudayaan bersifat kontekstual dan mengandung makna publik sebab diterima oleh semua pelaku kebudayaan- karena sesuai, berkembang, dan dikembangkan oleh pelaku kebudayaan di dan di sekitar lingkungan sosialisasi mereka. Oleh sebab itu, menurut Geertz, untuk mendekati, memahami, suatu peristiwa sosial di tengah kelompok masyarakat yang mempraktekkan kebudayaan dan unsur-unsur kebudayaan yang ada di dalamnya- harus dicari melalui hubungan sebab akibat; dan memahami makna yang dihayati pada lingkungan peristiwa sosial itu terjadi. D. Memahami Makna Makna adalah hubungan antara subjek dengan lambangnya. Makna pada dasarnya terbentuk berdasarkan hubungan antara lambang komunikasi (simbol), akal budi manusia penggunanya (objek). (Verdiansyah, 2004:70-71) Brown dalam Sobur 2006:256, mendefinisikan makna sebagai kecenderungan (disposisi) total untuk menggunakan atau bereaksi terhadap suatu bentuk bahasa. Terdapat banyak komponen dalam makna yang dibangkitkan kata atau suatu kalimat. Dalam Mulyana 2006:256, Brown mengatakan “seseorang mungkin dapat 39 menghabiskan tahun-tahunnya yang produktif untuk menguraikan makna atau kalimat tunggal dan akhirnya tidak menyelesaikan tugas tersebut. Beberapa pakar komunikasi sering menyebut kata makna ketika mereka merumuskan defenisi komunikasi. Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss, 2006:6) “Komunikasi adalah proses pembentukan makna di antara dua orang atau lebih”. Judy C. Pearson dan paul E. Nelson mengatakan bahwa “Komunikasi adalah proses memahami dari berbagai makna”. Tedapat banyak komponen makna yang dibangkitkan suatu kata atau kalimat (Sobur, 2004:255). Makna adalah balasan terhadap pesan. Suatu pesan terdiri dari tanda-tanda dan symbol-simbol yang sebenarnya tidak mengandung makna. Makna baru akan timbul ketika ada sesorang yang menafsirkan tanda dan simbol yang bersangkutan dan berusaha memahami artinya. Dari segi psikologis, tanda dan simbol bertindak selaku perangsang untuk membangkitkan balasan di pihak penerima pesan. Oleh kaena itu, makna akan terlihat merupakan bagian dari dua hal, yakni bagian dari penafsiran terhadap informasi yang terkandung dalam simbol-simbol, bagian dari proses pertanyaan. Proses ini membawa tahap pemahaman terhadap lapisan yang lebih mendalam serta lebih luas. Makna dari sebuah wahana tanda adalah satuan cultural yang diperagakan oleh wahana-wahana tand yang lainnya serta dengan begitu secara semantic mempertunjukkan pula ketidak tergantungannya pada wahana tanda yang sebelumnya. Makna menuntut kemampuan integrative manusia, yakni inderawinya, daya pikirnya, dan akal budinya. Materi yang tersajikan, dilihat tidak lebih dari tanda40 tanda atau indicator bagi sesuatu yabg lebih jauh dalam pemaknaan dapat terjangkau menjangkau yang etik ataupun yang transendental. Untuk memahami apa yang disebut makna atau arti, kita perlu melihat teori yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure, yaitu setiap tanda linguistic terdiri dari atas dua unsure, yakni : 1. Yang diartikan (signified= unsur makna) merupakan konsep atau makna dari sesuatu tanda-bunyi. 2. Yang mengartikan (signifier= unsure bunyi) yaitu bunyi-bunyi itu yang terbentuk dari fonem-fonem bahasa yang bersangkutan. Dengan kata lain setiap tanda linguistic terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur tersebut dalam – bahasa (intralingual) yang biasanya merujuk atau mengacu pada kepada suatu referen yang merupakan unsur luar – bahasa (ekstralingual). Brodbeck (Sobur, 2009:262) menyajikan teori makna dengan cara yang cukup sederhana. Ia menjernihkan pembicaraan makna dengan membagi makna tersebut menjadi tiga corak, yaitu: 1. Makna yang pertama adalah makna inferensial, yakni makna satu kata (lambang) adalah objek, pikiran, gagasan, konsep yang dirujuk oleh kata tersbut. 2. Makna yang kedua menunjukkan arti (significance) suatu istilah sejauh dihubungkan dengan konsep-konsep yang lain. 41 3. Makna ketiga adalah makna intensional, yakni makna yang dipakai oleh seorang pemakai lambang. E. Makna Denotatif dan Konotatif Makna denotatif / lugas (referensial) ialah makna yang menunjukkan langsung pada acuan dasarnya meliputi hal-hal yang ditunjuk oleh kata-kata. Contoh kata melati berarti “sejenis bunga”. Makna konotatif ialah makna denotatif yang ditambahkan dengan segala gambaran, ingatan, dan perasaan yang ditimbulkan oleh kata melati itu. Makna denotasi adalah makna yang sebenarnya, makna ini dapat digunakan untuk menyampaikan hal-hal factual. Makna denotasi disebut juga makna lugas seperti yang ditemukan di kamus. Kata itu tidak mengalami penambahanpenambahan makna, karena itu makna denotative lebih bersifat publik. Denotasi adalah hubungan yang digunakan dalam tingkat pertama pada sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting dalam ujaran. Denotatif terdiri atas penanda dan petanda. Misalnya kata “melati” berarti “sejenis bunga” , ini menggambarkan relasi antara penanda dan petanda di dalam tanda, akan tetapi pada saat yng bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda. Makna denotative pada dasarnya sama dengan makna referensial sebab makna denotative ini lazim diberi penjelasa sebagai makna yang sesuai dengan ahasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya. 42 Jika denotasi sebuah kata adalah definisi kata tersebut, maka makna konotasi sebuah kata adalah makna subtantif atau emosionalnya (De Vito dalam Sobur, 2009:263). Hal ini berarti bahwa kata konotasi melibatkan simbol-simbol, historis, dan hal-hal yang berhubungan dengan emosional. Dikatakan objektif, sebab makna denotatif ini berlaku umum. Sebaliknya, makna konotatif bersifat subjektif dalam pengertian bahwa ada pergeseran dari makna umum (denotatif) hamper bias dimengerti oleh semua orang, maka makna konotatif hanya bisa dimengerti oleh sejumlah orang tertentu dalam jumlah yang relatif lebih kecil. Sebuah kata mempunyai konotatif apabila kata itu mempunyai kata itu mempunyai “nilai rasa”, baik positif maupun negatif. Jika tidak mempunyai nilai rasa maka tidak mempunyai konotasi, tetapi bias juga disebut berkonotasi netral. Kata-kata yang bermakna denotative tepat digunakan dalam karya ilmiah, sedangkan kata-kata yang bermakna konotatif wajar digunakan dalam karya sastra. Arthur Asa Berger mencoba membandingkan antara konotasi dan denotasi sebagai berikut: 43 Tabel 2.1 KONOTASI DENOTASI Pemakaian figure Literatur Petanda Penanda Kesimpulan Jelas Member kesan tentang makna Menjabarkan Dunia mitos Dunia keberadaan/eksistensi Sumber, Alex Sobur. 2009. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya. F. Teori Simbol Secara etimologi, simbol berasal dari kata kerja Yunani, Sumballo (sumballein) yang berarti berwawancara, merenungkan, memperbandingkan, bertemu, melemparkan jadi satu, menyatukan. Jadi simbol adalah penyatuan oleh subyek atas dua hal menjadi satu. Sedangkan Reede menyebutkan bahwa simbol berasal dan kata Greek yaitu suni-balloo yang berarti “saya bersatu bersamanya”, “penyatuan bersama”. Pemahaman yang diberikan oleh Reede ini tidak jauh berbeda dengan pemahaman sebelumnya. Pada hakekatnya, simbol adalah suatu penyatuan apakah itu berupa bentuk dan nilai harfiahnya, wujud dan maknanya, kesadaran dan ketidaksadaran dan lain-lain. Penyatuan ini merupakan nilai tambah terhadap 44 kehidupan manusia sehingga perjalanan kehidupannya lebih bermakna. Pemahaman kita tentang simbol ini harus kita bedakan dengan pemahaman terhadap tanda (sign). Tanda adalah formula fisik yang cenderung sebagai operator, sedangkan simbol adalah formula makna yang berfungsi sebagai designator sebagaimana yang diungkapkan oleh Cassier berikut, “simbol —bila diartikan tepat— tidak dapat dijabarkan menjadi tanda semata-mata. Tanda dan simbol masing-masing terletak pada dua bidang permasalahan yang berlainan: tanda adalab bagian dan dunia fisik; simbol adalah bagian dan dunia makna manusia. Tanda adalah “operator”, simbol adalah “designator”. Tanda, bahkan pun bila dipahami dan digunakan seperti itu, bagaimanapun merupakan sesuatu yang fisik dan substansial; simbol hanya memiliki nilai fungsional. Sependapat dengan Cassier, Carl Gustav Jung yang Psikiater Swiss (1875 - 1961) juga membedakan antara tanda (zeichen) dan simbol. Jung mengatakan bahwa antara pemakaian sesuatu sebagai tanda (semiotic) dan pemakaian sesuatu sebagai simbol (symbolic). Simbol mengandaikan bahwa ekspresi yang terpilih adalah formulasi yang paling baik akan sesuatu yang relatif tidak terkenal, namun hal itu diketahui sebagai hal yang ada atau diharapkan ada. Selama suatu simbol hidup, simbol itu adalah ekspresi suatu hal yang tidak dapat ditandai dengan tanda yang lebih tepat. Simbol hanya hidup selama simbol mengandung makna bagi kelompok besar manusia, sebagai sesuatu yang mengandung milik bersama sehingga simbol menjadi sosial yang hidup dan pengaruhnya menghidupkan. Manakala makna telah lahir dan suatu simbol, yakni 45 ketika diperoleh ekspresi yang dapat merumuskan hal yang dicari dengan lebih tepat dan lebih baik, matilah simbol itu dan simbol hanya mempunyai makna historis. Simbol yang hidup mengungkapkan hal yang tidak terkatakan dalam cara yang tidak teratasi. Semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbolsimbol. Simbol itu sendiri meliputi apapun yang kita rasakan atau kita alami. Di dalam bukunya Hartoko dan Rahmanto, 1998:133, Pada dasarnya simbol dapat dibedakan menjadi: 1. Simbol-simbol universal, berkaitan dengan arketipos, misalnya tidur sebagai lambang kematian 2. Simbol cultural yang dilatarbelakangi oleh suatu kebudayaan tertentu misalnya keris dalam kebudayaan Jawa. 3. Simbol individual yang biasanya dapat ditafsirkan dalam konteks keseluruhan karya seorang pengarang. Ketika masyarakat majemuk berinteraksi dengan masyarakat lain yang berbeda budaya, maka tatkala proses komunikasi dilakukan, simbol-simbol verbal atau nonverbal secara tidak langsung dipergunakan dalam proses tersebut. Penggunaan simbol-simbol ini acapkali menghasilkan makna-makna yang berbeda dari pelaku komunikasi, walau tak jarang pemaknaan atas simbol akan menghasilkan arti yang sama, sesuai harapan pelaku komunikasi tersebut. Maka, simbol yang diartikan Pierce sebagai tanda yang mengacu pada objek itu sendiri, melibatkan tiga unsur mendasar dalam teori segi tiga makna : simbol itu sendiri, satu rujukan atau lebih dan hubungan antara simbol dengan rujukan (Sobur, 46 2003 : 156). Di sini dapat dilihat, bahwa hubungan antara simbol sebagai penanda dengan sesuatu yang ditandakan (petanda) sifatnya konfensional. Berdasarkan konvesi tersebut, Alex Sobur (2003 : 156) memaparkan, masyarakat pemakainya menafsirkan ciri hubungan antara simbol dengan objek yang diacu dan menafsirkan maknanya. Simbol tidak dapat hanya disikapi secara isolatif, terpisah dari hubungan asosiatifnya dengan simbol lainnya. Simbol berbeda dengan bunyi, simbol telah memiliki kesatuan bentuk dan juga makna. Maka, pada dasarnya simbol dapat dibedakan menjadi simbol-simbol universal, simbol kultural yang dilatarbelakangi oleh kebudayaan tertentu, dan simbol individual (Hartoko-Rahmanto, 1998 : 133). Sedangkan dalam “bahasa” komunikasi, simbol ini seringkali diistilahkan sebagai lambang. Di mana simbol atau lambang dapat diartikan sebagai sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan kelompok/masyarakat (Sobur, 2003 : 157). Lambang ini meliputi kata-kata (berupa pesan verbal), perilaku nonverbal, dan objek yang maknanya disepakati bersama. Kemampuan manusia menggunakan lambang verbal dan nonverbal memungkinkan perkembangan bahasa dan menangani hubungan antara manusia dan objek (fisik, abstrak dan sosial) tanpa kehadrian manusia dan objek tersebut. Walaupun simbol/lambang merupakan salah satu kategori tanda (sign), dan Pierce pun menyatakan bahwa tanda (signs) terdiri atas ikon, indeks dan simbol, akan tetapi simbol dan tanda adalah dua hal yang berbeda. Perbedaan itu terletak pada pemaknaan keduanya terhadap objek-objek yang ada di sekelilingnya. Tanda 47 berkaitan langsung dengan objek dan tanda dapat berupa benda-benda serta tandatanda yang merupakan keadaan. Sedangkan simbol, seperti yang dikutip Sobur (2003 : 160-62), memerlukan proses pemaknaan yang lebih intensif setelah menghubungkan simbol dengan objek, simbol pun lebih sustensif daripada tanda. Di dalam lingkup Peirce seringkali mengulang-ulang bahwa secara umum tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi seseorang. Bagi Peirce, tanda “is something which stands to somebody for something in some respect or capacity”. Sesuatu yang digunakan agar tanda bias berfungsi, oleh Peirce disebut ground. G. Teori Simbol: Susanne Langer Teori Langer menegaskan beberapa konsep dan istilah yang bisa digunakan dalam bidang komunikasi. Teori ini memeberikan sejenis standarisasi untuk tradisi semiotik dalam dalam kajian komunikasi. Langer, seorang filsuf, memikirkan simbolisme mendasari pengetahuan dan pemahaman semua manusia. Menurut Langer, semua binatang yang hidup didominasi oleh perasaan, tetapi perasaan manusia dimediasikan oleh konsepsi, simbol, dan bahasa. Binatang merespons tanda, tetapi manusia menggunakan lebih dari sekedar tanda sederhana dengan mempergunakan simbol. Tanda adalah stimulus yang menandakan kehadiran dari suatu hal. Sebagai contoh, jika seseorang melatih anjingnya untuk berguling, maka orang tersebut memberikan perintah yang tepat, maka kata guling adalah sebuah tanda untuk anjing supaya berguling. Dengan demikian, sebuah tanda berhubungan erat dengan makna dari kejadian sebenarnya. Awan dapat menjadi tanda untuk hujan, tertawa tanda untuk kebahagiaan, dan sebuah tanda jingga tua atau oranye “kawasan 48 pekerja” merupakan petunjuk untuk konstruksi selanjutnya. Hubungan sederhana ini disebut pemaknaan(signification). Anda aka berjalan pelan ketika melihat sebuah tanda kostruksi oranye karena adanya pemaknaan. Sebaliknya, simbol digunakan dengan cara yang lebih kompleks dengan membuat sesoarang yang lebih untuk berpikir tentang sesuatu yang terpisah dari kehadirannya. Sebuah simbol adalah sebuah instrumen pemikiran. Simbol adalah konspetualisasi manusia tentang suatu hal; sebuah simbol ada untuk sesuatu. Sementara tertawa adalah sebuah tanda kebahagiaan, kita dapat mengubah efek gelak tawa menjadi sebuah simbol dan membuat maknanya berbeda dalam banyak hal terpisah dari acuannya secara langsung. Dapat berarti kesenangan, kelucuan, ejekan. Cemoohan, pelepaskan tekanan, di antara banyak hal. Kemudain, simbol merupakan inti dari kehidupan manusia dan proses simbolisasi penting juga untuk manusia seperti halnya makan dan tidur. Kita arahkan ke dunia fisik dan social kita melalui simbol-simbol dan maknanya serta makana memebuat hal sering menjadi jauh lebih penting daripada objek sesungguhnya atau keterangan mereka. Sebuah simbol atau kumpulan simbol-simbol bekerja menghubungkan sebuah konsep, ide umum, pola atau bentuk. Menurut Langer konsep adalah makna yang disepakati bersama di antara pelaku komunikasi. Bersama, makna yang disetujui adalah makna denotatif, sebaliknya makna, gambaran atau makna pribadi adalah makna konotatif. Sebagai contoh, jika kita melihat lukisan Van Goh, kita akan memberikan makna bersama-sama dengan orang yang melihat lukisan tersebut secara nyata− sebuah makna denotatif. Bagaimanapun, pelukis sendiri mempunyai makna 49 pribadi sendiri atau konotasi untuk arti dari lukisan itu. Langer memandang makna sebagai sebuah hubungan kompleks di antara simbol, objekn dan manusia yang melibatkan denotasi (makna bersama) dan konotasi (makna pribadi). H. Interaksi Simbolik Interaksi simbolik sering dikelompokan ke dalam dua aliran (school). Pertama, aliran Chicago School yang dimonitori oleh Herbert Blumer, melanjutkan tradisi humanistis yang dimulai oleh George Herbert Mead. Blumer menekankan bahwa studi terhadap manusia tidak bisa dilakukan dengan cara yang sama seperti studi terhadap benda. Blumer dan pengikut-pengikutnya menghindari pendekatan-pendekatan kuatitatif dan ilmiah dalam mempelajari tingkah laku manusia. Lebih jauh lagi tradisi Chicago menganggap orang itu kreatif, inovatif, dan bebas untuk mendefinisikan segala situasi dengan berbagai cara dengan tidak terduga. Kedua Iowa School menggunakan pendekatan yang lebih ilmiah dalam mempelajari interaksi. Manford Kuhn dan Carl Couch percaya bahwa konsep-konsep interaksionis dapat dioperasikan. Tetapi, walaupun Kuhn mengakui adanya proses dalam alam tingkah laku, ia menyatakan bahwa pendekatan struktural objektif lebih efektif daripada metode “lemah” yang digunakan oleh Blumer. Interaksionisme simbolik mengandung inti dasar pemikiran umum tentang komunikasi dan masyarakat. Jerome Manis dan Bernard Meltzer memisahkan tujuh hal mendasar yang bersifat teoritis dan metodologis dari interaksionisme simbolik, yaitu: 1. Orang-orang dapat mengerti berbagai hal dengan belajar dari pengalaman. Persepsi seseorang selalu diterjemahkan dalam simbol-simbol. 50 2. Berbagai arti dipelajari melalui interaksi di antara orang-orang. Arti muncul dari adanya pertukaran simbol-simbol dalam kelompok-kelompok sosial. 3. Seluruh struktur dan institusi sosial diciptakan dari adanya interaksi di antara orang-orang. 4. Tingkah laku seseorang tidaklah mutlak ditentukan oleh kejadian-kejadian pada masa lampau saja, tetapi juga dilakukan secara sengaja. 5. Pikiran terdiri dari percakapan internal, yang merefleksikan interaksi yang telah terjadi antara seseorang dengan orang lain. 6. Tingkah laku terbentuk atau tercipta di dalam kelompok sosial selama proses interaksi. 7. Kita tidak dapat memahami pengalaman seorang individu dengan mengamati tingkah lakunya belaka. Pengalaman dan pengertian seseorang akan berbagai hal harus diketahui pula secara pasti. Teori Interaksi Simbolik berpegang bahwa individu membentuk makna melalui proses komunikasi karena makna tidak bersifat intrinsik terhadap apapun. Dibutuhkan konstruksi interpretif di antara orang-orang untuk menciptakan makna. Interaksi bertujuan untuk menciptakan makna yang sama. Hal ini penting karena tanapa makna yang sama berkomunikasi menjadi sanagat sulit atau bahakan tidak mungkin. Menurut LaRossa dan Reitzes, tema ini mendukung tiga asumsi Interaksi Simbolik yang diambil dari karya Herbert Blummer (1969), yaitu: 51 1. Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain pada mereka. Makna yang kita berikan pada simbol merupakan produk dari interaksi sosial dan menggambarka kesepakatan kita untuk menerapkan makna tertentu pada simbol tetentu pula. 2. Makna diciptakan dalam interaksi antarmanusia. Mead menekankan dasar intersubjektif dari makna . makna dapat ada, menurut Mead, hanya ada ketika orang-orang memiliki interpretasi ya g sama mengenai simbol yang mereka pertukarkan dalam interaksi. Blummer (1969) menjelaskan bahwa terdapat tiga cara untuk menjelaskan asal sebuah makna. Satu pendekatan mengatakan bahwa makna adalah sesuatu yang bersifat intrinsik dari suatu benda atau makna yang ada dalam diri benda tersebut. Pendekatan kedua terhadap asal-usul makna melihat makna itu “dibawa kepada benda oleh seseorang bagi siapa benda itu bermakna” (Blummer,1969:4). Posisi ini mendukung pemikiran yang terkenal bahwa makna terdapat di dalam orang, bukan di dalam benda. Pendekatan ketiga terhadapa makna, melihat makna sebagai sesuatu yang terjadi di antara orang-orang. Makna adalah “produk sosial” atau ciptaan yang dibentuk dalam dan melalui pendefinisian aktivitas manusia ketika mereka berinteraksi (Blummer, 1969:5). 52 3. Makna dimodifikasi melalui proses interpretif. Blummer menyatakan bahwa proses interpretative ini memiliki dua langkah. Pertama, para pelaku menentukan benda-benda yang mempunyai makna. Langkah kedua, melibatkan sipelaku untuk memilih dan mengecek, dan melakukan transformasi makna di dalam konteks di mana mereka berada. Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Interaksionisme simbolik juga telah mengilhami perspektif-perspektif lain, seperti “teori penjulukan” (labeling theory) dalam studi tentang penyimpangan perilaku (deviance), perspektif dramaturgis dari Erving Goffman, dan etnometodologi dari Harold Garfinkel. Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek, dan bahkan diri mereka sendirilah menentukan perilaku mereka. Perilaku mereka tidak dapat digolongkan sebagai kebutuhan, dorongan impuls, tuntutan budaya, atau tuntutan peran. Manusia bertindak hanya berdasarkan definisi atau penafsiran mereka atas objek-objek di sekeliling mereka. Tidak mengherankan bila frase-frase “definisi situasi”, “realitas terletak pada mata yang 53 melihat”, dan “bila manusia mendefinisikan situasi sebagai riil, situasi tersebut riil dalam konsekuensinya” sering dihubungkan dengan interaksionisme simbolik. Dalam pandangan interaksi simbolik, sebagaimana ditegaskan Blumer, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan menegakkan kehidupan kelompok. Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah “interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol”. Mereka tertarik pada cara manusia menggunakan simbol-simbol yang mempresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya, dan juga pengaruh yang ditimbulkan penafsiran atas simbol-simbol ini terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi sosial. Penganut interaksi simbolik berpandangan, perilaku manusia pada dasarnya adalah produk dari interpretasi mereka atas dunia disekeliling mereka, jadi tidak mengakui bahwa perilaku itu dipelajari atau ditentukan, sebagaimana dianut oleh teori behavioristik atau teori struktural. Alih-alih, perilaku dipilih sebagai hal yang layak dilakukan berdasarkan cara individu mendefinisikan situasi yang ada. 1. Premis Interaksi Simbolik 1. Individu merespons suatu situasi simbolik. Individu dipandang aktif untuk menentukan lingkungan mereka sendiri. 2. Makna adalah produk interaksi sosial. Oleh karena itu, makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. 54 3. Makna yang diiterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial. Perubahan interpretasi dimungkinkan karena individu dapat melakukan proses mental, yakni berkomunikasi dengan dirinya. 2. Prinsip-prinsip Interaksi Simbolik 1. Manusia, tidak seperti hewan lebih rendah, diberkahi dengan kemampuan berfikir. 2. Kemampuan berfikir itu dibentuk oleh interaksi sosial. 3. Dalam interaksi sosial, orang belajar makna dan simbol yang memungkinkan mereka menerapkan kemampuan khas mereka sebagai manusia, yakni berfikir. 4. Makna dan simbol memungkinkan orang melanjutkan tindakan dan interaksi yang khas manusia. 5. Orang mampu memodifikasi atau mengubah makna dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan interpretasi mereka atas situasi. 6. Orang mampu melakukan modifikasi dan perubahan ini karena kemampuan mereka berinteraksi dengan diri sendiri, yang memungkinkan mereka memeriksa tahapan-tahapan tindakan, menilai keuntungan dan kerugian relatif, dan kemudian memilih salah satunya. 55 7. Pola-pola tindakan dan interaksi membentuk kelompok dan masyarakat. 56 yang jalin-menjalin ini BAB 3 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Keadaan Geografis Kabupaten Toraja Utara merupakan sebuah kabupaten di provinsi Sulawesi Selatan dengan ibukkota Rantepao. Kabupaten ini merupakan pemekaran dari kabupaten Tana Toraja, dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2008. Kabupaten Toraja Utara terletak anatara 2 – 3 Lintang Selatan dan 119-120 Bujur Timur. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Luwu dan kabupaten Mamuju, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Pinrang, pada sebelah timur dan barat masing-masing berbatasan dengan kabupaten Luwu dan Propinsi Sulawesi Barat. Kabupaten Toraja Utara dilewati oleh salah satu sungai terpanjang yang terdapat di Propinsi Sulawesi Selatan, yaitu sungai Sa’dan. Jarak ibukota Kabupaten Toraja Utara dengan ibukota Propinsi Sulawesi Selatan mencapai 329 km yang melalui Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Enrekang, Kabupaten Sidrap, Kota Parepare, Kabupaten Barru, Kabupaten Pangkep dan Kabupaten Maros. Luas wilayah Kabupaten Toraja adalah 1.151,47 km2. Kecamatan Baruppu dan Kecamatan Buntu Pepasan merupakan 2 kecamatan terluas denga luas masingmasing 162,17 km2 dan 131,72 km2 atau luas kedua kecamatan tersebut merupakan 25,52 persen dari seluruh wilayah Toraja Utara. 57 B. Pemerintahan Awal pemerintahan kabupaten ini, yaitu setelah terjadi pemekaran dari Kabupaten Tana Toraja. Toraja Utara dipimpin oleh Careteker Bupati Toraja Utara yakni Drs. Y.S. Dalipang yang dilantik oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 26 November 2008 di Lapangan Bhakti Rantepao. Pada tanggal 16 November 2010, Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo melantik Careteker Bupati Kabupaten Toraja Utara yang baru, yaitu Drs. Tautoto TR,S.H pada bulan Februari 2010 lalu. Pada tanggal 31 Maret 2011, kabupaten Toraja Utara memiliki bupati dan wakil bupati defenitif pertama yaitu Frederik Batti Sorring sebagai bupati dan Frederik Buntang Rombelayuk sebagai wakil bupati periode 2011-2016. Pemerintahan Daerah Kabupaten Toraja Utara memiliki 21 kecamatan . berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Toraja Utara terdapat 111 desa/lembang dan 40 kelurahan. C. Penduduk Berdasarkan hasil Susenas akhir tahun 2009, penduduk kabupaten Toraja Utara berjumlah 229.090 jiwa yang tersebar di 21 kecamatan, dengan jumlah penduduk terbesar yakni 25.805 jiwa mendiami Kecamatan Rantepao. Laju pertumbuhan penduduk di Kabupaten Toraja Utara pada tahun 2009 dibandingkan mencapai 1.15 persen. Kepadatan penduduk di Kabupaten Toraja Utara telah mencapai 199 jiwa/km2. Kecamatan terpadat terdapat di Kecamatan Rantepao, dengan tingkat kepadatan mencapai 2.503 jiwa/km2, sedangkan kecamatan yang 58 tingkat kepadatannya paling rendah adalah kecamatan Baruppu dan Awan Rante Karua, yaitu 41 dan 90 jiwa/km2. Secara keseluruhan, jumlah penduduk berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dari penduduk yang berjenis kelamin perempuan, yang masing-masing 119.620 jiwa penduduk laki-laki dan 109.470 jiwa penduduk perempuan. D. Agama dan Kepercayaan Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk, atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta. Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah. Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya. Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan 59 gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan. Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian. Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan. Ditinjau dari jumlah pemeluk agama pada tahun 2009 di Kabupaten Toraja Utara tercatat 164.803 umat Kristen Protestan, 53.355 umat Katolik, 7.949 umat Islam dan 2.983 umat Hindu. E. Pariwisata Kabupaten Toraja Utara kaya akan objek wisata. Berikut ini adalah daftar objek wisata yang ada di Kabupaten Toraja Utara. Daftar Objek Wisata Kabupaten Toraja Utara Tabel 3.2 No 1 Daya Tarik Utama Panorama Alam Nama Objek Wisata Kecamatan Kelurahan/Lembang Singki' Tambolang Rantepao Laang Tanduk Puncak Libane' Tongka' Buntu Barana' Gunung Sopai Rantepao Tallunglipu Tikala Sopai Mentiro Tiku Tantanan Barana' Nonongan 60 Kongkang Butui Mamullu Kawasan Obyek Wisata Alam Kalimbuang Pedamaran Buntu Susan Nanggala 2 3 Agrowisata Agrowisata Kopi Agrowisata Kopi Agrowisata Sayur Agrowisata Buah Wisata Air Kesu' Kapala Pitu Kapala Pitu Ba'tan Benteng Mamullu Ka'do Sanggalangi Sanggalangi Nanggala To'barana' Tirotasik Batu kianak Ko'lan Go'yang Ba'kan Ulu Batutumonga Gunung Napo Siguntu' Busso dan Buntu Talinga Buntu Bokin dan Batu Mentanduk Sikuku' Pasar Hewan Bolu Wisata Agro Ringgallo Sa'dan Sa'dan Sa'dan Sesean Sesean Sesean Suloara' Denpina Sopai Rantebua Rantebua Bokin Tandung La'bo Nanggala Sangpiak Salu Sa'dan Malimbong Sa'dan Tiroallo Sa'dan Malimbong Buntu Lobo' Sesean Matallo Sesean Suloara' Dende' Nonongan Pitung Penanian Bokin Kapala Pitu Tallunglipu Rindingallo Pamibak Bolu Rindingallo Pedamaran Sanggalangi Bokin Kawasan Obyek Wisata Alam Kalimbuang Sapan Kapala Pitu Ka'do Buntupepasan Sapan Rantepao Rantepao Rantepao Tallunglipu Denpina Denpina Baruppu' Baruppu' Rindingallo Rindingallo Kapala Pitu Laang Tanduk Limbong Limbong Tantanan Piongan Buntu Tagari Baruppu' Utara Baruppu' Utara Bululangkan Pangala' Ka'do Singki' Tambolang Kolam Alam Limbong Bombowai Tongka' Kolam Limbong Piongan Buntu Tagari Sarambu Marendeng Sarambu Dua' Bululangkan Mata kanan Kawasan Obyek Wisata Alam Kalimbuang 61 4 Situs Rumah Adat Sarambu Lili'kira' Batu kianak To'barana' Ballo Pasange' Gunung Napo Sarambu Sikore Air Terjun Batang Palli Limbong Langi' Liku Rombe Arung Jeram Dende' Sikuku' Tambolang Nanggala Sa'dan Sa'dan Sa'dan Denpina Sopai Awan Rantekarua Bangkelekila' Sesean Denpina Kapala Pitu Rantepao Lili'kira' Sa'dan Malimbong Sa'dan Malimbong Ulusalu Dende' Salu Londong Biang Puncak Libane' Tongka' Ranteallo Buntu Remen Pangala' Tondok Ke'te' Kesu' Buntu Pune Bululangkan Tanete Kawasan Obyek Wisata Alam Kalimbuang Marante Penanian Nanggala Galugu Dua Ba'ba Saratu' Palawa' Ko'lan Go'yang Issong Kalua' Tongkonan Tondok Siguntu' Bambu Kawasik Ba'kan Ula' Lingka Saile belo Raya Rantewai Kollo-kollo To' sarira Rantepao Tallunglipu Tallunglipu Tikala Tikala Kesu' Kesu' Rindingallo Rindingallo Ka'do Mentiro Tiku Tantanan Tallunglipu Buntu Barana' Barana' Panta'nakanlolo Rindingbatu Bululangkan Pangala' Kapala Pitu Tondon Nanggala Sa'dan Sa'dan Sesean Sesean Buntao' Sopai Sopai Balusu Sesean Balusu Balusu Balusu Balusu Tondon Nanggala Sa'dan Malimbong Ulusalu Palawa' Buntu Lobo' Issong Kalua' Nonongan Nonongan Awa' Kawasik Sesean Matallo Balusu Balusu Balusu Balusu 62 Batu Limbong Paku Pamibak Mentiro Tiku 5 Kuburan Alam/Gua 6 Benteng 7 Erong 8 Museum Maruang Tongkonan Ne' Timban Misa' Ba'bana Sikuku' Tanete Ke'pe' Tangkeallo Tambolang Sopai Balusu Buntao' Pamibak Kapalapitu Sesean Rantepao Nonongan Balusu Misa' Ba'bana Kapala Pitu Ke'pe' Tongka' Tiroan Sesean Ula' (Marimbunna) Londa Alla' Taluntun To' tarra' Pongduo Tompu Busso dan Buntu Talinga Simulluk Ranteaa' Tunuan Gunung Napo Lo'ko' Sura' Lombok Parinding Puncak Libane' Tongka' Buntu Barana' Benteng Pertahanan Mamullu Benteng batu Londa Ke'te' Kesu' Marante Pala'tokke Katapiongan Ko'lan Go'yang Lombok Parinding Tondon Pongtimban Museum Landorundun Ke'te' Kesu' Bate Bambalu Tallunglipu Tikala Tantanan Tikala Kesu' Kesu' Balusu Balusu Rantebua Tondon Buntao' Baruppu' Denpina Kapalapitu Sesean Rantepao Tallunglipu Tikala Tikala Kapala Pitu Baruppu' Kesu' Kesu' Tondon Sanggalangi' Denpina Sesean Sesean Balusu Baruppu' Tallunglipu Kesu' Sa'dan Sangbua' Bua Tallulolo Balusu Balusu Pitung Penanian Tondon Matallo Tallang Sura' Baruppu' Dende' Kapalapitu Parinding Mentiro Tiku Tantanan Barana' Benteng Ka'do Benteng Mamullu Baruppu' Sangbua' Panta'nakanlolo Tondon Pa'paelean Piongan Buntu Lobo' Parinding Balusu Baruppu' Tallunglipu - Mataallo Panta'nakanlolo Sa'dan Matallo 63 Mentiro Tiku Museum Dende' 9 Rante 10 Liang Paa' 11 Passiliran (Kuburan Kayu) Dende' Piongan Napo Balusu Tallunglipu Kesu' Tikala Kesu' Ka'do Dende Museum Ne' Gandeng Tongka' Ke'te' Kesu' Rante Kandeapi Rante Karassik Kawasan Obyek Wisata Alam Kalimbuang Rante Sirrin Penanian Nanggala Ko'lan Go'yang Bori' Kalimbuang Tangkeallo Rante Tendan Singki' Tambolang Buntu Pune Ta'pa Langkan Sullukan Marante Pana' Lo'ko'mata Tondon Bunian Bulawan To' doyan Buntu Tondon Pongtimban Benteng batu Lo'ko' Tedong Pollodo Issong Kalua' Misa' Ba'bana Antolong dan Rapasan Palawa' Nanggala Sesean Sesean Sesean Balusu Rantepao Kesu' Kesu' Sanggalangi' Tondon Sesean Suloara' Sesean Suloara' Balusu Balusu Balusu Balusu Baruppu' Baruppu' Sopai Bangkelekila' Buntao' Buntao' Rantepao Balusu Laang Tanduk Rindingbatu Tallulolo La'bo' Tondon Sesean Suloara' Landorundun Balusu Balusu Balusu Balusu Baruppu' Baruppu' Salu Sarre Tampan Bonga Issong Kalua' Misa' Ba'bana Saloso Tongka' Bori' Kalimbuang Tallunglipu Sesean Tantanan Bori' Sumber: Dinas Pariwisata Kabupaten Toraja Utara 2012 64 Malakiri Tantanan Panta'nakanlolo Barana' Rindingbatu Kapala Pitu Sesean Nanggala Buntu Lobo' Bori' F. Klasifikasi Sosial Masyarakat Orang Toraja mengenal tiga tingkatan sosial dalam masyarakatnya baik dalam aktivitas pemeliharaan adat, upacara-upacara keagamaan, sikap, maupun tutur bahasa masing-masing mempunyai disiplin sendiri. Tingkatan pertama To Kapua. Tingkatan ini adalah golongan rulling class dalam masyarakat Toraja. Golongan ini terdiri dari kaum bangsawan, pemimpin adat, dan pemuka masyarakat. Banyak istilah dalam bahasa Toraja untuk menyebutkan golongan ini. Istilah itu seperti: Anak Patalo, Kayu Kalandona Tondok, To Dibulle Ulunna, dan lain sebagainya. Semua istilah tidak lazim dipergunakan dalam bahasa sehari-hari tetapi dipakai dalam acara resmi atau pertemuan formal lainnya. Kata To Kapua juga tidak dipakai dalam bahasa sehari-hari, biasa diganti dengan kata To Sugi’ jika golongan bangsawan itu termasuk kaya. Bahasa sehari-hari untuk golongan To Kapua ini berlainan di tiap tempat di Toraja. Di daerah bagian selatan yang dikenal dengan nama Tallu Lembangna yang mencakup Makale, Sangalla dan Mengkendek, golongan Tokapua disebut Puang misalnya Puang Makale, Puang Sangalla, dan Puang Mengkendek. Di daerah barat Toraja, golongan Tokapua disebut Ma’Dika seperti Ma’Dika Ulu Salu. Di daerah bagian Tengah Toraja, golongan Tokapua disebut Siambe’ untuk laki-laki dan Sindo’ untuk perempuan, misalnya Siambe’ do Buntupune, Siambe’ lan Tandung La’bo’, Sindo’ lan Nanggala, Sindo’ dio Ke’Te’, dan lain-lain. Tempattempat tersebut adalah pusat keluarga bangsawan. Di Daerah bagian Utara, golongan Tokapua disebut Puang seperti Puang Sa’dan, Puang Balusu. Ada juga bagian 65 daerah yang menyebut golongan bangsawan ini dengan Pong, seperti Pong Tiku di Pangala’, Pong Masangka di Bori’. Pada umumnya, golongan bangsawan ini memegang peranan dalam masyarakat Toraja sejak dahulu dan mereka pula yang menguasai tanah persawahan di Tana Toraja 10%. Golongan menengah masyarakat Toraja disebut To Makaka. Golongan ini erat hubungannya dengan golongan To Kapua. Mereka adalah golongan bebas, mereka juga memiliki tanah persawahan namun tidak sebanyak yang dimiliki golongan bangsawan. To Makaka yang tidak memiliki harta benda disebut To Makaka Kandian. Persentase To Makaka dalam masyarakat sekitar 20%. Golongan terbanyak yang menjadi tulang punggung masyarakat Toraja adalah To buda. Pada umumnya mereka tidak mempunyai tanah persawahan sendiri. Mereka adalah penggarap tanah bangsawan, kaum tani dan pekerja yang ulet, tekun dan hidup sangat sederhana. Mereka adalah golongan termasuk golongan kaunan atau golongan budak dahulu. Semua kaum bangsawan mempunyai lusinan budak. Golongan hamba ini adalah yang paling dipercaya atasannya karena nenek mereka telah bersumpah setia turun temurun, akan tetapi atasannya juga mempunyai kewajiban membantu mereka dalam kesulitan hidupnya. Mereka ada sekitar 70% dari masyarakat. Golongan ini tidak boleh kawin dengan kelas yang lebih tinggi seperti To Kapua dan To Makaka. Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas 66 sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tingi, ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga. Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga, tinggal di tongkonan, sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapa gerak sosial yang dapat memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki. Budak dalam masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga. Kadangkadang orang Toraja menjadi budak karena terjerat utang dan membayarnya dengan cara menjadi budak. Budak bisa dibawa saat perang, dan perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa membeli kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi status budak. Budak tidak diperbolehkan memakai perunggu atau emas, makan dari piring yang sama dengan tuan mereka, atau berhubungan seksual dengan perempuan merdeka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati. 67 BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Pada bab ini akan diuraikan tentang hasil penelitian yang berupa hasil wawancara dan observasi yang dilakukan oleh peneliti mengenai masalah yang diteliti. Sebelumnya penulis akan membahas mengenai asal mula ukiran Toraja. Konon kabarnya ada sebuah rumah Tongkonan yang akan dibangun, maka ditugaskanlah para tukang dan hamba-hamba masuk ke dalam hitan untuk menebang kayu. Setelah samapai di hutan, mereka menunjuk ” kayu apa te? ” (kayu apa ini ?) lalu kayu yang bersangkutan berbicara dan menjawab ” Akumo kayu nangka’ sinangkangan ulle’ To matemu”. Artinya adalah, akulah kayu Nangka, akan bergelimpangan orang meninggal. Kemudian dia pindah ke kayu lain dan menunjuk ”kayu apa te? ” (kayu apa ini?), kayu tersebut juga berbicara dan menjawabn ”akumo kayu uru, siurrukan to umbating, artinya, akulah kayu uru, semua orang akan meratap. Setelah mendengar kayu-kayu itu berbicara, meeka sangat ketakutan dan meekapun kembali ke perkampungan dan menceritakan apa yang terjadi kepada Ambe’ (To Parenge’) Tongkonan dan kepada masyarakat tentang apa yang terjadi di hutan. Sesudah itu to ma’rapu dan masyarakat mengadakan kombongan. Berdasarkan masukan-masukan dalam kombongan, peserta mengambil kesimpulan bahwa, hal 68 tersebut terjadi karena sebelumnya tidak dilaksanakan sajian terhadap ampunna pangala’ (Umpamamata lalanna likaran biang) yaitu sajian untuk memohon izin kepada Dewa penjaga hutan untuk masuk menebang pohon. Kemudian diadakanlah pemala’ (sajian) Umpamamata lalanna likaran biang. Sesudah memala’, maka para tukang dan para hamba kembali masuk hutan. Sesampai di hutan, mereka kembali bertanya kayu apa ini, kayu tersebut menjawab, akumo kayu nangka’, sianangkanan iananmu, yang artinya akulah nangka, hartamu akan bertimbun. Sesudah itu kayu yang bersangkutan ditebang. Kemudian pindah lagi ke kayu yang lain yaitu kayu Uru. Kayu Uru berbicara dan menjawab Akumo kayu uru, siuruan bai tora yang artinya,akulah kayu uru, babimu akan banyak, cepat besar dan bertaring kemudian kayu terebut langsung ditebang. Begitulah seterusnya kayu-kayu yang lain ditebang sampai mencukupi untuk ramuan satu rumah Tongkonan. Sesudah selesai menebang mereka kembali kerumah. Keesokan harinya, mereka masuk kembali ke hutan untuk mengerjakan kayukayu yang sudah ditebang. Sesampai di sana ternyata kayu-kayu tersebut hampir seluruhnya selesai dikerjakan dan itu dikerjakan oleh Pong Kalolok, dalam waktu hanya satu hari. Pong Kalolok adalah seorang yang mempunyai kemampuan luar biasa, sehingga dapat menjadikan kayu yang pendek menjadi panjang dan sebaliknya. Ketiga tukang lainnya sangat iri terhadap dirinya dan menganggapnya sebagai saingan dalam profesinya. 69 Akhrinya mereka membunuh Pong Kalolok. Setelah membunuhnya, mereka melanjutkan mengerjakan kayu-kayu yang masih sisa. Sementara mereka mengerjakan pekerjaannya, pada siang harinya datanglah seorang wanita membawa makanan untuk para tukang. Sesampai di lokasi tempat mengerjakan kayu, wanita tersebut duduk di atas kayu yang telah diratakan oleh tuknag sambil menunggu para tukang selesai makan. Setelah lama dududk di atas kayu yang sudah rata itu, tanpa ia rasa darah haidnya meleleh di atas kayu yang didudukinya, bahkan tidak dilihatnya samapi ia kembali ke rumah. Setelah tukang melanjutkan pekerjaan, mereka melihat darah di atas kayu membentuk goresan-goresan yang indah diihat. Dengan melihat goresan-goresan yang indah itu, mereka memindahkan dengan ukiran pada papan yang lain sesuai goresan darah haid sang wanita tadi. Pada saat itu mulailah muncul inspirasi para tukang untuk mengukir kayu ramuan rumah. Jadi ukiran pertama kali muncul dari inspirasi tukang, setelah melihat goresan-goresan indah dari darah haid wanita yang membawa makanan ke hutan. Konon kabarnya, goresan darah haid wanita itu mirip dengan kepala kerbau. Untuk itu yang pertama dilukis adalah Pa’Tedong atau mirip dengan kepala kerbau. Kemudian dikembangkan pada apa yang ada di sekelilingnya, yaitu setela melihat matahari, maka diukirlah Pa’Barre Allo. Dari perkembangan itu, maka akhirnya ditetapkanlah empat Garonto’ Passura’ (Dasar ukiran), yaitu : 70 Pa’Tedong, Pa’ Barre’ Allo’, Pa’ Manuk Londong dan Pa’Sussu’ yang masingmasing diberi makna spiritual. (Sumber : Palimbong, C.L, Mengenal Ragam Hias Toraja). Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata " tongkonan " berasal dari bahasa Toraja tongkon ("duduk"). Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan Tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Menurut cerita rakyat Toraja, Tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar. Pembangunan Tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis Tongkonan yaitu: Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di Tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari 71 pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar. Ukiran kayu Toraja: setiap panel melambangkan niat baik. Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan. Untuk menunjukkan kosep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya Pa'ssura (atau "tulisan"). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja. Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan. Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja, selain itu ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering digunakan sebagai dasar dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi dan geometri yang teratur. Ornamen Toraja dipelajari dalam ethnomatematika dengan tujuan mengungkap struktur matematikanya meskipun masyarakat Toraja membuat ukiran ini hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri. Masyarakat Toraja menggunakan bambu untuk membuat oranamen geometris. 1. Identitas Informan Jumlah informan dalam penelitian ini adalah 5 orang dengan karakteristik tertentu, adapun informan yang dipilih adalah sebagai berikut: 72 1. Informan 01 Nama : P. Salu Umur : 65 th Pekerjaan : Tokoh adat dan ahli ukir Alamat : Jl. Palangi’ 2. Informan 02 Nama : Yosep T. Umur : 53 th Pekerjaan : Pemerhati Ukir 3. Informan 03 Nama : Sipau’ Umur :78 th Pekerjaan : Pemerhati ukiran Toraja Alamat : Buntu 4. Informan 04 Nama : M. Bungin Umur : 38 th Pekerjaan : Masyarakat 5. Informan 05 Nama : Pius P. Umur : 57 Pekerjaan : Budayawan 73 2. Corak ukiran yang terdapat pada Tongkonan yang melambangkan status sosial masyarakat Toraja. Gambar 4.1 Tongkonan Layuk Malakiri Ada berbagai macam corak yang terdapat pada Tongkonan yang merupakan simbol dari Tongkonan tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Bp. P.Salu : Kalau kita mau tahu tentang Tongkonan tersebut, maka yang diliat itu adalah ukiran yang dipasang dan juga ada hiasan lain yang bukan ukiran, misalnya jumlah tanduk kerbau, dan hiasan yang seperti kepala naga. Beliau juga menambahkan bahwa dalam ukiran Toraja ada 4 warna yang digunakan untuk memperindah ukiran tersebut. Bahan-bahan pewarna tersebut diambil dari tanah liat, seperti yang diungkapkannya sebagai berikut: 74 ada 4 warna yang digunakan untuk mewarnai ukiran, yaitu merah,hitam, kuning dan putih. Warna tersebut diambil dari alam yaitu Litak (tanah liat) yang disebut Litak Mararang, Litak mariri, Litak mabusa. Dari setiap warna tersebut adalah memiliki arti, dan semuanya berhubungan dengan manusia, seperti yang diungkapkan oleh Bapak Yosep bahwa: Litak Mararang melambangkan darah manusia, Litak Mariri melambangkan kemuliaan. Litak Mabusa melambangkan tulang manusia, Litak Malotong melambangkan kematian, kegelapan, dan kedukaan. Ada juga yang diungkapkan oleh Bapak.M.Bungin bahwa : Pada Tongkonan Pekaindoran dan Tongkonan Layuk, harus ada diukir Garonto’Passura’, yaitu Pa’Tedong, Pa’Barre Allo, Pa’Manuk Londong dan Pa’Sussu’. Berikut ini adalah gambar dari corak ukiran tersebut: 1. Pa’ Tedong Gambar 4.2 Pa’Tedong 75 2. Pa’ Barre’ Allo Gambar 4.3 Pa’ Barre’ Allo 3. Pa’ Manuk Londong Gambar 4.4 Pa’Manuk Londong 4. Pa’ Sussu’ Gambar 4.5 Pa’ Sussu’ 76 Selain corak ukiran tersebut, masih ada corak lain yang digunakan pada setiap Tongkonan dan dari ukiran tersebut kita dapat mengetahui keberadaan dan status dari Tongkonan tersebut, yaitu: 1. Pa’Manuk Londong 2. Kabongo’ 3. Pa’Garunggang 4. Passura’ Rangke 5. Pa’Barana’ Pa’Kabongo Pa’Barana’ Gambar 4.6 Pa’Kabongo Gambar 4.7 Pa’Barana’ 77 3. Pesan-pesan yang terdapat pada ukiran Tongkonan sebagai simbol status sosial masyarakat Toraja. Gambar 4.8 Tongkonan Setiap corak atau bentuk ukiran yang digunakan pada Tongkonan memiliki nama dan juga makna pesan masing-masing. Ukiran tersebut tidak digunakan sembarangan pada bangunan Tongkonan. Sebelum melihat tentang pesan-pesan yang terkandung dalam pada ukiran Tongkonan, maka terlebih dahulu tentang kepemilikan Tongkonan berdasarkan status sosial pemiliknya. Menurut Bp. P.Salu (65) salah satu tokoh adat di desa yang terletak kecamatan Balusu sebagai berikut : ”Tongkonan milik bangsawan itu diukir penuh, dan Tongokonan dari kelas yang bukan sebenarnya tidak boleh diukir, hanya boleh diukir jika ada dari kelas bangsawan yang menyuruh mereka untuk mengukirnya, misalnya suami dari kelas tersebut adalah berasal dari kelas bangsawan, jadi Tongkonannya boleh diukir atas perintah dia.” 78 Saat ini terjadi pergeseran dalam masyarakat, ukiran digunakan begitu saja tanpa memperhatikan apakah itu sudah tepat atau tidak, seperti yang ditambahkan oleh Bapak P. Salu bahwa: ”Hal tersebut tidak lagi sesuai dengan kondisi saat ini. Banyak orang yang asal menempelkan saja bentuk ukiran tanpa memikirkannya terlebih dahulu. Tetapi dapat dilihat dari warna ukirannya, jika ukiran tersebut digunakan tepat sasaran maka warnanya akan terang dan cerah, namun pada saat tidak tepat sasaran maka warna dari ukiran tersebut akan terlihat redup.” Dalam masyarakat Toraja mereka menggunakan kasta, seperti yang dirunkapakan oleh salah satu informan bahwa Tongkonan dibangun berdasarkan latar belakang mereka seperti yang diungkapkan oleh Bapak M. Bungin bahwa (47) ”Orang-orang bangsawan mempunyai Tongkonan yang memang dibangun atas dasar latar belakang mereka atau darah mereka adalah bangsawan tanpa ada percampuran darah dari kalangan bawah.” Sebelum masyarakat Toraja membangun sebuah Tongkonan, mereka telah memikirkannya terelebih dahulu mengenai hal-hal apa saja yang berhubungan dengan Tongkonan berdasarkan jenis Tongkonan yang akan dibgangun, seperti yang diungkapkan oleh Bapak Yosep (53) ”Pada saat Tongkonan akan dibangun dipikirkan dulu matang-matang, bentuk ukiran apa saja yang cocok dan juga hiasan-hiasan lainnya yang akan dipasang. Jangan sampai tidak sesuai dengan kelas kita. Ada beberapa jenis tongkonan, itulah yang kita perhatikan ukiran-ukiran yang ditempelkan di dindingnya, dengan itu kita akan tahu jenis dari tongkonan tersebut.” Hal yang hampir sama juga diungkapkan oleh Bapak Sipau (70), ”Sekarang ini ada banyak sekali Tongkonan yang dibangun tidak sesuai lagi dengan tradisi dahulu kala, tidak menyesuaikan lagi dengan status pemilik tersebut, ada Tongkonan yang terlihat seperti milik bangsawan, tapi ternyata bukan.” 79 Tongkonan dipenuhi dengan ukiran, namun ternyata ada golongan tertentu yang tidak boleh diukir, itu berarti bahwa orang teresebut melakukan pelanggaran atau menyalahgunakan penggunaan ukiran, seperti yang diungkapkan oleh Bapak. Pius bahwa: ”Semua Tongkonan sekarang diukirmi, padahal dulunya ada golongan tertentu yang memang tidak boleh mengukir tongkonan. Pada saat kita menyalahgunakan penggunaan ukiran, ada sanksi yang menimpa yaitu tula.” B. Pembahasan 1. Corak Ukiran yang terdapat pada Tongkonan yang melambangkan status sosial masyarakat Toraja Ornamen rumah Tongkonan berupa tanduk kerbau serta empat warna dasar yaitu: hitam, merah, kuning, dan putih yang mewakili kepercayaan asli Toraja (Aluk To Dolo). Tiap warna yang digunakan melambangkan hal-hal yang berbeda. Bahan warna ukiran disebut Litak yang merupakan warna dasar bagi masyarakat Toraja yaitu : 1. Warna merah (Litak Mararang) 2. Warna putih (Litak Mabusa) 3. Warna kuning (Litak Mariri) 4. Warna hitam (Litak Malotong) 80 Warna adalah simbol yang sangat dominan dalam proses komunikasi. Warna merah dan putih merupakan warna darah dan tulang manusia yang melambangkan kehidupan manusia. Warna tersebut dapat dipergunakan dimana saja pada waktu ada upacara adat maupun dalam kehidupan sehari-hari. Warna kuning merupakan warna kemuliaan sebagai lambang ketuhanan yang dipergunakan pada waktu upacara Rambu Tuka’ demi untuk keselamatan manusia, berbeda dengan umat Hindu, kuning adalah warna keramat dalam agama Hindu. Sedang warna hitam merupakan lambang dari kematian atau kegelapan dipakai pada waktu upacara Rambu Solo’ (upacara kematian). Arti warna hitam pada dasar setiap ukiran adalah bahwa kehidupan setiap manusia diliputi oleh kematian karena menurut pandangan Aluk Todolo bahwa dunia ini hanya sebagai tempat bermalam saja atau tempat menginap sementara. Semua warna Passura’ seperti yang tersebut diatas merupakan warna alam karena bahannya dari tanah, kecuali untuk warna hitam diambil dari arang belanga. Warna hitam secara umum juga bisa berarti menunjukkan hal yang tegas, elegan, dan eksklusif. Juga bisa mengandung makna rahasia. Dari seluruh ragam hias yang terdapat pada rumah Tongkonan, ada 4 ukiran dasar atau yang disebut Garonto’ Passura’, yaitu : 1. Pa’ Tedong 2. Pa’Barre Allo 3. Pa’Manuk Londong 4. Pa’Sussu’ 81 Garonto’ Passura’ tersebut harus ada pada Tongkonan layuk dan Tongkonan pekaindoran. Ukiran-ukiran Toraja merupakan simbol kearifan status dan keberadaan dari pemilik Tongkonan yang bersangkutan. Jika kita ingin mengetahui tentang status dan keberadaan suatu tongkonan di wilayah adat maka yang kita harus memeperhatikan corak ukiran-ukiran khusus yang digunakan pada ragam hiasnya dan bentuk Tongkonannya. Inilah ukiran khusus yang perlu diperhatikan : 1. Pa’ Manuk Londong (Ayam Jantan) 2. Kabongngo’ (Kepala Kerbau) 3. Pa’ Garunggang, 4. Passura’ Rangke 5. Pa’ Barana’ Pada dasarnya interaksi manusia menggunakan simbol-simbol, cara manusia menggunakan simbol, merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamannya. Itulah interaksi simbolik dan itu pulalah yang mengilhami perspektif dramaturgis, dimana Erving Goffman sebagai salah satu eksponen interaksi simbolik, maka hal tersebut banyak mewarnai pemikiranpemikiran dramaturgisnya. Studi tentang simbol tentunya menjadi penting karena simbol menjadi media yang paling banyak digunakan dalam komunikasi manusia. Dalam menjalankan proses komunikasi dan interaksi, manusia membutuhkan simbol untuk mentrsanfer pesan kepada orang lain. Setiap simbol yang ada tidak bisa dimaknai sama, setiap 82 komunitas memberikan makna berbeda terhadap sebuah simbol walaupun simbol tersebut berwujud sama. Artinya untuk memahami simbol yang harus dipahami terlebih dahulu adalah lingkungan tempat simbol itu digunakan atau berasal. Untuk memaknai simbol yang digunakan komunitas tertentu, tentunya hanya dapat dilakukan dengan cara melibatkan diri dalam komunitas baik secara langsung maupun tidak langsung. Interaksi simbolik menurut perspektif interaksional, dimana merupakan salah satu perspektif yang ada dalam studi komunikasi, yang barangkali paling bersifat ”humanis” (Ardianto. 2007: 40). Dimana,perspektif ini sangat menonjolkan keagungan dan maha karya nilai individu diatas pengaruh nilai-nilai yang ada selama ini. Perspektif ini menganggap setiap individu di dalam dirinya memiliki esensi kebudayaan,berinteraksi di tengah sosial masyarakatnya, dan menghasilkan makna”buah pikiran” yang disepakati secara kolektif. Pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa setiap bentuk interaksi sosial yang dilakukan oleh setiapindividu, akan mempertimbangkan sisi individu tersebut, inilah salah satuciri dari perspektif interaksional yang beraliran interaksionisme simbolik.Teori interaksi simbolik menekankan pada hubungan antara simbol dan interaksi, serta inti dari pandangan pendekatan ini adalah individu (Soeprapto. 2007). Menurut Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993 dalam West-Turner (2008: 96), interaksi simbolik pada intinya menjelaskan tentang kerangka referensi untuk memahami bagaimana manusia, bersama dengan orang lain, menciptakan dunia simbolik dan bagaimana cara dunia membentuk perilaku manusia. 83 Interaksi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna yang berasal dari pikiran manusia ( Mind ) mengenai diri (Self ), dan hubungannya di tengah interaksi sosial, dan tujuan bertujuan akhir untuk memediasi, serta menginterpretasi makna di tengah masyarakat (Society ) dimana individu tersebut menetap. Seperti yang dicatat oleh Douglas(1970) dalam Ardianto (2007: 136), makna itu berasal dari interaksi, dan tidak ada cara lain untuk membentuk makna, selain dengan membangun hubungan dengan individu lain melalui interaksi Definisi singkat dari ke tiga ide dasar dari interaksi simbolik, antaralain: 1. Pikiran (Mind ) adalah kemampuan untuk menggunakan simbolyang mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu harusmengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain, 2. Diri (Self ) adalah kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu daripenilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, 3. Masyarakat (Society ) adalah jejaring hubungan sosial yang diciptakan,dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat, dantiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam prosespengambilan peran di tengah masyarakatnya.” Tiga tema konsep pemikiran George Herbert Mead yang mendasari interaksi simbolik antara lain: 84 1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia 2. Pentingnya konsep mengenai diri, 3. Hubungan antara individu dengan masyarakat. Tema pertama pada interaksi simbok berfokus pada pentingnya membentuk makna bagi perilaku manusia, dimana dalam teori interaksi simbolik tidak bisa dilepaskan dari proses komunikasi, karena awalnya makna itu tidak ada artinya, sampai pada akhirnya di konstruksi secara interpretif oleh individu melalui proses interaksi, untuk menciptakan maknayang dapat disepakati secara bersama. Hal ini sesuai dengan tiga dari tujuh asumsi karya Herbert Blumer (1969) dalam West-Turner (2008: 99) dimana asumsi-asumsi itu adalah sebagai berikut: 1. Manusia bertindak terhadap manusia lainnyaberdasarkan makna yang diberikan orang lain kepadamereka, 2. Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia,3.Makna dimodifikasi melalui proses interpretif.Tema kedua pada interaksi simbolik berfokus pada pentingnya”Konsep diri” atau ”Self-Concept dimana, pada tema interaksi simbolik ini menekankan pada pengembangan konsep diri melalui individu tersebut secara aktif, didasarkan pada interaksi sosial dengan orang lainnya. Tema ini memiliki dua asumsi tambahan, menurut LaRossan & Reitzes (1993) dalam West-Turner (2008: 101), antara lain: 1. Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain, 85 2. Konsep diri membentuk motif yang penting untukperilaku. Tema terakhir pada interaksi simbolik berkaitan dengan hubunganantara kebebasan individu dan masyarakat, dimana asumsi ini mengakuibahwa normanorma sosial membatasi perilaku tiap individunya, tapi padaakhirnya tiap individulah yang menentukan pilihan yang ada dalam sosialkemasyarakatannya. Fokus dari tema ini adalah untuk menjelaskanmengenai keteraturan dan perubahan dalam proses sosial. Asumsi-asumsi yang berkaitan dengan tema ini adalah: Orang dan kelompok masyarakat dipengaruhi olehproses budaya dan sosial, dan struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial. Tiga asumsi Mead dan Tujuh asumsi-asumsi karya Herbert Blumer (1969) adalah sebagai berikut: 1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia, 2. Pentingnya konsep diri, 3. Hubungan antara individu dengan masyarakat. Tujuh asumsi karya Herbert Blumer 1. Manusia bertindak terhadap orang lain berdasarkan makna yangdiberikan orang lain pada mereka, 2. Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia, 3. Makna dimodifikasi melalui sebuah proses interpretif, 4. Individu-individu mengembangkan interaksidengan orang lain, 86 konsep diri melalui 5. Konsep diri memberikan sebuah motif penting untuk berperilaku, 6. Orang dan kelompok-kelompok dipengaruhi oleh proses budayadan sosial, 7. Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial. Ketika masyarakat majemuk berinteraksi dengan masyarakat lain yang berbeda budaya, maka tatkala proses komunikasi dilakukan, simbol-simbol verbal atau nonverbal secara tidak langsung dipergunakan dalam proses tersebut. Penggunaan simbol-simbol ini acapkali menghasilkan makna-makna yang berbeda dari pelaku komunikasi, walau tak jarang pemaknaan atas simbol akan menghasilkan arti yang sama, sesuai harapan pelaku komunikasi tersebut. Maka, simbol yang diartikan Pierce sebagai tanda yang mengacu pada objek itu sendiri, melibatkan tiga unsur mendasar dalam teori segi tiga makna : simbol itu sendiri, satu rujukan atau lebih dan hubungan antara simbol dengan rujukan (Sobur, 2003 : 156). Di sini dapat dilihat, bahwa hubungan antara simbol sebagai penanda dengan sesuatu yang ditandakan (petanda) sifatnya konfensional. Berdasarkan konvesi tersebut, Alex Sobur (2003 : 156) memaparkan, masyarakat pemakainya menafsirkan ciri hubungan antara simbol dengan objek yang diacu dan menafsirkan maknanya. Simbol tidak dapat hanya disikapi secara isolatif, terpisah dari hubungan asosiatifnya dengan simbol lainnya. Simbol berbeda dengan bunyi, simbol telah memiliki kesatuan bentuk dan juga makna. Maka, pada dasarnya simbol dapat 87 dibedakan menjadi simbol-simbol universal, simbol kultural yang dilatarbelakangi oleh kebudayaan tertentu, dan simbol individual (Hartoko-Rahmanto, 1998 : 133). Sedangkan dalam “bahasa” komunikasi, simbol ini seringkali diistilahkan sebagai lambang. Di mana simbol atau lambang dapat diartikan sebagai sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan kelompok/masyarakat (Sobur, 2003 : 157). Lambang ini meliputi kata-kata (berupa pesan verbal), perilaku nonverbal, dan objek yang maknanya disepakati bersama. Kemampuan manusia menggunakan lambang verbal dan nonverbal memungkinkan perkembangan bahasa dan menangani hubungan antara manusia dan objek (fisik, abstrak dan sosial) tanpa kehadrian manusia dan objek tersebut. Inilah yang dilakukan masyarakat suku Toraja, di mana dalam kebudayaan masyarakat tersebut, simbol-simbol/lambang digunakan untuk menunjuk objek fisik dan objek abstrak dalam kehidupan mereka, yang telah mereka yakini secara turuntemurun. Seperti rumah Tongkonan yang dsimbolkan sebagai ibu dan jug berbagai macam corak ukiran yang menghiasinya, semuanya itu merupakan simbol-simbol kehidupan bagi masyarakat Toraja. Corak Pa’Tedong, yang merupakan lambang tulang punggung kehidupan atau kemakmuran bagi masyarakat Toraja, Kerbau merupakan hewan yang berharaga bagi masyarakat Toraja. Selain itu corak Pa’ Barre Allo, corak ini melambangkan sumber kehidupan yang brasal dari sang pencipta. Selain itu Pa’Barana’ atau beringin, bagi masyarakat Toraja pohon beringin dalah pohon yang rindang, dan dapat menaungi, sehingga yang berteduh dibaeah pohon 88 tersbut akan merasakan kesejukan. Dapat dikatakan, bahwa masyarakat tersebut telah melakukan simbolisasi yang maknanya telah disepakati bersama. Karena kebutuhan pokok manusia adalah kebutuhan simbolisasi atau penggunaan lambang dan sifat dasar manusia adalah kemampuannya menggunakan simbol, maka simbol adalah sesuatu yang berdiri/ada untuk sesuatu yang lain, kebanyakan diantaranya bersembunyi atau tidaknya, tidak jelas. Pemberian makna terhadap suatu pesan nonverbal didasarkan nilai atau norma yang berlaku pada suatu kelompok atau masyarakat tertentu. Oleh karenanya, pemaknaan dan aturan terhadap suatu perilaku nonverbal sangat bervariasi. Selain itu menurut Sussane Langer (dalam Johannesen, 1996 : 47), bahwa dengan kebutuhan dasar akan simbolisasi yang mungkin tidak dimiliki makhluk lain –selain manusia- maka simbolisasi akan berfungsi secara kontinu dan merupakan proses yang fundamental pikiranmanusia. Dengan keunikan ini, maka manusia sebagai pelaku komunikasi dapat segera mengubah data tangkapan indra menjadi simbol-simbol, dan manusia dapat menggunakan simbol-simbol untuk menunjuk kepada simbol lain dan untuk mewariskan pengetahuan, wawasan, juga kebudayaan yang terpendam dari generasi ke generasi (Sobur, 2003 : 164). Maka, simbol dapat berdiri untuk suatu institusi, cara berpikir, ide, harapan dan banyak hal lainnya. Melalui simbolisasi ini pula, dapat dikatakan bahwa manusia sudah memiliki kebudayaan yang tinggi dalam berkomunikasi, seperti adanya bunyi, isyarat sampai kepada simbol yang 89 dimodifikasi dalam bentuk sinyal-sinyal melalui gelombang udara dan cahaya (Sobur, 2003 : 164). 2. Pesan-pesan yang terdapat pada ukiran Tongkonan sebagai simbol status sosial masyarakat Toraja Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan observasi dan wawancara dengan beberapa informan serta membaca literatus tentang ukiran Toraja, maka dapat dipaparkan corak ukiran yang ada pada Tongkonan sebagai simbol status sosial masyarakat Toraja, tidaklah sembarangan digunakan. Ukiran Toraja bukan hanya sebagai gambar yang diciptakan begitu saja untuk menghiasi suatu bentuk atau benda ataupun Tongkonan tetapi seluruh macam ukiran itu lahir dari pengertian masalah hidup atau pergaulan hidup serta cita-cita kehidupan masyarakat, makanya seluruh ukiran yang ada sekarang mempunyai arti yang dalam. Setiap pola ukiran memiliki nama dan arti masing-masing yang sebenarnya hanya dapat dimengerti oleh masyarakat pendukungnya. Motif ukiran Toraja, selain memperindah bangunan juga mengandung makna yang intinya berupa nasihat dan doa. Ada beberapa jenis Tongkonan, antara lain Tongkonan layuk (pesio'aluk), yaitu tempat menyusun aturan-aturan sosial keagamaan. Tongkonan pekaindoran (pekamberan atau kaparengngesan), yaitu berfungsi sebagai tempat pengurus atau pengatur pemerintahan adat. Ada juga batu a'riri yang berfungsi sebagai tongkonan penunjang yang mengatur dan membina persatuan keluarga serta membina warisan. 90 Tongkonan milik bangsawan Toraja berbeda dengan dari orang umumnya. Yaitu pada bagian dinding, jendela, dan kolom, dihiasi motif ukiran yang halus, detail, dan beragam. Ada ukiran bergambar ayam, babi, dan kerbau, serta diselang-seling sulur mirip batang tanaman. Menurut cerita masyarakat setempat bahwa Tongkonan pertama itu dibangun oleh Puang Matua atau sang pencipta di surga. Dulu hanya bangsawan yang berhak membangun tongkonan. Selain itu, rumah adat Tongkonan tidak dapat dimiliki secara individu tapi diwariskan secara turun-temurun oleh marga suku Toraja. Bangsawan Toraja yang memiliki Tongkonan umumnya berbeda dengan Tongkonan dari orang biasanya. Perbedaan ini bisa kita lihat pada bagian rumah terdapat tanduk kerbau yang disusun rapi menjulang ke atas, semakin tinggi atau banyak susunan tanduk kerbau tersebut semakin menunjukkan tinggi dan penting status sosial si pemilik rumah. Rumah Tongkonan rata-rata dibangun selama tiga bulan dengan sepuluh pekerja. Kemudian ditambah proses mengecat dan dekorasi satu bulan berikutnya. Setiap bagian tongkonan melambangkan adat dan tradisi masyarakat Toraja. Berikut adalah makna dari setiap corak ukiran dari Tongkonan sebagai simbol status sosial masyarakat Toraja. 1. Pa’ Tedong Ukiran ini bentuknya mirip dengan kepala kerbau meskipun agak tersamar. Motif ini didominasi dengan warna hitam, putih dan merah. Pa’tedong biasa dilukiskan pada papan besar teratas dan pada dinding-dinding 91 penyanggah badan rumah. Bagi masyarakat Toraja, kerbau adalah hewan yang paling tinggi nilai dan statusnya. Kerbau digunakan sebagai korban pada saat upacara Rambu Solo’, alat pengolah sawah dan lain-lain. Ukiran Pa’tedong bermakna sebagai lambang kesejahteraan dan kekayaan bagi masyarakat Toraja dan juga melambangkan kebangsawanan. 2. Pa’ Barre’ Allo Ukiran ini artinya ukiran yang menyerupai matahari. Bentuk motif ini adalah terdiri atas empat lingkaran yang tersususun. Lingkaran pertama yang merupakan pusat dari motif ini berwarna kuning, lingkaran kedua berwarna merah dan lingkaran ketiga dan keempat berwarna putih. Antara lingkaran ketiga dan keempat terdapat bentuk segitiga yang berwarna merah yang disusun melingkar sehingga melahirkan bentuk lingkaran yang bersinar seperti matahari. Jenis ukiran ini ditemukan pada bagian muka dan belakang Tongkonan pada papan atas berbentuk segitiga. Biasanya di atas ukiran Pa’Barre Allo, diletakkan ukiran Pa’Manuk Londong. Pa’Barre Allo adalah simbol kesatuan dari Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo (Toraja) yang mendapat berkat dan bimbingan dari Tuhan yang Maha Kuasa. Ukiran ini adalah lambang sumber kehidupan yang berasal dari sang pencipta. Maknanya adalah percaya bahwa sumber kehidupan dan segala sesuatu di dunia ini adalah dari Puang Matua (Tuhan yang Maha Esa) dan pemilik Tongkonan mempunyai kedudukan yang tertinggi dan mulia. Ini adalah gambar dari ukiran Pa’Barre Allo. 92 3. Pa’ Manuk Londong Pa’Manuk Londong merupakan ukiran yang berupa ayam jantan, terdapat pada muka dan belakang Tongkonan. Biasanya Pa’Manuk Londong diukir di atas Pa’Barre Allo. Ukiran ini, bagi masyarakat Toraja, merupakan simbol waktu, patriotisme, hukum dan pengorbanan. 4. Pa’ Sussu’ Pa’Sussu’ adalah ukiran yang berbentuk garis-garis sejajar tanpa variasi dan tidak diberi warna. Pa’Sussu’ adalah ukiran yang sangat sederhana tetapi maknanya sangat dalam. Pa’Sussu’ melambangkan Tongkonan yag bersangkutan sangat berperan di dalam menentukan kebijakan dasar (dasar kehidupan) dalam wilayah adat yag bersangkutan dan juga merupakan lambang kesatuan masyarakat yang demokratis. Ukiran khusus pada Tongkonan. Bagi masyarakat Toraja, memiliki ukiran dengan motif tertentu adalah sebuah kebanggaan dan menyatakan status sosial dalam kehidupan. Berikut adalah ukiran-ukiran khusus itu: 1. Pa’ Manuk Londong (Ayam Jantan) yang diukir di atas Pa’Barre Allo, melambangkan tentang status, kepemimpinan,adanya hukum(adat), keadilan dan kebenaran. Pada umumnya Tongkonan meggunakan dua simbol ayam jantan yang diukir berhadapan di atas Pa’Barre Allo pada papan atas (Para). Itu berarti bahwa para pemimpin dalam negeri harus duduk bersama menyatukan pemahaman sikap dan komando yang smaa ke arah perbaikan/peningkatan kehidupan rakyat banyak. 93 Ada juga yang mengukir hanya satu ayam jantan pada Para Tongkonan. Hal tersebut melambangkan bahwa Tongkonan yang bersangkutan dan pemiliknya mempunyai status tertinggi dalam wilayah adat yang bersangkutan dan dalam setiap pengambilan keputusan/kebijakan, tidak boleh dibantah oleh siapa pun. 2. Kabongngo’ (Kepala Kerbau), yang di atasnya terdapat Katik (naga), dipasang pada bagian depan rumah. Naga adalah lambang kekuatan, jadi Kabongngo’ yang diatasnya ada Katik, melambangkan status yang tinggi dalam masyarakat dan melambangkan kemampuan untuk memimpin yaitu pemimpin yang mampu berjalan di depan dan menjadai panutan untuk diikuti oleh seluruh masyarakat. Untuk Tongkonan Layuk, Kabongngo’ dan katik bisa juga dipasang di bagian belakang Tongkonan. 3. Pa’ Garunggang, yaitu ukiran dengan menembus papan yang diukir sesuai motif dasarnya. Biasanya ukiran dasar dari Pa’Garunggung adalah Pa’Bulu Londong. Pa’Garunggang = Garunggang = Runggang yang artinya, goncang. Garunggang adalah Passura’Tarru’ (Ukiran Tembus) artinya menembus segalanya. Ukiran ini melambangkan status tertinggi, kewibawaan, kekayaan, kekuatan dan keberanian, sehingga dapat membuat keadaan sedemikian rupa sehingga dapat terjadi keadaan seperti yang dikehendaki (sesuai kepentingannya). 94 4. Passura’ Rangke. Rangke = Kering. Ukiran ini tidak diberi pewarnaan. Biasanya ukiran yang tidak deberi pewarnaan adalah Pa’Tangke Lumu’. Passura’ Rangke melambangkan tidak pernah kekurangan, baik material maupun ide-ide. Jadi merupakan tumpuan harapan orang banyak. Peka dan mau berkorban untuk orang banyak atau keluarga. 5. Pa’ Barana’. Barana’= Beringin, yaitu ukiran yang menyerupai ranting dan daun beringin. Beringin adalah pohon yang besar dan rindang dapat menaungi, sehingga semua yang ada di bawahnya, merasakan kesejukan dan keamanan. Apabila Pa’Barana’ ditempatkan pada papan atas (Indo’Para) pada Tongkoanan, melambangkan bahwa Tongkonan tersebut mempunyai status tertinggi dan menjadi payung dari semua pihak dalam negeri. Pa’Barana’ digunakan pada Tongkonan Layuk, Pekaamberan/Kaparenggesan. Manusia dikatakan sebagai animal simbolikum yang mempunyai dorongan untuk mencipta simbol-simbol tersebut. Dalam hubungannya dengan manusia dikatakan juga sebagai makhluk budaya maka manusia diartikan juga sebagai makhluk yang dengan kegiatan akalnya dapat mengubah dan bahkan dapat menciptakan realitas melalui simbol-simbol atau system perlambangan. Contoh dari sistem perlambangan di sini adalah corak ukiran Toraja, yang melambangkan sesuatu berdasarkan sistem pola hubungan masyarakat Toraja, falsafah hidup mereka dan status sosial mereka. 95 Masyarakat Toraja memiliki budaya sendiri dan merekapun mengerti dan memahami sebagaimana mereka adalah pelaku budaya tersebut. Atas dasar berbagai rujukan interaksionis simbolik, peneliti budaya memang harus cermat dalam memperhatikan interaksi manusia dalam komunitas budaya. Interaksi manusia tersebut, umumnya ada yang berencana, tertata, resmi, dan juga tidak resmi. Berbagai momen interaksi dalam bentuk apa pun, perlu diperhatikan oleh peneliti budaya. Pelaku budaya tidak dapat dianggap sebagai komunitas yang pasif, melainkan penuh interaksi dinamis yang banyak menawarkan simbol-simbol. Pada saat ini peneliti segera memasuki interaksi budaya pelaku. Lambang atau simbol adalah sesuatu yang abstrak yang berawal dari adanya proses interaksi sosial. Pengertian lambang tidak lepas dari tanda, tetapi harus dibedakan antara tanda dan lambang(simbol). Kita hidup di dunia simbolik untuk mereprentasikan dan mengekspresikan dunia nayata. Apa yang kita lihat dan rasakan adalah tanda, sedangkan lambang merepresentasikan tanda melalui abstraksi. Jika kita melihat Tongkonan dengan corak ukirannya dan visual-visual lainnya, makan tanda dari Tongkonan adalah Tongkonan itu sendiri(rumah), lambang akan menjelaskan pengertian sebuah Tongkonan secara abstraksi, sebagai tempat tinggal dan lambang status sosial dari pemilik Tongkonan tersebut. Dalam proses simbolik, unsur amat penting untuk diperhatikan adalah kebebasan menciptakan simbol-simbol yang terkait dengan nilai-nilai tertentu. Seperti masyarakat Toraja, mereka menciptakan corak ukiran yang mereka gunakan pada rumah adat mereka, dan semua itu berdasarkan nilai-nilai dari adat Toraja. 96 Dalam setiap gerak, pelaku budaya akan berinteraksi dengan yang lain. Pada saat itu, mereka secara langsung maupun tidak langsung telah membeberkan stock of culture yang luar biasa banyaknya. Persediaan pengetahuan budaya yang ditampilkan lewat interaksi itulah yang menjadi fokus penelitian model interaksionis simbolik. Dari interaksi tersebut, akan muncul sejumlah tanda-tanda, baik verbal maupun non verbal yang unik. Menurut pandangan model interaksionis simbolik perilaku budaya akan berusaha menegakkan aturan-aturan, hukum, dan norma yang berlaku bagi komunitasnya. Jadi, bukan sebalilrnya interaksi mereka dibingkai oleh aturan-aturan mati, melainkan melalui interaksi simbolik akan muncul aturan-aturan yang disepakati secara kolektif. Makna budaya akan tergantung proses interaksi pelaku. Makna biasanya muncul dalam satuan interaksi yang kompleks, dan kadang - kadang juga dalam interaksi kecil antar individu. Dalam masyarakat Toraja, corak ukiran yang mereka gunakan, semuanya berasal dari falsafah hidup mereka sendiri, dan merekapun mengartikan dan memberikan makna dari setiap corak ukiran tersebut dan pesanpesan yang tidak lazim bagi orang awam. Dengan’demikian, model interaksionis simbolik akan menganalisis berbagai hal tentang simbol yang terdapat dalam interaksi pelaku. Mungkin sekali pelaku budaya menggunakan simbol-simbol, unik atau spesial yang hanya dapat dipahami ketika mereka saling berinteraksi. Seperti halnya dalam budaya Toraja, Pa’Kabongo sebelum dipasang pada rumah Tongkonan, itu akan belum menandakan keberadaan 97 dan satus dari Tongkonan tersebut, dan ketika Pa’Kabongo’ telah dipasang pada Tongkonan maka akan kelihatanlah simbol keberadaan dan status Tongkonan tersebut dengan adanya Pa’Kabongo’. Jika berdiri sendiri belum mewujudkan sebuah simbol bermakna, sebab bagi orang lain diluar pelaku budaya Toraja, Pa’Kabongo’ hanya sebuah kepala kerbau, namun, ketika benda tersebut berada dalam adat budaya Toraja,barulah benda simbolik ‘ itu bermakna. Begitupun dengan corak ukiran-ukiran yang lain yang digunakan oleh masyarakat Toraja. Penggunaan lambang-lambang tersebut adalah memperkuat interpretasi pesan dan dalam peoses verbal yang diwakili oleh lambang bahasa, prosen nonverbal dapat memberikan tekanan, penting, perlu mendapat perhatian khusus. Pemahaman terhadap proses verbal dan nonverbal adalah pemahaman terhadap budaya, budaya adalah perilaku manusia yang dipengaruhi oleh lingkunagn pengalamannya, seperti kebiasaan-kebiasaan dan kepercayaan-kepercayaannya. Pesan verbal dari setiap corak ukiran Tongkonan Toraja adalah, makna yang tekandung dalam setiap corak ukiran tersebut sedangkan pesan nonverbalnya adalah corak ukiran atau motif-motif ukiran tersbut serta warna-warna yang digunakan pada unkiran tersebut. Itulah sebabnya ada beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan bagi peneliti interaksionis simbolik, yaitu: 1. simbol akan bermakna penuh ketika berada dalam konteks interaksi aktif, 2. pelaku budaya akan mampu merubah simbol dalam interaksi sehingga menimbulkan makna yang berbeda dengan makna yang lazim, 98 3. pemanfaatan simbol dalam interaksi budaya kadang-kadang lentur dan tergantung permainan bahasa si pelaku, 4. makna simbol dalam interaksi dapat bergeser dari tempat dan waktu tertentu. Objek, orang, situasi, peristiwa tidak memiliki pengertiannya sendiri, tapi pengertian diberikan untuk masing – masing tersebut. Pengertian yang diberikan orang pada pengalaman dan proses penafsirannya adalah esensial serta menentukan dan bukan bersifat kebetulan atau bersifat kurang penting terhadap pengalaman itu. Untuk memahami perilaku, maka kita harus definisi dan proses pendefinisiannya. Manusia tidak dapat bertindak atas dasar respons yang telah ditentukan terlebih dahulu untuk mempradefinisikan objek, tetapi lebih sebagai penafsiran, pendefinisian, “hewan simbolik” yang perilakunya hanya dapat dipahami dengan jalan memasuki proses definisi melalui metode pendekatan pengamatanberperan serta. Interaksi simbolik adalah interaksi yang memunculkan makna khusus dan menimbulkan interpretasi atau penafsiran. Simbolik berasal dari kata ’simbol’ yakni tanda yang muncul dari hasil kesepakatan bersama. Bagaimana suatu hal menjadi perspektif bersama, bagaimana suatu tindakan memberi makna-makna khusus yang hanya dipahami oleh orang-orang yang melakukannya, bagaimana tindakan dan perspektif tersebut mempengaruhi dan dipengaruhi subyek, semua dikaji oleh para interaksionis simbolik. Hal yang tidak kalah penting dalam interaksi simbolik adalah 99 pengonsepsian diri subyek. Bagaimana subyek melihat, memaknai dan mendefinisikan dirinya berdasarkan definisi dan makna yang diberikan orang lain. Mead menekankan dasar intersubjektif dari makna. Makna dapat ada, menurut Mead, hanya ada ketika orang-orang memiliki interpretasi yang sama mengenai simbol yang mereka pertukarkan dalam interaksi. Blummer (1969) menjelaskan bahwa terdapat tiga cara untuk menjelaskan asal sebuah makna. Satu pendekatan mengatakan bahwa makna adalah sesuatu yang bersifat intrinsik dari suatu benda atau makna yang ada dalam diri benda tersebut. Pendekatan kedua terhadap asal-usul makna melihat makna itu “dibawa kepada benda oleh seseorang bagi siapa benda itu bermakna” (Blummer,1969:4). Posisi ini mendukung pemikiran yang terkenal bahwa makna terdapat di dalam orang, bukan di dalam benda. Pendekatan ketiga terhadapa makna, melihat makna sebagai sesuatu yang terjadi di antara orang-orang. Makna adalah “produk sosial” atau ciptaan yang dibentuk dalam dan melalui pendefinisian aktivitas manusia ketika mereka berinteraksi. Seperti halnya dengan masyarakat Toraja, mereka menciptakan berbagai macam corak atau simbol ukiran untuk rumah adat mereka. Dari setiap corak tersebut, masing –masing memeiliki makna tersendiri, begitu juga dengan Tongkonan yang memiliki makna dalam Tongkonan itu sendiri. Masyarakat luar memiliki pandangan berbeda terhadap pemaknaan dari Tongkonan dan ukirannya, itu merupakan produk sosial dalam masyarakat Toraja mereka membentuknya dalam interaksi mereka sendiri. 100 CORAK UKIRAN SIMBOL STATUS MAKNA FILOSOFI Kebangsawanan Lambang kesejahteraan dan kekayaan bagi masyarakat Toraja WARNA Warna yang digunakan di setiap ukiran ada 4 warna yaitu merah, yang Kedudukan tertinggi dan Kehidupan bersumber melambangkan mulia. dari Puang Matua (Sang darah manusia, Pencipta). warna putih melambangkan Patriotisme, Bermakna hukum, tulang manusia, kepemimpinan pengorbanan, dan waktu. suci, warna kuning melambangkan Lambagn kesatuan yang kemuliaan, Kebijakan demokratis. lambang ketuhanan, dan warna hitam yang Melambangkan status merupakan warna Pemimpin tertinggi dalam dasar dari setiap masyarakat. ukiran, dan bahwa Status tertinggi dan kehidupan setiap menjadi payung dari Dapat menaungi, manusia diliputi semua pihak dalam sehingga yang ada oleh kematian. negeri. dibawahnya merasakan kesejukan dan keamanan. Pa’Garunggang Kewibawaan, kekayaan, keberanian, kekuatan. Melambangkan status tertinggi, kewibawaan, kekayaan, keberanian, kekuatan sehingga dapat membuat keadaan terjadi seperti yang dikehendaki(sesuai kepentingannya). Peka, mau berkorban untuk orang banyak dan keluarga. Tidak pernah berkekurangan, baik material maupun ide-ide. Passura’rangke 101 BAB 5 PENUTUP A. Kesimpulan 1. Corak ukiran yang terdapat pada Tongkonan yang melambangkan status sosial masyarakat Toraja berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa ukiran yang ada pada Tongkonan melukiskan simbolsimbol dari benda-benda di sekeliling kehidupan manusia. Corak ukiran Pa’Tedong, Pa’Barre Allo, Pa’Manuk Londong dan Pa’Sussu’ merupakan dasar ukiran Tongkonan dan corak Pa’Manuk Londong, Kabongo’, Pa’Garunggang, Passura’Rangke dan Pa’ Barana’ merupakan lambang-lambang khusus yang terdapat pada Tongkonan yang melambangkan status dan keberadaan dari Tongkonan itu. Ukiran tersebut dibuat berdasarkan taksiran mereka sendiri. 2. Pesan-pesan yang terdapat pada ukiran Tongkonan sebagai simbol status sosial masyarakat Toraja merupakan falsafah hidup orang Toraja sendiri. Pesan yang terkandung dalam Pa’Tedong adalah lambang kesejahteraan dan kekayaan serta kebangsawanan, Pa’Barre Allo mengandung pesan bahwa sumber kehidupan dan segala sesuatu yang ada di dunia ini berasal dari Tuhan dan merupakan lambang kebesaran dan kebanggaan serta pemilik Tongkonan mempunyai kedudukan yang tertinggi dan mulia, Pa’Manuk Londong melambangkan pemimpin yang arif dan bijaksana, mampu menyatukan semua unsur golongan dalam masyarakat, Pa’Sussu’ melambangkan bentuk kesatuan masyarakat yang 102 demokratis dan kebijakan untuk penentuan dasar-dasar kehidupan, Pa’Garunggang melambangkan kewibawaan, kekayaan, kekuatan, keberanian dan status tertinggi, sehingga dapat membuat keadaan yang sedemikian rupa menjadi keadaan seperti yang dikehendaki, Passura’Rangke melambangkan tiak pernah berkekurangan, baik material maupun ide-ide, merupakan tumpuan harapan dan peka serta mau berkorban bagi orang banyak atau keluarga, dan Pa’Barana’ melambangkan bahwa Tongkonan tersebut mempunyai status tertinggi dan menjadi pelindung atau payung dari semua pihak dalam negeri. 103 B. Saran Tongkonan dan ukirannya sebagai salah satu hasil kebudayaan bangsa yang sarat akan nilai-nilainya hendaknya dilestarikan keasliannya. Oleh sebab itu melalui skripsi ini diajukan beberapa saran yaitu : 1. Untuk mempertahankan dan menjaga kelestarian budaya Toraja, maka diharapkan kepada masyarakat Toraja agar lebih memahami dan mendalami budaya mereka sendiri dan tidak mudah terpengaruh terhadap budaya luar dan mendominasi budaya Toraja yang menyebabkan keaslian budaya perlahan terkikis dan tergeser. 2. Diharapkan kepada generasi muda agar mempelajari tentang ukiran dan makna-maknanya, agar budaya warisan nenek moyang tersebut tetap terjaga dan diperkenalkan kepada orang lain. 3. Hendaknya pemerintah menyediakan sarana yang membuat wisatawan lebih mudah dan lebih nyaman melakukan perjalanan wisata ke Toraja dengan waktu yang lebih singkat. 104 DAFTAR PUSTAKA Abdullah,Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta :Pustaka Pelajar. Cangara, Hafied. 2011. Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hayakawa, S.I. 1990. Simbol-simbol. Komunikasi Antar Budaya. Penyunting: Dedy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat. Bandung: Remaja Rosdakarya. Herimanto & Winarno. 2011. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: PT Bumi Aksara. Kadang, K. 1960. Ukiran Rumah Toraja. Jakarta: Balai Pustaka. Kaplan, David dan Manners, Robert.Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Radar Jaya Offset. Littlejohn, Stepehen W. dan Foss,Karen A. 2011. Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika. Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu komunikasi :Suatu Pengantar. Bandung: Rosdakarya. Nurudin. 2008. Sistem Komunikasi Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Palalunan. 2008. Pesan-pesan Simbolik Banua Layuk (Rumah Adat) Kabupaten Mamasa Provinsi Sulawesi Barat. Skripsi Tidak Diterbitkan. Makassar: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin. Palimbong, C.L. Mengenal Ragam Hias Toraja. Said, W.Edward. 2004. Power, politics and culture: interviews with Edward W.Said:Bloomsbury. Samovar, Larry A, Porter, Richard E, McDaniel, Edwin R, 2010, Komunkasi Lintas Budaya :Jakarta: Salemba Humanika. Sande, JS. 1991. Toraja in Carvings. Ujung Pandang. 105 West, Richard dan Turner, Lynn H. 2008. Pengantar Teori Komunikasi:Analisis dan Aplikasi: Jakarta: Salemba Humanika Setiadi, Elly M, dkk. 2007. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta : Kencana. Sitonda, Mohammad Natsir. 2007.Toraja Warisan Dunia. Makassar: Pustaka Refleksi. Sihabudin, Ahmad. 2011. Komunikasi Antarbudaya, Jakarta: Bumi Aksara. Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya. . 2009 Semiotika Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya. Spradley, James. 2007. Metode Etnografi, Jogjakarta : Tiara Wacana. Sugyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: ALFABETA. Van, Zoest, Aart, Semiotika: Tentang Tanda, Cara kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya 1993, Jakarta: Yayasan Sumber Agung. Tangdilintin, LT. 1975.Tongkonan dengan Seni dan Koleksinya. Tana Toraja. Yayasan Lepongan Bulan. .1985. Tongkonan (Rumah adat Toraja). Tana Toraja: Yayasan Lepongan Bulan. Referensi Internet 2012. Konsep Simbol Dalam Perspektif. ( http://rajawaligarudapancasila.blogspot.com/2011/05/konsep-simbol-dalampersfektif_31.html, Diakses 1 Nopember 2012 pukul 09:02 WITA) 2012. Semiotika Teori Komunikasi. (http://www.scribd.com/doc/79718363/SEMIOTIKA-Teori-Komunikasi), diakses 1 Nopember 2012 pukul 19:15 WITA) 106 Murtini, Indah. 2021. Semiotika Makna Dalam Komunikasi.(http://ndahindah.wordpress.com/2012/05/17/semiotika-maknadalam-komunikasi/,diakses pada tanggal 1 November 2012, Pukul 19:07 WITA) Iskandar. 2012.( http://the-linguist.webs.com/apps/blog/show/prev?from_id=371446 2012. (http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya 19:01, Diakses 28 Oktober 2012 Pukul 19:32 WITA. Adi, Tri Nugroho. 2012. Interaksi Simbolik (http://sinaukomunikasi.wordpress.com/2011/08/20/interaksi-simbolik/ 9 november 2012 Pukul 10;02 WITA) 107