View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang sangat majemuk terdiri dari
berbagai macam suku, budaya, ras dan agama. Setiap suku tersebut memiliki
kebudayaan-kebudayaan asli yang menjadi ciri khasnya dan terus dipertahankan.
Salah satu aspek yang menarik dari kebudayaan di Indonesia adalah keaslian budaya
beberapa daerah yang masih tetap dipertahankan. Budaya tersebut sangat
berpengaruh pada suku tertentu dalam berinteraksi dengan suku lainnya. Hal ini
sangat jelas sebab kita pun berasal dari daerah dan suku yang berbeda dan
membutuhkan waktu untuk memahami budaya dan adat setempat.
Pemahaman tentang kebudayaan adalah suatu persoalan yang sangat dalam
dan luas, bidang cakupannya meliputi seluruh pikiran, rasa,karsa, dan hasil karya
manusia. Kebudayaan selalu menunjukkan adanya derajat menyangkut tingkatan
hidup dan penghidupan manusia. Pada dasarnya budaya adalah suatu konsep yang
membangkitkan minat, yang berkenaan dengan cara hidup. Budaya yang
menampakkan diri dalam pola-pola bahasa dan bentuk kegiatan dan perilaku yang
befungsi sebagai model-model dalam tindakan-tindakan penyesuaian diri dalam
segala gaya komunikasi yang memungkinkan orang-rang tinggal dalam suatu
masyarakat di suatu lingkungan geografis tertentu pada suatu tingkat perkembangan
teknis tertentu pada suatu saat tertentu, budaya juga berkenaan dengan sifat-sifat dari
1
obyek-obyek materi yang berupa bentuk rumah, alat-alat pertanian dan jenis-jenis alat
transportasi yang memainkan peranan penting dalam kehidupan sehari-hari.
Manusia sebagai makhluk budaya mengandung pengertian bahwa manusia
menciptakan budaya dan kemudian budaya memberika arah dalam hidup dan tingkah
laku manusia. Kebudayaan merupakan hasil dari adanya ide-ide dan gagasan-gagasan
yang kemudian mengakibatkan terjadinya aktivitas dan menghasilkan suatu karya
(kebudayaan fisik). Menurut Marvin Harris (dalam Spradley, 2007:5) konsep
kebudayaan ditampakkan dalam berbagai pola tingkah laku yang dikaitkan dengan
kelompok-kelompok masyarakat tertentu seperti adat atau cara hidup masyarakat.
Kebudayaan selalu menunjukkan adanya derajat dan penghidupan manusia. Dengan
menciptakan adat, budaya serta lingkungan sosial yang berbeda-beda dapat
ditumbuhkembangkan dan diwariskan kepada generasi ke generasi.
Budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan, karena pada hakikatnya
seluruh perbendaharaan perilaku kita sangat brgantung pada budaya tempat kita
dibesarkan. Cara kita berkomunikasi sangat bergantung pada budaya kita: bahasa,
aturan-aturan dan norma-norma kita masing-masing. Budaya dan komunikasi
mempunyai hubungan yang timbal balik, seperti dua sisi dari satu mata uang. Budaya
yang menjadi bagian dari perilaku komunikasi dan pada gilirannya komunikasi itu
turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya, dapat
ditekankan bahwa budaya adalah komunikasi dan komunikasi adalah budaya.
Terdapat hubungan yang mutlak antara manusia dengan kebudayaannya
sehingga pada hakikatnya dapat disebut sebagai makhluk budaya. “Kebudayaan
2
sendiri adalah merupakan kesatuan dari gagasan simbol-simbol dan nilai-nilai yang
mendasari hasil karya dan perilaku manusia, sehingga tidaklah berlebihan apabila
dilanjutkan bahwa begitu eratnya kebudayaan dan simbol-simbol yang diciptakan
oleh manusia sehingga manusia disebut sebagai Homo Simbolicum”. (Said. 2004:3)
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa karya budaya manusia
penuh dengan simbolisme, sesuai dengan tata pemikiran atau paham yang
mengarahkan pola-pola kehidupan sosialnya. Seperti pada budaya suku Toraja di
Sulawesi Selatan, suku ini memiliki banyak hal yang dapat diungkapakan secara
simbolik, baik dari segi ritual upacaranya yaitu Rambu Tuka’dan Rambu Solo’ dan
juga dalam unsur visual seperti arsitektur rumah adat yang dipenuhi berbagai macam
corak ukiran. Semuanya berpatokan pada nilai tradisonal yang terkandung dalam
kepercayaan asli Toraja yaitu Aluk Todolo.
Tongkonan berasal dari kata Tongkon yang bermakna menduduki atau tempat
duduk. Dikatakan sebagai tempat duduk karena dahulu menjadi tempat berkumpulnya
bangsawan Toraja yang duduk dalam tongkonan untuk berdiskusi. Rumah adat ini
mempunyai fungsi sosial dan budaya yang bertingkat-tingkat di masyarakat. Awalnya
merupakan pusat pemerintahan, kekuasaan adat, sekaligus perkembangan kehidupan
sosial budaya masyarakat Toraja.
Ada beberapa jenis rumah adat tongkonan, antara lain
(pesio'aluk),
yaitu
tempat
menyusun
aturan-aturan
Tongkonan layuk
sosial
keagamaan.
Tongkonanpekaindoran (pekamberan atau kaparengngesan), yaitu berfungsi sebagai
tempat pengurus atau pengatur pemerintahan adat.Ada juga batu a'riri yang berfungsi
3
sebagai Tongkonan penunjang yang mengatur dan membina persatuan keluarga serta
membina warisan.
Tongkonan milik bangsawan Toraja berbeda dengan dari orang awam, yaitu
pada bagian dinding, jendela, dan kolom, dihiasi motif ukiran yang halus, detail, dan
beragam. Ada ukiran bergambar ayam, babi, dan kerbau, serta diselang-seling sulur
mirip batang tanaman. Menurut cerita masyarakat setempat bahwa Tongkonan
pertama itu dibangun oleh Puang Matua atau sang pencipta di surga. Dulu hanya
bangsawan yang berhak membangun Tongkonan. Selain itu, rumah adat Tongkonan
tidak dapat dimiliki secara individu tapi diwariskan secara turun-temurun oleh marga
suku Toraja. Rumah Tongkonan rata-rata dibangun selama tiga bulan dengan sepuluh
pekerja. Kemudian ditambah proses mengecat dan dekorasi satu bulan berikutnya.
Setiap bagian Tongkonan melambangkan adat dan tradisi masyarakat Toraja.
Tongkonan akan terus dibangun dan didekorasi ulang oleh masyarakat Toraja. Hal itu
bukan karena alasan perbaikan tetapi lebih untuk menjaga gengsi dan pengaruh dari
kaum bangsawan. Pembangunan kembali rumah tongkonan akan disertai upacara
rumit yang melibatkan seluruh warga dan tidak jauh berbeda dengan upacara
pemakaman.
Ukiran Toraja bukan hanya sebagai gambar yang diciptakan begitu saja untuk
menghiasi suatu bentuk atau benda ataupun Tongkonan tetapi seluruh macam ukiran
itu lahir dari pengertian masalah hidup atau pergaulan hidup serta cita-cita kehidupan
masyarakat, makanya seluruh ukiran yang ada sekarang mempunyai arti yang dalam.
Menurut sejarah ukiran pada mulanya hanya dikenal 4 (empat) bentuk dasar gambar
4
(lambang) yaitu lambang dari 4 (empat) pokok kehidupan manusia, dan kemudiaan
diaplikasikan pada Tongkonan dengan maksud akan tetap menjadi perhatian dan
selalu diingat oleh masyarakat. Oleh karena itu pemasangan ukiran tidak diletakkan
sembarangan tempat pada rumah adat, tetapi dipasang menurut pandangan dan
falsafah hidup Toraja. Ukiran-ukiran yang ada di rumah adat Toraja melambangkan
status sosial masyarakat Toraja.
Ukiran Toraja terinspirasi dari beragam hal seperti cerita rakyat, benda langit,
binatang yang disakralkan, peralatan rumah tangga, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain
yang oleh orang Toraja memang disakralkan (Sitonda, 2007). Ukiran Toraja
merupakan bentuk seni ukir yang dicetak menggunakan alat ukir khusus di atas
sebuah papan kayu, tiang rumah adat, jendela atau pintu (Kadang, 1960). Ditinjau
dari segi fungsinya, ukiran Toraja selain sabagai elemen estetis, juga berfungsi
sebagai media ekspresi simbolik untuk melampiaskan hasrat, pengabdian,
persembahan, dan kebaktian terhadap nenek moyang atau dewa yang dihormati,
terutama dalam hubungannya dengan kepercayaan Aluk Todolo. (Tangdilintin,
1985:23-25)
Ornamen ukiran rumah Tongkonan berupa tanduk kerbau serta empat warna
dasar yaitu: hitam, merah, kuning, dan putih yang mewakili kepercayaan asli Toraja
(Aluk To Dolo). Tongkonan milik bangsawan Toraja berbeda dengan dari orang
umumnya, yaitu pada bagian dinding, jendela, dan kolom, dihiasi motif ukiran yang
halus, detail, dan beragam. Ada ukiran bergambar ayam, babi, dan kerbau, serta
diselang-seling sulur mirip batang tanaman.
5
Simbol dalam suatu masyarakat merupakan salah satu pedoman penunjuk
arah untuk bertingkah laku secara mantap dan pasti. Ukiran yang ada pada
Tongkonan dapat digunakan untuk melihat dan mengetahui simbol status sosial
pemilik Tongkonan. Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian
dekat dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa,
dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia
Belanda). Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi
perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan
dari kelas yang lebih tingi, ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan
berikutnya. Sikap merendahkan dari bangsawan terhadap rakyat jelata masih
dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga. Kaum bangsawan,
yang dipercaya sebagai keturunan dari surga, tinggal di tongkonan, sementara rakyat
jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang disebut banua).
Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat Tongkonan milik tuan
mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya
melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka.
Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan kematian. Meskipun
didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapa gerak sosial
yang dapat memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah
kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki. Budak dalam
masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga. Kadang-kadang orang Toraja
menjadi budak karena terjerat utang dan membayarnya dengan cara menjadi budak.
6
Budak bisa dibawa saat perang, dan perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa
membeli kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi status budak.
Budak tidak diperbolehkan memakai perunggu atau emas, makan dari piring yang
sama dengan tuan mereka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.
Diperlukan peran aktif dan pastisipasi dari masyarakat dalam melestarikan
budaya, karena bila tidak dilakukan maka budaya asli akan hilang karena akulturasi
denga budaya lain atau berubah oleh pola pikir masyarakatnya. Kebudayaan yang ada
pada suatu kelompok masyarakat atau etnis tertentu tidak akan hilang begitu saja
semudah membalikkan telapak tangan, akan tetapi kebudayaan dapat berubah atau
berakulturasi dengan kebudayaan lain seiring dengan perkembangan pola pikir dari
masyarakat (Koentjaraningrat, 2002:248).
Kebudayaan juga mencakup aturan, prinsip, dan ketentuan-ketentuan
kepercayaan yang terpelihara rapi yang secara turun temurun diwariskan kepada
generasi ke generasi, ini juga dapat dilihat dalam masyarakat Toraja, kebudayaan
yang ada dan dikembangkan serta diketahui dan diakui pihak lain, menunjukkan
adanya pewarisan budaya dari leluhur masyarakat Toraja.
Berdasarkan pengamatan sementara, dari beberapa generasi muda Toraja yang
ditanya tentang nama dan arti dari ukiran Toraja, ternyata
mereka kurang
memahaminya, bahkan ada juga dari kalangan orang tua yang juga tidak memahami
akan kebudayaan mereka tersebut. Dari hasil pengamatan sementara tersebut, dapat
dilihat bahwa, budaya lokal Toraja di kalangan generasi muda Toraja kini mulai
terkikis. Seharusnya kebudayaan tersebut dilestarikan tetapi malah diabaikan.
7
Menurut mereka, ukiran-ukiran tersebut tidak diajarkan di sekolah, sehingga
merekapu tidak memahaminya. Makna ukiran pada rumah adat Toraja hanya
sebagian dari masyarakat Toraja yang memahaminya. Banyak rumah adat yang
dibangun harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada sejak dahulu kala.
Berdasarkan pemaparan di atas maka penulis terdorong untuk melakukan penelitian
dengan judul :“Makna Pesan Pada Corak Ukiran Tongkonan Sebagai Simbol
Status Sosial Masyarakat Toraja’’.
B. Rumusan Masalah
Tongkonan merupakan salah satu bentuk kearifan lokal di Indonesia yang
mengagumkan. Rumah adat ini dipenuhi berbagai macam corak ukiran yang memiliki
makna masing-masing. Berbagai variasi gambar dan simbol yang diukir menghiasi
hampir semua bagian dari Tongkonan. Ukiran-ukiran tersebut untuk menunjukkan
konsep keagamaan dan sosial suku Toraja yang disebut Passura’ (tulisan).
Ukiran tersebut bukan hanya sebagai gambar yang diciptakan begitu saja
untuk menghiasi Tongkonan tetapi seluruh corak ukiran tersebut lahir dari pengertian
masalah hidup atau pergaulan hidup serta cita-cita kehidupan masyarakat Toraja serta
berpatokan pada nilai tradisi yang terkandung dalam kepercayaan asli di Toraja yaitu
Aluk Todolo. Pola yang terukir memiliki makna dengan persentase simbol tertentu
dari pemilik ataupun rumpun keluarga dan merupakan simbol status sosial dari
pemilik rumah adat tersebut.
8
Berdasarkan uraian di atas beberapa permasalahan dapat diidentifikasi adalah sebagai
berikut :
1. Corak ukiran apa saja yang terdapat pada Tongkonan yang melambangkan
status sosial masyarakat Toraja?
2. Pesan-pesan apa yang terdapat pada ukiran Tongkonan sebagai simbol status
sosial masyarakat Toraja?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui corak ukiran pada Tongkonan yang melambangkan simbol
status sosial masyarakat Toraja.
2. Untuk mengetahui pesan-pesan yang terdapat pada ukiran Tongkonan sebagai
simbol status sosial masyarakat Toraja.
Kegunaan Penelitian
a. Kegunaan Teoritis
-
Sebagai bahan rujukan bagi mahasiswa yang melakukan penelitian di
bidang komunikasi antarbudaya.
-
Sebagai sumber data ilmiah bagi pihak-pihak tertentu yang
membutuhkannya sebagai bahan kajian.
9
b. Kegunaan Praktis
-
Sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan studi di jurusan Ilmu
Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Hasanuddin.
-
Penambah wawasan tentang budaya Toraja bagi masyarakat dalam
memahami makna ukiran Toraja.
D. Kerangka Konseptual
Mengkaji kebudayaan tidak dapat terlepas dari data yang dapat dikategorikan
kedalam lima jenis, yaitu,artifak, perilaku kinetis yang digerakkan oleh otot manusia,
perilaku verbal yang mewujudkan diri ke dalam dua bentuk yaitu tuturan yang terdiri
atas bunyi bahasa danteks yang terdiri atas tanda-tanda visual. Semua obyek dari
kajian teori kebudayaan memperlihatkan tata susunan atau pola keteraturan tertentu
yang dijadikan dasar untuk memperlakukan hal-hal itu sebagai data yang bermakna,
karena merupakan hasil kegiatan manusia sebagai mahluk yang terikat pada
kelompok atau kolektiva, dan karena keterikatan itu mewujudkan kebermaknaan itu.
Kebudayaan merupakan sebuah sistem, dimana sistem itu terbentuk dari
perilaku, baik itu perilaku badan maupun pikiran. Hal ini berkaitan erat dengan
adanya gerak dari masyarakat, dimana pergerakan yang dinamis dan dalam kurun
waktu tertentu akan menghasilkan sebuah tatanan ataupun sistem tersendiri dalam
kumpulan masyarakat.
10
Menurut Said (2004:3) kebudayaan itu adalah satuan dari gagasan, simbolsimbol dan nilai-nilai yang mendasari hasil karya dan perilaku manusia, sehingga
tidak berlebihan apabila dilanjutkan bahwa begitu eratnya kebudayaan dengan
simbol-simbol yang diciptakan manusia sehingga manusia dapat disebut sebagai
Homo Symbolicum. Untuk mengerti simbol-simbol yang terdapat dalam masyarakat
tradisional yang mungkin berkaitan dengan mitos dan spirit religius maka dibutuhkan
pengetahuan mengenai sistem budaya yang berlaku dalam masyarakat itu, termasuk
pengalaman hidupnya. Demikian halnya dengan makna corak ukiran pada rumah adat
Toraja hanya apat dipahami bila terlebih dahulu mengerti sistem budaya
masyarakatnya. Menurut Van Romondt ( Said, 2004:7), rumah adalah suatu shelter
atau tempat berlindung manusia dalam menghadapi cuaca panas, dingin, hujan dan
angin. Dahulu pengertian rumah
tinggal adalah sebagai tempat berlindung dari
panasnya matahari dan serangan binatang binatang buas yang menjdi musuh manusia.
Namun, sekarang selain hal tersebut di atas, juga berarti sebagai tempat beristirahat,
membina keluarga, tempat bekerja sekaligus sebagai lambang sosial. Masyarakat
Toraja menganggap rumah Tongkonan sebagai ibu, sedangkan alang sura (lumbung
padi) sebagai bapak. Tongkonan berfungsi untuk rumah tinggal, kegiatan sosial,
upacara adat, serta membina kekerabatan. Ragam hias rumah adat Toraja memiliki
ciri khas tersendiri, bentuk dan fungsinya juga demikian. Corak ukiran yang ada pada
Tongkonan memiliki makna pesan masing-masing. Corak yang dipasang merupakan
lambang atau tanda status sosial dari pemilik rumah adat tersebut.
11
Simbol adalah bentuk yang menandai sesuatu yang lain di luar perwujudan
bentuk simbolik itu sendiri. Simbol juga dapat semacam tanda, lukisan, perkataan,
lencana, dan sebagainya, yang menyatakan sesuatu hal, atau mengandung maksud
tertentu. Misalnya, warna putih merupakan lambang kesucian, lambang padi lambang
kemakmuran, dan kopiah merupakan salah satutanda pengenal bagi warga Negara
Republik Indonesia. Dalam konsep Pierce simbol diartikan sebagai tanda yang
mengacu pada objek tertentu di luar tanda itu sendiri.
Semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol.
Simbol adalah objek atau peristiwa apa pun yang merujuk pada sesuatu. Semua
simbol melibatkan tiga unsur, yaitu symbol itu sendiri, satu rujukan atau lebih, dan
hubungan antara symbol dengan rujukan. Ketiga hal ini mrupakan dasar bagi semua
makna simbolik ( Spradley 2007:134).
Simbol atau lambang merupakan salah satu kategori tanda (sign). Dalam
wawasan Pierce, tanda (sign) terdiri atas ikon (icon), indeks (index), dan simbol
(symbol). Pada dasarnya ikon merupakan tanda yang bisa menggambarkan ciri utama
sesuatu, meskipun sesuatu yang lazim disebut sebagai objek acuan tersebut tidak
hadir. Misalnya, gambar Amin Rais adalah ikon Amin Rais. Indeks adalah tanda yang
hadir secara asosiatif akibat terdapatnya hubungan ciri acuan yang sifatnya tetap.
Kata rokok, misalnya, memiliki indeks asap. Banyak orang yang selalu mengartikan
simbol sama dengan tanda. Sebetulnya tanda berkaitan langsung dengan objek,
sedangkan simbol memerlukan proses pemaknaan yang lebih intensif setelah
menghubungkan dia dengan objek. Dengan kata lain, simbol lebih substantive
12
daripada tanda. Dalam hal ini yang simbol dari rumah adat Toraja adalah Tongkonan,
dan makna yang terkandung dalam setiap corak ukiran yang ada pada rumah adat
tersebut yang mewakili eksistensi dari daerah Toraja.
Salah satu kebutuhan pokok manusia, seperti yang dikatakan Susanne K.
Langer adalah kebutuhan sosialisasi atau pengguna lambang. Ernest Cassier
menyatakan bahwa keunggulan manusia atas makhluk lainnya adalah mereka sebagai
animal symbolicum (Mulyana, 2000:84). Simbol merupakan salah satu unsur
komunikasi sehingga seperti halnya komunikasi, simbol tidak muncul dalam ruang
hampa social melainkan dalam suatu konteks (fisik, waktu, historis, psikologis, social
dan budaya) atau situasi tertentu.
Dalam “bahasa” komunkasi, simbol seringkali disitilahkan sebagai lambang.
Simbol atau lambang adalah sesuatu yang
digunakan untuk merujuk sesuatu
berdasarkan kesepakatan kelompok orang. Dimensi simbolik dapat ditemukan dalam
berbagai bentuk, baik yang konkrit maupun yang abstrak sebagai tanda dari adanya
suatu nilai yang ditunjukkan dalam sebuah adat dari budaya simbol yang
diekspresikan. Budaya terdiri dari simbol-simbol, dimiliki bersama oleh anggota
masyarakat, tergantung pada persepsi seseorang dapat mengartikan makna dari
simbol
Ketika semua bentuk komunikasi adalah tanda, maka dunia ini penuh dengan
tanda. Ketika kita berkomunikasi, kita menciptakan tanda sekaligus makna. Dalam
perspektif semiologi atau semiotika, pada akhirnya komunikasi akan menjadi suatu
ilmu untuk mengungkapkan pemaknaan dari tanda yang diciptakan oleh proses
13
komunikasi itu sendiri. Teori relasional makna didasarkan pada premis bahwa makna
symbol apapun merupakan hubungan simbol itu dengan symbol lain (Spradley
2007:137).
Pada penyusunan kerangka teori dalam penelitian ini, peneliti juga
menggunakan pragmatisme Charles Sanders Peirce. Simbol yang diartikan Pierce
sebagai tanda yang mengacu pada objek itu sendiri, melibatkan tiga unsur mendasar
dalam teori segi tiga makna : simbol itu sendiri, satu rujukan atau lebih dan hubungan
antara simbol dengan rujukan (Sobur, 2003 : 156). Di sini dapat dilihat, bahwa
hubungan antara simbol sebagai penanda dengan sesuatu yang ditandakan (petanda)
sifatnya konvensional. Berdasarkan konvesi tersebut, Alex Sobur (2003 : 156)
memaparkan, masyarakat pemakainya menafsirkan ciri hubungan antara simbol
dengan objek yang diacu dan menafsirkan maknanya. Tanda dalam Peirce,
(Sobur:17) adalah sesuatu yang hidup dan dihidupi (cultifated), ia hadir dalam proses
interpretasi (semiosis) yang mengalir.
14
Berikut bagan konseptual dari penelitian ini :
Tongkonan
Ukiran
Interpretasi
Simbol
Makna Pesan
Status Soisal
Bagan: Kerangka Konseptual
E. Metode Penelitian
1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan kurang lebih 3 bulan, mulai dari bulan Juni-Agustus
2012. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan.
2. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang akan digunakan adalah deskripstif kualitatif yaitu penulis
memberikan gambaran dan penjelasan tentang makna corak ukiran yang terdapat
15
pada rumah adat Toraja agar dapat dipahami oleh masyarakat lain yang belum
mengetahuinya.
3. Informan
Informan dalam penelitian ini adalah dua orang tokoh adat Toraja, ahli ukir Toraja
dan masyarakat biasa yang mempunyai wawasan dan paham tentang makna ukiran
Toraja.
4. Jenis danSumber Data
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan berdasarkan
pengamatan langsung, dialog dan wawancara mendalam dengan informan
yang telah ditentukan.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh penulis melalui kajian kepustakaan,
yaitu pengumpulan data yang diperoleh dari berbagai data yang berhubungan
dengan berupa buku-buku, data dari perpustakaan dan literatur-literatur lain
yang berhubungan dengan penelitian tersebut.
5. Teknik pengumpulan data
1. Observasi
Observasi adalah pengumpulan data yang dilakukan dengan pengamatan
langsung di lokasi penelitian.
16
2. Wawancara
Pengumpulan data ini dilakukan melalui wawancara terhadap informan
dan membaca literatur-literatur menyangkut hal-hal yang berhubungan
dengan masalah yang akan diteliti.
F. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan untuk penelitian ini adalah analisis data
kualitatif, yaitu dengan melakukan interpretasi terhadap makna corak ukiran yang
terdapat pada Tongkonan.
17
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
A. Komunikasi
Kata atau istilah komunikasi (dari bahasa Inggris “communication”),secara
etimologis atau menurut asal katanya adalah dari bahasa Latin communicatus, dan
perkataan ini bersumber pada kata communis. Dalam kata communis ini memiliki
makna ‘berbagi’ atau ‘menjadi milik bersama’ yaitu suatu usaha yang memiliki
tujuan untuk kebersamaan atau kesamaan makna.
Komunikasi secara terminologis merujuk pada adanya proses penyampaian
suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain. Jadi dalam pengertian ini yang
terlibat dalam komunikasi adalah manusia. Karena itu merujuk pada pengertian
Ruben dan Steward(1998:16) mengenai komunikasi manusia yaitu :
Human communication is the process through which individuals –in
relationships, group, organizations and societies—respond to and create messages to
adapt to the environment and one another. Bahwa komunikasi manusia adalah proses
yang melibatkan individu-individu dalam suatu hubungan, kelompok, organisasi dan
masyarakat yang merespon dan menciptakan pesan untuk beradaptasi dengan
lingkungan satu sama lain.
Untuk memahami pengertian komunikasi tersebut sehingga dapat dilancarkan
secara efektif dalam Effendy(1994:10) bahwa para peminat komunikasi seringkali
mengutip paradigma yang dikemukakan oleh Harold Lasswell dalam karyanya, The
18
Structure and Function of Communication in Society. Lasswell mengatakan bahwa
cara yang baik untuk untuk menjelaskan komunikasi ialah dengan menjawab
pertanyaan sebagai berikut: Who Says What In Which Channel To Whom With What
Effect?
Paradigma Lasswell di atas menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima
unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan itu,yaitu:
1. Komunikator (siapa yang mengatakan?)
2. Pesan (mengatakan apa?)
3. Media (melalui saluran/ channel/media apa?)
4. Komunikan (kepada siapa?)
5. Efek (dengan dampak/efek apa?).
Jadi berdasarkan paradigma Lasswell tersebut, secara sederhana proses
komunikasi
adalah
pihak
komunikator
membentuk
(encode)
pesan
dan
menyampaikannya melalui suatu saluran tertentu kepada pihak penerima yang
menimbulkan efek tertentu.
Beberapa definisi Komunikasi menurut para ahli :
Onong Cahyana Effendi :
“Komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang
lain untuk memberitahu, mengubah sikap, pendapat, atau perilaku, baik secara lisan
(langsung) ataupun tidak langsung (melalui media)”.
Harold Laswell :
“Komunikasi adalah gambaran mengenai siapa, mengatakan apa, melalui
media apa, kepada siapa, dan apa efeknya."
19
Raymond Ross :
“Komunikasi adalah proses menyortir, memilih, dan pengiriman simbolsimbol sedemikian rupa agar membantu pendengar membangkitkan respons/ makna
dari pemikiran yang serupa dengan yang dimaksudkan oleh komunikator”.
Gerald R. Miller :
“Komunikasi terjadi saat satu sumber menyampaikan pesan kepada penerima
dengan niat sadar untuk mempengaruhi perilaku mereka”.
Everett M. Rogers :
“Komunikasi adalah proses suatu ide dialihkan dari satu sumber kepada satu
atau banyak penerima dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka”.
Carl I. Hovland :
“Komunikasi adalah suatu proses yang memungkinkan seseorang
menyampaikan rangsangan (biasanya dengan menggunakan lambang verbal) untuk
mengubah perilaku orang lain”.
New Comb :
“Komunikasi adalah transmisi informasi yang terdiri dari rangsangan
diskriminatif dari sumber kepada penerima”.
Bernard Barelson & Garry A. Steiner :
“Komunikasi adalah proses transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan
dan sebagainya dengan menggunakan simbol-simbol, kata-kata, gambar, grafis,
angka, dsb”.
Colin Cherry :
“Komunikasi adalah proses dimana pihak-pihak saling menggunakan
informasi dengan untuk mencapai tujuan bersama dan komunikasi merupakan kaitan
hubungan yang ditimbulkan oleh penerus rangsangan dan pembangkitan balasannya”.
20
Hovland, Janis dan Kelley :
“Komunikasi merupakan proses individu mengirim rangsangan (stimulus)
yang biasanya dalam bentuk verbal untuk mengubah tingkah laku orang lain. Pada
definisi ini mereka menganggap komunikasi sebagai suatu proses”.
Louis Forsdale :
“Menurut Forsdale (1981), ahli komunikasi dan pendidikan “communication
is the process by which a system is established, maintained and altered by means of
shared signals that operate according to rules”. Komunikasi adalah suatu proses
dimana suatu 21ystem dibentuk, dipelihara, dan diubah dengan tujuan bahwa sinyalsinyal yang dikirimkan dan diterima dilakukan sesuai dengan aturan”.
William J. Seller :
“William J.Seller mengatakan bahwa komunikasi adalah proses dimana
simbol verbal dan nonverbal dikirimkan, diterima dan diberi arti”.
1. Unsur - Unsur Komunikasi
Proses komunikasi yang efektifakan berlangsung apabila terdapat unsur-unsur
komunikasi yaitu :
1. Sumber (source)
Komunikator atau sumber adalah orang yang menciptakan tindakan
komunikasi.
Sumber/komunikator
adalah
pelaku
utama/pihak
yang
mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi atau yang memulai suatu
komunikasi,bisa seorang individu,kelompok,organisasi sebagai komunikator.
2. Penerima
Orang yang menerima pesan sebagai akibatnya menjadi terhubungkan dengan
sumber pesan. Penerima bias dikehendaki atau mungkin yang tidak
dikehendaki sumber.
21
3. Penyandian (encoding)
Kegiatan internal seseorang untuk memilih dan merangsang perilaku verbal
dan nonverbal yang sesuai dengan aturan-aturan tata bahasa dan sintaksis
guna menciptakan suatu pesan.
4. Pesan (message)
Hasil dari perilaku menyandi adalah pesan (message) baik pesan verbal
maupun nonoverbal.
5. Saluran (channel), yang menjadi penghubung antara sumber dan penerima.
6.
Penyandian balik (decoding)
Proses internal penerima pemberian makna kepada perilaku sumber yang
mewakili perasaan dan pikiran sumber.
7. Respons penerima (receiver respons)
Menyangkut apa yang penerima lakukan setelah ia menerima pesan. Respon
bisa beraneka ragam bisa minimum hingga maksimum. Respon minimum
keputusan penerima mengabaikan pesan, sebaliknya yang maksimum
tindakan penerima segera, terbuka dan mungkin mengandung kekerasan.
Komunikasi dianggap berhasil bila respons berhasil penerima mendekati apa
yag dikehendaki oleh sumber.
22
8. Umpan balik (feed back)
Informasi yang tersedia bagi sumber yang memungkinkannya meneilai
keefektifan komunikasi yang dilakukannya. Porter dan Samovar (Mulyana
dan Rahmat, 2006) dalam Sihabudin, 2011:16).
2. Karakteristik Komunikasi
Ada beberapa karakteristik komunikasi yang dapat membantu dalam
memahami bagaimana komunikasi berlangsung yaitu :
1. Komunikasi bersifat dinamaik
Komunikasi adalah suatu aktivitas yang terus berlangsung dan selalu berubah.
2. Komunikasi itu interaktif
Komunikasi terjadi anataraa sumber dan penerima.
3. Komunikasi itu tak dapat dibalik (irreversible)
Maksudnya adalah sekali kita mengatakan sesuatu dan sesorang telah
menerima dan menyandi pesan, kita tidak dapat menarik kembali pesan itu
dan sama sekali meniadakan pengaruhnya.
4. Komunikasi berlangsung dalam konteks fisik dan konteks sosial
Ketika berinteraksi dengan seseorang, interaksi itu tidak terisolasi tetapi ada
dalam lingkungan fisik dinamika sosial tertentu. Lingkungan fisik meliputi
objek-objek fisik seperti tumbuh-tumbuhan, kenyamanan atau ketidak
nyamanan atau suasana ruanga di mana komunikasi itu berlangsung. Konteks
sosial mementukan hubungan sosial antara sumber dan penerima.
23
3. Fungsi Komunikasi
Dalam kajian ilmu komunikasi banyak ahli mengemukakan pendapatnya
tentang fungsi-fungsi komunikasi. Nurudin (2008:15) mengambil pendapat Harold D.
Lasswel tentang fungsi-fungsi komunikasi yaitu:
1. Penjagaan/pengawasan lingkungan (surveillance of the environment), fungsi
ini dijalankan oleh para diplomat, etase dan koresponen luar negeri sebagai
usaha menjaga lingkungan.
2. Menghubungkan bagian-bagian yang terpisahkan dari masyrakat untuk
menanggapi lingkungannya (correlation of the part of sosiety in responding to
the environment), fungsi ini diperankan oleh para editor, wartawan dan juru
bicara sebagai penghubung respon internal.
3. Menurunkan warisan sosial dari generasi ke generasi (transmission of the
social heritage), fungsi ini adalah para pendidik di dalam pendidikan formal
atau informal karena terlibat mewariskan adat kebiasaan, nilai dari generasi ke
generasi.
Selain fungsi di atas, Charles R. Wright menambahkan fungsi lain yaitu
entertainment (hiburan) yang menunjukkan pada tindakan-tindakan komunikatif yang
terutama dimaksudkan untuk menghibur dengan tindakan efek-efek instrumental
yang dimilikinya.
24
4. Komunikasi sebagai proses simbolik
Manusia merupakan satu-satunya hewan yang menggunakan lambang, seperti
kebutuhan pokok manusia adalah kebutuhan simbolisasi atau kebutuhan penggunaan
lambang, dan hal itulah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya.
Hampir semua pernyataan manusia baik yang ditujukan untuk kepentingan
dirinya, maupun untuk kepentingan orang lain, dinyatakan dalam bentuk simbol.
Hubungan antara pihak yang ikut serta dalam proses komunikasi banyak ditentukan
oleh simbol atau lambang-lambang yang digunakan dalam berkomunikasi (Cangara,
2011:52).
Kebutuhan dasar yang memang hanya ada pada manusia, adalah kebutuhan
akan simbolisasi. Fungsi pembentukan simbol ini adalah satu di antara kegiatankegiatan dasar manusia, seperti makan, melihat, dan bergerak. Ini adalah proses
fundamental bergantung pada penggunaan simbol-simbol menurut Susanne K.Langer
(Sihabudin, 2011:64).
Menurut Hayakawa (1990:102) kemampuan kita berpaling, melihat proses
simbolik yang sedang berlangsung. Proses simbolik menembus kehidupan manusia
dalam tingkat paling primitif dan tingkat paling beradab. Pada manusia kegiatan
secara arbitrer menjadikan hal-hal tertentu untuk mewakili hal-hal lainnya bisa
disebut proses simbolik.
Lambang atau simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu
lainnya berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Lambang meliputi kata-kata
(verbal), perilaku nonverbal, dan objek yang maknanya disepakati bersama.
25
Ada beberapa sifat lambang yang perlu kita ketahui anatara lain adalah,
lambang bersifat sembarang, manasuka, atau sewenang-wenang. Segala sesuatu yang
ada di sekeliling kita bisa dijadikan lambang, hal ini tergantubg kesepakatan bersama.
Lambang hadir di mana-mana di sekeliling kita, namun alam tidak memberikan
penjelasan kepada kita mengapa menggunakan lambang-lambang tertentu untuk
menunjukkan pada hal-hal tertentu, baik yang bersifat konkrit maupun yang bersifat
abstrak.
Sifat yang kedua dari lambang adalah pada dasarnya lambang itu tidak
memiliki makna, kitalah yang memberi makna pada lambang. Makna sebenarnya ada
dalam kepala kita, bukan terletak apda lambang itu sendiri. Sifat yang ketiga dari
lambang adalah lambang itu bervariasi dari satu budaya ke budaya yang lain, dari
satu tempat ke tempat lain dan dari satu konteks waktu ke konteks waktu yang lain.
Makna yang diberikan terhadap suatu lambang boleh jadi berubah seiring dengan
waktu, meskipun perubahannya berjalan lambat.
B. Komunikasi Verbal dan Nonverbal
Komunikasi verbal dan nonverbal merupakan dua bentuk yang dari tindak
komunikasi yang tidak dapat dipisahkan, keduanya saling membutuhkan guna
tercapainya komunikasi yang efektif, masing- masing bekerja bersama-sama untuk
menciptakan suatu makna. Walaupun antara keduanya memiliki sifat holistik, namun
keberadaannya meurut Donn Stacks dan kawan-kawannya dapat dibedakan menjadi
tiga bagian, yaitu kesengajaan atau intensionalitas, perbedaan-perbedaan simbolik
dan pemrosesan informasi.
26
Komunikasi nonverbal dapat didefinisikan: Non berarti tidak, Verbal
bermakna kata-kata (words), sehingga komunikasi nonverbal dimaknai sebagai
komunikasi tanpa kata-kata. Batasan lain mengenai komunikasi nonverbal yang
dekemukakan oleh beberapa para ahli, yaitu:
Frank E.X. Dance dan Carl E. Larson:
”Komunikasi nonverbal adalah sebuah stimuli yang tidak bergantung
pada isi simbolik untuk memaknainya”.
Edward Sapir:
”Komunikasi nonverbal adalah sebuah kode yang luas yang ditulis
tidak di mana pun jiga, diketahui oleh tidak seorang pun dan
dimengerti oleh semua”.
Malandro dan Berker:
-
Komunikasi nonverbal adalah komunikasi tanpa kata-kata.
-
Komunikasi nonverbal terjadi bila individu berkomunikasi tanpa
menggunakan suara.
-
Komunikasi nonverbal adalah setiap hal yang dilakukan oleh sesorang
yang diberi makna oleh orang lain.
-
Komunikasi nonverbal adalah suatu studi mengenai ekspresi wajah,
sentuhan, waktu, gerak isyarat, bau, perilaku mata dan lain-lain.
Perbedaan antara Komunikasi Verbal dan Nonverbal
Menurut Don Stacks dan kawan-kawan, ada tiga perbedaan utama diantara
keduanya yaitu:
27
1. Kesengajaan pesan (the intentionality of the message), komunikasi nonverbal
tidak banyak dibatasi oleh niat atau intent tersebut. Persepsi sederhana
mengenai niat ini oleh seorang penerima sudah cukup dipertimbangkan
menjadi komunikasi nonverbal. Sebab, komunikasi nonverbal cenderung
kurang dilakukan dengan sengaja dan kurang halus apabila dibandingkan
dengan komunikasi verbal. Selain itu komunikasi nonverbal juga mengaraha
pada norma-norma yang berlaku, sementara niat atau intent tidak
terdefinisikan dengan jelas.
2. Tingkat simbolisme dalam tindakan atau pesan (the degree of symbolism in
the act or message),
3.
Pemrosesan mekanisme (processing mechanism).
Perbedaan lainnya dapat terlihat dari segi kulaitatifnya. Menurut Knapp (1980),
perbedaan secara kulaitatif antara komunikasi verbal dan nonverbal, terutama bila
dilihat dari tiga segi :
1. Ciri pesan
Komunikasi verbal memepunyai pesan yang terpisah-pisah, sedangkan
komunikasi nonverbal memiliki ciri yang bersifat berkesinambungan.
2. Saluran
Komunikasi verbal merupakan komunikasi bersaluran tunggal,
sedangkan komunikasi nonverbal meemiliki saluran yang banyak.
3. Pengawasan
28
Komunikasi verbal
selalu berada di bawah pengawasan setiap
manusia secara sadar maupun sukarela, sedangkan komunikasi
nonverbal tidak dapat diawasi dengan baik apa lagi sempurna.
Fungsi Komunikasi Verbal dan Nonverbal
1. Perilaku nonverbal memeberi aksen atau penekanan pada pesan verbal.
Misalnya menyatakan terima kasih dengan tersenyum.
2. Perilaku nonverbal sebagai pengulangan dari bahasa verbal.
3. Tindak komunikasi nonverbal melengkapai pernyataan verbal.
4. Perilaku nonverbal sebagai pengganti dari komunikasi verbal.
Komunikasi nonverbal digunakan untuk memastikan bahwa makna yang
sebenarnya dari pesan-pesan verbal dan nonverbal, kurang dapat beroperasi secara
terpisah, satu sama lain saling membutuhkan guna mencapai komunikasi yang efektif.
Menurut Knapp dan Tubss (1987) seperti yang dikutip oleh Alo Liliweri,
pemahaman terhadap pesan nonverbal hendaknya dilihat sebagai suatu kesatuan
dengan pesan yang bersifat verbal, karena pada dasarnya pemaknaan terhadap pesan
komunikasi akan lebih lengkap jika pesan verbal ataupun nonverbal dipahami secara
bersamaan. Jadi secara umum, komunikasi nonverbal mempunyai fungsi pendukung
dalam pemberian makna yang disamapaikan secara verbal. Knapp dan Tubss juga
menyebtukan beberapa fungsi pesan-pesan nonverbal dalam kaitannya dengan
pemahaman terhadap pesan verbal, yaitu:
1. Repetisi atau Pengulangan
29
Perilaku nonverbal dapat mengulangi apa yang telah disampaikan
dalam pesan verbal. Perilaku nonverbal disini berfungsi untuk
memperkuat pemaknaan dari pesan verbal.
2. Kontradiksi atau berlawanan
Adakalanya seseorang mengatakan suatu pesan verbal tertentu, tetapi
tidak diikuti oleh perilaku non-verbal yang mendukung pesan
verbalnya.
3. Subtitusi atau pengganti
Perilaku nonverbal juga berfungsi sebagai pengganti pesan verbal
yang seharusnya disampaikan.
4. Regulasi atau pengatur
Perilaku nonverbal juga dapat berfungsi sebagai pengatur pada
komunikasi verbal. Mungkin anda sering melihat seseorang berbicara
sambil menggerakkan anggota badannya sebagai peneguhan terhadap
pesan verbal yang disampaikanyya.
5. Aksentuasi atau penekanan
Perilaku nonverbal dapat juga memberi tekanan pada pesan verbal
yang disampaikan oleh seseoarang.
6. Kompleman atau pelengkap
Perilaku nonverbal dapat juga berfungsi sebagai pelengkap tehadap
pesan verbal.
30
Karakteristik Komunikasi Nonverbal
Menurut Ronald Adler dan George Rodman, komunikasi nonverbal memiliki
4 karakteristik yaitu keberadaanya, kemampuannya ,menyampaikan pesan tanpa
bahasa verbal, sifat ambiguitasnya dan keterikatannya dalam suatu kultur tertentu.
Keberadaan komunikasi nonverbal akan dapat diamati ketika kita melakukan tindak
komunikasi secara verbal, maupun pada saat bahasa verbal tidak digunakan, atau
dengan kata lain, komunikasi nonverbal akan selalu muncul dalam setiap tindakan
komunikasi, disadari atau tidak disadari.
Keberadaan komunikasi nonverbal ini pada gilirannya akan membawa kepada
cirinya yang lain, yaitu bahawa kita dapat berkomunikasi secara nonverbal, karena
setiap orang mampu mengirim pesan secara nonverbal kepada orang lain, tanpa
menggunakan tanda-tanda verbal.
Sifat ambiguitas dari komunikasi nonverbal, dalam arti ada banyak
kemungkinan penafsiran terhadap setiap perilaku. Sifat ambigu atau mendua ini
sangat penting bagi penerima (receiver) untuk menguji setiap interpretasi sebelum
sampai pada kesimpulan tentang makna dari suatu pesan nonverbal. Karakteristik
terakhir adalah bahwa komunikasi nonverbal terikat dalam suatu kultur atau budaya
tertentu, maksudnya, perilaku-perilaku yang memiliki makna khusus dalam suatu
budaya, akan mengekspresikan pesan-pesan yang berbeda dalam ikatan kultur.
Sebagai komponen budaya, pesan nonverbal mempunyai persamaan dengan
pesan verbal. Keduanya dianggap sebagai proses pemberian makna (penyandian)
terhadap suatu pesan yang diwariskan sebagai bagian pengalaman budaya. Karena
31
budaya sangat mempengaruhi pesan nonverba ini, makan tidaklah mengherankan jika
pesan-pesan yang ingin disampaikan merupakan sesuatu yang telah budaya sebarkan
dan wariskan pada anggota dari budaya tersebut.
Jelaslah bahwa budaya sangat mempengaruhi pembentukan dan pemberian
makna tehadap lambang-lambang atau perilaku-perilaku nonverbal serta responsrespons
yang
ditimbulakan
oleh
lambang-lambang
tersbut
pada
suatu
bangsa/masyarakat. Selanjutnya jika lambang-lambang nonverbal tersbut telah diakui
sebagai lambang yang bersifat umum, maka lambang-lambang tersebut kemudian
diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya.
Budaya juga mempengaruhi dan mengarahkan anggota-anggota dari suatu
masyarakat/bangsa
di
mana
yang
menyangkut
cara-cara
orang
tersebut
berkomunikasi, dari mulai bagaimana mengirim, menerima dan merespons pesanpesan nonverbal tersebut.
Pada kehidupan sehari-hari perilaku nonverbal yang diperlihatkan oleh orangorang yang berkomunikasi itu merupakan bentuk gerakan yang normal. Beberapa hal
penting yang menjadi ciri dari pesan yang bersifat nonverbal, yaitu:
1. Suatu pesan nonverbal yang sama akan mempunyai makna yang
berbeda jika diperlihatkan pada situasi dan kondisi yang berlainan.
2. Suatu pesan nonverbal yang sama dapat mempunyai pengertian yang
berbeda
pada
suatu
masyarakat/bangsa
masyarakat/bangsa lain
32
yang
satu
dengan
3. Pemahaman terhadap pesan nonverbal juga tergantung pada pesan
verbal yang menyertainya. Jadi, adakalanya suatu perilaku yang sama
akan berbeda jika pesan verbal yang dikatakannya berbeda.
4. Dalam kegiatan komunikasi, pemahaman terhadap pesan nonverbal
harus dilihat sebagai kesatuan dengan pemahaman terhadap pesan
verbal yang disampaikannya.
5. Pesan nonverbal dapat bermakna ganda dan biasanya bersifat
bertentangan. Hal ini terjadi jika dalam pesan komunikasi ditemui
adanya ketidaksesuaian antara pesan verbal dan nonverbal.
6. Pemberian makna terhadap suatu pesan nonverbal didasarkan nilai
atau norma yang berlaku pada suatu kelompok atau masyarakat
tertentu. Oleh karenanya, pemaknaan dan aturan terhadap suatu
perilaku nonverbal sangat bervariasi.
C. Budaya
Mengkaji kebudayaan tidak dapat terlepas dari data yang dapat dikategorikan
kedalam lima jenis, yaitu, (a) artifak, (b) perilaku kinetis yang digerakkan oleh otot
manusia, (c) perilaku verbal yang mewujudkan diri ke dalam dua bentuk yaitu (d)
tuturan yang terdiri atas bunyi bahasa dan (e) teks yang terdiri atas tanda-tanda visual.
Semua obyek dari kajian Teori Kebudayaan memperlihatkan tata susunan atau pola
keteraturan tertentu yang dijadikan dasar untuk memperlakukan hal-hal itu sebagai
data yang bermakna, karena merupakan hasil kegiatan manusia sebagai mahluk yang
33
terikat pada kelompok atau kolektiva, dan karena keterikatan itu mewujudkan
kebermaknaan itu.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat.
Menurut
Koentjaraningrat (2000:181) kebudayaan dengan kata dasar budaya berasal dari
bahasa sansakerta ”buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi”
atau “akal”. Jadi Koentjaraningrat, mendefinisikan budaya sebagai “daya budi” yang
berupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan
rasa itu.
Koentjaraningrat juga menerangkan bahwa pada dasarnya banyak sarjana
yang membedakan antara budaya dan kebudayaan, dimana budaya merupakan
perkembangan majemuk budi daya, yang berati daya dari budi. Namun, pada kajian
Antropologi, budaya dianggap merupakan singkatan dari kebudayaan, tidak ada
perbedaan dari definsi.
Jadi, kebudayaan atau disingkat “budaya”, menurut Koentjaraningrat
merupakan “keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan
belajar.”Lalu, dilain pihak Clifford Geertz mengatakan bahwa kebudayaan
merupakan sistem mengenai konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam bentuk
simbolik, yang dengan cara ini manusia dapat berkomunikasi, melestarikan, dan
mengembangkan pengetahuan dan sikapnya terhadap kehidupan. (Abdullah, 2006:1)
Lebih sepesifik lagi, E. B Taylor, dalam bukunya “Primitive Cultures”,
mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya
34
terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat,
kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota
masyarakat.” (Setiadi, 2007:27)
Dari berbagai definisi di atas, maka penulis menarik kesimpulan bahwa
kebudayaan atau budaya merupakan sebuah sistem, dimana sistem itu terbentuk dari
perilaku, baik itu perilaku badan maupun pikiran. Hal ini berkaitan erat dengan
adanya gerak dari masyarakat, dimana pergerakan yang dinamis dan dalam kurun
waktu tertentu akan menghasilkan sebuah tatanan ataupun sistem tersendiri dalam
kumpulan masyarakat.
Pemahaman tentang kebudayaan adalah suatu persoalan yang sangat dalam
dan luas, bidang cakupannya meliputi seluruh pikiran, rasa,karsa, dan hasil karya
manusia. Kebudayaan selalu menunjukkan adanya derajat menyangkut tingkatan
hidup dan penghidupan manusia. Pada dasarnya budaya adalah suatu konsep yang
membangkitkan minat, yang berkenaan dengan cara hidup.
Budaya yang menampakkan diri dalam pola-pola bahasa dan bentuk kegiatan
dan perilaku yang befungsi sebagai model-model dalam tindakan-tindakan
penyesuaian diri dalam segala gaya komunikasi yang memungkinkan orang-rang
tinggal dalam suatu masyarakat di suatu lingkungan geografis tertentu pada suatu
tingkat perkembangan teknis tertentu pada suatu saat tertentu, budaya juga berkenaan
dengan sifat-sifat dari obyek-obyek materi yang berupa bentuk rumah, alat-alat
pertanian dan jenis-jenis alat transportasi yang mamainkan peranan penting dalam
kehidupan sehari-hari.
35
J. J Honigmann (dalam Koenjtaraningrat, 2000) membedakan adanya tiga
‘gejala kebudayaan’ : yaitu : (1) ideas, (2) activities, dan (3) artifact, dan ini
diperjelas oleh Koenjtaraningrat yang mengistilahkannya dengan tiga wujud
kebudayaan :
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu yang kompleks dari ide-ide, gagasangagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.Wujud
kebudayaan dalam konteks ini adalah wujud idiil dari kebudayaan yang
bersifat abstrak. Kebudayaan dalam arti ini berfungsi sebagai adat-istiadat
yang mengatur, mengendalikan, dan memberi arahan pola perilaku dan
perbuatan dari masyarakat yang hidup dalam lingkup kebudayaan tersebut.
Contoh wujud kebudayaan ini adalah sistem nilai budaya, norma, hukum,
dan peraturan-peraturan semacam sopan santun dan lain sebagainya.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan
berpola dari manusia dalam masyarakat.Wujud kebudayaan dalam konteks
ini disebut sebagai sistem sosial yang terdiri dari aktivitas manusia yang
berinteraksi, berhubungan, bergaul berdasarkan pola tata perilaku tertentu.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.Wujud
ketiga kebudayaan ini merupakan kebudayaan fisik dan merupakan
kebudayaan yang paling konkret, misalnya bangunan, artefak, candi-candi,
gedung bertingkat, rumah, dan lain-lain.
Mengenai wujud kebudayaan ini, Elly M.Setiadi dkk dalam Buku Ilmu Sosial dan
Budaya Dasar (2007:29-30) memberikan penjelasannya sebagai berikut :
36
1. Wujud Ide , wujud ini menunjukann wujud ide dari kebudayaan, sifatnya
abstrak, tak dapat diraba, dipegang ataupun difoto, dan tempatnya ada di alam pikiran
warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup.Budaya ideal
mempunyai fungsi mengatur, mengendalikan, dan memberi arah kepada tindakan,
kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat sebagai sopan santun.
Kebudayaan ideal ini bisa juga disebut adat istiadat.
2. Wujud perilaku, wujud ini dinamakan sistem sosial, karena menyangkut
tindakan dan kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Wujud ini bisa diobservasi,
difoto dan didokumentasikan karena dalam sistem ssosial ini terdapat aktivitasaktivitas manusia yang berinteraksi dan berhubungan serta bergaul satu dengan
lainnya dalam masyarakat. Bersifat konkret dalam wujud perilaku dan bahasa.
3. Wujud Artefak, wujud ini disebut juga kebudayaan fisik, dimana
seluruhnya merupakan hasil fisik. Sifatnya paling konkret dan bisa diraba, dilihat dan
didokumentasikan. Contohnya : bangunan.
Menurut Said (2004:3) kebudayaan itu adalah satuan dari gagasan, simbolsimbol dan nilai-nilai yang mendasari hasil karya dan perilaku manusia, sehingga
tidak berlebihan apabila dilanjutkan bahwa begitu eratnya kebudayaan dengan
simbol-simbol yang diciptakan manusia sehingga manusia dapat disebut sebagai
Homo Symbolicum.
Clifford Geertz (1973) mengemukakan suatu definisi kebudayaan sebagai: (1)
suatu sisitem keteraturan dari makna dan simbol-simbol, yang dengan makna dan
simbol tersebut individu-individu mendefinisikan dunia mereka, mengekspresikan
37
persaan-perasaan mereka, dan membuat penilaian mereka; (2) suatu pola maknamakna yang ditransmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk
simbolik, yang melalui bentuk-bentuk simbolik tersebut manusia berkomunikasi,
memantapkan, dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap
terhadap kehidupan; (3) suatu peralatan simbolik bagi pengontrol perilaku, sumbersumber ekstrasomatik dari informasi; dan (4) oleh karena kebudayaan adalah suatu
sistem simbol, maka proses kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan, dan
diinterpretasi. Bahasa simbolik dari kebudayaan adalah public, dan oleh sebab itu
peneliti tidak boleh berpura-pura telah memperoleh pengetahuan yang mendalam
mengenai sudut-sudut gelam dalam pikiran individu. Fungsi simbolik itu universal,
dan manusia tidak dapat memahami kebudayaan suatu masyarakat tanpa fungsi ini,
yang bekerja di sepanjang kode genetik itu sendiri. (Geertz 1973).
Clifford Geertz (1973) mengemukakan suatu definisi kebudayaan sebagai: (1)
suatu sisitem keteraturan dari makna dan simbol-simbo, yang dengan makna dan
simbol tersebut individu-individu mendefinisikan dunia mereka, mengekspresikan
persaan-perasaan mereka, dan membuat penilaian mereka; (2) suatu pola maknamakna yang ditransmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk
simbolik, yang melalui bentuk-bentuk simbolik tersebut manusia berkomunikasi,
memantapkan, dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap
terhadap kehidupan; (3) suatu peralatan simbolik bagi pengontrol perilaku, sumbersumber ekstrasomatik dari informasi; dan (4) oleh karena kebudayaan adalah suatu
sistem simbol, maka proses kebudayaan harus dipahami, diterjemahkan, dan
38
diinterpretasi. Bahasa simbolik dari kebudayaan adalah public, dan oleh sebab itu
peneliti tidak boleh berpura-pura telah memperoleh pengetahuan yang mendalam
mengenai sudut-sudut gelam dalam pikiran individu. Fungsi simbolik itu universal,
dan manusia tidak dapat memahami kebudayaan suatu masyarakat tanpa fungsi ini,
yang bekerja di sepanjang kode genetik itu sendiri. (Geertz 1973). Jadi, menjadi
manusia berarti berkebudayaan.
Selain itu, kebudayaan bersifat kontekstual dan mengandung makna publik sebab diterima oleh semua pelaku kebudayaan- karena sesuai, berkembang, dan
dikembangkan oleh pelaku kebudayaan di dan di sekitar lingkungan sosialisasi
mereka. Oleh sebab itu, menurut Geertz, untuk mendekati, memahami, suatu
peristiwa sosial di tengah kelompok masyarakat yang mempraktekkan kebudayaan dan unsur-unsur kebudayaan yang ada di dalamnya- harus dicari melalui hubungan
sebab akibat; dan memahami makna yang dihayati pada lingkungan peristiwa sosial
itu terjadi.
D. Memahami Makna
Makna adalah hubungan antara subjek dengan lambangnya. Makna pada
dasarnya terbentuk berdasarkan hubungan antara lambang komunikasi (simbol), akal
budi manusia penggunanya (objek). (Verdiansyah, 2004:70-71)
Brown dalam Sobur 2006:256, mendefinisikan makna sebagai kecenderungan
(disposisi) total untuk menggunakan atau bereaksi terhadap suatu bentuk bahasa.
Terdapat banyak komponen dalam makna yang dibangkitkan kata atau suatu kalimat.
Dalam Mulyana 2006:256, Brown mengatakan “seseorang mungkin dapat
39
menghabiskan tahun-tahunnya yang produktif untuk menguraikan makna atau
kalimat tunggal dan akhirnya tidak menyelesaikan tugas tersebut.
Beberapa pakar komunikasi sering menyebut kata makna ketika mereka
merumuskan defenisi komunikasi. Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss, 2006:6)
“Komunikasi adalah proses pembentukan makna di antara dua orang atau lebih”.
Judy C. Pearson dan paul E. Nelson mengatakan bahwa “Komunikasi adalah proses
memahami dari berbagai makna”. Tedapat banyak komponen makna yang
dibangkitkan suatu kata atau kalimat (Sobur, 2004:255).
Makna adalah balasan terhadap pesan. Suatu pesan terdiri dari tanda-tanda
dan symbol-simbol yang sebenarnya tidak mengandung makna. Makna baru akan
timbul ketika ada sesorang yang menafsirkan tanda dan simbol yang bersangkutan
dan berusaha memahami artinya. Dari segi psikologis, tanda dan simbol bertindak
selaku perangsang untuk membangkitkan balasan di pihak penerima pesan.
Oleh kaena itu, makna akan terlihat merupakan bagian dari dua hal, yakni
bagian dari penafsiran terhadap informasi yang terkandung dalam simbol-simbol,
bagian dari proses pertanyaan. Proses ini membawa tahap pemahaman terhadap
lapisan yang lebih mendalam serta lebih luas.
Makna dari sebuah wahana tanda adalah satuan cultural yang diperagakan
oleh wahana-wahana tand yang lainnya serta dengan begitu secara semantic
mempertunjukkan pula ketidak tergantungannya pada wahana tanda yang
sebelumnya. Makna menuntut kemampuan integrative manusia, yakni inderawinya,
daya pikirnya, dan akal budinya. Materi yang tersajikan, dilihat tidak lebih dari tanda40
tanda atau indicator bagi sesuatu yabg lebih jauh dalam pemaknaan dapat terjangkau
menjangkau yang etik ataupun yang transendental.
Untuk memahami apa yang disebut makna atau arti, kita perlu melihat teori
yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure, yaitu setiap tanda linguistic terdiri
dari atas dua unsure, yakni :
1. Yang diartikan (signified= unsur makna) merupakan konsep atau makna dari
sesuatu tanda-bunyi.
2. Yang mengartikan (signifier= unsure bunyi) yaitu bunyi-bunyi itu yang
terbentuk dari fonem-fonem bahasa yang bersangkutan.
Dengan kata lain setiap tanda linguistic terdiri dari unsur bunyi dan unsur
makna. Kedua unsur tersebut dalam – bahasa (intralingual) yang biasanya
merujuk atau mengacu pada kepada suatu referen yang merupakan unsur luar –
bahasa (ekstralingual).
Brodbeck (Sobur, 2009:262) menyajikan teori makna dengan cara yang cukup
sederhana. Ia menjernihkan pembicaraan makna dengan membagi makna tersebut
menjadi tiga corak, yaitu:
1. Makna yang pertama adalah makna inferensial, yakni makna satu kata
(lambang) adalah objek, pikiran, gagasan, konsep yang dirujuk oleh kata
tersbut.
2. Makna yang kedua menunjukkan arti (significance) suatu istilah sejauh
dihubungkan dengan konsep-konsep yang lain.
41
3. Makna ketiga adalah makna intensional, yakni makna yang dipakai oleh
seorang pemakai lambang.
E. Makna Denotatif dan Konotatif
Makna denotatif / lugas (referensial) ialah makna yang menunjukkan langsung
pada acuan dasarnya meliputi hal-hal yang ditunjuk oleh kata-kata. Contoh kata
melati berarti “sejenis bunga”. Makna konotatif ialah makna denotatif yang
ditambahkan dengan segala gambaran, ingatan, dan perasaan yang ditimbulkan oleh
kata melati itu.
Makna denotasi adalah makna yang sebenarnya, makna ini dapat digunakan
untuk menyampaikan hal-hal factual. Makna denotasi disebut juga makna lugas
seperti yang ditemukan di kamus. Kata itu tidak mengalami penambahanpenambahan makna, karena itu makna denotative lebih bersifat publik. Denotasi
adalah hubungan yang digunakan dalam tingkat pertama pada sebuah kata yang
secara bebas memegang peranan penting dalam ujaran.
Denotatif terdiri atas penanda dan petanda. Misalnya kata “melati” berarti
“sejenis bunga” , ini menggambarkan relasi antara penanda dan petanda di dalam
tanda, akan tetapi pada saat yng bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda.
Makna denotative pada dasarnya sama dengan makna referensial sebab makna
denotative ini lazim diberi penjelasa sebagai makna yang sesuai dengan ahasil
observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman
lainnya.
42
Jika denotasi sebuah kata adalah definisi kata tersebut, maka makna konotasi
sebuah kata adalah makna subtantif atau emosionalnya (De Vito dalam Sobur,
2009:263). Hal ini berarti bahwa kata konotasi melibatkan simbol-simbol, historis,
dan hal-hal yang berhubungan dengan emosional. Dikatakan objektif, sebab makna
denotatif ini berlaku umum. Sebaliknya, makna konotatif bersifat subjektif dalam
pengertian bahwa ada pergeseran dari makna umum (denotatif) hamper bias
dimengerti oleh semua orang, maka makna konotatif hanya bisa dimengerti oleh
sejumlah orang tertentu dalam jumlah yang relatif lebih kecil.
Sebuah kata mempunyai konotatif apabila kata itu mempunyai kata itu
mempunyai “nilai rasa”, baik positif maupun negatif. Jika tidak mempunyai nilai rasa
maka tidak mempunyai konotasi, tetapi bias juga disebut berkonotasi netral.
Kata-kata yang bermakna denotative tepat digunakan dalam karya ilmiah,
sedangkan kata-kata yang bermakna konotatif wajar digunakan dalam karya sastra.
Arthur Asa Berger mencoba membandingkan antara konotasi dan denotasi sebagai
berikut:
43
Tabel 2.1
KONOTASI
DENOTASI
Pemakaian figure
Literatur
Petanda
Penanda
Kesimpulan
Jelas
Member kesan tentang makna
Menjabarkan
Dunia mitos
Dunia keberadaan/eksistensi
Sumber, Alex Sobur. 2009. Semiotika Komunikasi. Bandung:
PT.Remaja
Rosdakarya.
F. Teori
Simbol
Secara etimologi, simbol berasal dari kata kerja Yunani, Sumballo
(sumballein) yang berarti berwawancara, merenungkan, memperbandingkan,
bertemu, melemparkan jadi satu, menyatukan. Jadi simbol adalah penyatuan oleh
subyek atas dua hal menjadi satu. Sedangkan Reede menyebutkan bahwa simbol
berasal dan kata Greek yaitu suni-balloo yang berarti “saya bersatu bersamanya”,
“penyatuan bersama”. Pemahaman yang diberikan oleh Reede ini tidak jauh berbeda
dengan pemahaman sebelumnya. Pada hakekatnya, simbol adalah suatu penyatuan
apakah itu berupa bentuk dan nilai harfiahnya, wujud dan maknanya, kesadaran dan
ketidaksadaran dan lain-lain. Penyatuan ini merupakan nilai tambah terhadap
44
kehidupan manusia sehingga perjalanan kehidupannya lebih bermakna. Pemahaman
kita tentang simbol ini harus kita bedakan dengan pemahaman terhadap tanda (sign).
Tanda adalah formula fisik yang cenderung sebagai operator, sedangkan simbol
adalah formula makna yang berfungsi sebagai designator sebagaimana yang
diungkapkan oleh Cassier berikut, “simbol —bila diartikan tepat— tidak dapat
dijabarkan menjadi tanda semata-mata. Tanda dan simbol masing-masing terletak
pada dua bidang permasalahan yang berlainan: tanda adalab bagian dan dunia fisik;
simbol adalah bagian dan dunia makna manusia. Tanda adalah “operator”, simbol
adalah “designator”. Tanda, bahkan pun bila dipahami dan digunakan seperti itu,
bagaimanapun merupakan sesuatu yang fisik dan substansial; simbol hanya memiliki
nilai fungsional. Sependapat dengan Cassier, Carl Gustav Jung yang Psikiater Swiss
(1875 - 1961) juga membedakan antara tanda (zeichen) dan simbol. Jung mengatakan
bahwa antara pemakaian sesuatu sebagai tanda (semiotic) dan pemakaian sesuatu
sebagai simbol (symbolic). Simbol mengandaikan bahwa ekspresi yang terpilih
adalah formulasi yang paling baik akan sesuatu yang relatif tidak terkenal, namun hal
itu diketahui sebagai hal yang ada atau diharapkan ada.
Selama suatu simbol hidup, simbol itu adalah ekspresi suatu hal yang tidak
dapat ditandai dengan tanda yang lebih tepat. Simbol hanya hidup selama simbol
mengandung makna bagi kelompok besar manusia, sebagai sesuatu yang
mengandung milik bersama sehingga simbol menjadi sosial yang hidup dan
pengaruhnya menghidupkan. Manakala makna telah lahir dan suatu simbol, yakni
45
ketika diperoleh ekspresi yang dapat merumuskan hal yang dicari dengan lebih tepat
dan lebih baik, matilah simbol itu dan simbol hanya mempunyai makna historis.
Simbol yang hidup mengungkapkan hal yang tidak terkatakan dalam cara
yang tidak teratasi. Semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbolsimbol. Simbol itu sendiri meliputi apapun yang kita rasakan atau kita alami. Di
dalam bukunya Hartoko dan Rahmanto, 1998:133,
Pada dasarnya simbol dapat
dibedakan menjadi:
1. Simbol-simbol universal, berkaitan dengan arketipos, misalnya
tidur sebagai lambang kematian
2. Simbol cultural yang dilatarbelakangi oleh suatu kebudayaan
tertentu misalnya keris dalam kebudayaan Jawa.
3. Simbol individual yang biasanya dapat ditafsirkan dalam konteks
keseluruhan karya seorang pengarang.
Ketika masyarakat majemuk berinteraksi dengan masyarakat lain yang berbeda
budaya, maka tatkala proses komunikasi dilakukan, simbol-simbol verbal atau
nonverbal secara tidak langsung dipergunakan dalam proses tersebut. Penggunaan
simbol-simbol ini acapkali menghasilkan makna-makna yang berbeda dari pelaku
komunikasi, walau tak jarang pemaknaan atas simbol akan menghasilkan arti yang
sama, sesuai harapan pelaku komunikasi tersebut.
Maka, simbol yang diartikan Pierce sebagai tanda yang mengacu pada objek
itu sendiri, melibatkan tiga unsur mendasar dalam teori segi tiga makna : simbol itu
sendiri, satu rujukan atau lebih dan hubungan antara simbol dengan rujukan (Sobur,
46
2003 : 156). Di sini dapat dilihat, bahwa hubungan antara simbol sebagai penanda
dengan sesuatu yang ditandakan (petanda) sifatnya konfensional. Berdasarkan
konvesi tersebut, Alex Sobur (2003 : 156) memaparkan, masyarakat pemakainya
menafsirkan ciri hubungan antara simbol dengan objek yang diacu dan menafsirkan
maknanya.
Simbol tidak dapat hanya disikapi secara isolatif, terpisah dari hubungan
asosiatifnya dengan simbol lainnya. Simbol berbeda dengan bunyi, simbol telah
memiliki kesatuan bentuk dan juga makna. Maka, pada dasarnya simbol dapat
dibedakan menjadi simbol-simbol universal, simbol kultural yang dilatarbelakangi
oleh kebudayaan tertentu, dan simbol individual (Hartoko-Rahmanto, 1998 : 133).
Sedangkan dalam “bahasa” komunikasi, simbol ini seringkali diistilahkan
sebagai lambang. Di mana simbol atau lambang dapat diartikan sebagai sesuatu yang
digunakan
untuk
menunjuk
sesuatu
lainnya,
berdasarkan
kesepakatan
kelompok/masyarakat (Sobur, 2003 : 157). Lambang ini meliputi kata-kata (berupa
pesan verbal), perilaku nonverbal, dan objek yang maknanya disepakati bersama.
Kemampuan manusia menggunakan lambang verbal dan nonverbal memungkinkan
perkembangan bahasa dan menangani hubungan antara manusia dan objek (fisik,
abstrak dan sosial) tanpa kehadrian manusia dan objek tersebut.
Walaupun simbol/lambang merupakan salah satu kategori tanda (sign), dan
Pierce pun menyatakan bahwa tanda (signs) terdiri atas ikon, indeks dan simbol, akan
tetapi simbol dan tanda adalah dua hal yang berbeda. Perbedaan itu terletak pada
pemaknaan keduanya terhadap objek-objek yang ada di sekelilingnya. Tanda
47
berkaitan langsung dengan objek dan tanda dapat berupa benda-benda serta tandatanda yang merupakan keadaan. Sedangkan simbol, seperti yang dikutip Sobur (2003
: 160-62), memerlukan proses pemaknaan yang lebih intensif setelah menghubungkan
simbol dengan objek, simbol pun lebih sustensif daripada tanda.
Di dalam lingkup Peirce seringkali mengulang-ulang bahwa secara umum
tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi seseorang. Bagi Peirce, tanda “is something
which stands to somebody for something in some respect or capacity”. Sesuatu yang
digunakan agar tanda bias berfungsi, oleh Peirce disebut ground.
G. Teori Simbol: Susanne Langer
Teori Langer menegaskan beberapa konsep dan istilah yang bisa digunakan
dalam bidang komunikasi. Teori ini memeberikan sejenis standarisasi untuk tradisi
semiotik dalam dalam kajian komunikasi. Langer, seorang filsuf, memikirkan
simbolisme mendasari pengetahuan dan pemahaman semua manusia. Menurut
Langer, semua binatang yang hidup didominasi oleh perasaan, tetapi perasaan
manusia dimediasikan oleh konsepsi, simbol, dan bahasa. Binatang merespons tanda,
tetapi manusia menggunakan lebih dari sekedar tanda sederhana dengan
mempergunakan simbol. Tanda adalah stimulus yang menandakan kehadiran dari
suatu hal. Sebagai contoh, jika seseorang melatih anjingnya untuk berguling, maka
orang tersebut memberikan perintah yang tepat, maka kata guling adalah sebuah
tanda untuk anjing supaya berguling. Dengan demikian, sebuah tanda berhubungan
erat dengan makna dari kejadian sebenarnya. Awan dapat menjadi tanda untuk hujan,
tertawa tanda untuk kebahagiaan, dan sebuah tanda jingga tua atau oranye “kawasan
48
pekerja” merupakan petunjuk untuk konstruksi selanjutnya. Hubungan sederhana ini
disebut pemaknaan(signification). Anda aka berjalan pelan ketika melihat sebuah
tanda kostruksi oranye karena adanya pemaknaan.
Sebaliknya, simbol digunakan dengan cara yang lebih kompleks dengan
membuat sesoarang yang lebih untuk berpikir tentang sesuatu yang terpisah dari
kehadirannya. Sebuah simbol adalah sebuah instrumen pemikiran. Simbol adalah
konspetualisasi manusia tentang suatu hal; sebuah simbol ada untuk sesuatu.
Sementara tertawa adalah sebuah tanda kebahagiaan, kita dapat mengubah efek gelak
tawa menjadi sebuah simbol dan membuat maknanya berbeda dalam banyak hal
terpisah dari acuannya secara langsung. Dapat berarti kesenangan, kelucuan, ejekan.
Cemoohan, pelepaskan tekanan, di antara banyak hal. Kemudain, simbol merupakan
inti dari kehidupan manusia dan proses simbolisasi penting juga untuk manusia
seperti halnya makan dan tidur. Kita arahkan ke dunia fisik dan social kita melalui
simbol-simbol dan maknanya serta makana memebuat hal sering menjadi jauh lebih
penting daripada objek sesungguhnya atau keterangan mereka.
Sebuah simbol atau kumpulan simbol-simbol bekerja menghubungkan sebuah
konsep, ide umum, pola atau bentuk. Menurut Langer konsep adalah makna yang
disepakati bersama di antara pelaku komunikasi. Bersama, makna yang disetujui
adalah makna denotatif, sebaliknya makna, gambaran atau makna pribadi adalah
makna konotatif. Sebagai contoh, jika kita melihat lukisan Van Goh, kita akan
memberikan makna bersama-sama dengan orang yang melihat lukisan tersebut secara
nyata− sebuah makna denotatif. Bagaimanapun, pelukis sendiri mempunyai makna
49
pribadi sendiri atau konotasi untuk arti dari lukisan itu. Langer memandang makna
sebagai sebuah hubungan kompleks di antara simbol, objekn dan manusia yang
melibatkan denotasi (makna bersama) dan konotasi (makna pribadi).
H. Interaksi Simbolik
Interaksi simbolik sering dikelompokan ke dalam dua aliran (school).
Pertama, aliran Chicago School yang dimonitori oleh Herbert Blumer, melanjutkan
tradisi humanistis yang dimulai oleh George Herbert Mead. Blumer menekankan bahwa
studi terhadap manusia tidak bisa dilakukan dengan cara yang sama seperti studi
terhadap benda. Blumer dan pengikut-pengikutnya menghindari pendekatan-pendekatan
kuatitatif dan ilmiah dalam mempelajari tingkah laku manusia. Lebih jauh lagi tradisi
Chicago menganggap orang itu kreatif, inovatif, dan bebas untuk mendefinisikan segala
situasi dengan berbagai cara dengan tidak terduga. Kedua Iowa School menggunakan
pendekatan yang lebih ilmiah dalam mempelajari interaksi. Manford Kuhn dan Carl
Couch percaya bahwa konsep-konsep interaksionis dapat dioperasikan. Tetapi,
walaupun Kuhn mengakui adanya proses dalam alam tingkah laku, ia menyatakan
bahwa pendekatan struktural objektif lebih efektif daripada metode “lemah” yang
digunakan oleh Blumer.
Interaksionisme simbolik mengandung inti dasar pemikiran umum tentang
komunikasi dan masyarakat. Jerome Manis dan Bernard Meltzer memisahkan tujuh hal
mendasar yang bersifat teoritis dan metodologis dari interaksionisme simbolik, yaitu:
1. Orang-orang dapat mengerti berbagai hal dengan belajar dari pengalaman.
Persepsi seseorang selalu diterjemahkan dalam simbol-simbol.
50
2. Berbagai arti dipelajari melalui interaksi di antara orang-orang. Arti muncul
dari adanya pertukaran simbol-simbol dalam kelompok-kelompok sosial.
3. Seluruh struktur dan institusi sosial diciptakan dari adanya interaksi di antara
orang-orang.
4. Tingkah laku seseorang tidaklah mutlak ditentukan oleh kejadian-kejadian
pada masa lampau saja, tetapi juga dilakukan secara sengaja.
5. Pikiran terdiri dari percakapan internal, yang merefleksikan interaksi yang
telah terjadi antara seseorang dengan orang lain.
6. Tingkah laku terbentuk atau tercipta di dalam kelompok sosial selama proses
interaksi.
7. Kita tidak dapat memahami pengalaman seorang individu dengan mengamati
tingkah lakunya belaka. Pengalaman dan pengertian seseorang akan berbagai
hal harus diketahui pula secara pasti.
Teori Interaksi Simbolik berpegang bahwa individu membentuk makna
melalui proses komunikasi karena makna tidak bersifat intrinsik terhadap apapun.
Dibutuhkan konstruksi interpretif di antara orang-orang untuk menciptakan
makna. Interaksi bertujuan untuk menciptakan makna yang sama. Hal ini penting
karena tanapa makna yang sama berkomunikasi menjadi sanagat sulit atau
bahakan tidak mungkin. Menurut LaRossa dan Reitzes, tema ini mendukung tiga
asumsi Interaksi Simbolik yang diambil dari karya Herbert Blummer (1969),
yaitu:
51
1. Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna
yang diberikan orang lain pada mereka.
Makna yang kita berikan pada simbol merupakan produk dari
interaksi sosial dan menggambarka kesepakatan kita untuk
menerapkan makna tertentu pada simbol tetentu pula.
2. Makna diciptakan dalam interaksi antarmanusia.
Mead menekankan dasar intersubjektif dari makna . makna dapat
ada, menurut Mead, hanya ada ketika orang-orang memiliki
interpretasi ya g sama mengenai simbol yang mereka pertukarkan
dalam interaksi. Blummer (1969) menjelaskan bahwa terdapat tiga
cara untuk menjelaskan asal sebuah makna. Satu pendekatan
mengatakan bahwa makna adalah sesuatu yang bersifat intrinsik
dari suatu benda atau makna yang ada dalam diri benda tersebut.
Pendekatan kedua terhadap asal-usul makna melihat makna itu
“dibawa kepada benda oleh seseorang bagi siapa benda itu
bermakna” (Blummer,1969:4). Posisi ini mendukung pemikiran
yang terkenal bahwa makna terdapat di dalam orang, bukan di
dalam benda. Pendekatan ketiga terhadapa makna, melihat makna
sebagai sesuatu yang terjadi di antara orang-orang. Makna adalah
“produk sosial” atau ciptaan yang dibentuk dalam dan melalui
pendefinisian aktivitas manusia ketika mereka berinteraksi
(Blummer, 1969:5).
52
3. Makna dimodifikasi melalui proses interpretif.
Blummer menyatakan bahwa proses interpretative ini memiliki
dua langkah. Pertama, para pelaku menentukan benda-benda yang
mempunyai makna. Langkah kedua, melibatkan sipelaku untuk
memilih dan mengecek, dan melakukan transformasi makna di
dalam konteks di mana mereka berada.
Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas
manusia,
yakni
komunikasi
atau
pertukaran
simbol
yang
diberi
makna.
Interaksionisme simbolik juga telah mengilhami perspektif-perspektif lain, seperti
“teori penjulukan” (labeling theory) dalam studi tentang penyimpangan perilaku
(deviance), perspektif dramaturgis dari Erving Goffman, dan etnometodologi dari
Harold Garfinkel. Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia
dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus
dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur
perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi
mitra mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek, dan
bahkan diri mereka sendirilah menentukan perilaku mereka.
Perilaku mereka tidak dapat digolongkan sebagai kebutuhan, dorongan
impuls, tuntutan budaya, atau tuntutan peran. Manusia bertindak hanya berdasarkan
definisi atau penafsiran mereka atas objek-objek di sekeliling mereka. Tidak
mengherankan bila frase-frase “definisi situasi”, “realitas terletak pada mata yang
53
melihat”, dan “bila manusia mendefinisikan situasi sebagai riil, situasi tersebut riil
dalam konsekuensinya” sering dihubungkan dengan interaksionisme simbolik.
Dalam pandangan interaksi simbolik, sebagaimana ditegaskan Blumer, proses
sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan dan menegakkan kehidupan
kelompok. Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya
adalah “interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol”. Mereka tertarik
pada cara manusia menggunakan simbol-simbol yang mempresentasikan apa yang
mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya, dan juga pengaruh yang
ditimbulkan penafsiran atas simbol-simbol ini terhadap perilaku pihak-pihak yang
terlibat dalam interaksi sosial. Penganut interaksi simbolik berpandangan, perilaku
manusia pada dasarnya adalah produk dari interpretasi mereka atas dunia disekeliling
mereka, jadi tidak mengakui bahwa perilaku itu dipelajari atau ditentukan,
sebagaimana dianut oleh teori behavioristik atau teori struktural.
Alih-alih, perilaku dipilih sebagai hal yang layak dilakukan berdasarkan cara
individu mendefinisikan situasi yang ada.
1.
Premis Interaksi Simbolik
1. Individu merespons suatu situasi simbolik.
Individu dipandang aktif untuk menentukan lingkungan mereka
sendiri.
2. Makna adalah produk interaksi sosial.
Oleh karena itu, makna tidak melekat pada objek, melainkan
dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa.
54
3. Makna yang diiterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke
waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam
interaksi sosial.
Perubahan interpretasi dimungkinkan karena individu dapat
melakukan proses mental, yakni berkomunikasi dengan dirinya.
2. Prinsip-prinsip Interaksi Simbolik
1. Manusia, tidak seperti hewan lebih rendah, diberkahi dengan
kemampuan berfikir.
2. Kemampuan berfikir itu dibentuk oleh interaksi sosial.
3. Dalam interaksi sosial, orang belajar makna dan simbol yang
memungkinkan mereka menerapkan kemampuan khas mereka
sebagai manusia, yakni berfikir.
4. Makna dan simbol memungkinkan orang melanjutkan tindakan
dan interaksi yang khas manusia.
5. Orang mampu memodifikasi atau mengubah makna dan simbol
yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan
interpretasi mereka atas situasi.
6. Orang mampu melakukan modifikasi dan perubahan ini karena
kemampuan mereka berinteraksi dengan diri sendiri, yang
memungkinkan mereka memeriksa tahapan-tahapan tindakan,
menilai keuntungan dan kerugian relatif, dan kemudian memilih
salah satunya.
55
7. Pola-pola
tindakan
dan
interaksi
membentuk kelompok dan masyarakat.
56
yang
jalin-menjalin
ini
BAB 3
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Keadaan Geografis
Kabupaten Toraja Utara merupakan sebuah kabupaten di provinsi Sulawesi
Selatan dengan ibukkota Rantepao. Kabupaten ini merupakan pemekaran dari
kabupaten Tana Toraja, dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2008.
Kabupaten Toraja Utara terletak anatara 2 – 3 Lintang Selatan dan 119-120
Bujur Timur. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Luwu dan kabupaten
Mamuju, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten
Pinrang, pada sebelah timur dan barat masing-masing berbatasan dengan kabupaten
Luwu dan Propinsi Sulawesi Barat. Kabupaten Toraja Utara dilewati oleh salah satu
sungai terpanjang yang terdapat di Propinsi Sulawesi Selatan, yaitu sungai Sa’dan.
Jarak ibukota Kabupaten Toraja Utara dengan ibukota Propinsi Sulawesi Selatan
mencapai 329 km yang melalui Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Enrekang,
Kabupaten Sidrap, Kota Parepare, Kabupaten Barru, Kabupaten Pangkep dan
Kabupaten Maros.
Luas wilayah Kabupaten Toraja adalah 1.151,47 km2. Kecamatan Baruppu
dan Kecamatan Buntu Pepasan merupakan 2 kecamatan terluas denga luas masingmasing 162,17 km2 dan 131,72 km2 atau luas kedua kecamatan tersebut merupakan
25,52 persen dari seluruh wilayah Toraja Utara.
57
B. Pemerintahan
Awal pemerintahan kabupaten ini, yaitu setelah terjadi pemekaran dari
Kabupaten Tana Toraja. Toraja Utara dipimpin oleh Careteker Bupati Toraja Utara
yakni Drs. Y.S. Dalipang yang dilantik oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 26
November 2008 di Lapangan Bhakti Rantepao. Pada tanggal 16 November 2010,
Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo melantik Careteker Bupati
Kabupaten Toraja Utara yang baru, yaitu Drs. Tautoto TR,S.H pada bulan Februari
2010 lalu.
Pada tanggal 31 Maret 2011, kabupaten Toraja Utara memiliki bupati dan
wakil bupati defenitif pertama yaitu Frederik Batti Sorring sebagai bupati dan
Frederik
Buntang
Rombelayuk
sebagai
wakil
bupati
periode
2011-2016.
Pemerintahan Daerah Kabupaten Toraja Utara memiliki 21 kecamatan . berdasarkan
data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Toraja Utara terdapat 111 desa/lembang
dan 40 kelurahan.
C. Penduduk
Berdasarkan hasil Susenas akhir tahun 2009, penduduk kabupaten Toraja
Utara berjumlah 229.090 jiwa yang tersebar di 21 kecamatan, dengan jumlah
penduduk terbesar yakni 25.805 jiwa mendiami Kecamatan Rantepao. Laju
pertumbuhan penduduk di Kabupaten Toraja Utara pada tahun 2009 dibandingkan
mencapai 1.15 persen. Kepadatan penduduk di Kabupaten Toraja Utara telah
mencapai 199 jiwa/km2. Kecamatan terpadat terdapat di Kecamatan Rantepao,
dengan tingkat kepadatan mencapai 2.503 jiwa/km2, sedangkan kecamatan yang
58
tingkat kepadatannya paling rendah adalah kecamatan Baruppu dan Awan Rante
Karua, yaitu 41 dan 90 jiwa/km2. Secara keseluruhan, jumlah penduduk berjenis
kelamin laki-laki lebih banyak dari penduduk yang berjenis kelamin perempuan, yang
masing-masing 119.620 jiwa penduduk laki-laki dan 109.470 jiwa penduduk
perempuan.
D. Agama dan Kepercayaan
Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme
politeistik yang disebut aluk, atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum").
Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan
tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan
Puang Matua, dewa pencipta. Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas
(Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah. Pada awalnya, surga dan bumi
menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya.
Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi
panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan
surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja
lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi
gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi
pengobatan), dan lainnya.
Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik
dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa
(seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan
59
gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan
bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda
antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan
bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa
ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan
ritual kehidupan. Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris
dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau menjalankan
ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian. Akibatnya, ritual
kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai
jarang dilaksanakan. Ditinjau dari jumlah pemeluk agama pada tahun 2009 di
Kabupaten Toraja Utara tercatat 164.803 umat Kristen Protestan, 53.355 umat
Katolik, 7.949 umat Islam dan 2.983 umat Hindu.
E. Pariwisata
Kabupaten Toraja Utara kaya akan objek wisata. Berikut ini adalah daftar
objek wisata yang ada di Kabupaten Toraja Utara.
Daftar Objek Wisata Kabupaten Toraja Utara
Tabel 3.2
No
1
Daya
Tarik
Utama
Panorama
Alam
Nama Objek Wisata
Kecamatan
Kelurahan/Lembang
Singki' Tambolang
Rantepao
Laang Tanduk
Puncak Libane'
Tongka'
Buntu Barana'
Gunung Sopai
Rantepao
Tallunglipu
Tikala
Sopai
Mentiro Tiku
Tantanan
Barana'
Nonongan
60
Kongkang Butui
Mamullu
Kawasan Obyek Wisata
Alam Kalimbuang
Pedamaran
Buntu Susan
Nanggala
2
3
Agrowisata
Agrowisata
Kopi
Agrowisata
Kopi
Agrowisata
Sayur
Agrowisata
Buah
Wisata Air
Kesu'
Kapala Pitu
Kapala Pitu
Ba'tan
Benteng Mamullu
Ka'do
Sanggalangi
Sanggalangi
Nanggala
To'barana'
Tirotasik
Batu kianak
Ko'lan Go'yang
Ba'kan Ulu
Batutumonga
Gunung Napo
Siguntu'
Busso dan Buntu Talinga
Buntu Bokin dan Batu
Mentanduk
Sikuku'
Pasar Hewan Bolu
Wisata Agro Ringgallo
Sa'dan
Sa'dan
Sa'dan
Sesean
Sesean
Sesean Suloara'
Denpina
Sopai
Rantebua
Rantebua
Bokin
Tandung La'bo
Nanggala Sangpiak
Salu
Sa'dan Malimbong
Sa'dan Tiroallo
Sa'dan Malimbong
Buntu Lobo'
Sesean Matallo
Sesean Suloara'
Dende'
Nonongan
Pitung Penanian
Bokin
Kapala Pitu
Tallunglipu
Rindingallo
Pamibak
Bolu
Rindingallo
Pedamaran
Sanggalangi
Bokin
Kawasan Obyek Wisata
Alam Kalimbuang
Sapan
Kapala Pitu
Ka'do
Buntupepasan
Sapan
Rantepao
Rantepao
Rantepao
Tallunglipu
Denpina
Denpina
Baruppu'
Baruppu'
Rindingallo
Rindingallo
Kapala Pitu
Laang Tanduk
Limbong
Limbong
Tantanan
Piongan
Buntu Tagari
Baruppu' Utara
Baruppu' Utara
Bululangkan
Pangala'
Ka'do
Singki' Tambolang
Kolam Alam Limbong
Bombowai
Tongka'
Kolam Limbong Piongan
Buntu Tagari
Sarambu Marendeng
Sarambu Dua'
Bululangkan
Mata kanan
Kawasan Obyek Wisata
Alam Kalimbuang
61
4
Situs
Rumah
Adat
Sarambu Lili'kira'
Batu kianak
To'barana'
Ballo Pasange'
Gunung Napo
Sarambu Sikore
Air Terjun Batang Palli
Limbong Langi'
Liku Rombe
Arung Jeram Dende'
Sikuku'
Tambolang
Nanggala
Sa'dan
Sa'dan
Sa'dan
Denpina
Sopai
Awan Rantekarua
Bangkelekila'
Sesean
Denpina
Kapala Pitu
Rantepao
Lili'kira'
Sa'dan Malimbong
Sa'dan Malimbong
Ulusalu
Dende'
Salu
Londong Biang
Puncak Libane'
Tongka'
Ranteallo
Buntu Remen
Pangala' Tondok
Ke'te' Kesu'
Buntu Pune
Bululangkan
Tanete
Kawasan Obyek Wisata
Alam Kalimbuang
Marante
Penanian Nanggala
Galugu Dua
Ba'ba Saratu'
Palawa'
Ko'lan Go'yang
Issong Kalua'
Tongkonan Tondok
Siguntu'
Bambu Kawasik
Ba'kan Ula'
Lingka Saile belo Raya
Rantewai
Kollo-kollo
To' sarira
Rantepao
Tallunglipu
Tallunglipu
Tikala
Tikala
Kesu'
Kesu'
Rindingallo
Rindingallo
Ka'do
Mentiro Tiku
Tantanan
Tallunglipu
Buntu Barana'
Barana'
Panta'nakanlolo
Rindingbatu
Bululangkan
Pangala'
Kapala Pitu
Tondon
Nanggala
Sa'dan
Sa'dan
Sesean
Sesean
Buntao'
Sopai
Sopai
Balusu
Sesean
Balusu
Balusu
Balusu
Balusu
Tondon
Nanggala
Sa'dan Malimbong
Ulusalu
Palawa'
Buntu Lobo'
Issong Kalua'
Nonongan
Nonongan
Awa' Kawasik
Sesean Matallo
Balusu
Balusu
Balusu
Balusu
62
Batu Limbong
Paku
Pamibak
Mentiro Tiku
5
Kuburan
Alam/Gua
6
Benteng
7
Erong
8
Museum
Maruang
Tongkonan Ne' Timban
Misa' Ba'bana
Sikuku'
Tanete Ke'pe'
Tangkeallo
Tambolang
Sopai
Balusu
Buntao'
Pamibak
Kapalapitu
Sesean
Rantepao
Nonongan
Balusu
Misa' Ba'bana
Kapala Pitu
Ke'pe'
Tongka'
Tiroan Sesean Ula'
(Marimbunna)
Londa
Alla' Taluntun
To' tarra'
Pongduo Tompu
Busso dan Buntu Talinga
Simulluk
Ranteaa'
Tunuan
Gunung Napo
Lo'ko' Sura'
Lombok Parinding
Puncak Libane'
Tongka'
Buntu Barana'
Benteng Pertahanan
Mamullu
Benteng batu
Londa
Ke'te' Kesu'
Marante
Pala'tokke
Katapiongan
Ko'lan Go'yang
Lombok Parinding
Tondon
Pongtimban
Museum Landorundun
Ke'te' Kesu'
Bate Bambalu
Tallunglipu
Tikala
Tantanan
Tikala
Kesu'
Kesu'
Balusu
Balusu
Rantebua
Tondon
Buntao'
Baruppu'
Denpina
Kapalapitu
Sesean
Rantepao
Tallunglipu
Tikala
Tikala
Kapala Pitu
Baruppu'
Kesu'
Kesu'
Tondon
Sanggalangi'
Denpina
Sesean
Sesean
Balusu
Baruppu'
Tallunglipu
Kesu'
Sa'dan
Sangbua'
Bua Tallulolo
Balusu
Balusu
Pitung Penanian
Tondon Matallo
Tallang Sura'
Baruppu'
Dende'
Kapalapitu
Parinding
Mentiro Tiku
Tantanan
Barana'
Benteng Ka'do
Benteng Mamullu
Baruppu'
Sangbua'
Panta'nakanlolo
Tondon
Pa'paelean
Piongan
Buntu Lobo'
Parinding
Balusu
Baruppu'
Tallunglipu - Mataallo
Panta'nakanlolo
Sa'dan Matallo
63
Mentiro Tiku
Museum Dende'
9
Rante
10
Liang Paa'
11
Passiliran
(Kuburan
Kayu)
Dende' Piongan
Napo
Balusu
Tallunglipu
Kesu'
Tikala
Kesu'
Ka'do
Dende
Museum Ne' Gandeng
Tongka'
Ke'te' Kesu'
Rante Kandeapi
Rante Karassik
Kawasan Obyek Wisata
Alam Kalimbuang
Rante Sirrin
Penanian Nanggala
Ko'lan Go'yang
Bori' Kalimbuang
Tangkeallo
Rante Tendan
Singki' Tambolang
Buntu Pune
Ta'pa Langkan
Sullukan
Marante
Pana'
Lo'ko'mata
Tondon
Bunian Bulawan
To' doyan
Buntu Tondon
Pongtimban
Benteng batu
Lo'ko' Tedong
Pollodo
Issong Kalua'
Misa' Ba'bana
Antolong dan Rapasan
Palawa'
Nanggala
Sesean
Sesean
Sesean
Balusu
Rantepao
Kesu'
Kesu'
Sanggalangi'
Tondon
Sesean Suloara'
Sesean Suloara'
Balusu
Balusu
Balusu
Balusu
Baruppu'
Baruppu'
Sopai
Bangkelekila'
Buntao'
Buntao'
Rantepao
Balusu
Laang Tanduk
Rindingbatu
Tallulolo
La'bo'
Tondon
Sesean Suloara'
Landorundun
Balusu
Balusu
Balusu
Balusu
Baruppu'
Baruppu'
Salu Sarre
Tampan Bonga
Issong Kalua'
Misa' Ba'bana
Saloso
Tongka'
Bori' Kalimbuang
Tallunglipu
Sesean
Tantanan
Bori'
Sumber: Dinas Pariwisata Kabupaten Toraja Utara 2012
64
Malakiri
Tantanan
Panta'nakanlolo
Barana'
Rindingbatu
Kapala Pitu
Sesean
Nanggala
Buntu Lobo'
Bori'
F. Klasifikasi Sosial Masyarakat
Orang Toraja mengenal tiga tingkatan sosial dalam masyarakatnya
baik dalam aktivitas pemeliharaan adat, upacara-upacara keagamaan, sikap, maupun
tutur bahasa masing-masing mempunyai disiplin sendiri.
Tingkatan pertama To Kapua. Tingkatan ini adalah golongan rulling class
dalam masyarakat Toraja. Golongan ini terdiri dari kaum bangsawan, pemimpin adat,
dan pemuka masyarakat. Banyak istilah dalam bahasa Toraja untuk menyebutkan
golongan ini. Istilah itu seperti: Anak Patalo, Kayu Kalandona Tondok, To Dibulle
Ulunna, dan lain sebagainya. Semua istilah tidak lazim dipergunakan dalam bahasa
sehari-hari tetapi dipakai dalam acara resmi atau pertemuan formal lainnya. Kata To
Kapua juga tidak dipakai dalam bahasa sehari-hari, biasa diganti dengan kata To
Sugi’ jika golongan bangsawan itu termasuk kaya. Bahasa sehari-hari untuk golongan
To Kapua ini berlainan di tiap tempat di Toraja. Di daerah bagian selatan yang
dikenal dengan nama Tallu Lembangna yang mencakup Makale, Sangalla dan
Mengkendek, golongan Tokapua disebut Puang misalnya Puang Makale, Puang
Sangalla, dan Puang Mengkendek.
Di daerah barat Toraja, golongan Tokapua disebut Ma’Dika seperti Ma’Dika
Ulu Salu. Di daerah bagian Tengah Toraja, golongan Tokapua disebut Siambe’ untuk
laki-laki dan Sindo’ untuk perempuan, misalnya Siambe’ do Buntupune, Siambe’ lan
Tandung La’bo’, Sindo’ lan Nanggala, Sindo’ dio Ke’Te’, dan lain-lain. Tempattempat tersebut adalah pusat keluarga bangsawan. Di Daerah bagian Utara, golongan
Tokapua disebut Puang seperti Puang Sa’dan, Puang Balusu. Ada juga bagian
65
daerah yang menyebut golongan bangsawan ini dengan Pong, seperti Pong Tiku di
Pangala’, Pong Masangka di Bori’. Pada umumnya, golongan bangsawan ini
memegang peranan dalam masyarakat Toraja sejak dahulu dan mereka pula yang
menguasai tanah persawahan di Tana Toraja 10%.
Golongan menengah masyarakat Toraja disebut To Makaka. Golongan ini erat
hubungannya dengan golongan To Kapua. Mereka adalah golongan bebas, mereka
juga memiliki tanah persawahan namun tidak sebanyak yang dimiliki golongan
bangsawan. To Makaka yang tidak memiliki harta benda disebut To Makaka
Kandian. Persentase To Makaka dalam masyarakat sekitar 20%.
Golongan terbanyak yang menjadi tulang punggung masyarakat Toraja adalah
To buda. Pada umumnya mereka tidak mempunyai tanah persawahan sendiri. Mereka
adalah penggarap tanah bangsawan, kaum tani dan pekerja yang ulet, tekun dan hidup
sangat sederhana. Mereka adalah golongan termasuk golongan kaunan atau golongan
budak dahulu. Semua kaum bangsawan mempunyai lusinan budak. Golongan hamba
ini adalah yang paling dipercaya atasannya karena nenek mereka telah bersumpah
setia turun temurun, akan tetapi atasannya juga mempunyai kewajiban membantu
mereka dalam kesulitan hidupnya. Mereka ada sekitar 70% dari masyarakat.
Golongan ini tidak boleh kawin dengan kelas yang lebih tinggi seperti To Kapua dan
To Makaka.
Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan
kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak
(perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas
66
sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari
kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang
lebih tingi, ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap
merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat
ini karena alasan martabat keluarga.
Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga, tinggal di
tongkonan, sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok
bambu yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat
tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para
bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga
kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan
kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga
beberapa gerak sosial yang dapat memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan
atau perubahan jumlah kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau
yang dimiliki.
Budak dalam masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga. Kadangkadang orang Toraja menjadi budak karena terjerat utang dan membayarnya dengan
cara menjadi budak. Budak bisa dibawa saat perang, dan perdagangan budak umum
dilakukan. Budak bisa membeli kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap
mewarisi status budak. Budak tidak diperbolehkan memakai perunggu atau emas,
makan dari piring yang sama dengan tuan mereka, atau berhubungan seksual dengan
perempuan merdeka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.
67
BAB 4
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Pada bab ini akan diuraikan tentang hasil penelitian yang berupa hasil
wawancara dan observasi yang dilakukan oleh peneliti mengenai masalah yang
diteliti. Sebelumnya penulis akan membahas mengenai asal mula ukiran Toraja.
Konon kabarnya ada sebuah rumah Tongkonan yang akan dibangun, maka
ditugaskanlah para tukang dan hamba-hamba masuk ke dalam hitan untuk
menebang kayu. Setelah samapai di hutan, mereka menunjuk ” kayu apa te? ”
(kayu apa ini ?) lalu kayu yang bersangkutan berbicara dan menjawab ” Akumo
kayu nangka’ sinangkangan ulle’ To matemu”. Artinya adalah, akulah kayu
Nangka, akan bergelimpangan orang meninggal. Kemudian dia pindah ke kayu
lain dan menunjuk ”kayu apa te? ” (kayu apa ini?), kayu tersebut juga berbicara
dan menjawabn ”akumo kayu uru, siurrukan to umbating, artinya, akulah kayu
uru, semua orang akan meratap.
Setelah mendengar kayu-kayu itu berbicara, meeka sangat ketakutan dan
meekapun kembali ke perkampungan dan menceritakan apa yang terjadi kepada
Ambe’ (To Parenge’) Tongkonan dan kepada masyarakat tentang apa yang terjadi
di hutan.
Sesudah itu to ma’rapu dan masyarakat mengadakan kombongan. Berdasarkan
masukan-masukan dalam kombongan, peserta mengambil kesimpulan bahwa, hal
68
tersebut terjadi karena sebelumnya tidak dilaksanakan sajian terhadap ampunna
pangala’ (Umpamamata lalanna likaran biang) yaitu sajian untuk memohon izin
kepada Dewa penjaga hutan untuk masuk menebang pohon.
Kemudian diadakanlah pemala’ (sajian) Umpamamata lalanna likaran biang.
Sesudah memala’, maka para tukang dan para hamba kembali masuk hutan.
Sesampai di hutan, mereka kembali bertanya kayu apa ini, kayu tersebut
menjawab, akumo kayu nangka’, sianangkanan iananmu, yang artinya akulah
nangka, hartamu akan bertimbun. Sesudah itu kayu yang bersangkutan ditebang.
Kemudian pindah lagi ke kayu yang lain yaitu kayu Uru. Kayu Uru berbicara dan
menjawab Akumo kayu uru, siuruan bai tora yang artinya,akulah kayu uru,
babimu akan banyak, cepat besar dan bertaring kemudian kayu terebut langsung
ditebang. Begitulah seterusnya kayu-kayu yang lain ditebang sampai mencukupi
untuk ramuan satu rumah Tongkonan. Sesudah selesai menebang mereka kembali
kerumah.
Keesokan harinya, mereka masuk kembali ke hutan untuk mengerjakan kayukayu yang sudah ditebang. Sesampai di sana ternyata kayu-kayu tersebut hampir
seluruhnya selesai dikerjakan dan itu dikerjakan oleh Pong Kalolok, dalam waktu
hanya satu hari. Pong Kalolok adalah seorang yang mempunyai kemampuan luar
biasa, sehingga dapat menjadikan kayu yang pendek menjadi panjang dan
sebaliknya. Ketiga tukang lainnya sangat iri terhadap dirinya dan menganggapnya
sebagai saingan dalam profesinya.
69
Akhrinya mereka membunuh Pong Kalolok. Setelah membunuhnya, mereka
melanjutkan mengerjakan kayu-kayu yang masih sisa. Sementara mereka
mengerjakan pekerjaannya, pada siang harinya datanglah seorang wanita
membawa makanan untuk para tukang. Sesampai di lokasi tempat mengerjakan
kayu, wanita tersebut duduk di atas kayu yang telah diratakan oleh tuknag sambil
menunggu para tukang selesai makan.
Setelah lama dududk di atas kayu yang sudah rata itu, tanpa ia rasa darah
haidnya meleleh di atas kayu yang didudukinya, bahkan tidak dilihatnya samapi ia
kembali ke rumah.
Setelah tukang melanjutkan pekerjaan, mereka melihat darah di atas kayu
membentuk goresan-goresan yang indah diihat. Dengan melihat goresan-goresan
yang indah itu, mereka memindahkan dengan ukiran pada papan yang lain sesuai
goresan darah haid sang wanita tadi.
Pada saat itu mulailah muncul inspirasi para tukang untuk mengukir kayu
ramuan rumah. Jadi ukiran pertama kali muncul dari inspirasi tukang, setelah
melihat goresan-goresan indah dari darah haid wanita yang membawa makanan ke
hutan.
Konon kabarnya, goresan darah haid wanita itu mirip dengan kepala kerbau.
Untuk itu yang pertama dilukis adalah Pa’Tedong atau mirip dengan kepala
kerbau. Kemudian dikembangkan pada apa yang ada di sekelilingnya, yaitu setela
melihat matahari, maka diukirlah Pa’Barre Allo. Dari perkembangan itu, maka
akhirnya ditetapkanlah empat Garonto’ Passura’ (Dasar ukiran), yaitu :
70
Pa’Tedong, Pa’ Barre’ Allo’, Pa’ Manuk Londong dan Pa’Sussu’ yang masingmasing diberi makna spiritual. (Sumber : Palimbong, C.L, Mengenal Ragam Hias
Toraja).
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan
kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "
tongkonan " berasal dari bahasa Toraja tongkon ("duduk").
Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang
berhubungan dengan Tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual
suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena
Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Menurut
cerita rakyat Toraja, Tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang.
Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan
menggelar upacara yang besar.
Pembangunan Tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya
dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis Tongkonan yaitu:
Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai
pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga
yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota
keluarga biasa tinggal di Tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas
tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari
71
pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh
cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.
Ukiran kayu Toraja: setiap panel melambangkan niat baik. Bahasa Toraja
hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan. Untuk menunjukkan kosep
keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya
Pa'ssura (atau "tulisan"). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan
budaya Toraja.
Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan
tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air
dan hewan seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan.
Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja,
selain itu ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering digunakan
sebagai dasar dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi dan
geometri yang teratur. Ornamen Toraja dipelajari dalam ethnomatematika dengan
tujuan mengungkap struktur matematikanya meskipun masyarakat Toraja
membuat ukiran ini hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri. Masyarakat
Toraja menggunakan bambu untuk membuat oranamen geometris.
1. Identitas Informan
Jumlah informan dalam penelitian ini adalah 5 orang dengan karakteristik
tertentu, adapun informan yang dipilih adalah sebagai berikut:
72
1. Informan 01
Nama
: P. Salu
Umur
: 65 th
Pekerjaan : Tokoh adat dan ahli ukir
Alamat
: Jl. Palangi’
2. Informan 02
Nama
: Yosep T.
Umur
: 53 th
Pekerjaan : Pemerhati Ukir
3. Informan 03
Nama
: Sipau’
Umur
:78 th
Pekerjaan : Pemerhati ukiran Toraja
Alamat
: Buntu
4. Informan 04
Nama
: M. Bungin
Umur
: 38 th
Pekerjaan : Masyarakat
5. Informan 05
Nama
: Pius P.
Umur
: 57
Pekerjaan : Budayawan
73
2. Corak ukiran yang terdapat pada Tongkonan yang melambangkan status
sosial masyarakat Toraja.
Gambar 4.1 Tongkonan Layuk Malakiri
Ada berbagai macam corak yang terdapat pada Tongkonan yang merupakan
simbol dari Tongkonan tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Bp. P.Salu :
Kalau kita mau tahu tentang Tongkonan tersebut, maka yang diliat itu adalah
ukiran yang dipasang dan juga ada hiasan lain yang bukan ukiran, misalnya
jumlah tanduk kerbau, dan hiasan yang seperti kepala naga.
Beliau juga menambahkan bahwa dalam ukiran Toraja ada 4 warna yang
digunakan untuk memperindah ukiran tersebut. Bahan-bahan pewarna tersebut
diambil dari tanah liat, seperti yang diungkapkannya sebagai berikut:
74
ada 4 warna yang digunakan untuk mewarnai ukiran, yaitu merah,hitam,
kuning dan putih. Warna tersebut diambil dari alam yaitu Litak (tanah liat)
yang disebut Litak Mararang, Litak mariri, Litak mabusa.
Dari setiap warna tersebut adalah memiliki arti, dan semuanya berhubungan dengan
manusia, seperti yang diungkapkan oleh Bapak Yosep bahwa:
Litak Mararang melambangkan darah manusia, Litak Mariri melambangkan
kemuliaan. Litak Mabusa melambangkan tulang manusia, Litak Malotong
melambangkan kematian, kegelapan, dan kedukaan.
Ada juga yang diungkapkan oleh Bapak.M.Bungin bahwa :
Pada Tongkonan Pekaindoran dan Tongkonan Layuk, harus ada diukir
Garonto’Passura’, yaitu Pa’Tedong, Pa’Barre Allo, Pa’Manuk Londong dan
Pa’Sussu’.
Berikut ini adalah gambar dari corak ukiran tersebut:
1. Pa’ Tedong
Gambar 4.2 Pa’Tedong
75
2. Pa’ Barre’ Allo
Gambar 4.3 Pa’ Barre’ Allo
3. Pa’ Manuk Londong
Gambar 4.4 Pa’Manuk Londong
4. Pa’ Sussu’
Gambar 4.5 Pa’ Sussu’
76
Selain corak ukiran tersebut, masih ada corak lain yang digunakan pada setiap
Tongkonan dan dari ukiran tersebut kita dapat mengetahui keberadaan dan status dari
Tongkonan tersebut, yaitu:
1. Pa’Manuk Londong
2. Kabongo’
3. Pa’Garunggang
4. Passura’ Rangke
5. Pa’Barana’
Pa’Kabongo
Pa’Barana’
Gambar 4.6 Pa’Kabongo
Gambar 4.7 Pa’Barana’
77
3. Pesan-pesan yang terdapat pada ukiran Tongkonan sebagai simbol status
sosial masyarakat Toraja.
Gambar 4.8 Tongkonan
Setiap corak atau bentuk ukiran yang digunakan pada Tongkonan memiliki
nama dan juga makna pesan masing-masing. Ukiran tersebut tidak digunakan
sembarangan pada bangunan Tongkonan. Sebelum melihat tentang pesan-pesan yang
terkandung dalam pada ukiran Tongkonan, maka terlebih dahulu tentang kepemilikan
Tongkonan berdasarkan status sosial pemiliknya. Menurut Bp. P.Salu (65) salah satu
tokoh adat di desa yang terletak kecamatan Balusu sebagai berikut :
”Tongkonan milik bangsawan itu diukir penuh, dan Tongokonan dari kelas
yang bukan sebenarnya tidak boleh diukir, hanya boleh diukir jika ada dari
kelas bangsawan yang menyuruh mereka untuk mengukirnya, misalnya suami
dari kelas tersebut adalah berasal dari kelas bangsawan, jadi Tongkonannya
boleh diukir atas perintah dia.”
78
Saat ini terjadi pergeseran dalam masyarakat, ukiran digunakan begitu saja
tanpa memperhatikan apakah itu sudah tepat atau tidak, seperti yang ditambahkan
oleh Bapak P. Salu bahwa:
”Hal tersebut tidak lagi sesuai dengan kondisi saat ini. Banyak orang yang
asal menempelkan saja bentuk ukiran tanpa memikirkannya terlebih dahulu.
Tetapi dapat dilihat dari warna ukirannya, jika ukiran tersebut digunakan
tepat sasaran maka warnanya akan terang dan cerah, namun pada saat tidak
tepat sasaran maka warna dari ukiran tersebut akan terlihat redup.”
Dalam masyarakat Toraja mereka menggunakan kasta, seperti yang
dirunkapakan oleh salah satu informan bahwa Tongkonan dibangun berdasarkan latar
belakang mereka seperti yang diungkapkan oleh Bapak M. Bungin bahwa (47)
”Orang-orang bangsawan mempunyai Tongkonan yang memang dibangun
atas dasar latar belakang mereka atau darah mereka adalah bangsawan
tanpa ada percampuran darah dari kalangan bawah.”
Sebelum masyarakat Toraja membangun sebuah Tongkonan, mereka telah
memikirkannya terelebih dahulu mengenai hal-hal apa saja yang berhubungan dengan
Tongkonan berdasarkan jenis Tongkonan yang akan dibgangun, seperti yang
diungkapkan oleh Bapak Yosep (53)
”Pada saat Tongkonan akan dibangun dipikirkan dulu matang-matang,
bentuk ukiran apa saja yang cocok dan juga hiasan-hiasan lainnya yang akan
dipasang. Jangan sampai tidak sesuai dengan kelas kita. Ada beberapa jenis
tongkonan, itulah yang kita perhatikan ukiran-ukiran yang ditempelkan di
dindingnya, dengan itu kita akan tahu jenis dari tongkonan tersebut.”
Hal yang hampir sama juga diungkapkan oleh Bapak Sipau (70),
”Sekarang ini ada banyak sekali Tongkonan yang dibangun tidak sesuai lagi
dengan tradisi dahulu kala, tidak menyesuaikan lagi dengan status pemilik
tersebut, ada Tongkonan yang terlihat seperti milik bangsawan, tapi ternyata
bukan.”
79
Tongkonan dipenuhi dengan ukiran, namun ternyata ada golongan tertentu
yang tidak boleh diukir, itu berarti bahwa orang teresebut melakukan pelanggaran
atau menyalahgunakan penggunaan ukiran, seperti yang diungkapkan oleh Bapak.
Pius bahwa:
”Semua Tongkonan sekarang diukirmi, padahal dulunya ada golongan
tertentu yang memang tidak boleh mengukir tongkonan. Pada saat kita
menyalahgunakan penggunaan ukiran, ada sanksi yang menimpa yaitu tula.”
B. Pembahasan
1. Corak Ukiran yang terdapat pada Tongkonan yang melambangkan
status sosial masyarakat Toraja
Ornamen rumah Tongkonan berupa tanduk kerbau serta empat warna dasar yaitu:
hitam, merah, kuning, dan putih yang mewakili kepercayaan asli Toraja (Aluk To
Dolo). Tiap warna yang digunakan melambangkan hal-hal yang berbeda. Bahan
warna ukiran disebut Litak yang merupakan warna dasar bagi masyarakat Toraja
yaitu :
1. Warna merah (Litak Mararang)
2. Warna putih (Litak Mabusa)
3. Warna kuning (Litak Mariri)
4. Warna hitam (Litak Malotong)
80
Warna adalah simbol yang sangat dominan dalam proses komunikasi.
Warna merah dan putih merupakan warna darah dan tulang manusia yang
melambangkan kehidupan manusia. Warna tersebut dapat dipergunakan dimana saja
pada waktu ada upacara adat maupun dalam kehidupan sehari-hari. Warna kuning
merupakan warna kemuliaan sebagai lambang ketuhanan yang dipergunakan pada
waktu upacara Rambu Tuka’ demi untuk keselamatan manusia, berbeda dengan umat
Hindu, kuning adalah warna keramat dalam agama Hindu. Sedang warna hitam
merupakan lambang dari kematian atau kegelapan dipakai pada waktu upacara
Rambu Solo’ (upacara kematian).
Arti warna hitam pada dasar setiap ukiran adalah bahwa kehidupan setiap
manusia diliputi oleh kematian karena menurut pandangan Aluk Todolo bahwa dunia
ini hanya sebagai tempat bermalam saja atau tempat menginap sementara. Semua
warna Passura’ seperti yang tersebut diatas merupakan warna alam karena bahannya
dari tanah, kecuali untuk warna hitam diambil dari arang belanga. Warna hitam
secara umum juga bisa berarti menunjukkan hal yang tegas, elegan, dan eksklusif.
Juga bisa mengandung makna rahasia.
Dari seluruh ragam hias yang terdapat pada rumah Tongkonan, ada 4 ukiran
dasar atau yang disebut Garonto’ Passura’, yaitu :
1. Pa’ Tedong
2. Pa’Barre Allo
3. Pa’Manuk Londong
4. Pa’Sussu’
81
Garonto’ Passura’ tersebut harus ada pada Tongkonan layuk dan Tongkonan
pekaindoran. Ukiran-ukiran Toraja merupakan simbol kearifan status dan keberadaan
dari pemilik Tongkonan yang bersangkutan. Jika kita ingin mengetahui tentang status
dan keberadaan suatu tongkonan di wilayah adat maka yang kita harus
memeperhatikan corak ukiran-ukiran khusus yang digunakan pada ragam hiasnya
dan bentuk Tongkonannya. Inilah ukiran khusus yang perlu diperhatikan :
1. Pa’ Manuk Londong (Ayam Jantan)
2. Kabongngo’ (Kepala Kerbau)
3. Pa’ Garunggang,
4.
Passura’ Rangke
5. Pa’ Barana’
Pada dasarnya interaksi manusia menggunakan simbol-simbol, cara manusia
menggunakan simbol, merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk
berkomunikasi dengan sesamannya. Itulah interaksi simbolik dan itu pulalah yang
mengilhami perspektif dramaturgis, dimana Erving Goffman sebagai salah satu
eksponen interaksi simbolik, maka hal tersebut banyak mewarnai pemikiranpemikiran dramaturgisnya.
Studi tentang simbol tentunya menjadi penting karena simbol menjadi media
yang paling banyak digunakan dalam komunikasi manusia. Dalam menjalankan
proses komunikasi dan interaksi, manusia membutuhkan simbol untuk mentrsanfer
pesan kepada orang lain. Setiap simbol yang ada tidak bisa dimaknai sama, setiap
82
komunitas memberikan makna berbeda terhadap sebuah simbol walaupun simbol
tersebut berwujud sama. Artinya untuk memahami simbol yang harus dipahami
terlebih dahulu adalah lingkungan tempat simbol itu digunakan atau berasal.
Untuk memaknai simbol yang digunakan komunitas tertentu, tentunya hanya
dapat dilakukan dengan cara melibatkan diri dalam komunitas baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Interaksi simbolik menurut perspektif interaksional, dimana merupakan salah
satu perspektif yang ada dalam studi komunikasi, yang barangkali paling bersifat
”humanis” (Ardianto. 2007: 40). Dimana,perspektif ini sangat menonjolkan
keagungan dan maha karya nilai individu diatas pengaruh nilai-nilai yang ada selama
ini. Perspektif ini menganggap setiap individu di dalam dirinya memiliki esensi
kebudayaan,berinteraksi di tengah sosial masyarakatnya, dan menghasilkan
makna”buah pikiran” yang disepakati secara kolektif. Pada akhirnya, dapat dikatakan
bahwa setiap bentuk interaksi sosial yang dilakukan oleh setiapindividu, akan
mempertimbangkan sisi individu tersebut, inilah salah satuciri dari perspektif
interaksional yang beraliran interaksionisme simbolik.Teori interaksi simbolik
menekankan pada hubungan antara simbol dan interaksi, serta inti dari pandangan
pendekatan ini adalah individu (Soeprapto. 2007). Menurut Ralph Larossa dan
Donald C. Reitzes (1993 dalam West-Turner (2008: 96), interaksi simbolik pada
intinya menjelaskan tentang kerangka referensi untuk memahami bagaimana
manusia, bersama dengan orang lain, menciptakan dunia simbolik dan bagaimana
cara dunia membentuk perilaku manusia.
83
Interaksi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna yang
berasal dari pikiran manusia ( Mind ) mengenai diri (Self ), dan hubungannya di
tengah interaksi sosial, dan tujuan bertujuan akhir untuk memediasi, serta
menginterpretasi makna di tengah masyarakat (Society ) dimana individu tersebut
menetap. Seperti yang dicatat oleh Douglas(1970) dalam Ardianto (2007: 136),
makna itu berasal dari interaksi, dan tidak ada cara lain untuk membentuk makna,
selain dengan membangun hubungan dengan individu lain melalui interaksi
Definisi singkat dari ke tiga ide dasar dari interaksi simbolik, antaralain:
1.
Pikiran
(Mind )
adalah
kemampuan
untuk
menggunakan
simbolyang mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu
harusmengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan
individu lain,
2. Diri (Self ) adalah kemampuan untuk merefleksikan diri tiap
individu daripenilaian sudut pandang atau pendapat orang lain,
3. Masyarakat (Society ) adalah jejaring hubungan sosial yang
diciptakan,dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah
masyarakat, dantiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang
mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya
mengantarkan manusia dalam prosespengambilan peran di tengah
masyarakatnya.”
Tiga tema konsep pemikiran George Herbert Mead yang mendasari interaksi
simbolik antara lain:
84
1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia
2. Pentingnya konsep mengenai diri,
3. Hubungan antara individu dengan masyarakat.
Tema pertama pada interaksi simbok berfokus pada pentingnya membentuk
makna bagi perilaku manusia, dimana dalam teori interaksi simbolik tidak bisa
dilepaskan dari proses komunikasi, karena awalnya makna itu tidak ada artinya,
sampai pada akhirnya di konstruksi secara interpretif oleh individu melalui proses
interaksi, untuk menciptakan maknayang dapat disepakati secara bersama. Hal ini
sesuai dengan tiga dari tujuh asumsi karya Herbert Blumer (1969) dalam West-Turner
(2008: 99) dimana asumsi-asumsi itu adalah sebagai berikut:
1. Manusia bertindak terhadap manusia lainnyaberdasarkan makna
yang diberikan orang lain kepadamereka,
2. Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia,3.Makna
dimodifikasi melalui proses interpretif.Tema kedua pada interaksi
simbolik berfokus pada pentingnya”Konsep diri” atau ”Self-Concept
dimana, pada tema interaksi simbolik ini menekankan pada
pengembangan konsep diri melalui individu tersebut secara aktif,
didasarkan pada interaksi sosial dengan orang lainnya. Tema ini
memiliki dua asumsi tambahan, menurut LaRossan & Reitzes (1993)
dalam West-Turner (2008: 101), antara lain:
1. Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui
interaksi dengan orang lain,
85
2. Konsep diri membentuk motif yang penting untukperilaku.
Tema terakhir pada interaksi simbolik berkaitan dengan hubunganantara
kebebasan individu dan masyarakat, dimana asumsi ini mengakuibahwa normanorma sosial membatasi perilaku tiap individunya, tapi padaakhirnya tiap individulah yang menentukan pilihan yang ada dalam sosialkemasyarakatannya. Fokus dari
tema ini adalah untuk menjelaskanmengenai keteraturan dan perubahan dalam proses
sosial. Asumsi-asumsi yang berkaitan dengan tema ini adalah: Orang dan kelompok
masyarakat dipengaruhi olehproses budaya dan sosial, dan struktur sosial dihasilkan
melalui interaksi sosial.
Tiga asumsi Mead dan Tujuh asumsi-asumsi karya Herbert Blumer (1969)
adalah sebagai berikut:
1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia,
2. Pentingnya konsep diri,
3. Hubungan antara individu dengan masyarakat.
Tujuh asumsi karya Herbert Blumer
1. Manusia bertindak terhadap orang lain berdasarkan makna
yangdiberikan orang lain pada mereka,
2. Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia,
3. Makna dimodifikasi melalui sebuah proses interpretif,
4. Individu-individu
mengembangkan
interaksidengan orang lain,
86
konsep
diri
melalui
5. Konsep diri memberikan sebuah motif penting untuk
berperilaku,
6. Orang dan kelompok-kelompok dipengaruhi oleh proses
budayadan sosial,
7. Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.
Ketika masyarakat majemuk berinteraksi dengan masyarakat lain yang
berbeda budaya, maka tatkala proses komunikasi dilakukan, simbol-simbol verbal
atau nonverbal secara tidak langsung dipergunakan dalam proses tersebut.
Penggunaan simbol-simbol ini acapkali menghasilkan makna-makna yang berbeda
dari pelaku komunikasi, walau tak jarang pemaknaan atas simbol akan menghasilkan
arti yang sama, sesuai harapan pelaku komunikasi tersebut.
Maka, simbol yang diartikan Pierce sebagai tanda yang mengacu pada objek
itu sendiri, melibatkan tiga unsur mendasar dalam teori segi tiga makna : simbol itu
sendiri, satu rujukan atau lebih dan hubungan antara simbol dengan rujukan (Sobur,
2003 : 156). Di sini dapat dilihat, bahwa hubungan antara simbol sebagai penanda
dengan sesuatu yang ditandakan (petanda) sifatnya konfensional. Berdasarkan
konvesi tersebut, Alex Sobur (2003 : 156) memaparkan, masyarakat pemakainya
menafsirkan ciri hubungan antara simbol dengan objek yang diacu dan menafsirkan
maknanya.
Simbol tidak dapat hanya disikapi secara isolatif, terpisah dari hubungan
asosiatifnya dengan simbol lainnya. Simbol berbeda dengan bunyi, simbol telah
memiliki kesatuan bentuk dan juga makna. Maka, pada dasarnya simbol dapat
87
dibedakan menjadi simbol-simbol universal, simbol kultural yang dilatarbelakangi
oleh kebudayaan tertentu, dan simbol individual (Hartoko-Rahmanto, 1998 : 133).
Sedangkan dalam “bahasa” komunikasi, simbol ini seringkali diistilahkan
sebagai lambang. Di mana simbol atau lambang dapat diartikan sebagai sesuatu yang
digunakan
untuk
menunjuk
sesuatu
lainnya,
berdasarkan
kesepakatan
kelompok/masyarakat (Sobur, 2003 : 157). Lambang ini meliputi kata-kata (berupa
pesan verbal), perilaku nonverbal, dan objek yang maknanya disepakati bersama.
Kemampuan manusia menggunakan lambang verbal dan nonverbal memungkinkan
perkembangan bahasa dan menangani hubungan antara manusia dan objek (fisik,
abstrak dan sosial) tanpa kehadrian manusia dan objek tersebut.
Inilah yang dilakukan masyarakat suku Toraja, di mana dalam kebudayaan
masyarakat tersebut, simbol-simbol/lambang digunakan untuk menunjuk objek fisik
dan objek abstrak dalam kehidupan mereka, yang telah mereka yakini secara turuntemurun. Seperti rumah Tongkonan yang dsimbolkan sebagai ibu dan jug berbagai
macam corak ukiran yang menghiasinya, semuanya itu merupakan simbol-simbol
kehidupan bagi masyarakat Toraja. Corak Pa’Tedong, yang merupakan lambang
tulang punggung kehidupan atau kemakmuran bagi masyarakat Toraja, Kerbau
merupakan hewan yang berharaga bagi masyarakat Toraja. Selain itu corak Pa’ Barre
Allo, corak ini melambangkan sumber kehidupan yang brasal dari sang pencipta.
Selain itu Pa’Barana’ atau beringin, bagi masyarakat Toraja pohon beringin dalah
pohon yang rindang, dan dapat menaungi, sehingga yang berteduh dibaeah pohon
88
tersbut akan merasakan kesejukan. Dapat dikatakan, bahwa masyarakat tersebut telah
melakukan simbolisasi yang maknanya telah disepakati bersama.
Karena kebutuhan pokok manusia adalah kebutuhan simbolisasi atau
penggunaan lambang dan sifat dasar manusia adalah kemampuannya menggunakan
simbol, maka simbol adalah sesuatu yang berdiri/ada untuk sesuatu yang lain,
kebanyakan diantaranya bersembunyi atau tidaknya, tidak jelas. Pemberian makna
terhadap suatu pesan nonverbal didasarkan nilai atau norma yang berlaku pada suatu
kelompok atau masyarakat tertentu. Oleh karenanya, pemaknaan dan aturan terhadap
suatu perilaku nonverbal sangat bervariasi.
Selain itu menurut Sussane Langer (dalam Johannesen, 1996 : 47), bahwa
dengan kebutuhan dasar akan simbolisasi yang mungkin tidak dimiliki makhluk lain
–selain manusia- maka simbolisasi akan berfungsi secara kontinu dan merupakan
proses yang fundamental pikiranmanusia.
Dengan keunikan ini, maka manusia sebagai pelaku komunikasi dapat segera
mengubah data tangkapan indra menjadi simbol-simbol, dan manusia dapat
menggunakan simbol-simbol untuk menunjuk kepada simbol lain dan untuk
mewariskan pengetahuan, wawasan, juga kebudayaan yang terpendam dari generasi
ke generasi (Sobur, 2003 : 164). Maka, simbol dapat berdiri untuk suatu institusi, cara
berpikir, ide, harapan dan banyak hal lainnya. Melalui simbolisasi ini pula, dapat
dikatakan bahwa manusia sudah memiliki kebudayaan yang tinggi dalam
berkomunikasi, seperti adanya bunyi, isyarat sampai kepada simbol yang
89
dimodifikasi dalam bentuk sinyal-sinyal melalui gelombang udara dan cahaya (Sobur,
2003 : 164).
2. Pesan-pesan yang terdapat pada ukiran Tongkonan sebagai simbol status
sosial masyarakat Toraja
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan observasi dan
wawancara dengan beberapa informan serta membaca literatus tentang ukiran Toraja,
maka dapat dipaparkan corak ukiran yang ada pada Tongkonan sebagai simbol status
sosial masyarakat Toraja, tidaklah sembarangan digunakan. Ukiran Toraja bukan
hanya sebagai gambar yang diciptakan begitu saja untuk menghiasi suatu bentuk atau
benda ataupun Tongkonan tetapi seluruh macam ukiran itu lahir dari pengertian
masalah hidup atau pergaulan hidup serta cita-cita kehidupan masyarakat, makanya
seluruh ukiran yang ada sekarang mempunyai arti yang dalam.
Setiap pola ukiran memiliki nama dan arti masing-masing yang sebenarnya hanya
dapat dimengerti oleh masyarakat pendukungnya. Motif ukiran Toraja, selain
memperindah bangunan juga mengandung makna yang intinya berupa nasihat dan
doa.
Ada beberapa jenis Tongkonan, antara lain Tongkonan layuk (pesio'aluk), yaitu
tempat menyusun aturan-aturan sosial keagamaan. Tongkonan pekaindoran
(pekamberan atau kaparengngesan), yaitu berfungsi sebagai tempat pengurus atau
pengatur pemerintahan adat. Ada juga batu a'riri yang berfungsi sebagai tongkonan
penunjang yang mengatur dan membina persatuan keluarga serta membina warisan.
90
Tongkonan milik bangsawan Toraja berbeda dengan dari orang umumnya. Yaitu
pada bagian dinding, jendela, dan kolom, dihiasi motif ukiran yang halus, detail, dan
beragam. Ada ukiran bergambar ayam, babi, dan kerbau, serta diselang-seling sulur
mirip batang tanaman.
Menurut cerita masyarakat setempat bahwa Tongkonan pertama itu dibangun
oleh Puang Matua atau sang pencipta di surga. Dulu hanya bangsawan yang berhak
membangun tongkonan. Selain itu, rumah adat Tongkonan tidak dapat dimiliki secara
individu tapi diwariskan secara turun-temurun oleh marga suku Toraja. Bangsawan
Toraja yang memiliki Tongkonan umumnya berbeda dengan Tongkonan dari orang
biasanya. Perbedaan ini bisa kita lihat pada bagian rumah terdapat tanduk kerbau
yang disusun rapi menjulang ke atas, semakin tinggi atau banyak susunan tanduk
kerbau tersebut semakin menunjukkan tinggi dan penting status sosial si pemilik
rumah.
Rumah Tongkonan rata-rata dibangun selama tiga bulan dengan sepuluh
pekerja. Kemudian ditambah proses mengecat dan dekorasi satu bulan berikutnya.
Setiap bagian tongkonan melambangkan adat dan tradisi masyarakat Toraja.
Berikut adalah makna dari setiap corak ukiran dari Tongkonan sebagai simbol
status sosial masyarakat Toraja.
1. Pa’ Tedong
Ukiran ini bentuknya mirip dengan kepala kerbau meskipun agak
tersamar. Motif ini didominasi dengan warna hitam, putih dan merah.
Pa’tedong biasa dilukiskan pada papan besar teratas dan pada dinding-dinding
91
penyanggah badan rumah. Bagi masyarakat Toraja, kerbau adalah hewan yang
paling tinggi nilai dan statusnya. Kerbau digunakan sebagai korban pada saat
upacara Rambu Solo’, alat pengolah sawah dan lain-lain. Ukiran Pa’tedong
bermakna sebagai lambang kesejahteraan dan kekayaan bagi masyarakat
Toraja dan juga melambangkan kebangsawanan.
2.
Pa’ Barre’ Allo
Ukiran ini artinya ukiran yang menyerupai matahari. Bentuk motif ini
adalah terdiri atas empat lingkaran yang tersususun. Lingkaran pertama yang
merupakan pusat dari motif ini berwarna kuning, lingkaran kedua berwarna
merah dan lingkaran ketiga dan keempat berwarna putih. Antara lingkaran
ketiga dan keempat terdapat bentuk segitiga yang berwarna merah yang
disusun melingkar sehingga melahirkan bentuk lingkaran yang bersinar
seperti matahari. Jenis ukiran ini ditemukan pada bagian muka dan belakang
Tongkonan pada papan atas berbentuk segitiga.
Biasanya di atas ukiran Pa’Barre Allo, diletakkan ukiran Pa’Manuk
Londong. Pa’Barre Allo adalah simbol kesatuan dari Tondok Lepongan Bulan
Tana Matari’ Allo (Toraja) yang mendapat berkat dan bimbingan dari Tuhan
yang Maha Kuasa. Ukiran ini adalah lambang sumber kehidupan yang berasal
dari sang pencipta. Maknanya adalah percaya bahwa sumber kehidupan dan
segala sesuatu di dunia ini adalah dari Puang Matua (Tuhan yang Maha Esa)
dan pemilik Tongkonan mempunyai kedudukan yang tertinggi dan mulia. Ini
adalah gambar dari ukiran Pa’Barre Allo.
92
3. Pa’ Manuk Londong
Pa’Manuk Londong merupakan ukiran yang berupa ayam jantan,
terdapat pada muka dan belakang Tongkonan. Biasanya Pa’Manuk Londong
diukir di atas Pa’Barre Allo. Ukiran ini, bagi masyarakat Toraja, merupakan
simbol waktu, patriotisme, hukum dan pengorbanan.
4. Pa’ Sussu’
Pa’Sussu’ adalah ukiran yang berbentuk garis-garis sejajar tanpa
variasi dan tidak diberi warna. Pa’Sussu’ adalah ukiran yang sangat sederhana
tetapi maknanya sangat dalam. Pa’Sussu’ melambangkan Tongkonan yag
bersangkutan sangat berperan di dalam menentukan kebijakan dasar (dasar
kehidupan) dalam wilayah adat yag bersangkutan dan juga merupakan
lambang kesatuan masyarakat yang demokratis.
Ukiran khusus pada Tongkonan. Bagi masyarakat Toraja, memiliki
ukiran dengan motif tertentu adalah sebuah kebanggaan dan menyatakan
status sosial dalam kehidupan. Berikut adalah ukiran-ukiran khusus itu:
1. Pa’ Manuk Londong (Ayam Jantan) yang diukir di atas Pa’Barre Allo,
melambangkan tentang status, kepemimpinan,adanya hukum(adat),
keadilan dan kebenaran. Pada umumnya Tongkonan meggunakan dua
simbol ayam jantan yang diukir berhadapan di atas Pa’Barre Allo pada
papan atas (Para). Itu berarti bahwa para pemimpin dalam negeri
harus duduk bersama menyatukan pemahaman sikap dan komando
yang smaa ke arah perbaikan/peningkatan kehidupan rakyat banyak.
93
Ada juga yang mengukir hanya satu ayam jantan pada Para
Tongkonan. Hal tersebut melambangkan bahwa Tongkonan yang
bersangkutan dan pemiliknya mempunyai status tertinggi dalam
wilayah adat yang bersangkutan dan dalam setiap pengambilan
keputusan/kebijakan, tidak boleh dibantah oleh siapa pun.
2. Kabongngo’ (Kepala Kerbau), yang di atasnya terdapat Katik (naga),
dipasang pada bagian depan rumah. Naga adalah lambang kekuatan,
jadi
Kabongngo’ yang diatasnya ada Katik, melambangkan status
yang tinggi dalam masyarakat dan melambangkan kemampuan untuk
memimpin yaitu pemimpin yang mampu berjalan di depan dan
menjadai panutan untuk diikuti oleh seluruh masyarakat. Untuk
Tongkonan Layuk, Kabongngo’ dan katik bisa juga dipasang di bagian
belakang Tongkonan.
3. Pa’ Garunggang, yaitu ukiran dengan menembus papan yang diukir
sesuai motif dasarnya. Biasanya ukiran dasar dari Pa’Garunggung
adalah Pa’Bulu Londong. Pa’Garunggang = Garunggang =
Runggang yang artinya, goncang. Garunggang adalah Passura’Tarru’
(Ukiran
Tembus)
artinya
menembus
segalanya.
Ukiran
ini
melambangkan status tertinggi, kewibawaan, kekayaan, kekuatan dan
keberanian, sehingga dapat membuat keadaan sedemikian rupa
sehingga dapat terjadi keadaan seperti yang dikehendaki (sesuai
kepentingannya).
94
4. Passura’ Rangke. Rangke = Kering. Ukiran ini tidak diberi pewarnaan.
Biasanya ukiran yang tidak deberi pewarnaan adalah Pa’Tangke
Lumu’. Passura’ Rangke melambangkan tidak pernah kekurangan,
baik material maupun ide-ide. Jadi merupakan tumpuan harapan orang
banyak. Peka dan mau berkorban untuk orang banyak atau keluarga.
5. Pa’ Barana’. Barana’= Beringin, yaitu ukiran yang menyerupai
ranting dan daun beringin. Beringin adalah pohon yang besar dan
rindang dapat menaungi, sehingga semua yang ada di bawahnya,
merasakan kesejukan dan keamanan. Apabila Pa’Barana’ ditempatkan
pada papan atas (Indo’Para) pada Tongkoanan, melambangkan bahwa
Tongkonan tersebut mempunyai status tertinggi dan menjadi payung
dari semua pihak dalam negeri. Pa’Barana’ digunakan pada
Tongkonan Layuk, Pekaamberan/Kaparenggesan.
Manusia dikatakan sebagai animal simbolikum yang mempunyai dorongan
untuk mencipta simbol-simbol tersebut. Dalam hubungannya dengan manusia
dikatakan juga sebagai makhluk budaya maka manusia diartikan juga sebagai
makhluk yang dengan kegiatan akalnya dapat mengubah dan bahkan dapat
menciptakan realitas melalui simbol-simbol atau system perlambangan. Contoh dari
sistem perlambangan di sini adalah corak ukiran Toraja, yang melambangkan sesuatu
berdasarkan sistem pola hubungan masyarakat Toraja, falsafah hidup mereka dan
status sosial mereka.
95
Masyarakat Toraja memiliki budaya sendiri dan merekapun mengerti dan
memahami sebagaimana mereka adalah pelaku budaya tersebut. Atas dasar berbagai
rujukan interaksionis simbolik, peneliti budaya memang harus cermat dalam
memperhatikan interaksi manusia dalam komunitas budaya. Interaksi manusia
tersebut, umumnya ada yang berencana, tertata, resmi, dan juga tidak resmi. Berbagai
momen interaksi dalam bentuk apa pun, perlu diperhatikan oleh peneliti budaya.
Pelaku budaya tidak dapat dianggap sebagai komunitas yang pasif, melainkan penuh
interaksi dinamis yang banyak menawarkan simbol-simbol. Pada saat ini peneliti
segera memasuki interaksi budaya pelaku.
Lambang atau simbol adalah sesuatu yang abstrak yang berawal dari adanya
proses interaksi sosial. Pengertian lambang tidak lepas dari tanda, tetapi harus
dibedakan antara tanda dan lambang(simbol). Kita hidup di dunia simbolik untuk
mereprentasikan dan mengekspresikan dunia nayata. Apa yang kita lihat dan rasakan
adalah tanda, sedangkan lambang merepresentasikan tanda melalui abstraksi. Jika kita
melihat Tongkonan dengan corak ukirannya dan visual-visual lainnya, makan tanda
dari Tongkonan adalah Tongkonan itu sendiri(rumah), lambang akan menjelaskan
pengertian sebuah Tongkonan secara abstraksi, sebagai tempat tinggal dan lambang
status sosial dari pemilik Tongkonan tersebut.
Dalam proses simbolik, unsur amat penting untuk diperhatikan adalah
kebebasan menciptakan simbol-simbol yang terkait dengan nilai-nilai tertentu. Seperti
masyarakat Toraja, mereka menciptakan corak ukiran yang mereka gunakan pada
rumah adat mereka, dan semua itu berdasarkan nilai-nilai dari adat Toraja.
96
Dalam setiap gerak, pelaku budaya akan berinteraksi dengan yang lain. Pada
saat itu, mereka secara langsung maupun tidak langsung telah membeberkan stock of
culture yang luar biasa banyaknya.
Persediaan pengetahuan budaya yang ditampilkan lewat interaksi itulah yang menjadi
fokus penelitian model interaksionis simbolik. Dari interaksi tersebut, akan muncul
sejumlah tanda-tanda, baik verbal maupun non verbal yang unik.
Menurut pandangan model interaksionis simbolik perilaku budaya akan
berusaha menegakkan aturan-aturan, hukum, dan norma yang berlaku bagi
komunitasnya. Jadi, bukan sebalilrnya interaksi mereka dibingkai oleh aturan-aturan
mati, melainkan melalui interaksi simbolik akan muncul aturan-aturan yang
disepakati secara kolektif.
Makna budaya akan tergantung proses interaksi pelaku. Makna biasanya
muncul dalam satuan interaksi yang kompleks, dan kadang - kadang juga dalam
interaksi kecil antar individu. Dalam masyarakat Toraja, corak ukiran yang mereka
gunakan, semuanya berasal dari falsafah hidup mereka sendiri, dan merekapun
mengartikan dan memberikan makna dari setiap corak ukiran tersebut dan pesanpesan yang tidak lazim bagi orang awam.
Dengan’demikian, model interaksionis simbolik akan menganalisis berbagai
hal tentang simbol yang terdapat dalam interaksi pelaku. Mungkin sekali pelaku
budaya menggunakan simbol-simbol, unik atau spesial yang hanya dapat dipahami
ketika mereka saling berinteraksi. Seperti halnya dalam budaya Toraja, Pa’Kabongo
sebelum dipasang pada rumah Tongkonan, itu akan belum menandakan keberadaan
97
dan satus dari Tongkonan tersebut, dan ketika Pa’Kabongo’ telah dipasang pada
Tongkonan maka akan kelihatanlah simbol keberadaan dan status Tongkonan tersebut
dengan adanya Pa’Kabongo’. Jika berdiri sendiri belum mewujudkan sebuah simbol
bermakna, sebab bagi orang lain diluar pelaku budaya Toraja, Pa’Kabongo’ hanya
sebuah kepala kerbau, namun, ketika benda tersebut berada dalam adat budaya
Toraja,barulah benda simbolik ‘ itu bermakna. Begitupun dengan corak ukiran-ukiran
yang lain yang digunakan oleh masyarakat Toraja.
Penggunaan lambang-lambang tersebut adalah memperkuat interpretasi pesan
dan dalam peoses verbal yang diwakili oleh lambang bahasa, prosen nonverbal dapat
memberikan tekanan, penting, perlu mendapat perhatian khusus. Pemahaman
terhadap proses verbal dan nonverbal adalah pemahaman terhadap budaya, budaya
adalah perilaku manusia yang dipengaruhi oleh lingkunagn pengalamannya, seperti
kebiasaan-kebiasaan dan kepercayaan-kepercayaannya.
Pesan verbal dari setiap corak ukiran Tongkonan Toraja adalah, makna yang
tekandung dalam setiap corak ukiran tersebut sedangkan pesan nonverbalnya adalah
corak ukiran atau motif-motif ukiran tersbut serta warna-warna yang digunakan pada
unkiran tersebut.
Itulah sebabnya ada beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan bagi
peneliti interaksionis simbolik, yaitu:
1.
simbol akan bermakna penuh ketika berada dalam konteks interaksi aktif,
2.
pelaku budaya akan mampu merubah simbol dalam interaksi sehingga
menimbulkan makna yang berbeda dengan makna yang lazim,
98
3. pemanfaatan simbol dalam interaksi budaya kadang-kadang lentur dan
tergantung permainan bahasa si pelaku,
4.
makna simbol dalam interaksi dapat bergeser dari tempat dan waktu
tertentu.
Objek, orang, situasi, peristiwa tidak memiliki pengertiannya sendiri, tapi
pengertian diberikan untuk masing – masing tersebut. Pengertian yang diberikan
orang pada pengalaman dan proses penafsirannya adalah esensial serta menentukan
dan bukan bersifat kebetulan atau bersifat kurang penting terhadap pengalaman itu.
Untuk
memahami
perilaku,
maka
kita
harus
definisi
dan
proses
pendefinisiannya. Manusia tidak dapat bertindak atas dasar respons yang telah
ditentukan terlebih dahulu untuk mempradefinisikan objek, tetapi lebih sebagai
penafsiran, pendefinisian, “hewan simbolik” yang perilakunya hanya dapat dipahami
dengan jalan memasuki proses definisi melalui metode pendekatan pengamatanberperan serta.
Interaksi simbolik adalah interaksi yang memunculkan makna khusus dan
menimbulkan interpretasi atau penafsiran. Simbolik berasal dari kata ’simbol’ yakni
tanda yang muncul dari hasil kesepakatan bersama. Bagaimana suatu hal menjadi
perspektif bersama, bagaimana suatu tindakan memberi makna-makna khusus yang
hanya dipahami oleh orang-orang yang melakukannya, bagaimana tindakan dan
perspektif tersebut mempengaruhi dan dipengaruhi subyek, semua dikaji oleh para
interaksionis simbolik. Hal yang tidak kalah penting dalam interaksi simbolik adalah
99
pengonsepsian
diri
subyek.
Bagaimana
subyek
melihat,
memaknai
dan
mendefinisikan dirinya berdasarkan definisi dan makna yang diberikan orang lain.
Mead menekankan dasar intersubjektif dari makna. Makna dapat ada, menurut
Mead, hanya ada ketika orang-orang memiliki interpretasi yang sama mengenai
simbol yang mereka pertukarkan dalam interaksi. Blummer (1969) menjelaskan
bahwa terdapat tiga cara untuk menjelaskan asal sebuah makna. Satu pendekatan
mengatakan bahwa makna adalah sesuatu yang bersifat intrinsik dari suatu benda atau
makna yang ada dalam diri benda tersebut. Pendekatan kedua terhadap asal-usul
makna melihat makna itu “dibawa kepada benda oleh seseorang bagi siapa benda itu
bermakna” (Blummer,1969:4). Posisi ini mendukung pemikiran yang terkenal bahwa
makna terdapat di dalam orang, bukan di dalam benda. Pendekatan ketiga terhadapa
makna, melihat makna sebagai sesuatu yang terjadi di antara orang-orang. Makna
adalah “produk sosial” atau ciptaan yang dibentuk dalam dan melalui pendefinisian
aktivitas manusia ketika mereka berinteraksi.
Seperti halnya dengan masyarakat Toraja, mereka menciptakan berbagai
macam corak atau simbol ukiran untuk rumah adat mereka. Dari setiap corak
tersebut, masing –masing memeiliki makna tersendiri, begitu juga dengan Tongkonan
yang memiliki makna dalam Tongkonan itu sendiri. Masyarakat luar memiliki
pandangan berbeda terhadap pemaknaan dari Tongkonan dan ukirannya, itu
merupakan produk sosial dalam masyarakat Toraja mereka membentuknya dalam
interaksi mereka sendiri.
100
CORAK
UKIRAN
SIMBOL STATUS
MAKNA FILOSOFI
Kebangsawanan
Lambang kesejahteraan
dan kekayaan bagi
masyarakat Toraja
WARNA
Warna yang
digunakan di setiap
ukiran ada 4 warna
yaitu merah, yang
Kedudukan tertinggi dan Kehidupan
bersumber melambangkan
mulia.
dari Puang Matua (Sang darah manusia,
Pencipta).
warna putih
melambangkan
Patriotisme,
Bermakna hukum,
tulang manusia,
kepemimpinan
pengorbanan, dan waktu. suci, warna kuning
melambangkan
Lambagn kesatuan yang
kemuliaan,
Kebijakan
demokratis.
lambang
ketuhanan, dan
warna hitam yang
Melambangkan status
merupakan warna
Pemimpin
tertinggi dalam
dasar dari setiap
masyarakat.
ukiran, dan bahwa
Status tertinggi dan
kehidupan setiap
menjadi payung dari
Dapat menaungi,
manusia diliputi
semua pihak dalam
sehingga yang ada
oleh kematian.
negeri.
dibawahnya merasakan
kesejukan dan keamanan.
Pa’Garunggang Kewibawaan, kekayaan,
keberanian, kekuatan.
Melambangkan status
tertinggi, kewibawaan,
kekayaan, keberanian,
kekuatan sehingga dapat
membuat keadaan terjadi
seperti yang
dikehendaki(sesuai
kepentingannya).
Peka, mau berkorban
untuk orang banyak dan
keluarga.
Tidak pernah
berkekurangan, baik
material maupun ide-ide.
Passura’rangke
101
BAB 5
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Corak ukiran yang terdapat pada Tongkonan yang melambangkan status sosial
masyarakat Toraja berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat
diambil kesimpulan bahwa ukiran yang ada pada Tongkonan melukiskan simbolsimbol dari benda-benda di sekeliling kehidupan manusia. Corak ukiran
Pa’Tedong, Pa’Barre Allo, Pa’Manuk Londong dan Pa’Sussu’ merupakan dasar
ukiran Tongkonan dan corak Pa’Manuk Londong, Kabongo’, Pa’Garunggang,
Passura’Rangke dan Pa’ Barana’ merupakan lambang-lambang khusus yang
terdapat pada Tongkonan yang melambangkan status dan keberadaan dari
Tongkonan itu. Ukiran tersebut dibuat berdasarkan taksiran mereka sendiri.
2. Pesan-pesan yang terdapat pada ukiran Tongkonan sebagai simbol status sosial
masyarakat Toraja merupakan falsafah hidup orang Toraja sendiri. Pesan yang
terkandung dalam Pa’Tedong adalah lambang kesejahteraan dan kekayaan serta
kebangsawanan, Pa’Barre Allo mengandung pesan bahwa sumber kehidupan
dan segala sesuatu yang ada di dunia ini berasal dari Tuhan dan merupakan
lambang kebesaran dan kebanggaan serta pemilik Tongkonan mempunyai
kedudukan yang tertinggi dan mulia, Pa’Manuk Londong melambangkan
pemimpin yang arif dan bijaksana, mampu menyatukan semua unsur golongan
dalam masyarakat, Pa’Sussu’ melambangkan bentuk kesatuan masyarakat yang
102
demokratis
dan
kebijakan
untuk
penentuan
dasar-dasar
kehidupan,
Pa’Garunggang melambangkan kewibawaan, kekayaan, kekuatan, keberanian
dan status tertinggi, sehingga dapat membuat keadaan yang sedemikian rupa
menjadi keadaan seperti yang dikehendaki, Passura’Rangke melambangkan tiak
pernah berkekurangan, baik material maupun ide-ide, merupakan tumpuan
harapan dan peka serta mau berkorban bagi orang banyak atau keluarga, dan
Pa’Barana’ melambangkan bahwa Tongkonan tersebut mempunyai status
tertinggi dan menjadi pelindung atau payung dari semua pihak dalam negeri.
103
B. Saran
Tongkonan dan ukirannya sebagai salah satu hasil kebudayaan bangsa
yang sarat akan nilai-nilainya hendaknya dilestarikan keasliannya. Oleh sebab
itu melalui skripsi ini diajukan beberapa saran yaitu :
1. Untuk mempertahankan dan menjaga kelestarian budaya Toraja,
maka diharapkan kepada masyarakat Toraja agar lebih memahami dan
mendalami budaya mereka sendiri dan tidak mudah terpengaruh
terhadap budaya luar dan mendominasi budaya Toraja yang
menyebabkan keaslian budaya perlahan terkikis dan tergeser.
2. Diharapkan kepada generasi muda agar mempelajari tentang ukiran
dan makna-maknanya, agar budaya warisan nenek moyang tersebut
tetap terjaga dan diperkenalkan kepada orang lain.
3. Hendaknya pemerintah menyediakan sarana yang membuat
wisatawan lebih mudah dan lebih nyaman melakukan perjalanan
wisata ke Toraja dengan waktu yang lebih singkat.
104
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta :Pustaka
Pelajar.
Cangara, Hafied. 2011. Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Hayakawa, S.I. 1990. Simbol-simbol. Komunikasi Antar Budaya. Penyunting: Dedy
Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Herimanto & Winarno. 2011. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: PT Bumi
Aksara.
Kadang, K. 1960. Ukiran Rumah Toraja. Jakarta: Balai Pustaka.
Kaplan, David dan Manners, Robert.Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Radar Jaya Offset.
Littlejohn, Stepehen W. dan Foss,Karen A. 2011. Teori Komunikasi. Jakarta:
Salemba Humanika.
Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu komunikasi :Suatu Pengantar. Bandung: Rosdakarya.
Nurudin. 2008. Sistem Komunikasi Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Palalunan. 2008. Pesan-pesan Simbolik Banua Layuk (Rumah Adat) Kabupaten
Mamasa Provinsi Sulawesi Barat. Skripsi Tidak Diterbitkan. Makassar:
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin.
Palimbong, C.L. Mengenal Ragam Hias Toraja.
Said, W.Edward. 2004. Power, politics and culture: interviews with Edward
W.Said:Bloomsbury.
Samovar, Larry A, Porter, Richard E, McDaniel, Edwin R, 2010, Komunkasi Lintas
Budaya :Jakarta: Salemba Humanika.
Sande, JS. 1991. Toraja in Carvings. Ujung Pandang.
105
West, Richard dan Turner, Lynn H. 2008. Pengantar Teori Komunikasi:Analisis dan
Aplikasi: Jakarta: Salemba Humanika
Setiadi, Elly M, dkk. 2007. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta : Kencana.
Sitonda, Mohammad Natsir. 2007.Toraja Warisan Dunia. Makassar: Pustaka
Refleksi.
Sihabudin, Ahmad. 2011. Komunikasi Antarbudaya, Jakarta: Bumi Aksara.
Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya.
. 2009 Semiotika Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Spradley, James. 2007. Metode Etnografi, Jogjakarta : Tiara Wacana.
Sugyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung:
ALFABETA.
Van, Zoest, Aart, Semiotika: Tentang Tanda, Cara kerjanya dan Apa yang Kita
Lakukan Dengannya 1993, Jakarta: Yayasan Sumber Agung.
Tangdilintin, LT. 1975.Tongkonan dengan Seni dan Koleksinya. Tana Toraja.
Yayasan Lepongan Bulan.
.1985. Tongkonan (Rumah adat Toraja). Tana Toraja: Yayasan
Lepongan Bulan.
Referensi Internet
2012. Konsep Simbol Dalam Perspektif.
( http://rajawaligarudapancasila.blogspot.com/2011/05/konsep-simbol-dalampersfektif_31.html, Diakses 1 Nopember 2012 pukul 09:02 WITA)
2012. Semiotika Teori Komunikasi.
(http://www.scribd.com/doc/79718363/SEMIOTIKA-Teori-Komunikasi),
diakses 1 Nopember 2012 pukul 19:15 WITA)
106
Murtini, Indah. 2021. Semiotika Makna Dalam
Komunikasi.(http://ndahindah.wordpress.com/2012/05/17/semiotika-maknadalam-komunikasi/,diakses pada tanggal 1 November 2012, Pukul 19:07
WITA)
Iskandar. 2012.( http://the-linguist.webs.com/apps/blog/show/prev?from_id=371446
2012. (http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya 19:01, Diakses 28 Oktober 2012
Pukul 19:32 WITA.
Adi, Tri Nugroho. 2012. Interaksi Simbolik
(http://sinaukomunikasi.wordpress.com/2011/08/20/interaksi-simbolik/ 9
november 2012 Pukul 10;02 WITA)
107
Download