HUBUNGAN LEMBAGA ADAT DENGAN DPRD DALAM PENGAMBILAN KEBIJAKAN DI KABUPATEN TANA TORAJA SKRIPSI Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Pada Program Studi Ilmu Politik Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan Oleh : HASNI RABBI E 111 07 036 PROGRAM STUDI ILMU POLITIK JURUSAN ILMU POLITIK DAN PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2012 i DAFTAR ISI Halaman Halaman Judul ........................................................................................... i Halaman Pengesahan ................................................................................ ii Kata Pengantar........................................................................................... iii Daftar Isi ..................................................................................................... iv Abstrak ....................................................................................................... vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ............................................................................ 6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.......................................................... 6 1. Tujuan Penelitian ......................................................................... 6 2. Manfaat Penelitian ....................................................................... 6 2.1 Manfaat Teoritis ................................................................... 6 2.2 Manfaat Praktis .................................................................... 7 BAB II KERANGKA KONSEPTUAL A. Teori Sistem Gabriel Almond ............................................................ 8 B. Input dalam Sistem Politik ................................................................. 12 C. Lembaga Adat ................................................................................... 18 D. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah .................................................... 27 E. Relasi Negara dan Masyarakat ......................................................... 30 F. Kerangka Pikir ................................................................................... 37 ii BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian ............................................................................... 39 B. Tipe dan Dasar Penelitian ................................................................. 39 C. Jenis Data ......................................................................................... 40 D. Teknik Pengumpulan Data ................................................................ 40 1. Wawancara / Interview................................................................. 40 2. Studi Literatur .............................................................................. 41 E. Teknik Analisis Data .......................................................................... 41 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Sekilas Tentang Tana Toraja ............................................................ 43 B. Tongkonan dan Lembaga Adat di Tana Toraja ................................. 48 BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Peran Lembaga Adat dalam Proses Pengambilan Kebijakan di Tana Toraja ................................................................................................ 51 BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan ....................................................................................... 68 B. Saran .................................................................................................. 70 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 71 iii ABSTRAK Skripsi ini berjudul ”Hubungan Lembaga Adat Dengan DPRD Dalam Pengambilan Kebijakan Di Kabupaten Tana Toraja” yang disusun oleh Hasni Rabbi ( E111 07 036), Program Studi Ilmu Politik dibawah bimbingan Dr. Gustiana A. Kambo, S.Ip, M.Si dan A. Naharuddin, S.Ip, M.Si Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Lokasi penelitian di Kabupaten Tana Toraja dengan fokus penelitian tentang bagaimana peran Lembaga Adat dalam proses pengambilan kebijakan di Kabupaten Tana Toraja. Objek penelitian adalah anggota DPRD dan anggota Lembaga Adat Tana Toraja. Hasil penelitian memberikan gambaran bahwa peran Lembaga Adat dalam proses pembuatan kebijakan di Tana Toraja di era demokrasi modern ini ternyata semakin baik. Lembaga Adat memiliki peran dalam pengambilan kebijakan, sama halnya dengan lembaga kemasyarakatan lainnya. DPRD Tana Toraja sebagai pembuat kebijakan atau pembuat Perda kerap melibatkan Lembaga Adat dalam proses pembuatan Perda. Namun tidak semua Perda yang dibuat oleh DPRD melibatkan Lembaga Adat, akan tetapi hanya rancangan Perda yang berkaitan dengan adat atau budaya masyarakat. Proses pelibatan Lembaga Adat juga tidak mutlak pada semua tahapan pembuatan Perda, namun hanya pada tahapan perumusan masalah. Pada tahap tersebut Lembaga Adat diundang untuk membahas rancangan peraturan atau DPRD berkunjung pada saat reses. Demikianlah hubungan antara Lembaga Adat dengan DPRD dalam pengambilan kebijakan. iv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berakhirnya rejim otoriter pemerintahan orde baru telah membawa banyak perubahan dalam sistem politik dan pemerintahan di Indonesia. Rezim otoriter yang berubah menjadi sistem demokratis berupaya untuk menciptakan sistem dan pelayanan yang efektif dan efisien. Efektifitas dan efisiensi pelayanan publik diupayakan oleh pemerintah melalui perubahan sistem pemerintahan dari sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi. Lahirnya sistem desentralisasi menyebabkan tata kelola pemerintahan diserahkan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan azas desentralisasi. Berlakunya desentralisasi, prakarsa pembangunan daerah sepenuhnya diserahkan kepada daerah, baik yang menyangkut penentuan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, maupun yang menyangkut segi-segi pembiayaannya adalah perangkat daerah tersebut.1 Sistem desentralisasi diterjemahkan secara lebih jelas dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Kewenangan pemerintah pusat telah dilimpahkan kepada pemerintah daerah melalui UU No. 22 Tahun 1999 tersebut. Pemerintah daerah diberikan wewenang untuk mengatur 1 B N Marbun, DPRD: Pertumbuhan, Masalah dan Masa Depannya (Jakarta: Erlangga, 1994), hal. 7 1 rumah tangganya sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing. Namun pemerintah pusat belum memberikan kewenangan secara mutlak terhadap pemerintah daerah. Masih ada enam masalah yang kewenangannya tetap pada pemerintah pusat. Keenam masalah tersebut ialah politik luar negeri, moneter dan fiscal nasional, agama, pertahanan, keamanan, dan yudisial. Seiring dengan perkembangan kebutuhan daerah, peraturan atau undang-undang tentang otonomi pun dikembangkan kearah yang lebih baik. Undang-undang No. 22 Tahun 1999 akhirnya diperbaharui atau disempurnakan menjadi Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Terdapat beberapa aspek yang berubah menjadi lebih kompelks dan rinci, namun ada juga yang tidak berubah. Misalkan saja, hak atau kewenangan daerah untuk membuat kebijakan yang dianggap penting atau Peraturan Daerah (Perda). Peraturan daerah dibuat oleh DPRD dan kemudian diimplementasikan oleh pemerintah daerah. Inisiatif pembuatan Perda tidak selamanya datang dari DPRD, namun terkadang juga datang dari pihak pemerintah daerah. Perda dibuat dengan memperhatikan berbagai aspirasi dari semua pihak termasuk masyarakat. Namun aspirasi dari masyarakat tidak diminta secara langsung kepada semua lapisan masyarakat. Biasanya aspirasi masyarakat ditampung melalui organisasi kemasyarakatan yang ada di daerah tersebut. Tana Toraja merupakan salah satu daerah yang ikut menerapkan sistem desentralisasi atau lebih tepatnya otonomi daerah. Sebagai 2 implikasinya adalah kesejahteraaan masyarakat menjadi tanggungjawab utama pemerintah daerah yang diupayakan melalui program-program yang diatur dalam peraturan daerah. Berbagai macam peraturan daerah dibuat oleh DPRD Tana Toraja guna menciptakan kesejahteraan masyarakat Tana Toraja. Banyak Perda yang sudah dibuat oleh DPRD Tana Toraja. Tetapi didalam pembuatan perda tersebut apakah pemerintah memperhatikan aspirasi dari masyarakatnya atau tidak, hal tersebut belum dapat dipastikan sebelum adanya penelitian lebih lanjut. Tana Toraja menarik dijadikan sebagai lokus penelitian karena memiliki keunikan yang kemungkinan tidak dimiliki oleh daerah lain. Saat menyampaikan aspirasi terhadap pemerintah, masyarakat biasanya menggabungkan diri dalam suatu lembaga kemasyarakatan seperti LSM dan kelompok pekerja seperti kelompok petani, buruh atau nelayan. Namun di Tana Toraja tidaklah demikian, masyarakat secara umum tergabung dalam sebuah Lembaga Adat. Lembaga Adat di Tana Toraja merupakan lembaga besar yang terdiri dari beberapa lembaga kekeluargaan yang disebut dengan Tongkonan. Lembaga kemasyarakatan secara umum (biasa disebut LSM) merupakan kumpulan beberapa orang atau kelompok yang memiliki satu ideologi atau tujuan, sedangkan Tongkonan merupakan kumpulan beberapa orang yang masih satu keluarga atau keturunan dekat. Tongkonan berarti tempat penguasa menyelesaikan adat untuk masalah-masalah mendengarkan, membicarakan, penting membina dalam dan persatuan 3 kehidupan dan harta warisan keluarga menurut tradisi masyarakat Tana Toraja. Tongkonan sangat berperan dan berfungsi membentuk kepribadian, tradisi dan budaya dengan dasar kesatuan kekeluargaan dan gotong royong dalam hidup dan kehidupan sosial ekonomi dan budaya. Karena Tongkonan terdiri dari kumpulan orang-orang yang masih satu keluarga atau keturunan, jadi terdapat cukup banyak Tongkonan di Tana Toraja yang kesemuanya tergabung dalam Lembaga Adat. Meskipun berasal dari tongkonan yang berbeda, namun tetap terikat dalam Sang Torayaan yang digelar To Sang Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo. Lembaga adat dalam masyarakat Toraja secara umum berperan sebagai suatu wadah bagi masyarakat adat itu sendiri dimana mereka bertugas sebagai pengayom masyarakatnya. Secara khusus, lembaga adat Toraja menjadi suatu media penyelesaian masalah maupun konflik yang terjadi dalam masyarakat. Seperti halnya pada permasalahan persengketaan lahan pertanian maupun intervensi yang dilakukan oleh pihak luar terhadap masyarakat adat. Pada awalnya, lembaga adat memang memiliki peran yang besar dalam beberapa aspek didalam masyarakat. Seperti halnya aspek pertanian, lingkungan, hukum, bahkan norma-norma atau ritus-ritus seperti halnya dalam upacara-upacara adat yang ada di Toraja baik pada acara Rambu Tuka’ maupun Rambu Solo’. Karena peran lembaga adat yang dianggap penting didalam keberlangsungan hidup bermasyarakat sehingga lembaga adat juga diikutsertakan dalam proses pemerintahan seperti pada 4 saat proses pembuatan suatu kebijakan atau perda tertentu, misalnya pembuatan Perda Pajak Potong Hewan. Keikutsertaan Lembaga Adat dalam proses pengambilan kebijakan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk meyampaikan aspirasi mereka kepada pemerintah tentang segala kebutuhan dan kepentingan mereka. Partisipasi Lembaga Adat dalam proses pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh DPRD, dianggap penting karena Lembaga Adat ini merupakan lembaga kemasyarakatan yang memiliki kedekatan emosional dengan masyarakat sehingga lembaga adat dianggap lebih tahu tentang apa yang menjadi kebutuhan masyarakatnya. Oleh sebab itu, penulis ingin melihat bagaimana peran dari Lembaga Adat didalam proses pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah (dalam hal ini DPRD) apakah terjadi dominasi dari negara atau mereka diberikan kesempatan untuk ikut serta dalam proses pengambilan kebijakan. Hal inilah yang menjadi titik fokus permasalahan yang akan diteliti dan dikaji oleh penulis. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk memahami dan melakukan penelitian mengenai: “Hubungan Lembaga Adat Dengan DPRD Dalam Pengambilan Kebijakan di Tana Toraja” 5 B. Rumusan Masalah Mengingat betapa kompleksnya masalah yang akan diteliti mengenai hubungan Lembaga Adat dengan DPRD dalam pengambilan kebijakan, terlebih dalam pembuatan Perda, maka penulis membatasinya pada persoalan sebagai berikut : Bagaimana peran Lembaga Adat dalam proses pengambilan kebijakan di Tana Toraja? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Untuk menggambarkan peran Lembaga Adat dalam pengambilan kebijakan di Tana Toraja 2. Manfaat Penelitian 2.1. Manfaat Teoritis a. Mengidentifikasi fenomena politik yang terkait dengan masalah pengambilan kebijakan. b. Menunjukkan mengenai hubungan Lembaga Adat dengan DPRD dalam Pengambilan Kebijakan secara ilmiah. c. Dalam wilayah akademis, memperkaya khasanah kajian ilmu politik untuk perkembangan keilmuan, khususnya politik kontemporer. 6 2.2. Manfaat Praktis a. Untuk memberikan bahan rujukan kepada masyarakat yang berminat dalam memahami realitas pengambilan kebijakan di Tana Toraja. b. Untuk memberikan informasi kepada praktisi dalam memahami realitas pengambilan kebijakan. 7 BAB II KERANGKA KONSEPTUAL A. Teori Sistem Gabriel Almond Sistem memiliki pengertian kesatuan unit-unit yang tidak dapat dipisahkan dan sub-sub sistemnya bekerja secara fungsional untuk mencapai tujuan tertentu. Politik berasal dari bahasa Latin “Polis” yang berarti kota. Politik memiliki arti suatu kegiatan berkaitan dengan negara, kekuasaan, kebijakan, serta pembagian kekuasaan. Perbandingan sistem politik, dalam pengertian yang paling sederhana, merupakan suatu metode studi dan penelitian di mana politik dan lembagalembaga politik dari dua negara atau lebih diperbandingkan. Metode ini menaruh perhatian pada analisa kandungan dari sistem politik yang hampir sama dan diperbandingkan dalam rangka menemukan solusi guna menjawab berbagai masalah politik. Hal ini juga merupakan teknik dan kemahiran khusus dimana beberapa hal tertentu dapat diperoleh dengan mengamati serta memperbandingkan satu dengan lainnya. Sehingga dapat dikatakan “Perbandingan sistem politik mencoba untuk melukiskan apa yang sama dan apa yang berbeda dalam sistem politik atau untuk mencari inti kesamaan dari seluruh sistem politik”. Secara umum yang dibandingkan dalam sistem politik adalah bentuk yang lebih mengarah pada struktur lembaga politik dan pelaksanaan fungsi-fungsi lembaga politik. 8 Di tahun 1970-an, ilmuwan politik Gabriel Almond dan Bingham Powell memperkenalkan pendekatan struktural-fungsional untuk membandingkan sistem politik (comparative politics). Mereka berargumen bahwa memahami suatu sistem politik, tidak hanya melalui institusinya (atau struktur) saja, melainkan juga fungsi mereka masing-masing. Keduanya juga menekankan bahwa institusi-institusi tersebut harus ditempatkan ke dalam konteks historis yang bermakna dan bergerak dinamis, agar pemahaman dapat lebih jelas. Ide ini berseberangan dengan pendekatan yang muncul dalam lingkup perbandingan politik seperti: teori negara-masyarakat dan teori dependensi. Almond (1999) mendefinisikan sistem sebagai suatu obyek, memiliki bagian yang dapat digerakkan, berinteraksi di dalam suatu lingkungan dengan batas tertentu. Sedangkan sistem politik merupakan suatu kumpulan institusi dan lembaga yang berkecimpung dalam merumuskan dan melaksanakan tujuan bersama masyarakat ataupun kelompok di dalamnya. Pemerintah atau negara merupakan bagian dari pembuat kebijakan dalam sistem politik. Teori ini merupakan turunan dari teori sistem Easton dalam konteks hubungan internasional. Artinya pendekatan struktural-fungsional merupakan suatu pandangan mekanis yang melihat seluruh sistem politik sama pentingnya, yaitu sebagai subyek dari hukum “stimulus dan respon” yang sama atau input dan output. Pandangan ini juga memberikan perhatian cukup terhadap karakteristik unik dari sistem itu sendiri. 9 Pendekatan struktural-fungsional sistem disusun dari beberapa komponen kunci, termasuk kelompok kepentingan, partai politik, lembaga eksekutif, legislatif, birokrasi, dan peradilan. Menurut Almond, hampir seluruh negara di zaman moderen ini memiliki keenam macam struktur politik tersebut. Selain struktur, Almond memperlihatkan bahwa sistem politik terdiri dari berbagai fungsi, seperti sosialisasi dan rekruitmen politik, artikulasi kepentingan, penggabungan kepentingan, dan komunikasi politik. Menurut sistem politik Almond, kedudukan pemerintah sangat vital, mulai dari membangun dan mengoperasikan sistem pendidikan, menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, sampai terjun dalam peperangan. Untuk melaksanakan tugas tersebut, pemerintah memiliki lembaga-lembaga khusus yang disebut struktur, seperti parlemen, birokrasi, lembaga administratif, dan pengadilan, yang melakukan fungsi khusus pula, sehingga pemerintah dapat dengan leluasa merumuskan, melaksanakan, dan menegakkan kebijakan. Sistem disini dapat diartikan sebagai suatu konsep ekologis yang menunjukkan adanya proses interaksi antara organ tertentu dengan masyarakat politik ataupun lingkungannya. Dalam hubungan interaksi, tentu terdapat hubungan saling mempengaruhi dalam menentukan suatu kebijakan, seperti aspirasi masyarakat yang disuarakan sebagai tuntutan politik, sehingga dapat mempengaruhi proses pembuatan kebijakan. Almond bukan saja bersandar konsep institusi, organisasi, atau kelompok melainkan 10 menekankan pada peran dan struktur. Akan tetapi struktur tersebut tidak banyak membantu dalam memperbandingkan antara sistem politik yang satu terhadap sistem politik yang lainnya terkecuali struktur politik tersebut berjalan beriringan dengan fungsi dari sistem politik itu sendiri, atau dengan lain kata struktur dapat efektif dan tertata sejauh fungsinya sesuai dengan sistem politik yang ada. Apabila kita bisa mengetahui bagaimana bekerjanya suatu keseluruhan sistem, dan bagaimana lembaga-lembaga politik yang terstruktur dapat menjalankan fungsi barulah analisa perbandingan politik dapat memiliki arti. Menurut Almond sistem politik memiliki ciri yang universal yakni:2 1. Semua sistem politik memiliki struktur politik. 2. Fungsi-fungsi yang sama muncul dalam setiap sistem politik. 3. Seluruh struktur politik adalah multifungsional. 4. Seluruh sistem politik bercampur dengan pengertian budaya. Dalam pendekatan sistem politik, masyarakat adalah konsep induk oleh sebab sistem politik hanya merupakan salah satu dari sistem-sistem lain yang ada di masyarakat seperti sistem ekonomi, sistem agama, dan sistem sosial-budaya. Sistem politik sendiri merupakan abstraksi (realitas yang diangkat ke alam konsep) dari kondisi real kondisi perpolitikan di suatu Ronald H. Chilcote, Teori Perbandingan Politik “Penelusuran Paradigma” (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hal.221 2 11 masyarakat. Suatu masyarakat tidak hanya terdiri atas satu sistem (misalnya sistem politik saja), melainkan terdiri atas multi sistem. B. Input Dalam Sistem Politik Masukan atau input dalam sistem politik berasal dari lingkungan yang terbuka berupa permintaan (demands) dan dukungan ( support). Lingkungan (environment) terdiri dari semua kondisi dan kejadian luar sampai pada batas sistem politik. Permintaan adalah klaim yang dibuat seseorang dan kelompok dalam sistem politik untuk bertindak supaya dapat memenuhi keinginannya. Dukungan diberikan ketika suatu kelompok dan masing-masing orang mematuhi hasil pemilu, membayar pajak, mematuhi hukum, dan menerima keputusan serta tindakan sistem politik yang berkuasa yang dibuat sebagai reaksi dari permintaan.3 Menurut Almond fungsi input terdiri dari empat4 yaitu: Sosialisasi dan perekrutan politik, Artikulasi Kepentingan, Agregasi Kepentingan, dan Komunikasi Politik. Namun tidak akan semua diuraikan dalam bagian ini, melainkan hanya satu saja, yang memang paling erat kaitannya. Fungsi yang akan diuraikan tersebut ialah fungsi Artikulasi Kepentingan. Leo Agustino, Perihal Ilmu Politik: “Sebuah Bahasan Memahami Ilmu Politik” (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), Hal.171 4 Op.Cid. Ronald H. Chilcote, Teori Perbandingan Politik “Penelusuran Paradigma” (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hal.222-223 3 12 Fungsi Artikulasi Kepentingan Artikulasi Kepentingan adalah suatu proses penginputan berbagai kebutuhan, tuntutan dan kepentingan melalui wakil-wakil kelompok yang masuk dalam lembaga legislatif, agar kepentingan, tuntutan dan kebutuhan kelompoknya dapat terwakili dan terlindungi dalam kebijaksanaan pemerintah. Pemerintah dalam mengeluarkan suatu keputusan dapat bersifat menolong masyarakat dan bisa pula dinilai sebagai kebijaksanaan yang justru menyulitkan masyarakat. Oleh karena itu warga negara atau setidaktidaknya wakil dari suatu kelompok harus berjuang untuk mengangkat kepentingan dan tuntutan kelompoknya, agar dapat dimasukkan ke dalam agenda kebijaksanaan negara. Wakil kelompok yang mungkin gagal dalam melindungi kepentingan kelompoknya akan dianggap menggabungkan kepentingan kelompok, dengan demikian keputusan atau kebijaksanaan tersebut dianggap merugikan kepentingan kelompoknya. Bentuk artikulasi yang paling umum di semua sistem politik adalah pengajuan permohonan secara individual kepada para anggota dewan (legislatif), atau kepada Kepala Daerah, Kepala Desa, dan seterusnya. Kelompok kepentingan yang ada untuk lebih mengefektifkan tuntutan dan kepentingan kelompoknya, mengelompokkan kepentingan, kebutuhan dan tuntutan kemudian menyeleksi sampai di mana hal tersebut bersentuhan dengan kelompok yang diwakilinya. 13 Artikulasi kepentingan sudah ada sepanjang sejarah dan kelompok kepentingan akan semakin tumbuh seiring semakin bertambahnya kepentingan manusia, jadi kelompok kepentingan hanya ingin mempengaruhi pembuatan keputusan dari luar, sedangkan partai politik dari dalam. Berbagai macam kepentingan dapat kita temukan pada setiap masyarakat di manapun mereka berada. Kepentingan-kepentingan tersebut pada hakekatnya merupakan kebutuhan-kebutuhan dari masyarakat yang bersangkutan. Cara yang ditempuh oleh suatu masyarakat untuk dapat memenuhi kepentingan mereka adalah dengan mengartikulasikan kepentingan- kepentingan tersebut kepada badan-badan politik atau pemerintah yang berwenang untuk membuat sebuah keputusan atau sebuah kebijakan. Kepentingan-kepentingan masyarakat tersebut diartikulasikan oleh berbagai lembaga, badan atau kelompok dengan berbagai macam cara. Lembaga-lembaga, badan-badan ataupun kelompok-kelompok yang mengartikulasikan kepentingan-kepentingan masyarakat tadi dibentuk oleh pihak swasta (masyarakat sendiri) maupun yang dibentuk oleh pihak pemerintah, yang perlu diperhatian di dalam hal ini adalah fungsi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga, badan-badan atau kelompok-kelompok didalam mengartikulasikan kepentingan-kepentingan yang terdapat didalam masyarakat. Fungsi artikulasi kepentingan ini biasanya dilakukan oleh struktur yang disebut dengan Interest Group atau kelompok kepentingan. Contohnya: Di 14 Inggris, Partai Konservatif harus bersaing dengan Partai Buruh dan Liberal dalam memperoleh dukungan dari berbagai kelompok kepentingan di negaranya. Dalam usaha memenangkan persaingan, partai konservatif mengundang kelompok-kelompok ekonomi, regional, atau lokal untuk menyatakan keinginan mereka dan untuk ikut mempengaruhi kebijakan Partai Konservatif melalui kegiatan-kegiatan perkumpulan masyarakat dan konferensi tahunan partai dan dalam komite-komite Partai Konservatif yang ada dalam parlemen. Partai Konservatif bisa melakukan tawar-menawar dengan kelompok-kelompok kepentingan itu tetapi tidak bisa menguasainya. Seperti disebut diatas bahwa artikulasi kepentingan itu dilakukan oleh interest group. Interest group pada awalnya menampung kepentingankepentingan yang diajukan masyarakat. Kemudian kelompok-kelompok kepentingan itu membuat rumusan untuk kepentingan-kepentingan tersebut. Kemudian disampaikan kepada badan-badan politik maupun pemerintah yang berwenang untuk membuat sebuah kebijakan, dan diharapkan akan memperoleh tanggapan yang mungkin sekali dapat berwujud sebuah kebijakan yang memungkinkan terpenuhinya kepentingan-kepentingan masyarakat tadi. Mengenai kelompok kepentingan, pada umumnya dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu: 1. Kelompok kepentingan anomic 2. Kelompok kepentingan non assosiasional 15 3. Kelompok kepentingan institusional 4. Kelompok kepentingan assosiasional Artikulasi kepentingan secara umum adalah merupakan artikulasi dari kepentingan-kepentingan yang dirumuskan secara jelas, sedangkan artikulasi kepentingan secara bahasa dapat menyatakan kepentingan-kepentingannya dengan menunjukan perasaan atau tingkah lakunya yang dapat diketahui dan kemudian ditransmisikan kedalam sistem politik. Jadi perbedaan antara artikulasi kepentingan secara umum dan secara bahasa terletak pada perumusan kepentingan-kepentingan itu sendiri dan cara penyampaiannya. Pada artikulasi kepentingan secara umum, kepentingan-kepentingan dirumuskan secara jelas dan kemudian ditransmisikan secara tegas kedalam sistem politik. Sedangkan artikulasi kepentingan secara bahasa, kepentingan-kepentingan tidak dinyatakan secara tegas dan jelas. Apabila disuatu masyarakat atau negara terdapat lebih banyak artikulasi kepentingan secara bahasa, maka hal ini akan membawa akibat yang menyulitkan bagi para elite untuk menafsirkan kepentingan-kepentingan atau tuntutan-tuntutan masyarakat secara akurat atau sesuai dengan apa yang diinginkan oleh rakyat. Gaya yang penting lainnya dari artikulasi kepentingan adalah tingkat kekhususan dari kepentingan-kepentingan atau tuntutan-tuntutan masyarakat. Didalam suatu masyarakat atau negara kadang tuntutantuntutan dikemukakan tanpa memberikan keterangan yang jelas tentang apa 16 yang dia kemukakan. Masyarakat kadang-kadang menunjukan rasa ketidakpuasan, tetapi mereka tidak menunjukan cara-cara bagaimana perbaikannya. Kepentingan-kepentingan atau tuntutan-tuntutan masyarakat juga dapat dipartikulasikan atau dinyatakan secara umum maupun secara khusus. Sebagai contoh, kepentingan atau tuntutan masyarakat yang dinyatakan secara umum adalah tuntutan kepada orang-orang kaya untuk dikenakan pajak yang tinggi. Jadi kepentingan atau tuntutan yang dipartikulasikan atau dinyatakan secara umum ini menunjukan kepada tuntutan orang banyak atau sekelompok besar warga masyarakat. Sedangkan contoh mengenai kepentingan atau tuntutan yang dinyatakan secara khusus adalah tuntutan seseorang tertentu atau suatu keluarga tertentu untuk diberikan pengecualian yang menyangkut masalah pengaturan imigrasi. Jadi ini dapatlah dinyatakan menunjukan kepada kepentingan atau tuntutan perseorangan atau kelompok kecil tertentu saja. Selain tingkat kekhususan gaya daripada artikulasi kepentingan ini juga dapat dibedakan menurut sifat dari kepentingankepentingan atau tuntutan-tuntutan. 17 C. Lembaga Adat 1. Konsep Lembaga Adat Lembaga Adat adalah sebuah organisasi kemasyarakatan, baik yang disengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang didalam sejarah masyarakat yang bersangkutan. Atau dalam suatu masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah hukum dan hak atas kekayaan didalam wilayah hukum adat tersebut. Lembaga Adat memiliki hak dan wewenang untuk mengatur, mengurus, dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang berkaitan dengan mengacu pada adat istiadat dan hukum adat yang berlaku. Menurut konvensi ILO (organisasi buruh internasional) No. 169 Tahun 1986 dinyatakan bahwa “Bangsa, suku, dan masyarakat adat adalah sekelompok orang yang memiliki jejak sejarah dengan masyarakat sebelum masa invasi dan penjajahan, yang berkembang di daerah mereka, menganggap diri mereka beda dengan komunitas lain yang sekarang berada di daerah mereka atau bukan bagian dari komunitas tersebut. Mereka bukan merupakan bagian yang dominan dari masyarakat dan bertekad untuk memelihara, mengembangkan, dan mewariskan daerah leluhur dan identitas etnik mereka kepada generasi selanjutnya: sebagai dasar bagi kelangsungan keberadaan mereka sebagai suatu suku, sesuai dengan pola budaya, lembaga sosial dan sistem hukum mereka.” 18 Menurut Jaringan Pembelaan Hak-Hak Masyarakat Adat (JAPHAMA) yang dirumuskan di Tana Toraja pada Tahun 1993: “Kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun-temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, politik, sosial, dan budaya sendiri.” Selama ini para perencana dan pelaksana pembangunan di Indonesia menganggap nilai-nilai budaya adat sebagai keterbelakangan. Bertolak dari anggapan tersebut, berkembanglah sebuah pemahaman mengenai pentingnya dilakukan perubahan sosial budaya. Perubahan yang dimaksud adalah pencabutan nilai-nilai tradisional yang kemudian digantikan dengan nilai-nilai lain, dalam hal ini “nilai-nilai barat”, agar tujuan pembangunan yakni kesejahteraan masyarakat dapat dicapai. Pencabutan nilai-nilai tradisional itu dilakukan melalui berbagai produk peraturan, perunddang-undangan, dan kebijakan lainnya. Produk-produk hukum itu bersifat sentralistik dan seragam. Misalnya Undang-undang No.5 Tahun 1979, mengubah sistem wilayah kekuasaan dan kekayaan adat menjadi bentuk pemerintahan desa. Aturan tersebut menjadi awal disfungsinya pemerintahan adat. Disfungsi itu kemudian menyebabkan terpisahnya tokoh dikalangan masyarakat adat. Kepala desa menjadi penguasa tunggal yang memperhatikan kepentingan pemerintah diatasnya, Ia bertindak berdasarkan otoritas legal formal. Dipihak lain, ada kepala adat 19 yang merupakan penguasa wilayah persekutuan masyarakat adat yang memerintah berdasarkan otoritas informal yang diberikan masyarakat. Buntut dari dualisme kepemimpinan tersebut adalah tersingkirnya kepala adat dari sistem pemerintahan desa. Kepala adat hanya diberikan kepercayaan untuk mengatur pelaksanaan upacara adat. Hal tersebut bukan bukti atas penghormatan dari masyarakat adat, melainkan hanya untuk kepentingan komoditi pariwisata semata. Oleh karena proses marjinalisasi adat itu berkaitan dengan faktor-faktor struktural. Dengan menghapus marjinalisasi menjadi demokratisasi dan menggantikan sentralisasi menjadi desentralisasi. 2. Peranan Lembaga Adat Dalam Otonomi Daerah Dalam implementasi otonomi daerah, idealnya lembaga adat dapat memiliki kontribusi sebagai komponen masyarakat yang ada di daerah. Peranan yang dimaksud disini adalah tentang apa yang dapat dilakukan Lembaga Adat dalam kehidupan masyarakat sebagai organisasi wadah organisasi kemasyarakatan. Lembaga Adat berkedudukan sebagai permusyawaratan atau permufakatan para pengurus adat, pemuka adat atau masyarakat yang berada diluar susunan organisasi pemerintahan. Adapun tugas Lembaga Adat5 adalah sebagai berikut: 5 PERMENDAGRI No. 3 Tahun 1997 20 a. Menampung dan menyalurkan pendapat masyarakat kepada pemerintah serta menyelesaikan perselisihan yang menyangkut hukum adat, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat. b. Memberdayakan, melestarikan, dan mengembangkan adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam rangka memperkaya budaya daerah serta memberdayakan masyarakat dalam menunjang penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pembinaan kemasyarakatan. c. Menciptakan hubungan yang demokratis dan harmonis serta objektif antara kepala daerah/pemangku adat/tetua adat dan pimpinan atau pemuka adat dengan aparat pemerintah di daerah. Selanjutnya Lembaga Adat memiliki hak dan wewenang sebagai berikut: a. Mewakili masyarakat adat keluar, dalam hal ini menyangkut kepentingan dan mempengaruhi adat. b. Mengelola hak-hak adat dan/atau harta kekayaan adat untuk meningkatkan kemajuan dan taraf hidup masyarakat ke arah hidup yang lebih baik. c. Menyelesaikan perselisihan yang menyangkut perkara adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat sepanjang penyelesaian itu tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 21 Kemudian Lembaga Adat berkewajiban untuk memelihara stabilitas nasional dan daerah serta menciptakan suasana yang dapat menjamin tetap terpeliharanya kebhinekaan masyarakat adat dalam rangka memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa. Untuk menjalankan tugas, hak dan wewenang serta kewajiban sebagaimana yang dimaksud diatas, lembaga adat mempunyai fungsi melaksanakan kegiatan-kegiatan pendataan dalam rangka menyususn kebijakan dan strategi untuk mendukung kelancaran penyelenggaraan pemerintahan, kelangsungan pembangunan dan mendukung keberhasilan pembinaan masyarakat. Identitas adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan lembaga adat harus jelas. Identifikasi tersebut meliputi beberapa faktor sebagai berikut: a. Nama dan/atau istilah yang digunakan b. Struktur, sistem status adat atau jabatan adat c. Struktur wilayah adat d. Kegiatan masyarakat adat yang berpola e. Pranata serta perangkat norma-norma adat termasuk didalamnya hakhak dan kewajiban masyarakat f. Sistem sanksi hukum adat g. Kekayaan serta hak milik masyarakat adat dan/kelompok adat 22 3. Konsep Pemberdayaan Lembaga Adat Untuk menyebut beberapa contoh konkret Lembaga Adat yang ada di Kabupaten Tana Toraja seperti Tongkonan Ada’, Basse Kakakana, Basse Tangngana, Basse adinna, Pangaraga, dan Lembang Karua. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, masing-masing lembaga adat itu tentu memiliki bobot yang berbeda sesuai dengan kebiasaan yang ada dalam masyarakat adat. Dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan yang sangat sentralistis di masa orde baru, lembaga adat kurang berkembang dan tidak mendapat peranan yang berarti. Hal tersebut dapat dilihat dari semangat keseragaman dari berbagai peraturan perundangan yang dibuat oleh pemerintah pusat. Karenanya, untuk meningkatkan kapasitas masyarakat adat maka perlu ada pemberdayaan melalui penguatan lembaga-lembaga adat. Konsep pemberdayaan tidak selalu berupa tindakan untuk memberikan bantuan materiil dan finansial. Pembangunann masyarakat adat dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan dalam era otonomi luas mensyaratkan warga adat yang kreatif, berprakarsa, dan inovatif agar kehidupan di lingkungan masyarakat adat lebih dinamis kearah kehidupan yang meningkat, maju, dan mandiri. Pemberian kepercayaan dan desentralisasi tanggungjawab yang lebih besar bagi masyarakat adat merujuk pada hak untuk memilih yang terbaik dan cocok bagi dirinya sendiri. Di sisi lain, pihak pemerintah mesti mampu 23 memposisikan diri sebagai fasilitator dan katalisator bagi proses perubahan yang dialami masyarakat kearah yang lebih baik. Aktualisasi dari konsep ini adalah melalui pembangunan penguatan yang kelembagaan bertumpu pada adat masyarakat. dalam pendekatan Maksudnya, arah pembangunan yang lebih bersifat partisipatif yang tercermin secara nyata dalam bentuk berbuat bersama dan berperan setara antara agen pembangunan (pemerintah) dengan masyarakat adat. Ada beberapa acuan dasar strategi bagi penguatan kelembagaan adat. Pertama, penerapaan metode partisipatif secara intensif. Hal ini dapat dilakukan dalam skala terbatas pada tahap awal, dan skala besar pada tahap lanjutan. Yang kedua, membentuk jaringan kemitraan antara Birokrasi, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan pihak swasta atau dunia usaha. Ketiga unsur tersebut harus secara bersama-sama mengembangkan potensi sosial ekonomi masyarakat melalui revitalisasi kelembagaan adat dengan penerapan metode partisipatif. Yang ketiga, memobilisasi sumber-sumber sosio cultural dengan pemanfaatan lembaga adat dan pengakuan terhadap hak milik adat dalam penguasaan aset dalam proses pembangunan wilayah. Hal tersebut dapat dipandang sebagai salah satu upaya untuk memacu pengembangan potensi alam dan manusia yang berbasis pada ekonomi kerakyatan. Titik berat pembangunan tersebut ada pada keseimbangan tribina, yaitu bina manusia, bina usaha, dan bina lingkungan dalam kerangka pengembangan kewilayahan secara terpadu. 24 4. Manfaat Pemberdayaan Lembaga Adat Agenda pemberdayaan masyarakat adat di Indonesia akan menguntungkan berbagai pihak, khususnya masyarakat adat itu sendiri yang mendambakan sebuah keadilan sosial di tengah proses perubahan yang terus terjadi di lingkungannya. Bagi masyarakat adat, keuntungan yang dipetik ada beberapa aspek. Pertama, organisasi adat menjadi lebih profesional, kredibel, dan sustainable. Oleh sebab itu, organisasi ini cenderung mendapat dukungan dari warganya dan partisipasi mereka dalam memajukan organisasi pun menjadi semakin tinggi. Kedua, organisasi adat akan mempunyai bargaining power yang kuat dalam berhadapan dengan pemerintah, DPRD dan sektor swasta sehingga ikut menentukan jalannya pemerintahan yang aspiratif dengan kepentingannya. Ketiga, organisasi mempunyai akses dalam mengembangkan ekonomi daerah. Hal ini akan mendukung stabilitas ekonomi di daerah, dan dengan dukungan ekonomi tersebut mereka dapat meningkatkan aktivitas sosial budayanya. Bagi pemerintah daerah, menguatnya masyarakat adat juga memberikan keuntungan tersendiri. Pertama, organisasi adat dapat menjadi mitra yang kooperatif dalam mengimplementasikan program pemerintah. Kedua, pemerintah dapat mendelegasikan pekerjaan kepada organisasi adat di tingkat komunitas sehingga menumbuhkan partisipasi masyarakat yang tinggi dalam mengembangkan pemerintahan di tingkat lokal. 25 Bagi lembaga legislatif, kehadiran masyarakat adat yang kuat juga memberikan sumbangan yang sangat penting bagi eksistensi lembaga perwakilan rakyat. Pertama, menguatnya demokrasi di tingkat lokal. Melalui pengembangan demokrasi komunitarian yang partisipatif, maka kontrol masyarakat terhadap kinerja lembaga legislatif akan meningkat. Kedua, organisasi adat dapat berperan sebagai lembaga yang ikut mengontrol bekerjanya lembaga legislatif. Ketiga, lembaga legislatif dapat menjajaki dan menjaring aspirasi dari bawah dengan memahami aspirasi yang berkembang di tingkat Lembaga Adat. Adapun bagi sektor swasta, pemberdayaan masyarakat adat nantinya memberikan keuntungan yang berbeda. Pertama, mereka akan memperoleh kondisi sosial dan politik yang lebih kondusif karena masyarakat setempat menjadi lebih demokratis, sadar akan HAM, dan memiliki semangat pluralisme. Kedua, organisasi masyarakat adat mampu menjadi partner yang mendukung pengembangan investasi karena mereka juga memperoleh keuntungan. Ketiga, revitalisasi organisasi adat dapat berfungsi sebagai kerangka pengembangan ekonomi lokal yang mampu beradaptasi dengan perkembangan ekonomi global. Keempat, terlembaganya praktik-praktik communitarian democracy didalam masyarakat adat akan mampu berjalan beriringan dengan masyarakat global. 26 D. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istilah ‘Parlemen’ berasal dari bahasa Perancis, ‘parle’ yang berarti ‘to speak’ (berbicara). Fungsi utamanya adalah untuk mengawasi pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan. Lembaga ini dinamakan parlemen dengan keanggotaan yang bersifat perwakilan yang dipilih atau ditentukan sendiri oleh rakyat. Setelah berkembangnya teori ‘separation of power’, fungsi utama dari parlemen adalah fungsi pengaturan atau biasa dinamakan fungsi legislasi (regeling functie atau regulative function). Setelah dibuat aturan, maka atas dasar dan pedoman aturan itulah pemerintah diharapkan bekerja. Akan tetapi, jalannya pelaksanaan aturan itu dilapangan, tetap harus diawasi atau dikontrol oleh lembaga parlemen itu. Dengan demikian, fungsi legislasi dan pengawasan itu berkaitan erat satu sama lain. Parlemen di Indonesia terdiri dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Parlemen yang berada di daerah atau yang disebut Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah sebuah Lembaga Perwakilan Rakyat di daerah. Anggota DPRD dipilih langsung oleh masyarakat pada saat pemilihan umum (Pemilu). DPRD terbagi atas dua, yaitu DPRD Provinsi dan DPRD 27 Kabupaten/Kota. Fungsi dari DPRD sama dengan fungsi DPR, yakni fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.6 Adapun tugas dan wewenang DPRD kabupaten/kota dalam UndangUndang Susduk Tahun 2009 adalah: Membentuk Peraturan Daerah kabupaten/kota bersama Bupati/Walikota; a. Membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota yang diajukan oleh bupati/walikota; b. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota; c. Mengusulkan pengangkatan dan/atau pemberhentian bupati/walikota dan/atau wakil bupati/wakil walikota kepada menteri dalam negeri melalui gubernur untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian; d. Memilih wakil bupati/wakil walikota dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil bupati/wakil walikota; e. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota terhadap rencana perjanjian internasional di daerah; f. Memberikan persetujuan terhadap renacana kerjasama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota; 6 Budiarjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik ( Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,2008 ),hal.322 28 g. Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban bupati/walikota dalam penyelenggaraan pemerintah daerah kabupaten/kota; h. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja dengan daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah i. Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan j. Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.7 Anggota DPRD memiliki hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Anggota DPRD kabupaten/kota juga memiliki hak mengajukan Rancangan Perda kabupaten/kota, mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, membela diri, hak imunitas, serta hak protokoler. Pasal 77 UU nomor 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD menyatakan, bahwa DPRD (sebagai sebuah lembaga, bukan anggota DPRD secara individual) mempunyai fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Selanjutnya dalam pasal 78 disebutkan, bahwa salah satu tugas dan wewenang DPRD (sebagai sebuah lembaga, bukan anggota DPRD secara individual) adalah melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah dan Perundangundangan lainnya, keputusan kepala daerah, APBD, kebijakan Pemerintah 7 Undang-undang susduk DPR Tahun 2009 29 daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah dan kerjasama internasional di daerah.8 E. Relasi Negara dan Masyarakat Menurut Kim Sunhyuk, masyarakat sipil adalah suatu satuan yang terdiri dari kelompok-kelompok yang secara mandiri menghimpun dirinya dan gerakan-gerakan dalam masyarakat yang secara relatif otonom dari negara, yang merupakan satuan-satuan dasar dari re (produksi) dan masyarakat politik yang mampu melakukan kegiatan politik dalam satu ruang publik, guna menyatakan kepedulian mereka dan mengajukan kepentingan-kepentingan mereka menurut prinsip-prinsip pluralisme dan pengelolaan yang mandiri. Defenisi tersebut menekankan pada adanya organisasi-organisasi kemasyarakatan yang relatif memposisikan secara otonom dari pengaruh dan kekuasaan negara. Eksistensi organisasi-organisasi ini mensyaratkan adanya ruang publik (public sphere) yang memungkinkan untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan tertentu9. Lebih jauh lagi, konsep masyarakat sipil dan negara dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu perspektif yang dirumuskan oleh kaum naturalis (Locke dan Rousseau) dan perspektif Hegel dan Marx. Pandangan naturalis melihat masyarakat sipil sebagai kedaulatan sebuah tatanan melalui negara alami 8 Undang-Undang Susduk DPRD Tahun 2003 Pasal 78 Tim Penyusun PUSLIT IAIN Syarif Hidayatullah, Pendidikan Kewargaan: Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), hal. 139 9 30 dimana manusia menemukan diri mereka dalam masyarakat pra-negara. Masyarakat sipil berarti sebentuk organisasi individu yang melampaui keluarga, produksi dan lain-lain. Semua itu menuju kepada suatu kesatuan kolektif yang diperintah atau diatur oleh hukum yang telah ditetapkan oleh negara. Orang dengan sukarela memasuki kolektif ini, memberikan kebebasan untuk melindungi kebebasan mereka itu sendiri. Masyarakat sipil lantas merupakan semacam negara alami yang diatur dan ditata oleh keinginan kolektif (oleh negara). Beberapa penafsiran bahkan terkadang melihat masyarakat sipil sebagai negara itu sendiri. Disisi lain Hegel menyebut masyarakat sipil sebagai masyarakat prapolitis, yang oleh para kaum naturalis disebut negara alami. Bagi Hegel, masyarakat sipil merupakan kedaulatan dari ketidakberadaban, penderitaan, dan korupsi fisik serta etis, jadi berlawanan dengan konsepsi kaum naturalis. Menurut Hegel masyarakat sipil ini diatur dan dikuasai oleh kapasitas intelektual super dari negara, yang merupakan tatanan tertinggi dari etika dan moral manusia. Hegel mengartikan masyarakat sipil sebagai keseluruhan hidup pranegara yang merupakan perkembangan dari hubungan-hubungan ekonomi yang mendorong dan menentukan struktur organisasi dan politik. Sedangkan bagi Marx dan Engels, masyarakat sipil dan negara merupakan sebuah antithesis. Engels berpendapat bahwa negara (tatanan politik) adalah elemen subordinat, dimana masyarakat sipil (kenyataan hubungan-hubungan 31 ekonomi) adalah elemen yang menentukan. Jadi, struktur dan superstruktur (masyarakat sipil dan negara) merupakan bentuk suatu dialektika antithesis dasar dalam sistem Marxis. Masyarakat sipil menguasai negara atau struktur menguasai superstruktur, keseluruhan hubungan-hubungan produksi ini menyokong struktur ekonomi dari masyarakat. Hal ini merupakan fondasi nyata dari munculnya superstruktur yuridis dan politis serta sesuai dengan bentuk dari kesadaran sosial. Marx secara jelas meletakkan negara dibawah masyarakat sipil. Berarti masyarakat sipil yang menentukan negara dan membentuk organisasi dan tujuan dari Negara dalam kesesuaian dengan hubungan produksi material pada tahapan tertentu dari perkembangan kapitalis. Hanya untuk dunia luar “negara-bangsa” tampak mengatur proses pembangunan, ketika negara berhubungan dengan Negara lain, termasuk perang dan pembatasan ikatan nasional (nasionalisme). Dalam relasi negara dan masyarakat (state and society relationship ), yang bersifat organis statis, dengan strategi korporatisme dan rasionalisasi didasarkan atas hubungan fungsional, bukan lagi hubungan politis-idiologis. Namun hubungan tersebut tidak seimbang karena negara mendominasi masyarakat. Seperti yang dikemukakan Gramsci ( 1980 ), negara dan masyarakat memiliki otonomi. Hal itu mengakibatkan timpangnya format politik, sebab ada pihak yang mendominasi pihak lain. Hubungan antara negara dan masyarakat bersifat alienasi dan disonasi, serta berada pada 32 dialektik yang dinamis dalam hubungan negara dan masyarakat dan suatu saat tertentu negara mempunyai tingkat otonomi yang tinggi vis-à-vis otonomi masyarakat yang rendah, pada saat yang lain otonomi masing-masing berimbang, dan pada saat yang lain otonomi masyarakat justru lebih tinggi vis-à-vis otonomi negara yang rendah. Negara diartikan secara luas oleh Gramsci (1980), negara secara subtitutif dibentuk oleh masyrakat. Dalam kenyataannya, negara kemudian memisahkan diri, mendominasi, dan mengontrol masyarakat. Konsep negara terdiri dari lembaga pemerintah (publik institutions) dan aparat pemaksa (coercion) seperti militer, pengadilan dan lembaga-lembaga hukum, serta lembaga-lembaga non-pemerintah yang memproduksi ideologi dan mampu memperkuat hegemoni negara. Sebab dengan ideologi itulah negara berhasil meyakinkan masyarakat (meaning structure) bahwa mereka diperlakukan secara moral, adil dan intelektual, sehingga masyarakat puas dengan kondisi yang ada dan dengan senang hati mengikuti kemauan negara. Negara yang memiliki kekuatan ideologi yang demikian itulah yang oleh Gramsci disebut negara yang hegemonik. Gramsci ternyata berbeda dengan Marxis lainnya dalam menafsirkan Negara dan masyarakat sipil. Meskipun keduanya mengakui bahwa konsepnya tentang masyarakat sipil diperoleh dari Hegel, namun pada kenyataannya mereka menggunakan istilah itu dengan cara yang berbeda. Marx mengatakan bahwa masyarakat sipil adalah totalistas hubungan33 hubungan ekonomi (basis struktur). Gramsci justru merujuknya pada superstruktur. Ringkasnya, konsep Marxian tentang masyarakat sipil sebagai moment struktur dapat dipandang sebagai titik keberangkatan analisa Gramsi. Tapi teori Gramsci memperkenalkan sebuah penemuan yang cukup mendasar dalam tradisi Marxis. Masyarakat sipil dalam konsep Gramsci tidak berada pada moment struktur, melainkan pada moment superstruktur. Bagi Gramsci, masyarakat sipil adalah factor kunci untuk memahami perkembangan kapitalis, meskipun oleh Marx dipahami sebagai struktur (hubungan-hubungan produksi). Disisi lain, Gramsci melihat itu sebagai superstruktur yang mewakili faktor aktif dan positif dari perkembangan sejarah. Ia merupakan hubungan-hubungan budaya dan ideologi yang kompleks, kehidupan intelektual dan spiritual, serta ekspresi politik dari hubungan-hubungan itu menjadi fokus analisa yang lebih daripada struktur. Gramsci sesungguhnya mencoba keluar dari tradisi marxis ortodoks dimana dasar ekonomi tampak menentukan ideologi superstruktur yang dibatasi oleh komponen negara dan masyarakat sipil. Bagi Gramsci, elemen ekonomi dapat dilaksanakan dalam beberapa penentuan dan cara yang spesifik untuk mempengaruhi aktifitas negara dan masyarakat sipil. Sebaliknya, ekonomi juga dapat ditentukan oleh permainan terakhir yang lahir dari tingkatan otonomi relatif negara dan masyarakat sipil atas ekonominya. 34 Keaslian konsep hegemoni Gramsci dalam hal ini dimulai dengan munculnya marxisme yang dogmatik. Pendekatan dogmatik itu melihat marxisme sebagai teori tentang penentuan klas-kals ekonomi dan kegiatankegiatannya. Dalam pandangan Gramsci, justru munculnya dogma itu dapat diartikan sebagai upaya menempatkan Marx dalam materialisme vulgar yang mekanistik. Inilah yang bagi Gramsci dilihat sebagai sebuah kecenderungan posivistik yang mengarahkan pada penekanan yang terlalu berlebihan atas daerah ekonomi dan analisis klas yang berasal dari batas-batas hubungan produksi. Untuk memisahkan negara dan masyarakat sipil , Gramsci memulai dengan tiga batas konseptualisasi dalam membicarakan hegemoni. Kesemuanya itu menunjuk pada identifikasi hubungan antar formasi sosial yang membentuk garis dasar konseptualisasi hegemoni. Ketiga batasan tersebut adalah ekonomi, negara, dan masyarakat sipil. Penekanan pada tiga hal inilah yang sesungguhnya menjadi ciri khas yang membedakannya dengan pemikir marxis lainnya. Ekonomi sebagai batas konseptualisasi yang pertama, merupakan sebuah batasan yang digunakan untuk mengartikan mode of production yang paling dominan dalam sebuah masyarakat. Cara produksi tersebut terdiri dari teknik produksi dan hubungan sosial produksi yang ditumbuhkan atas munculnya perbedaan klas-klas sosial dalam arti kepemilikan produksi. 35 Kedua, yaitu batasan negara, merupakan batas yang berarti tempat munculnya praktek-praktek kekerasan dan tempat terjadinya pendirian birokrasi negara. Oleh Gramsci, birokrasi negara dalam konteks ini diidentifikasikan sebagai pelayanan sipil, kesejahteraan dan institusi pendidikan. Batasan yang ketiga yaitu masyarakat sipil. Menurut Gramsci, batasan yang menunjuk pada organisasi lain diluar negara dalam sebuah formasi sosial diluar bagian sistem produksi material dan ekonomi yang didukung dan dilaksanakan oleh orang atau komponen diluar batasan diatas. Sebagai komponen utama masyarakat sipil dapat didefinisikan sebagai sebuah institusi religius. Ketiga unsur tersebut menurut Gramsci harus memiliki demarkasi yang jelas. Meskipun demikian, ditingkat analisis dan empiris sering terjadi beberapa bagian organisasi dan institusi mungkin berada dalam sebuah batas, dua batas, bahkan bias jadi muncul dalam ketiga batas tersebut. Asumsi yang dibangun dalam memisahkan batasan diatas adalah dalam rangka memudahkan konstruksi teori sosial yang akan berimplikasi pada bentuk-bentuk aksi sosial, aksi politik, aksi ekonomi, aktivitas legal, pendidikan, aktivitas kebudayaan, aktivitas religius, dan lain sebagainya. 36 F. Kerangka Pikir Lembaga Adat adalah sebuah organisasi kemasyarakatan, baik yang disengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang didalam sejarah masyarakat yang bersangkutan.Lembaga Adat berkedudukan sebagai wadah organisasi permusyawaratan atau permufakatan para pengurus adat, pemuka adat atau masyarakat yang berada diluar susunan organisasi pemerintahan. Lembaga Adat dalam masyarakat Toraja secara umumnya berperan sebagai suatu wadah bagi masyarakat adat itu sendiri dimana mereka bertugas sebagai pengayom masyarakatnya. Secara khusus, Lembaga Adat Toraja menjadi suatu media penyelesaian masalah maupun konflik yang terjadi dalam masyarakat. Sebagai lembaga kemasyarakatan lembaga adat merupakan penghubung antara masyarat dengan pemerintah dalam hal pemenuhan kebutuhan masyrakat atau dalam proses pembuatan dan perumusan kebijakan yang merupakan produk politik. Disini lembaga adat mewakili masyarakat untuk menyampaikan aspirasi mereka. Pada awalnya Lembaga Adat cukup berperan aktif didalam proses perumusan dan pembuatan kebijakan di Tana Toraja namun setelah diterapkannya undangundang tentang pemerintahan desa fungsi lembaga adat perlahan-lahan hilang. 37 Selain sebagai penghubung antara masyarakat dengan pemerintah, Lembaga Adat juga memberikan keuntungan bagi pemerintah daerah. Pertama, organisasi adat dapat menjadi mitra yang kooperatif dalam mengimplementasikan program pemerintah. Kedua, pemerintah dapat mendelegasikan pekerjaan kepada organisasi adat di tingkat komunitas sehingga menumbuhkan partisipasi masyarakat yang tinggi dalam mengembangkan pemerintahan di tingkat lokal. Skema Kerangka Pemikiran LEMBAGA ADAT DPRD PENGAMBILAN KEBIJAKAN 38 BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Tana Toraja, Provinsi Sulawesi Selatan. Alasan memilih lokasi penelitian ini karena ingin melihat interaksi politik antara pemangku kebijakan dengan masyarakat dalam pengambilan kebijakan. Masyarakat Tana Toraja terhimpun dalam suatu wadah lembaga kemasyarakatan yaitu Lembaga Adat, Lembaga Adat ini terdiri dari beberapa tongkonan. Wadah ini berfungsi sebagai tempat untuk menyalurkan aspirasi masyarakat kepada pemerintah. Disini penulis akan melihat peran Lembaga Adat dalam proses pengambilan kebijakan di Tana Toraja. B. Tipe dan Dasar Penelitian Tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dan perilaku dari orang-orang yang dapat diamati. Penelitian ini akan menggambarkan dan menganalisis interaksi politik yag berlangsung dalam proses pengambilan kebijakan, dalam hal ini pembuatan Perda di Tana Toraja dalam perspektif demokrasi. Dasar penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metodologi kualitatif untuk menghasilkan temuan atau kebenaran yang bersifat intersubyektif, yakni kebenaran yang dibangun dari jalinan berbagai 39 faktor yang bekerjasama, seperti perilaku pada beberapa individu atau kelompok. Kebenaran merupakan bangunan (konstruksi) yang disusun oleh peneliti dengan cara mencatat dan memahami apa yang terjadi dalam interaksi sosial kemasyarakatan C. Jenis Data Jenis data yang digunakan ada dua: pertama adalah data primer, merupakan data yang harus diolah kembali setelah diperoleh dari informan. Data ini diperoleh melalui komunukasi langsung dengan para informan. Informan yang dimaksud disini adalah tokoh Lembaga Adat di Tana Toraja, dan pengambil kebijakan (dalam hal ini Perda) yaitu anggota DPRD Tana Toraja. Kedua, Data Sekunder berupa data yang berwujud hasil tulisan seperti dokumen pribadi, dokumen instansi atau kantor, serta data statistik. Selain turun kelapangan, penulis juga melakukan telaah pustaka yakni mengumpulkan data dari buku, jurnal, koran dan sumber informasi lainnya yang erat kaitannya dengan masalah penelitian. D. Teknik Pengumpulan Data 1. Wawancara/Intervieu Wawancara merupakan penelitian lapangan, yakni proses pengumpulan data yang dilakukan di lokasi penelitian secara langsung maupun ditempat lain yang ada kaitannya dengan pokok pembahasan. 40 Sebelum melakukan wawancara dengan informan peneliti menyediakan alat tulis dan alat perekam, peneliti juga mencatat dan merekam pernyataan informan pada proses wawancara. Wawancara dilakukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang sebelumnya telah disusun oleh penulis sebagai acuan dan sifatnya tidak mengikat sehingga banyak pertanyaan baru yang muncul pada saat wawancara terkait dengan proses pengambilan kebijakan di Tana Toraja. Informan yang dipilih oleh peneliti untuk diwawancarai adalah sebagai berikut: a. Pengurus Lembaga Adat di Tana Toraja b. Anggota DPRD Tana Toraja 2. Studi Literatur Cara pengumpulan data yang kedua ini, penulis melakukan pengumpulan data yang berhubungan dengan penelitian yaitu membaca literatur mengenai pengambilan kebijakan dan materi-materi yang terkait dengan hal tersebut. E. Teknik Analisis Data Proses analisa data dilakukan pada waktu bersamaan dengan proses pengumpulan data berlangsung. Kegiatan merangkum dan memilih hal-hal pokok dari hasil penelitian yang dianggap penting serta membuat memo dan rekaman agar data yang diperoleh lebih teratur dan mudah untuk diinput, masuk pada tahapan reduksi data. Selanjutnya peneliti akan melakukan sajian data dimana peneliti akan menyusun informasi yang akan digunakan 41 untuk membuat atau menyusun kesimpulan kesimpulan dari penelitian yang dilakukan. Sumber dari sajian data diperoleh dari hasil pengamatan dan analisis data secara mendalam terhadap suatu temuan atau informasi yang ditemukan dilapangan. Selain reduksi data dan sajian data, hal penting yang harus dilakukan pada saat penulisan karya tulis ilmiah adalah penarikan kesimpulan yang harus disesuaikan dengan rumusan masalah yang telah dirumuskan sejak awal. 42 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran umum lokasi penelitian sangat penting untuk lebih memperjelas dan mengenal objek penelitian. Sehubungan dengan bab-bab sebelumnya,maka pada bab 4 ini akan diuraikan bebrapa hal yang berhubungan dengan likasi penelitian penulis,meliputi : kondisi geografis, sejarah Tana Toraja, gambaran umum tentang Tongkonan dan Lembaga Adat di Tana Toraja A. Sekilas Tentang Tana Toraja Kabupaten Tana Toraja, adalah salah satu bagian wilayah Provinsi Sulawesi Selatan yang terletak di bagian utara pada 1190 sampai 1200 Bujur Timur dengan luas wilayah sekitar 3.205,17 km2 (320.500 Ha) . Tata guna lahannya terdiri dari 290.500 Ha (91%) berupa perkebunan/lahan kering, 24.500 Ha berupa lahan sawah, 2.500 Ha berupa perikanan dan sisanya sekitar 3.000 Ha untuk hutan dan permukiman. Wilayah ini berbatasan pada Sebelah Utara : Kabupaten Mamuju Utara dan Kabupaten Luwu Utara. Sebelah Timur : Kabupaten Luwu dan Kota Palopo. Sebelah Selatan : Kabupaten Enrekang dan Kabupaten Pinrang. Sebelah Barat : Kabupaten Mamasa dan Kabupaten Mamuju Sejalan dengan era otonomi daerah, dalam kurun waktu yang relatif singkat dari tahun 2004 sampai tahun 2006 Kabupaten Tana Toraja 43 mengalami perubahan yang sangat penting terutama dari aspek struktural administrasi pemerintahan. Pada awal tahun 2004 wilayah Kabupaten Tana Toraja terbagi atas 15 wilayah kecamatan yang kemudian saat ini telah mekar menjadi 40 wilayah kecamatan. Hal ini akan membawa suatu konsekuensi yang cukup besar dan berdampak luas terhadap berbagai aspek lainnya yaitu: Fisik lingkungan, Sosial, Ekonomi, Budaya serta Prasarana dan sarana wilayah. Pemekaran wilayah kecamatan ini merupakan inisiasi untuk pemekaran wilayah kabupaten menjadi 2 kabupaten yaitu: Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara. Pemekaran kabupaten ini terwujud melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Kabupaten Toraja Utara Di Provinsi Sulawesi Selatan. Pada UU ini dinyatakan pembagian wilayah untuk masingmasing kabupaten. Kabupaten Toraja Utara, terdiri atas 21 (dua puluh satu) kecamatan, 108 Desa/Lembang, 44 Kelurahan, dengan luas wilayah keseluruhan ± 1.216 km2 (± 38%) dengan jumlah penduduk ± 219.428 jiwa pada tahun 2007. Sedangkan wilayah Kabupaten Tana Toraja jumlah kecamatannya berkurang hingga menjadi 19 (sembilan belas) kecamatan, 112 Desa/Lembang, 43 Kelurahan, dengan luas wilayah keseluruhan ± 1.989 km2 (± 62%) dengan jumlah penduduk ± 248.607 jiwa pada tahun 2007. Dalam konteks Nasional kawasan Toraja dan sekitarnya ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) dengan sudut kepentingan sosial budaya melalui kebijakan yang dituangkan dalam PP No. 26/2008 tentang Rencana 44 Tata Ruang nasional (RTRWN). Dalam kebijakan ini juga ditegaskan bahwa tahapan pengembangan untuk Rehabilitasi/Revitalisasi Kawasan Toraja dan sekitarnya direncanakan pada prioritas I (2010-2014). Adapun institusi pelaksana untuk pengembangannya merupakan kewenangan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Mayoritas penduduk terdiri dari etnis Toraja, walaupun ada juga etnis lain yang berada didaerah ini karena berbagai alasan baik karena hubungan pernikahan, pekerjaan, kegiatan perdagangan dan lain-lain. Populasi etnis Toraja sendiri diperkirakan mencapai satu juta jiwa, namun yang bermukim di daerah ini hanya sekitar 450.000 jiwa, sedangkan sebagian besar lainnya tersebar diseluruh Nusantara maupun belahan dunia lain. Tana Toraja yang mempunyai satu kepercayaan Aluk Todolo, setelah melalui proses akulturasi maupun asimilasi budaya, di Tana Toraja dapat dijumpai beberapa agama, antara lain: Kristen Protestan 276.342 jiwa (69,15%), Katolik 67.817 jiwa (16,97 %), Islam 31.570 jiwa (5,986 %) dan Hindu Toraja 23.898 Jiwa (5.986 %). Sebagai bagian dari Nusantara Indonesia, bahasa Indonesia merupakan salah satu bahasa yang digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pergaulan. Namun demikian bahasa daerah yakni bahasa Toraja (Sa'dan) tentunya menjadi bahasa yang paling dominan dalam percakapan antara warga masyarakat. 45 Kata Toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Dalam masa Pemerintahan kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990 mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat. Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat hubungan kekerabatan.Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) 46 kecuali untuk bangsawan dan untuk mencegah penyebaran harta. Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian berbagi dalam ritual kerbau dan saling membayarkan hutang. Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya. Anak, dengan demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung. Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar. Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga 47 yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar. B. Tongkonan dan Lembaga Adat di Tana Toraja Rumah adat di Tana Toraja selain didiami oleh manusia sama dengan rumah-rumah di daerah lain, juga mempunyai fungsi dan peranan serta arti yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Toraja. Rumah yang bernama Tongkonan ini dianggap sebagai pusaka dan hak milik turun temurun yang berasal atau berketurunan dari manusia yang pertama membangun tongkonan tersebut. Kata Tongkonan berasal dari kata tongkon yang artinya duduk, yang mengandung arti bahwa Tongkonan itu ditempati duduk untuk membicarakan dan menyelesaikan segala masalah yang dianggap penting. Dahulu orang yang memegang kekuasaan dengan menjabat suatu tugas, selalu didatangi oleh masyarakat untuk meminta perintah dan petunjuk-petunjuk dari setiap masalah di tempat penguasa itu tinggal. 48 Inilah awal mula kata tongkonan ini dipergunakan sebagai nama rumah yaitu tempat untuk duduk atau tongkon dan tak lain dari pada rumah kediaman dari penguasa adat. Apabila penguasa adat yang pertama meninggal dunia maka ia akan digantikan oleh keturunannya untuk melanjutkan peran dan kedudukan serta cara dari penguasa adat yang telah meninggal dunia sebagai penguasa adat yang pertama, dengan menjadikan rumah dari penguasa adat itu sebagai tempat melaksanakan dan melanjutkan tugas dan kewajiban penguasa adat yang pertama dengan memusatkannya dirumah tersebut yang kemudian dinamakan Tongkonan. Setelah perkembangan masyarakat semakin meningkat maka setiap penguasa yang mempunyai daerah kekuasaan dengan tugas dan peran adat membuat rumah yang dinamakan pula tongkonan karena pada waktu tinggal dirumah itu, rumah itu juga merupakan tempat masyarakat meminta perintah dan penyelesaian masalahnya pada penguasa adat, yang seterusnya tetap membina hak dan kekuasaanya bagi keturunanya setelah meninggal dunia. Itulah sebabnya maka terdapat beberapa rumah Tongkonan dalam satu wilayah adat, namun kemudian ternyata bahwa kekuasaan adat dari penguasa adat itu hanya satu maka rumah yang lain tidak mempunyai kekuasaan adat tetapi merupakan rumah atau tongkonan yang fungsinya hanya sebagai rumah tempat membina persatuan dari keturunannya serta 49 membina warisannya, maka mulailah terdapat rumah Tongkonan yang tidak mempunyai kedudukan sebagai penguasa adat dari satu penguasa dan hanya sebagai tempat membina persatuan keluarga dan tempat pembinaan harta warisan keluarga semata 10. Tongkonan mempunyai beberapa fungsi, yaitu: sebagai pusat budaya, pusat pembinaan keluarga, pembinaan peraturan keluarga dan kegotongroyongan, pusat dinamisator, motivator dan stabilisator. Oleh karena Tongkonan mempunyai kewajiban sosial dan budaya yang juga bertingkat-tingkat dimasyarakat, maka dikenal beberapa jenis tongkonan, antara lain yaitu Tongkonan Layuk atau Tongkonan Pesio' Aluk. Tongkonan diberi nama sesuai dengan nilai yang dimiliki oleh To Mangraruk Tongkonan didalam satu wilayah adat. Nilai yang dimiliki terutama berpedoman pada keterampilan dan keberhasilan didalam empat bidang kehidupan yaitu : 1. Bidang keagamaan ( ada’ aluk na Pemali ) 2. Kepemimpinan ( Tallu Silolok ) 3. Ekonomi ( Tallu Lolona ) 4. Adat budaya ( Rambu Tuka’ dan Rambu Solo’ ) 10 Sejarah Tana Toraja, Bogor, 2006 50 BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Merujuk pada pengertian politik, yakni merupakan suatu usaha untuk mencapai tatanan masyarakat yang terbaik, pengambilan kebijakan juga tidak jauh berbeda, tetap memiliki esensi yang sama. Namun tatanan masyarakat yang baik dalam konteks pengambilan kebijakan ialah terciptanya partisipasi masyarakat dalam proses penyelenggaraan negara, khususnya politik praktis. Dalam bab ini akan dijelaskan secara terperinci mengenai bagaimana peran Lembaga Adat dalam pengambilan kebijakan di Tana Toraja. Apakah lembaga adat memiliki keterlibatan dalam proses politik, dalam hal ini pengambilan kebijakan, atau tidak. Jika dilibatkan, sejauh mana keterlibatan itu dan jika tidak dilibatkan, apa yang menjadi penyebabnya. Hal tersebutlah yang akan diuraikan berdasarkan hasil penelitian dan akan dianalisis dengan menggunakan konsep dan teori yang telah ditetapkan sejak awal. Peran Lembaga Adat dalam Proses Pengambilan Kebijakan di Tana Toraja Tana Toraja merupakan suatu daerah yang masih memiliki nilai kebudayaan yang cukup tinggi ditengah-tengah masyarakatnya. Kebudayaan masyarakat Tana Toraja mengandung nilai adat yang cukup tinggi, namun tetap relevan ditengah maraknya budaya modern belakangan ini. Nilai adat 51 tersebut tidak hanya berlaku pada aspek budaya atau adat saja, tetapi berlaku untuk semua aspek kehidupan masyarakat Tana Toraja. Masyarakat Tana Toraja menjunjung tinggi nilai adat dalam berhubungan dengan sesama masyarakat dan juga dengan pemerintah serta pihak dari luar. Hubungan masyarakat dengan pemerintah di Tana Toraja sudah terjalin dengan baik sejak awal, baik itu dalam proses pembangunan maupun proses pengambilan kebijakan. Sebagai daerah yang memiliki masyarakat adat, Tana Toraja memang agak berbeda dalam menjalankan tata kelola politik dan pemerintahan. Partisipasi masyarakat misalnya, lebih cenderung diwakilkan kepada organisasi kemasyarakatan yang disebut Lembaga Adat. Organisasi kemasyarakatan yang cukup berperan di Tana Toraja , yakni Lembaga Adat yang biasa juga disebut dengan Tongkonan. Ada banyak Tongkonan di Tana Toraja, jika dahulu hanya ada tiga puluh dua Tongkonan saat ini jumlahnya sudah mencapai ratusan. Satu Tongkonan biasanya mewakili satu keluarga yang masih merupakan satu marga/klan dekat. Beberapa Tongkonan kecil tergabung dalam satu Lembaga Adat yang lebih besar, namun masih memiliki ikatan kekeluargaan atau garis keturunan. Tongkonan sebagai lembaga adat merupakan organisasi kemasyarakatan yang paling kuat dan efektif dalam menjaga nilai adat masyarakat Tana Toraja serta menjalin hubungan antara masyarakat dengan pemerintah. Saat proses pengambilan kebijakan misalnya, pemerintah lebih memilih untuk melibatkan masyarakat melalui Tongkonan daripada melalui 52 organisasi pemerintahan formal seperti lembaga ketahanan masyarakat desa atau semacamnya. Pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh dewan perwakilan rakyat daerah (dalam hal ini peraturan daerah atau Perda) melibatkan masyarakat melalui Lembaga Adat atau Tongkonan. Hal tersebut dapat dilihat dari jawaban beberapa informan saat wawancara, misalnya wawancara dengan Samuel Eban K. Mundi11 seperti berikut: “Tetap ada hubungan antara lembaga adat dengan DPRD didalam pembuatan Perda. Sebelum membuat Perda, DPRD membuka suatu ruang yang disebut ruang public. Disitu pemuka adat dan elemenelemen masyarakat diundang untuk berdiskusi membicarakan rancangan Perda yang akan dibuat. Mereka diberi kesempatan untuk memberikan sumbangsih saran yang dianggap penting, apa ada saran atau sanggahan terhadap rancangan Perda tersebut”.12 Berdasarkan hasil wawancara dengan informan diatas memberikan gambaran bahwa Lembaga Adat atau Tongkonan diberikan kesempatan untuk turut serta berpartisipasi didalam pembuatan suatu kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Lembaga adat sebagai bagian dari masyarakat sipil telah diberikan ruang untuk menyampaikan kepentingan mereka. Hal tersebut senada dengan konsep masyarakat sipil menurut dikemukakan oleh Kim Sunhyuk 11 12 Wakil Ketua DPRD Tana Toraja Periode 2009-2014 Wawancara Tanggal 11 Juli 2012 53 yang mensyaratkan adanya ruang publik demi eksistensi organisasi masyarakat sipil itu sendiri.13 Dalam mencapai tujuan peraturan perundang-undangan, syarat pertama yang harus dipenuhi adalah keterlibatan rakyat atau partisipasi masyarakat didalam suatu proses pembentukan kebijakan. Proses yang dimaksud ialah mulai dari lahirnya peraturan, pelaksanaannya dilapangan, sampai pada tahap evaluasi. Kebijakan diartikan sebagai aturan yang lahir dari proses politik. Kebijakan merupakan hal yang mengikat sebagai suatu upaya pencapaian tujuan yang diinginkan dengan bersifat strategis dan jangka panjang. Kebijakan harus bisa diimplementasikan ke ruang publik. Menurut Carl Friedrich yang dikutip dalam Wahab bahwa: “kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang untuk mencapai tujuan yang diinginkan.”14 Serangkaian aktifitas intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktifitas politik itu Nampak pada serangkaian kegiatan yang mencakup penyusunan agenda, formulasi kebijakan, implementasi 13 Tim Penyusun PUSLIT IAIN Syarif Hidayatullah, Pendidikan Kewargaan: Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), hal. 139 14 Solichin, Wahab. Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), Hal. 3 54 kebijakan, dan penilaian kebijakan. Hal serupa juga disampaikan oleh beberapa pengurus Lembaga Adat atau Tongkonan saat wawancara, misalnya wawancara dengan Aris Sampe Kalua seperti berikut: “Lembaga adat tetap dilibatkan karena didalam pembuatan kebijakan, baik dari tahap awal pembuatan sampai hasil dari kebijakan kita sama–sama duduk berdiskusi untuk melahirkan kebijakan yang selaras dengan lingkungan yang kita tempati, pemerintah atau dalam hal ini DPRD harus berpatokan dengan nilai-nilai yang dianut didalam masyarakat”15 Dalam mengukur kebijakan harus memperhatikan variabel kebijakan, organisasi dan lingkungan. Perhatian itu perlu diarahkan karena melalui pemilihan kebijakan yang tepat maka masyarakat dapat berpartisipasi memberikan kontribusi yang optimal untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Selanjutnya, ketika sudah ditemukan kebijakan yang terpilih diperlukan organisasi pelaksana, karena di dalam organisasi ada kewenangan dan berbagai sumber daya yang mendukung pelaksanaan kebijakan bagi pelayanan publik. Sedangkan lingkungan kebijakan tergantung pada sifatnya yang positif atau negatif. Jika lingkungan berpandangan positif terhadap suatu kebijakan akan menghasilkan dukungan positif sehingga lingkungan akan berpengaruh terhadap kesuksesan implementasi kebijakan. Sebaliknya, jika lingkungan berpandangan negatif maka akan terjadi benturan sikap, sehingga proses implementasi terancam akan gagal. Lebih daripada tiga 15 Wawancara dengan Aris Sampe Kalua Ketua Lembaga Adat di Kelurahan Tondon Mamullu (Tongkonan A’pa’) Wawancara Tanggal 11 Juli 2012 55 aspek tersebut, kepatuhan kelompok sasaran kebijakan merupakan hasil langsung dari implementasi kebijakan yang menentukan efeknya terhadap masyarakat Habermas bahkan menyatakan bahwa titik tolak yang dapat menjadi acuan untuk menata ulang proses pembuatan peraturan adalah memperluas perdebatan politis didalam parlemen ke masyarakat sipil.16 Bukan hanya aparat negara dan wakil rakyat, melainkan juga seluruh warga negara ikut berpartisipasi. Partisipasi lembaga adat sebagai masyarakat sipil sudah terlihat dalam proses pembuatan Perda di Tana Toraja. Hanya saja memang tidak semua peraturan daerah (Perda) yang dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) Tana Toraja melibatkan Lembaga Adat atau Tongkonan. Hal tersebut dikemukakan oleh Samuel Eban K. Mundi17 saat wawancara dengan penulis seperti berikut: “Tidak semua Perda yang dibuat melibatkan lembaga adat, tetapi hanya Perda-perda tertentu yang memang bersinggungan dengan lembaga adat. DPRD tidak serta merta membuat Perda atas kemauan mereka sendiri karena takutnya nanti Perda yang dibuat tidak mendapat sambutan baik dari masyarakat karena dianggap merugikan masyarakat”18 16 Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis Menyusun dan Merancang Peraturan Daerah: Suatu Kajian Teoritis dan Praktis Disertai Manual (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), hal. 123 17 Wakil Ketua DPRD Tana Toraja Periode 2009-2014 18 Wawancara Tanggal 11 Juli 2012 56 Hal senada juga disampaikan oleh Aris Sampe Kalua19 ketika wawancara dengan penulis seperti berikut: “Tidak semua (Perda), hanya hal-hal tertentu saja yang ada hubungannya dengan masyarakat adat. Misalnya pada pembuatan Perda perubahan nama desa menjadi Lembang. Itu merupakan produk antara pemerintah atau DPRD dengan masyarakat adat”20 Selain kedua informan tersebut, Jusuf Kun Massora21 juga mengungkapkan hal yang sama. Bahwa tidak semua Perda yang dibuat oleh DPRD Tana Toraja melibatkan Lembaga Adat atau Tongkonan. Hanya beberapa Perda tertentu saja yang dibuat dengan melibatkan Lembaga Adat. Perda yang dibuat dengan melibatkan Lembaga Adat adalah Perda yang memiliki keterkaitan dengan kehidupan masyarakat adat dan atau Perda yang berkaitan dengan nilai adat dan atau budaya masyarakat adat di Tana Toraja. Ada beberapa Perda yang dibuat oleh DPRD Tana Toraja yang melibatkan Lembaga Adat. Perda tersebut diantaranya adalah Perda tentang perubahan nama desa menjadi Lembang, Perda tentang pariwisata, Perda tentang pajak potong hewan, dan masih ada beberapa Perda yang lain. Bahkan Lembaga Adat juga dilibatkan dalam menyusun rencana pembangunan jangka menengah (sampai Tahun 2033). 19Ketua Lembaga Adat di Kelurahan Tondon Mamullu (Tongkonan A’pa’) Wawancara Tanggal 11 Juli 2012 21 Koordinator Masyarakat Adat Makale 20 57 DPRD Tana Toraja terus berupaya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat adat dalam proses tata kelola pemerintahan. Upaya tersebut terlihat dari proses pelibatan masyarakat dalam membuat rancangan pembangunan Tana Toraja, yang salah satunya adalah dalam proses pembuatan peraturan daerah. Meskipun terkadang ada Lembaga Adat atau Tongkonan yang tidak mau ikut berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan atau Perda. Hal demikian ditemukan oleh penulis saat wawancara dengan Tato’ Dena’22 seperti berikut: “Saya lebih fokus pada adat dan kebiasaan nenek moyang dan agama nenek moyang dan tidak tertarik untuk serta didalam proses pemerintahan. Kadang-kadang ada undangan dari pemerintah tetapi tidak ada niat dan kemauan untuk menghadiri undangan tersebut. Pada masa Suharto, lembaga adat hanya dijadikan sebagai umpan untuk memancing simpatisan untuk kemenangan Golkar”23 Pengalaman akan sistem perpolitikan di Indonesia ternyata memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap pola pikir dan tindakan masyarakat terkait dengan partisipasi masyarakat itu sendiri. Sampai saat ini masih ada trauma masa lalu (orde baru) di tengah-tengah masyarakat adat Tana Toraja. Sistem otoriter yang dibangun oleh rejim Soeharto memang tidak memberi peluang bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam menentukan nasib negara kedepan. Pengalaman masa lalu itu meninggalkan 22 23 Pemuka Adat Mandetek Makale Wawancara Tanggal 12 Juli 2012 58 sikap apatis dalam sebagian masyarakat, seperti di Tana Toraja. Masyarakat beranggapan bahwa pelibatan masyarakat dalam proses politik dan pemerintahan hanya untuk memancing suara mereka disaat Pemilu. Meskipun saat ini kondisinya tidak lagi seperti itu. Partisipasi masyarakat memang merupakan suatu syarat penting dalam sebuah sistem demokrasi yang dianut Indonesia saat ini. Keberhasilan dari sistem demokrasi dapat dilihat dari berbagai aspek, dimana salah satunya adalah tinggi rendahnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan. Partisipasi tersebut dapat dilihat dalam berbagai aspek kegiatan politik dan pemerintahan, salah satunya adalah proses pengambilan kebijakan atau pembuatan peraturan daerah. DPRD Tana Toraja tetap berupaya untuk membuat Perda yang partisipatif, meskipun terkadang ada beberapa Lembaga Adat atau Tongkonan yang kurang partisipatif. Bentuk keterlibatan masyarakat adat melalui Lembaga Adat biasa diupayakan oleh DPRD Tana Toraja dengan dua cara yaitu dengan mengundang perwkilan dari Lembaga Adat atau DPRD melakukan kunjungan ke Tongkonan, khususnya pada saat reses. Memang DPRD tidak melibatkan Lembaga Adat dalam semua tahapan pembuatan Perda, melainkan hanya beberapa tahapan saja. Hal tersebut diungkapkan oleh Aris Sampe Kalua24 seperti berikut: 24 Ketua Lembaga Adat Tondon Mamullu (Tongkonan A’pa’) 59 “Lembaga adat terlibat dalam perumusan kebijakan. Disini Lembaga Adat dan tokoh masyarakat dimintai masukan atau saran. Dari saran dan masukan tersebutlah muncul perumusan masalah”25 Ungkapan yang sama juga datang dari pihak DPRD Tana Toraja seperti hasil wawancara penulis dengan Samuel Eban K. Mundi 26 seperti berikut: “Konsultasi publik masuk dalam perumusan pasal dan adopsi kebijakan. DPRD mengadopsi apa yang menjadi masukan dari masyarakat. Apabila masukan dan pendapat mereka dianggap penting, maka saran tersebut dimasukkan dalam Perda”27 Masyarakat memang tidak mungkin dilibatkan dalam semua tahapan pembuatan suatu Perda. Karena ada tahapan yang memang menjadi hak dan kewenangan DPRD sepenuhnya dan ada tahapan yang wajib melibatkan masyarakat atau pihak-pihak lain yang dianggap penting. Jadi bukan hanya masyarakat, tetapi juga terkadang melibatkan pihak akademisi atau ahli terkait dengan permasalahan yang akan diatur dalam rancangan perda tersebut. Masyarakat juga tidak mungkin dilibatkan secara keseluruhan dalam proses pengambilan kebijakan atau pembuatan Perda. Masyarakat yang dimaksud adalah perwakilan atau yang mewakili masyarakat tersebut. 25 Wawancara Tanggal 11 Juli 2012 Wakil Ketua DPRD Tana Toraja Periode 2009-2014 27 Wawancara Tanggal 11 Juli 2012 26 60 Demikian juga dengan Tana Toraja, dimana terdapat ratusan Tongkonan kecil. Tidak semua Tongkonan harus dilibatkan dalam proses pembuatan Perda, melainkan cukup perwakilan dari beberapa Tongkonan. Beberapa Tongkonan kecil di Tana Toraja tergabung dalam satu Tongkonan besar, dan beberapa tongkonan besar juga biasa tergabung dalam satu Lembaga Adat. Oleh karena itu, masyarakat adat cukup diwakili oleh Lembaga Adat atau Tongkonan besar. DPRD Tana Toraja juga telah melakukan penyederhanaan konsep perwakilan Lembaga Adat terkait pelibatannya dalam proses pembuatan perda. Tidak semua Tongkonan diundang atau dilibatkan dalam pembuatan suatu Perda, melainkan hanya beberapa wakil Tongkonan besar atau Lembaga Adat. Hal tersebut diungkapkan oleh Samuel Eban K. Mundi saat wawancara dengan penulis seperti berikut: “Tidak semua tongkonan dipanggil, tetapi hanya perwakilan saja. Mereka diwakili oleh lembaga adat” Hal serupa juga disampaikan oleh Aris Sampe Kalua28 dan Jusuf Kun Massora29 ketika wawancar dengan penulis seperti berikut ini: “Tidak semua tongkonan dipanggil untuk mengikuti proses pembuatan atau perumusan kebijakan. Yang dipanggil hanya Tongkonan yang 28 29 Ketua Lembaga Adat Tondon Mamullu (Tongkonan A’pa’) Koordinator Masyarakat Adat Makale 61 besar saja karena Tongkonan besar ini membawahi banyak Tongkonan kecil”30 (Aris Sampe Kalua) “Tidak semua Tongkonan dilibatkan. Hanya diwakili oleh Tongkonan layuk saja atau tongkonan induk”31 (Jusuf Kun Massora) Konsep perwakilan memang tidak mengamanatkan agar pemerintah melibatkan semua lapisan masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan. Akan tetapi cukup perwakilan daripada masyarakat yang bersangkutan,yang dalam konteks masyarakat adat Tana Toraja adalah Lembaga Adat atau Tongkonan. Hal tersebut karena sistem politik yang dianut oleh negara Indonesia adalah demokrasi modern, bukan demokrai kuno seperti yang pernah diterapkan di zaman yunani kuno. Partisipasi masyarakat melalui Lembaga Adat harus terus ditingkatkan, demi keberhasilan penyelenggaraan sistem politik dan pemerintahan. Dimana kesemuanya memiliki tujuan mendasar yakni untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat serta kemajuan bangsa dan negara kedepan. Upaya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat sudah lebih mudah dilaksanakan, mengingat adanya sambutan dari masyarakat terhadap kondisi politik saat ini dibandingkan dengan kondisi pada era orde lama ataupun era 30 31 Wawancara Tanggal 11 Juli 2010 Wawancara Tanggal 12 Juli 2012 62 orde baru. Hal tersebut dapat dilihat melalui ungkapan Jusuf Kun Massora 32 saat wawancara dengan penulis seperti berikut: “Peran masyarakat pada orde lama dan orde baru masih kurang dalam pembuatan perda, tetapi pada masa reformasi, Lembaga Adat sudah sangat aktif didalam proses pemerintahan. Lembaga Adat tidak berperan aktif pada masa orde lama dan orde baru karena tidak diberi kuasa oleh pemerintah. Pelaksanaan desentralisasi hanya dimulut saja, tetapi implementasinya belum. Berbeda dengan reformasi yang betul-betul memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola daerahnya masing-masing sehingga pemerintah (daerah) merasa perlu untuk memberdayakan masyarakatnya, salah satunya melalui Lembaga Adat”33 Sambutan hangat dari masyarakat merupakan embrio bagi pemerintah untuk membangun sistem politik dan pemerintahan yang lebih efektif dan efisien. Apalagi sistem yang dibangun saat ini adalah otonomi daerah, dimana setiap daerah memiliki kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Peran serta masyarakat semakin dibutuhkan, sebab pemerintah pusat mulai mengurangi campur tangan dalam beberapa aspek. Sehingga pemerintah daerah harus bahu-membahu dengan masyarakat dalam membangun daerah mereka sendiri. Peran serta masyarakat harus diciptakan secara serius, bukan hanya sebagi simbol semata. Peran yang lebih nyata merupakan salah satu 32 33 Kordinator Adat Makale Wawancara Tanmggal 12 Juli 2012 63 harapan masyarakat adat di Tana Toraja dalam rangka penyelenggaraan tata kelola pembangunan daerah. Hal tersebut diungkapkan oleh Aris Sampe Kalua34 saat wawancara dengan penulis seperti berikut: Harapan saya supaya pemerintah daerah, dalam hal ini bupati, DPRD, dan jajarannya, betul-betul memberi peran kepada Lembaga Adat dan pemuka adat didalam pembuatan kebijakan supaya tidak terkesan bahwa Lembaga Adat itu ada sebagai simbol saja. Atau hanya terpajang di papan saja dan tidak ada makna sama sekali, Lembaga Adat hanya muncul di acara adat saja”35 Ungkapan diatas menunjukkan bahwa DPRD belum serius dalam meningkatkan partisipasi masyarakat, melainkan hanya bersifat simbolis dalam rangka memenuhi syarat pembuatan peraturan. Kedepan masyarakat adat di Tana Toraja berharap agar peran yang diberikan adalah peran yang sesungguhnya, bukan hanya untuk memenuhi syarat. Apabila uraian diatas dianalisis dengan pendekatan sistem Gabriel Almond, yang sudah dipakai sejak awal, maka akan terlihat suatu kesesuaian antara teori dan fakta dilapangan. Almond menjelaskan bahwa dalam satu sistem terdapat unit-unit atau sub sistem yang tidak dapat dipisahkan, dimana setiap sub-sub sistem bekerja secara fungsional untuk mencapai tujuan tertentu. DPRD Tana Toraja bekerja sesuai dengan tugas dan 34 35 Ketua Lembaga Adat Tondon Mamullu (Tongkonan A’pa’) Wawancara Tanggal 11 Juli 2012 64 fungsinya yakni membuat peraturan, dalam hal ini membuat Perda. DPRD merupakan salah satu sub sistem yang terdapat dalam satu sistem politik. Lembaga Adat sebagai salah satu sub sistem juga telah menjalankan tugas dan fungsinya. Lembaga adat memiliki peran untuk ikut serta dalam proses pengambilan kebijakan, dalam hal ini pembuatan Perda. Peran tersebut telah dijalankan oleh pengurus Lembaga Adat atau Tongkonan yang ada di Tana Toraja. Lebih rinci peran yang dijalankan lembaga adat adalah ikut membahas rancangan Perda, khususnya yang berkaitan dengan Lembaga Adat. Lembaga Adat memberikan masukan atau kritikan terhadap suatu rancangan Perda pada saat perumusan. Proses tersebut dilakukan dengan cara DPRD mengundang pihak lembaga adat, atau terkadang pihak DPRD yang berkunjung ke Lembaga Adat. Lebih jelasnya hasil penelitian tersebut akan dianalisis dengan teori sistem dari Gabriel almond, yaitu input dalam sistem politik. Input merupakan masukan dari luar lingkungan sistem politik yang terdiri dari dua bagian besar yakni permintaan dan dukungan. Input datang dari kelompok infrastruktur politik, baik itu partai politik, kelompok kepentingan atau kelompok penekan. Lembaga Adat merupakan salah satu kelompok infrastruktur politik, tepatnya kelompok kepentingan. Lembaga Adat atau Tongkonan sebagai salah satu kelompok kepentingan bertugas untuk menampung saran (kritikan atau masukan) dari anggotanya (masyarakat adat) untuk kemudian disampaikan kepada 65 lembaga politik yang berada dalam suprastruktur politik. Lembaga Adat atau Tongkonan telah mewakili masyarakat adat dalam proses pengambilan kebijakan. Lembaga Adat di Tana Toraja memberikan kritikan dan masukan dalam pembuatan suatu Perda kepada DPRD. Jadi, hubungan antara Lembaga Adat atau Tongkonan dengan DPRD di Tana Toraja terjalin pada saat pembuatan Perda, dimana Lembaga Adat memiliki peran untuk memberikan kritikan dan atau masukan terhadap DPRD. Melihat hubungan antara Lembaga Adat dengan DPRD Tana Toraja, berarti telah terjalin relasi antara negara yang diwakili oleh DPRD dengan masyarakat sipil yang diwakili oleh Lembaga Adat. Hanya saja relasi antara masyarakat sipil (Lembaga Adat) dengan negara (DPRD) di Tana Toraja lebih tepat dengan konsep yang dikemukakan oleh Gramsci daripada konsep yang dikemukakan oleh Marx dan Engels. Menurut Marx dan Engels, masyarakat sipil (struktur) lebih berkuasa atas negara (superstruktur)36. Sedangkan Gramsci berpendapat sebaliknya, bahwa superstruktur (negara) tetap lebih berkuasa atas struktur (masyarakat sipil)37. Berkaitan dengan temuan yang terdapat di Tana Toraja, partisipasi masyarakat mengalami perubahan dari masa ke masa, sangat tergantung dengan rejim (negara) yang ada. Pada masa orde baru, masyarakat sipil tidak memiliki peran. Sedangkan pada era reformasi, masyarakat sipil sudah diberikan peran yang 36 Nezar Patria dan Andi Arief, Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 134 37 Nezar Patria dan Andi Arief, Op.Cit, hal. 135 66 cukup penting. Artinya negara (pemerintah) sangat berperan dalam menentukan partisipasi masyarakat, atau dalam bahasa Gramsci bahwa negara berkuasa atas masyarakat sipil ( Hegemoni). Hegemoni yang dimaksud disini adalah pembatasan partisipasi masyarakat sipil dalam pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. 67 BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Pada bagian ini akan diuraikan kesimpulan tentang hubungan Lembaga Adat dengan DPRD dalam pengambilan kebijakan di Tana Toraja. Kesimpulan yang akan diuraikan meliputi peran Lembaga Adat dalam proses pengambilan kebijakan, dalam hal ini pembuatan Perda di Tana Toraja. Setelah melakukan penelitian selama kurang lebih tiga bulan, maka penulis dapat menarik kesimpulan terkait hubungan Lembaga Adat dengan DPRD dalam pengambilan kebijakan di Tana Toraja. Lembaga Adat atau Tongkonan di Tana Toraja sudah memiliki peran dalam proses pengambilan kebijakan, dalam hal ini pembuatan Perda. Peran Lembaga Adat dalam pembuatan Perda sama seperti peran lembaga kemasyarakatan pada umumnya. Lembaga Adat dilibatkan dalam proses pembuatan Perda, khususnya Perda yang berkaitan dengan budaya atau adat masyarakat Tana Toraja. Dalam proses pembuatan Perda, DPRD mengundang pihak Lembaga Adat atau terkadang pihak DPRD berkunjung ke Lembaga Adat yang ada. Pihak DPRD meminta tanggapan, berupa masukan dan kritikan, terhadap rancangan Perda yang akan dibahas. Masukan atau kritikan tersebut diminta pada saat perumusan suatu Perda, sebelum dibahas pada sidang paripurna. 68 Pihak DPRD menjadikan masukan dan atau kritikan tersebut sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun suatu Perda. Hanya saja memang peran Lembaga Adat belum terlalu maksimal dalam proses pembuatan Perda, hal ini disebabkan oleh : 1. Terkadang pihak DPRD belum secara sungguh-sungguh dalam memberikan peran kepada Lembaga Adat. Hal tersebut dapat dilihat dari proses pelibatan Lembaga Adat, dimana hanya pada pembuatan perda yang berhubungan dengan budaya dan adat. Padahal Lembaga Adat merupakan lembaga kemasyarakatan, yang mencakup segala aspek kehidupan. 2. Lembaga Adat juga masih ada yang bersifat apatis. Ada beberapa Lembaga Adat yang tidak bersedia untuk terlibat dalam proses pembuatan Perda akibat trauma pada masa lalu (orde lama dan orde baru). 3. Lembaga Adat kurang berkembang karena banyak diantara pemuka adat yang tidak lagi tertarik untuk mengurusi hal-hal yang berhubungan dengan adat, mereka lebih tertarik untuk terjun kedunia politik dan menjadi pengusaha. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa memang Lembaga Adat di Tana Toraja sudah diberikan peran dalam proses pengambilan kebijakan, dalam hal ini pembuatan Perda. 69 Lembaga Adat di Tana Toraja sudah menjalankan fungsinya dengan baik, tetapi hanya sebagai penginput saja dan tidak terlibat terlalu jauh karena bukan wilayahnya lagi. B. Saran Setelah melakukan penelitian dengan berbagai temuan dilapangan, maka penulis memberikan saran terkait dengan hubungan Lembaga Adat dengan DPRD dalam pengambilan kebijakan di Tana Toraja. Bahwa diharapkan kedepan DPRD Tana Toraja dalam membuat setiap peraturan harus lebih partisipatif. Peran yang diberikan juga harus secara sungguh-sungguh, bukan hanya sekedar untuk memenuhi persyaratan pembuatan peraturan. Selain itu, masyarakat juga harus lebih terbuka dengan sistem yang ada saat ini. Artinya tidak boleh terlalu mengingat sistem yang ada di masa lalu, sehingga akhirnya bersifat apatis. Dengan demikian, setiap peraturan atau kebijakan yang dibuat akan berhasil dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah Tana Toraja kedepan. Selain itu keberadaan Lembaga Adat juga tidak hanya digunakan sebagai sarana budaya saja atau sebagai sarana untuk menjaring suara saat pemilu tetapi diharapkan Lembaga Adat betul-betul difungsikan sebagai wadah untuk menampung aspirasi dari masyarakat. 70 DAFTAR PUSTAKA Agustino, Leo. 2011. Sisi Gelap Otonomi Daerah. Widya Padjadjaran. Bandung Gabriel, Almond. 1990. Budaya Politik. Bumi Aksara : Jakarta. Aswanto, Mariattang. 2007. Tata Tertib DPRD Untuk Parlemen Yang Amanah. Komite Pemantau Legislatif: Makassar Chilcote, Ronald H. 2003. Teori Perbandingan Politik : Penelusuran Paradigma. PT Rajagrafindo Persada: Jakarta Halim, Hamzah dan Kemal Redindo Syahrul Putera. 2010. Cara Praktis Menyusun dan Merancang Peraturan Daerah: Suatu Kajian Teoritis dan Praktis disertai Manual. Prenada Media Group: Jakarta Irawan, Prasetya. 2006. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif untuk IlmuIlmu Sosial. Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI: Depok. Marbun, B.N. 1994. DPRD: Pertumbuhan, Masalah dan Masa Depannya. Erlangga: Jakarta Moleong, Lexy. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya: Bandung Patria Nezar dan Andi Arief. 2003. Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni. Pustaka Pelajar: Yogyakarta Subarsono. 2010. Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan Aplikasi. Pustaka Pelajar: Yogyakarta Sumaryadi, I Nyoman. 2006. Pemberdayaan Lembaga Adat: Bali Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta : Grasindo Tim Lapera. 2000. Otonomi Versi Negara. Lapera Pustaka Utama: Yogyakarta Tim Penyusun PUSLIT IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2000. Pendidikan Kewargaan: Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani. IAIN Jakarta Press: Jakarta 71 Wasistiono, Sadu dan Yonatan Wiyoso. 2009. Meningkatkan Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Fokusmedia: Bandung Zuhro, Siti. Eko Prasojo. 2010. Kisruh Peraturan Daerah: Mengurai Masalah dan Solusinya. Penerbit Ombak: Yogyakarta Sumber – sumber lain: http://massofa.wordpress.com/2008/11/17/fungsi-artikulasi-kepentingan/ (Diakses pada tanggal 26 Juli 2012) 72