View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
HUBUNGAN LEMBAGA ADAT DENGAN DPRD
DALAM PENGAMBILAN KEBIJAKAN
DI KABUPATEN TANA TORAJA
SKRIPSI
Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana
Pada Program Studi Ilmu Politik
Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan
Oleh :
HASNI RABBI
E 111 07 036
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
JURUSAN ILMU POLITIK DAN PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012
i
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul ...........................................................................................
i
Halaman Pengesahan ................................................................................
ii
Kata Pengantar...........................................................................................
iii
Daftar Isi ..................................................................................................... iv
Abstrak ....................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah....................................................................
1
B. Rumusan Masalah ............................................................................
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian..........................................................
6
1. Tujuan Penelitian .........................................................................
6
2. Manfaat Penelitian .......................................................................
6
2.1 Manfaat Teoritis ...................................................................
6
2.2 Manfaat Praktis ....................................................................
7
BAB II KERANGKA KONSEPTUAL
A. Teori Sistem Gabriel Almond ............................................................
8
B. Input dalam Sistem Politik ................................................................. 12
C. Lembaga Adat ................................................................................... 18
D. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah .................................................... 27
E. Relasi Negara dan Masyarakat ......................................................... 30
F. Kerangka Pikir ................................................................................... 37
ii
BAB III METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian ............................................................................... 39
B. Tipe dan Dasar Penelitian ................................................................. 39
C. Jenis Data ......................................................................................... 40
D. Teknik Pengumpulan Data ................................................................ 40
1. Wawancara / Interview................................................................. 40
2. Studi Literatur .............................................................................. 41
E. Teknik Analisis Data .......................................................................... 41
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Sekilas Tentang Tana Toraja ............................................................ 43
B. Tongkonan dan Lembaga Adat di Tana Toraja ................................. 48
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Peran Lembaga Adat dalam Proses Pengambilan Kebijakan di Tana
Toraja ................................................................................................ 51
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................... 68
B. Saran .................................................................................................. 70
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 71
iii
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul ”Hubungan Lembaga Adat Dengan DPRD Dalam
Pengambilan Kebijakan Di Kabupaten Tana Toraja” yang disusun oleh
Hasni Rabbi ( E111 07 036), Program Studi Ilmu Politik dibawah
bimbingan
Dr. Gustiana A. Kambo, S.Ip, M.Si dan A.
Naharuddin, S.Ip, M.Si
Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Lokasi
penelitian di Kabupaten Tana Toraja dengan fokus penelitian tentang
bagaimana peran Lembaga Adat dalam proses pengambilan kebijakan di
Kabupaten Tana Toraja. Objek penelitian adalah anggota DPRD dan anggota
Lembaga Adat Tana Toraja.
Hasil penelitian memberikan gambaran bahwa peran Lembaga Adat
dalam proses pembuatan kebijakan di Tana Toraja di era demokrasi modern
ini ternyata semakin baik. Lembaga Adat memiliki peran dalam pengambilan
kebijakan, sama halnya dengan lembaga kemasyarakatan lainnya. DPRD
Tana Toraja sebagai pembuat kebijakan atau pembuat Perda kerap
melibatkan Lembaga Adat dalam proses pembuatan Perda. Namun tidak
semua Perda yang dibuat oleh DPRD melibatkan Lembaga Adat, akan tetapi
hanya rancangan Perda yang berkaitan dengan adat atau budaya
masyarakat. Proses pelibatan Lembaga Adat juga tidak mutlak pada semua
tahapan pembuatan Perda, namun hanya pada tahapan perumusan
masalah. Pada tahap tersebut Lembaga Adat diundang untuk membahas
rancangan peraturan atau DPRD berkunjung pada saat reses. Demikianlah
hubungan antara Lembaga Adat dengan DPRD dalam pengambilan
kebijakan.
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berakhirnya rejim otoriter pemerintahan orde baru telah membawa
banyak perubahan dalam sistem politik dan pemerintahan di Indonesia.
Rezim otoriter yang berubah menjadi sistem demokratis berupaya untuk
menciptakan sistem dan pelayanan yang efektif dan efisien. Efektifitas dan
efisiensi pelayanan publik diupayakan oleh pemerintah melalui perubahan
sistem pemerintahan dari sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi.
Lahirnya sistem desentralisasi menyebabkan tata kelola pemerintahan
diserahkan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan azas desentralisasi.
Berlakunya desentralisasi, prakarsa pembangunan daerah sepenuhnya
diserahkan kepada daerah, baik yang menyangkut penentuan kebijakan,
perencanaan,
pelaksanaan,
maupun
yang
menyangkut
segi-segi
pembiayaannya adalah perangkat daerah tersebut.1
Sistem desentralisasi diterjemahkan secara lebih jelas dalam UU No.
22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Kewenangan pemerintah
pusat telah dilimpahkan kepada pemerintah daerah melalui UU No. 22 Tahun
1999 tersebut. Pemerintah daerah diberikan wewenang untuk mengatur
1
B N Marbun, DPRD: Pertumbuhan, Masalah dan Masa Depannya (Jakarta: Erlangga,
1994), hal. 7
1
rumah tangganya sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing. Namun
pemerintah pusat belum memberikan kewenangan secara mutlak terhadap
pemerintah daerah. Masih ada enam masalah yang kewenangannya tetap
pada pemerintah pusat. Keenam masalah tersebut ialah politik luar negeri,
moneter dan fiscal nasional, agama, pertahanan, keamanan, dan yudisial.
Seiring dengan perkembangan kebutuhan daerah, peraturan atau
undang-undang tentang otonomi pun dikembangkan kearah yang lebih baik.
Undang-undang
No.
22
Tahun
1999
akhirnya
diperbaharui
atau
disempurnakan menjadi Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah. Terdapat beberapa aspek yang berubah menjadi lebih
kompelks dan rinci, namun ada juga yang tidak berubah. Misalkan saja, hak
atau kewenangan daerah untuk membuat kebijakan yang dianggap penting
atau Peraturan Daerah (Perda).
Peraturan daerah dibuat oleh DPRD dan kemudian diimplementasikan
oleh pemerintah daerah. Inisiatif pembuatan Perda tidak selamanya datang
dari DPRD, namun terkadang juga datang dari pihak pemerintah daerah.
Perda dibuat dengan memperhatikan berbagai aspirasi dari semua pihak
termasuk masyarakat. Namun aspirasi dari masyarakat tidak diminta secara
langsung kepada semua lapisan masyarakat. Biasanya aspirasi masyarakat
ditampung melalui organisasi kemasyarakatan yang ada di daerah tersebut.
Tana Toraja merupakan salah satu daerah yang ikut menerapkan
sistem desentralisasi atau lebih tepatnya otonomi daerah. Sebagai
2
implikasinya
adalah kesejahteraaan masyarakat menjadi tanggungjawab
utama pemerintah daerah yang diupayakan melalui program-program yang
diatur dalam peraturan daerah. Berbagai macam peraturan daerah dibuat
oleh DPRD Tana Toraja guna menciptakan kesejahteraan masyarakat Tana
Toraja. Banyak Perda yang sudah dibuat oleh DPRD Tana Toraja. Tetapi
didalam pembuatan perda tersebut apakah pemerintah memperhatikan
aspirasi dari masyarakatnya atau tidak, hal tersebut belum dapat dipastikan
sebelum adanya penelitian lebih lanjut.
Tana Toraja menarik dijadikan sebagai lokus penelitian karena
memiliki keunikan yang kemungkinan tidak dimiliki oleh daerah lain. Saat
menyampaikan
aspirasi
terhadap
pemerintah,
masyarakat
biasanya
menggabungkan diri dalam suatu lembaga kemasyarakatan seperti LSM dan
kelompok pekerja seperti kelompok petani, buruh atau nelayan. Namun di
Tana Toraja tidaklah demikian, masyarakat secara umum tergabung dalam
sebuah Lembaga Adat. Lembaga Adat di Tana Toraja merupakan lembaga
besar yang terdiri dari beberapa lembaga kekeluargaan yang disebut dengan
Tongkonan. Lembaga kemasyarakatan secara umum (biasa disebut LSM)
merupakan kumpulan beberapa orang atau kelompok yang memiliki satu
ideologi atau tujuan, sedangkan Tongkonan merupakan kumpulan beberapa
orang yang masih satu keluarga atau keturunan dekat. Tongkonan berarti
tempat
penguasa
menyelesaikan
adat
untuk
masalah-masalah
mendengarkan,
membicarakan,
penting
membina
dalam
dan
persatuan
3
kehidupan dan harta warisan keluarga menurut tradisi masyarakat Tana
Toraja. Tongkonan sangat berperan dan berfungsi membentuk kepribadian,
tradisi dan budaya dengan dasar kesatuan kekeluargaan dan gotong royong
dalam hidup dan kehidupan sosial ekonomi dan budaya. Karena Tongkonan
terdiri dari kumpulan orang-orang yang masih satu keluarga atau keturunan,
jadi terdapat cukup banyak Tongkonan di Tana Toraja yang kesemuanya
tergabung dalam Lembaga Adat. Meskipun berasal dari tongkonan yang
berbeda, namun tetap terikat dalam Sang Torayaan yang digelar To Sang
Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo.
Lembaga adat dalam masyarakat Toraja secara umum berperan
sebagai suatu wadah bagi masyarakat adat itu sendiri dimana mereka
bertugas sebagai pengayom masyarakatnya. Secara khusus, lembaga adat
Toraja menjadi suatu media penyelesaian masalah maupun konflik yang
terjadi dalam masyarakat. Seperti halnya pada permasalahan persengketaan
lahan pertanian maupun intervensi yang dilakukan oleh pihak luar terhadap
masyarakat adat. Pada awalnya, lembaga adat memang memiliki peran yang
besar dalam beberapa aspek didalam masyarakat. Seperti halnya aspek
pertanian, lingkungan, hukum, bahkan norma-norma atau ritus-ritus seperti
halnya dalam upacara-upacara adat yang ada di Toraja baik pada acara
Rambu Tuka’ maupun Rambu Solo’. Karena peran lembaga adat yang
dianggap penting didalam keberlangsungan hidup bermasyarakat sehingga
lembaga adat juga diikutsertakan dalam proses pemerintahan seperti pada
4
saat proses pembuatan suatu kebijakan atau perda tertentu, misalnya
pembuatan Perda Pajak Potong Hewan.
Keikutsertaan Lembaga Adat dalam proses pengambilan kebijakan
memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk meyampaikan aspirasi
mereka kepada pemerintah tentang segala kebutuhan dan kepentingan
mereka.
Partisipasi Lembaga Adat dalam proses pengambilan kebijakan yang
dilakukan oleh DPRD, dianggap penting karena Lembaga Adat ini merupakan
lembaga kemasyarakatan yang memiliki kedekatan emosional dengan
masyarakat sehingga lembaga adat dianggap lebih tahu tentang apa yang
menjadi kebutuhan masyarakatnya. Oleh sebab itu, penulis ingin melihat
bagaimana peran dari Lembaga Adat didalam proses pengambilan kebijakan
yang dilakukan oleh pemerintah (dalam hal ini DPRD) apakah terjadi
dominasi dari negara atau mereka diberikan kesempatan untuk ikut serta
dalam proses pengambilan kebijakan. Hal inilah yang menjadi titik fokus
permasalahan yang akan diteliti dan dikaji oleh penulis.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk
memahami dan melakukan penelitian mengenai:
“Hubungan Lembaga Adat Dengan DPRD
Dalam Pengambilan Kebijakan di Tana Toraja”
5
B. Rumusan Masalah
Mengingat betapa kompleksnya masalah yang akan diteliti mengenai
hubungan Lembaga Adat dengan DPRD dalam pengambilan kebijakan,
terlebih dalam pembuatan Perda, maka penulis membatasinya pada
persoalan sebagai berikut :
Bagaimana peran Lembaga Adat dalam proses pengambilan kebijakan di
Tana Toraja?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Untuk menggambarkan peran Lembaga Adat dalam pengambilan
kebijakan di Tana Toraja
2. Manfaat Penelitian
2.1. Manfaat Teoritis
a. Mengidentifikasi fenomena politik yang terkait dengan masalah
pengambilan kebijakan.
b. Menunjukkan mengenai hubungan Lembaga Adat dengan DPRD
dalam Pengambilan Kebijakan secara ilmiah.
c. Dalam wilayah akademis, memperkaya khasanah kajian ilmu politik
untuk perkembangan keilmuan, khususnya politik kontemporer.
6
2.2. Manfaat Praktis
a. Untuk memberikan bahan rujukan kepada masyarakat yang
berminat dalam memahami realitas pengambilan kebijakan di Tana
Toraja.
b. Untuk memberikan informasi kepada praktisi dalam memahami
realitas pengambilan kebijakan.
7
BAB II
KERANGKA KONSEPTUAL
A. Teori Sistem Gabriel Almond
Sistem memiliki pengertian kesatuan unit-unit yang tidak dapat
dipisahkan dan sub-sub sistemnya bekerja secara fungsional untuk mencapai
tujuan tertentu. Politik berasal dari bahasa Latin “Polis” yang berarti kota.
Politik memiliki arti suatu kegiatan berkaitan dengan negara, kekuasaan,
kebijakan, serta pembagian kekuasaan.
Perbandingan sistem politik, dalam pengertian yang paling sederhana,
merupakan suatu metode studi dan penelitian di mana politik dan lembagalembaga politik dari dua negara atau lebih diperbandingkan. Metode ini
menaruh perhatian pada analisa kandungan dari sistem politik yang hampir
sama dan diperbandingkan dalam rangka menemukan solusi guna menjawab
berbagai masalah politik. Hal ini juga merupakan teknik dan kemahiran
khusus dimana beberapa hal tertentu dapat diperoleh dengan mengamati
serta memperbandingkan satu dengan lainnya. Sehingga dapat dikatakan
“Perbandingan sistem politik mencoba untuk melukiskan apa yang sama dan
apa yang berbeda dalam sistem politik atau untuk mencari inti kesamaan dari
seluruh sistem politik”. Secara umum yang dibandingkan dalam sistem politik
adalah bentuk yang lebih mengarah pada struktur lembaga politik dan
pelaksanaan fungsi-fungsi lembaga politik.
8
Di tahun 1970-an, ilmuwan politik Gabriel Almond dan Bingham Powell
memperkenalkan pendekatan struktural-fungsional untuk membandingkan
sistem politik (comparative politics). Mereka berargumen bahwa memahami
suatu sistem politik,
tidak hanya melalui institusinya (atau struktur) saja,
melainkan juga fungsi mereka masing-masing. Keduanya juga menekankan
bahwa institusi-institusi tersebut harus ditempatkan ke dalam konteks historis
yang bermakna dan bergerak dinamis, agar pemahaman dapat lebih jelas.
Ide ini berseberangan dengan pendekatan yang muncul dalam lingkup
perbandingan politik seperti: teori negara-masyarakat dan teori dependensi.
Almond (1999) mendefinisikan sistem sebagai suatu obyek, memiliki
bagian yang dapat digerakkan, berinteraksi di dalam suatu lingkungan
dengan batas tertentu. Sedangkan sistem politik merupakan suatu kumpulan
institusi dan
lembaga
yang berkecimpung dalam
merumuskan
dan
melaksanakan tujuan bersama masyarakat ataupun kelompok di dalamnya.
Pemerintah atau negara merupakan bagian dari pembuat kebijakan dalam
sistem politik.
Teori ini merupakan turunan dari teori sistem Easton dalam konteks
hubungan internasional. Artinya pendekatan struktural-fungsional merupakan
suatu pandangan mekanis yang melihat seluruh sistem politik sama
pentingnya, yaitu sebagai subyek dari hukum “stimulus dan respon” yang
sama atau input dan output.
Pandangan ini juga memberikan perhatian
cukup terhadap karakteristik unik dari sistem itu sendiri.
9
Pendekatan struktural-fungsional sistem disusun dari beberapa
komponen kunci, termasuk kelompok kepentingan, partai politik, lembaga
eksekutif, legislatif, birokrasi, dan peradilan. Menurut Almond, hampir seluruh
negara di zaman moderen ini memiliki keenam macam struktur politik
tersebut. Selain struktur, Almond memperlihatkan bahwa sistem politik terdiri
dari berbagai fungsi, seperti sosialisasi dan rekruitmen politik, artikulasi
kepentingan, penggabungan kepentingan, dan komunikasi politik.
Menurut sistem politik Almond, kedudukan pemerintah sangat vital,
mulai dari membangun dan mengoperasikan sistem pendidikan, menjaga
keamanan dan ketertiban masyarakat, sampai terjun dalam peperangan.
Untuk melaksanakan tugas tersebut, pemerintah memiliki lembaga-lembaga
khusus yang disebut struktur, seperti parlemen, birokrasi, lembaga
administratif, dan pengadilan, yang melakukan fungsi khusus pula, sehingga
pemerintah
dapat dengan
leluasa merumuskan, melaksanakan,
dan
menegakkan kebijakan.
Sistem disini dapat diartikan sebagai suatu konsep ekologis yang
menunjukkan adanya proses interaksi antara organ tertentu dengan
masyarakat politik ataupun lingkungannya. Dalam hubungan interaksi, tentu
terdapat
hubungan
saling
mempengaruhi
dalam
menentukan
suatu
kebijakan, seperti aspirasi masyarakat yang disuarakan sebagai tuntutan
politik, sehingga dapat mempengaruhi proses pembuatan kebijakan. Almond
bukan saja bersandar konsep institusi, organisasi, atau kelompok melainkan
10
menekankan pada peran dan struktur. Akan tetapi struktur tersebut tidak
banyak membantu dalam memperbandingkan antara sistem politik yang satu
terhadap sistem politik yang lainnya terkecuali struktur politik tersebut
berjalan beriringan dengan fungsi dari sistem politik itu sendiri, atau dengan
lain kata struktur dapat efektif dan tertata sejauh fungsinya sesuai dengan
sistem politik yang ada.
Apabila
kita
bisa
mengetahui
bagaimana
bekerjanya
suatu
keseluruhan sistem, dan bagaimana lembaga-lembaga politik yang terstruktur
dapat menjalankan fungsi barulah analisa perbandingan politik dapat memiliki
arti.
Menurut Almond sistem politik memiliki ciri yang universal yakni:2
1. Semua sistem politik memiliki struktur politik.
2. Fungsi-fungsi yang sama muncul dalam setiap sistem politik.
3. Seluruh struktur politik adalah multifungsional.
4. Seluruh sistem politik bercampur dengan pengertian budaya.
Dalam pendekatan sistem politik, masyarakat adalah konsep induk
oleh sebab sistem politik hanya merupakan salah satu dari sistem-sistem lain
yang ada di masyarakat seperti sistem ekonomi, sistem agama, dan sistem
sosial-budaya. Sistem politik sendiri merupakan abstraksi (realitas yang
diangkat ke alam konsep) dari kondisi real kondisi perpolitikan di suatu
Ronald H. Chilcote, Teori Perbandingan Politik “Penelusuran Paradigma” (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2003), hal.221
2
11
masyarakat. Suatu masyarakat tidak hanya terdiri atas satu sistem (misalnya
sistem politik saja), melainkan terdiri atas multi sistem.
B. Input Dalam Sistem Politik
Masukan atau input dalam sistem politik berasal dari lingkungan yang
terbuka berupa permintaan (demands) dan dukungan ( support). Lingkungan
(environment) terdiri dari semua kondisi dan kejadian luar sampai pada batas
sistem politik. Permintaan adalah klaim yang dibuat seseorang dan kelompok
dalam sistem politik untuk bertindak supaya dapat memenuhi keinginannya.
Dukungan diberikan ketika suatu kelompok dan masing-masing orang
mematuhi hasil pemilu, membayar pajak, mematuhi hukum, dan menerima
keputusan serta tindakan sistem politik yang berkuasa yang dibuat sebagai
reaksi dari permintaan.3
Menurut Almond fungsi input terdiri dari empat4 yaitu: Sosialisasi dan
perekrutan politik, Artikulasi Kepentingan, Agregasi Kepentingan, dan
Komunikasi Politik. Namun tidak akan semua diuraikan dalam bagian ini,
melainkan hanya satu saja, yang memang paling erat kaitannya. Fungsi yang
akan diuraikan tersebut ialah fungsi Artikulasi Kepentingan.
Leo Agustino, Perihal Ilmu Politik: “Sebuah Bahasan Memahami Ilmu Politik” (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2007), Hal.171
4 Op.Cid. Ronald H. Chilcote, Teori Perbandingan Politik “Penelusuran Paradigma” (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2003), hal.222-223
3
12
Fungsi Artikulasi Kepentingan
Artikulasi Kepentingan adalah suatu proses penginputan berbagai
kebutuhan, tuntutan dan kepentingan melalui wakil-wakil kelompok yang
masuk dalam lembaga legislatif, agar kepentingan, tuntutan dan kebutuhan
kelompoknya
dapat
terwakili
dan
terlindungi
dalam
kebijaksanaan
pemerintah. Pemerintah dalam mengeluarkan suatu keputusan dapat bersifat
menolong masyarakat dan bisa pula dinilai sebagai kebijaksanaan yang
justru menyulitkan masyarakat. Oleh karena itu warga negara atau setidaktidaknya wakil dari suatu kelompok harus berjuang untuk mengangkat
kepentingan dan tuntutan kelompoknya, agar dapat dimasukkan ke dalam
agenda kebijaksanaan negara. Wakil kelompok yang mungkin gagal dalam
melindungi kepentingan kelompoknya akan dianggap menggabungkan
kepentingan kelompok, dengan demikian keputusan atau kebijaksanaan
tersebut dianggap merugikan kepentingan kelompoknya.
Bentuk artikulasi yang paling umum di semua sistem politik adalah
pengajuan permohonan secara individual kepada para anggota dewan
(legislatif), atau kepada Kepala Daerah, Kepala Desa, dan seterusnya.
Kelompok kepentingan yang ada untuk lebih mengefektifkan tuntutan dan
kepentingan kelompoknya, mengelompokkan kepentingan, kebutuhan dan
tuntutan kemudian menyeleksi sampai di mana hal tersebut bersentuhan
dengan kelompok yang diwakilinya.
13
Artikulasi kepentingan sudah ada sepanjang sejarah dan kelompok
kepentingan
akan
semakin
tumbuh
seiring
semakin
bertambahnya
kepentingan manusia, jadi kelompok kepentingan hanya ingin mempengaruhi
pembuatan keputusan dari luar, sedangkan partai politik dari dalam. Berbagai
macam kepentingan dapat kita temukan pada setiap masyarakat di manapun
mereka
berada.
Kepentingan-kepentingan
tersebut
pada
hakekatnya
merupakan kebutuhan-kebutuhan dari masyarakat yang bersangkutan.
Cara yang ditempuh oleh suatu masyarakat untuk dapat memenuhi
kepentingan
mereka
adalah
dengan
mengartikulasikan
kepentingan-
kepentingan tersebut kepada badan-badan politik atau pemerintah yang
berwenang untuk membuat sebuah keputusan atau sebuah kebijakan.
Kepentingan-kepentingan masyarakat tersebut diartikulasikan oleh
berbagai lembaga, badan atau kelompok dengan berbagai macam cara.
Lembaga-lembaga,
badan-badan
ataupun
kelompok-kelompok
yang
mengartikulasikan kepentingan-kepentingan masyarakat tadi dibentuk oleh
pihak swasta (masyarakat sendiri) maupun yang dibentuk oleh pihak
pemerintah, yang perlu diperhatian di dalam hal ini adalah fungsi yang
dilakukan oleh lembaga-lembaga, badan-badan atau kelompok-kelompok
didalam mengartikulasikan kepentingan-kepentingan yang terdapat didalam
masyarakat.
Fungsi artikulasi kepentingan ini biasanya dilakukan oleh struktur yang
disebut dengan Interest Group atau kelompok kepentingan. Contohnya: Di
14
Inggris, Partai Konservatif harus bersaing dengan Partai Buruh dan Liberal
dalam memperoleh dukungan dari berbagai kelompok kepentingan di
negaranya. Dalam usaha memenangkan persaingan, partai konservatif
mengundang kelompok-kelompok ekonomi, regional, atau lokal untuk
menyatakan keinginan mereka dan untuk ikut mempengaruhi kebijakan
Partai Konservatif melalui kegiatan-kegiatan perkumpulan masyarakat dan
konferensi tahunan partai dan dalam komite-komite Partai Konservatif yang
ada dalam parlemen. Partai Konservatif bisa melakukan tawar-menawar
dengan kelompok-kelompok kepentingan itu tetapi tidak bisa menguasainya.
Seperti disebut diatas bahwa artikulasi kepentingan itu dilakukan oleh
interest group. Interest group pada awalnya menampung kepentingankepentingan yang diajukan masyarakat. Kemudian kelompok-kelompok
kepentingan itu membuat rumusan untuk kepentingan-kepentingan tersebut.
Kemudian disampaikan kepada badan-badan politik maupun pemerintah
yang berwenang untuk membuat sebuah kebijakan, dan diharapkan akan
memperoleh tanggapan yang mungkin sekali dapat berwujud sebuah
kebijakan
yang
memungkinkan
terpenuhinya
kepentingan-kepentingan
masyarakat tadi.
Mengenai kelompok kepentingan, pada umumnya dapat dibedakan
menjadi empat jenis, yaitu:
1. Kelompok kepentingan anomic
2. Kelompok kepentingan non assosiasional
15
3. Kelompok kepentingan institusional
4. Kelompok kepentingan assosiasional
Artikulasi kepentingan secara umum adalah merupakan artikulasi dari
kepentingan-kepentingan yang dirumuskan secara jelas, sedangkan artikulasi
kepentingan secara bahasa dapat menyatakan kepentingan-kepentingannya
dengan menunjukan perasaan atau tingkah lakunya yang dapat diketahui dan
kemudian ditransmisikan kedalam sistem politik. Jadi perbedaan antara
artikulasi kepentingan secara umum dan secara bahasa terletak pada
perumusan kepentingan-kepentingan itu sendiri dan cara penyampaiannya.
Pada
artikulasi
kepentingan
secara
umum,
kepentingan-kepentingan
dirumuskan secara jelas dan kemudian ditransmisikan secara tegas kedalam
sistem
politik.
Sedangkan
artikulasi
kepentingan
secara
bahasa,
kepentingan-kepentingan tidak dinyatakan secara tegas dan jelas. Apabila
disuatu masyarakat atau negara terdapat lebih banyak artikulasi kepentingan
secara bahasa, maka hal ini akan membawa akibat yang menyulitkan bagi
para elite untuk menafsirkan kepentingan-kepentingan atau tuntutan-tuntutan
masyarakat secara akurat atau sesuai dengan apa yang diinginkan oleh
rakyat.
Gaya yang penting lainnya dari artikulasi kepentingan adalah tingkat
kekhususan
dari
kepentingan-kepentingan
atau
tuntutan-tuntutan
masyarakat. Didalam suatu masyarakat atau negara kadang tuntutantuntutan dikemukakan tanpa memberikan keterangan yang jelas tentang apa
16
yang
dia
kemukakan.
Masyarakat
kadang-kadang
menunjukan
rasa
ketidakpuasan, tetapi mereka tidak menunjukan cara-cara bagaimana
perbaikannya.
Kepentingan-kepentingan atau tuntutan-tuntutan masyarakat juga dapat
dipartikulasikan atau dinyatakan secara umum maupun secara khusus.
Sebagai contoh, kepentingan atau tuntutan masyarakat yang dinyatakan
secara umum adalah tuntutan kepada orang-orang kaya untuk dikenakan
pajak yang tinggi. Jadi kepentingan atau tuntutan yang dipartikulasikan atau
dinyatakan secara umum ini menunjukan kepada tuntutan orang banyak atau
sekelompok besar warga
masyarakat. Sedangkan
contoh mengenai
kepentingan atau tuntutan yang dinyatakan secara khusus adalah tuntutan
seseorang tertentu atau suatu keluarga tertentu untuk diberikan pengecualian
yang menyangkut masalah pengaturan imigrasi. Jadi ini dapatlah dinyatakan
menunjukan kepada kepentingan atau tuntutan perseorangan atau kelompok
kecil tertentu saja. Selain tingkat kekhususan gaya daripada artikulasi
kepentingan ini juga dapat dibedakan menurut sifat dari kepentingankepentingan atau tuntutan-tuntutan.
17
C. Lembaga Adat
1. Konsep Lembaga Adat
Lembaga Adat adalah sebuah organisasi kemasyarakatan, baik yang
disengaja
dibentuk maupun
yang
secara
wajar
telah
tumbuh
dan
berkembang didalam sejarah masyarakat yang bersangkutan. Atau dalam
suatu masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah hukum dan hak atas
kekayaan didalam wilayah hukum adat tersebut. Lembaga Adat memiliki hak
dan wewenang untuk mengatur, mengurus, dan menyelesaikan berbagai
permasalahan kehidupan yang berkaitan dengan mengacu pada adat istiadat
dan hukum adat yang berlaku.
Menurut konvensi ILO (organisasi buruh internasional) No. 169 Tahun
1986 dinyatakan bahwa “Bangsa, suku, dan masyarakat adat adalah
sekelompok orang yang memiliki jejak sejarah dengan masyarakat sebelum
masa invasi dan penjajahan, yang berkembang di daerah mereka,
menganggap diri mereka beda dengan komunitas lain yang sekarang berada
di daerah mereka atau bukan bagian dari komunitas tersebut. Mereka bukan
merupakan bagian yang dominan dari masyarakat dan bertekad untuk
memelihara, mengembangkan, dan mewariskan daerah leluhur dan identitas
etnik mereka kepada generasi selanjutnya: sebagai dasar bagi kelangsungan
keberadaan mereka sebagai suatu suku, sesuai dengan pola budaya,
lembaga sosial dan sistem hukum mereka.”
18
Menurut Jaringan Pembelaan Hak-Hak Masyarakat Adat (JAPHAMA)
yang dirumuskan di Tana Toraja pada Tahun 1993: “Kelompok masyarakat
yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun-temurun) di wilayah geografis
tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, politik, sosial, dan budaya
sendiri.”
Selama ini para perencana dan pelaksana pembangunan di Indonesia
menganggap nilai-nilai budaya adat sebagai keterbelakangan. Bertolak dari
anggapan
tersebut,
berkembanglah
sebuah
pemahaman
mengenai
pentingnya dilakukan perubahan sosial budaya. Perubahan yang dimaksud
adalah pencabutan nilai-nilai tradisional yang kemudian digantikan dengan
nilai-nilai lain, dalam hal ini “nilai-nilai barat”, agar tujuan pembangunan yakni
kesejahteraan masyarakat dapat dicapai.
Pencabutan nilai-nilai tradisional itu dilakukan melalui berbagai produk
peraturan, perunddang-undangan, dan kebijakan lainnya. Produk-produk
hukum itu bersifat sentralistik dan seragam. Misalnya Undang-undang No.5
Tahun 1979, mengubah sistem wilayah kekuasaan dan kekayaan adat
menjadi
bentuk
pemerintahan
desa.
Aturan
tersebut
menjadi
awal
disfungsinya pemerintahan adat. Disfungsi itu kemudian menyebabkan
terpisahnya tokoh dikalangan masyarakat adat. Kepala desa menjadi
penguasa tunggal yang memperhatikan kepentingan pemerintah diatasnya,
Ia bertindak berdasarkan otoritas legal formal. Dipihak lain, ada kepala adat
19
yang merupakan penguasa wilayah persekutuan masyarakat adat yang
memerintah berdasarkan otoritas informal yang diberikan masyarakat.
Buntut dari dualisme kepemimpinan tersebut adalah tersingkirnya
kepala adat dari sistem pemerintahan desa. Kepala adat hanya diberikan
kepercayaan untuk mengatur pelaksanaan upacara adat. Hal tersebut bukan
bukti atas penghormatan dari masyarakat adat, melainkan hanya untuk
kepentingan komoditi pariwisata semata. Oleh karena proses marjinalisasi
adat itu berkaitan dengan faktor-faktor struktural. Dengan menghapus
marjinalisasi menjadi demokratisasi dan menggantikan sentralisasi menjadi
desentralisasi.
2. Peranan Lembaga Adat Dalam Otonomi Daerah
Dalam implementasi otonomi daerah, idealnya lembaga adat dapat
memiliki kontribusi sebagai komponen masyarakat yang ada di daerah.
Peranan yang dimaksud disini adalah tentang apa yang dapat dilakukan
Lembaga
Adat
dalam
kehidupan
masyarakat
sebagai
organisasi
wadah
organisasi
kemasyarakatan.
Lembaga
Adat
berkedudukan
sebagai
permusyawaratan atau permufakatan para pengurus adat, pemuka adat atau
masyarakat yang berada diluar susunan organisasi pemerintahan. Adapun
tugas Lembaga Adat5 adalah sebagai berikut:
5
PERMENDAGRI No. 3 Tahun 1997
20
a. Menampung
dan
menyalurkan
pendapat
masyarakat
kepada
pemerintah serta menyelesaikan perselisihan yang menyangkut
hukum adat, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat.
b. Memberdayakan, melestarikan, dan mengembangkan adat istiadat
dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam rangka memperkaya
budaya daerah serta memberdayakan masyarakat dalam menunjang
penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan
pembinaan kemasyarakatan.
c. Menciptakan hubungan yang demokratis dan harmonis serta objektif
antara kepala daerah/pemangku adat/tetua adat dan pimpinan atau
pemuka adat dengan aparat pemerintah di daerah.
Selanjutnya Lembaga Adat memiliki hak dan wewenang sebagai berikut:
a. Mewakili
masyarakat adat
keluar, dalam
hal ini menyangkut
kepentingan dan mempengaruhi adat.
b. Mengelola hak-hak adat dan/atau harta kekayaan adat untuk
meningkatkan kemajuan dan taraf hidup masyarakat ke arah hidup
yang lebih baik.
c. Menyelesaikan perselisihan yang menyangkut perkara adat istiadat
dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat sepanjang penyelesaian itu
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
21
Kemudian Lembaga Adat berkewajiban untuk memelihara stabilitas
nasional dan daerah serta menciptakan suasana yang dapat menjamin tetap
terpeliharanya kebhinekaan masyarakat adat dalam rangka memperkukuh
persatuan dan kesatuan bangsa.
Untuk menjalankan tugas, hak dan wewenang serta kewajiban
sebagaimana yang dimaksud diatas, lembaga adat mempunyai fungsi
melaksanakan kegiatan-kegiatan pendataan dalam rangka menyususn
kebijakan
dan strategi untuk mendukung kelancaran penyelenggaraan
pemerintahan, kelangsungan pembangunan dan mendukung keberhasilan
pembinaan
masyarakat.
Identitas
adat
istiadat,
kebiasaan-kebiasaan
masyarakat dan lembaga adat harus jelas. Identifikasi tersebut meliputi
beberapa faktor sebagai berikut:
a. Nama dan/atau istilah yang digunakan
b. Struktur, sistem status adat atau jabatan adat
c. Struktur wilayah adat
d. Kegiatan masyarakat adat yang berpola
e. Pranata serta perangkat norma-norma adat termasuk didalamnya hakhak dan kewajiban masyarakat
f. Sistem sanksi hukum adat
g. Kekayaan serta hak milik masyarakat adat dan/kelompok adat
22
3. Konsep Pemberdayaan Lembaga Adat
Untuk menyebut beberapa contoh konkret Lembaga Adat yang ada di
Kabupaten Tana Toraja seperti Tongkonan Ada’, Basse Kakakana, Basse
Tangngana, Basse adinna, Pangaraga, dan Lembang Karua. Dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya, masing-masing lembaga adat itu tentu
memiliki bobot yang berbeda sesuai dengan kebiasaan yang ada dalam
masyarakat adat. Dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan yang sangat
sentralistis di masa orde baru, lembaga adat kurang berkembang dan tidak
mendapat peranan yang berarti. Hal tersebut dapat dilihat dari semangat
keseragaman dari berbagai peraturan perundangan yang dibuat oleh
pemerintah pusat.
Karenanya, untuk meningkatkan kapasitas masyarakat adat maka
perlu ada pemberdayaan melalui penguatan lembaga-lembaga adat. Konsep
pemberdayaan tidak selalu berupa tindakan untuk memberikan bantuan
materiil dan finansial. Pembangunann masyarakat adat dalam konteks
pembangunan yang berkelanjutan dalam era otonomi luas mensyaratkan
warga adat yang kreatif, berprakarsa, dan inovatif agar kehidupan di
lingkungan
masyarakat
adat
lebih
dinamis
kearah
kehidupan
yang
meningkat, maju, dan mandiri.
Pemberian kepercayaan dan desentralisasi tanggungjawab yang lebih
besar bagi masyarakat adat merujuk pada hak untuk memilih yang terbaik
dan cocok bagi dirinya sendiri. Di sisi lain, pihak pemerintah mesti mampu
23
memposisikan diri sebagai fasilitator dan katalisator bagi proses perubahan
yang dialami masyarakat kearah yang lebih baik. Aktualisasi dari konsep ini
adalah
melalui
pembangunan
penguatan
yang
kelembagaan
bertumpu
pada
adat
masyarakat.
dalam
pendekatan
Maksudnya,
arah
pembangunan yang lebih bersifat partisipatif yang tercermin secara nyata
dalam bentuk berbuat bersama dan berperan setara antara agen
pembangunan (pemerintah) dengan masyarakat adat.
Ada beberapa acuan dasar strategi bagi penguatan kelembagaan
adat. Pertama, penerapaan metode partisipatif secara intensif. Hal ini dapat
dilakukan dalam skala terbatas pada tahap awal, dan skala besar pada tahap
lanjutan. Yang kedua, membentuk jaringan kemitraan antara Birokrasi,
Lembaga Swadaya Masyarakat, dan pihak swasta atau dunia usaha. Ketiga
unsur tersebut harus secara bersama-sama mengembangkan potensi sosial
ekonomi
masyarakat
melalui
revitalisasi
kelembagaan
adat
dengan
penerapan metode partisipatif. Yang ketiga, memobilisasi sumber-sumber
sosio cultural dengan pemanfaatan lembaga adat dan pengakuan terhadap
hak milik adat dalam penguasaan aset dalam proses pembangunan wilayah.
Hal tersebut dapat dipandang sebagai salah satu upaya untuk memacu
pengembangan potensi alam dan manusia yang berbasis pada ekonomi
kerakyatan. Titik berat pembangunan tersebut ada pada keseimbangan
tribina, yaitu bina manusia, bina usaha, dan bina lingkungan dalam kerangka
pengembangan kewilayahan secara terpadu.
24
4. Manfaat Pemberdayaan Lembaga Adat
Agenda
pemberdayaan
masyarakat
adat
di
Indonesia
akan
menguntungkan berbagai pihak, khususnya masyarakat adat itu sendiri yang
mendambakan sebuah keadilan sosial di tengah proses perubahan yang
terus terjadi di lingkungannya. Bagi masyarakat adat, keuntungan yang
dipetik ada beberapa aspek. Pertama, organisasi adat menjadi lebih
profesional, kredibel, dan sustainable. Oleh sebab itu, organisasi ini
cenderung mendapat dukungan dari warganya dan partisipasi mereka dalam
memajukan organisasi pun menjadi semakin tinggi. Kedua, organisasi adat
akan mempunyai bargaining power yang kuat dalam berhadapan dengan
pemerintah, DPRD dan sektor swasta sehingga ikut menentukan jalannya
pemerintahan yang aspiratif dengan kepentingannya. Ketiga, organisasi
mempunyai akses dalam mengembangkan ekonomi daerah. Hal ini akan
mendukung stabilitas ekonomi di daerah, dan dengan dukungan ekonomi
tersebut mereka dapat meningkatkan aktivitas sosial budayanya.
Bagi
pemerintah
daerah,
menguatnya
masyarakat
adat
juga
memberikan keuntungan tersendiri. Pertama, organisasi adat dapat menjadi
mitra yang kooperatif dalam mengimplementasikan program pemerintah.
Kedua, pemerintah dapat mendelegasikan pekerjaan kepada organisasi adat
di tingkat komunitas sehingga menumbuhkan partisipasi masyarakat yang
tinggi dalam mengembangkan pemerintahan di tingkat lokal.
25
Bagi lembaga legislatif, kehadiran masyarakat adat yang kuat juga
memberikan sumbangan yang sangat penting bagi eksistensi lembaga
perwakilan rakyat. Pertama, menguatnya demokrasi di tingkat lokal. Melalui
pengembangan demokrasi komunitarian yang partisipatif, maka kontrol
masyarakat terhadap kinerja lembaga legislatif akan meningkat. Kedua,
organisasi adat dapat berperan sebagai lembaga yang ikut mengontrol
bekerjanya lembaga legislatif. Ketiga, lembaga legislatif dapat menjajaki dan
menjaring aspirasi dari bawah dengan memahami aspirasi yang berkembang
di tingkat Lembaga Adat.
Adapun bagi sektor swasta, pemberdayaan masyarakat adat nantinya
memberikan keuntungan yang berbeda. Pertama, mereka akan memperoleh
kondisi sosial dan politik yang lebih kondusif karena masyarakat setempat
menjadi lebih demokratis, sadar akan HAM, dan memiliki semangat
pluralisme. Kedua, organisasi masyarakat adat mampu menjadi partner yang
mendukung pengembangan investasi karena mereka juga memperoleh
keuntungan. Ketiga, revitalisasi organisasi adat dapat berfungsi sebagai
kerangka pengembangan ekonomi lokal yang mampu beradaptasi dengan
perkembangan ekonomi global. Keempat, terlembaganya praktik-praktik
communitarian democracy didalam masyarakat adat akan mampu berjalan
beriringan dengan masyarakat global.
26
D. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Istilah ‘Parlemen’ berasal dari bahasa Perancis, ‘parle’ yang berarti ‘to
speak’ (berbicara). Fungsi utamanya adalah untuk mengawasi pelaksanaan
tugas-tugas pemerintahan. Lembaga ini dinamakan parlemen dengan
keanggotaan yang bersifat perwakilan yang dipilih atau ditentukan sendiri
oleh rakyat.
Setelah berkembangnya teori ‘separation of power’, fungsi utama dari
parlemen adalah fungsi pengaturan atau biasa dinamakan fungsi legislasi
(regeling functie atau regulative function). Setelah dibuat aturan, maka atas
dasar dan pedoman aturan itulah pemerintah diharapkan bekerja. Akan
tetapi, jalannya pelaksanaan aturan itu dilapangan, tetap harus diawasi atau
dikontrol oleh lembaga parlemen itu. Dengan demikian, fungsi legislasi dan
pengawasan itu berkaitan erat satu sama lain. Parlemen di Indonesia terdiri
dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD).
Parlemen yang berada di daerah atau yang disebut Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah adalah sebuah Lembaga Perwakilan Rakyat di daerah.
Anggota DPRD dipilih langsung oleh masyarakat pada saat pemilihan umum
(Pemilu). DPRD terbagi atas dua, yaitu DPRD Provinsi dan DPRD
27
Kabupaten/Kota. Fungsi dari DPRD sama dengan fungsi DPR, yakni fungsi
legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.6
Adapun tugas dan wewenang DPRD kabupaten/kota dalam UndangUndang Susduk Tahun 2009 adalah: Membentuk Peraturan Daerah
kabupaten/kota bersama Bupati/Walikota;
a. Membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah
mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota
yang diajukan oleh bupati/walikota;
b. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah
dan anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota;
c. Mengusulkan pengangkatan dan/atau pemberhentian bupati/walikota
dan/atau wakil bupati/wakil walikota kepada menteri dalam negeri
melalui gubernur untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan
dan/atau pemberhentian;
d. Memilih wakil bupati/wakil walikota dalam hal terjadi kekosongan
jabatan wakil bupati/wakil walikota;
e. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah
kabupaten/kota terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;
f. Memberikan persetujuan terhadap renacana kerjasama internasional
yang dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota;
6
Budiarjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik ( Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,2008
),hal.322
28
g. Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban bupati/walikota
dalam penyelenggaraan pemerintah daerah kabupaten/kota;
h. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja dengan daerah lain
atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah
i.
Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
j.
Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan.7
Anggota DPRD memiliki hak interpelasi, hak angket, dan hak
menyatakan pendapat. Anggota DPRD kabupaten/kota juga memiliki hak
mengajukan Rancangan Perda kabupaten/kota, mengajukan pertanyaan,
menyampaikan usul dan pendapat, membela diri, hak imunitas, serta hak
protokoler.
Pasal 77 UU nomor 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR, DPD dan DPRD menyatakan, bahwa DPRD (sebagai sebuah
lembaga, bukan anggota DPRD secara individual) mempunyai fungsi
legislasi,
anggaran
dan
pengawasan.
Selanjutnya
dalam
pasal
78
disebutkan, bahwa salah satu tugas dan wewenang DPRD (sebagai sebuah
lembaga, bukan anggota DPRD secara individual) adalah melaksanakan
pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah dan Perundangundangan lainnya, keputusan kepala daerah, APBD, kebijakan Pemerintah
7
Undang-undang susduk DPR Tahun 2009
29
daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah dan kerjasama
internasional di daerah.8
E. Relasi Negara dan Masyarakat
Menurut Kim Sunhyuk, masyarakat sipil adalah suatu satuan yang
terdiri dari kelompok-kelompok yang secara mandiri menghimpun dirinya dan
gerakan-gerakan dalam masyarakat yang secara relatif otonom dari negara,
yang merupakan satuan-satuan dasar dari re (produksi) dan masyarakat
politik yang mampu melakukan kegiatan politik dalam satu ruang publik, guna
menyatakan kepedulian mereka dan mengajukan kepentingan-kepentingan
mereka menurut prinsip-prinsip pluralisme dan pengelolaan yang mandiri.
Defenisi
tersebut
menekankan
pada
adanya
organisasi-organisasi
kemasyarakatan yang relatif memposisikan secara otonom dari pengaruh
dan kekuasaan negara. Eksistensi organisasi-organisasi ini mensyaratkan
adanya
ruang
publik
(public
sphere)
yang
memungkinkan
untuk
memperjuangkan kepentingan-kepentingan tertentu9.
Lebih jauh lagi, konsep masyarakat sipil dan negara dapat dilihat dari
dua perspektif, yaitu perspektif yang dirumuskan oleh kaum naturalis (Locke
dan Rousseau) dan perspektif Hegel dan Marx. Pandangan naturalis melihat
masyarakat sipil sebagai kedaulatan sebuah tatanan melalui negara alami
8
Undang-Undang Susduk DPRD Tahun 2003 Pasal 78
Tim Penyusun PUSLIT IAIN Syarif Hidayatullah, Pendidikan Kewargaan: Demokrasi, HAM,
dan Masyarakat Madani (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), hal. 139
9
30
dimana manusia menemukan diri mereka dalam masyarakat pra-negara.
Masyarakat sipil berarti sebentuk organisasi individu yang melampaui
keluarga, produksi dan lain-lain. Semua itu menuju kepada suatu kesatuan
kolektif yang diperintah atau diatur oleh hukum yang telah ditetapkan oleh
negara. Orang dengan sukarela memasuki kolektif ini, memberikan
kebebasan untuk melindungi kebebasan mereka itu sendiri. Masyarakat sipil
lantas merupakan semacam negara alami yang diatur dan ditata oleh
keinginan kolektif (oleh negara). Beberapa penafsiran bahkan terkadang
melihat masyarakat sipil sebagai negara itu sendiri.
Disisi lain Hegel menyebut masyarakat sipil sebagai masyarakat prapolitis, yang oleh para kaum naturalis disebut negara alami. Bagi Hegel,
masyarakat sipil merupakan kedaulatan dari ketidakberadaban, penderitaan,
dan korupsi fisik serta etis, jadi berlawanan dengan konsepsi kaum naturalis.
Menurut Hegel masyarakat sipil ini diatur dan dikuasai oleh kapasitas
intelektual super dari negara, yang merupakan tatanan tertinggi dari etika dan
moral manusia.
Hegel mengartikan masyarakat sipil sebagai keseluruhan hidup pranegara yang merupakan perkembangan dari hubungan-hubungan ekonomi
yang mendorong dan menentukan struktur organisasi dan politik. Sedangkan
bagi Marx dan Engels, masyarakat sipil dan negara merupakan sebuah
antithesis. Engels berpendapat bahwa negara (tatanan politik) adalah elemen
subordinat,
dimana
masyarakat
sipil
(kenyataan
hubungan-hubungan
31
ekonomi) adalah elemen yang menentukan. Jadi, struktur dan superstruktur
(masyarakat sipil dan negara) merupakan bentuk suatu dialektika antithesis
dasar dalam sistem Marxis. Masyarakat sipil menguasai negara atau struktur
menguasai superstruktur, keseluruhan hubungan-hubungan produksi ini
menyokong struktur ekonomi dari masyarakat. Hal ini merupakan fondasi
nyata dari munculnya superstruktur yuridis dan politis serta sesuai dengan
bentuk dari kesadaran sosial.
Marx secara jelas meletakkan negara dibawah masyarakat sipil.
Berarti
masyarakat sipil yang menentukan negara dan membentuk
organisasi dan tujuan dari Negara dalam kesesuaian dengan hubungan
produksi material pada tahapan tertentu dari perkembangan kapitalis. Hanya
untuk dunia luar “negara-bangsa” tampak mengatur proses pembangunan,
ketika negara berhubungan dengan Negara lain, termasuk perang dan
pembatasan ikatan nasional (nasionalisme).
Dalam relasi negara dan masyarakat (state and society relationship ),
yang bersifat organis statis, dengan strategi korporatisme dan rasionalisasi
didasarkan atas hubungan fungsional, bukan lagi hubungan politis-idiologis.
Namun hubungan tersebut tidak seimbang karena negara mendominasi
masyarakat. Seperti yang dikemukakan Gramsci ( 1980 ), negara dan
masyarakat memiliki otonomi. Hal itu mengakibatkan timpangnya format
politik, sebab ada pihak yang mendominasi pihak lain. Hubungan antara
negara dan masyarakat bersifat alienasi dan disonasi, serta berada pada
32
dialektik yang dinamis dalam hubungan negara dan masyarakat dan suatu
saat tertentu negara mempunyai tingkat otonomi yang tinggi vis-à-vis otonomi
masyarakat yang rendah, pada saat yang lain otonomi masing-masing
berimbang, dan pada saat yang lain otonomi masyarakat justru lebih tinggi
vis-à-vis otonomi negara yang rendah.
Negara diartikan secara luas oleh Gramsci (1980), negara secara
subtitutif dibentuk oleh masyrakat. Dalam kenyataannya, negara kemudian
memisahkan diri, mendominasi, dan mengontrol masyarakat. Konsep negara
terdiri dari lembaga pemerintah (publik institutions) dan aparat pemaksa
(coercion) seperti militer, pengadilan dan lembaga-lembaga hukum, serta
lembaga-lembaga non-pemerintah yang memproduksi ideologi dan mampu
memperkuat hegemoni negara. Sebab dengan ideologi itulah negara berhasil
meyakinkan masyarakat (meaning structure) bahwa mereka diperlakukan
secara moral, adil dan intelektual, sehingga masyarakat puas dengan kondisi
yang ada dan dengan senang hati mengikuti kemauan negara. Negara yang
memiliki kekuatan ideologi yang demikian itulah yang oleh Gramsci disebut
negara yang hegemonik.
Gramsci ternyata berbeda dengan Marxis lainnya dalam menafsirkan
Negara dan masyarakat sipil. Meskipun keduanya mengakui bahwa
konsepnya tentang masyarakat sipil diperoleh dari Hegel, namun pada
kenyataannya mereka menggunakan istilah itu dengan cara yang berbeda.
Marx mengatakan bahwa masyarakat sipil adalah totalistas hubungan33
hubungan ekonomi (basis struktur). Gramsci justru merujuknya pada
superstruktur. Ringkasnya, konsep Marxian tentang masyarakat sipil sebagai
moment struktur dapat dipandang sebagai titik keberangkatan analisa
Gramsi. Tapi teori Gramsci memperkenalkan sebuah penemuan yang cukup
mendasar dalam tradisi Marxis. Masyarakat sipil dalam konsep Gramsci tidak
berada pada moment struktur, melainkan pada moment superstruktur.
Bagi Gramsci, masyarakat sipil adalah factor kunci untuk memahami
perkembangan kapitalis, meskipun oleh Marx dipahami sebagai struktur
(hubungan-hubungan produksi). Disisi lain, Gramsci melihat itu sebagai
superstruktur yang mewakili faktor aktif dan positif dari perkembangan
sejarah. Ia merupakan hubungan-hubungan budaya dan ideologi yang
kompleks, kehidupan intelektual dan spiritual, serta ekspresi politik dari
hubungan-hubungan itu menjadi fokus analisa yang lebih daripada struktur.
Gramsci sesungguhnya mencoba keluar dari tradisi marxis ortodoks
dimana dasar ekonomi tampak menentukan ideologi superstruktur yang
dibatasi oleh komponen negara dan masyarakat sipil. Bagi Gramsci, elemen
ekonomi dapat dilaksanakan dalam beberapa penentuan dan cara yang
spesifik untuk mempengaruhi aktifitas negara dan masyarakat sipil.
Sebaliknya, ekonomi juga dapat ditentukan oleh permainan terakhir yang
lahir dari tingkatan otonomi relatif negara dan masyarakat sipil atas
ekonominya.
34
Keaslian konsep hegemoni Gramsci dalam hal ini dimulai dengan
munculnya marxisme yang dogmatik. Pendekatan dogmatik itu melihat
marxisme sebagai teori tentang penentuan klas-kals ekonomi dan kegiatankegiatannya. Dalam pandangan Gramsci, justru munculnya dogma itu dapat
diartikan sebagai upaya menempatkan Marx dalam materialisme vulgar yang
mekanistik. Inilah yang bagi Gramsci dilihat sebagai sebuah kecenderungan
posivistik yang mengarahkan pada penekanan yang terlalu berlebihan atas
daerah ekonomi dan analisis klas yang berasal dari batas-batas hubungan
produksi.
Untuk memisahkan negara dan masyarakat sipil , Gramsci memulai
dengan
tiga
batas
konseptualisasi
dalam
membicarakan
hegemoni.
Kesemuanya itu menunjuk pada identifikasi hubungan antar formasi sosial
yang membentuk garis dasar konseptualisasi hegemoni. Ketiga batasan
tersebut adalah ekonomi, negara, dan masyarakat sipil. Penekanan pada tiga
hal inilah yang sesungguhnya menjadi ciri khas yang membedakannya
dengan pemikir marxis lainnya.
Ekonomi sebagai batas konseptualisasi yang pertama, merupakan
sebuah batasan yang digunakan untuk mengartikan mode of production yang
paling dominan dalam sebuah masyarakat. Cara produksi tersebut terdiri dari
teknik produksi dan hubungan sosial produksi yang ditumbuhkan atas
munculnya perbedaan klas-klas sosial dalam arti kepemilikan produksi.
35
Kedua, yaitu batasan negara, merupakan batas yang berarti tempat
munculnya praktek-praktek kekerasan dan tempat terjadinya pendirian
birokrasi negara. Oleh Gramsci, birokrasi negara dalam konteks ini
diidentifikasikan
sebagai pelayanan
sipil, kesejahteraan
dan institusi
pendidikan.
Batasan yang ketiga yaitu masyarakat sipil. Menurut Gramsci, batasan
yang menunjuk pada organisasi lain diluar negara dalam sebuah formasi
sosial diluar bagian sistem produksi material dan ekonomi yang didukung dan
dilaksanakan oleh orang atau komponen diluar batasan diatas. Sebagai
komponen utama masyarakat sipil dapat didefinisikan sebagai sebuah
institusi religius.
Ketiga unsur tersebut menurut Gramsci harus memiliki demarkasi yang
jelas. Meskipun demikian, ditingkat analisis dan empiris sering terjadi
beberapa bagian organisasi dan institusi mungkin berada dalam sebuah
batas, dua batas, bahkan bias jadi muncul dalam ketiga batas tersebut.
Asumsi yang dibangun dalam memisahkan batasan diatas adalah dalam
rangka memudahkan konstruksi teori sosial yang akan berimplikasi pada
bentuk-bentuk aksi sosial, aksi politik, aksi ekonomi, aktivitas legal,
pendidikan, aktivitas kebudayaan, aktivitas religius, dan lain sebagainya.
36
F. Kerangka Pikir
Lembaga Adat adalah sebuah organisasi kemasyarakatan, baik yang
disengaja
dibentuk maupun
yang
secara
wajar
telah
tumbuh
dan
berkembang didalam sejarah masyarakat yang bersangkutan.Lembaga Adat
berkedudukan
sebagai
wadah
organisasi
permusyawaratan
atau
permufakatan para pengurus adat, pemuka adat atau masyarakat yang
berada diluar susunan organisasi pemerintahan.
Lembaga Adat dalam masyarakat Toraja secara umumnya berperan
sebagai suatu wadah bagi masyarakat adat itu sendiri dimana mereka
bertugas sebagai pengayom masyarakatnya. Secara khusus, Lembaga Adat
Toraja menjadi suatu media penyelesaian masalah maupun konflik yang
terjadi dalam masyarakat. Sebagai lembaga kemasyarakatan lembaga adat
merupakan penghubung antara masyarat dengan pemerintah dalam hal
pemenuhan kebutuhan masyrakat atau dalam proses pembuatan dan
perumusan kebijakan yang merupakan produk politik. Disini lembaga adat
mewakili masyarakat untuk menyampaikan aspirasi mereka. Pada awalnya
Lembaga Adat cukup berperan aktif didalam proses perumusan dan
pembuatan kebijakan di Tana Toraja namun setelah diterapkannya undangundang tentang pemerintahan desa fungsi lembaga adat perlahan-lahan
hilang.
37
Selain sebagai penghubung antara masyarakat dengan pemerintah,
Lembaga Adat juga memberikan keuntungan bagi pemerintah daerah.
Pertama, organisasi adat dapat menjadi mitra yang kooperatif dalam
mengimplementasikan program pemerintah. Kedua, pemerintah dapat
mendelegasikan pekerjaan kepada organisasi adat di tingkat komunitas
sehingga
menumbuhkan
partisipasi
masyarakat
yang
tinggi
dalam
mengembangkan pemerintahan di tingkat lokal.
Skema Kerangka Pemikiran
LEMBAGA
ADAT
DPRD
PENGAMBILAN
KEBIJAKAN
38
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Tana Toraja, Provinsi Sulawesi Selatan.
Alasan memilih lokasi penelitian ini karena ingin melihat interaksi politik
antara pemangku kebijakan dengan masyarakat dalam pengambilan
kebijakan.
Masyarakat Tana Toraja terhimpun dalam suatu wadah lembaga
kemasyarakatan yaitu Lembaga Adat, Lembaga Adat ini terdiri dari beberapa
tongkonan. Wadah ini berfungsi sebagai tempat untuk menyalurkan aspirasi
masyarakat kepada pemerintah. Disini penulis akan melihat peran Lembaga
Adat dalam proses pengambilan kebijakan di Tana Toraja.
B. Tipe dan Dasar Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dan perilaku dari orang-orang yang dapat diamati.
Penelitian ini akan menggambarkan dan menganalisis interaksi politik yag
berlangsung dalam proses pengambilan kebijakan, dalam hal ini pembuatan
Perda di Tana Toraja dalam perspektif demokrasi.
Dasar penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metodologi kualitatif untuk menghasilkan temuan atau kebenaran yang
bersifat intersubyektif, yakni kebenaran yang dibangun dari jalinan berbagai
39
faktor yang bekerjasama, seperti perilaku pada beberapa individu atau
kelompok. Kebenaran merupakan bangunan (konstruksi) yang disusun oleh
peneliti dengan cara mencatat dan memahami apa yang terjadi dalam
interaksi sosial kemasyarakatan
C. Jenis Data
Jenis data yang digunakan ada dua: pertama adalah data primer,
merupakan data yang harus diolah kembali setelah diperoleh dari informan.
Data ini diperoleh melalui komunukasi langsung dengan para informan.
Informan yang dimaksud disini adalah tokoh Lembaga Adat di Tana Toraja,
dan pengambil kebijakan (dalam hal ini Perda) yaitu anggota DPRD Tana
Toraja. Kedua, Data Sekunder berupa data yang berwujud hasil tulisan
seperti dokumen pribadi, dokumen instansi atau kantor, serta data statistik.
Selain turun kelapangan, penulis juga melakukan telaah pustaka yakni
mengumpulkan data dari buku, jurnal, koran dan sumber informasi lainnya
yang erat kaitannya dengan masalah penelitian.
D. Teknik Pengumpulan Data
1. Wawancara/Intervieu
Wawancara
merupakan
penelitian
lapangan,
yakni
proses
pengumpulan data yang dilakukan di lokasi penelitian secara langsung
maupun ditempat lain yang ada kaitannya dengan pokok pembahasan.
40
Sebelum
melakukan
wawancara
dengan
informan
peneliti
menyediakan alat tulis dan alat perekam, peneliti juga mencatat dan
merekam pernyataan informan pada proses wawancara. Wawancara
dilakukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang sebelumnya telah
disusun oleh penulis sebagai acuan dan sifatnya tidak mengikat sehingga
banyak pertanyaan baru yang muncul pada saat wawancara terkait dengan
proses pengambilan kebijakan di Tana Toraja. Informan yang dipilih oleh
peneliti untuk diwawancarai adalah sebagai berikut:
a. Pengurus Lembaga Adat di Tana Toraja
b. Anggota DPRD Tana Toraja
2. Studi Literatur
Cara
pengumpulan
data
yang
kedua
ini,
penulis
melakukan
pengumpulan data yang berhubungan dengan penelitian yaitu membaca
literatur mengenai pengambilan kebijakan dan materi-materi yang terkait
dengan hal tersebut.
E. Teknik Analisis Data
Proses analisa data dilakukan pada waktu bersamaan dengan proses
pengumpulan data berlangsung. Kegiatan merangkum dan memilih hal-hal
pokok dari hasil penelitian yang dianggap penting serta membuat memo dan
rekaman agar data yang diperoleh lebih teratur dan mudah untuk diinput,
masuk pada tahapan reduksi data. Selanjutnya peneliti akan melakukan
sajian data dimana peneliti akan menyusun informasi yang akan digunakan
41
untuk membuat atau menyusun kesimpulan kesimpulan dari penelitian yang
dilakukan. Sumber dari sajian data diperoleh dari hasil pengamatan dan
analisis data secara mendalam terhadap suatu temuan atau informasi yang
ditemukan dilapangan. Selain reduksi data dan sajian data, hal penting yang
harus dilakukan pada saat penulisan karya tulis ilmiah adalah penarikan
kesimpulan yang harus disesuaikan dengan rumusan masalah yang telah
dirumuskan sejak awal.
42
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Gambaran umum lokasi penelitian sangat penting untuk lebih
memperjelas dan mengenal objek penelitian. Sehubungan dengan bab-bab
sebelumnya,maka pada bab 4 ini akan diuraikan bebrapa hal yang
berhubungan dengan likasi penelitian penulis,meliputi : kondisi geografis,
sejarah Tana Toraja, gambaran umum tentang Tongkonan dan Lembaga
Adat di Tana Toraja
A. Sekilas Tentang Tana Toraja
Kabupaten Tana Toraja, adalah salah satu bagian wilayah Provinsi
Sulawesi Selatan yang terletak di bagian utara pada 1190 sampai 1200 Bujur
Timur dengan luas wilayah sekitar 3.205,17 km2 (320.500 Ha) . Tata guna
lahannya terdiri dari 290.500 Ha (91%) berupa perkebunan/lahan kering,
24.500 Ha berupa lahan sawah, 2.500 Ha berupa perikanan dan sisanya
sekitar 3.000 Ha untuk hutan dan permukiman.
Wilayah ini berbatasan pada Sebelah Utara : Kabupaten Mamuju
Utara dan Kabupaten Luwu Utara. Sebelah Timur : Kabupaten Luwu dan
Kota Palopo. Sebelah Selatan : Kabupaten Enrekang dan Kabupaten
Pinrang. Sebelah Barat : Kabupaten Mamasa dan Kabupaten Mamuju
Sejalan dengan era otonomi daerah, dalam kurun waktu yang relatif
singkat dari tahun 2004 sampai tahun 2006 Kabupaten Tana Toraja
43
mengalami perubahan yang sangat penting terutama dari aspek struktural
administrasi pemerintahan. Pada awal tahun 2004 wilayah Kabupaten Tana
Toraja terbagi atas 15 wilayah kecamatan yang kemudian saat ini telah
mekar menjadi 40 wilayah kecamatan. Hal ini akan membawa suatu
konsekuensi yang cukup besar dan berdampak luas terhadap berbagai aspek
lainnya yaitu: Fisik lingkungan, Sosial, Ekonomi, Budaya serta Prasarana dan
sarana wilayah. Pemekaran wilayah kecamatan ini merupakan inisiasi untuk
pemekaran wilayah kabupaten menjadi 2 kabupaten yaitu: Kabupaten Tana
Toraja dan Toraja Utara.
Pemekaran kabupaten ini terwujud melalui Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2008 Tentang Pembentukan Kabupaten Toraja Utara Di Provinsi
Sulawesi Selatan. Pada UU ini dinyatakan pembagian wilayah untuk masingmasing kabupaten. Kabupaten Toraja Utara, terdiri atas 21 (dua puluh satu)
kecamatan, 108 Desa/Lembang, 44 Kelurahan, dengan luas wilayah
keseluruhan ± 1.216 km2 (± 38%) dengan jumlah penduduk ± 219.428 jiwa
pada tahun 2007. Sedangkan wilayah Kabupaten Tana Toraja jumlah
kecamatannya berkurang hingga menjadi 19 (sembilan belas) kecamatan,
112 Desa/Lembang, 43 Kelurahan, dengan luas wilayah keseluruhan ± 1.989
km2 (± 62%) dengan jumlah penduduk ± 248.607 jiwa pada tahun 2007.
Dalam konteks Nasional kawasan Toraja dan sekitarnya ditetapkan sebagai
Kawasan Strategis Nasional (KSN) dengan sudut kepentingan sosial budaya
melalui kebijakan yang dituangkan dalam PP No. 26/2008 tentang Rencana
44
Tata Ruang nasional (RTRWN). Dalam kebijakan ini juga ditegaskan bahwa
tahapan pengembangan untuk Rehabilitasi/Revitalisasi Kawasan Toraja dan
sekitarnya direncanakan pada prioritas I (2010-2014). Adapun institusi
pelaksana untuk pengembangannya merupakan kewenangan Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata.
Mayoritas penduduk terdiri dari etnis Toraja, walaupun ada juga etnis
lain yang berada didaerah ini karena berbagai alasan baik karena hubungan
pernikahan, pekerjaan, kegiatan perdagangan dan lain-lain. Populasi etnis
Toraja sendiri diperkirakan mencapai satu juta jiwa, namun yang bermukim di
daerah ini hanya sekitar 450.000 jiwa, sedangkan sebagian besar lainnya
tersebar diseluruh Nusantara maupun belahan dunia lain. Tana Toraja yang
mempunyai satu kepercayaan Aluk Todolo, setelah melalui proses akulturasi
maupun asimilasi budaya, di Tana Toraja dapat dijumpai beberapa agama,
antara lain: Kristen Protestan 276.342 jiwa (69,15%), Katolik 67.817 jiwa
(16,97 %), Islam 31.570 jiwa (5,986 %) dan Hindu Toraja 23.898 Jiwa
(5.986 %).
Sebagai
bagian
dari
Nusantara
Indonesia,
bahasa
Indonesia
merupakan salah satu bahasa yang digunakan sebagai bahasa pengantar
dalam pergaulan. Namun demikian bahasa daerah yakni bahasa Toraja
(Sa'dan) tentunya menjadi bahasa yang paling dominan dalam percakapan
antara warga masyarakat.
45
Kata Toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti "orang
yang berdiam di negeri atas". Dalam masa Pemerintahan kolonial Belanda
menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual
pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman
Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh
ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebelum abad ke-20,
suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut
animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900,
misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah
semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970, kabupaten Tana
Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan
oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog. Masyarakat
Toraja sejak tahun 1990 mengalami transformasi budaya, dari masyarakat
berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas
beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus
meningkat.
Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja.
Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama
yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan
desa. Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya)
adalah praktek umum yang memperkuat hubungan kekerabatan.Suku Toraja
melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga)
46
kecuali untuk bangsawan dan untuk mencegah penyebaran harta.
Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa
keluarga besar saling menolong dalam pertanian berbagi dalam ritual kerbau
dan saling membayarkan hutang.
Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya. Anak,
dengan demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk
tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar
kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah
meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebut atas nama
ibu, ayah dan saudara kandung.
Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual
yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan
spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut
serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur
mereka. Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga
dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru
rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar. Pembangunan
tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan
dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk
adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat
"pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga
47
yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan
anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu.
Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang
seiring
banyaknya
rakyat
biasa
yang
mencari
pekerjaan
yang
menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup
uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.
B. Tongkonan dan Lembaga Adat di Tana Toraja
Rumah adat di Tana Toraja selain didiami oleh manusia sama dengan
rumah-rumah di daerah lain, juga mempunyai fungsi dan peranan serta arti
yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Toraja.
Rumah yang bernama Tongkonan ini dianggap sebagai pusaka dan
hak milik turun temurun yang berasal atau berketurunan dari manusia yang
pertama membangun tongkonan tersebut. Kata Tongkonan berasal dari kata
tongkon yang artinya duduk, yang mengandung arti bahwa Tongkonan itu
ditempati duduk untuk membicarakan dan menyelesaikan segala masalah
yang dianggap penting.
Dahulu orang yang memegang kekuasaan dengan menjabat suatu
tugas, selalu didatangi oleh masyarakat untuk meminta perintah dan
petunjuk-petunjuk dari setiap masalah di tempat penguasa itu tinggal.
48
Inilah awal mula kata tongkonan ini dipergunakan sebagai nama
rumah yaitu tempat untuk duduk atau tongkon dan tak lain dari pada rumah
kediaman dari penguasa adat.
Apabila penguasa adat yang pertama meninggal dunia maka ia akan
digantikan oleh keturunannya untuk melanjutkan peran dan kedudukan serta
cara dari penguasa adat yang telah meninggal dunia sebagai penguasa adat
yang pertama, dengan menjadikan rumah dari penguasa adat itu sebagai
tempat melaksanakan dan melanjutkan tugas dan kewajiban penguasa adat
yang pertama dengan memusatkannya dirumah tersebut yang kemudian
dinamakan Tongkonan.
Setelah perkembangan masyarakat semakin meningkat maka setiap
penguasa yang mempunyai daerah kekuasaan dengan tugas dan peran
adat membuat rumah yang dinamakan pula tongkonan karena pada waktu
tinggal dirumah itu, rumah itu juga merupakan tempat masyarakat meminta
perintah dan penyelesaian masalahnya pada penguasa adat, yang
seterusnya tetap membina hak dan kekuasaanya bagi keturunanya setelah
meninggal dunia.
Itulah sebabnya maka terdapat beberapa rumah Tongkonan dalam
satu wilayah adat, namun kemudian ternyata bahwa kekuasaan adat dari
penguasa adat itu hanya satu maka rumah yang lain tidak mempunyai
kekuasaan adat tetapi merupakan rumah atau tongkonan yang fungsinya
hanya sebagai rumah tempat membina persatuan dari keturunannya serta
49
membina warisannya, maka mulailah terdapat rumah Tongkonan yang tidak
mempunyai kedudukan sebagai penguasa adat dari satu penguasa dan
hanya sebagai tempat membina persatuan keluarga dan tempat pembinaan
harta warisan keluarga semata 10.
Tongkonan mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
sebagai pusat
budaya, pusat pembinaan keluarga, pembinaan peraturan keluarga dan
kegotongroyongan, pusat dinamisator, motivator dan stabilisator.
Oleh karena Tongkonan mempunyai kewajiban sosial dan budaya
yang juga bertingkat-tingkat dimasyarakat, maka dikenal beberapa jenis
tongkonan, antara lain yaitu Tongkonan Layuk atau Tongkonan Pesio' Aluk.
Tongkonan diberi nama sesuai dengan nilai yang dimiliki oleh To
Mangraruk Tongkonan didalam satu wilayah adat. Nilai yang dimiliki
terutama berpedoman pada keterampilan dan keberhasilan didalam empat
bidang kehidupan yaitu :
1. Bidang keagamaan ( ada’ aluk na Pemali )
2. Kepemimpinan ( Tallu Silolok )
3. Ekonomi ( Tallu Lolona )
4. Adat budaya ( Rambu Tuka’ dan Rambu Solo’ )
10
Sejarah Tana Toraja, Bogor, 2006
50
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Merujuk pada pengertian politik, yakni merupakan suatu usaha untuk
mencapai tatanan masyarakat yang terbaik, pengambilan kebijakan juga
tidak jauh berbeda, tetap memiliki esensi yang sama. Namun tatanan
masyarakat
yang
baik
dalam
konteks pengambilan
kebijakan
ialah
terciptanya partisipasi masyarakat dalam proses penyelenggaraan negara,
khususnya politik praktis.
Dalam bab ini akan dijelaskan secara terperinci mengenai bagaimana
peran Lembaga Adat dalam pengambilan kebijakan di Tana Toraja. Apakah
lembaga adat memiliki keterlibatan dalam proses politik, dalam hal ini
pengambilan kebijakan, atau tidak. Jika dilibatkan, sejauh mana keterlibatan
itu dan jika tidak dilibatkan, apa yang menjadi penyebabnya. Hal tersebutlah
yang akan diuraikan berdasarkan hasil penelitian dan akan dianalisis dengan
menggunakan konsep dan teori yang telah ditetapkan sejak awal.
Peran Lembaga Adat dalam Proses Pengambilan Kebijakan di
Tana Toraja
Tana Toraja merupakan suatu daerah yang masih memiliki nilai
kebudayaan yang cukup tinggi ditengah-tengah masyarakatnya. Kebudayaan
masyarakat Tana Toraja mengandung nilai adat yang cukup tinggi, namun
tetap relevan ditengah maraknya budaya modern belakangan ini. Nilai adat
51
tersebut tidak hanya berlaku pada aspek budaya atau adat saja, tetapi
berlaku untuk semua aspek kehidupan masyarakat Tana Toraja. Masyarakat
Tana Toraja menjunjung tinggi nilai adat dalam berhubungan dengan sesama
masyarakat dan juga dengan pemerintah serta pihak dari luar.
Hubungan masyarakat dengan pemerintah di Tana Toraja sudah
terjalin dengan baik sejak awal, baik itu dalam proses pembangunan maupun
proses pengambilan kebijakan. Sebagai daerah yang memiliki masyarakat
adat, Tana Toraja memang agak berbeda dalam menjalankan tata kelola
politik dan pemerintahan. Partisipasi masyarakat misalnya, lebih cenderung
diwakilkan kepada organisasi kemasyarakatan yang disebut Lembaga Adat.
Organisasi kemasyarakatan yang cukup berperan di Tana Toraja , yakni
Lembaga Adat yang biasa juga disebut dengan Tongkonan. Ada banyak
Tongkonan di Tana Toraja, jika dahulu hanya ada tiga puluh dua Tongkonan
saat ini jumlahnya sudah mencapai ratusan. Satu Tongkonan biasanya
mewakili satu keluarga yang masih merupakan satu marga/klan dekat.
Beberapa Tongkonan kecil tergabung dalam satu Lembaga Adat yang lebih
besar, namun masih memiliki ikatan kekeluargaan atau garis keturunan.
Tongkonan
sebagai
lembaga
adat
merupakan
organisasi
kemasyarakatan yang paling kuat dan efektif dalam menjaga nilai adat
masyarakat Tana Toraja serta menjalin hubungan antara masyarakat dengan
pemerintah. Saat proses pengambilan kebijakan misalnya, pemerintah lebih
memilih untuk melibatkan masyarakat melalui Tongkonan daripada melalui
52
organisasi pemerintahan formal seperti lembaga ketahanan masyarakat desa
atau semacamnya.
Pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh dewan perwakilan rakyat
daerah (dalam hal ini peraturan daerah atau Perda) melibatkan masyarakat
melalui Lembaga Adat atau Tongkonan. Hal tersebut dapat dilihat dari
jawaban beberapa informan saat wawancara, misalnya wawancara dengan
Samuel Eban K. Mundi11 seperti berikut:
“Tetap ada hubungan antara lembaga adat dengan DPRD didalam
pembuatan Perda. Sebelum membuat Perda, DPRD membuka suatu
ruang yang disebut ruang public. Disitu pemuka adat dan elemenelemen
masyarakat
diundang
untuk
berdiskusi
membicarakan
rancangan Perda yang akan dibuat. Mereka diberi kesempatan untuk
memberikan sumbangsih saran yang dianggap penting, apa ada saran
atau sanggahan terhadap rancangan Perda tersebut”.12
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan diatas memberikan
gambaran bahwa Lembaga Adat atau Tongkonan diberikan kesempatan
untuk turut serta berpartisipasi didalam pembuatan suatu kebijakan yang
dilakukan oleh pemerintah.
Lembaga adat sebagai bagian dari masyarakat sipil telah diberikan
ruang untuk menyampaikan kepentingan mereka. Hal tersebut senada
dengan konsep masyarakat sipil menurut dikemukakan oleh Kim Sunhyuk
11
12
Wakil Ketua DPRD Tana Toraja Periode 2009-2014
Wawancara Tanggal 11 Juli 2012
53
yang mensyaratkan adanya ruang publik demi eksistensi organisasi
masyarakat sipil itu sendiri.13
Dalam mencapai tujuan peraturan perundang-undangan, syarat
pertama yang harus dipenuhi adalah keterlibatan rakyat atau partisipasi
masyarakat didalam suatu proses pembentukan kebijakan. Proses yang
dimaksud ialah mulai dari lahirnya peraturan, pelaksanaannya dilapangan,
sampai pada tahap evaluasi.
Kebijakan diartikan sebagai aturan yang lahir dari proses politik.
Kebijakan merupakan hal yang mengikat sebagai suatu upaya pencapaian
tujuan yang diinginkan dengan bersifat strategis dan jangka panjang.
Kebijakan harus bisa diimplementasikan ke ruang publik. Menurut Carl
Friedrich yang dikutip dalam Wahab bahwa:
“kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang
diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam
lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan
tertentu seraya mencari peluang untuk mencapai tujuan yang
diinginkan.”14
Serangkaian aktifitas intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan
yang bersifat politis. Aktifitas politik itu Nampak pada serangkaian kegiatan
yang mencakup penyusunan agenda, formulasi kebijakan, implementasi
13
Tim Penyusun PUSLIT IAIN Syarif Hidayatullah, Pendidikan Kewargaan: Demokrasi, HAM,
dan Masyarakat Madani (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), hal. 139
14 Solichin, Wahab. Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan (Jakarta:
Bumi Aksara, 2001), Hal. 3
54
kebijakan, dan penilaian kebijakan. Hal serupa juga disampaikan oleh
beberapa pengurus Lembaga Adat atau Tongkonan saat wawancara,
misalnya wawancara dengan Aris Sampe Kalua seperti berikut:
“Lembaga adat tetap dilibatkan karena didalam pembuatan kebijakan,
baik dari tahap awal pembuatan sampai hasil dari kebijakan kita
sama–sama duduk berdiskusi untuk melahirkan kebijakan yang
selaras dengan lingkungan yang kita tempati, pemerintah atau dalam
hal ini DPRD harus berpatokan dengan nilai-nilai yang dianut didalam
masyarakat”15
Dalam mengukur kebijakan harus memperhatikan variabel kebijakan,
organisasi dan lingkungan. Perhatian itu perlu diarahkan karena melalui
pemilihan kebijakan yang tepat maka masyarakat dapat berpartisipasi
memberikan kontribusi yang optimal untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Selanjutnya, ketika sudah ditemukan kebijakan yang terpilih diperlukan
organisasi pelaksana, karena di dalam organisasi ada kewenangan dan
berbagai sumber daya yang mendukung pelaksanaan kebijakan bagi
pelayanan publik. Sedangkan lingkungan kebijakan tergantung pada sifatnya
yang positif atau negatif. Jika lingkungan berpandangan positif terhadap
suatu kebijakan akan menghasilkan dukungan positif sehingga lingkungan
akan berpengaruh terhadap kesuksesan implementasi kebijakan. Sebaliknya,
jika lingkungan berpandangan negatif maka akan terjadi benturan sikap,
sehingga proses implementasi terancam akan gagal. Lebih daripada tiga
15
Wawancara dengan Aris Sampe Kalua Ketua Lembaga Adat di Kelurahan Tondon
Mamullu (Tongkonan A’pa’) Wawancara Tanggal 11 Juli 2012
55
aspek tersebut, kepatuhan kelompok sasaran kebijakan merupakan hasil
langsung dari implementasi kebijakan yang menentukan efeknya terhadap
masyarakat
Habermas bahkan menyatakan bahwa titik tolak yang dapat menjadi
acuan untuk menata ulang proses pembuatan peraturan adalah memperluas
perdebatan politis didalam parlemen ke masyarakat sipil.16 Bukan hanya
aparat negara dan wakil rakyat, melainkan juga seluruh warga negara ikut
berpartisipasi.
Partisipasi lembaga adat sebagai masyarakat sipil sudah terlihat dalam
proses pembuatan Perda di Tana Toraja. Hanya saja memang tidak semua
peraturan daerah (Perda) yang dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah
(DPRD) Tana Toraja melibatkan Lembaga Adat atau Tongkonan. Hal
tersebut dikemukakan oleh Samuel Eban K. Mundi17 saat wawancara dengan
penulis seperti berikut:
“Tidak semua Perda yang dibuat melibatkan lembaga adat, tetapi
hanya Perda-perda tertentu yang memang bersinggungan dengan
lembaga adat. DPRD tidak serta merta membuat Perda atas kemauan
mereka sendiri karena takutnya nanti Perda yang dibuat tidak
mendapat sambutan baik dari masyarakat karena dianggap merugikan
masyarakat”18
16
Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis Menyusun dan
Merancang Peraturan Daerah: Suatu Kajian Teoritis dan Praktis Disertai Manual (Jakarta:
Prenada Media Group, 2010), hal. 123
17 Wakil Ketua DPRD Tana Toraja Periode 2009-2014
18 Wawancara Tanggal 11 Juli 2012
56
Hal senada juga disampaikan oleh Aris Sampe Kalua19 ketika
wawancara dengan penulis seperti berikut:
“Tidak semua (Perda), hanya hal-hal tertentu saja yang ada
hubungannya dengan masyarakat adat. Misalnya pada pembuatan
Perda perubahan nama desa menjadi Lembang. Itu merupakan
produk antara pemerintah atau DPRD dengan masyarakat adat”20
Selain
kedua
informan
tersebut,
Jusuf
Kun
Massora21
juga
mengungkapkan hal yang sama. Bahwa tidak semua Perda yang dibuat oleh
DPRD Tana Toraja melibatkan Lembaga Adat atau Tongkonan. Hanya
beberapa Perda tertentu saja yang dibuat dengan melibatkan Lembaga Adat.
Perda yang dibuat dengan melibatkan Lembaga Adat adalah Perda yang
memiliki keterkaitan dengan kehidupan masyarakat adat dan atau Perda
yang berkaitan dengan nilai adat dan atau budaya masyarakat adat di Tana
Toraja. Ada beberapa Perda yang dibuat oleh DPRD Tana Toraja yang
melibatkan Lembaga Adat. Perda tersebut diantaranya adalah Perda tentang
perubahan nama desa menjadi Lembang, Perda tentang pariwisata, Perda
tentang pajak potong hewan, dan masih ada beberapa Perda yang lain.
Bahkan
Lembaga
Adat
juga
dilibatkan
dalam
menyusun
rencana
pembangunan jangka menengah (sampai Tahun 2033).
19Ketua
Lembaga Adat di Kelurahan Tondon Mamullu (Tongkonan A’pa’)
Wawancara Tanggal 11 Juli 2012
21 Koordinator Masyarakat Adat Makale
20
57
DPRD Tana Toraja terus berupaya untuk meningkatkan partisipasi
masyarakat adat dalam proses tata kelola pemerintahan. Upaya tersebut
terlihat dari proses pelibatan masyarakat dalam membuat rancangan
pembangunan Tana Toraja, yang salah satunya adalah dalam proses
pembuatan peraturan daerah. Meskipun terkadang ada Lembaga Adat atau
Tongkonan yang tidak mau ikut berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan
atau Perda. Hal demikian ditemukan oleh penulis saat wawancara dengan
Tato’ Dena’22 seperti berikut:
“Saya lebih fokus pada adat dan kebiasaan nenek moyang dan agama
nenek moyang dan tidak tertarik untuk serta didalam proses
pemerintahan. Kadang-kadang ada undangan dari pemerintah tetapi
tidak ada niat dan kemauan untuk menghadiri undangan tersebut.
Pada masa Suharto, lembaga adat hanya dijadikan sebagai umpan
untuk memancing simpatisan untuk kemenangan Golkar”23
Pengalaman
akan
sistem
perpolitikan
di
Indonesia
ternyata
memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap pola pikir dan tindakan
masyarakat terkait dengan partisipasi masyarakat itu sendiri. Sampai saat ini
masih ada trauma masa lalu (orde baru) di tengah-tengah masyarakat adat
Tana Toraja. Sistem otoriter yang dibangun oleh rejim Soeharto memang
tidak memberi peluang bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam
menentukan nasib negara kedepan. Pengalaman masa lalu itu meninggalkan
22
23
Pemuka Adat Mandetek Makale
Wawancara Tanggal 12 Juli 2012
58
sikap apatis dalam sebagian masyarakat, seperti di Tana Toraja. Masyarakat
beranggapan bahwa pelibatan masyarakat dalam proses politik dan
pemerintahan hanya untuk memancing suara mereka disaat Pemilu.
Meskipun saat ini kondisinya tidak lagi seperti itu. Partisipasi masyarakat
memang merupakan suatu syarat penting dalam sebuah sistem demokrasi
yang dianut Indonesia saat ini. Keberhasilan dari sistem demokrasi dapat
dilihat dari berbagai aspek, dimana salah satunya adalah tinggi rendahnya
partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan. Partisipasi tersebut
dapat dilihat dalam berbagai aspek kegiatan politik dan pemerintahan, salah
satunya adalah proses pengambilan kebijakan atau pembuatan peraturan
daerah.
DPRD Tana Toraja tetap berupaya untuk membuat Perda yang
partisipatif, meskipun terkadang ada beberapa Lembaga Adat atau
Tongkonan yang kurang partisipatif. Bentuk keterlibatan masyarakat adat
melalui Lembaga Adat biasa diupayakan oleh DPRD Tana Toraja dengan
dua cara yaitu dengan mengundang perwkilan dari Lembaga Adat atau
DPRD melakukan kunjungan ke Tongkonan, khususnya pada saat reses.
Memang DPRD tidak melibatkan Lembaga Adat dalam semua tahapan
pembuatan Perda, melainkan hanya beberapa tahapan saja. Hal tersebut
diungkapkan oleh Aris Sampe Kalua24 seperti berikut:
24
Ketua Lembaga Adat Tondon Mamullu (Tongkonan A’pa’)
59
“Lembaga adat terlibat dalam perumusan kebijakan. Disini Lembaga
Adat dan tokoh masyarakat dimintai masukan atau saran. Dari saran
dan masukan tersebutlah muncul perumusan masalah”25
Ungkapan yang sama juga datang dari pihak DPRD Tana Toraja
seperti hasil wawancara penulis dengan Samuel Eban K. Mundi 26 seperti
berikut:
“Konsultasi publik masuk dalam perumusan pasal dan adopsi
kebijakan. DPRD mengadopsi apa yang menjadi masukan dari
masyarakat. Apabila masukan dan pendapat mereka dianggap
penting, maka saran tersebut dimasukkan dalam Perda”27
Masyarakat memang tidak mungkin dilibatkan dalam semua tahapan
pembuatan suatu Perda. Karena ada tahapan yang memang menjadi hak
dan kewenangan DPRD sepenuhnya dan ada tahapan yang wajib melibatkan
masyarakat atau pihak-pihak lain yang dianggap penting. Jadi bukan hanya
masyarakat, tetapi juga terkadang melibatkan pihak akademisi atau ahli
terkait dengan permasalahan yang akan diatur dalam rancangan perda
tersebut.
Masyarakat juga tidak mungkin dilibatkan secara keseluruhan dalam
proses pengambilan kebijakan atau pembuatan Perda. Masyarakat yang
dimaksud adalah perwakilan atau yang mewakili masyarakat tersebut.
25
Wawancara Tanggal 11 Juli 2012
Wakil Ketua DPRD Tana Toraja Periode 2009-2014
27 Wawancara Tanggal 11 Juli 2012
26
60
Demikian juga dengan Tana Toraja, dimana terdapat ratusan Tongkonan
kecil. Tidak semua Tongkonan harus dilibatkan dalam proses pembuatan
Perda, melainkan cukup perwakilan dari beberapa Tongkonan. Beberapa
Tongkonan kecil di Tana Toraja tergabung dalam satu Tongkonan besar, dan
beberapa tongkonan besar juga biasa tergabung dalam satu Lembaga Adat.
Oleh karena itu, masyarakat adat cukup diwakili oleh Lembaga Adat atau
Tongkonan besar.
DPRD Tana Toraja juga telah melakukan penyederhanaan konsep
perwakilan Lembaga Adat terkait pelibatannya dalam proses pembuatan
perda. Tidak semua Tongkonan diundang atau dilibatkan dalam pembuatan
suatu Perda, melainkan hanya beberapa wakil Tongkonan besar atau
Lembaga Adat. Hal tersebut diungkapkan oleh Samuel Eban K. Mundi saat
wawancara dengan penulis seperti berikut:
“Tidak semua tongkonan dipanggil, tetapi hanya perwakilan saja.
Mereka diwakili oleh lembaga adat”
Hal serupa juga disampaikan oleh Aris Sampe Kalua28 dan Jusuf Kun
Massora29 ketika wawancar dengan penulis seperti berikut ini:
“Tidak semua tongkonan dipanggil untuk mengikuti proses pembuatan
atau perumusan kebijakan. Yang dipanggil hanya Tongkonan yang
28
29
Ketua Lembaga Adat Tondon Mamullu (Tongkonan A’pa’)
Koordinator Masyarakat Adat Makale
61
besar saja karena Tongkonan besar ini membawahi banyak
Tongkonan kecil”30 (Aris Sampe Kalua)
“Tidak semua Tongkonan dilibatkan. Hanya diwakili oleh Tongkonan
layuk saja atau tongkonan induk”31 (Jusuf Kun Massora)
Konsep perwakilan memang tidak mengamanatkan agar pemerintah
melibatkan semua lapisan masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan.
Akan tetapi cukup perwakilan daripada masyarakat yang bersangkutan,yang
dalam konteks masyarakat adat Tana Toraja adalah Lembaga Adat atau
Tongkonan. Hal tersebut karena sistem politik yang dianut oleh negara
Indonesia adalah demokrasi modern, bukan demokrai kuno seperti yang
pernah diterapkan di zaman yunani kuno.
Partisipasi masyarakat melalui Lembaga Adat harus terus ditingkatkan,
demi keberhasilan penyelenggaraan sistem politik dan pemerintahan.
Dimana kesemuanya memiliki tujuan mendasar yakni untuk menciptakan
kesejahteraan masyarakat serta kemajuan bangsa dan negara kedepan.
Upaya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat sudah lebih mudah
dilaksanakan, mengingat adanya sambutan dari masyarakat terhadap kondisi
politik saat ini dibandingkan dengan kondisi pada era orde lama ataupun era
30
31
Wawancara Tanggal 11 Juli 2010
Wawancara Tanggal 12 Juli 2012
62
orde baru. Hal tersebut dapat dilihat melalui ungkapan Jusuf Kun Massora 32
saat wawancara dengan penulis seperti berikut:
“Peran masyarakat pada orde lama dan orde baru masih kurang dalam
pembuatan perda, tetapi pada masa reformasi, Lembaga Adat sudah
sangat aktif didalam proses pemerintahan. Lembaga Adat tidak
berperan aktif pada masa orde lama dan orde baru karena tidak diberi
kuasa oleh pemerintah. Pelaksanaan desentralisasi hanya dimulut
saja, tetapi implementasinya belum. Berbeda dengan reformasi yang
betul-betul memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola
daerahnya masing-masing sehingga pemerintah (daerah) merasa
perlu untuk memberdayakan masyarakatnya, salah satunya melalui
Lembaga Adat”33
Sambutan hangat dari masyarakat merupakan embrio bagi pemerintah
untuk membangun sistem politik dan pemerintahan yang lebih efektif dan
efisien. Apalagi sistem yang dibangun saat ini adalah otonomi daerah,
dimana setiap daerah memiliki kewenangan untuk mengatur rumah
tangganya sendiri. Peran serta masyarakat semakin dibutuhkan, sebab
pemerintah pusat mulai mengurangi campur tangan dalam beberapa aspek.
Sehingga pemerintah daerah harus bahu-membahu dengan masyarakat
dalam membangun daerah mereka sendiri.
Peran serta masyarakat harus diciptakan secara serius, bukan hanya
sebagi simbol semata. Peran yang lebih nyata merupakan salah satu
32
33
Kordinator Adat Makale
Wawancara Tanmggal 12 Juli 2012
63
harapan masyarakat adat di Tana Toraja dalam rangka penyelenggaraan tata
kelola pembangunan daerah. Hal tersebut diungkapkan oleh Aris Sampe
Kalua34 saat wawancara dengan penulis seperti berikut:
Harapan saya supaya pemerintah daerah, dalam hal ini bupati, DPRD,
dan jajarannya, betul-betul memberi peran kepada Lembaga Adat dan
pemuka adat didalam pembuatan kebijakan supaya tidak terkesan
bahwa Lembaga Adat itu ada sebagai simbol saja. Atau hanya
terpajang di papan saja dan tidak ada makna sama sekali, Lembaga
Adat hanya muncul di acara adat saja”35
Ungkapan diatas menunjukkan bahwa DPRD belum serius dalam
meningkatkan partisipasi masyarakat, melainkan hanya bersifat simbolis
dalam rangka memenuhi syarat pembuatan peraturan. Kedepan masyarakat
adat di Tana Toraja berharap agar peran yang diberikan adalah peran yang
sesungguhnya, bukan hanya untuk memenuhi syarat.
Apabila uraian diatas dianalisis dengan pendekatan sistem Gabriel
Almond, yang sudah dipakai sejak awal, maka akan terlihat suatu kesesuaian
antara teori dan fakta dilapangan. Almond menjelaskan bahwa dalam satu
sistem terdapat unit-unit atau sub sistem yang tidak dapat dipisahkan,
dimana setiap sub-sub sistem bekerja secara fungsional untuk mencapai
tujuan tertentu. DPRD Tana Toraja bekerja sesuai dengan tugas dan
34
35
Ketua Lembaga Adat Tondon Mamullu (Tongkonan A’pa’)
Wawancara Tanggal 11 Juli 2012
64
fungsinya yakni membuat peraturan, dalam hal ini membuat Perda. DPRD
merupakan salah satu sub sistem yang terdapat dalam satu sistem politik.
Lembaga Adat sebagai salah satu sub sistem juga telah menjalankan
tugas dan fungsinya. Lembaga adat memiliki peran untuk ikut serta dalam
proses pengambilan kebijakan, dalam hal ini pembuatan Perda. Peran
tersebut telah dijalankan oleh pengurus Lembaga Adat atau Tongkonan yang
ada di Tana Toraja. Lebih rinci peran yang dijalankan lembaga adat adalah
ikut membahas rancangan Perda, khususnya yang berkaitan dengan
Lembaga Adat. Lembaga Adat memberikan masukan atau kritikan terhadap
suatu rancangan Perda pada saat perumusan. Proses tersebut dilakukan
dengan cara DPRD mengundang pihak lembaga adat, atau terkadang pihak
DPRD yang berkunjung ke Lembaga Adat.
Lebih jelasnya hasil penelitian tersebut akan dianalisis dengan teori
sistem dari Gabriel almond, yaitu input dalam sistem politik. Input merupakan
masukan dari luar lingkungan sistem politik yang terdiri dari dua bagian besar
yakni permintaan dan dukungan. Input datang dari kelompok infrastruktur
politik, baik itu partai politik, kelompok kepentingan atau kelompok penekan.
Lembaga Adat merupakan salah satu kelompok infrastruktur politik, tepatnya
kelompok kepentingan.
Lembaga Adat atau Tongkonan sebagai salah satu kelompok
kepentingan bertugas untuk menampung saran (kritikan atau masukan) dari
anggotanya (masyarakat adat) untuk kemudian disampaikan kepada
65
lembaga politik yang berada dalam suprastruktur politik. Lembaga Adat atau
Tongkonan telah mewakili masyarakat adat dalam proses pengambilan
kebijakan. Lembaga Adat di Tana Toraja memberikan kritikan dan masukan
dalam pembuatan suatu Perda kepada DPRD. Jadi, hubungan antara
Lembaga Adat atau Tongkonan dengan DPRD di Tana Toraja terjalin pada
saat pembuatan Perda, dimana Lembaga Adat memiliki peran untuk
memberikan kritikan dan atau masukan terhadap DPRD.
Melihat hubungan antara Lembaga Adat dengan DPRD Tana Toraja,
berarti telah terjalin relasi antara negara yang diwakili oleh DPRD dengan
masyarakat sipil yang diwakili oleh Lembaga Adat. Hanya saja relasi antara
masyarakat sipil (Lembaga Adat) dengan negara (DPRD) di Tana Toraja
lebih tepat dengan konsep yang dikemukakan oleh Gramsci daripada konsep
yang dikemukakan oleh Marx dan Engels. Menurut Marx dan Engels,
masyarakat sipil (struktur) lebih berkuasa atas negara (superstruktur)36.
Sedangkan Gramsci berpendapat sebaliknya, bahwa superstruktur (negara)
tetap lebih berkuasa atas struktur (masyarakat sipil)37. Berkaitan dengan
temuan yang terdapat di Tana Toraja, partisipasi masyarakat mengalami
perubahan dari masa ke masa, sangat tergantung dengan rejim (negara)
yang ada. Pada masa orde baru, masyarakat sipil tidak memiliki peran.
Sedangkan pada era reformasi, masyarakat sipil sudah diberikan peran yang
36
Nezar Patria dan Andi Arief, Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003), hal. 134
37 Nezar Patria dan Andi Arief, Op.Cit, hal. 135
66
cukup penting. Artinya negara (pemerintah) sangat berperan dalam
menentukan partisipasi masyarakat, atau dalam bahasa Gramsci bahwa
negara berkuasa atas masyarakat sipil ( Hegemoni). Hegemoni yang
dimaksud disini adalah pembatasan partisipasi masyarakat sipil dalam
pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
67
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada bagian ini akan diuraikan kesimpulan tentang hubungan
Lembaga Adat dengan DPRD dalam pengambilan kebijakan di Tana Toraja.
Kesimpulan yang akan diuraikan meliputi peran Lembaga Adat dalam proses
pengambilan kebijakan, dalam hal ini pembuatan Perda di Tana Toraja.
Setelah melakukan penelitian selama kurang lebih tiga bulan, maka
penulis dapat menarik kesimpulan terkait hubungan Lembaga Adat dengan
DPRD dalam pengambilan kebijakan di Tana Toraja. Lembaga Adat atau
Tongkonan di Tana Toraja sudah memiliki peran dalam proses pengambilan
kebijakan, dalam hal ini pembuatan Perda. Peran Lembaga Adat dalam
pembuatan Perda sama seperti peran lembaga kemasyarakatan pada
umumnya.
Lembaga Adat dilibatkan dalam proses pembuatan Perda, khususnya
Perda yang berkaitan dengan budaya atau adat masyarakat Tana Toraja.
Dalam proses pembuatan Perda, DPRD mengundang pihak Lembaga Adat
atau terkadang pihak DPRD berkunjung ke Lembaga Adat yang ada. Pihak
DPRD meminta tanggapan, berupa masukan dan kritikan, terhadap
rancangan Perda yang akan dibahas. Masukan atau kritikan tersebut diminta
pada saat perumusan suatu Perda, sebelum dibahas pada sidang paripurna.
68
Pihak DPRD menjadikan masukan dan atau kritikan tersebut sebagai bahan
pertimbangan dalam menyusun suatu Perda.
Hanya saja memang peran Lembaga Adat belum terlalu maksimal
dalam proses pembuatan Perda, hal ini disebabkan oleh :
1.
Terkadang pihak DPRD belum secara sungguh-sungguh
dalam memberikan peran kepada Lembaga Adat. Hal
tersebut dapat dilihat dari proses pelibatan Lembaga Adat,
dimana hanya pada pembuatan perda yang berhubungan
dengan
budaya
dan
adat.
Padahal
Lembaga
Adat
merupakan lembaga kemasyarakatan, yang mencakup
segala aspek kehidupan.
2.
Lembaga Adat juga masih ada yang bersifat apatis. Ada
beberapa Lembaga Adat yang tidak bersedia untuk terlibat
dalam proses pembuatan Perda akibat trauma pada masa
lalu (orde lama dan orde baru).
3.
Lembaga Adat kurang berkembang karena banyak diantara
pemuka adat yang tidak lagi tertarik untuk mengurusi hal-hal
yang berhubungan dengan adat, mereka lebih tertarik untuk
terjun kedunia politik dan menjadi pengusaha.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat
disimpulkan bahwa memang Lembaga Adat di Tana Toraja sudah diberikan
peran dalam proses pengambilan kebijakan, dalam hal ini pembuatan Perda.
69
Lembaga Adat di Tana Toraja sudah menjalankan fungsinya dengan baik,
tetapi hanya sebagai penginput saja dan tidak terlibat terlalu jauh karena
bukan wilayahnya lagi.
B. Saran
Setelah melakukan penelitian dengan berbagai temuan dilapangan,
maka penulis memberikan saran terkait dengan hubungan Lembaga Adat
dengan DPRD dalam pengambilan kebijakan di Tana Toraja. Bahwa
diharapkan kedepan DPRD Tana Toraja dalam membuat setiap peraturan
harus lebih partisipatif.
Peran yang diberikan juga harus secara sungguh-sungguh, bukan
hanya sekedar untuk memenuhi persyaratan pembuatan peraturan. Selain
itu, masyarakat juga harus lebih terbuka dengan sistem yang ada saat ini.
Artinya tidak boleh terlalu mengingat sistem yang ada di masa lalu, sehingga
akhirnya bersifat apatis. Dengan demikian, setiap peraturan atau kebijakan
yang dibuat akan berhasil dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat dan
pembangunan daerah Tana Toraja kedepan.
Selain itu keberadaan Lembaga Adat juga tidak hanya digunakan
sebagai sarana budaya saja atau sebagai sarana untuk menjaring suara saat
pemilu tetapi diharapkan Lembaga Adat betul-betul difungsikan sebagai
wadah untuk menampung aspirasi dari masyarakat.
70
DAFTAR PUSTAKA
Agustino, Leo. 2011. Sisi Gelap Otonomi Daerah. Widya Padjadjaran.
Bandung
Gabriel, Almond. 1990. Budaya Politik. Bumi Aksara : Jakarta.
Aswanto, Mariattang. 2007. Tata Tertib DPRD Untuk Parlemen Yang
Amanah. Komite Pemantau Legislatif: Makassar
Chilcote, Ronald H. 2003. Teori Perbandingan Politik : Penelusuran
Paradigma. PT Rajagrafindo Persada: Jakarta
Halim, Hamzah dan Kemal Redindo Syahrul Putera. 2010. Cara Praktis
Menyusun dan Merancang Peraturan Daerah: Suatu Kajian
Teoritis dan Praktis disertai Manual. Prenada Media Group: Jakarta
Irawan, Prasetya. 2006. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif untuk IlmuIlmu Sosial. Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI: Depok.
Marbun, B.N. 1994. DPRD: Pertumbuhan, Masalah dan Masa Depannya.
Erlangga: Jakarta
Moleong, Lexy. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Remaja
Rosdakarya: Bandung
Patria Nezar dan Andi Arief. 2003. Antonio Gramsci: Negara dan
Hegemoni. Pustaka Pelajar: Yogyakarta
Subarsono. 2010. Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan Aplikasi.
Pustaka Pelajar: Yogyakarta
Sumaryadi, I Nyoman. 2006. Pemberdayaan Lembaga Adat: Bali
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta : Grasindo
Tim Lapera. 2000. Otonomi Versi Negara. Lapera Pustaka Utama:
Yogyakarta
Tim Penyusun PUSLIT IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2000. Pendidikan
Kewargaan: Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani. IAIN
Jakarta Press: Jakarta
71
Wasistiono, Sadu dan Yonatan Wiyoso. 2009. Meningkatkan Kinerja Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Fokusmedia: Bandung
Zuhro, Siti. Eko Prasojo. 2010. Kisruh Peraturan Daerah: Mengurai
Masalah dan Solusinya. Penerbit Ombak: Yogyakarta
Sumber – sumber lain:
http://massofa.wordpress.com/2008/11/17/fungsi-artikulasi-kepentingan/
(Diakses pada tanggal 26 Juli 2012)
72
Download