View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Penelitian
Konflik merupakan unsur terpenting dalam kehidupan manusia.
Manusia sebagai makhluk konfliktis (homo conflictus) yaitu makhluk yang
selalu terlibat dalam perbedaan, pertentangan, dan persaingan baik
secara sukarela maupun terpaksa. Untuk itulah masyarakat dimanapun
mereka berada akan selalu menghadapi kemungkinan terjadinya konflik.
Sepanjang peradaban manusia di muka bumi ini, konflik merupakan
warna lain kehidupan yang tidak bisa dihapuskan dan selalu hadir dalam
kehidupan bermasyarakat.
Istilah konflik sendiri secara etimologi berasal dari bahasa latin “con”
yang berarti bersama dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan.
Jadi konflik dalam kehidupan sosial berarti benturan kepentingan,
keinginan, pendapat, dan lain-lain yang melibatkan dua pihak atau lebih.
Sedangkan menurut Soekanto konflik adalah
“Proses sosialisasi dimana orang perorang atau kelompok manusia
berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang
pihak lawan yang disertai ancaman atau kekerasan (Soekanto,
1986: 68)”.
Sedangkan Kolip (2010: 345) mengemukakan tentang defenisi
konflik yaitu:
1
“Konflik merupakan gejala sosial yang sering hadir dalam
kehidupan masyarakat yang bersifat inheren, artinya konflik akan
senantiasa ada dalam setiap ruang dan waktu, dimana saja dan
kapan saja. Dalam pandangan ini, masyarakat merupakan arena
konflik atau arena pertentangan dan integrasi yang senantiasa
berlangsung”.
Secara sederhana konflik dapat diartikan sebagai pertentangan
antara individu dengan kelompok atau antara kelompok dengan kelompok.
Pertentangan yang terjadi akibat adanya perbedaan pendapat, tujuan,
keinginan dan objek yang dipertentangkan. Konflik sosial yang terjadi
dalam masyarakat
secara umum disebabkan oleh beberapa faktor
sebagai berikut:
1. Perbedaan antar individu,
2. Benturan antar kepentingan baik itu secara ekonomi ataupun
politik,
3. Perubahan sosial,
4. Perbedaan kebudayaan.
Keempat faktor diatas bukanlah faktor utama pemicu konflik tapi
hanya sebagai pemicu lahirnya konflik. Faktor utama yang menyebabkan
lahirnya konflik adalah karena adanya disfungsi sosial. Disfungsi sosial
terjadi manakala norma-norma sosial yang ada di dalam struktur sosial
masyarakat tidak lagi ditaati, pranata sosial, dan sistem pengendaliannya
tidak berjalan sebagaimana mestinya (Kolip, 2010: 360).
Seperti halnya yang terjadi di Kecamatan Mengkendek, Kabupaten
Tana
Toraja.
Konflik
bermula
ketika
rencana
pemerintah
untuk
membangun sebuah bandar udara di lokasi tersebut. Pembangunan mulai
2
berjalan tahun 2010 dengan alokasi dana Rp 20 Miliyar dari APBD Tana
Toraja dan Rp 10 Miliyar dari Gubernur Sulawesi Selatan. Adapun Lokasi
pembangunan bandar udara berada di Kecamatan Mengkendek yang
meliputi
Kelurahan
Tampo,
Lembang/Desa
Rantedada,
Lembang
Marinding, dan Lembang Simbuang.
Namun dalam proses pembangunan tersebut khususnya dalam hal
pembebasan lahan, timbul konflik karena adanya pihak-pihak yang saling
mengklaim atas kepemilikan tanah di sekitar lokasi pembangunan bandar
udara. Hal ini terjadi karena tanah yang menjadi objek sengketa adalah
tanah tongkonan yang dalam masyarakat Toraja merupakan kepemilikan
secara kolektif. Selain itu adanya pembagian ganti rugi tanah yang tidak
merata sesama anggota tongkonan menimbulkan kecemburuan sosial
bagi seluruh anggota tongkonan.
Masyarakat Toraja terdiri atas sekian banyak persekutuan yang
disebut Tongkonan. Para anggota
dari tongkonan satu dengan yang
lainnya mempunyai ikatan secara geneologi karena adanya hubungan
darah. Sebagaimana diketahui, persekutuan yang disebut dengan
tongkonan ini juga mempunyai tanah yang disebut dengan tanah
tongkonan.
Tanah
tongkonan
adalah
tanah
yang
dikuasai
oleh
sekelompok masyarakat adat dimana semua anggota tongkonan memiliki
atau mempunyai hak yang sama, terhadap tanah tersebut berdasarkan
atas suatu pertalian keturunan.
3
Tanah tongkonan pada umumnya tidak mengenal adanya sertifikat.
Penguasaannya dilakukan oleh keturunan yang bermukim di lokasi tanah
tersebut. Setiap keturunan dari pemilik tanah tongkonan berhak untuk
tinggal dan membangun di atas tanah tongkonan dengan syarat
sepanjang mereka ikut berpartisipasi memelihara dan menjaga tanah milik
keluarga tersebut.
Keberadaan tanah Tongkonan bagi masyarakat adat Tana Toraja
seringkali menjadi sumber sengketa yang bermula dari pengaduan pihak
(orang/badan hukum) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak
atas tanah, baik terhadap status tanah, batas-batas tanah yang tidak jelas
maupun
kepemilikannya
penyelesaian
secara
dengan
hukum,
baik
harapan
dari
dapat
aspek
memperoleh
perdata
maupun
administrasi, sehingga pihak-pihak yang bersangkutan dapat memperoleh
kepastian dan perlindungan.
Hal inilah yang kadang memicu konflik ketika salah satu pihak
mengklaim atas kepemilikan tanah tersebut baik secara kepemilikan,
batas-batas tanah ataupun hak penuh atas tanah tersebut. Padahal
secara hukum adat, tanah
tongkonan tidak dapat dikuasai secara
sepihak.
kepemilikan
Tidak
terbaginya
tanah
tongkonan
karena
merupakan simbol persatuan keluarga dan juga merupakan sarana yang
dapat mempertemukan kembali seluruh keturunan yang keluar dari
tongkonan itu dalam atau situasi tertentu.
4
Proses pembayaran ganti rugi bagi masyarakat yang tanahnya
masuk dalam area lokasi pembangunan bandar udara ternyata menuai
masalah. Hal ini terjadi karena
saling mengklaim kepemilikan tanah
terjadi diantara sesama keluarga. Inilah asal mula terjadinya konflik
dimana kecemburuan dan keinginan masing-masing pihak mendapatkan
ganti rugi atas tanah dilokasi pembangunan bandar udara.
Menarik untuk diperhatikan bahwa persoalan tanah baik yang ada di
perkotaan maupun pedesaan senantiasa rumit. Pembangunan yang
dicanangkan oleh pemerintah selalu kandas ditengah jalan akibat proses
pembebasan lahan. Disatu sisi adalah kewajiban pemerintah dalam
membangun suatu daerah demi untuk menunjang perekonomian namun
disisi lain muncul kepentingan masyarakat yang mencari nafkah di tanah
tersebut. Akibatnya terjadi benturan antara kedua kepentingan yang saling
bertolak belakang.
Konflik dalam masyarakat dapat membawa keadaan yang baik
karena mendorong perubahan dalam masyarakat, dan keadaan buruk
apabila berkelanjutan tanpa mengambil solusi yang dianggap bermanfaat
bagi semua pihak sebagai akhir dari konflik, artinya tidak saja mencari
penyebab konflik tetapi juga mencari bagaimana cara mengatasinya.
Konflik
merupakan hal yang sering terjadi dalam masyarakat
dimanapun dan kapanpun seperti kasus diatas. Untuk itulah konflik tidak
bisa dibiarkan berlarut begitu saja karena akan mengganggu tatanan
dalam masyarakat. Maka dari itu dibutuhkan pemimpin dalam masyarakat
5
untuk mengatur dan memediasi pihak yang berkonflik. Perlunya seorang
pemimpin menurut Kartini Kartono karena masyarakat butuh ketertiban.
Pemimpin adalah orang yang diharapkan mampu untuk memediasi pihak
yang berkonflik sehingga dalam masyarakat nantinya tercipta ketentraman
dan rasa aman.
Kepemimpinan (leadhership) adalah kemapuan seseorang untuk
mempengaruhi orang lain sehingga orang tersebut bertingkah-laku
sebagaimana
yang
dikehendaki
oleh
kehidupan bermasyarakat pemimpin
pemimpin
tersebut.
Dalam
terbagi atas dua yaitu pemimpin
yang bersifat resmi (formal leadership), yaitu kepemimpinan yang
tersimpul dalam suatu jabatan dan pemimpin tidak resmi (informal
leadership), yaitu pemimpin yang mendapat pengakuan dari masyarakat
(Soekanto, 2007: 250).
Kepemimpinan informal pada masyarakat Toraja biasa disebut
dengan To parenge’ yaitu orang-orang yang dipilih langsung oleh
masyarakat melalui mekanisme tertentu untuk menjalankan tugas seperti
menyelesaikan konflik dalam masyarakat. To parenge’ tersebut diangkat
dan diseleksi oleh masyarakat berdasarkan garis keturunan, pengabdian
dan penguasaan adat istiadat. Jadi sebagai pemimpin To parenge’
memiliki tanggungjawab atas apa yang terjadi dalam masyarakat. Seperti
konflik sengketa tanah di Kecamatan Mengkendek antara sesama
keluarga tongkonan, To parenge’ memiliki peran dalam mendamaikan
pihak yang berkonflik tersebut.
6
Pada umumnya konflik yang terjadi dalam masyarakat diselesaikan
secara adat tanpa ada suatu keputusan menang kalah yang dapat
memperlebar jarak diantara anggota keluarga. Proses penyelesaian
masalah tersebut dilakukan melalui musyawarah yang dipimpin oleh To
parenge’ dan dihadiri oleh orang-orang yang dituakan dalam kampung.
Namun dalam menyelesaikan masalah tersebut, kadang kala To
parenge’ sendiri mendapat kendala apabila pihak-pihak yang berkonflik ini
sulit untuk didamaikan lantaran masing-masing pihak merasa berhak atas
tanah tersebut. Untuk itulah jalan yang terbaik untuk menyelesaikan
masalah ini dapat ditempuh dengan cara musyawarah. Akan tetapi
apabila masalah tersebut tidak dapat diselesaikan secara musyawarah
maka jalan satu-satunya yaitu dengan menempuh jalur hukum.
Inilah yang menjadi tugas dari seorang To parenge dalam
masyarakat Toraja. Seperti halnya pemimpin pada umumnya, To parenge’
sendiri mempunyai tugas dan peran sebagai pemimpin dalam masyarakat.
Kepemimpinan dan peranan To parenge’ dalam masyarakat Toraja
diperlukan untuk mengatur kehidupan bermasyarakat agar tercipta rasa
aman dalam masyarakat tersebut. Sejak awal terbentuknya hingga
mengalami pergantian kepemimpinan merupakan hal yang berlangsung
secara berkala.
Namun yang terpenting dalam hal ini adalah sejauh manakah
kontribusi yang diberikan pemimpin tersebut
bagi anggotanya hingga
sampai saat ini To parenge’ masih tetap ada dalam masyarakat Toraja.
7
Pentingnya peranan pemimpin tersebut tentunya diharapkan mampu
membawa pengaruh yang positif. Hal tersebutlah yang membuat penulis
untuk mengangkat suatu masalah penelitian dengan judul
“Peranan To parenge’ dalam Menyelesaikan Konflik” (Study kasus:
Konflik Sengketa Tanah pada Pembangunan Bandar Udara di Kecamatan
Mengkendek, Kabupaten Tana Toraja)
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan deskripsi pada latar belakang diatas, penulis mencoba
mengerucutkan persoalan agar lebih memudahkan objek penelitian dan
menghindari luasnya pembahasan yang dilakukan. Berkenaan dengan itu
penulis berupaya membatasi masalah yang diteliti seperti yang tertuang
pada rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah To parenge’ menjalankan perannya dalam
upaya mencegah dan menyelesaikan konflik yang terjadi di
masyarakat
khususnya
kasus
sengketa
tanah
pada
pembangunan bandar udara di Kecamatan Mengkendek,
Kabupaten Tana Toraja?
2. Bagaimana tanggapan masyarakat mengenai penyelesaian
konflik yang diperankan oleh To parenge’?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka Tujuan Penelitian adalah:
1. Mendeskripsikan peranan To parenge’ dalam mencegah dan
menyelesaikan konflik dalam masyarakat khususnya konflik
8
sengketa
tanah
pada
pembangunan
Bandar
udara
di
Kecamatan Mengkendek, Kabupaten Tana Toraja.
2. Mendeskripsikan tanggapan masyarakat tentang penyelesaian
konflik oleh To parenge’.
D.
Kegunaan penelitian
1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan menjadi bahan
rujukan informasi teoritik-empirik bagi peneliti yang hendak
menganalisis tentang peranan pemimpin informal dalam
masyarakat.
2. Diharapkan
dapat
menjadi
bahan
pertimbangan
bagi
pemerintah Kabupaten Tana Toraja dalam menangani konflik.
3. Diharapkan dapat menjadi bahan referensi dan bahan acuan
untuk penelitian selanjutnya.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEPTUAL
A.
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian Peranan
Peranan (role) merupakan aspek dinamis dari kedudukan. Apabila
seseorang
melaksanakan
hak
dan
kewajibannya
sesuai
dengan
kedudukannya, dia menjalankan suatu peranan. Pentingnya suatu
peranan
karena
ia
mengatur
perilaku
seseorang.
Orang
yang
bersangkutan akan dapat menyesuaikan perilaku sendiri dengan perilaku
orang-orang sekelompoknya.
Demikian halnya dengan To parenge’ dalam masyarakat Toraja.
Kedudukan To parenge’ sebagai pemimpin dalam suatu tongkonan juga
memiliki peranan dalam kelompoknya. Peran To parenge’ dalam hal ini
adalah mengatur keberlangsungan hidup para anggota warga tongkonan
yang dibawahinya. Jadi ketika To parenge’ menjalakan hak dan
kewajibannya dalam masyarakat maka ia menjalankan suatu peranan.
Peranan yang melekat pada diri seseorang harus dibedakan dengan
posisi dalam pergaulan kemasyarakatan. Posisi seseorang dalam
masyarakat merupakan unsur statis yang menunjukkan tempat individu
pada organisasi masyarakat. Peranan lebih banyak menunjuk pada
fungsi, penyesuaian diri, dan sebagai suatu proses. Peranan mencakup
tiga hal sebagai berikut:
10
a. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan
posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat.
b. Peranan merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat
dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
c. Peranan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur
sosial masyarakat (Soekanto 2010: 213).
2. Pengertian Konflik
Dinamika dalam kehidupan bermasyarakat adalah suatu hal yang
biasa terjadi begitu pula dengan konflik. Konflik adalah gejala sosial yang
selalu ada mengisi kehidupan bermasyarakat dan sudah menjadi bagian
dari kehidupan manusia. Banyak pendapat yang dikemukakan oleh para
ahli mengenai konflik itu sendiri. Salah satunya yang dikemukakan oleh
Soekanto bahwa
konflik adalah “Proses sosialisasi dimana orang perorang atau
kelompok manusia berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan
jalan menentang pihak lawan yang disertai ancaman atau
kekerasan” (Soekanto, 1986: 68).
Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (2005) konflik diartikan
sebagai percekcokan, perselisihan, dan pertentangan. Sedangkan dalam
buku Pengantar Sosiologi karya Kolip (2010: 345), dijelaskan mengenai
konflik bahwa konflik merupakan perselisihan atau persengketaan antara
dua atau lebih kekuatan individu baik secara individu ataupun kelompok
yang kedua bela pihak memiliki keinginan untuk saling menjatuhkan atau
menyingkirkan atau mengalahkana atau menyisikan”.
11
Menurut Coser, lama tidaknya suatu konflik dipengaruhi oleh 3 hal
yaitu:
a. Luas sempitnya tujuan konflik
b. Pengetahuan
sang
pemimpin
tentang
simbol-simbol
kemenangan atau kekalahan dalam konflik
c. Peranan pemimpin dalam memahami biaya konflik dan
persuasi pengikutnya (Ranjabar 2006: 235).
3. Proses Terjadinya Konflik
Para sosiolog berpendapat bahwa akar dari timbulnya konflik yaitu
adanya hubungan sosial, ekonomi, politik dimana terjadi perebutan atas
sumber-sumber kepemilikan, status sosial, dan kekuasaan yang jumlah
ketersediannya sangat terbatas dengan pembagian yang tidak merata di
masyarakat.
Pembagian
yang
tidak
merata
dalam
masyarakat
menimbulkan ketimpangan sehingga ada upaya yang dilakukan oleh
pihak-pihak tertentu dalam memperoleh atau mempertahankan aset sosial
tersebut.
Demikian halnya yang terjadi di Kecamatan Mengkendek, konflik
yang terjadi akibat adanya perebutan sumber-sumber ekonomi berupa
tanah yang membuat masyarakat tidak lagi patuh terhadap norma-norma
yang ada dalam masyarakat. Proses pembangunan bandar udara di
Kecamatan Mengkendek yang tujuannya meningkatkan kesejahteraan
masyarakat malah menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Konflik
yang terjadi pula merupakan konflik antar keluarga tongkonan yang saling
12
mengklaim tanah tongkonan demi untuk mendapatkan hak ganti rugi atas
pembangunan bandar udara di daerah tersebut.
Konflik memang sesuatu hal yang ada dalam setiap kehidupan
masyarakat sehingga banyak ahli yang mengemukakan tentang faktor
timbulnya konflik. Secara sederhana penyebab konflik dibagi atas dua
yaitu:
a. Kemajemukan Horisontal
Kemajemukan
horisontal artinya
bahwa
kemajemukan
yang
didasarkan pada struktur masyarakat yang majemuk secara
kultural, seperti suku bangsa, agama, ras, dan majemuk secara
sosial dalam arti perbedaan profesi seperti petani, buruh, pegawai
dan sebagainya. Kemajemukan horisontal kultural menimbulkan
konflik yang masing-masing unsur kultural tersebut mempunyai
karakteristik sendiri dan masing-masing penghayat budaya tersebut
ingin mempertahankan karakteristik budayanya tersebut.
b. Kemajemukan Vertikal
Kemajemukan vertikal artinya bahwa struktur masyarakat yang
terpolarisasi berdasarkan kekayaan, pendidikan, dan kekuasaan.
Kemajemukan vertikal dapat menimbulkan konflik sosial karena
ada sekelompok kecil
masyarakat yang memiliki kekayaan,
pendidikan yang mapan, kekuasaan dan wewenang yang besar
sementara sebagian besar tidak atau kurang memiliki kekayaan,
pendidikan rendah, dan tidak memiliki kekuasaan dan wewenang.
13
Polarisasi masyarakat seperti ini merupakan benih subur akan
timbulnya konflik sosial (Ranjabar, 2013: 211).
Sedangkan menurut Turner (dalam Kolip, 2010:363) ada beberapa
faktor memicu terjadinya konflik sosial yaitu sebagai berikut:
a. Ketidak merataan distribusi sumber daya yang sangat
terbatas dalam masyarakat.
b. Ditariknya
kembali
legitimasi
penguasa
politik
oleh
masyarakat kelas bawah
c.
Adanya pandangan bahwa konflik merupakan cara untuk
mewujudkan kepentingan.
d. Sedikitnya saluran untuk menampung keluhan-keluhan
masyarakat kelas bawah serta lambatnya mobilitas sosial
keatas.
e. Melemahnya kekuasaan negara yang disertai dengan
mobilisasi masyarakat bawah oleh kaum elit.
f. Kelompok masyarakat kelas bawah menerima ideologi
radikal.
Kehadiran konflik telah banyak membawah perubahan-perubahan
yang ada dalam masyarakat. Faktor ekonomi kadang kala menjadi
penyebab utama terjadinya konflik itu sendiri. Pembagian sumber daya
alam yang tidak merata antar anggota tongkonan menyebabkan adanya
kecemburuan sosial. Untuk itulah perlu adanya suatu penanganan konflik
yang baik agar konflik tidak berlarut-larut semakin lama.
14
4. Bentuk - Bentuk Konflik
Ada beberapa macam konflik yang terjadi dalam masyarakat, untuk
mempermudah menganalisis konflik tersebut berikut disajikan beberapa
bentuk konflik:
a. Pertentangan pribadi
Tidak jarang terjadi bahwa dua orang sejak mulai berkenalan sudah
saling tidak menyukai. Apabila permulaan yang buruk tadi
dikembangkan, maka timbul rasa saling membenci. Maki-makian
diucapkan,
penghinaan
dilontarkan
dan
seterusnya
sampai
mungkin timbul suatu perkelahian fisik. Apabila perkelahian dapat
dilerai untuk sementara, maka seolah-olah untuk seterusnya
kedua-duanya tak mungkin berhadapan muka lagi.
b. Pertentangan rasial
Dalam hal ini pun para pihak akan menyadari betapa pentingnya
perbedaan-perbedaan antara mereka yang seringkali menimbulkan
pertentangan. Misalnya pertentangan antar orang-orang negro
dengan orang kulit putih di Amerika Serikat. Sebetulnya sumber
pertentangan tidak hanya terletak pada perbedaan kepentingan
dan kebudayaan. Keadaan tersebut ditambah dengan kenyataan
bahwa salah satu ras merupakan golongan yang minoritas.
15
c. Pertentangan antar kelas-kelas sosial
Umumnya pertentangan ini terjadi disebabkan oleh perbedaan
kepentingan, misalnya perbedaan kepentingan antara majikan dan
buruh.
d. Pertentangan politik
Biasanya pertentangan ini menyangkut baik antara golongan dalam
suatu masyarakat, maupun antara negara-negara yang berdaulat.
Hal ini terakhir menimbulkan bentuk pertentangan berikutnya.
e. Pertentangan yang bersifat internasional
Ini disebabkan perbedaan-perbedaan kepentingan yang kemudian
merembes ke kedaulatan dan itu berarti kehilangan muka dalam
forum internasional. Tidak jarang pertentangan demikian menyulut
perang total negara (Soekanto, 1990: 107).
Konflik yang terjadi pada manusia ada berbagai macam ragamnya,
bentuknya, dan jenisnya. Soetopo (1999) mengklasifikasikan jenis konflik,
dipandang dari segi materinya menjadi empat, yaitu:
a. Konflik tujuan yaitu konflik terjadi jika ada dua tujuan atau yang
kompetitif bahkan yang kontradiktif.
b. Konflik peranan yaitu konflik yang timbul karena manusia
memiliki lebih dari satu peranan dan tiap peranan tidak selalu
memiliki kepentingan yang sama.
c. Konflik nilai yaitu konflik yang muncul karena pada dasarnya
nilai yang dimiliki setiap individu dalam organisasi tidak sama,
16
sehingga konflik dapat terjadi antar individu, individu dengan
kelompok, kelompok dengan organisasi.
d. Konflik kebijakan yaitu suatu konflik dapat terjadi karena ada
ketidaksetujuan individu atau kelompok terhadap perbedaan
kebijakan yang dikemukakan oleh satu pihak dan kebijakan
lainnya.
Berdasarkan Polanya, konflik dibagi kedalam tiga bentuk, yaitu
sebagai berikut:
a. Konflik
laten
sifatnya
tersembunyi
dan
perlu
diangkat
kepermukaan sehingga dapat ditangani secara efektif.
b. Konflik terbuka adalah konflik yang berakar dalam dan sangat
nyata, dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi
akar penyebab dan berbagai macam efeknya.
c. Konflik dipermukaan memiliki akar yang dangkal atau tidak
berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai
sesuatu yang dapat diatasi dengan menggunakan komunikasi
(Fisher,
d. 2001).
Berdasarkan tipe konflik dibagi atas dua bagian yaitu:
a. Konflik sosial vertikal, yaitu konflik yang terjadi antara
masyarakat dan negara. Konflik ini dapat dikatakan konflik laten
karena benih-benihnya sudah ada dan terpendam.
17
b. Konflik sosial horisontal terjadi karena adanya konflik antar
etnis, suku, golongan, agama atau antar kelompok masyarakat.
konflik horisontal umumnya dapat dipicu oleh beberapa hal
sebagai berikut:
1. Saling mengklaim dalam menguasai sumber daya yang
mulai terbatas akibat tekanan penduduk dan kerusakan
lingkungan atau adanya pengurasan sumber daya oleh
sekelompok masyarakat tanpa mengindahkan norma-norma
masyarakat disekitar pengolahannya.
2. Kecemburuan sosial yang bersumber dari ketimpangan
ekonomi kaum pendatang/migran dengan penduduk asli.
(Ranjabar, 2013: 213-217)
5. Dampak-Dampak konflik
Konflik adalah fenomena sosial yang selalu hadir dalam masyarakat.
Konflik tidak hanya berdampak buruk tapi juga memberikan dampak
positif. Menurut Coser (dalam Kolip, 2010: 381) konflik sosial memiliki
fungsi positif yaitu sebagai berikut:
a. Konflik dapat meningkatkan solidaritas suatu kelompok, dimana
anggota masyarakat yang semula kurang kompak dan memiliki
gejala-gejala terbentuk integritas sosialnya disentegrasi, ketika
menghadapi lawan yang sama.
18
b. Konflik dengan kelompok tertentu akan menimbulkan hubungan
tarik menarik antara kelompok yang satu dengan kelompok
yang lainnya.
c. Konflik didalam masyarakat biasanya akan mengugah warga
masyarakat yang semula pasif menjadi aktif dalam memainkan
peranan tertentu di dalam masyarakat.
d. Konflik memiliki fungsi komunikasi. Invasi Amerika serikat ke
negara Islam akhirnya menimbukan intensitas komunikasi
masyarakat Islam untuk saling berkomunikasi terutama untuk
sama-sama mengetahui kekuatan dan kelemahan musuh
bersama tersebut.
Sedangkan Himes (dalam Kolip 2010: 382) memandang tidak semua
konflik berimplikasi negatif, disisi lain konflik memiliki fungsi positif,
diantaranya;
a. Secara struktural, konflik dapat mengubah keseimbangan
kekuasaan antara kelompok dominan dan minoritas. Dengan
meningkatnya
kekuatan
kelompok
minoritas
mendorong
kelompok dominan bersikap akomodatif yang pada akhirnya
mengurangi intensitas tekanan terhadap kelompok minoritas.
b. Dari
sisi
masyarakat
meningkatkan
komunikasi,
terhadap
konflik
hal
kesediaan
meningkatkan
yang
massa
perhatian
dipersengketakan,
untuk
meliputnya,
memungkinkan masyarakat memperoleh informasi baru, dan
19
mengubah pola komunikasi berkaitan dengan persoalan
tersebut.
c.
Dari
sisi
solidaritas,
konflik
dapat
meningkatkan
dan
memantapkan solidaritas diantara kelompok minoritas.
d. Dari sisi identitas, konflik akan menumbuhkan kesadaran
tentang siapa mereka dan mempertegas batas-batas kelompok.
6. Cara Menyelesaikan Konflik
Secara garis besarnya terdapat dua cara untuk menyelesaikan
konflik sosial yaitu:
a. Jalan atas atau jalan formal, dalam arti menggunakan
instrumen hukum yang ada.
b. Jalan
bawah
atau
jalan
informal,
yaitu
menggunakan
mekanisme yang hidup dalam masyarakat.
Jalan pertama mempunyai beberapa syarat yaitu:
c. Adanya instrumen hukum yang dapat dijadikan sebagai alat
untuk penyelenggara proses penyelesaian.
d. Lembaga peradilan yang memiliki kredibilitas
e. Pelaksanaan atau penegakan hukum yang tidak diragukan
integritasnya.
Demikian pula jalan kedua juga mempunyai beberapa syarat yaitu:
a. Adanya kesediaan damai dari pihak-pihak yang bertikai
b. Otoritas informal yang dijadikan rujukan atau kekuatan untuk
melerai pihak-pihak yang berkonflik
20
c. Adanya kesediaan berbagai pihak untuk membuka pintu dialog,
sehingga memungkinkan adanya saling pengertian. Cara ini
dapat dilakukan apabila ada perubahan atau transformasi
kesadaran
sehingga
memungkinkan
dan
skema
baru
terjadinya
dalam
proses
relasi
saling
pemberdayaan
kelembagaan lokal, sehingga institusi lokal dapat dijadikan
sandaran
dan
bahan
dalam
menyelesaikan
persoalan-
persoalan dari pihak-pihak yang bertikai (Mulkhan dkk, 2000).
Berikut ini adalah bentuk pengendalian konflik-konflik sosial yang
dikemukakan oleh Nasikun dalam buku Sistem Sosial Indonesia tahun
1988, adalah sebagai benkut :
a. Konsiliasi (Conciliation)
Adalah
suatu
usaha
untuk
mempertemukan
keinginan
keinginan pihak-pihak yang berselisih, bagi tercapainya suatu
persetujuan bersama, bagi pihak-pihak yang bersengketa ada
kesempatan untuk mendiskusikannya melalui suatu lembaga
tertentu. Nasikun mengambil contoh di dalam kehidupan politik,
lembaga-lembaga
semacamnya
yang
berupa
lembaga-
lembaga bersifat parlementer atau koalisi parlementer, dimana
berbagai kelompok kepentingan atau wakil-wakil mereka saling
bertemu satu sama lain untuk mewujudkan pertentanganpertentangan mereka melalui cara-cara yang bersifat damai.
b. Mediasi (Mediation)
21
Maksud dari mediasi adalah dimana kedua belah pihak yang
bersengketa bersama-sama bersepakat untuk menunjuk pihak
ketiga yang akan memberikan “nasehat-nasehatnya” tentang
bagaimana mereka sebaiknya menyelesaikan pertentangan
mereka. Kedua belah pihak yang terlibat dengan konflik bebas
memilih antara menerima atau menolak keputusan yang
diberikan oleh pihak ketiga. Pihak ketiga ini tidak mempunyai
wewenang
untuk
memberikan
keputusan-keputusan
penyelesaian. Pihak ketiga ini, hanyalah perantara sebagai
penasehat.
c. Arbitration (Perwasitan)
Di dalam hal ini kedua belah pihak yang bertentangan,
bersepakat untuk menerima atau “terpaksa” menenima pihak
ketiga yang akan memberikan “keputusan-keputusan” tertentu
untuk menyelesaikan konflik yang akan terjadi di antara
mereka. Pihak ketiga atau wasit mempunyai kedudukan yang
lebih tinggi dibandingkan pihak-pihak yang sedang konflik.
Ketiga jenis pengendalian konflik yang dikemukakan oleh Nasikun
tersebut, baik dipandang sebagai cara-cara pengendalian konfiik yang
bertingkat-tingkat atau di pandang sebagai cara-cara yang berdiri sendiri
memiliki daya kemampuan untuk mengurangi atau menghindarkan
kemungkinan-kemungkinan timbulnya ledakan-ledakan sosial dalam
bentuk kekerasan. Sejauh hubungan-hubungan sosial berdasarkan ketiga
22
jenis mekanisme pengendalian konflik-konflik sosial tersebut berkembang,
maka konflik-konflik sosial akan kehilangan pengaruhnya yang akan
merusak.
Sebaliknya, konflik-konfiik tersebut akan menjelma ke dalam pola
hubungan-hubungan sosial yang melembaga, suatu hal yang akan dapat
meredusir kegoncangan-kegoncangan sosial yang akan bersifat revolusir
dan menjadi evolusiner. Dengan perkataan lain, melalui mekanisme
pengendalian
konflik-konflik
sosial
di
antara
berbagai
kelompok
kepentingan justru akan mendorong terjadinya perubahan-perubahan
sosial yang tidak akan berakhir (Nasikun, 1988: 27).
7. Kepemimpinan dalam Masyarakat Tradisional
Pemimpin dalam masyarakat tradisional umumnya bersifat tidak
resmi karena dalam pengangkatannya berdasarkan pengakuan dari
masyarakat. Ukuran benar tidaknya kepemimpinan tidak resmi terletak
pada tujuan dan hasil pelaksanaan pemimpin tersebut. Max Weber
berpendapat tentang kepemimpinan sebagai berikut:
a. Kepemimpinan kharismatik, suatu bentuk kepemimpinan yang
diangkat
berdasarkan
kepercayaan
yang
datang
dari
lingkungan.
b. Kepemimpinan tradisional, suatu bentuk kepemimpinan yang
pemimpinnya diangkat atas dasar tradisi yang berlaku dalam
masyarakat
23
c. Kepemimpinan
yang
rasional
dan
kepemimpinan
yang
diangkat
atas
legal,
suatu
dasar
bentuk
pertimbangan
pemikiran tertentu dan penunjukan langsung.
Pola kepemimpinan dalam masyarakat tradisional juga lebih bersifat
primodial,
dalam
arti
hubungan
kedekatan
atas
dasar
keaslian,
kedaerahan, dan ikatan kultural yang sangat kuat. Dalam struktur
masyarakat seperti itu, pola-pola kultural menentukan bagaimana
masyarakat pedesaan menempatkan seseorang untuk dijadikan pemimpin
atau panutan. Biasanya seseorang yang dijadikan sebagai tokoh atau
figur kepemimpinan kebanyakan dari seseorang yang “dituakan” dalam
arti kualitas pribadi sangatlah menentukan pola kepemimpinan di
masyarakat (Kolip, 2010: 851).
Kehidupan sosial dikalangan masyarakat Toraja dikenal adanya
pemimpin informal yang disebut dengan To parenge’. To parenge’ berasal
dari dua kata yaitu to yang berarti orang dan parenge’ berarti pangkat bagi
orang yang berkuasa dalam kampung dan bertanggungjawab atas segala
hal bagi rakyatnya. Jadi To parenge’ adalah orang yang memiliki pangkat
dan kekuasaan dalam kampung. To parenge’ sendiri diangkat oleh
masyarakat berdasarkan keturunan dan penguasaan adat istiadat.
Setiap masalah yang terjadi di dalam masyarakat diselesaikan
secara kekeluargaan melalui musyawarah (kombongan) dan dipimpin oleh
seorang To parenge’. Kombongan adalah sidang lembaga-lembaga
masyarakat bagi pemecahan suatu masalah dalam masyarakat dan
24
mencari daya upaya dalam memecahkan masalah tersebut. Jadi dapat
diartikan bahwa kombongan adalah suatu bentuk rapat, sidang, ataupun
perkumpulan untuk membicarakan suatu hal. Seperti halnya masalah
konflik dalam masyarakat maka diadakannya suatu kombongan yang
dipimpin oleh para To parenge’ serta para orang-orang yang dituakan dan
pemuka masyarakat sebagai anggota.
Masyarakat Toraja sendiri juga mengenal adanya pembagian
masyarakat (kasta) dalam golongan-golongan sebagai berikut:
a. Tana’ bulaan (bulaan dalam bahasa Indonesia berarti emas)
merupakan kasta tertinggi.
Pada umumnya golongan bangsawan ini memiliki peranan yang
sangat penting dalam masyarakat karena mereka bertugas
menciptakan
aturan-aturan
yang
kemudian
menjadi
ketua
pemerintahan adat tertinggi dalam masing-masing adat/kelompok
adat.
b. Tana Bassi/tomakaka (dalam bahasa Indonesia, bassi artinya
besi).
Kasta ini disebut pula kasta tomakaka yang merupakan kasta
masyarakat
bangsawan
menengah
yang
menjalankan
pemerintahan.
c. Tana Karurung/to buda (dalam bahasa Indonesia karurung
artinya batang kayu enau).
25
Kasta ini merupakan kasta orang banyak atau biasa disebut
paktondokan. Umumnya kasta ini tidak mempunyai kuasa apaapa.
d. Tana’ kua-kua/kaunan (dalam bahasa Indonesia, kua-kua
adalah semacam tumbuhan yang hidup di sepanjang pematang
sawah dan daunnya umumnya sebagai makanan kerbau.
Orang yang berada dalam kasta ini umumnya adalah orangorang yang mengabdi kepada kasta tana’ bulaan dan kasta
tana’ bassi. Umumnya nenek moyang mereka telah bersumpah
turun-temurun untuk mengabdikan dirinya dan atasan juga
berkewajiban untuk membantu jika hambanya dalam kesulitan.
Dalam hal ini To parenge berada pada strata teratas yaitu Tana
Bulaan. Adapun tugas dari To Parenge itu sendiri adalah sebagai berikut:
a. Mengatur serta mengayomi aturan adat atau kesepakatan hasil
kombongan dalam lingkup wilayah masing-masing.
b. Menyelesaikan perselisihan antar anggota masyarakat dalam
lingkup wilayah masing-masing.
c. Memimpin dan mengatur serta bertanggung jawab atas
pelaksanaan upacara adat dalam wilayah masing-masing.
d. Memimpin pelaksanaan kerja gotong-royong (siarak) dalam
penanggulangan bencana, pembuatan pondok upacara dan
gotong-royong lainnya.
e. Menjadi pengayom masyarakat (untarek lindopio).
26
B. Kerangka Konseptual
Struktur masyarakat yang majemuk pasti didalamnya menyimpan
benih-benih konflik yang lazim disebut konflik laten. Konflik sosial selalu
berawal dari perbedaan padangan, langkah dan pemahaman dan
benturan-benturan antar kepentingan kelompok maupun individu. Konflik
akan muncul jika permasalahan yang muncul di permukaan ini tidak dapat
dicapai
penyelesaiannya,
sehingga
kegagalan
dalam
mencapai
kesepakatan ini berujung pada kekerasan fisik antara pihak-pihak yang
berkonflik (Kolip, 2010: 566).
Konflik yang terjadi di Kecamatan Mengkendek, Kabupaten Tana
Toraja adalah salah satu bentuk konflik yang terjadi antar individu. Konflik
antar individu adalah konflik sosial yang melibatkan individu didalam
konflik tersebut. Konflik ini terjadi karena adanya perbedaan atau
pertentangan atau juga ketidakcocokan antara individu satu dengan
individu lainnya. Seperti yang dijelaskan diawal bahwa konflik yang terjadi
disebabkan adanya saling klaim atas kepemilikan tanah tongkonan
secarah penuh. Tanah yang dipermasalahkan adalah tanah tongkonan
yang dalam masyarakat Toraja adalah tanah milik bersama dan
digunakan untuk kepentingan seluruh anggota keluarga. Jadi semua
anggota keluarga berhak untuk menggarap tanah tersebut.
27
Munculnya permasalahan karena masyarakat mulai memandang
tanah tongkonan tersebut dari segi ekonomi. Rencana pemerintah untuk
membangun bandar udara di lokasi tersebut membuat masyarakat
kemudian berlomba-lomba untuk mendapat ganti rugi atas kepemilikan
tanah tongkonan itu. Padahal tanah tersebut awalnya tidak diperhatikan
oleh masyarakat karena tanahnya yang tandus dan hanya ditumbuhi oleh
pohon pinus. Namun karena tanah tersebut kemudian masuk dalam area
pembangunan bandar udara, maka masyarakat kemudian mulai tertarik
untuk mendapatkan ganti rugi atasnya.
Inilah yang memicu terjadinya konflik ketika masing-masing anggota
keluarga mengklaim atas tanah tersebut atas dasar untuk mendapatkan
keuntungan besar dari pemerintah sebagai ganti rugi. Padahal dalam
masyarakat Toraja, tanah tongkonan itu adalah tanah milik bersama dan
seharusnya digunakan untuk kepentingan bersama tanpa ada yang
berhak penuh atas tanah tongkonan tersebut.
Akibat adanya perselisihan inilah kemudian memicu perpecahan
dalam keluarga. Selain itu konflik juga menyebabkan hancurnya nilai-nilai
dan norma sosial yang ada dalam masyarakat akibat ketidakpatuhan
anggota masyarakat pada nilai dan norma yang berlaku dalam
masyarakat. Tentunya hal ini tidaklah diinginkan terjadi dalam masyarakat.
Oleh karena itu perlu adanya penyelesaian konflik agar tidak berlarut-larut
begitu lama. Diperlukan suatu penanganan konflik oleh pemimpin yang
ada didalam masyarakat tersebut. To parenge’ adalah salah satu
28
pemimpin tradisional dalam masyarakat Toraja. To parenge’ mempunyai
tugas dan tanggungjawab atas apa yang terjadi dalam masyarakat seperti
halnya konflik.
To parenge’ seperti yang dijelaskan sebelumnya adalah pemimpin
informal yang memiliki fungsi untuk mengatur dan bertanggung jawab
terhadap masalah yang terjadi dalam masyarakat. Seperti halnya konflik
yang terjadi dalam masyarakat, To parenge’ diharapkan mampu untuk
menjadi pendamai antar kedua belah pihak yang berkonflik. Sebagai
orang yang dituakan tentunya To parenge’ memiliki pengaruh sebagai
seorang pemimpin dan juga status sebagai seorang To parenge’ yang
melekat pada dirinya juga mendapat penghargaan dalam masyarakat.
Umumnya dalam masyarakat Toraja setiap masalah yang ada akan
diselesaikan secara kekeluargaan melalui kombongan (musyawarah)
yang dipimpin oleh To parenge’ itu sendiri. Proses penyelesaian konflik
melalui musyawarah dilakukan untuk mencapai kesepakatan dan mencari
jalan keluar dari setiap masalah yang ada. Ada beberapa pendekatan
yang umumnya dilakukan oleh seorang pemimpin dalam menyelesaikan
konflik diantaranya adalah konsoliasi, mediasi dan arbitrasi.
Berdasarkan pemikiran diatas, maka dapat dijelaskan kerangka
konseptual yang akan mempermudah alur penelitian. Berikut kerangka
konseptual dalam penelitian:
29
KEPIMIMPINAN
TO PARENGE
KETOKOHAN
PENGALAMAN
PENGETAHUAN
NILAI/NORMA
PENYELESAIAN KONFLIK
1. KONSILIASI
2. MEDIASI
3. ARBITRASI
1.
2.
3.
TANGGAPAN
MASYARAKAT
BURUK
BIASA SAJA
BAIK
Gambar I: Skema Kerangka Konseptual
30
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan dan Strategi Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif.
Menurut Denzin dan Lincoln (Moleong, 2007: 5), penelitian kualitatif
merupakan penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud
menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan
melibatkan berbagai metode yang ada. Penelitian kualitatif adalah suatu
pendekatan penelitian yang mengungkap situasi sosial tertentu dengan
mendeskripsikan kenyataan secara benar, dibentuk oleh kata-kata
berdasarkan teknik pengumpulan data yang relavan yang diperoleh dari
situasi yang alamiah.
Secara konseptual-metodologis, metode kualitatif digunakan atas
beberapa pertimbangan, yaitu:
1. Metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan
kenyataan ganda,
2. Metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan
antara peneliti dan responden
3. Metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri
dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap
pola-pola nilai yang dihadapi (Moleong, 1995: 5)
31
B.
Waktu dan Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian akan dilaksanankan di Kecamatan Mengkendek,
Kabupaten
Tana
Toraja.
Lokasi
ini
dipilih
karena
berdasarkan
pertimbangan daerah ini akan dibangun bandar udara. Dalam proses
pembangunan tersebut terdapat konflik terkait proses pembebasan lahan
masyarakat yang tanahnya terkena dampak pembangunan bandar udara.
Konflik sengketa kepemilikan tanah antar anggota keluarga timbul akibat
adanya saling mengklaim atas kepemilikan tanah serta tidak meratanya
pembagian uang ganti rugi sesama anggota tongkonan sehingga
diperlukan penelitian untuk mengetahui peranan pemimpin adat dalam
menyelesaikan konflik tersebut. Waktu penelitian akan berlangsung
kurang lebih dua bulan, yaitu mulai dari bulan Maret
sampai dengan
bulan Mei 2015.
C. Tipe dan Dasar Penelitian
1. Tipe Penelitian
Adapun tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif
dimana tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat pencandraan
secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifatsifat populasi atau daerah tertentu. Dalam hal ini penelitian bertujuan
untuk menggambarkan peranan To Parenge dalam menyelesaikan
konflik serta bagaimana tanggapan masyarakat dalam melihat
kepemimpinan To parenge’.
32
2. Dasar Penelitian
Dasar penelitian adalah studi kasus yaitu suatu spendekatan dalam
penelitian yang penelaahannya kepada satu kasus yang dilakukan
secara intensif, mendalam, mendetail, dan komperehensif. Untuk itu
penelitian ini ditujukan agar dapat mempelajari secara mendalam dan
mendetail mengenai “Peranan To Parenge’ dalam menyelesaikan
konflik”.
D. Teknik Penentuan Informan
Teknik penentuan informan dalam penelitian ini ialah teknik purposive
sampling yaitu dengan menentukan subjek/objek sesuai tujuan. Meneliti
dengan pendekatan kualitatif biasanya sudah ditetapkan tempat yang
dituju. Dengan menggunakan pertimbangan pribadi yang sesuai dengan
penelitian, peneliti memilih subjek atau objek sebagai unit analisis
(sampel).
Peneliti
memilih
unit
analisis
tersebut
berdasarkan
kebutuhannya dan menganggap bahwa unit analisis tersebut representatif
(mewakili).
Fokus penelitian kualitatif adalah pada kedalaman dan proses
sehingga dalam penelitian ini hanya melibatkan 8 informan. Jumlah
sampel yang relatif kecil pada umumnya digunakan pada suatu penelitian
kualitatif
untuk
lebih
memberikan
penghayatan subyek yang akan diteliti.
33
perhatian
pada
pendalaman
Penentuan informan dalam penelitian ini berdasarkan beberapa
pertimbangan, yaitu pertama karena penelitian ini berbentuk kasus,
sampel penelitian yang tidak terlalu besar akan sangat mendukung
kedalaman
hasil
penelitian,
disamping
pertimbangan
keterbatasan
kemampuan, waktu dan dana. Kedua, penentuan jumlah sampel dianggap
telah memadai pada saat informasi yang didapat telah lengkap. Pada
penelitian ini penulis menemukan beberapa masalah dalam penentuan
informan. Hal ini di sebabkan karena sikap skeptis dari beberapa
masyarakat yang akan dijadikan informan. Sehingga penulis melakukan
pendekatan emosional terhadap informan yang relevan menjawab
pertanyaan
penelitian.
Pada pembahasan
nantinya,
penulis akan
memberikan Inisial nama kepada informan. Ini sesuai dengan permintaan
informan.
E. Pengumpulan Data
Salah satu langkah dalam penelitian yang amat penting yaitu
pengumpulan data, serta data yang digunakan harus valid. Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan
cara mengambil data primer. Data primer adalah data yang dikumpulkan
melalui
pengamatan
terbatas.
Untuk
melengkapi
data
dilakukan
wawancara mendalam kepada informan dengan berpedoman pada daftar
pertanyaan yang erat kaitannya dengan permasalahan yang diteliti.
Untuk
data
primer,
peneliti
pengumpulan data antara lain.
34
menggunakan
beberapa
teknik
1. Pengamatan (Observasi)
Pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap suatu
gejala yang tampak pada objek penelitian. Observasi yang di
lakukan
adalah
melakukan
observasi
kegiatan
non
partisipatif,
pencatatan,
yakni
hanya
pemotretan
serta
pengumpulan dokumen-dokumen.
2. Wawancara mendalam (indepth Interview)
Wawancara
mendalam
atau
in
depth
interview
adalah
kumpulan data dengan menggunakan teknik wawancara
mendalam
yaitu
antara
peneliti
dengan
informan
yang
dilakukan untuk mendapatkan keterangan yang jelas dan valid.
Pengumpulan data yang dibimbing oleh pedoman wawancara
yang sudah dipersiapkan, teknik ini disertai pencatatan konsep,
gagasan, pengetahuan informan yang diungkapkan lewat tatap
muka. Adapun pedoman wawancara yang penulis gunakan
bisa disimak dibagian lampiran dalam penulisan ini.
Data sekunder adalah pengumpulan data yang dilakukan melalui
studi kepustakaan yang terdiri dari:
1. Studi kepustakaan adalah sumber data yang digunakan untuk
mengembangkan aspek teoritis maupun aspek manfaat praktis.
Sumber informasi dalam studi kepustakaan ini adalah Jurnal,
Buku, Surat Kabar, dan internet.
35
2. Studi dokumentasi adalah sumber data yang dilakukan dengan
mengabadikan
data
tertulis,
dokumen,
dan
arsip
yang
menyangkut masalah yang diteliti yang berhubungan dengan
masalah yang diteliti.
F. Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian akan dianalisis secara
deskriptif kualitatif dimana penelitian ini bersifat menggambarkan,
menjelaskan dan menguraikan keadaan yang sebenarnya dari data dan
informasi yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam, observasi, studi
dokumentasi kemudian di interpretasikan dan dianalisis sehingga
memberikan informasi tentang fokus masalah yang diteliti.
Adapun prosedur dalam menganalisis data kualitatif, menurut Miles
dan Huberman (1984) dalam Sugiyono (2008: 91-99) adalah sebagai
berikut :
1. Reduksi data, mereduksi data berarti merangkum, memilih halhal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari
tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi
akan
memberikan
gambaran
yang
lebih
jelas,
dan
mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data
selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan.
2. Penyajian
data.
Setelah
data
direduksi,
maka
langkah
selanjutnya adalah mendisplaykan data. Dalam penelitian
kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian
36
singkat, bagan, hubungan antar kategori, dan sejenisnya
dengan menggunakan teks yang bersifat naratif.
3. Kesimpulan atau verifikasi, langkah ketiga dalam analisis data
kualitatif adalah
penarikan
kesimpulan
dan
verifikasi.
Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara,
dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat
yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya.
Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal
didukung oleh bukti-bukti yang valid dankonsisten saat peneliti
kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan
yang dikemukakan merupakan kesimpulan akhir .
37
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Kondisi Umum Kecamatan Mengkendek
Kecamatan Mengkendek adalah salah satu kecamatan yang berada
di Kabupaten Tana Toraja.
1. Secara geografis Kecamatan Mengkendek memiliki batas-batas
wilayah sebagai berikut:

Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamata Sangalla’

Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Luwu

Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Enrekang

Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Gandangbatu
Sillanan
Kecamatan Mengkendek sendiri terdiri atas 4 Kelurahan dan 13
Desa yang terdiri dari:

Kelurahan Rante Kalua’

Kelurahan Tampo

Kelurahan Lemo

Kelurahan Tengan

Desa Uluway

Desa Uluway Barat

Desa Buntu Datu

Desa Marinding

Desa Palipu’

Desa Randanan
38

Desa Buntu Tangti

Desa Rantedada

Desa Gasing

Desa Simbuang

Desa Pa’tengko

Desa Lemo

Desa Ke’pe Tinoring

Desa Pakala
Luas wilayah Kecamatan Mengkendek kurang lebih 196,74 km 2
dengan pusat pemerintahan berada di Kelurahan Rante Kalua’ yang
terletak kurang lebih 14 km dari ibukota Kabupaten Tana Toraja. Akses
untuk mencapai daerah ini cukup menggunakan alat transportasi darat
yaitu angkutan umum atau kendaraan bermotor lainnya yang dapat
ditempuh selama satu jam dari Ibukota Kabupaten.
2. Luas Pembangunan Bandar Udara
Pembangunan
bandar
udara
yang
berada
di
Kecamatan
Mengkendek mulai diwacanakan oleh pemerintah sekitar tahun 1990.
Kemudian pada Tahun 2010 pemerintah mulai merealisasikan dengan
mengalokasikan dana sebesar Rp 20 milyar (dua puluh milyar rupiah)
untuk pembebasan lahan. Proyek ganti rugi menggunakan dana APBD
Sulsel
dan
APBD
Tana
Toraja
Tahun
2011
dengan
perincian
Rp.38.250.000.000 (Tiga puluh delapan milyar dua ratus limah puluh juta
rupiah) dari APBD Sulsel dan Rp.17.500.000.000 (Tujuh belas milyar lima
ratus juta rupiah) dari APBD Tana Toraja.
39
Adapun lokasi pembangunan bandar udara berada di Buntu Kuni
yang meliputi beberapa lembang (desa) dan Kelurahan diantaranya
adalah Lembang Rantedada, Lembang Marinding, Lembang Simbuang,
dan Kelurahan Tampo. Luas wilayah yang menjadi lokasi pembangunan
bandar udara adalah 225 hektare yang dilengkapi landasan pacu
sepanjang 1.650 meter.
3. Sejarah Kecamatan Mengkendek
Sebelum nama Mengkendek melekat dan resmi menjadi nama
kecamatan terdapat beberapa nama yang dipakai sebagai kesatuan
daerah ini. Pada waktu itu nama Mengkendek belum mencukupi
keseluruhan daerah yang sekarang masuk dalam wilayah Kecamatan
Mengkendek. Pada waktu itu nama yang lazim dipakai adalah kampung
tengan yaitu sebuah kampung di kaki gunung Kandora tempat istana
puang Tamborolangi’. Istana tersebut dikenal dengan nama banua di
toke’.
Nama Mengkendek sendiri memiliki berbagai macam pendapat
mengenai artinya itu sendiri. Ada ahli sejarah Toraja yang mengatakan
tempat itu dinamai Mengkendek yang berarti naik karena merupakan
istana yang terdapat disuatu tempat yang tinggi. Ketika
Tamborolangi’
mengundang
pemuka-pemuka
masyarakat
puang
untuk
bermusyawara guna pembentukan daerah dan menyusun peraturanperaturan maka para undangan tersebut harus naik atau dalam bahasa
Toraja “Kendek”.
40
Sebagian pula berpendapat bahwa daerah Mengkendek dinamai
Mengkendek karena merupakan tempat-tempat bersejarah dimana tempat
ini menjadi tempat penyusunan adat istiadat yang umumnya berada di
tempat yang tinggi seperti di Kecamatan Mengkendek itu sendiri. Baik
banua di toke’ maupun banua puang merupakan tempat kediaman puang
Tangdilino yang membawa aluk sanda pitu.
Nama Mengkendek berasal dari kata kendek yang berarti naik atau
meningkat. Kata Mengkendek berasal dari hasil musyawara para tokoh
adat yang merupakan bagian dari Tallulembangna (Kecamatan Makale,
Sangalla’, Mengkendek) dimana Mengkendek sebagai basse adinna,
sehingga saat ini menjadi sebuah kecamatan yang dikenal dengan
Kecamatan Mengkendek dengan ibu kota yang berada di Kelurahan
Rante Kalua’. Kecamatan Mengkendek dibentuk berdasarkan Peraturan
Daerah Nomor 18 Tahun 2000.
4. Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk yang ada di Kecamatan Mengkendek sebanyak
27.756 Jiwa yang terdiri dari 14.042 jiwa penduduk adalah laki-laki dan
13.714 jiwa penduduk adalah perempuan. Dari tabel 1 terlihat jumlah
penduduk terbanyak berasal dari kelompok umur 5-9 tahun yaitu sebesar
3.225 jiwa dan jumlah penduduk terkecil berasal dari kelompok umur 6064 yaitu 913 jiwa. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat padal tabel 1 dibawah
ini:
41
Tabel 1
Distribusi Penduduk menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di
Kecamatan Mengkendek
Tahun 2014
Kelompok
Umur
Jumlah Penduduk
Laki-Laki
Perempuan
Jumlah
0-4
1.619
1.548
3,167
5-9
1.664
1.561
3.225
10-14
1.618
1.507
3.125
15-19
1.408
1.214
2.622
20-24
960
891
1.851
25-29
851
849
1.700
30-34
952
938
1.890
35-39
989
921
1.910
40-44
917
835
1.752
45-49
709
700
1.409
50-54
548
660
1.208
55-59
542
578
1.120
60-64
434
479
913
65+
831
1.033
1.864
Jumlah Total
14.042
13.714
27.756
Sumber : Kantor BPS Kabupaten Tana Toraja Tahun 2014
B. Mata Pencaharian
Berbeda dengan masyarakat umumnya di Toraja, dimana sektor
pertanian adalah sektor yang paling banyak menjadi mata pencaharian
penduduk. Di Kecamatan Mengkendek sendiri sebagian besar penduduk
bekerja di sektor jasa, menurut data dari Dinas Kependudukan dan
Tenaga Kerja Kecamatan Mengkendek tercatat bahwa terdapat 9.867 jiwa
penduduk bekerja di sektor ini yang terdiri dari laki-laki sebanyak 3.609
dan perempuan sebanyak 6.258
jiwa. Sektor pertanian berada pada
42
urutan kedua sebagai penyerap tenaga kerja yaitu sebanyak 7.534 jiwa
penduduk yang terdiri dari 5.200 laki-laki dan 2.343 perempuan.
Sedangkan
mata
pencaharian
penduduk
di
sektor
lainnya
merupakan mata pencaharian penduduk yang jumlahnya relatif lebih
sedikit dibanding dengan mata pencaharian di sektor jasa dan pertanian.
Mata
pencaharian
tersebut
seperti
di sektor
pertambangan
dan
penggalian, industrian pengolahan, listrik, bangunan, perdagangan dan
lain sebagainya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 2 berikut:
Tabel 2
Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian
Tahun 2014
Lapangan Usaha
Jenis Kelamin
Jumlah
Laki-Laki
5.200
Perempuan
2.343
7.543
Pertambangan dan Penggalian
142
-
142
Industri Pengolahan
303
358
661
Listrik, Gas dan Air Bersih
18
15
33
Bangunan
637
-
637
Perdagangan, Resto dan Hotel
517
1.429
1.945
Angkutan dan Komunikasi
302
157
459
Keuangan, Perswaan, dan Jasa
Perusahaan
Jasa-Jasa
32
45
76
3.609
6.258
9.867
Jumlah Total
10.759
10.605
21.364
Pertanian
Sumber: Kantor BPS Kabupaten Tana Toraja Tahun 2014
Terlihat jelas pada tabel bahwa mayoritas penduduk di kecamatan
Mengkendek lebih banyak bekerja disektor jasa dan pertanian sementara
43
di sektor listrik, gas dan air cenderung lebih sedikit yaitu hanya terdapat
33 jiwa yang terdiri dari 18 laki-laki dan 15 perempuan.
C. Pendidikan
Pendidikan adalah salah satu usaha untuk keluar dari kemiskinan
dan juga salah satu usaha untuk meningkatkan kehidupan intelektual
suatu bangsa. Semakin banyak penduduk yang berpendidikan tinggi di
suatu wilayah maka semakin tinggi pulalah kemajuan wilayah tersebut,
begitu pula sebaliknya semakin banyak penduduk yang berpendidikan
rendah maka tingkat kemajuan wilayah tersebut semakin lambat.
Penduduk yang ada di Kecamatan Mengkendek bila dibandingkan
dengan tahun-tahun sebelumnya sudah menunjukkan kemajuan yang
signifikan. Ini dapat dilihat dari banyaknya infrastruktur sekolah yang
dibangun serta kesadaran masyarakat itu sendiri dalam menyadari akan
pentingnya pendidikan bagi generasi-generasi muda. Untuk melihat
jumlah infrastruktur sekolah di Kecamatan Mengkendek dapat dilihat dari
tabel dibawah ini
Tabel 3
Potensi Kecamatan Mengkendek dalam sektor Pendidikan
Tahun 2014
No.
Tingkat Pendidikan
Jumlah
Percent (%)
1
SD
4.515
66.48
2
SMP
1.806
26.59
3
SMA
470
6.93
6.791
100
Jumlah
Sumber: Kantor BPS Kabupaten Tana Toraja Tahun 2014
44
Pada tabel di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan
Penduduk di Kecamatan Menkendek di dominasi pada Sekolah Dasar
yaitu sebesar 66.48 % disusul kemudian dengan Sekolah Menengah
Pertama sebesar 26.59 % dan yang paling terendah adalah Sekolah
Menengah Atas sebesar 6.93 %.
D. Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana adalah salah satu faktor yang sangat penting
bagi suatu wilayah. Untuk mendukung pembangunan yang sedang
berjalan, maka tersedianya sarana dan prasarana diberbagai bidang
sangat dibutuhkan. Adapun sarana dan prasarana yang terdapat di
Kecamatan Mengkendek adalah sebagai berikut:
1. Sarana kesehatan
Di kecamatan Mengkendek sampai saat ini sudah memiliki 18
unit Puskesmas/Puskesmas pembantu dan 27 unit Posyandu.
2. Sarana pendidikan
Terdapat 27 sekolah dasar, 9 SLTP, dan 3 SLTA/SMK
3. Sarana ibadah
Untuk menunjang masyarakat dalam menjalankan ibadahnya, di
Kecamatan Mengkendek sudah terdapat 41 Masjid, 102 Gereja
Protestan, dan 24 Gereja Katolik.
4. Sarana transportasi
Sarana transportasi yang ada di Kecamatan Mengkendek sudah
cukup baik, setiap desa dan kelurahan dapat dijangkau baik
45
dengan kendaraan roda dua maupun dengan kendaraan roda
empat. Kondisi jalan yang beraspal memungkinkan sampai
ditujuan dengan cepat.
5. Sarana olahraga
Kecamatan Mengkendek sudah memiliki banyak fasilitas
lapangan olahraga yang terdiri dari 9 buah lapangan sepak
bola, 16 buah lapangan voli, 4 buah lapangan bulu tangkis, dan
6 buah meja pimpong.
6. Sarana penerangan
Dari segi penerangan, semua Kelurahan dan Desa yang ada di
Kecamatan Mengkendek sudah dapat pasokan listrik dari PLN.
Jadi dapat dikatakan bahwa Kecamatan Mengkendek sudah
tidak memiliki kendala dalam hal penerangan.
E. Sistem Kepercayaan
Secara umum agama dapat didefenisikan sebagai seperangkat
aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan
Tuhannya,
manusia
dengan
manusia
lainnya,
manusia
dengan
lingkungannya. Dan aturan-aturan tersebut penuh dengan muatan sistem
nilai yang lebih menekankan pada hal-hal yang normatif
atau yang
seharusnya atau sebaliknya dan bukannya berisikan petunjuk-petunjuk
yang bersifat praktis dan teknis dalam hal manusia menghadapi
lingkungan dan sesamanya. Untuk mengetahui lebih jelas tentang
46
penduduk di Kecamatan Mengkendek, dapat dilihat pada tabel 5 berikut
ini :
Tabel 4
Distribusi Penduduk Menurut Agama dan Kepercayaan
Tahun 2014
No
Agama / Kepercayaan
Jumlah
Percent (%)
1
Hindu
1.086
3.91
2
Kristen Protestan
15.622
56.28
3
Kristen Katolik
4.433
15.97
4
Islam
6.575
23.84
Jumlah
27.756
100
Sumber: Kantor BPS Kabupaten Tana Toraja Tahun 2014
Pada tabel diatas dapat dismpulkan bahwa Penduduk di Kecamatan
Mengkendek mayoritas beragama Kristen protestan yang berjumlah
15.622 jiwa (56.28 %), agama Kristen Katholik berjumlah 4.433 jiwa
(15.97 %), yang beragama Islam berjumlah 6.575 jiwa (23.84 %) dan yang
menganut Hindu sebanyak 1.086 jiwa (3.91 %).
47
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Laporan penelitian ini secara umum akan membahas konflik
sengketa tanah yang terjadi di Kecamatan Mengkendek, Kabupaten Tana
Toraja. Secara khusus terdapat dua pokok permasalahan utama yang
akan dibahas yaitu mengenai upaya To parenge’ dalam menyelesaikan
konflik serta bagaimana tanggapan masyarakat mengenai kepemimpinan
dari To parenge’ itu sendiri. Dengan demikian akan disajikan data dan
hasil penelitian tentang
bagaimana upaya dari To parenge’ dalam
mencegah maupun menyelesaikan konflik serta beberapa tanggapan
masyarakat mengenai kepemimpinan To parenge’ dalam menyelesaikan
konflik.
Namun sebelum penulis membahas lebih lanjut kedua pokok
permasalahan tersebut diatas, penulis terlebih dahulu memaparkan
mengenai identitas informan. Dimana identitas informan memuat data
tentang jenis kelamin, umur, pekerjaan, pendidikan, dan tempat tinggal
atau tempat domisili.
A. Karakteristik Informan
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan untuk
mendapatkan informasi secara mendalam tentang bagaimana peran To
parenge’ dalam menyelesaikan konflik khususnya dalam konflik sengketa
tanah di Kecamatan Mengkendek. Sumber data dan informasi didapatkan
48
melalui metode observasi dan wawancara yang dilakukan terhadap
beberapa informan yang merupakan para To parenge’, masyarakat umum
dan juga pihak-pihak yang berkonflik dalam kasus sengketa tanah di
Kecamatan Mengkendek.
Informan penelitian ini dipilih berdasarkan kriteria tertentu yang dirasa
perlu seperti nama, jenis kelamin, umur, pendidikan terakhir, pekerjaan
serta tempat tinggal. Dari keseluruhan informan, terdapat 7 orang laki-laki
dan 1 orang perempuan, dimana dalam menentukan informan tersebut
dilakukan dengan teknik purposive sampling yaitu dengan menentukan
subjek/objek sesuai tujuan.
1. Informan “RK”
Informan “RK” adalah seorang ibu rumah tangga berusia 57 tahun.
Pendidikan terakhir
RK yaitu SMP yang berdomisili di kelurahan
Tampo, Kecamatan Mengkendek. Informan RK adalah salah seorang
to parenge’ dan juga mempunyai lahan dalam lokasi pembangunan
bandara.
2. Informan “KS”
Informan “KS” adalah seorang laki-laki berusia 53 Tahun, berdomisili di
Kecamatan Mengkendek. Informan KS adalah seorang PNS di kantor
kelurahan Rante Kalua’, Kecamatan Mengkendek. Pendidikan terakhir
KS yaitu Sarjana dan KS juga adalah salah seorang To parenge’ yang
berdomisili di desa Danglu, Kelurahan Rante Kalua’.
49
3. Informan “LN”
Informan “LN” adalah seorang laki-laki berusia 51 Tahun. Bekerja
sebagai seorang petani dan sudah berkeluarga. Pendidikan terakhir
SMU. LN adalah seorang tokoh masyarakat dan juga dianggap
sebagai tokoh yang berpengaruh dalam pembebasan lahan di lokasi
pembangunan bandara.
4. Informan “MB”
Informan MB adalah serorang laki-laki berusia 64 tahun dan juga
sebagai tokoh adat. MB bekerja sebagai seorang petani dan juga
berdomisili di kecamatan Mengkendek, kelurahan Tampo.
5. Informan “YP”
Informan “YP” adalah seorang laki-laki berusia 52 Tahun yang sudah
berkeluarga. YP bekerja sebagai seorang petani dan juga tokoh adat
dalam kampungnya. Pendidikan terakhir YP yaitu SMA.
6. Informan “AR”
Informan “AR” adalah seorang laki-laki berusia 54 Tahun. AR bekerja
sebagai seorang petani dan sudah berkeluarga. Informan AR
berdomisili di Kelurahan Tampo dan juga memiliki lahan dalam lokasi
pembangunan bandara di Kecamatan Mengkendek. Pendidikan
terakhir AR adalah SMU.
7. Informan “HS”
Informan “HS” adalah seorang laki-laki berusia 54 Tahun. HS bekerja
sebagai wiraswasta dan sudah berkeluarga. Pendidikan terakhir SMU.
50
HS
adalah seorang to parenge’ dan berdomisili di Lembang
Rantedada, Kecamatan Mengkendek.
8. Informan “PT”
Informan “PT” adalah seorang laki-laki berusia 56 Tahun. PT bekerja
sebagai
kepala
desa
di
Lembang
Rantedada,
Kecamatan
Mengkendek. Informan PT sudah berkeluarga dan berdomisili di
Kelurahan Rante Kalua’, Kecamatan Mengkendek.
Tabel 5
Karakteristik Informan
No
Informan
Jenis
Kelamin
Umur
Tingkat
Pendidikan
Pekerjaan
1.
RK
P
57
SMP
IRT/ to parenge
2
KS
L
53
S1
PNS/ / to
parenge
3.
LN
L
51
SMA
4.
MB
L
64
SMP
5.
YP
L
52
SMA
6.
AR
L
54
SMA
Petani/ Tokoh
Adat
Petani/ Tokoh
Adat
Petani/ Tokoh
Adat
Petani
7.
HS
L
54
SMA
8.
PT
L
56
SMA
Sumber : Olahan data Primer 2015
51
Wiraswasta/to
parenge’
Kepala Desa
B. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Peranan To parenge’ dalam Penyelesaian Konflik
Peranan merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila
seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai sesuai dengan
kedudukannya, maka orang tersebut menjalankan suatu peranan.
Peran berarti tingkah laku, bertindak. Didalam kamus besar bahasa
Indonesia peran ialah perangkat tingkah laku yang diharapkan dimiliki
oleh orang yang berkedudukan di masyarakat.
Peranan juga dapat diartikan sebagai cara-cara yang ditentukan
terhadap hak-hak yang melekat pada suatu status, serangkaian norma
dan pengharapan yang melekat pada suatu
kedudukan. Antara
peranan dan kedudukan keduanya adalah hal yang tidak dapat
dipisahkan, karena tak ada peranan tanpa kedudukan dan tak ada
kedudukan tanpa peran.
Begitu pula dengan kedudukan To parenge’ dalam masyarakat
Toraja, dimana To parenge’ merupakan pemimpin dalam tongkonan
yang dibawahinya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa
apabila terdapat masalah yang terjadi di lingkup tongkonan maka To
parenge’ mempunyai kewajiban untuk menyelesaikan masalah pihakpihak yang berkonflik. Untuk itulah setiap masalah yang terjadi dalam
masyarakat tentunya To parenge’ sebagai pemimpin bertanggung
jawab atas masalah tersebut.
52
Peran aktif dari To parenge’ dibutuhkan agar konflik dapat
diselesaikan dengan baik sehingga tercipta rasa aman dalam
masyarakat.
Namun terlebih dahulu penulis akan menjelaskan
mengenai To parenge’ serta status dan kedudukannya dalam
masyarakat Toraja.
a. To parenge’ dalam Masyarakat Toraja
To parenge’ berasal dari dua kata yaitu “to” yang artinya orang
dan “parenge’ ” yang artinya pemikul tanggung jawab. Jadi To parenge’
adalah orang-orang yang dipilih langsung oleh masyarakat melalui
mekanisme tertentu untuk menjalankan tugas seperti menyelesaikan
konflik dalam masyarakat. To parenge’ diangkat dan diseleksi oleh
masyarakat dalam suatu tongkonan berdasarkan garis keturunan,
pengabdian dan penguasaan adat istiadat.
Masa jabatan seorang To Parenge’ akan berakhir apabila yang
bersangkutan telah meninggal dunia ataupun melakukan suatu
pelanggaran yang berat. Jadi selama seorang To parenge’ masih hidup
maka jabatannya juga akan tetap melekat dan seorang To parenge’
juga tidak dapat mengundurkan diri dari jabatannya.
Adapun tugas dari To Parenge itu sendiri adalah sebagai berikut:
a. Mengatur serta mengayomi aturan adat atau kesepakatan hasil
kombongan dalam lingkup wilayah masing-masing.
b. Menyelesaikan perselisihan antar anggota masyarakat dalam
lingkup wilayah masing-masing.
53
c. Memimpin dan mengatur serta bertanggung jawab atas
pelaksanaan upacara adat dalam wilayah masing-masing.
d. Memimpin pelaksanaan kerja gotong-royong (siarak) dalam
penanggulangan bencana, pembuatan pondok upacara dan
gotong-royong lainnya.
e. Menjadi pengayom masyarakat (untarek lindopio).
Berikut yang dijelaskan oleh LN (51 Tahun) di bawah ini :
“To parenge’ adalah tokoh-tokoh adat yang ditunjuk dalam
suatu rumpun keluarga dalam setiap tongkonan untuk
menjalankan tugas sebagai orang yang dituakan yang
berfungsi untuk menata keberlangsungan hidup keluarga
tongkonan”.
(Wawancara 26 Maret 2015)
Senada yang di utarakan oleh informan di atas, MB (64 Tahun)
mengungkapkan sebagai berikut :
“To parenge’ sama halnya pemangku adat, To parenge’
adalah orang-orang yang dipilih dalam musyawara adat dan
dilantik ketika ada upacara adat rambu solo’ (Upacara
Kematian).”
(Wawancara 28 Maret 2015)
To parenge’ sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya adalah
orang-orang
yang
memiliki
tanggungjawab
dalam
masyarakat
khususnya dalam mengatur tatanan kehidupan bermasyarakat. Dalam
masyarakat pula To parenge’ tidak hanya menjalankan tugasnya
seorang diri. Dalam masyarakat Toraja terdapat pula lembaga adat
yang terdiri dari tiga orang yang bekerja sama dengan To parenge’
dalam menyelesaikan masalah yang terjadi di masyarakat.
54
Untuk menyelesaikan konflik,
To parenge’ sebagai seorang
pemimpin berperan sebagai hakim pendamai jika terjadi perselisihan
seperti yang dikatakan oleh RK (57 Tahun) adalah:
“To parenge’ berfungsi sebagai hakim pendamai jika ada
masalah dalam masyarakat. Dalam hal sengketa tanah
lembaga adat dan to parenge’ berperan sebagai hakim
pendamai. Jadi pihak yang berkonflik diadili oleh To parenge’
dan lembaga adat kemudian mengambil keputusan siapa
yang benar dan salah selanjutnya mengadakan syukuran
sebagai wujud syukur agar kedua belah pihak berdamai
kembali. Jika pihak yang berkonflik tidak ingin berdamai maka
keduanya diberi kesempatan untuk menempuh jalur hukum.”
(Wawancara 28 Maret 2015)
Sama halnya yang di katakan oleh PL (51 Tahun) bahwa To
parenge’ memiliki tugas untuk memediasi pihak-pihak yang berkonflik
dalam masyarakat khususnya tongkonan yang dibawahinya. Proses
mediasi itu dilakukan untuk mencari jalan keluar agar konflik yang
terjadi antar sesama anggota keluarga tongkonan dapat diatasi. Berikut
yang dikatakan informan LN (64 Tahun):
“jadi yamoto tu fungsinna to parenge’, lan misa’ tongkonan
nani to parenge’ yake den tu keluargana sisalah-salah yamo
pasino’koranni to nahadiri tokoh ada’ sola to ma’parentah na
disipa’kadai. Yake tae’ penyelesaian yake den ni pada2
te’geran noka’ ladipokadanni ko yamoto tu biasa pake jalur
hukum/ jadi fungsi dari seorang to parenge’/ dalam satu
tongkonan yang ia bawahi jika ada keluarga yang bermasalah
satu sama lain, maka to parenge’ harus memanggilnya untuk
duduk bersama yang juga dihadiri tokoh adat untuk
membicarakan persoalan tersebut. Jika tidak menemukan
jalan keluar dimana masing-masing pihak bersikeras dengan
pendapatnya, maka inilah biasa yang kemudian menempuh
jalur hukum”
(Wawancara 26 Maret 2015)
55
Seperti yang dikatakan informan RK dan LN bahwa penyelesaian
masalah yang terjadi dalam masyarakat Toraja umumnya diselesaikan
secara adat. Namun apabila pihak-pihak yang berkonflik tersebut tidak
menemui jalan tengah maka akan ditempuh jalur hukum. Di tingkat
pengadilan juga To parenge’ masih di minta keterangan tentang
bagaimana proses penyelesaian masalah tersebut di tingkat adat. Jadi
tetap ada rekomendasi dari To parenge’ dan tokoh adat ke pengadilan
mengenai masalah yang terjadi.
Tugas
dan
peran
dari
To
parenge’
yang
kompleks
menempatkannya pada kasta teratas dalam masyarakat Toraja yaitu
tana’ bulaan. Adanya pembagian kelas tersebut membuat To parenge’
juga mendapatkan perhargaan yang tinggi dalam lingkup keluarga
tongkonan. Setiap tongkonan dipimpin oleh seorang To parenge’ yang
diangkat menjadi pemimpin dalam tongkonan tersebut. Namun tidak
semua orang dapat dijadikan sebagai To parenge’, ada beberapa
syarat yang harus dipenuhi untuk menempati posisi tersebut.
Seperti yang dikatakan oleh KS (53 Tahun) bahwa:
“To Parenge’ dipilih berdasarkan musyawarah dalam keluarga
tongkonan, tidak serta merta ditunjuk secara langsung. Jadi
seorang To Parenge’ itu ditunjuk berdasarkan garis keturunan
serta ada beberapa pertimbangan-pertimbangan lain”.
(Wawancara 21 Maret 2015)
Pertimbangan-pertimbangan
yang
dijadikan
acuan
dalam
menentukan seorang To parenge’ salah satunya adalah penguasaan
adat istiadat, serta dirasa mampu untuk memimpin keluarga. Hal yang
56
terpenting pula adalah seorang To parenge’ yang akan dipilih haruslah
berasal dari tongkonan tersebut.
Seperti halnya dikatakan oleh YP (52 Tahun):
“Seorang yang diangkat To parenge’ adalah orang-orang yang
memiliki strata tinggi dan juga lahir dari kampung tersebut. To
parenge’ adalah orang yang bisa memerintah.”
(Wawancara 21 Maret 2015)
Proses
pergantian
kepemimpinan
To
parenge’
umumnya
berlangsung dengan baik, tidak ada kendala dalam menentukan siapa
yang akan menjadi pemimpin dalam tongkonan tersebut. Tidak menjadi
masalah pula ketika To parenge’ tinggal diluar dari tongkonan yang
dibawahinya. Namun dalam hal pelaksanaan tugasnya sekali waktu To
parenge’
dapat
kembali
ke
daerah
wilayah
tongkonan
untuk
menjalankan tugas apabila terjadi masalah dalam masyarakat seperti
konflik.
Fungsi dari To parenge’ itu sendiri juga tidak hanya sekedar
menyelesaikan masalah. Dalam masyarakat Toraja dikenal istilah bagi
to parenge’ yaitu “to urrenge’ sarona to buda” artinya menjadi aspirasi
bagi masyarakat dan berusaha untuk mencari solusi. Setiap To
parenge’ juga memiliki cakupan wilayah kekuasaan berdasarkan garis
keturunan. Jadi To parenge’ tersebut akan bertanggungjawab atas
tongkonannya masing-masing dalam hal menyelesaikan persoalan
yang terjadi didalamnya.
Masa jabatan seorang To parenge’ juga tidak memiliki batas
waktu yang ditetapkan. Seorang To parenge’ akan berakhir masa
57
jabatannya
apabila
meninggal
dunia
atau
melakukan
suatu
pelanggaran yang berat. To parenge’ juga tidak dapat mengundurkan
diri dari jabatannya karena status ini melekat pada diri seorang to
parenge’ seumur hidup.
b. Status To parenge’ dalam Masyarakat Toraja
Keberadaan Tongkonan dalam masyarakat Toraja merupakan
suatu bentuk tatanan hidup dalam bentuk persekutuan rumpun
keluarga. Setiap tongkonan yang ada dalam masyarakat Toraja
dipimpin oleh seorang pemimpin adat yang disebut dengan nama To
parenge’. Adapun fungsi dari tongkonan tersebut adalah sebagai
wadah untuk membicarakan setiap persoalan yang menyangkut dalam
tongkonan.
To parenge’ sebagai pemimpin dalam tongkonan tersebut juga
dibagi kedalam tingkatan-tingkatan yang berbeda antara satu dengan
yang lain, tergantung dari tongkonan
mana to parenge’ tersebut
berasal. Seperti halnya ketika seorang to parenge’ berasal dari
tongkonan layuk (agung), maka kedudukannya juga akan tinggi dari to
parenge’ yang lain begitu pula sebaliknya.
Salah satu contoh tongkonan yang ada dalam masyarakat Toraja
adalah Tongkonan 10 di Kelurahan Tampo, Kecamatan Mengkendek.
Tongkonan
10 Kelurahan Tampo merupakan salah satu tongkonan
yang masuk dalam area pembangunan bandar udara di Kecamatan
Mengkendek yang memiliki struktur seperti tabel dibawah ini:
58
TABEL 6
TONGKONAN 10 KELURAHAN TAMPO
Tongkonan Rante Tampo (penentu
Tongkonan Layuk
kebijakan
Tongkonan Saruran (wakil)
Tongkonan Buntu
Matua Ulu
Tongkonan Tanduk Bulan
Tongkonan Tondok Tangnga (anak
Anak Patalo
patalo rante)
Tongkonan Rante Dollok (anak patolo
saruran
Tongkonan Tondok bangla’
Tongkonan
Tongkonan Dare’dek
Patulak/Pelaksana adat
Tongkonan guali
Tongkonan Babangan
Sumber: Olahan data primer 2015
Kesepuluh tongkonan yang ada pada Tabel di atas masingmasing memiliki fungsi dan peran masing-masing. Begitu pula dengan
kedudukannya, semakin di atas seorang To parenge’ menjabat maka
semakin tinggi status sosial seseorang yang menjadi To parenge’ di
dalamnya. Tongkonan 10 yang ada di Kelurahan Tampo, Kecamatan
Mengkendek adalah salah satu tongkonan yang sebagian tanah
tongkonan masuk dalam area pembangunan bandar udara di
59
Kecamatan Mengkendek. Penguasaan atau kepemilikan atas tanahtanah
milik
adat
diperoleh
dengan
sejauh
mana
seseorang
melaksanakan akan tanggung jawab terkait dengan harkat, martabat,
dan kedudukan dalam suatu rumpun keluarga tongkonan.
Tongkonan 10 Kelurahan Tampo terdiri dari:
1. Tongkonan Rante Tampo (penentu kebijakan), dengan To
parenge’ Ruth Karurukan.
2. Tongkonan Saruran (wakil), dengan To parenge’ Ny. Batara
Sosang.
3. Tongkonan Buntu, dengan To parenge’ Ambe’ Banni
4. Tongkonan Tanduk Bulan dengan To parenge’ Kamelus
Sampe
5. Tongkonan Tondok Tangnga (anak patalo rante) dengan To
parenge’ M.R.Patila
6. Tongkonan Rante Dollok (anak patolo saruran) dengan To
parenge’ Hendrik Sallolo
7. Tongkonan Tondok bangla’ dengan To parenge’ Yoslina
Malino
8. Tongkonan Dare’dek dengan To parenge’ Ambe’ Natan
9. Tongkonan Babangan dengan To parenge’ Ambe’ Ganti
10. Tongkonan Guali dengan To parenge’ Y.Sampe.
Tongkonan bukan hanya sebagai wadah untuk mempersatukan
keluarga,
namun
tongkonan
juga
60
merupakan
tempat
untuk
menyelesaikan setiap masalah yang terjadi didalam lingkup keluarga
tongkonan. Seperti Tongkonan 10 kelurahan Tampo dimana terdapat
sepuluh tongkonan didalamnya juga memiliki fungsi dan kedudukan
yang berbeda-beda. Ada tongkonan yang berfungsi sebagai pemimpin
(tongkonan layuk) dan ada juga yang berfungsi sebagai pelaksana
tugas misalnya dalam hal upacara adat.
Berikut yang dikatakan oleh YP (52 Tahun) Tahun mengatakan bahwa:
“Dalam Kabupaten Tana Toraja sendiri ada banyak tongkonan
yang berdiri. Tongkonan itu sendiri mempunyai arti khusus
dan arti umum. Kalau secara umum tongkonan dalam segi
bangunan adalah “banua pa’rapuan” yang menjadi pusat
untuk menyelesaikan masalah dalam masyarakat. Selain itu
tongkonan juga adalah wadah persekutuan keluarga. Dalam
masyarakat tampo sendiri memiliki tongkonan yang
memerintah yang terdiri dari 10 tongkonan. Masing-masing
tongkonan ini memiliki to parenge’ yang menjadi pemimpin
didalamnya.”
(Wawancara 26 Maret 2015)
Seperti yang dikatakan informan YP bahwa tongkonan dapat
diartikan sebagai sebuah persekutuan yang memiliki struktur dan
memiliki fungsi didalamnya. Selain itu tongkonan juga memiliki wilayah
yang disebut tanah tongkonan yang mirip dengan hak ulayat. Adapun
perbedaan diantara keduanya adalah Hak ulayat merupakan hak
persekutuan yang bersifat teritorial (berdasarkan lingkungan daerah)
atas tanah di dalam wilayah kekuasaannya. Sedangkan tanah
tongkonan adalah hak sekelompok masyarakat adat yang bersifat
geneologis (berdasarkan ikatan darah).
61
Dalam uraian dan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa To
parenge’ sebagai pemimpin dalam tongkonan mempunyai
status
sebagai pemimpin yang berfungsi untuk menyelesaikan masalahmasalah yang ada dalam tongkonan.
c. Peran To parenge’ dalam Penyelesaikan Konflik Sengketa
Tanah Tongkonan pada Pembangunan Bandar Udara di
Kecamatan Mengkendek
 Konflik Sengketa Tanah: Proses Pembebasan Lahan
Kasus sengketa tanah pada pembangunan bandar udara di
Kecamatan Mengkendek, Kabupaten Tana Toraja terjadi akibat adanya
beberapa masalah yang timbul seperti saling mengklaim atas
kepemilikan tanah serta tidak meratanya pembagian ganti rugi sesama
anggota keluarga tongkonan yang menimbulkan kecemburuan sosial.
Keberadaan tanah Tongkonan bagi masyarakat adat Tana Toraja
memang seringkali menjadi sumber sengketa yang bermula dari
pengaduan pihak (orang/badan hukum) yang berisi keberatankeberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah,
batas-batas tanah yang tidak jelas maupun kepemilikannya dengan
harapan dapat memperoleh penyelesaian secara hukum, baik dari
aspek perdata maupun administrasi, sehingga pihak-pihak yang
bersangkutan dapat memperoleh kepastian dan perlindungan.
Sengketa yang objeknya adalah tanah dengan modus yang
beragam selama ini sering terjadi karena tidak adanya bukti autentik
sebagaimana
yang
disyaratkan
62
peraturan
perundang-undangan.
Demikian pula bahwa pertambahan penduduk dan kemajuan teknologi,
serta kemajuan ekonomi, mengakibatkan kebutuhan atas tanah
semakin meningkat sehingga proses penguasaan dan pemilikan tanah
dapat menjadi kendala dalam upaya memperoleh kepastian hukum dan
keadilan dalam pendaftaran hak-hak atas tanah.
Demikian halnya dalam kasus yang terjadi di Mengkendek hingga
saat ini. Proses pembayaran lahan untuk pembangunan bandar udara
di kecamatan Mengkendek diatas lahan seluas 225 hektare berlokasi
di Kelurahan Tampo, Lembang Rantedada, Lembang Simbuang dan
Lembang Marinding. Proses pembangunannya sampai saat ini sudah
sampai tahap pembayaran lahan milik masyarakat. Belum tuntasnya
proses pembayaran lahan bandara udara di kecamatan Mengkendek,
kelurahan Tampo Lembang Rantedada, Lembang Simbuang hingga
Lembang Marinding masih menyisakan persoalan.
Pada proses pembebasan lahan tersebut pemerintah membentuk
panitia 9 untuk pembebasan lahan bandara baru Mengkendek. Panitia
9 diketuai oleh Sekretaris Kabupaten Tana Toraja, Enos Karoma.
Kemudian dibentuk juga satuan tugas (satgas) pembebasan lahan
berjumlah 146 orang. Satgas tersebut terdiri dari tokoh-tokoh adat,
pejabat pemkab, lurah/kepala desa, aktivis LSM, Wartawan dan
pensiunan tentara. Tugas dari satgas itu sendiri adalah untuk
membantu tim 9 dalam melakukan proses pembebasa lahan.
63
Hasil kesepakatan antara pemerintah dan masyarakat mengenai
biaya ganti rugi adalah Lahan basah/ sawah yang berlum bersertifikat
dihargai Rp 35.000/ m2, tanah kering yang belum memiliki sertifikat Rp
21.390/m2. Lahan basah bersertifikat Rp.40.250/m2 dan lahan kering
bersertifikat Rp.26.737/m2. Selain tanah, ganti rugi juga diberikan
kepada 31 jenis tanaman produktif yang ada diatas lahan.
Adapun kronologis pembayaran ganti rugi pada pembangunan
bandar udara di Kecamatan Mengkendek, Kabupaten Tana Toraja:
1) Sosialisasi rencana pembangunan bandar udara di Kecamatan
Mengkendek.
Pada saat rencana pemerintah untuk membangun bandar udara di
Kecamatan Mengkendek, pemerintah sebelumnya mengundang
para To parenge’ beserta masyarakat yang memiliki lahan di
lokasi pembangunan bandar udara.
2) Inventarisasi lahan
Dalam proses ini dilakukan penyampaian kepada masyarakat
mengenai hasil pemetaan dan pengukuran lokasi bandar udara.
3) Sosialisasi harga
Sosialisasi harga dilakukan guna mencapai kesepakatan antara
pemerintah dalam hal ini panitia 9 dan masyarakat mengenai
harga tanah.
Berikut yang dikatakan oleh informan LN (51 Tahun):
“Sebelum adanya rencana pembangunan bandar udara di lokasi
tersebut, pemerintah memanggil para To Parenge’, tokoh-tokoh
64
masyarakat dan ada juga pemilik lahan yang diundang oleh
pemerintah. Tujuan pemanggilan ini adalah untuk membicarakan
rencana pembangunan bandara dan juga biaya ganti rugi bagi
masyarakat yang lahannya masuk dalam pembangunan bandara.”
(Wawancara 26 Maret 2015)
4) Pendataan lahan
Pendataan ini dilakukan oleh panitia 9 dengan mengajukan syarat
bagi pemilik lahan untuk melengkapi data kepemilikan tanah
berupa sertifikat tanah atau bukti kepemilikan lain yang dikenal
masyarakat setempat.
5) Verifikasi data
Panitia 9 melakukan verifikasi data kepemilikan tanah dengan
melibatkan kantor pertanahan Tana Toraja dan pemilik lahan.
6) Pengumuman hasil verifikasi
7) Pembayaran ganti rugi
Proses pembayaran ganti rugi dilakukan secara bertahap oleh
panitia 9. Namun kemudian proses pembayaran ganti rugi tersendat
akibat adanya masalah seperti kasus korupsi yang melibatkan tim 9 itu
sendiri.
Proses pembebasan lahan yang berjalan kemudian mengalami
berbagai masalah. Seperti terjadinya konflik akibat adanya pihak-pihak
yang mengklaim atas kepemilikan tanah, serta tidak meratanya
pembagian hasil ganti rugi sesama keluarga tongkonan. Selain itu tidak
adanya kejelasan batas-batas tanah serta kurangnya pengetahuan
masyarakat akan pentingnya untuk mengurus sertifikat tanah membuat
65
masalah semakin rumit. Proses pengalihan penguasaan tanah tanpa
adanya perjanjian juga menjadi sumber masalah.
Dilain pihak proses pembangunan yang berjalan juga tidak
melibatkan masyarakat khususnya dalam pembangunan bandara
tersebut yang membuat masyarakat setempat menjadi acuh terhadap
masalah tersebut. Seperti yang dikatakan salah seorang responden KS
(53 Tahun):
“Setelah adanya penetapan dari pemerintah mengenai lokasi
bandar udara di kecamatan Mengkendek, kami tokoh-tokoh
masyarakat dipanggil. Tapi seiring berjalannya waktu dan
pembangunan bandar udara tersebut kami para tokoh-tokoh adat
sudah tidak dilibatkan lagi. Jadi ketika ada masalah yang terjadi
sulit bagi kami untuk ikut campur tangan didalamnya.”
(Wawancara 21 Maret 2015)
Persoalan lain yang timbul setelah adanya pembagian ganti rugi
adalah tidak meratanya pembagian biaya ganti rugi yang diberikan
antar anggota keluarga tongkonan sehingga menimbulkan konflik. Ini
terjadi akibat
penguasaan tanah tongkonan terjadi pengalihan
penggarapan tanah ke orang lain untuk digarap dimana penggarap
yang diberikan masih satu rumpun keluarga. Si penggarap kemudian
yang mengelolah tanah tersebut dan berlangsung dalam jangka waktu
yang lama sampai saatnya tanah tongkonan tersebut masuk dalam
area pembangunan bandar udara di Kecamatan Mengkendek.
Inilah yang kemudian dipermasalahkan apakah hasil pembagian
ganti rugi tanah ini harus dibagi rata antara pemilik dan penggarap atau
si pemilik ini mendapatkan uang ganti rugi yang lebih. Terkadang juga
66
memicu perdebatan mengenai tanah tongkonan dalam masyarakat
tersebut.
Karena
ada
beberapa
kasus
dimana
pemilik
lahan
memberikan kekuasaan kepada penggarap secara hibah (ditekkenan)
dan kemudian tanah tersebut dikelola secara turun temurun. Jadi ketika
adanya pembayaran ganti rugi tanah timbullah persoalan mengenai
siapa yang berhak atas ganti rugi tanah tersebut.
Seperti yang dikatakan oleh salah seorang tokoh adat MB (64
Tahun) mengatakan bahwa:
“La ma’ kurre sumanga’ ki na den te pembangunan tama lan
tondok, cuman yamotu masalah kemudian muncul saba’ yate
biaya ganti rugi ladibagi rata raka sole te tau tu garap i te padang
atau la’bi buda te to ampui padang. Jadi tae’ ia napermasalahakan
tu masyarakat te padangna di nani membangun yari te masalah
ganti rugi tu menjadi persoalan khususnya inde liu simbuang.(kami
masyarakatnya sebetulnya setuju atas pembangunan bandara ini.
Yang menjadi masalah kemudian adalah biaya ganti rugi karena
ada tanah yang digarap oleh orang lain selama puluhan tahun
kemudian masuk dalam lokasi pemabangunan bandara. Apakah
uang ganti rugi ini kemudian harus dibagi dua 50:50 antara
penggarap dengan pemilik lahan atau yang punya tanah
mendapatkan uang yang lebih. Jadi tidak ada masalah jika tanah
masyarakat ini digunakan untuk membangun, yang menjadi
masalah disini adalah masalah ganti rugi.)
(Wawancara 28 Maret 2015)
Ketidakjelasan
akan
kepemilikan
tanah
tongkonan
dalam
masyarakat Toraja dikarenakan beberapa faktor. Pertama karena
umumnya tanah tongkonan tidak memiliki sertifikat karena merupakan
kepemilikan keluarga tongkonan secara kolektif. Tanah tersebut bisa
saja disertifikatkan atas nama tongkonan namun tidak boleh dikuasai
oleh satu pihak saja.
67
Masalah lain yang dapat memicu persoalan adalah ketidakjelasan
batas-batas tanah tongkonan, hanya secara lisan saja dijelaskan
mengenai batas tanah tanpa adanya bukti yang tertulis. Ketidakjelasan
mengenai pemilik yang sah mengakibatkan adanya saling mengklaim
atas kepemilikan tanah. Seperti yang dikatakan oleh AR (54 Tahun)
berikut ini.
Menurut salah satu informan AR (54 Tahun) mengatakan bahwa:
“Jadi masalah yang terjadi di mengkendek itu adalah orang
luar yang datang untuk mengacau. Mengklaim atas tanah
yang ada akibat adanya kecemburuan sosial padahal dia
bukan orang didalam kampung.”
(Wawancara 15 Mei 2015)
Konflik yang terjadi telah memudarkan nilai-nilai dan norma yang
ada dalam masyarakat. Disatu sisi juga masyarakat sebagai pelaku
konflik sudah tidak patuh lagi akan norma-norma dan aturan yang
berlaku dalam masyarakat. Seperti yang dikemukakan Kolip dalam
pengantar sosiologi bahwa selain dari perbedaan-perbedaan yang ada
dalam masyarakat, akar persoalan dari konflik utamanya terjadi akibat
disfungsi sosial. Artinya bahwa nilai-nilai dan norma-norma sosial yang
ada di dalam struktur sosial tidak lagi ditaati, pranata sosial, dan sistem
pengendaliannya tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Konflik bisa saja berdampak pada hancurnya nilai dan norma
dalam masyarakat atau bahkan sebaliknya akibat ketidak patuhan
masyarakat terhadap nilai dan norma maka terjadilah konflik. Hal inilah
yang terjadi dalam masyarakat toraja saat ini. Ketidakpatuhan terhadap
68
norma dan nilai-nilai sosial yang ada menyebabkan konflik terjadi
diantara sesama keluarga tongkonan.
Konflik yang terjadi pada pembangunan bandar udara di
Kecamatan Mengkendek, Kabupaten Tana Toraja melibatkan banyak
pihak didalamnya. Tanah tongkonan yang awalnya adalah tanah milik
bersama yang sifatnya sakral kini tidak menjadi sesuatu yang sakral
bagi masyarakat itu sendiri. Masyarakat kemudian memandang tanah
tongkonan sebagai sesuatu barang yang dapat menghasilkan uang.
Belum lagi masalah lain muncul akibat adanya pembagian
kekuasaan tanah yang tidak merata sehingga menimbulkan konflik
diantara anggota keluarga tongkonan. Konflik yang terjadi kemudian
membawa dampak buruk bagi masyarakat itu sendiri. Hal yang paling
nyata terlihat adalah terjadinya perpecahan dalam keluarga.
Meskipun demikian konflik tidak dapat dipandang dari satu sisi
saja. Konflik juga dapat membawa dampak positif dalam masyarakat
jika dikelola dengan baik. Seperti yang dikemukakan oleh Coser bahwa
konflik
didalam
masyarakat
biasanya
akan
mengugah
warga
masyarakat yang semula pasif menjadi aktif dalam memainkan peranan
tertentu
didalam
masyarakat.
Akibat
adanya
konflik
tersebut
masyarakat kemudian aktif berperan didalamnya. Termasuk pemimpin
adat atau To parenge’ yang kemudian berperan aktif dalam
menyelesaikan masalah tersebut.
69
d. Peran To Parenge’ dalam Penyelesaian Konflik
Konflik yang terjadi pada pembangunan bandar udara di
Kecamatan
Mengkendek
telah
menyebabkan
keretakan
dalam
hubungan kekeluargaan di dalam tongkonan. Apalagi bila diperhatikan
bahwa yang terlibat dalam konflik itu sendiri juga masih ada hubungan
keluarga. Untuk itulah perlu adanya suatu penyelesaian masalah untuk
terciptanya kedamaian antar keluarga. Masyarakat pada umumnya
tidak menginginkan adanya menang kalah tetapi penyelesaian tersebut
haruslah secara rukun dan damai. Inilah kemudian menjadi tugas dari
To parenge’ sebagai pemimpin.
Sebagai seorang pemimpin tentunya To parenge’ memiliki peran
dan tanggungjawab yang besar dalam masyarakat. Masyarakat yang
dipandang sebagai arena konflik membutuhkan suatu penanganan
apabila terjadi konflik agar tidak merambat luas. To parenge’ sebagai
pemimpin dalam suatu kelompok mempunyai pengaruh besar untuk
memediasi pihak yang konflik. Dalam kasus sengketa tanah yang
terjadi di Kecamatan Mengkendek, To parenge’ juga memiliki andil
dalam menyelesaikan konflik tersebut apalagi sebagai orang yang
dituakan tentunya To parenge’ akan didengar oleh segenap rumpun
keluarga terutama mereka yang terlibat dalam konflik.
Di kabupaten Tana Toraja dimana hukum adat masih kental dalam
kalangan masyarakat, peranan daripada tongkonan dibawah pimpinan
seorang To Parenge’ masih kuat. Konsekuensi dari hal tersebut di atas
70
yaitu bahwa semua tanah yang termasuk wilayah tongkonan adalah
milik dari tongkonan yang bersangkutan dan pemanfaatannya diatur
oleh To Parenge’.
Setiap permasalahan yang timbul sehubungan dengan tanah
tongkonan
diselesaikan secara musyawarah, seperti apa yang
dikatakan oleh salah satu dari tokoh adat yaitu Bumbungan:
“Sewaktu peranan tongkonan masih kuat, maka peranan dan
tanggung jawab To Parenge’ adalah sangat besar dan penting
di dalam mengurus dan menyelesaikan persoalan tanah
tongkonan berdasarkan pada peraturan yang istimewa bagi
masyarakat Toraja. Setiap permasalahan diselesaikan secara
musyawarah oleh masyarakat Toraja yaitu : “Ungkataku’ aluk
sola pemali, ungkasiri’ totumampata” artinya takut kepada
sanksi-sanksi moral yang berlaku dalam masyarakat dan malu
terhadap Allah penciptanya”
Pada kasus sengketa tanah di Kecamatan Mengkendek, proses
penyelesaian konflik yang dilakukan oleh To parenge’ beserta dengan
aparat pemerintah dilakukan secara musyawarah yang dipimpin oleh
To
parenge’
dalam
tongkonan
masing-masing.
Tongkonan
10
Kelurahan Tampo sebagai salah satu Tongkonan yang masuk dalam
area pembangunan bandar udara. Dari 225 hektare luas bandara, 94
hektare merupakan tanah dalam lingkup wilayah Tongkonan 10
Kelurahan Tampo. Dalam tongkonan inilah terdapat konflik dimana
saling mengklaim atas tanah tongkonan terjadi diantara sesama
anggota warga tongkonan.
Proses penyelesaian konflik yang dilakukan To parenge’ di
Tongkonan
10
Kelurahan
Tampo
71
dilakukan
dengan
beberapa
pendekatan diantaranya konsoliasi, mediasi dan arbitration (Nasikun
1988).
Konsoliasi adalah suatu usaha untuk mempertemukan keinginan
keinginan
persetujuan
pihak-pihak
bersama,
yang
berselisih,
bagi
pihak-pihak
bagi
yang
tercapainya
bersengketa
suatu
ada
kesempatan untuk mendiskusikannya melalui suatu lembaga tertentu.
Proses penyelesaian konflik yang dilakukan oleh To parenge’ dalam hal
ini dilakukan di kantor lembang pada bulan juli 2011. Pada rapat ini
pihak-pihak yang berkonflik dihadirkan bersama dengan tokoh-tokoh
adat yang ada di lembang tersebut.
Dalam tahap ini upaya yang dilakukan oleh To parenge’ bersama
dengan tokoh-tokoh adat dalam mempertemukan keinginan masingmasing pihak mendapatkan jalan buntu dikarenakan masing-masing
pihak tersebut merasa berhak penuh untuk ganti rugi tanah tersebut.
Seperti yang dikatakan oleh LN (54 Tahun):
“masing-masing To parenge’ dalam satu tongkonan
menyelesaikan masalah dalam tongkonan mereka masingmasing. Secara adat masing-masing pihak berhak atas ganti
rugi tanah tersebut, yang menjadi masalah adalah kedua
belah pihak sama-sama berkeinginan untuk mendapatkan
uang ganti rugi secara penuh dari pemerintah”.
(Wawancara 26 Maret 2015)
Upaya To parenge’ dalam menyelesaikan masalah yang terjadi
mendapatkan kendala seperti mana yang dijelaskan oleh PL. Keinginan
masing-masing pihak untuk mendapatkan biaya ganti rugi secara
penuh akhirnya mendapatkan jalan buntu. Jalan tengah yang kemudian
72
dilakukan untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah melalui jalur
hukum. Upaya konsoliasi yang dilakukan To parenge’ bersama dengan
aparat pemerintah dalam hal ini perangkat desa tidak membawakan
hasil yang baik.
Penyelesaian masalah-masalah yang kemudian dilakukan oleh To
parenge’ adalah memediasi pihak-pihak yang berkonflik. Maksud dari
mediasi ini adalah dimana kedua belah pihak bersepakat untuk
menunjuk pihak ketiga yang akan memberikan nasehat-nasehat
tentang bagaimana baiknya jalan keluar dari masalah tersebut. Kedua
belah pihak bebas menerima atau menolak keputusan yang diberikan
oleh pihak ketiga. Begitu pula pihak ketiga tidak mempunyai wewenang
untuk mengintervensi atau memberikan keputusan menang kalah.
Pihak ketiga dalam hal ini adalah To parenge’ dimana fungsinya hanya
sebagai perantara.
Pendekatan-pendekatan yang dilakukan secara kekeluargaan
dalam menyelesaikan masalah tersebut dilakukan dengan cara mencari
asal usul kepemilikan tanah tongkonan dengan massulo nene’. Massulo
nene’ adalah sebuah bentuk penelusuran kepemilikan atas tanah
dengan cara menelusuri sejarah tanah hingga sampai saat ini.
Namun setelah diadakan mediasi kedua belah pihak memang
secara adat berhak atas tanah tongkonan yang masuk dalam area
pembangunan bandar udara di Kecamatan Mengkendek. Adapun cara
73
memperoleh tanah tongkonan tersebut melalui perkawinan dan ada
juga yang dihibahkan (ditekkenan).
Jadi untuk memutuskan secara adat siapa yang berhak atas tanah
tongkonan
adalah
melalui
To
parenge’.
Dimana
hal
tersebut
dimusyawarakan secara adat untuk menelusuri asal-usul kepemilikan
tanah yang dipersengketakan melalui massulo nene’.
Seperti dikatakan oleh informan MB (64 Tahun):
“To parenge’ memiliki peran yang besar dalam masyarakat.
jadi harus memang To parenge’ yang menunjukkan tanah si A
atau si B. Jadi to parenge’ ini memiliki pengaruh yang besar.
Tanah yang masuk dalam pembangunan itu sendiri adalah
tanah adat. Waktu proses mediasi di kantor daerah dulu saya
selalu ngotot. Saudara-saudara, masyarakat, tokoh adat, to
parenge’ jangan kita mengklaim bahwa si A ini tidak boleh
masuk. Kalau saudara-saudara kita masuk sebelum ada
bandara, jangan kita mengklaim bahwa itu bukan hak mereka.
Yang jelas kamu itu perlu diatur, minta petua sama to
parenge.”
(Wawancara 28 Maret 2015
Dikatakan oleh informan MB (64 Tahun) bahwa yang memang
harus menangani masalah ini adalah To parenge’. Karena sebagai
pemimpin tentunya harus mendapatkan penghargaan disamping itu
pula melalui To parenge’ bisa ditelusuri mengenai siapa sebenarnya
yang memiliki hak atas tanah yang dipersengketakan tersebut. Lanjut
dikatakan MB bahwa masyarakat yang telah lama mendiami tanah
tongkonan tersebut tidak boleh diusir secara sepihak. Tetap harus ada
solusi yang diberikan agar semua pihak merasa tidak ada yang
dirugikan. Untuk itulah segeranya masalah sengketa tanah tongkonan
74
ini dapat diselesaikan dengan baik agar pembangunan juga dapat
berjalan.
Penanganan
konflik yang cepat merupakan suatu upaya
perumusan suatu solusi atas konflik yang terjadi untuk mencapai
kesepakatan bersama yang bisa diterima oleh pihak-pihak yang
berkonflik. Fisher et.al (2001:7) menjelaskan bahwa resolusi konflik
adalah
usaha
menangani
sebab-sebab
konflik
dan
berusaha
membangun hubungan baru yang bisa bertahan lama diantara
kelompok-kelompok yang bersiteru.
Proses mediasi yang dilakukan oleh To parenge’ serta pemerintah
dalam kasus tersebut sudah dilakukan yaitu ketika pihak yang
berkonflik tersebut dipanggil untuk membicarakan pokok permasalahan
yang terjadi. Sebelum pembangunan tersebut dilakukan, pemerintah
bersama To parenge’ serta beberapa tokoh adat dipanggil untuk
membicarakan hal tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah
timbulnya konflik dikemudian hari.
Salah satu informan LN (51 Tahun) juga mengatakan hal serupa
bahwa:
“Sebelum adanya rencana pembangunan bandar udara di
lokasi tersebut, pemerintah memanggil para To Parenge’,
tokoh-tokoh masyarakat dan ada juga pemilik lahan yang
diundang oleh pemerintah. Tujuan pemanggilan ini adalah
untuk membicarakan rencana pembangunan bandara dan
juga biaya ganti rugi bagi masyarakat yang lahannya masuk
dalam pembangunan bandara.”
(Wawancara 26 Maret 2015)
75
Upaya yang dilakukan oleh To parenge’ serta tokoh-tokoh adat
dalam menyelesaikan konflik tersebut belum menemui titik terang.
Hanya ada beberapa kesepakatan yang dihasilkan dalam musyawarah
tersebut dimana masing-masing pihak yang mendapatkan uang ganti
rugi mendapat potongan sebanyak 3% dari total penerimaan uang ganti
rugi
yang
kemudian
akan
diberikan
kepada
tongkonan
untuk
kepentingan bersama.
Seperti yang dikatakan oleh KS (53 Tahun):
“Dalam kasus bandara di Mengkendek kami tetap
memperjuangkan, karena yang menjadi persoalan adalah ada
pihak-pihak yang mengatakan bahwa tanah yang menjadi
pembebasan untuk pembangunan bandara adalah tanah
negara, tanah tongkonan dan ada juga yang mengatakan
bahwa tanah tersebut adalah tanah pribadi. Tapi menurut
saya sendiri sebenarnya itu adalah tanah tongkonan.
Persoalan ganti rugi telah disepakati bahwa ada potongan 3%
dari total penerimaan ganti rugi yang diberikan kepada
tongkonan.”
(Wawancara 21 Maret 2015
Proses penyelesaian konflik sengketa tanah yang dilakukan oleh
para To parenge’ umumnya sudah cukup maksimal dimana pihak-pihak
yang
bersengketa
ini
kemudian
duduk bersama
dalam
suatu
musyawarah adat dimana akan ditelusuri secara garis keturunan
terhadap pengusaan tanah tongkonan. Namun setelah ditelusuri secara
adat terhadap penguasaan tanah adat tersebut, masing-masing pihak
dirasa berhak untuk mendapatkan ganti rugi. Ada beberapa keluarga
yang mendapatkan tanah dari proses perkawinan yang kemudian
dihibahkan untuk digarap.
76
Beberapa kendala juga ditemui oleh
To parenge’ dalam
melakukan upaya perdamaian bagi pihak yang berkonflik. Salah
satunya karena pihak yang berkonflik tersebut menggugat lawannya
melalui pengadilan secara tertutup. Jadi dalam hal ini To parenge’ tidak
dapat melakukan upaya perdamaian untuk mencegah bahkan melerai
konflik. Hal ini tentunya dirasa sulit untuk mempertemukan kedua belah
pihak yang berkonflik karena salah satu pihak memilih jalur hukum
untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Begitu pula yang dikatakan oleh salah seorang To parenge’ YP
(52 Tahun):
“Susah karena pihak yang berkonflik tersebut tidak mengakui
bahwa tanah tersebut adalah tanah adat jadi To parenge’ tidak
bisa masuk untuk mendamaikan hal tersebut. Selain itu ada
pihak-pihak yang menggugat ke pengadilan secara tertutup.
(wawancara 21 Maret 2015)
Upaya penyelesaian masalah yang dilakukan oleh To parenge’
pada akhirnya menemui jalan buntu. Hal ini terjadi akibat adanya
beberapa faktor diantaranya:

Ada pihak-pihak yang menggugat para To parenge’, masyarakat
yang menerima ganti rugi serta pemerintah dalam hal ini tim 9
yang diketuai oleh sekertaris daaerah Tana Toraja Enos Karoma
ke pengadilan melalui LSM.

Pihak-pihak yang berkonflik tidak menghasilkan kesepakatan oleh
karena masing-masing pihak merasa berhak penuh atas tanah
yang
menjadi
objek
sengketa.
Dimana
setelah
adanya
penelusuran yang dilakukan oleh To parenge’ melalui massulo
77
nene’(menelusuri asal usul tanah) ditemukan bahwa kedua pihak
memang secara adat berhak atas tanah yang dipersengketakan.
Dalam
memperoleh
tanah
tersebut
ada
yang
dihibahkan
(ditekkenan), ataupun melalui perkawinan.

Pihak-pihak yang berkonflik merasa bahwa tanah yang menjadi
objek sengketa adalah tanah perseorangan, bukan tanah adat
maupun tanah negara. Dalam hal ini sulit bagi para To parenge’
untuk melakukan upaya damai dikarenakan adanya penolakan
pihak yang berkonflik untuk dimediasi.
2. Tanggapan masyarakat mengenai penyelesaian konflik oleh To
Parenge’
Konflik yang hadir dalam masyarakat tentunya ada yang
berimplikasi baik ataupun buruk tergantung bagaimana sikap kita
memandang
dan
mengatasi
konflik
tersebut.
Ada
yang
menganggapnya buruk karena melihat konflik sebagai suatu masalah
yang sering menyebabkan perpecahan dalam masyarakat yang
menyebabkan disentegrasi sosial. Memang tidak bisa dipungkiri hal
tersebut akan terjadi karena dalam masyarakat itu sendiri, konflik
adalah bagian yang tak terpisahkan.
Kasus sengketa tanah pada pembangunan bandar udara di
Kecamatan Mengkendek, Kabupaten Tana Toraja merupakan contoh
konflik sosial yng terjadi dalam masyarakat.
Seperti yang sudah
dijelaskan di awal akar dari masalah ini yang berujung pada terjadinya
78
perpecahan dalam keluarga tongkonan. Ini adalah salah satu dampak
buruk yang ditimbulkan oleh konflik yang apabila dibiarkan berkembang
akan mengakibatkan kehancuran dalam masyarakat.
Untuk itulah dalam menyelesaikan konflik yang baik adalah
mencari akar dari permasalahan yang terjadi sehingga dapat ditemukan
titik penyelesaiannya. Gejala konflik sosial akan selesai jika akar
penyebab konflik tersebut ditiadakan dan dapat diselesaikan dengan
baik. Untuk itulah proses penanganan konflik yang cepat dibutuhkan
oleh
pemimpin
diminimalisir.
menyelesaikan
agar
Dalam
konflik
hal
masalah
tidak
merambat
luas
dan
To
parenge’
diharapkan
tersebut
bersama
dengan
ini
dapat
mampu
pemerintah
setempat.
Pada observasi dan wawancara yang dilakukan oleh penulis ada
informan yang mengatakan bahwa peranan To parenge’ biasa saja.
Informan ini menjelaskan bahwa To parenge’ sama sekali tidak
mempengaruhi karena jika terjadi konflik yang turun menangani
biasanya adalah aparatur kepolisian. To parenge’ hanya sebatas pada
sengketa lahan atau sengketa adat karena ujung – ujungnya pasti
diselesaikan di peradilan. Meskipun demikian ada pula beberapa kasus
yang dapat diselesaikan dengan baik bersama tokoh-tokoh adat.
79
Berikut di jelaskan oleh PT ( 56 Tahun) di bawah ini :
“peranannya biasa saja. Karena To parenge’ hanya sebatas
menangani konflik adat. Menurut pengalaman saya banyak
sengketa adat yang selesai di tingkat adat dan itu keinginan
masyarakat, tetapi jika sudah tidak bisa di tangani baru di
limpahkan ke pengadilan. Dalam kasus sengketa tanah
bandara, peran To parenge’ itu biasa saja meskipun ada
upaya-upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik
tersebut. ”
(Wawancara 5 Maret 2015)
Selain itu pula masyarakat ada yang mengatakannya sangat baik
dan sangat membantu. Proses pencegahan dan penyelesaian konflik
yang terjadi di Kecamatan Mengkendek sudah cukup maksimal
meskipun belum sepenuhnya masalah tersebut selesai pada tingkat
adat. To parenge’ sebagai seorang pemimpin adat dalam tongkonan
membawah pengaruh yang besar bagi anggota kelompoknya.
Seperti yang dikatakan oleh informan LN (54 Tahun):
“To parenge’ ini mempunyai pengaruh dalam masyarakat.
karena To parenge’ adalah orang yang dituakan dalam
masyarakat dan didengar oleh seluruh anggota keluarga
tongkonan. Terlepas dari itu jabatan sebagai To parenge’
tentunya mendapat penghargaan dari masyarakat.”
(Wawancara 25 Maret 2015)
Proses penyelesaian konflik yang dilakukan oleh para To parenge’
dianggap sudah cukup baik. Dimana peran To parenge’ sebagai orang
yang dituakan dan sebagai pemimpin tentunya dapat menyelesaikan
konflik yang terjadi dalam masyarakat. Dari beberapa observasi yang
dilakukan oleh penulis beberapa macam tanggapan dari peranan To
parenge ini. Seperti yang dijelaskan oleh informan AR (54 Tahun)
bahwa peranan To parenge ini sangat tidak membantu sama sekali.
80
Berikut di jelaskan di bawah ini :
“Dalam kasus sengketa tanah yang terjadi di Mengkendek, To
parenge’ tidak memiliki peranan sama sekali dalam
menyelesaikan masalah tersebut. Dalam kasus sengketa
pada umumnya yang terjadi To parenge’ selalu bisa
menyelesaikannya di tingkat adat. Namun dalam kasus ini To
parenge’ tidak memiliki peran untuk memediasi kami
masyarakat yang berkonflik”.
(Wawancara 15 Mei 2015)
Sehingga menurut informan tersebut peranan To parenge tidak
membantu masyarakat yang sedang bersengketa. Hal ini diungkapkan
karena melihat kondisi dimana ada salah seorang To parenge’ bersama
LSM
yang
menggugat
lewat
pengadilan
masyarakat
yang
mendapatkan ganti rugi dari pemerintah. Tetapi pendapat berbeda
diungkapkan oleh informan LN (51 Tahun) berikut ini :
“To parenge sangat membantu. Mereka tentunya tidak dipilih
sembarang untuk mengurus sengketa ini. Mereka sangat
berpengalaman selama puluhan tahun. Sejak mereka di
angkat sebagai To parenge sudah banyak sengketa hukum
yang mereka selesaikan. Jadi bukan karena berlarut larutnya
sengketa bandara udara ini membuat citra mereka buruk.
Mereka masih bisa di berikan waktu untuk menyelesaikannya.
Mereka sudah sejak lama membantu.
(Wawancara 26 Maret 2015)
Sebagaimana yang dijelaskan informan diatas beberapa kendala
dihadapi oleh To parenge’ dalam menyelesaikan masalah tersebut
seperti yang dikatakan oleh informan KS (53 Tahun:
81
“sulit untuk memediasi dikarenakan ini adalah masalah
perorangan dengan pemerintah. Kalau dalam hal konflik
antara anggota tongkonan, untuk mendamaikan kedua bela
pihak maka pihak-pihak yang berkonflik dipanggil untuk
dimintai keterangan mengenai masalah tersebut. Jadi peran
To Parenge’ itu sendiri harus berlaku adil dalam menentukan
keputusan dengan cara menelusuri siapa yang sebenarnya
mempunyai hak atas tanah yang dipersengketakan. Tapi
dalam beberapa kasus umumnya dapat diselesaikan secara
kekeluargaan”
(Wawancara 25 Maret 2015)
Perjalanan kepemimpinan To parenge’ dalam menyelesaikan
berbagai persoalan dalam masyarakat tidak selamanya berjalan mulus.
Ada beberapa masalah yang tidak bisa diselesaikan secara adat.
Namun tentunya tidak bisa dipungkiri bahwa masalah-masalah tersebut
datangnya dari masyarakat sendiri.
Konflik merupakan gejala sosial dalam masyarakat yang tidak
mungkin dapat dihilangkan. Untuk itu perlunya suatu perencanaan
dalam menyikapi konflik tersebut agar kiranya dapat membawah
pengaruh yang positif bagi masyarakat. Namun dalam hal ini perlu ada
pemahaman oleh semua pihak dalam menyelesaikan setiap masalah.
Perlunya
kesadaran dan pemahaman bahwa
ada mekanisme-
mekanisme penyelesaian konflik lewat lembaga yang telah disepakati.
Selain itu dalam menyelesaikan masalah juga harus dilakukan
melalui musyawarah mufakat untuk mencapai kesepakatan bersama.
Seperti proses penyelesaian konflik yang telah dilakukan oleh To
parenge’ dan aparat pemerintah. Namun kemudian mendapat kendala
akibat tidak adanya kesadaran sebagian masyarakat bahwa ada suatu
82
lembaga adat yang menjadi wadah dalam mempertemukan setiap
masalah. Ini terlihat dari adanya pihak yang menggugat ke pengadilan
melalui LSM. Tentunya ini juga menjadi suatu gambaran bahwa
masyarakat sudah tidak patuh lagi akan norma-norma sosial yang ada
dalam masyarakat.
Jadi
benar
jika
Kolip
dalam
Pengantar
Sosiologi
(2010)
mengatakan bahwa perbedaan kepentingan ataupun perbedaan antar
individu hanyalah sebagai pemicu lahirnya konflik. Namun yang
menjadi penyebab utama terjadinya konflik adalah adanya disfungsi
sosial dimana norma-norma sosial yang ada dalam struktur sosial
masyarakat
tidak
lagi
dipatuhi,
pranata
sosial
serta
sistem
pengendaliannya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Inilah yang
kemudian hadir dalam masyarakat Toraja terkhusus yang terjadi pada
kasus sengketa tanah di Mengkendek.
Untuk itu To parenge’ sebagai pemimpin tentunya memiliki
pengaruh dalam masyarakat khususnya dalam menyelesaikan masalah
yang ada. Kemampuan untuk menyelesaikan setiap persoalan dalam
masyarakat tidak dapat dilihat dari satu aspek saja, sebab sifat
kehidupan sosial yang sitematis dalam artian bahwa persoalan yang
timbul itu berasal dari persoalan lain. Untuk itulah menyelesaikan
konflik harus dilihat sebagai suatu persoalan yang sifatnya menyeluruh
(holistik). Konflik akan senantiasa dihadapi oleh setiap kehidupan
83
masyarakat sebagai suatu hal yang wajar, untuk itu harus disikapi
dengan bijak.
84
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan berupa hasil dari
pembahasan data dan informasi yang telah diperoleh di lokasi penelitian,
maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Proses penyelesaian konflik tanah tongkonan yang dilakukan oleh
To parenge’
secara adat belum menemui jalan keluar. Hal ini
akibat adanya penelusuran yang dilakukan melalui massulo nene’
(ditelusuri secara keturunan) yang menyimpulkan bahwa masingmasing pihak berhak atas tanah tongkonan tersebut. Namun yang
menjadi masalah adalah masing-masing pihak
menginginkan
sepenuhnya hak ganti rugi atas tanah tongkonan tersebut. Hal
inilah kemudian membawah persoalan ini diselesaikan melalui jalur
hukum.
2. Beberapa tanggapan dari masyarakat muncul dari seputar peranan
To parenge’. Ada yang mengatakan peranannya biasa saja akibat
melihat konflik yang tidak kunjung selesai dan berlanjut ke rana
hukum. Sementara pada informan lain mengungkapkan perannya
To parenge’ sangat membantu. Hal ini dari penelusuran masa lalu
telah banyaknya konflik dan sengketa yang diselsaikan oleh To
parenge’. Lalu bagi mereka yang tidak mengatakan baik bahkan
memiliki pandangan negatif terhadap To parenge’ itu merupakan
85
konsekuensi dari kegagalan pada konflik yang terjadi sekarang.
Konflik yang semakin berlarut – larut membuat citra To parenge’
buruk.
Tetapi
karena
perkembangan
zaman
dan
semakin
kompleksnya masalah membuat To parenge’ harus meningkatkan
kemampuannya dalam meningkatkan kinerjanya.
B. Saran – Saran
1. Pentingnya peran aktif seorang To parenge’ dalam mencegah
maupun menyelesaikan konflik
yang ada dalam masyarakat.
Dalam hal ini To parenge’ perlu melakukan komunikasi yang
intensif kepada pihak-pihak yang berkonflik agar kiranya masalahmasalah yang ada dapat diselesaikan secara kekeluargaan.
Meskipun demikian perlu juga peran pemerintah bersinergi dengan
To parenge’ untuk menyelesaikan masalah tersebut.
2. Beragam tanggapan masyarakat muncul mengenai peranan dari To
parenge’ dalam menyelesaikan konflik. Untuk itu kiranya perlu ada
suatu pemahaman bagi masyarakat agar kiranya setiap masalah
yang
terjadi
dalam
masyarakat
perlu
musyawarah tanpa menempuh jalur hukum.
86
diselesaikan
secara
DAFTAR PUSTAKA
Bisri, Ilhami (2004). Sistem Hukum Indonesia. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Douglas J.Goodman, Geoorge Ritzer (2010). Teori Sosiologi Modern. Jakarta:
Kencana.
Fisher, Simon dkk (2001). Mengelola Konflik : Keterampilan dan Strategi Untuk
Bertindak Cetakan Pertama, Alih Bahasa S.N. Kartikasari, dkk, The British
Counsil, Indonesia, Jakarta
Kartono, Kartini (1993). Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta: Rajagrafindo
Persada.
Kolip, Usman (2010). Pengantar Sosiologi. Jakarta: Kencana
Mangende, Saung, S (1989). Sejarah Kebudayaan Daerah Sulawesi Selatan
dan Tana Toraja serta Kepariwisataannya. Ujung Pandang. Yayasan
Kebudayaan Toraja.
Ranjabar, Jacobus 2006). Sistem Sosial Budaya Indonesia. Bandung:
Alfabeta.
Soekanto, Soerjono (2010). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajagrafindo
Persada.
Soetopo (1999). Teori Konflik. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Suryabrata, Sumadi (1983). Metodelogi Penelitian. Jakarta: Rajagrafindo
Persada.
Satori, Djam’an dan Aan Komariah (2009). Metodologi Penelitian Kualitatif.
Bandung: Alfabeta.
Siagian, Sondang P (1988). Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta: Bina
Aksara.
Sitonda, Mohanmad Natsir ( 2004). Toraja Warisan Dunia. Makassar: Pustaka
Refleksi.
Sugiyono (2008). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung :
Alfabeta
Susan, Novri (2008). Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Kontemporer.Surabaya:
Kencana.
Tangdilintin, L.T. (1984). Toraja dan Kebudayaan, Yayasan lepongan bulan,
(Yalbu) Tana Toraja.
87
Jurdi, Syarifuddin (2013). Sosiologi Nusantara Memahami Sosiologi Integralistik.
Jakarta: Kencana.
Sumber lain:
Biringkanae, Arland (2014). Konflik Tanah Tongkonan pada Pembangunan
Bandar Udara di Kecamatan Mengkendek Kabupaten Tana Toraja.
Sosiologi Unhas.
Dewi, Rahayu Sri (2003). Eksistensi Hak Ulayat (Tanah Tongkonan) Masyarakat
Tana Toraja di Kecamatan Rantepao Kabupaten Tana Toraja. Universitas
Diponegoro Semarang.
Anonim. Kasus Lahan Bandar Udara Mengkendek. Diakses tanggal 4 Mei 2015.
file:///C:/Users/Public/Documents/RERERENSI/Kasus%20Lahan%20Ban
dar%20Udara%20Mengkendek%20Berlanjut.htm
Rombelayuk D. Kelembagaan Masyarakat Adat Desa Di Tana Toraja – Sulawesi
Selatan. Diakses tanggal 4 Mei 2015.
http://www2.jogjabelajar.org/modul/how/p/Pakaian_Daerah/18_KELEMBA
GAAN%20MASYARAKAT%20ADAT%20DESA%20DI%20TANA%20TOR
AJA.htm.
88
Download