BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Konflik merupakan unsur terpenting dalam kehidupan manusia. Manusia sebagai makhluk konfliktis (homo conflictus) yaitu makhluk yang selalu terlibat dalam perbedaan, pertentangan, dan persaingan baik secara sukarela maupun terpaksa. Untuk itulah masyarakat dimanapun mereka berada akan selalu menghadapi kemungkinan terjadinya konflik. Sepanjang peradaban manusia di muka bumi ini, konflik merupakan warna lain kehidupan yang tidak bisa dihapuskan dan selalu hadir dalam kehidupan bermasyarakat. Istilah konflik sendiri secara etimologi berasal dari bahasa latin “con” yang berarti bersama dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan. Jadi konflik dalam kehidupan sosial berarti benturan kepentingan, keinginan, pendapat, dan lain-lain yang melibatkan dua pihak atau lebih. Sedangkan menurut Soekanto konflik adalah “Proses sosialisasi dimana orang perorang atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai ancaman atau kekerasan (Soekanto, 1986: 68)”. Sedangkan Kolip (2010: 345) mengemukakan tentang defenisi konflik yaitu: 1 “Konflik merupakan gejala sosial yang sering hadir dalam kehidupan masyarakat yang bersifat inheren, artinya konflik akan senantiasa ada dalam setiap ruang dan waktu, dimana saja dan kapan saja. Dalam pandangan ini, masyarakat merupakan arena konflik atau arena pertentangan dan integrasi yang senantiasa berlangsung”. Secara sederhana konflik dapat diartikan sebagai pertentangan antara individu dengan kelompok atau antara kelompok dengan kelompok. Pertentangan yang terjadi akibat adanya perbedaan pendapat, tujuan, keinginan dan objek yang dipertentangkan. Konflik sosial yang terjadi dalam masyarakat secara umum disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut: 1. Perbedaan antar individu, 2. Benturan antar kepentingan baik itu secara ekonomi ataupun politik, 3. Perubahan sosial, 4. Perbedaan kebudayaan. Keempat faktor diatas bukanlah faktor utama pemicu konflik tapi hanya sebagai pemicu lahirnya konflik. Faktor utama yang menyebabkan lahirnya konflik adalah karena adanya disfungsi sosial. Disfungsi sosial terjadi manakala norma-norma sosial yang ada di dalam struktur sosial masyarakat tidak lagi ditaati, pranata sosial, dan sistem pengendaliannya tidak berjalan sebagaimana mestinya (Kolip, 2010: 360). Seperti halnya yang terjadi di Kecamatan Mengkendek, Kabupaten Tana Toraja. Konflik bermula ketika rencana pemerintah untuk membangun sebuah bandar udara di lokasi tersebut. Pembangunan mulai 2 berjalan tahun 2010 dengan alokasi dana Rp 20 Miliyar dari APBD Tana Toraja dan Rp 10 Miliyar dari Gubernur Sulawesi Selatan. Adapun Lokasi pembangunan bandar udara berada di Kecamatan Mengkendek yang meliputi Kelurahan Tampo, Lembang/Desa Rantedada, Lembang Marinding, dan Lembang Simbuang. Namun dalam proses pembangunan tersebut khususnya dalam hal pembebasan lahan, timbul konflik karena adanya pihak-pihak yang saling mengklaim atas kepemilikan tanah di sekitar lokasi pembangunan bandar udara. Hal ini terjadi karena tanah yang menjadi objek sengketa adalah tanah tongkonan yang dalam masyarakat Toraja merupakan kepemilikan secara kolektif. Selain itu adanya pembagian ganti rugi tanah yang tidak merata sesama anggota tongkonan menimbulkan kecemburuan sosial bagi seluruh anggota tongkonan. Masyarakat Toraja terdiri atas sekian banyak persekutuan yang disebut Tongkonan. Para anggota dari tongkonan satu dengan yang lainnya mempunyai ikatan secara geneologi karena adanya hubungan darah. Sebagaimana diketahui, persekutuan yang disebut dengan tongkonan ini juga mempunyai tanah yang disebut dengan tanah tongkonan. Tanah tongkonan adalah tanah yang dikuasai oleh sekelompok masyarakat adat dimana semua anggota tongkonan memiliki atau mempunyai hak yang sama, terhadap tanah tersebut berdasarkan atas suatu pertalian keturunan. 3 Tanah tongkonan pada umumnya tidak mengenal adanya sertifikat. Penguasaannya dilakukan oleh keturunan yang bermukim di lokasi tanah tersebut. Setiap keturunan dari pemilik tanah tongkonan berhak untuk tinggal dan membangun di atas tanah tongkonan dengan syarat sepanjang mereka ikut berpartisipasi memelihara dan menjaga tanah milik keluarga tersebut. Keberadaan tanah Tongkonan bagi masyarakat adat Tana Toraja seringkali menjadi sumber sengketa yang bermula dari pengaduan pihak (orang/badan hukum) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, batas-batas tanah yang tidak jelas maupun kepemilikannya penyelesaian secara dengan hukum, baik harapan dari dapat aspek memperoleh perdata maupun administrasi, sehingga pihak-pihak yang bersangkutan dapat memperoleh kepastian dan perlindungan. Hal inilah yang kadang memicu konflik ketika salah satu pihak mengklaim atas kepemilikan tanah tersebut baik secara kepemilikan, batas-batas tanah ataupun hak penuh atas tanah tersebut. Padahal secara hukum adat, tanah tongkonan tidak dapat dikuasai secara sepihak. kepemilikan Tidak terbaginya tanah tongkonan karena merupakan simbol persatuan keluarga dan juga merupakan sarana yang dapat mempertemukan kembali seluruh keturunan yang keluar dari tongkonan itu dalam atau situasi tertentu. 4 Proses pembayaran ganti rugi bagi masyarakat yang tanahnya masuk dalam area lokasi pembangunan bandar udara ternyata menuai masalah. Hal ini terjadi karena saling mengklaim kepemilikan tanah terjadi diantara sesama keluarga. Inilah asal mula terjadinya konflik dimana kecemburuan dan keinginan masing-masing pihak mendapatkan ganti rugi atas tanah dilokasi pembangunan bandar udara. Menarik untuk diperhatikan bahwa persoalan tanah baik yang ada di perkotaan maupun pedesaan senantiasa rumit. Pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah selalu kandas ditengah jalan akibat proses pembebasan lahan. Disatu sisi adalah kewajiban pemerintah dalam membangun suatu daerah demi untuk menunjang perekonomian namun disisi lain muncul kepentingan masyarakat yang mencari nafkah di tanah tersebut. Akibatnya terjadi benturan antara kedua kepentingan yang saling bertolak belakang. Konflik dalam masyarakat dapat membawa keadaan yang baik karena mendorong perubahan dalam masyarakat, dan keadaan buruk apabila berkelanjutan tanpa mengambil solusi yang dianggap bermanfaat bagi semua pihak sebagai akhir dari konflik, artinya tidak saja mencari penyebab konflik tetapi juga mencari bagaimana cara mengatasinya. Konflik merupakan hal yang sering terjadi dalam masyarakat dimanapun dan kapanpun seperti kasus diatas. Untuk itulah konflik tidak bisa dibiarkan berlarut begitu saja karena akan mengganggu tatanan dalam masyarakat. Maka dari itu dibutuhkan pemimpin dalam masyarakat 5 untuk mengatur dan memediasi pihak yang berkonflik. Perlunya seorang pemimpin menurut Kartini Kartono karena masyarakat butuh ketertiban. Pemimpin adalah orang yang diharapkan mampu untuk memediasi pihak yang berkonflik sehingga dalam masyarakat nantinya tercipta ketentraman dan rasa aman. Kepemimpinan (leadhership) adalah kemapuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain sehingga orang tersebut bertingkah-laku sebagaimana yang dikehendaki oleh kehidupan bermasyarakat pemimpin pemimpin tersebut. Dalam terbagi atas dua yaitu pemimpin yang bersifat resmi (formal leadership), yaitu kepemimpinan yang tersimpul dalam suatu jabatan dan pemimpin tidak resmi (informal leadership), yaitu pemimpin yang mendapat pengakuan dari masyarakat (Soekanto, 2007: 250). Kepemimpinan informal pada masyarakat Toraja biasa disebut dengan To parenge’ yaitu orang-orang yang dipilih langsung oleh masyarakat melalui mekanisme tertentu untuk menjalankan tugas seperti menyelesaikan konflik dalam masyarakat. To parenge’ tersebut diangkat dan diseleksi oleh masyarakat berdasarkan garis keturunan, pengabdian dan penguasaan adat istiadat. Jadi sebagai pemimpin To parenge’ memiliki tanggungjawab atas apa yang terjadi dalam masyarakat. Seperti konflik sengketa tanah di Kecamatan Mengkendek antara sesama keluarga tongkonan, To parenge’ memiliki peran dalam mendamaikan pihak yang berkonflik tersebut. 6 Pada umumnya konflik yang terjadi dalam masyarakat diselesaikan secara adat tanpa ada suatu keputusan menang kalah yang dapat memperlebar jarak diantara anggota keluarga. Proses penyelesaian masalah tersebut dilakukan melalui musyawarah yang dipimpin oleh To parenge’ dan dihadiri oleh orang-orang yang dituakan dalam kampung. Namun dalam menyelesaikan masalah tersebut, kadang kala To parenge’ sendiri mendapat kendala apabila pihak-pihak yang berkonflik ini sulit untuk didamaikan lantaran masing-masing pihak merasa berhak atas tanah tersebut. Untuk itulah jalan yang terbaik untuk menyelesaikan masalah ini dapat ditempuh dengan cara musyawarah. Akan tetapi apabila masalah tersebut tidak dapat diselesaikan secara musyawarah maka jalan satu-satunya yaitu dengan menempuh jalur hukum. Inilah yang menjadi tugas dari seorang To parenge dalam masyarakat Toraja. Seperti halnya pemimpin pada umumnya, To parenge’ sendiri mempunyai tugas dan peran sebagai pemimpin dalam masyarakat. Kepemimpinan dan peranan To parenge’ dalam masyarakat Toraja diperlukan untuk mengatur kehidupan bermasyarakat agar tercipta rasa aman dalam masyarakat tersebut. Sejak awal terbentuknya hingga mengalami pergantian kepemimpinan merupakan hal yang berlangsung secara berkala. Namun yang terpenting dalam hal ini adalah sejauh manakah kontribusi yang diberikan pemimpin tersebut bagi anggotanya hingga sampai saat ini To parenge’ masih tetap ada dalam masyarakat Toraja. 7 Pentingnya peranan pemimpin tersebut tentunya diharapkan mampu membawa pengaruh yang positif. Hal tersebutlah yang membuat penulis untuk mengangkat suatu masalah penelitian dengan judul “Peranan To parenge’ dalam Menyelesaikan Konflik” (Study kasus: Konflik Sengketa Tanah pada Pembangunan Bandar Udara di Kecamatan Mengkendek, Kabupaten Tana Toraja) B. Rumusan Masalah Berdasarkan deskripsi pada latar belakang diatas, penulis mencoba mengerucutkan persoalan agar lebih memudahkan objek penelitian dan menghindari luasnya pembahasan yang dilakukan. Berkenaan dengan itu penulis berupaya membatasi masalah yang diteliti seperti yang tertuang pada rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah To parenge’ menjalankan perannya dalam upaya mencegah dan menyelesaikan konflik yang terjadi di masyarakat khususnya kasus sengketa tanah pada pembangunan bandar udara di Kecamatan Mengkendek, Kabupaten Tana Toraja? 2. Bagaimana tanggapan masyarakat mengenai penyelesaian konflik yang diperankan oleh To parenge’? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas maka Tujuan Penelitian adalah: 1. Mendeskripsikan peranan To parenge’ dalam mencegah dan menyelesaikan konflik dalam masyarakat khususnya konflik 8 sengketa tanah pada pembangunan Bandar udara di Kecamatan Mengkendek, Kabupaten Tana Toraja. 2. Mendeskripsikan tanggapan masyarakat tentang penyelesaian konflik oleh To parenge’. D. Kegunaan penelitian 1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan menjadi bahan rujukan informasi teoritik-empirik bagi peneliti yang hendak menganalisis tentang peranan pemimpin informal dalam masyarakat. 2. Diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah Kabupaten Tana Toraja dalam menangani konflik. 3. Diharapkan dapat menjadi bahan referensi dan bahan acuan untuk penelitian selanjutnya. 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEPTUAL A. TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian Peranan Peranan (role) merupakan aspek dinamis dari kedudukan. Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, dia menjalankan suatu peranan. Pentingnya suatu peranan karena ia mengatur perilaku seseorang. Orang yang bersangkutan akan dapat menyesuaikan perilaku sendiri dengan perilaku orang-orang sekelompoknya. Demikian halnya dengan To parenge’ dalam masyarakat Toraja. Kedudukan To parenge’ sebagai pemimpin dalam suatu tongkonan juga memiliki peranan dalam kelompoknya. Peran To parenge’ dalam hal ini adalah mengatur keberlangsungan hidup para anggota warga tongkonan yang dibawahinya. Jadi ketika To parenge’ menjalakan hak dan kewajibannya dalam masyarakat maka ia menjalankan suatu peranan. Peranan yang melekat pada diri seseorang harus dibedakan dengan posisi dalam pergaulan kemasyarakatan. Posisi seseorang dalam masyarakat merupakan unsur statis yang menunjukkan tempat individu pada organisasi masyarakat. Peranan lebih banyak menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri, dan sebagai suatu proses. Peranan mencakup tiga hal sebagai berikut: 10 a. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. b. Peranan merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi. c. Peranan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat (Soekanto 2010: 213). 2. Pengertian Konflik Dinamika dalam kehidupan bermasyarakat adalah suatu hal yang biasa terjadi begitu pula dengan konflik. Konflik adalah gejala sosial yang selalu ada mengisi kehidupan bermasyarakat dan sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Banyak pendapat yang dikemukakan oleh para ahli mengenai konflik itu sendiri. Salah satunya yang dikemukakan oleh Soekanto bahwa konflik adalah “Proses sosialisasi dimana orang perorang atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai ancaman atau kekerasan” (Soekanto, 1986: 68). Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (2005) konflik diartikan sebagai percekcokan, perselisihan, dan pertentangan. Sedangkan dalam buku Pengantar Sosiologi karya Kolip (2010: 345), dijelaskan mengenai konflik bahwa konflik merupakan perselisihan atau persengketaan antara dua atau lebih kekuatan individu baik secara individu ataupun kelompok yang kedua bela pihak memiliki keinginan untuk saling menjatuhkan atau menyingkirkan atau mengalahkana atau menyisikan”. 11 Menurut Coser, lama tidaknya suatu konflik dipengaruhi oleh 3 hal yaitu: a. Luas sempitnya tujuan konflik b. Pengetahuan sang pemimpin tentang simbol-simbol kemenangan atau kekalahan dalam konflik c. Peranan pemimpin dalam memahami biaya konflik dan persuasi pengikutnya (Ranjabar 2006: 235). 3. Proses Terjadinya Konflik Para sosiolog berpendapat bahwa akar dari timbulnya konflik yaitu adanya hubungan sosial, ekonomi, politik dimana terjadi perebutan atas sumber-sumber kepemilikan, status sosial, dan kekuasaan yang jumlah ketersediannya sangat terbatas dengan pembagian yang tidak merata di masyarakat. Pembagian yang tidak merata dalam masyarakat menimbulkan ketimpangan sehingga ada upaya yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu dalam memperoleh atau mempertahankan aset sosial tersebut. Demikian halnya yang terjadi di Kecamatan Mengkendek, konflik yang terjadi akibat adanya perebutan sumber-sumber ekonomi berupa tanah yang membuat masyarakat tidak lagi patuh terhadap norma-norma yang ada dalam masyarakat. Proses pembangunan bandar udara di Kecamatan Mengkendek yang tujuannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat malah menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Konflik yang terjadi pula merupakan konflik antar keluarga tongkonan yang saling 12 mengklaim tanah tongkonan demi untuk mendapatkan hak ganti rugi atas pembangunan bandar udara di daerah tersebut. Konflik memang sesuatu hal yang ada dalam setiap kehidupan masyarakat sehingga banyak ahli yang mengemukakan tentang faktor timbulnya konflik. Secara sederhana penyebab konflik dibagi atas dua yaitu: a. Kemajemukan Horisontal Kemajemukan horisontal artinya bahwa kemajemukan yang didasarkan pada struktur masyarakat yang majemuk secara kultural, seperti suku bangsa, agama, ras, dan majemuk secara sosial dalam arti perbedaan profesi seperti petani, buruh, pegawai dan sebagainya. Kemajemukan horisontal kultural menimbulkan konflik yang masing-masing unsur kultural tersebut mempunyai karakteristik sendiri dan masing-masing penghayat budaya tersebut ingin mempertahankan karakteristik budayanya tersebut. b. Kemajemukan Vertikal Kemajemukan vertikal artinya bahwa struktur masyarakat yang terpolarisasi berdasarkan kekayaan, pendidikan, dan kekuasaan. Kemajemukan vertikal dapat menimbulkan konflik sosial karena ada sekelompok kecil masyarakat yang memiliki kekayaan, pendidikan yang mapan, kekuasaan dan wewenang yang besar sementara sebagian besar tidak atau kurang memiliki kekayaan, pendidikan rendah, dan tidak memiliki kekuasaan dan wewenang. 13 Polarisasi masyarakat seperti ini merupakan benih subur akan timbulnya konflik sosial (Ranjabar, 2013: 211). Sedangkan menurut Turner (dalam Kolip, 2010:363) ada beberapa faktor memicu terjadinya konflik sosial yaitu sebagai berikut: a. Ketidak merataan distribusi sumber daya yang sangat terbatas dalam masyarakat. b. Ditariknya kembali legitimasi penguasa politik oleh masyarakat kelas bawah c. Adanya pandangan bahwa konflik merupakan cara untuk mewujudkan kepentingan. d. Sedikitnya saluran untuk menampung keluhan-keluhan masyarakat kelas bawah serta lambatnya mobilitas sosial keatas. e. Melemahnya kekuasaan negara yang disertai dengan mobilisasi masyarakat bawah oleh kaum elit. f. Kelompok masyarakat kelas bawah menerima ideologi radikal. Kehadiran konflik telah banyak membawah perubahan-perubahan yang ada dalam masyarakat. Faktor ekonomi kadang kala menjadi penyebab utama terjadinya konflik itu sendiri. Pembagian sumber daya alam yang tidak merata antar anggota tongkonan menyebabkan adanya kecemburuan sosial. Untuk itulah perlu adanya suatu penanganan konflik yang baik agar konflik tidak berlarut-larut semakin lama. 14 4. Bentuk - Bentuk Konflik Ada beberapa macam konflik yang terjadi dalam masyarakat, untuk mempermudah menganalisis konflik tersebut berikut disajikan beberapa bentuk konflik: a. Pertentangan pribadi Tidak jarang terjadi bahwa dua orang sejak mulai berkenalan sudah saling tidak menyukai. Apabila permulaan yang buruk tadi dikembangkan, maka timbul rasa saling membenci. Maki-makian diucapkan, penghinaan dilontarkan dan seterusnya sampai mungkin timbul suatu perkelahian fisik. Apabila perkelahian dapat dilerai untuk sementara, maka seolah-olah untuk seterusnya kedua-duanya tak mungkin berhadapan muka lagi. b. Pertentangan rasial Dalam hal ini pun para pihak akan menyadari betapa pentingnya perbedaan-perbedaan antara mereka yang seringkali menimbulkan pertentangan. Misalnya pertentangan antar orang-orang negro dengan orang kulit putih di Amerika Serikat. Sebetulnya sumber pertentangan tidak hanya terletak pada perbedaan kepentingan dan kebudayaan. Keadaan tersebut ditambah dengan kenyataan bahwa salah satu ras merupakan golongan yang minoritas. 15 c. Pertentangan antar kelas-kelas sosial Umumnya pertentangan ini terjadi disebabkan oleh perbedaan kepentingan, misalnya perbedaan kepentingan antara majikan dan buruh. d. Pertentangan politik Biasanya pertentangan ini menyangkut baik antara golongan dalam suatu masyarakat, maupun antara negara-negara yang berdaulat. Hal ini terakhir menimbulkan bentuk pertentangan berikutnya. e. Pertentangan yang bersifat internasional Ini disebabkan perbedaan-perbedaan kepentingan yang kemudian merembes ke kedaulatan dan itu berarti kehilangan muka dalam forum internasional. Tidak jarang pertentangan demikian menyulut perang total negara (Soekanto, 1990: 107). Konflik yang terjadi pada manusia ada berbagai macam ragamnya, bentuknya, dan jenisnya. Soetopo (1999) mengklasifikasikan jenis konflik, dipandang dari segi materinya menjadi empat, yaitu: a. Konflik tujuan yaitu konflik terjadi jika ada dua tujuan atau yang kompetitif bahkan yang kontradiktif. b. Konflik peranan yaitu konflik yang timbul karena manusia memiliki lebih dari satu peranan dan tiap peranan tidak selalu memiliki kepentingan yang sama. c. Konflik nilai yaitu konflik yang muncul karena pada dasarnya nilai yang dimiliki setiap individu dalam organisasi tidak sama, 16 sehingga konflik dapat terjadi antar individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan organisasi. d. Konflik kebijakan yaitu suatu konflik dapat terjadi karena ada ketidaksetujuan individu atau kelompok terhadap perbedaan kebijakan yang dikemukakan oleh satu pihak dan kebijakan lainnya. Berdasarkan Polanya, konflik dibagi kedalam tiga bentuk, yaitu sebagai berikut: a. Konflik laten sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat kepermukaan sehingga dapat ditangani secara efektif. b. Konflik terbuka adalah konflik yang berakar dalam dan sangat nyata, dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai macam efeknya. c. Konflik dipermukaan memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sesuatu yang dapat diatasi dengan menggunakan komunikasi (Fisher, d. 2001). Berdasarkan tipe konflik dibagi atas dua bagian yaitu: a. Konflik sosial vertikal, yaitu konflik yang terjadi antara masyarakat dan negara. Konflik ini dapat dikatakan konflik laten karena benih-benihnya sudah ada dan terpendam. 17 b. Konflik sosial horisontal terjadi karena adanya konflik antar etnis, suku, golongan, agama atau antar kelompok masyarakat. konflik horisontal umumnya dapat dipicu oleh beberapa hal sebagai berikut: 1. Saling mengklaim dalam menguasai sumber daya yang mulai terbatas akibat tekanan penduduk dan kerusakan lingkungan atau adanya pengurasan sumber daya oleh sekelompok masyarakat tanpa mengindahkan norma-norma masyarakat disekitar pengolahannya. 2. Kecemburuan sosial yang bersumber dari ketimpangan ekonomi kaum pendatang/migran dengan penduduk asli. (Ranjabar, 2013: 213-217) 5. Dampak-Dampak konflik Konflik adalah fenomena sosial yang selalu hadir dalam masyarakat. Konflik tidak hanya berdampak buruk tapi juga memberikan dampak positif. Menurut Coser (dalam Kolip, 2010: 381) konflik sosial memiliki fungsi positif yaitu sebagai berikut: a. Konflik dapat meningkatkan solidaritas suatu kelompok, dimana anggota masyarakat yang semula kurang kompak dan memiliki gejala-gejala terbentuk integritas sosialnya disentegrasi, ketika menghadapi lawan yang sama. 18 b. Konflik dengan kelompok tertentu akan menimbulkan hubungan tarik menarik antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lainnya. c. Konflik didalam masyarakat biasanya akan mengugah warga masyarakat yang semula pasif menjadi aktif dalam memainkan peranan tertentu di dalam masyarakat. d. Konflik memiliki fungsi komunikasi. Invasi Amerika serikat ke negara Islam akhirnya menimbukan intensitas komunikasi masyarakat Islam untuk saling berkomunikasi terutama untuk sama-sama mengetahui kekuatan dan kelemahan musuh bersama tersebut. Sedangkan Himes (dalam Kolip 2010: 382) memandang tidak semua konflik berimplikasi negatif, disisi lain konflik memiliki fungsi positif, diantaranya; a. Secara struktural, konflik dapat mengubah keseimbangan kekuasaan antara kelompok dominan dan minoritas. Dengan meningkatnya kekuatan kelompok minoritas mendorong kelompok dominan bersikap akomodatif yang pada akhirnya mengurangi intensitas tekanan terhadap kelompok minoritas. b. Dari sisi masyarakat meningkatkan komunikasi, terhadap konflik hal kesediaan meningkatkan yang massa perhatian dipersengketakan, untuk meliputnya, memungkinkan masyarakat memperoleh informasi baru, dan 19 mengubah pola komunikasi berkaitan dengan persoalan tersebut. c. Dari sisi solidaritas, konflik dapat meningkatkan dan memantapkan solidaritas diantara kelompok minoritas. d. Dari sisi identitas, konflik akan menumbuhkan kesadaran tentang siapa mereka dan mempertegas batas-batas kelompok. 6. Cara Menyelesaikan Konflik Secara garis besarnya terdapat dua cara untuk menyelesaikan konflik sosial yaitu: a. Jalan atas atau jalan formal, dalam arti menggunakan instrumen hukum yang ada. b. Jalan bawah atau jalan informal, yaitu menggunakan mekanisme yang hidup dalam masyarakat. Jalan pertama mempunyai beberapa syarat yaitu: c. Adanya instrumen hukum yang dapat dijadikan sebagai alat untuk penyelenggara proses penyelesaian. d. Lembaga peradilan yang memiliki kredibilitas e. Pelaksanaan atau penegakan hukum yang tidak diragukan integritasnya. Demikian pula jalan kedua juga mempunyai beberapa syarat yaitu: a. Adanya kesediaan damai dari pihak-pihak yang bertikai b. Otoritas informal yang dijadikan rujukan atau kekuatan untuk melerai pihak-pihak yang berkonflik 20 c. Adanya kesediaan berbagai pihak untuk membuka pintu dialog, sehingga memungkinkan adanya saling pengertian. Cara ini dapat dilakukan apabila ada perubahan atau transformasi kesadaran sehingga memungkinkan dan skema baru terjadinya dalam proses relasi saling pemberdayaan kelembagaan lokal, sehingga institusi lokal dapat dijadikan sandaran dan bahan dalam menyelesaikan persoalan- persoalan dari pihak-pihak yang bertikai (Mulkhan dkk, 2000). Berikut ini adalah bentuk pengendalian konflik-konflik sosial yang dikemukakan oleh Nasikun dalam buku Sistem Sosial Indonesia tahun 1988, adalah sebagai benkut : a. Konsiliasi (Conciliation) Adalah suatu usaha untuk mempertemukan keinginan keinginan pihak-pihak yang berselisih, bagi tercapainya suatu persetujuan bersama, bagi pihak-pihak yang bersengketa ada kesempatan untuk mendiskusikannya melalui suatu lembaga tertentu. Nasikun mengambil contoh di dalam kehidupan politik, lembaga-lembaga semacamnya yang berupa lembaga- lembaga bersifat parlementer atau koalisi parlementer, dimana berbagai kelompok kepentingan atau wakil-wakil mereka saling bertemu satu sama lain untuk mewujudkan pertentanganpertentangan mereka melalui cara-cara yang bersifat damai. b. Mediasi (Mediation) 21 Maksud dari mediasi adalah dimana kedua belah pihak yang bersengketa bersama-sama bersepakat untuk menunjuk pihak ketiga yang akan memberikan “nasehat-nasehatnya” tentang bagaimana mereka sebaiknya menyelesaikan pertentangan mereka. Kedua belah pihak yang terlibat dengan konflik bebas memilih antara menerima atau menolak keputusan yang diberikan oleh pihak ketiga. Pihak ketiga ini tidak mempunyai wewenang untuk memberikan keputusan-keputusan penyelesaian. Pihak ketiga ini, hanyalah perantara sebagai penasehat. c. Arbitration (Perwasitan) Di dalam hal ini kedua belah pihak yang bertentangan, bersepakat untuk menerima atau “terpaksa” menenima pihak ketiga yang akan memberikan “keputusan-keputusan” tertentu untuk menyelesaikan konflik yang akan terjadi di antara mereka. Pihak ketiga atau wasit mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan pihak-pihak yang sedang konflik. Ketiga jenis pengendalian konflik yang dikemukakan oleh Nasikun tersebut, baik dipandang sebagai cara-cara pengendalian konfiik yang bertingkat-tingkat atau di pandang sebagai cara-cara yang berdiri sendiri memiliki daya kemampuan untuk mengurangi atau menghindarkan kemungkinan-kemungkinan timbulnya ledakan-ledakan sosial dalam bentuk kekerasan. Sejauh hubungan-hubungan sosial berdasarkan ketiga 22 jenis mekanisme pengendalian konflik-konflik sosial tersebut berkembang, maka konflik-konflik sosial akan kehilangan pengaruhnya yang akan merusak. Sebaliknya, konflik-konfiik tersebut akan menjelma ke dalam pola hubungan-hubungan sosial yang melembaga, suatu hal yang akan dapat meredusir kegoncangan-kegoncangan sosial yang akan bersifat revolusir dan menjadi evolusiner. Dengan perkataan lain, melalui mekanisme pengendalian konflik-konflik sosial di antara berbagai kelompok kepentingan justru akan mendorong terjadinya perubahan-perubahan sosial yang tidak akan berakhir (Nasikun, 1988: 27). 7. Kepemimpinan dalam Masyarakat Tradisional Pemimpin dalam masyarakat tradisional umumnya bersifat tidak resmi karena dalam pengangkatannya berdasarkan pengakuan dari masyarakat. Ukuran benar tidaknya kepemimpinan tidak resmi terletak pada tujuan dan hasil pelaksanaan pemimpin tersebut. Max Weber berpendapat tentang kepemimpinan sebagai berikut: a. Kepemimpinan kharismatik, suatu bentuk kepemimpinan yang diangkat berdasarkan kepercayaan yang datang dari lingkungan. b. Kepemimpinan tradisional, suatu bentuk kepemimpinan yang pemimpinnya diangkat atas dasar tradisi yang berlaku dalam masyarakat 23 c. Kepemimpinan yang rasional dan kepemimpinan yang diangkat atas legal, suatu dasar bentuk pertimbangan pemikiran tertentu dan penunjukan langsung. Pola kepemimpinan dalam masyarakat tradisional juga lebih bersifat primodial, dalam arti hubungan kedekatan atas dasar keaslian, kedaerahan, dan ikatan kultural yang sangat kuat. Dalam struktur masyarakat seperti itu, pola-pola kultural menentukan bagaimana masyarakat pedesaan menempatkan seseorang untuk dijadikan pemimpin atau panutan. Biasanya seseorang yang dijadikan sebagai tokoh atau figur kepemimpinan kebanyakan dari seseorang yang “dituakan” dalam arti kualitas pribadi sangatlah menentukan pola kepemimpinan di masyarakat (Kolip, 2010: 851). Kehidupan sosial dikalangan masyarakat Toraja dikenal adanya pemimpin informal yang disebut dengan To parenge’. To parenge’ berasal dari dua kata yaitu to yang berarti orang dan parenge’ berarti pangkat bagi orang yang berkuasa dalam kampung dan bertanggungjawab atas segala hal bagi rakyatnya. Jadi To parenge’ adalah orang yang memiliki pangkat dan kekuasaan dalam kampung. To parenge’ sendiri diangkat oleh masyarakat berdasarkan keturunan dan penguasaan adat istiadat. Setiap masalah yang terjadi di dalam masyarakat diselesaikan secara kekeluargaan melalui musyawarah (kombongan) dan dipimpin oleh seorang To parenge’. Kombongan adalah sidang lembaga-lembaga masyarakat bagi pemecahan suatu masalah dalam masyarakat dan 24 mencari daya upaya dalam memecahkan masalah tersebut. Jadi dapat diartikan bahwa kombongan adalah suatu bentuk rapat, sidang, ataupun perkumpulan untuk membicarakan suatu hal. Seperti halnya masalah konflik dalam masyarakat maka diadakannya suatu kombongan yang dipimpin oleh para To parenge’ serta para orang-orang yang dituakan dan pemuka masyarakat sebagai anggota. Masyarakat Toraja sendiri juga mengenal adanya pembagian masyarakat (kasta) dalam golongan-golongan sebagai berikut: a. Tana’ bulaan (bulaan dalam bahasa Indonesia berarti emas) merupakan kasta tertinggi. Pada umumnya golongan bangsawan ini memiliki peranan yang sangat penting dalam masyarakat karena mereka bertugas menciptakan aturan-aturan yang kemudian menjadi ketua pemerintahan adat tertinggi dalam masing-masing adat/kelompok adat. b. Tana Bassi/tomakaka (dalam bahasa Indonesia, bassi artinya besi). Kasta ini disebut pula kasta tomakaka yang merupakan kasta masyarakat bangsawan menengah yang menjalankan pemerintahan. c. Tana Karurung/to buda (dalam bahasa Indonesia karurung artinya batang kayu enau). 25 Kasta ini merupakan kasta orang banyak atau biasa disebut paktondokan. Umumnya kasta ini tidak mempunyai kuasa apaapa. d. Tana’ kua-kua/kaunan (dalam bahasa Indonesia, kua-kua adalah semacam tumbuhan yang hidup di sepanjang pematang sawah dan daunnya umumnya sebagai makanan kerbau. Orang yang berada dalam kasta ini umumnya adalah orangorang yang mengabdi kepada kasta tana’ bulaan dan kasta tana’ bassi. Umumnya nenek moyang mereka telah bersumpah turun-temurun untuk mengabdikan dirinya dan atasan juga berkewajiban untuk membantu jika hambanya dalam kesulitan. Dalam hal ini To parenge berada pada strata teratas yaitu Tana Bulaan. Adapun tugas dari To Parenge itu sendiri adalah sebagai berikut: a. Mengatur serta mengayomi aturan adat atau kesepakatan hasil kombongan dalam lingkup wilayah masing-masing. b. Menyelesaikan perselisihan antar anggota masyarakat dalam lingkup wilayah masing-masing. c. Memimpin dan mengatur serta bertanggung jawab atas pelaksanaan upacara adat dalam wilayah masing-masing. d. Memimpin pelaksanaan kerja gotong-royong (siarak) dalam penanggulangan bencana, pembuatan pondok upacara dan gotong-royong lainnya. e. Menjadi pengayom masyarakat (untarek lindopio). 26 B. Kerangka Konseptual Struktur masyarakat yang majemuk pasti didalamnya menyimpan benih-benih konflik yang lazim disebut konflik laten. Konflik sosial selalu berawal dari perbedaan padangan, langkah dan pemahaman dan benturan-benturan antar kepentingan kelompok maupun individu. Konflik akan muncul jika permasalahan yang muncul di permukaan ini tidak dapat dicapai penyelesaiannya, sehingga kegagalan dalam mencapai kesepakatan ini berujung pada kekerasan fisik antara pihak-pihak yang berkonflik (Kolip, 2010: 566). Konflik yang terjadi di Kecamatan Mengkendek, Kabupaten Tana Toraja adalah salah satu bentuk konflik yang terjadi antar individu. Konflik antar individu adalah konflik sosial yang melibatkan individu didalam konflik tersebut. Konflik ini terjadi karena adanya perbedaan atau pertentangan atau juga ketidakcocokan antara individu satu dengan individu lainnya. Seperti yang dijelaskan diawal bahwa konflik yang terjadi disebabkan adanya saling klaim atas kepemilikan tanah tongkonan secarah penuh. Tanah yang dipermasalahkan adalah tanah tongkonan yang dalam masyarakat Toraja adalah tanah milik bersama dan digunakan untuk kepentingan seluruh anggota keluarga. Jadi semua anggota keluarga berhak untuk menggarap tanah tersebut. 27 Munculnya permasalahan karena masyarakat mulai memandang tanah tongkonan tersebut dari segi ekonomi. Rencana pemerintah untuk membangun bandar udara di lokasi tersebut membuat masyarakat kemudian berlomba-lomba untuk mendapat ganti rugi atas kepemilikan tanah tongkonan itu. Padahal tanah tersebut awalnya tidak diperhatikan oleh masyarakat karena tanahnya yang tandus dan hanya ditumbuhi oleh pohon pinus. Namun karena tanah tersebut kemudian masuk dalam area pembangunan bandar udara, maka masyarakat kemudian mulai tertarik untuk mendapatkan ganti rugi atasnya. Inilah yang memicu terjadinya konflik ketika masing-masing anggota keluarga mengklaim atas tanah tersebut atas dasar untuk mendapatkan keuntungan besar dari pemerintah sebagai ganti rugi. Padahal dalam masyarakat Toraja, tanah tongkonan itu adalah tanah milik bersama dan seharusnya digunakan untuk kepentingan bersama tanpa ada yang berhak penuh atas tanah tongkonan tersebut. Akibat adanya perselisihan inilah kemudian memicu perpecahan dalam keluarga. Selain itu konflik juga menyebabkan hancurnya nilai-nilai dan norma sosial yang ada dalam masyarakat akibat ketidakpatuhan anggota masyarakat pada nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Tentunya hal ini tidaklah diinginkan terjadi dalam masyarakat. Oleh karena itu perlu adanya penyelesaian konflik agar tidak berlarut-larut begitu lama. Diperlukan suatu penanganan konflik oleh pemimpin yang ada didalam masyarakat tersebut. To parenge’ adalah salah satu 28 pemimpin tradisional dalam masyarakat Toraja. To parenge’ mempunyai tugas dan tanggungjawab atas apa yang terjadi dalam masyarakat seperti halnya konflik. To parenge’ seperti yang dijelaskan sebelumnya adalah pemimpin informal yang memiliki fungsi untuk mengatur dan bertanggung jawab terhadap masalah yang terjadi dalam masyarakat. Seperti halnya konflik yang terjadi dalam masyarakat, To parenge’ diharapkan mampu untuk menjadi pendamai antar kedua belah pihak yang berkonflik. Sebagai orang yang dituakan tentunya To parenge’ memiliki pengaruh sebagai seorang pemimpin dan juga status sebagai seorang To parenge’ yang melekat pada dirinya juga mendapat penghargaan dalam masyarakat. Umumnya dalam masyarakat Toraja setiap masalah yang ada akan diselesaikan secara kekeluargaan melalui kombongan (musyawarah) yang dipimpin oleh To parenge’ itu sendiri. Proses penyelesaian konflik melalui musyawarah dilakukan untuk mencapai kesepakatan dan mencari jalan keluar dari setiap masalah yang ada. Ada beberapa pendekatan yang umumnya dilakukan oleh seorang pemimpin dalam menyelesaikan konflik diantaranya adalah konsoliasi, mediasi dan arbitrasi. Berdasarkan pemikiran diatas, maka dapat dijelaskan kerangka konseptual yang akan mempermudah alur penelitian. Berikut kerangka konseptual dalam penelitian: 29 KEPIMIMPINAN TO PARENGE KETOKOHAN PENGALAMAN PENGETAHUAN NILAI/NORMA PENYELESAIAN KONFLIK 1. KONSILIASI 2. MEDIASI 3. ARBITRASI 1. 2. 3. TANGGAPAN MASYARAKAT BURUK BIASA SAJA BAIK Gambar I: Skema Kerangka Konseptual 30 BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Strategi Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif. Menurut Denzin dan Lincoln (Moleong, 2007: 5), penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Penelitian kualitatif adalah suatu pendekatan penelitian yang mengungkap situasi sosial tertentu dengan mendeskripsikan kenyataan secara benar, dibentuk oleh kata-kata berdasarkan teknik pengumpulan data yang relavan yang diperoleh dari situasi yang alamiah. Secara konseptual-metodologis, metode kualitatif digunakan atas beberapa pertimbangan, yaitu: 1. Metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda, 2. Metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden 3. Metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi (Moleong, 1995: 5) 31 B. Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian akan dilaksanankan di Kecamatan Mengkendek, Kabupaten Tana Toraja. Lokasi ini dipilih karena berdasarkan pertimbangan daerah ini akan dibangun bandar udara. Dalam proses pembangunan tersebut terdapat konflik terkait proses pembebasan lahan masyarakat yang tanahnya terkena dampak pembangunan bandar udara. Konflik sengketa kepemilikan tanah antar anggota keluarga timbul akibat adanya saling mengklaim atas kepemilikan tanah serta tidak meratanya pembagian uang ganti rugi sesama anggota tongkonan sehingga diperlukan penelitian untuk mengetahui peranan pemimpin adat dalam menyelesaikan konflik tersebut. Waktu penelitian akan berlangsung kurang lebih dua bulan, yaitu mulai dari bulan Maret sampai dengan bulan Mei 2015. C. Tipe dan Dasar Penelitian 1. Tipe Penelitian Adapun tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dimana tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat pencandraan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifatsifat populasi atau daerah tertentu. Dalam hal ini penelitian bertujuan untuk menggambarkan peranan To Parenge dalam menyelesaikan konflik serta bagaimana tanggapan masyarakat dalam melihat kepemimpinan To parenge’. 32 2. Dasar Penelitian Dasar penelitian adalah studi kasus yaitu suatu spendekatan dalam penelitian yang penelaahannya kepada satu kasus yang dilakukan secara intensif, mendalam, mendetail, dan komperehensif. Untuk itu penelitian ini ditujukan agar dapat mempelajari secara mendalam dan mendetail mengenai “Peranan To Parenge’ dalam menyelesaikan konflik”. D. Teknik Penentuan Informan Teknik penentuan informan dalam penelitian ini ialah teknik purposive sampling yaitu dengan menentukan subjek/objek sesuai tujuan. Meneliti dengan pendekatan kualitatif biasanya sudah ditetapkan tempat yang dituju. Dengan menggunakan pertimbangan pribadi yang sesuai dengan penelitian, peneliti memilih subjek atau objek sebagai unit analisis (sampel). Peneliti memilih unit analisis tersebut berdasarkan kebutuhannya dan menganggap bahwa unit analisis tersebut representatif (mewakili). Fokus penelitian kualitatif adalah pada kedalaman dan proses sehingga dalam penelitian ini hanya melibatkan 8 informan. Jumlah sampel yang relatif kecil pada umumnya digunakan pada suatu penelitian kualitatif untuk lebih memberikan penghayatan subyek yang akan diteliti. 33 perhatian pada pendalaman Penentuan informan dalam penelitian ini berdasarkan beberapa pertimbangan, yaitu pertama karena penelitian ini berbentuk kasus, sampel penelitian yang tidak terlalu besar akan sangat mendukung kedalaman hasil penelitian, disamping pertimbangan keterbatasan kemampuan, waktu dan dana. Kedua, penentuan jumlah sampel dianggap telah memadai pada saat informasi yang didapat telah lengkap. Pada penelitian ini penulis menemukan beberapa masalah dalam penentuan informan. Hal ini di sebabkan karena sikap skeptis dari beberapa masyarakat yang akan dijadikan informan. Sehingga penulis melakukan pendekatan emosional terhadap informan yang relevan menjawab pertanyaan penelitian. Pada pembahasan nantinya, penulis akan memberikan Inisial nama kepada informan. Ini sesuai dengan permintaan informan. E. Pengumpulan Data Salah satu langkah dalam penelitian yang amat penting yaitu pengumpulan data, serta data yang digunakan harus valid. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengambil data primer. Data primer adalah data yang dikumpulkan melalui pengamatan terbatas. Untuk melengkapi data dilakukan wawancara mendalam kepada informan dengan berpedoman pada daftar pertanyaan yang erat kaitannya dengan permasalahan yang diteliti. Untuk data primer, peneliti pengumpulan data antara lain. 34 menggunakan beberapa teknik 1. Pengamatan (Observasi) Pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap suatu gejala yang tampak pada objek penelitian. Observasi yang di lakukan adalah melakukan observasi kegiatan non partisipatif, pencatatan, yakni hanya pemotretan serta pengumpulan dokumen-dokumen. 2. Wawancara mendalam (indepth Interview) Wawancara mendalam atau in depth interview adalah kumpulan data dengan menggunakan teknik wawancara mendalam yaitu antara peneliti dengan informan yang dilakukan untuk mendapatkan keterangan yang jelas dan valid. Pengumpulan data yang dibimbing oleh pedoman wawancara yang sudah dipersiapkan, teknik ini disertai pencatatan konsep, gagasan, pengetahuan informan yang diungkapkan lewat tatap muka. Adapun pedoman wawancara yang penulis gunakan bisa disimak dibagian lampiran dalam penulisan ini. Data sekunder adalah pengumpulan data yang dilakukan melalui studi kepustakaan yang terdiri dari: 1. Studi kepustakaan adalah sumber data yang digunakan untuk mengembangkan aspek teoritis maupun aspek manfaat praktis. Sumber informasi dalam studi kepustakaan ini adalah Jurnal, Buku, Surat Kabar, dan internet. 35 2. Studi dokumentasi adalah sumber data yang dilakukan dengan mengabadikan data tertulis, dokumen, dan arsip yang menyangkut masalah yang diteliti yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. F. Analisis Data Data yang diperoleh dari hasil penelitian akan dianalisis secara deskriptif kualitatif dimana penelitian ini bersifat menggambarkan, menjelaskan dan menguraikan keadaan yang sebenarnya dari data dan informasi yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam, observasi, studi dokumentasi kemudian di interpretasikan dan dianalisis sehingga memberikan informasi tentang fokus masalah yang diteliti. Adapun prosedur dalam menganalisis data kualitatif, menurut Miles dan Huberman (1984) dalam Sugiyono (2008: 91-99) adalah sebagai berikut : 1. Reduksi data, mereduksi data berarti merangkum, memilih halhal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan. 2. Penyajian data. Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah mendisplaykan data. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian 36 singkat, bagan, hubungan antar kategori, dan sejenisnya dengan menggunakan teks yang bersifat naratif. 3. Kesimpulan atau verifikasi, langkah ketiga dalam analisis data kualitatif adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal didukung oleh bukti-bukti yang valid dankonsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan akhir . 37 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Kondisi Umum Kecamatan Mengkendek Kecamatan Mengkendek adalah salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Tana Toraja. 1. Secara geografis Kecamatan Mengkendek memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut: Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamata Sangalla’ Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Luwu Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Enrekang Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Gandangbatu Sillanan Kecamatan Mengkendek sendiri terdiri atas 4 Kelurahan dan 13 Desa yang terdiri dari: Kelurahan Rante Kalua’ Kelurahan Tampo Kelurahan Lemo Kelurahan Tengan Desa Uluway Desa Uluway Barat Desa Buntu Datu Desa Marinding Desa Palipu’ Desa Randanan 38 Desa Buntu Tangti Desa Rantedada Desa Gasing Desa Simbuang Desa Pa’tengko Desa Lemo Desa Ke’pe Tinoring Desa Pakala Luas wilayah Kecamatan Mengkendek kurang lebih 196,74 km 2 dengan pusat pemerintahan berada di Kelurahan Rante Kalua’ yang terletak kurang lebih 14 km dari ibukota Kabupaten Tana Toraja. Akses untuk mencapai daerah ini cukup menggunakan alat transportasi darat yaitu angkutan umum atau kendaraan bermotor lainnya yang dapat ditempuh selama satu jam dari Ibukota Kabupaten. 2. Luas Pembangunan Bandar Udara Pembangunan bandar udara yang berada di Kecamatan Mengkendek mulai diwacanakan oleh pemerintah sekitar tahun 1990. Kemudian pada Tahun 2010 pemerintah mulai merealisasikan dengan mengalokasikan dana sebesar Rp 20 milyar (dua puluh milyar rupiah) untuk pembebasan lahan. Proyek ganti rugi menggunakan dana APBD Sulsel dan APBD Tana Toraja Tahun 2011 dengan perincian Rp.38.250.000.000 (Tiga puluh delapan milyar dua ratus limah puluh juta rupiah) dari APBD Sulsel dan Rp.17.500.000.000 (Tujuh belas milyar lima ratus juta rupiah) dari APBD Tana Toraja. 39 Adapun lokasi pembangunan bandar udara berada di Buntu Kuni yang meliputi beberapa lembang (desa) dan Kelurahan diantaranya adalah Lembang Rantedada, Lembang Marinding, Lembang Simbuang, dan Kelurahan Tampo. Luas wilayah yang menjadi lokasi pembangunan bandar udara adalah 225 hektare yang dilengkapi landasan pacu sepanjang 1.650 meter. 3. Sejarah Kecamatan Mengkendek Sebelum nama Mengkendek melekat dan resmi menjadi nama kecamatan terdapat beberapa nama yang dipakai sebagai kesatuan daerah ini. Pada waktu itu nama Mengkendek belum mencukupi keseluruhan daerah yang sekarang masuk dalam wilayah Kecamatan Mengkendek. Pada waktu itu nama yang lazim dipakai adalah kampung tengan yaitu sebuah kampung di kaki gunung Kandora tempat istana puang Tamborolangi’. Istana tersebut dikenal dengan nama banua di toke’. Nama Mengkendek sendiri memiliki berbagai macam pendapat mengenai artinya itu sendiri. Ada ahli sejarah Toraja yang mengatakan tempat itu dinamai Mengkendek yang berarti naik karena merupakan istana yang terdapat disuatu tempat yang tinggi. Ketika Tamborolangi’ mengundang pemuka-pemuka masyarakat puang untuk bermusyawara guna pembentukan daerah dan menyusun peraturanperaturan maka para undangan tersebut harus naik atau dalam bahasa Toraja “Kendek”. 40 Sebagian pula berpendapat bahwa daerah Mengkendek dinamai Mengkendek karena merupakan tempat-tempat bersejarah dimana tempat ini menjadi tempat penyusunan adat istiadat yang umumnya berada di tempat yang tinggi seperti di Kecamatan Mengkendek itu sendiri. Baik banua di toke’ maupun banua puang merupakan tempat kediaman puang Tangdilino yang membawa aluk sanda pitu. Nama Mengkendek berasal dari kata kendek yang berarti naik atau meningkat. Kata Mengkendek berasal dari hasil musyawara para tokoh adat yang merupakan bagian dari Tallulembangna (Kecamatan Makale, Sangalla’, Mengkendek) dimana Mengkendek sebagai basse adinna, sehingga saat ini menjadi sebuah kecamatan yang dikenal dengan Kecamatan Mengkendek dengan ibu kota yang berada di Kelurahan Rante Kalua’. Kecamatan Mengkendek dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 18 Tahun 2000. 4. Jumlah Penduduk Jumlah penduduk yang ada di Kecamatan Mengkendek sebanyak 27.756 Jiwa yang terdiri dari 14.042 jiwa penduduk adalah laki-laki dan 13.714 jiwa penduduk adalah perempuan. Dari tabel 1 terlihat jumlah penduduk terbanyak berasal dari kelompok umur 5-9 tahun yaitu sebesar 3.225 jiwa dan jumlah penduduk terkecil berasal dari kelompok umur 6064 yaitu 913 jiwa. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat padal tabel 1 dibawah ini: 41 Tabel 1 Distribusi Penduduk menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kecamatan Mengkendek Tahun 2014 Kelompok Umur Jumlah Penduduk Laki-Laki Perempuan Jumlah 0-4 1.619 1.548 3,167 5-9 1.664 1.561 3.225 10-14 1.618 1.507 3.125 15-19 1.408 1.214 2.622 20-24 960 891 1.851 25-29 851 849 1.700 30-34 952 938 1.890 35-39 989 921 1.910 40-44 917 835 1.752 45-49 709 700 1.409 50-54 548 660 1.208 55-59 542 578 1.120 60-64 434 479 913 65+ 831 1.033 1.864 Jumlah Total 14.042 13.714 27.756 Sumber : Kantor BPS Kabupaten Tana Toraja Tahun 2014 B. Mata Pencaharian Berbeda dengan masyarakat umumnya di Toraja, dimana sektor pertanian adalah sektor yang paling banyak menjadi mata pencaharian penduduk. Di Kecamatan Mengkendek sendiri sebagian besar penduduk bekerja di sektor jasa, menurut data dari Dinas Kependudukan dan Tenaga Kerja Kecamatan Mengkendek tercatat bahwa terdapat 9.867 jiwa penduduk bekerja di sektor ini yang terdiri dari laki-laki sebanyak 3.609 dan perempuan sebanyak 6.258 jiwa. Sektor pertanian berada pada 42 urutan kedua sebagai penyerap tenaga kerja yaitu sebanyak 7.534 jiwa penduduk yang terdiri dari 5.200 laki-laki dan 2.343 perempuan. Sedangkan mata pencaharian penduduk di sektor lainnya merupakan mata pencaharian penduduk yang jumlahnya relatif lebih sedikit dibanding dengan mata pencaharian di sektor jasa dan pertanian. Mata pencaharian tersebut seperti di sektor pertambangan dan penggalian, industrian pengolahan, listrik, bangunan, perdagangan dan lain sebagainya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 2 berikut: Tabel 2 Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian Tahun 2014 Lapangan Usaha Jenis Kelamin Jumlah Laki-Laki 5.200 Perempuan 2.343 7.543 Pertambangan dan Penggalian 142 - 142 Industri Pengolahan 303 358 661 Listrik, Gas dan Air Bersih 18 15 33 Bangunan 637 - 637 Perdagangan, Resto dan Hotel 517 1.429 1.945 Angkutan dan Komunikasi 302 157 459 Keuangan, Perswaan, dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa 32 45 76 3.609 6.258 9.867 Jumlah Total 10.759 10.605 21.364 Pertanian Sumber: Kantor BPS Kabupaten Tana Toraja Tahun 2014 Terlihat jelas pada tabel bahwa mayoritas penduduk di kecamatan Mengkendek lebih banyak bekerja disektor jasa dan pertanian sementara 43 di sektor listrik, gas dan air cenderung lebih sedikit yaitu hanya terdapat 33 jiwa yang terdiri dari 18 laki-laki dan 15 perempuan. C. Pendidikan Pendidikan adalah salah satu usaha untuk keluar dari kemiskinan dan juga salah satu usaha untuk meningkatkan kehidupan intelektual suatu bangsa. Semakin banyak penduduk yang berpendidikan tinggi di suatu wilayah maka semakin tinggi pulalah kemajuan wilayah tersebut, begitu pula sebaliknya semakin banyak penduduk yang berpendidikan rendah maka tingkat kemajuan wilayah tersebut semakin lambat. Penduduk yang ada di Kecamatan Mengkendek bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya sudah menunjukkan kemajuan yang signifikan. Ini dapat dilihat dari banyaknya infrastruktur sekolah yang dibangun serta kesadaran masyarakat itu sendiri dalam menyadari akan pentingnya pendidikan bagi generasi-generasi muda. Untuk melihat jumlah infrastruktur sekolah di Kecamatan Mengkendek dapat dilihat dari tabel dibawah ini Tabel 3 Potensi Kecamatan Mengkendek dalam sektor Pendidikan Tahun 2014 No. Tingkat Pendidikan Jumlah Percent (%) 1 SD 4.515 66.48 2 SMP 1.806 26.59 3 SMA 470 6.93 6.791 100 Jumlah Sumber: Kantor BPS Kabupaten Tana Toraja Tahun 2014 44 Pada tabel di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan Penduduk di Kecamatan Menkendek di dominasi pada Sekolah Dasar yaitu sebesar 66.48 % disusul kemudian dengan Sekolah Menengah Pertama sebesar 26.59 % dan yang paling terendah adalah Sekolah Menengah Atas sebesar 6.93 %. D. Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana adalah salah satu faktor yang sangat penting bagi suatu wilayah. Untuk mendukung pembangunan yang sedang berjalan, maka tersedianya sarana dan prasarana diberbagai bidang sangat dibutuhkan. Adapun sarana dan prasarana yang terdapat di Kecamatan Mengkendek adalah sebagai berikut: 1. Sarana kesehatan Di kecamatan Mengkendek sampai saat ini sudah memiliki 18 unit Puskesmas/Puskesmas pembantu dan 27 unit Posyandu. 2. Sarana pendidikan Terdapat 27 sekolah dasar, 9 SLTP, dan 3 SLTA/SMK 3. Sarana ibadah Untuk menunjang masyarakat dalam menjalankan ibadahnya, di Kecamatan Mengkendek sudah terdapat 41 Masjid, 102 Gereja Protestan, dan 24 Gereja Katolik. 4. Sarana transportasi Sarana transportasi yang ada di Kecamatan Mengkendek sudah cukup baik, setiap desa dan kelurahan dapat dijangkau baik 45 dengan kendaraan roda dua maupun dengan kendaraan roda empat. Kondisi jalan yang beraspal memungkinkan sampai ditujuan dengan cepat. 5. Sarana olahraga Kecamatan Mengkendek sudah memiliki banyak fasilitas lapangan olahraga yang terdiri dari 9 buah lapangan sepak bola, 16 buah lapangan voli, 4 buah lapangan bulu tangkis, dan 6 buah meja pimpong. 6. Sarana penerangan Dari segi penerangan, semua Kelurahan dan Desa yang ada di Kecamatan Mengkendek sudah dapat pasokan listrik dari PLN. Jadi dapat dikatakan bahwa Kecamatan Mengkendek sudah tidak memiliki kendala dalam hal penerangan. E. Sistem Kepercayaan Secara umum agama dapat didefenisikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia lainnya, manusia dengan lingkungannya. Dan aturan-aturan tersebut penuh dengan muatan sistem nilai yang lebih menekankan pada hal-hal yang normatif atau yang seharusnya atau sebaliknya dan bukannya berisikan petunjuk-petunjuk yang bersifat praktis dan teknis dalam hal manusia menghadapi lingkungan dan sesamanya. Untuk mengetahui lebih jelas tentang 46 penduduk di Kecamatan Mengkendek, dapat dilihat pada tabel 5 berikut ini : Tabel 4 Distribusi Penduduk Menurut Agama dan Kepercayaan Tahun 2014 No Agama / Kepercayaan Jumlah Percent (%) 1 Hindu 1.086 3.91 2 Kristen Protestan 15.622 56.28 3 Kristen Katolik 4.433 15.97 4 Islam 6.575 23.84 Jumlah 27.756 100 Sumber: Kantor BPS Kabupaten Tana Toraja Tahun 2014 Pada tabel diatas dapat dismpulkan bahwa Penduduk di Kecamatan Mengkendek mayoritas beragama Kristen protestan yang berjumlah 15.622 jiwa (56.28 %), agama Kristen Katholik berjumlah 4.433 jiwa (15.97 %), yang beragama Islam berjumlah 6.575 jiwa (23.84 %) dan yang menganut Hindu sebanyak 1.086 jiwa (3.91 %). 47 BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Laporan penelitian ini secara umum akan membahas konflik sengketa tanah yang terjadi di Kecamatan Mengkendek, Kabupaten Tana Toraja. Secara khusus terdapat dua pokok permasalahan utama yang akan dibahas yaitu mengenai upaya To parenge’ dalam menyelesaikan konflik serta bagaimana tanggapan masyarakat mengenai kepemimpinan dari To parenge’ itu sendiri. Dengan demikian akan disajikan data dan hasil penelitian tentang bagaimana upaya dari To parenge’ dalam mencegah maupun menyelesaikan konflik serta beberapa tanggapan masyarakat mengenai kepemimpinan To parenge’ dalam menyelesaikan konflik. Namun sebelum penulis membahas lebih lanjut kedua pokok permasalahan tersebut diatas, penulis terlebih dahulu memaparkan mengenai identitas informan. Dimana identitas informan memuat data tentang jenis kelamin, umur, pekerjaan, pendidikan, dan tempat tinggal atau tempat domisili. A. Karakteristik Informan Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan untuk mendapatkan informasi secara mendalam tentang bagaimana peran To parenge’ dalam menyelesaikan konflik khususnya dalam konflik sengketa tanah di Kecamatan Mengkendek. Sumber data dan informasi didapatkan 48 melalui metode observasi dan wawancara yang dilakukan terhadap beberapa informan yang merupakan para To parenge’, masyarakat umum dan juga pihak-pihak yang berkonflik dalam kasus sengketa tanah di Kecamatan Mengkendek. Informan penelitian ini dipilih berdasarkan kriteria tertentu yang dirasa perlu seperti nama, jenis kelamin, umur, pendidikan terakhir, pekerjaan serta tempat tinggal. Dari keseluruhan informan, terdapat 7 orang laki-laki dan 1 orang perempuan, dimana dalam menentukan informan tersebut dilakukan dengan teknik purposive sampling yaitu dengan menentukan subjek/objek sesuai tujuan. 1. Informan “RK” Informan “RK” adalah seorang ibu rumah tangga berusia 57 tahun. Pendidikan terakhir RK yaitu SMP yang berdomisili di kelurahan Tampo, Kecamatan Mengkendek. Informan RK adalah salah seorang to parenge’ dan juga mempunyai lahan dalam lokasi pembangunan bandara. 2. Informan “KS” Informan “KS” adalah seorang laki-laki berusia 53 Tahun, berdomisili di Kecamatan Mengkendek. Informan KS adalah seorang PNS di kantor kelurahan Rante Kalua’, Kecamatan Mengkendek. Pendidikan terakhir KS yaitu Sarjana dan KS juga adalah salah seorang To parenge’ yang berdomisili di desa Danglu, Kelurahan Rante Kalua’. 49 3. Informan “LN” Informan “LN” adalah seorang laki-laki berusia 51 Tahun. Bekerja sebagai seorang petani dan sudah berkeluarga. Pendidikan terakhir SMU. LN adalah seorang tokoh masyarakat dan juga dianggap sebagai tokoh yang berpengaruh dalam pembebasan lahan di lokasi pembangunan bandara. 4. Informan “MB” Informan MB adalah serorang laki-laki berusia 64 tahun dan juga sebagai tokoh adat. MB bekerja sebagai seorang petani dan juga berdomisili di kecamatan Mengkendek, kelurahan Tampo. 5. Informan “YP” Informan “YP” adalah seorang laki-laki berusia 52 Tahun yang sudah berkeluarga. YP bekerja sebagai seorang petani dan juga tokoh adat dalam kampungnya. Pendidikan terakhir YP yaitu SMA. 6. Informan “AR” Informan “AR” adalah seorang laki-laki berusia 54 Tahun. AR bekerja sebagai seorang petani dan sudah berkeluarga. Informan AR berdomisili di Kelurahan Tampo dan juga memiliki lahan dalam lokasi pembangunan bandara di Kecamatan Mengkendek. Pendidikan terakhir AR adalah SMU. 7. Informan “HS” Informan “HS” adalah seorang laki-laki berusia 54 Tahun. HS bekerja sebagai wiraswasta dan sudah berkeluarga. Pendidikan terakhir SMU. 50 HS adalah seorang to parenge’ dan berdomisili di Lembang Rantedada, Kecamatan Mengkendek. 8. Informan “PT” Informan “PT” adalah seorang laki-laki berusia 56 Tahun. PT bekerja sebagai kepala desa di Lembang Rantedada, Kecamatan Mengkendek. Informan PT sudah berkeluarga dan berdomisili di Kelurahan Rante Kalua’, Kecamatan Mengkendek. Tabel 5 Karakteristik Informan No Informan Jenis Kelamin Umur Tingkat Pendidikan Pekerjaan 1. RK P 57 SMP IRT/ to parenge 2 KS L 53 S1 PNS/ / to parenge 3. LN L 51 SMA 4. MB L 64 SMP 5. YP L 52 SMA 6. AR L 54 SMA Petani/ Tokoh Adat Petani/ Tokoh Adat Petani/ Tokoh Adat Petani 7. HS L 54 SMA 8. PT L 56 SMA Sumber : Olahan data Primer 2015 51 Wiraswasta/to parenge’ Kepala Desa B. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Peranan To parenge’ dalam Penyelesaian Konflik Peranan merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai sesuai dengan kedudukannya, maka orang tersebut menjalankan suatu peranan. Peran berarti tingkah laku, bertindak. Didalam kamus besar bahasa Indonesia peran ialah perangkat tingkah laku yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat. Peranan juga dapat diartikan sebagai cara-cara yang ditentukan terhadap hak-hak yang melekat pada suatu status, serangkaian norma dan pengharapan yang melekat pada suatu kedudukan. Antara peranan dan kedudukan keduanya adalah hal yang tidak dapat dipisahkan, karena tak ada peranan tanpa kedudukan dan tak ada kedudukan tanpa peran. Begitu pula dengan kedudukan To parenge’ dalam masyarakat Toraja, dimana To parenge’ merupakan pemimpin dalam tongkonan yang dibawahinya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa apabila terdapat masalah yang terjadi di lingkup tongkonan maka To parenge’ mempunyai kewajiban untuk menyelesaikan masalah pihakpihak yang berkonflik. Untuk itulah setiap masalah yang terjadi dalam masyarakat tentunya To parenge’ sebagai pemimpin bertanggung jawab atas masalah tersebut. 52 Peran aktif dari To parenge’ dibutuhkan agar konflik dapat diselesaikan dengan baik sehingga tercipta rasa aman dalam masyarakat. Namun terlebih dahulu penulis akan menjelaskan mengenai To parenge’ serta status dan kedudukannya dalam masyarakat Toraja. a. To parenge’ dalam Masyarakat Toraja To parenge’ berasal dari dua kata yaitu “to” yang artinya orang dan “parenge’ ” yang artinya pemikul tanggung jawab. Jadi To parenge’ adalah orang-orang yang dipilih langsung oleh masyarakat melalui mekanisme tertentu untuk menjalankan tugas seperti menyelesaikan konflik dalam masyarakat. To parenge’ diangkat dan diseleksi oleh masyarakat dalam suatu tongkonan berdasarkan garis keturunan, pengabdian dan penguasaan adat istiadat. Masa jabatan seorang To Parenge’ akan berakhir apabila yang bersangkutan telah meninggal dunia ataupun melakukan suatu pelanggaran yang berat. Jadi selama seorang To parenge’ masih hidup maka jabatannya juga akan tetap melekat dan seorang To parenge’ juga tidak dapat mengundurkan diri dari jabatannya. Adapun tugas dari To Parenge itu sendiri adalah sebagai berikut: a. Mengatur serta mengayomi aturan adat atau kesepakatan hasil kombongan dalam lingkup wilayah masing-masing. b. Menyelesaikan perselisihan antar anggota masyarakat dalam lingkup wilayah masing-masing. 53 c. Memimpin dan mengatur serta bertanggung jawab atas pelaksanaan upacara adat dalam wilayah masing-masing. d. Memimpin pelaksanaan kerja gotong-royong (siarak) dalam penanggulangan bencana, pembuatan pondok upacara dan gotong-royong lainnya. e. Menjadi pengayom masyarakat (untarek lindopio). Berikut yang dijelaskan oleh LN (51 Tahun) di bawah ini : “To parenge’ adalah tokoh-tokoh adat yang ditunjuk dalam suatu rumpun keluarga dalam setiap tongkonan untuk menjalankan tugas sebagai orang yang dituakan yang berfungsi untuk menata keberlangsungan hidup keluarga tongkonan”. (Wawancara 26 Maret 2015) Senada yang di utarakan oleh informan di atas, MB (64 Tahun) mengungkapkan sebagai berikut : “To parenge’ sama halnya pemangku adat, To parenge’ adalah orang-orang yang dipilih dalam musyawara adat dan dilantik ketika ada upacara adat rambu solo’ (Upacara Kematian).” (Wawancara 28 Maret 2015) To parenge’ sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya adalah orang-orang yang memiliki tanggungjawab dalam masyarakat khususnya dalam mengatur tatanan kehidupan bermasyarakat. Dalam masyarakat pula To parenge’ tidak hanya menjalankan tugasnya seorang diri. Dalam masyarakat Toraja terdapat pula lembaga adat yang terdiri dari tiga orang yang bekerja sama dengan To parenge’ dalam menyelesaikan masalah yang terjadi di masyarakat. 54 Untuk menyelesaikan konflik, To parenge’ sebagai seorang pemimpin berperan sebagai hakim pendamai jika terjadi perselisihan seperti yang dikatakan oleh RK (57 Tahun) adalah: “To parenge’ berfungsi sebagai hakim pendamai jika ada masalah dalam masyarakat. Dalam hal sengketa tanah lembaga adat dan to parenge’ berperan sebagai hakim pendamai. Jadi pihak yang berkonflik diadili oleh To parenge’ dan lembaga adat kemudian mengambil keputusan siapa yang benar dan salah selanjutnya mengadakan syukuran sebagai wujud syukur agar kedua belah pihak berdamai kembali. Jika pihak yang berkonflik tidak ingin berdamai maka keduanya diberi kesempatan untuk menempuh jalur hukum.” (Wawancara 28 Maret 2015) Sama halnya yang di katakan oleh PL (51 Tahun) bahwa To parenge’ memiliki tugas untuk memediasi pihak-pihak yang berkonflik dalam masyarakat khususnya tongkonan yang dibawahinya. Proses mediasi itu dilakukan untuk mencari jalan keluar agar konflik yang terjadi antar sesama anggota keluarga tongkonan dapat diatasi. Berikut yang dikatakan informan LN (64 Tahun): “jadi yamoto tu fungsinna to parenge’, lan misa’ tongkonan nani to parenge’ yake den tu keluargana sisalah-salah yamo pasino’koranni to nahadiri tokoh ada’ sola to ma’parentah na disipa’kadai. Yake tae’ penyelesaian yake den ni pada2 te’geran noka’ ladipokadanni ko yamoto tu biasa pake jalur hukum/ jadi fungsi dari seorang to parenge’/ dalam satu tongkonan yang ia bawahi jika ada keluarga yang bermasalah satu sama lain, maka to parenge’ harus memanggilnya untuk duduk bersama yang juga dihadiri tokoh adat untuk membicarakan persoalan tersebut. Jika tidak menemukan jalan keluar dimana masing-masing pihak bersikeras dengan pendapatnya, maka inilah biasa yang kemudian menempuh jalur hukum” (Wawancara 26 Maret 2015) 55 Seperti yang dikatakan informan RK dan LN bahwa penyelesaian masalah yang terjadi dalam masyarakat Toraja umumnya diselesaikan secara adat. Namun apabila pihak-pihak yang berkonflik tersebut tidak menemui jalan tengah maka akan ditempuh jalur hukum. Di tingkat pengadilan juga To parenge’ masih di minta keterangan tentang bagaimana proses penyelesaian masalah tersebut di tingkat adat. Jadi tetap ada rekomendasi dari To parenge’ dan tokoh adat ke pengadilan mengenai masalah yang terjadi. Tugas dan peran dari To parenge’ yang kompleks menempatkannya pada kasta teratas dalam masyarakat Toraja yaitu tana’ bulaan. Adanya pembagian kelas tersebut membuat To parenge’ juga mendapatkan perhargaan yang tinggi dalam lingkup keluarga tongkonan. Setiap tongkonan dipimpin oleh seorang To parenge’ yang diangkat menjadi pemimpin dalam tongkonan tersebut. Namun tidak semua orang dapat dijadikan sebagai To parenge’, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk menempati posisi tersebut. Seperti yang dikatakan oleh KS (53 Tahun) bahwa: “To Parenge’ dipilih berdasarkan musyawarah dalam keluarga tongkonan, tidak serta merta ditunjuk secara langsung. Jadi seorang To Parenge’ itu ditunjuk berdasarkan garis keturunan serta ada beberapa pertimbangan-pertimbangan lain”. (Wawancara 21 Maret 2015) Pertimbangan-pertimbangan yang dijadikan acuan dalam menentukan seorang To parenge’ salah satunya adalah penguasaan adat istiadat, serta dirasa mampu untuk memimpin keluarga. Hal yang 56 terpenting pula adalah seorang To parenge’ yang akan dipilih haruslah berasal dari tongkonan tersebut. Seperti halnya dikatakan oleh YP (52 Tahun): “Seorang yang diangkat To parenge’ adalah orang-orang yang memiliki strata tinggi dan juga lahir dari kampung tersebut. To parenge’ adalah orang yang bisa memerintah.” (Wawancara 21 Maret 2015) Proses pergantian kepemimpinan To parenge’ umumnya berlangsung dengan baik, tidak ada kendala dalam menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin dalam tongkonan tersebut. Tidak menjadi masalah pula ketika To parenge’ tinggal diluar dari tongkonan yang dibawahinya. Namun dalam hal pelaksanaan tugasnya sekali waktu To parenge’ dapat kembali ke daerah wilayah tongkonan untuk menjalankan tugas apabila terjadi masalah dalam masyarakat seperti konflik. Fungsi dari To parenge’ itu sendiri juga tidak hanya sekedar menyelesaikan masalah. Dalam masyarakat Toraja dikenal istilah bagi to parenge’ yaitu “to urrenge’ sarona to buda” artinya menjadi aspirasi bagi masyarakat dan berusaha untuk mencari solusi. Setiap To parenge’ juga memiliki cakupan wilayah kekuasaan berdasarkan garis keturunan. Jadi To parenge’ tersebut akan bertanggungjawab atas tongkonannya masing-masing dalam hal menyelesaikan persoalan yang terjadi didalamnya. Masa jabatan seorang To parenge’ juga tidak memiliki batas waktu yang ditetapkan. Seorang To parenge’ akan berakhir masa 57 jabatannya apabila meninggal dunia atau melakukan suatu pelanggaran yang berat. To parenge’ juga tidak dapat mengundurkan diri dari jabatannya karena status ini melekat pada diri seorang to parenge’ seumur hidup. b. Status To parenge’ dalam Masyarakat Toraja Keberadaan Tongkonan dalam masyarakat Toraja merupakan suatu bentuk tatanan hidup dalam bentuk persekutuan rumpun keluarga. Setiap tongkonan yang ada dalam masyarakat Toraja dipimpin oleh seorang pemimpin adat yang disebut dengan nama To parenge’. Adapun fungsi dari tongkonan tersebut adalah sebagai wadah untuk membicarakan setiap persoalan yang menyangkut dalam tongkonan. To parenge’ sebagai pemimpin dalam tongkonan tersebut juga dibagi kedalam tingkatan-tingkatan yang berbeda antara satu dengan yang lain, tergantung dari tongkonan mana to parenge’ tersebut berasal. Seperti halnya ketika seorang to parenge’ berasal dari tongkonan layuk (agung), maka kedudukannya juga akan tinggi dari to parenge’ yang lain begitu pula sebaliknya. Salah satu contoh tongkonan yang ada dalam masyarakat Toraja adalah Tongkonan 10 di Kelurahan Tampo, Kecamatan Mengkendek. Tongkonan 10 Kelurahan Tampo merupakan salah satu tongkonan yang masuk dalam area pembangunan bandar udara di Kecamatan Mengkendek yang memiliki struktur seperti tabel dibawah ini: 58 TABEL 6 TONGKONAN 10 KELURAHAN TAMPO Tongkonan Rante Tampo (penentu Tongkonan Layuk kebijakan Tongkonan Saruran (wakil) Tongkonan Buntu Matua Ulu Tongkonan Tanduk Bulan Tongkonan Tondok Tangnga (anak Anak Patalo patalo rante) Tongkonan Rante Dollok (anak patolo saruran Tongkonan Tondok bangla’ Tongkonan Tongkonan Dare’dek Patulak/Pelaksana adat Tongkonan guali Tongkonan Babangan Sumber: Olahan data primer 2015 Kesepuluh tongkonan yang ada pada Tabel di atas masingmasing memiliki fungsi dan peran masing-masing. Begitu pula dengan kedudukannya, semakin di atas seorang To parenge’ menjabat maka semakin tinggi status sosial seseorang yang menjadi To parenge’ di dalamnya. Tongkonan 10 yang ada di Kelurahan Tampo, Kecamatan Mengkendek adalah salah satu tongkonan yang sebagian tanah tongkonan masuk dalam area pembangunan bandar udara di 59 Kecamatan Mengkendek. Penguasaan atau kepemilikan atas tanahtanah milik adat diperoleh dengan sejauh mana seseorang melaksanakan akan tanggung jawab terkait dengan harkat, martabat, dan kedudukan dalam suatu rumpun keluarga tongkonan. Tongkonan 10 Kelurahan Tampo terdiri dari: 1. Tongkonan Rante Tampo (penentu kebijakan), dengan To parenge’ Ruth Karurukan. 2. Tongkonan Saruran (wakil), dengan To parenge’ Ny. Batara Sosang. 3. Tongkonan Buntu, dengan To parenge’ Ambe’ Banni 4. Tongkonan Tanduk Bulan dengan To parenge’ Kamelus Sampe 5. Tongkonan Tondok Tangnga (anak patalo rante) dengan To parenge’ M.R.Patila 6. Tongkonan Rante Dollok (anak patolo saruran) dengan To parenge’ Hendrik Sallolo 7. Tongkonan Tondok bangla’ dengan To parenge’ Yoslina Malino 8. Tongkonan Dare’dek dengan To parenge’ Ambe’ Natan 9. Tongkonan Babangan dengan To parenge’ Ambe’ Ganti 10. Tongkonan Guali dengan To parenge’ Y.Sampe. Tongkonan bukan hanya sebagai wadah untuk mempersatukan keluarga, namun tongkonan juga 60 merupakan tempat untuk menyelesaikan setiap masalah yang terjadi didalam lingkup keluarga tongkonan. Seperti Tongkonan 10 kelurahan Tampo dimana terdapat sepuluh tongkonan didalamnya juga memiliki fungsi dan kedudukan yang berbeda-beda. Ada tongkonan yang berfungsi sebagai pemimpin (tongkonan layuk) dan ada juga yang berfungsi sebagai pelaksana tugas misalnya dalam hal upacara adat. Berikut yang dikatakan oleh YP (52 Tahun) Tahun mengatakan bahwa: “Dalam Kabupaten Tana Toraja sendiri ada banyak tongkonan yang berdiri. Tongkonan itu sendiri mempunyai arti khusus dan arti umum. Kalau secara umum tongkonan dalam segi bangunan adalah “banua pa’rapuan” yang menjadi pusat untuk menyelesaikan masalah dalam masyarakat. Selain itu tongkonan juga adalah wadah persekutuan keluarga. Dalam masyarakat tampo sendiri memiliki tongkonan yang memerintah yang terdiri dari 10 tongkonan. Masing-masing tongkonan ini memiliki to parenge’ yang menjadi pemimpin didalamnya.” (Wawancara 26 Maret 2015) Seperti yang dikatakan informan YP bahwa tongkonan dapat diartikan sebagai sebuah persekutuan yang memiliki struktur dan memiliki fungsi didalamnya. Selain itu tongkonan juga memiliki wilayah yang disebut tanah tongkonan yang mirip dengan hak ulayat. Adapun perbedaan diantara keduanya adalah Hak ulayat merupakan hak persekutuan yang bersifat teritorial (berdasarkan lingkungan daerah) atas tanah di dalam wilayah kekuasaannya. Sedangkan tanah tongkonan adalah hak sekelompok masyarakat adat yang bersifat geneologis (berdasarkan ikatan darah). 61 Dalam uraian dan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa To parenge’ sebagai pemimpin dalam tongkonan mempunyai status sebagai pemimpin yang berfungsi untuk menyelesaikan masalahmasalah yang ada dalam tongkonan. c. Peran To parenge’ dalam Penyelesaikan Konflik Sengketa Tanah Tongkonan pada Pembangunan Bandar Udara di Kecamatan Mengkendek Konflik Sengketa Tanah: Proses Pembebasan Lahan Kasus sengketa tanah pada pembangunan bandar udara di Kecamatan Mengkendek, Kabupaten Tana Toraja terjadi akibat adanya beberapa masalah yang timbul seperti saling mengklaim atas kepemilikan tanah serta tidak meratanya pembagian ganti rugi sesama anggota keluarga tongkonan yang menimbulkan kecemburuan sosial. Keberadaan tanah Tongkonan bagi masyarakat adat Tana Toraja memang seringkali menjadi sumber sengketa yang bermula dari pengaduan pihak (orang/badan hukum) yang berisi keberatankeberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, batas-batas tanah yang tidak jelas maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara hukum, baik dari aspek perdata maupun administrasi, sehingga pihak-pihak yang bersangkutan dapat memperoleh kepastian dan perlindungan. Sengketa yang objeknya adalah tanah dengan modus yang beragam selama ini sering terjadi karena tidak adanya bukti autentik sebagaimana yang disyaratkan 62 peraturan perundang-undangan. Demikian pula bahwa pertambahan penduduk dan kemajuan teknologi, serta kemajuan ekonomi, mengakibatkan kebutuhan atas tanah semakin meningkat sehingga proses penguasaan dan pemilikan tanah dapat menjadi kendala dalam upaya memperoleh kepastian hukum dan keadilan dalam pendaftaran hak-hak atas tanah. Demikian halnya dalam kasus yang terjadi di Mengkendek hingga saat ini. Proses pembayaran lahan untuk pembangunan bandar udara di kecamatan Mengkendek diatas lahan seluas 225 hektare berlokasi di Kelurahan Tampo, Lembang Rantedada, Lembang Simbuang dan Lembang Marinding. Proses pembangunannya sampai saat ini sudah sampai tahap pembayaran lahan milik masyarakat. Belum tuntasnya proses pembayaran lahan bandara udara di kecamatan Mengkendek, kelurahan Tampo Lembang Rantedada, Lembang Simbuang hingga Lembang Marinding masih menyisakan persoalan. Pada proses pembebasan lahan tersebut pemerintah membentuk panitia 9 untuk pembebasan lahan bandara baru Mengkendek. Panitia 9 diketuai oleh Sekretaris Kabupaten Tana Toraja, Enos Karoma. Kemudian dibentuk juga satuan tugas (satgas) pembebasan lahan berjumlah 146 orang. Satgas tersebut terdiri dari tokoh-tokoh adat, pejabat pemkab, lurah/kepala desa, aktivis LSM, Wartawan dan pensiunan tentara. Tugas dari satgas itu sendiri adalah untuk membantu tim 9 dalam melakukan proses pembebasa lahan. 63 Hasil kesepakatan antara pemerintah dan masyarakat mengenai biaya ganti rugi adalah Lahan basah/ sawah yang berlum bersertifikat dihargai Rp 35.000/ m2, tanah kering yang belum memiliki sertifikat Rp 21.390/m2. Lahan basah bersertifikat Rp.40.250/m2 dan lahan kering bersertifikat Rp.26.737/m2. Selain tanah, ganti rugi juga diberikan kepada 31 jenis tanaman produktif yang ada diatas lahan. Adapun kronologis pembayaran ganti rugi pada pembangunan bandar udara di Kecamatan Mengkendek, Kabupaten Tana Toraja: 1) Sosialisasi rencana pembangunan bandar udara di Kecamatan Mengkendek. Pada saat rencana pemerintah untuk membangun bandar udara di Kecamatan Mengkendek, pemerintah sebelumnya mengundang para To parenge’ beserta masyarakat yang memiliki lahan di lokasi pembangunan bandar udara. 2) Inventarisasi lahan Dalam proses ini dilakukan penyampaian kepada masyarakat mengenai hasil pemetaan dan pengukuran lokasi bandar udara. 3) Sosialisasi harga Sosialisasi harga dilakukan guna mencapai kesepakatan antara pemerintah dalam hal ini panitia 9 dan masyarakat mengenai harga tanah. Berikut yang dikatakan oleh informan LN (51 Tahun): “Sebelum adanya rencana pembangunan bandar udara di lokasi tersebut, pemerintah memanggil para To Parenge’, tokoh-tokoh 64 masyarakat dan ada juga pemilik lahan yang diundang oleh pemerintah. Tujuan pemanggilan ini adalah untuk membicarakan rencana pembangunan bandara dan juga biaya ganti rugi bagi masyarakat yang lahannya masuk dalam pembangunan bandara.” (Wawancara 26 Maret 2015) 4) Pendataan lahan Pendataan ini dilakukan oleh panitia 9 dengan mengajukan syarat bagi pemilik lahan untuk melengkapi data kepemilikan tanah berupa sertifikat tanah atau bukti kepemilikan lain yang dikenal masyarakat setempat. 5) Verifikasi data Panitia 9 melakukan verifikasi data kepemilikan tanah dengan melibatkan kantor pertanahan Tana Toraja dan pemilik lahan. 6) Pengumuman hasil verifikasi 7) Pembayaran ganti rugi Proses pembayaran ganti rugi dilakukan secara bertahap oleh panitia 9. Namun kemudian proses pembayaran ganti rugi tersendat akibat adanya masalah seperti kasus korupsi yang melibatkan tim 9 itu sendiri. Proses pembebasan lahan yang berjalan kemudian mengalami berbagai masalah. Seperti terjadinya konflik akibat adanya pihak-pihak yang mengklaim atas kepemilikan tanah, serta tidak meratanya pembagian hasil ganti rugi sesama keluarga tongkonan. Selain itu tidak adanya kejelasan batas-batas tanah serta kurangnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya untuk mengurus sertifikat tanah membuat 65 masalah semakin rumit. Proses pengalihan penguasaan tanah tanpa adanya perjanjian juga menjadi sumber masalah. Dilain pihak proses pembangunan yang berjalan juga tidak melibatkan masyarakat khususnya dalam pembangunan bandara tersebut yang membuat masyarakat setempat menjadi acuh terhadap masalah tersebut. Seperti yang dikatakan salah seorang responden KS (53 Tahun): “Setelah adanya penetapan dari pemerintah mengenai lokasi bandar udara di kecamatan Mengkendek, kami tokoh-tokoh masyarakat dipanggil. Tapi seiring berjalannya waktu dan pembangunan bandar udara tersebut kami para tokoh-tokoh adat sudah tidak dilibatkan lagi. Jadi ketika ada masalah yang terjadi sulit bagi kami untuk ikut campur tangan didalamnya.” (Wawancara 21 Maret 2015) Persoalan lain yang timbul setelah adanya pembagian ganti rugi adalah tidak meratanya pembagian biaya ganti rugi yang diberikan antar anggota keluarga tongkonan sehingga menimbulkan konflik. Ini terjadi akibat penguasaan tanah tongkonan terjadi pengalihan penggarapan tanah ke orang lain untuk digarap dimana penggarap yang diberikan masih satu rumpun keluarga. Si penggarap kemudian yang mengelolah tanah tersebut dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama sampai saatnya tanah tongkonan tersebut masuk dalam area pembangunan bandar udara di Kecamatan Mengkendek. Inilah yang kemudian dipermasalahkan apakah hasil pembagian ganti rugi tanah ini harus dibagi rata antara pemilik dan penggarap atau si pemilik ini mendapatkan uang ganti rugi yang lebih. Terkadang juga 66 memicu perdebatan mengenai tanah tongkonan dalam masyarakat tersebut. Karena ada beberapa kasus dimana pemilik lahan memberikan kekuasaan kepada penggarap secara hibah (ditekkenan) dan kemudian tanah tersebut dikelola secara turun temurun. Jadi ketika adanya pembayaran ganti rugi tanah timbullah persoalan mengenai siapa yang berhak atas ganti rugi tanah tersebut. Seperti yang dikatakan oleh salah seorang tokoh adat MB (64 Tahun) mengatakan bahwa: “La ma’ kurre sumanga’ ki na den te pembangunan tama lan tondok, cuman yamotu masalah kemudian muncul saba’ yate biaya ganti rugi ladibagi rata raka sole te tau tu garap i te padang atau la’bi buda te to ampui padang. Jadi tae’ ia napermasalahakan tu masyarakat te padangna di nani membangun yari te masalah ganti rugi tu menjadi persoalan khususnya inde liu simbuang.(kami masyarakatnya sebetulnya setuju atas pembangunan bandara ini. Yang menjadi masalah kemudian adalah biaya ganti rugi karena ada tanah yang digarap oleh orang lain selama puluhan tahun kemudian masuk dalam lokasi pemabangunan bandara. Apakah uang ganti rugi ini kemudian harus dibagi dua 50:50 antara penggarap dengan pemilik lahan atau yang punya tanah mendapatkan uang yang lebih. Jadi tidak ada masalah jika tanah masyarakat ini digunakan untuk membangun, yang menjadi masalah disini adalah masalah ganti rugi.) (Wawancara 28 Maret 2015) Ketidakjelasan akan kepemilikan tanah tongkonan dalam masyarakat Toraja dikarenakan beberapa faktor. Pertama karena umumnya tanah tongkonan tidak memiliki sertifikat karena merupakan kepemilikan keluarga tongkonan secara kolektif. Tanah tersebut bisa saja disertifikatkan atas nama tongkonan namun tidak boleh dikuasai oleh satu pihak saja. 67 Masalah lain yang dapat memicu persoalan adalah ketidakjelasan batas-batas tanah tongkonan, hanya secara lisan saja dijelaskan mengenai batas tanah tanpa adanya bukti yang tertulis. Ketidakjelasan mengenai pemilik yang sah mengakibatkan adanya saling mengklaim atas kepemilikan tanah. Seperti yang dikatakan oleh AR (54 Tahun) berikut ini. Menurut salah satu informan AR (54 Tahun) mengatakan bahwa: “Jadi masalah yang terjadi di mengkendek itu adalah orang luar yang datang untuk mengacau. Mengklaim atas tanah yang ada akibat adanya kecemburuan sosial padahal dia bukan orang didalam kampung.” (Wawancara 15 Mei 2015) Konflik yang terjadi telah memudarkan nilai-nilai dan norma yang ada dalam masyarakat. Disatu sisi juga masyarakat sebagai pelaku konflik sudah tidak patuh lagi akan norma-norma dan aturan yang berlaku dalam masyarakat. Seperti yang dikemukakan Kolip dalam pengantar sosiologi bahwa selain dari perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat, akar persoalan dari konflik utamanya terjadi akibat disfungsi sosial. Artinya bahwa nilai-nilai dan norma-norma sosial yang ada di dalam struktur sosial tidak lagi ditaati, pranata sosial, dan sistem pengendaliannya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Konflik bisa saja berdampak pada hancurnya nilai dan norma dalam masyarakat atau bahkan sebaliknya akibat ketidak patuhan masyarakat terhadap nilai dan norma maka terjadilah konflik. Hal inilah yang terjadi dalam masyarakat toraja saat ini. Ketidakpatuhan terhadap 68 norma dan nilai-nilai sosial yang ada menyebabkan konflik terjadi diantara sesama keluarga tongkonan. Konflik yang terjadi pada pembangunan bandar udara di Kecamatan Mengkendek, Kabupaten Tana Toraja melibatkan banyak pihak didalamnya. Tanah tongkonan yang awalnya adalah tanah milik bersama yang sifatnya sakral kini tidak menjadi sesuatu yang sakral bagi masyarakat itu sendiri. Masyarakat kemudian memandang tanah tongkonan sebagai sesuatu barang yang dapat menghasilkan uang. Belum lagi masalah lain muncul akibat adanya pembagian kekuasaan tanah yang tidak merata sehingga menimbulkan konflik diantara anggota keluarga tongkonan. Konflik yang terjadi kemudian membawa dampak buruk bagi masyarakat itu sendiri. Hal yang paling nyata terlihat adalah terjadinya perpecahan dalam keluarga. Meskipun demikian konflik tidak dapat dipandang dari satu sisi saja. Konflik juga dapat membawa dampak positif dalam masyarakat jika dikelola dengan baik. Seperti yang dikemukakan oleh Coser bahwa konflik didalam masyarakat biasanya akan mengugah warga masyarakat yang semula pasif menjadi aktif dalam memainkan peranan tertentu didalam masyarakat. Akibat adanya konflik tersebut masyarakat kemudian aktif berperan didalamnya. Termasuk pemimpin adat atau To parenge’ yang kemudian berperan aktif dalam menyelesaikan masalah tersebut. 69 d. Peran To Parenge’ dalam Penyelesaian Konflik Konflik yang terjadi pada pembangunan bandar udara di Kecamatan Mengkendek telah menyebabkan keretakan dalam hubungan kekeluargaan di dalam tongkonan. Apalagi bila diperhatikan bahwa yang terlibat dalam konflik itu sendiri juga masih ada hubungan keluarga. Untuk itulah perlu adanya suatu penyelesaian masalah untuk terciptanya kedamaian antar keluarga. Masyarakat pada umumnya tidak menginginkan adanya menang kalah tetapi penyelesaian tersebut haruslah secara rukun dan damai. Inilah kemudian menjadi tugas dari To parenge’ sebagai pemimpin. Sebagai seorang pemimpin tentunya To parenge’ memiliki peran dan tanggungjawab yang besar dalam masyarakat. Masyarakat yang dipandang sebagai arena konflik membutuhkan suatu penanganan apabila terjadi konflik agar tidak merambat luas. To parenge’ sebagai pemimpin dalam suatu kelompok mempunyai pengaruh besar untuk memediasi pihak yang konflik. Dalam kasus sengketa tanah yang terjadi di Kecamatan Mengkendek, To parenge’ juga memiliki andil dalam menyelesaikan konflik tersebut apalagi sebagai orang yang dituakan tentunya To parenge’ akan didengar oleh segenap rumpun keluarga terutama mereka yang terlibat dalam konflik. Di kabupaten Tana Toraja dimana hukum adat masih kental dalam kalangan masyarakat, peranan daripada tongkonan dibawah pimpinan seorang To Parenge’ masih kuat. Konsekuensi dari hal tersebut di atas 70 yaitu bahwa semua tanah yang termasuk wilayah tongkonan adalah milik dari tongkonan yang bersangkutan dan pemanfaatannya diatur oleh To Parenge’. Setiap permasalahan yang timbul sehubungan dengan tanah tongkonan diselesaikan secara musyawarah, seperti apa yang dikatakan oleh salah satu dari tokoh adat yaitu Bumbungan: “Sewaktu peranan tongkonan masih kuat, maka peranan dan tanggung jawab To Parenge’ adalah sangat besar dan penting di dalam mengurus dan menyelesaikan persoalan tanah tongkonan berdasarkan pada peraturan yang istimewa bagi masyarakat Toraja. Setiap permasalahan diselesaikan secara musyawarah oleh masyarakat Toraja yaitu : “Ungkataku’ aluk sola pemali, ungkasiri’ totumampata” artinya takut kepada sanksi-sanksi moral yang berlaku dalam masyarakat dan malu terhadap Allah penciptanya” Pada kasus sengketa tanah di Kecamatan Mengkendek, proses penyelesaian konflik yang dilakukan oleh To parenge’ beserta dengan aparat pemerintah dilakukan secara musyawarah yang dipimpin oleh To parenge’ dalam tongkonan masing-masing. Tongkonan 10 Kelurahan Tampo sebagai salah satu Tongkonan yang masuk dalam area pembangunan bandar udara. Dari 225 hektare luas bandara, 94 hektare merupakan tanah dalam lingkup wilayah Tongkonan 10 Kelurahan Tampo. Dalam tongkonan inilah terdapat konflik dimana saling mengklaim atas tanah tongkonan terjadi diantara sesama anggota warga tongkonan. Proses penyelesaian konflik yang dilakukan To parenge’ di Tongkonan 10 Kelurahan Tampo 71 dilakukan dengan beberapa pendekatan diantaranya konsoliasi, mediasi dan arbitration (Nasikun 1988). Konsoliasi adalah suatu usaha untuk mempertemukan keinginan keinginan persetujuan pihak-pihak bersama, yang berselisih, bagi pihak-pihak bagi yang tercapainya bersengketa suatu ada kesempatan untuk mendiskusikannya melalui suatu lembaga tertentu. Proses penyelesaian konflik yang dilakukan oleh To parenge’ dalam hal ini dilakukan di kantor lembang pada bulan juli 2011. Pada rapat ini pihak-pihak yang berkonflik dihadirkan bersama dengan tokoh-tokoh adat yang ada di lembang tersebut. Dalam tahap ini upaya yang dilakukan oleh To parenge’ bersama dengan tokoh-tokoh adat dalam mempertemukan keinginan masingmasing pihak mendapatkan jalan buntu dikarenakan masing-masing pihak tersebut merasa berhak penuh untuk ganti rugi tanah tersebut. Seperti yang dikatakan oleh LN (54 Tahun): “masing-masing To parenge’ dalam satu tongkonan menyelesaikan masalah dalam tongkonan mereka masingmasing. Secara adat masing-masing pihak berhak atas ganti rugi tanah tersebut, yang menjadi masalah adalah kedua belah pihak sama-sama berkeinginan untuk mendapatkan uang ganti rugi secara penuh dari pemerintah”. (Wawancara 26 Maret 2015) Upaya To parenge’ dalam menyelesaikan masalah yang terjadi mendapatkan kendala seperti mana yang dijelaskan oleh PL. Keinginan masing-masing pihak untuk mendapatkan biaya ganti rugi secara penuh akhirnya mendapatkan jalan buntu. Jalan tengah yang kemudian 72 dilakukan untuk menyelesaikan masalah tersebut adalah melalui jalur hukum. Upaya konsoliasi yang dilakukan To parenge’ bersama dengan aparat pemerintah dalam hal ini perangkat desa tidak membawakan hasil yang baik. Penyelesaian masalah-masalah yang kemudian dilakukan oleh To parenge’ adalah memediasi pihak-pihak yang berkonflik. Maksud dari mediasi ini adalah dimana kedua belah pihak bersepakat untuk menunjuk pihak ketiga yang akan memberikan nasehat-nasehat tentang bagaimana baiknya jalan keluar dari masalah tersebut. Kedua belah pihak bebas menerima atau menolak keputusan yang diberikan oleh pihak ketiga. Begitu pula pihak ketiga tidak mempunyai wewenang untuk mengintervensi atau memberikan keputusan menang kalah. Pihak ketiga dalam hal ini adalah To parenge’ dimana fungsinya hanya sebagai perantara. Pendekatan-pendekatan yang dilakukan secara kekeluargaan dalam menyelesaikan masalah tersebut dilakukan dengan cara mencari asal usul kepemilikan tanah tongkonan dengan massulo nene’. Massulo nene’ adalah sebuah bentuk penelusuran kepemilikan atas tanah dengan cara menelusuri sejarah tanah hingga sampai saat ini. Namun setelah diadakan mediasi kedua belah pihak memang secara adat berhak atas tanah tongkonan yang masuk dalam area pembangunan bandar udara di Kecamatan Mengkendek. Adapun cara 73 memperoleh tanah tongkonan tersebut melalui perkawinan dan ada juga yang dihibahkan (ditekkenan). Jadi untuk memutuskan secara adat siapa yang berhak atas tanah tongkonan adalah melalui To parenge’. Dimana hal tersebut dimusyawarakan secara adat untuk menelusuri asal-usul kepemilikan tanah yang dipersengketakan melalui massulo nene’. Seperti dikatakan oleh informan MB (64 Tahun): “To parenge’ memiliki peran yang besar dalam masyarakat. jadi harus memang To parenge’ yang menunjukkan tanah si A atau si B. Jadi to parenge’ ini memiliki pengaruh yang besar. Tanah yang masuk dalam pembangunan itu sendiri adalah tanah adat. Waktu proses mediasi di kantor daerah dulu saya selalu ngotot. Saudara-saudara, masyarakat, tokoh adat, to parenge’ jangan kita mengklaim bahwa si A ini tidak boleh masuk. Kalau saudara-saudara kita masuk sebelum ada bandara, jangan kita mengklaim bahwa itu bukan hak mereka. Yang jelas kamu itu perlu diatur, minta petua sama to parenge.” (Wawancara 28 Maret 2015 Dikatakan oleh informan MB (64 Tahun) bahwa yang memang harus menangani masalah ini adalah To parenge’. Karena sebagai pemimpin tentunya harus mendapatkan penghargaan disamping itu pula melalui To parenge’ bisa ditelusuri mengenai siapa sebenarnya yang memiliki hak atas tanah yang dipersengketakan tersebut. Lanjut dikatakan MB bahwa masyarakat yang telah lama mendiami tanah tongkonan tersebut tidak boleh diusir secara sepihak. Tetap harus ada solusi yang diberikan agar semua pihak merasa tidak ada yang dirugikan. Untuk itulah segeranya masalah sengketa tanah tongkonan 74 ini dapat diselesaikan dengan baik agar pembangunan juga dapat berjalan. Penanganan konflik yang cepat merupakan suatu upaya perumusan suatu solusi atas konflik yang terjadi untuk mencapai kesepakatan bersama yang bisa diterima oleh pihak-pihak yang berkonflik. Fisher et.al (2001:7) menjelaskan bahwa resolusi konflik adalah usaha menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru yang bisa bertahan lama diantara kelompok-kelompok yang bersiteru. Proses mediasi yang dilakukan oleh To parenge’ serta pemerintah dalam kasus tersebut sudah dilakukan yaitu ketika pihak yang berkonflik tersebut dipanggil untuk membicarakan pokok permasalahan yang terjadi. Sebelum pembangunan tersebut dilakukan, pemerintah bersama To parenge’ serta beberapa tokoh adat dipanggil untuk membicarakan hal tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya konflik dikemudian hari. Salah satu informan LN (51 Tahun) juga mengatakan hal serupa bahwa: “Sebelum adanya rencana pembangunan bandar udara di lokasi tersebut, pemerintah memanggil para To Parenge’, tokoh-tokoh masyarakat dan ada juga pemilik lahan yang diundang oleh pemerintah. Tujuan pemanggilan ini adalah untuk membicarakan rencana pembangunan bandara dan juga biaya ganti rugi bagi masyarakat yang lahannya masuk dalam pembangunan bandara.” (Wawancara 26 Maret 2015) 75 Upaya yang dilakukan oleh To parenge’ serta tokoh-tokoh adat dalam menyelesaikan konflik tersebut belum menemui titik terang. Hanya ada beberapa kesepakatan yang dihasilkan dalam musyawarah tersebut dimana masing-masing pihak yang mendapatkan uang ganti rugi mendapat potongan sebanyak 3% dari total penerimaan uang ganti rugi yang kemudian akan diberikan kepada tongkonan untuk kepentingan bersama. Seperti yang dikatakan oleh KS (53 Tahun): “Dalam kasus bandara di Mengkendek kami tetap memperjuangkan, karena yang menjadi persoalan adalah ada pihak-pihak yang mengatakan bahwa tanah yang menjadi pembebasan untuk pembangunan bandara adalah tanah negara, tanah tongkonan dan ada juga yang mengatakan bahwa tanah tersebut adalah tanah pribadi. Tapi menurut saya sendiri sebenarnya itu adalah tanah tongkonan. Persoalan ganti rugi telah disepakati bahwa ada potongan 3% dari total penerimaan ganti rugi yang diberikan kepada tongkonan.” (Wawancara 21 Maret 2015 Proses penyelesaian konflik sengketa tanah yang dilakukan oleh para To parenge’ umumnya sudah cukup maksimal dimana pihak-pihak yang bersengketa ini kemudian duduk bersama dalam suatu musyawarah adat dimana akan ditelusuri secara garis keturunan terhadap pengusaan tanah tongkonan. Namun setelah ditelusuri secara adat terhadap penguasaan tanah adat tersebut, masing-masing pihak dirasa berhak untuk mendapatkan ganti rugi. Ada beberapa keluarga yang mendapatkan tanah dari proses perkawinan yang kemudian dihibahkan untuk digarap. 76 Beberapa kendala juga ditemui oleh To parenge’ dalam melakukan upaya perdamaian bagi pihak yang berkonflik. Salah satunya karena pihak yang berkonflik tersebut menggugat lawannya melalui pengadilan secara tertutup. Jadi dalam hal ini To parenge’ tidak dapat melakukan upaya perdamaian untuk mencegah bahkan melerai konflik. Hal ini tentunya dirasa sulit untuk mempertemukan kedua belah pihak yang berkonflik karena salah satu pihak memilih jalur hukum untuk menyelesaikan masalah tersebut. Begitu pula yang dikatakan oleh salah seorang To parenge’ YP (52 Tahun): “Susah karena pihak yang berkonflik tersebut tidak mengakui bahwa tanah tersebut adalah tanah adat jadi To parenge’ tidak bisa masuk untuk mendamaikan hal tersebut. Selain itu ada pihak-pihak yang menggugat ke pengadilan secara tertutup. (wawancara 21 Maret 2015) Upaya penyelesaian masalah yang dilakukan oleh To parenge’ pada akhirnya menemui jalan buntu. Hal ini terjadi akibat adanya beberapa faktor diantaranya: Ada pihak-pihak yang menggugat para To parenge’, masyarakat yang menerima ganti rugi serta pemerintah dalam hal ini tim 9 yang diketuai oleh sekertaris daaerah Tana Toraja Enos Karoma ke pengadilan melalui LSM. Pihak-pihak yang berkonflik tidak menghasilkan kesepakatan oleh karena masing-masing pihak merasa berhak penuh atas tanah yang menjadi objek sengketa. Dimana setelah adanya penelusuran yang dilakukan oleh To parenge’ melalui massulo 77 nene’(menelusuri asal usul tanah) ditemukan bahwa kedua pihak memang secara adat berhak atas tanah yang dipersengketakan. Dalam memperoleh tanah tersebut ada yang dihibahkan (ditekkenan), ataupun melalui perkawinan. Pihak-pihak yang berkonflik merasa bahwa tanah yang menjadi objek sengketa adalah tanah perseorangan, bukan tanah adat maupun tanah negara. Dalam hal ini sulit bagi para To parenge’ untuk melakukan upaya damai dikarenakan adanya penolakan pihak yang berkonflik untuk dimediasi. 2. Tanggapan masyarakat mengenai penyelesaian konflik oleh To Parenge’ Konflik yang hadir dalam masyarakat tentunya ada yang berimplikasi baik ataupun buruk tergantung bagaimana sikap kita memandang dan mengatasi konflik tersebut. Ada yang menganggapnya buruk karena melihat konflik sebagai suatu masalah yang sering menyebabkan perpecahan dalam masyarakat yang menyebabkan disentegrasi sosial. Memang tidak bisa dipungkiri hal tersebut akan terjadi karena dalam masyarakat itu sendiri, konflik adalah bagian yang tak terpisahkan. Kasus sengketa tanah pada pembangunan bandar udara di Kecamatan Mengkendek, Kabupaten Tana Toraja merupakan contoh konflik sosial yng terjadi dalam masyarakat. Seperti yang sudah dijelaskan di awal akar dari masalah ini yang berujung pada terjadinya 78 perpecahan dalam keluarga tongkonan. Ini adalah salah satu dampak buruk yang ditimbulkan oleh konflik yang apabila dibiarkan berkembang akan mengakibatkan kehancuran dalam masyarakat. Untuk itulah dalam menyelesaikan konflik yang baik adalah mencari akar dari permasalahan yang terjadi sehingga dapat ditemukan titik penyelesaiannya. Gejala konflik sosial akan selesai jika akar penyebab konflik tersebut ditiadakan dan dapat diselesaikan dengan baik. Untuk itulah proses penanganan konflik yang cepat dibutuhkan oleh pemimpin diminimalisir. menyelesaikan agar Dalam konflik hal masalah tidak merambat luas dan To parenge’ diharapkan tersebut bersama dengan ini dapat mampu pemerintah setempat. Pada observasi dan wawancara yang dilakukan oleh penulis ada informan yang mengatakan bahwa peranan To parenge’ biasa saja. Informan ini menjelaskan bahwa To parenge’ sama sekali tidak mempengaruhi karena jika terjadi konflik yang turun menangani biasanya adalah aparatur kepolisian. To parenge’ hanya sebatas pada sengketa lahan atau sengketa adat karena ujung – ujungnya pasti diselesaikan di peradilan. Meskipun demikian ada pula beberapa kasus yang dapat diselesaikan dengan baik bersama tokoh-tokoh adat. 79 Berikut di jelaskan oleh PT ( 56 Tahun) di bawah ini : “peranannya biasa saja. Karena To parenge’ hanya sebatas menangani konflik adat. Menurut pengalaman saya banyak sengketa adat yang selesai di tingkat adat dan itu keinginan masyarakat, tetapi jika sudah tidak bisa di tangani baru di limpahkan ke pengadilan. Dalam kasus sengketa tanah bandara, peran To parenge’ itu biasa saja meskipun ada upaya-upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik tersebut. ” (Wawancara 5 Maret 2015) Selain itu pula masyarakat ada yang mengatakannya sangat baik dan sangat membantu. Proses pencegahan dan penyelesaian konflik yang terjadi di Kecamatan Mengkendek sudah cukup maksimal meskipun belum sepenuhnya masalah tersebut selesai pada tingkat adat. To parenge’ sebagai seorang pemimpin adat dalam tongkonan membawah pengaruh yang besar bagi anggota kelompoknya. Seperti yang dikatakan oleh informan LN (54 Tahun): “To parenge’ ini mempunyai pengaruh dalam masyarakat. karena To parenge’ adalah orang yang dituakan dalam masyarakat dan didengar oleh seluruh anggota keluarga tongkonan. Terlepas dari itu jabatan sebagai To parenge’ tentunya mendapat penghargaan dari masyarakat.” (Wawancara 25 Maret 2015) Proses penyelesaian konflik yang dilakukan oleh para To parenge’ dianggap sudah cukup baik. Dimana peran To parenge’ sebagai orang yang dituakan dan sebagai pemimpin tentunya dapat menyelesaikan konflik yang terjadi dalam masyarakat. Dari beberapa observasi yang dilakukan oleh penulis beberapa macam tanggapan dari peranan To parenge ini. Seperti yang dijelaskan oleh informan AR (54 Tahun) bahwa peranan To parenge ini sangat tidak membantu sama sekali. 80 Berikut di jelaskan di bawah ini : “Dalam kasus sengketa tanah yang terjadi di Mengkendek, To parenge’ tidak memiliki peranan sama sekali dalam menyelesaikan masalah tersebut. Dalam kasus sengketa pada umumnya yang terjadi To parenge’ selalu bisa menyelesaikannya di tingkat adat. Namun dalam kasus ini To parenge’ tidak memiliki peran untuk memediasi kami masyarakat yang berkonflik”. (Wawancara 15 Mei 2015) Sehingga menurut informan tersebut peranan To parenge tidak membantu masyarakat yang sedang bersengketa. Hal ini diungkapkan karena melihat kondisi dimana ada salah seorang To parenge’ bersama LSM yang menggugat lewat pengadilan masyarakat yang mendapatkan ganti rugi dari pemerintah. Tetapi pendapat berbeda diungkapkan oleh informan LN (51 Tahun) berikut ini : “To parenge sangat membantu. Mereka tentunya tidak dipilih sembarang untuk mengurus sengketa ini. Mereka sangat berpengalaman selama puluhan tahun. Sejak mereka di angkat sebagai To parenge sudah banyak sengketa hukum yang mereka selesaikan. Jadi bukan karena berlarut larutnya sengketa bandara udara ini membuat citra mereka buruk. Mereka masih bisa di berikan waktu untuk menyelesaikannya. Mereka sudah sejak lama membantu. (Wawancara 26 Maret 2015) Sebagaimana yang dijelaskan informan diatas beberapa kendala dihadapi oleh To parenge’ dalam menyelesaikan masalah tersebut seperti yang dikatakan oleh informan KS (53 Tahun: 81 “sulit untuk memediasi dikarenakan ini adalah masalah perorangan dengan pemerintah. Kalau dalam hal konflik antara anggota tongkonan, untuk mendamaikan kedua bela pihak maka pihak-pihak yang berkonflik dipanggil untuk dimintai keterangan mengenai masalah tersebut. Jadi peran To Parenge’ itu sendiri harus berlaku adil dalam menentukan keputusan dengan cara menelusuri siapa yang sebenarnya mempunyai hak atas tanah yang dipersengketakan. Tapi dalam beberapa kasus umumnya dapat diselesaikan secara kekeluargaan” (Wawancara 25 Maret 2015) Perjalanan kepemimpinan To parenge’ dalam menyelesaikan berbagai persoalan dalam masyarakat tidak selamanya berjalan mulus. Ada beberapa masalah yang tidak bisa diselesaikan secara adat. Namun tentunya tidak bisa dipungkiri bahwa masalah-masalah tersebut datangnya dari masyarakat sendiri. Konflik merupakan gejala sosial dalam masyarakat yang tidak mungkin dapat dihilangkan. Untuk itu perlunya suatu perencanaan dalam menyikapi konflik tersebut agar kiranya dapat membawah pengaruh yang positif bagi masyarakat. Namun dalam hal ini perlu ada pemahaman oleh semua pihak dalam menyelesaikan setiap masalah. Perlunya kesadaran dan pemahaman bahwa ada mekanisme- mekanisme penyelesaian konflik lewat lembaga yang telah disepakati. Selain itu dalam menyelesaikan masalah juga harus dilakukan melalui musyawarah mufakat untuk mencapai kesepakatan bersama. Seperti proses penyelesaian konflik yang telah dilakukan oleh To parenge’ dan aparat pemerintah. Namun kemudian mendapat kendala akibat tidak adanya kesadaran sebagian masyarakat bahwa ada suatu 82 lembaga adat yang menjadi wadah dalam mempertemukan setiap masalah. Ini terlihat dari adanya pihak yang menggugat ke pengadilan melalui LSM. Tentunya ini juga menjadi suatu gambaran bahwa masyarakat sudah tidak patuh lagi akan norma-norma sosial yang ada dalam masyarakat. Jadi benar jika Kolip dalam Pengantar Sosiologi (2010) mengatakan bahwa perbedaan kepentingan ataupun perbedaan antar individu hanyalah sebagai pemicu lahirnya konflik. Namun yang menjadi penyebab utama terjadinya konflik adalah adanya disfungsi sosial dimana norma-norma sosial yang ada dalam struktur sosial masyarakat tidak lagi dipatuhi, pranata sosial serta sistem pengendaliannya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Inilah yang kemudian hadir dalam masyarakat Toraja terkhusus yang terjadi pada kasus sengketa tanah di Mengkendek. Untuk itu To parenge’ sebagai pemimpin tentunya memiliki pengaruh dalam masyarakat khususnya dalam menyelesaikan masalah yang ada. Kemampuan untuk menyelesaikan setiap persoalan dalam masyarakat tidak dapat dilihat dari satu aspek saja, sebab sifat kehidupan sosial yang sitematis dalam artian bahwa persoalan yang timbul itu berasal dari persoalan lain. Untuk itulah menyelesaikan konflik harus dilihat sebagai suatu persoalan yang sifatnya menyeluruh (holistik). Konflik akan senantiasa dihadapi oleh setiap kehidupan 83 masyarakat sebagai suatu hal yang wajar, untuk itu harus disikapi dengan bijak. 84 BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan berupa hasil dari pembahasan data dan informasi yang telah diperoleh di lokasi penelitian, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Proses penyelesaian konflik tanah tongkonan yang dilakukan oleh To parenge’ secara adat belum menemui jalan keluar. Hal ini akibat adanya penelusuran yang dilakukan melalui massulo nene’ (ditelusuri secara keturunan) yang menyimpulkan bahwa masingmasing pihak berhak atas tanah tongkonan tersebut. Namun yang menjadi masalah adalah masing-masing pihak menginginkan sepenuhnya hak ganti rugi atas tanah tongkonan tersebut. Hal inilah kemudian membawah persoalan ini diselesaikan melalui jalur hukum. 2. Beberapa tanggapan dari masyarakat muncul dari seputar peranan To parenge’. Ada yang mengatakan peranannya biasa saja akibat melihat konflik yang tidak kunjung selesai dan berlanjut ke rana hukum. Sementara pada informan lain mengungkapkan perannya To parenge’ sangat membantu. Hal ini dari penelusuran masa lalu telah banyaknya konflik dan sengketa yang diselsaikan oleh To parenge’. Lalu bagi mereka yang tidak mengatakan baik bahkan memiliki pandangan negatif terhadap To parenge’ itu merupakan 85 konsekuensi dari kegagalan pada konflik yang terjadi sekarang. Konflik yang semakin berlarut – larut membuat citra To parenge’ buruk. Tetapi karena perkembangan zaman dan semakin kompleksnya masalah membuat To parenge’ harus meningkatkan kemampuannya dalam meningkatkan kinerjanya. B. Saran – Saran 1. Pentingnya peran aktif seorang To parenge’ dalam mencegah maupun menyelesaikan konflik yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini To parenge’ perlu melakukan komunikasi yang intensif kepada pihak-pihak yang berkonflik agar kiranya masalahmasalah yang ada dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Meskipun demikian perlu juga peran pemerintah bersinergi dengan To parenge’ untuk menyelesaikan masalah tersebut. 2. Beragam tanggapan masyarakat muncul mengenai peranan dari To parenge’ dalam menyelesaikan konflik. Untuk itu kiranya perlu ada suatu pemahaman bagi masyarakat agar kiranya setiap masalah yang terjadi dalam masyarakat perlu musyawarah tanpa menempuh jalur hukum. 86 diselesaikan secara DAFTAR PUSTAKA Bisri, Ilhami (2004). Sistem Hukum Indonesia. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Douglas J.Goodman, Geoorge Ritzer (2010). Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana. Fisher, Simon dkk (2001). Mengelola Konflik : Keterampilan dan Strategi Untuk Bertindak Cetakan Pertama, Alih Bahasa S.N. Kartikasari, dkk, The British Counsil, Indonesia, Jakarta Kartono, Kartini (1993). Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Kolip, Usman (2010). Pengantar Sosiologi. Jakarta: Kencana Mangende, Saung, S (1989). Sejarah Kebudayaan Daerah Sulawesi Selatan dan Tana Toraja serta Kepariwisataannya. Ujung Pandang. Yayasan Kebudayaan Toraja. Ranjabar, Jacobus 2006). Sistem Sosial Budaya Indonesia. Bandung: Alfabeta. Soekanto, Soerjono (2010). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Soetopo (1999). Teori Konflik. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Suryabrata, Sumadi (1983). Metodelogi Penelitian. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Satori, Djam’an dan Aan Komariah (2009). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Siagian, Sondang P (1988). Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta: Bina Aksara. Sitonda, Mohanmad Natsir ( 2004). Toraja Warisan Dunia. Makassar: Pustaka Refleksi. Sugiyono (2008). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta Susan, Novri (2008). Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Kontemporer.Surabaya: Kencana. Tangdilintin, L.T. (1984). Toraja dan Kebudayaan, Yayasan lepongan bulan, (Yalbu) Tana Toraja. 87 Jurdi, Syarifuddin (2013). Sosiologi Nusantara Memahami Sosiologi Integralistik. Jakarta: Kencana. Sumber lain: Biringkanae, Arland (2014). Konflik Tanah Tongkonan pada Pembangunan Bandar Udara di Kecamatan Mengkendek Kabupaten Tana Toraja. Sosiologi Unhas. Dewi, Rahayu Sri (2003). Eksistensi Hak Ulayat (Tanah Tongkonan) Masyarakat Tana Toraja di Kecamatan Rantepao Kabupaten Tana Toraja. Universitas Diponegoro Semarang. Anonim. Kasus Lahan Bandar Udara Mengkendek. Diakses tanggal 4 Mei 2015. file:///C:/Users/Public/Documents/RERERENSI/Kasus%20Lahan%20Ban dar%20Udara%20Mengkendek%20Berlanjut.htm Rombelayuk D. Kelembagaan Masyarakat Adat Desa Di Tana Toraja – Sulawesi Selatan. Diakses tanggal 4 Mei 2015. http://www2.jogjabelajar.org/modul/how/p/Pakaian_Daerah/18_KELEMBA GAAN%20MASYARAKAT%20ADAT%20DESA%20DI%20TANA%20TOR AJA.htm. 88