perwujudan kosmologi pada bangunan rumah

advertisement
LANTING Journal of Architecture, Volume 1, Nomor 1, Februari 2012, Halaman 1-10
ISSN 2089-8916
PERWUJUDAN KOSMOLOGI PADA BANGUNAN RUMAH TRADISIONAL
TORAJA
Mashuri
JURUSAN ARSITEKTUR UNIVERSITAS TADULAKO PALU
Abstrak
Salah satu fitur yang kuat dalam arsitektur vernacular adalah kosmologi yang muncul dalam dekorasi
lingkungan, baik dalam bentuk makro (settlement) dan mikro (rumah).Orientasi kosmologi dapat
dikenali dalam bangunan yang memiliki ruang yang berfungsi sacral dan profan.Toraja, sebuah
kelompok etnis yang hidup diutara Sulawesi Selatan memiliki arsitektur tradisional yang unik dan
indah. Ini adalah ekspresi dari agama "Aluk Todolo" dan cara hidupnya. Konsep kosmologi dan teori
"Aluk Todolo" diekspresikan dalam
arsitektur Toraja, baik
dalam
ekspresi ruangan
secara
horizontal dan vertikal.
Key Word: rumah tradisiona, Toraja, kosmologi
Abstract
One of the strong features of vernacular architecture is cosmology that appears in the environment
decoration, both in the form of macro (settlement) and micro (house). Cosmology orientation can be
recognized in the building, which has a room functioned, both as sacred and profane. Toraja, an
ethnic group that lives in the northern of south Sulawesi has unique and beautiful traditional
architecture. It is the expression of religion “Aluk Todolo” and its way of life. The concept of cosmology
and the theory of “Aluk Todolo” areexpressed in the architecture of Toraja, both in the expression of
the room horizontally and vertically.
Keywords: traditional house, Toraja, cosmology
PENDAHULUAN
Manusia sebagai makhluk yang
berbudaya, mengandung pengertian bahwa
manusia menciptakan budaya dan kemudian
kebudayaan memberikan arah dalam hidup
dan
tingkah
laku
manusia.Dalam
kebudayaan tercakup hal-hal bagaimana
tanggapan manusia terhadap dunianya dan
lingkungan
masyarakatnya.Seperangkat
nilai yang menjadi landasan untuk
menentukan sikap terhadap dunia luarnya,
bahkan untuk mendasari langkah-langkah
kegiatan yang hendak dan harus dilakukan
sehubungan dengan kondisi alam maupun
pola hidup kemasyarakatannya.
Kebudayaan paling sedikit mempunyai
tiga kategori yaitu:
1. Berupa wadah bagi suatu kompleks ideide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, normanorma dan peraturan. Haln-hal ini berada
dalam pikiran warga masyarakat, atau
dalam tingkat perkembangan tertentu
sudah berupa tulisan-tulisan, karangan-
karangan warga masyarakat yang
bersangkutan.
2. Kebudayaan sebagai suatu kompleks
aktifitas
manusia
yang
berpola,
menciptakan suatu system social bagi
masyarakat yang bersangkutan
3. Berupa wadah untuk menghasilkan
benda-benda pakai dan karya seni,
berbentuk nyata sebagai obyek riil,
seperti bangunan rumah, lukisan, patung,
kerajinan,
benda
pakai,
senjata
(Koentjaraningrat, 1974).
Ketiga wujud kebudayaan di atas,
saling terkait satu sama lain. Adanya ide dan
gagasan mengakibatkan terjadinya aktifitas
yang
menghasilkan
suatu
karya
(kebudayaan fisik).Salah satu bentuk
kebudayaan fisik tersebut adalah bangunan
rumah.
Dalam konsep tradisional Toraja,
sebuah rumah tidak hanya memiliki dimensi
fungsional sebagai tempat hunian, tetapi
juga sekaligus melalui unsur-unsur bentuk
tertentu
menampilkan
pandangan
kosmologis
dan
filosofis
yang
1 mendalam.Lebih jauh lagi rumah dianggap
sebagai simbol dari jagad raya/kosmos, di
mana hirarki kosmos ditampilkan pada zona
•
vertikal dan horizontal dari sebuah rumah.
Berdasarkan latar belakang tersebut
•
maka pertanyaan penelitian tentang nilainilai kosmologi pada bangunan tradisional
Toraja dapat disusun sebagai berikut: •
1. Bagaimana konsep kosmologi Toraja
yang
dikaitkan
dengan
rumah
tradisionalnya?
2. Seperti apa wujud dari nilai-nilai
kosmologi yang terdapat pada rumah
tradisional Toraja?
Adapun
tujuan
penelitian
ini
diharapkan dapat mengungkapkan wujud
nilai-nilai kosmologi pada bangunan rumah
tradisional Toraja agar dapat mendorong
peningkatan apresiasi masyarakat terhadap
arsitektur, khususnya arsitektur tradisional.
KAJIAN PUSTAKA
Kosmologi
Kosmologi berasal dari istilah Yunani;
kosmos, yang berarti susunan atau juga
ketersusunan yang baik. Lawannya adalah
khaos, yang berarti keadaan kacau balau
(www.wikipedia.com). Kosmologi mencari
struktur-struktur dan hukum-hukum yang
paling umum dan mendalam dalam
kenyataan duniawi seluruhnya. Kosmologi
misalnya bertanya: dunia itu apa; materi itu
apa; kuantitas dan kualitas itu apa;
perubahan itu apa; ruang dan waktu itu apa;
penyebaban itu apa. (Baker, 1995 dalam
Said,2004)
Amos Rapoport berpendapat bahwa
arsitektur
dapat
dipandang
sebagai
manifestasi dari aspek sosial, budaya,
teknik, ritual dan mampu mengekspresikan
keyakinan atau kaidah-kaidah yang bersifat
kosmologis,
serta
mampu
mengkomunikasikan
informasi
yang
mengandung sistem nilai (Rapoport, 1969).
Lebih lanjut Rapoport menyebutkan bahwa
ciri yang kuat pada arsitektur vernakuler
adalah adanya kosmologi dalam penataan
lingkungan permukiman, orientasi kosmologi
ini dapat ditandai dengan adanya ruang
yang bersifat sakral (sacred) dan ruang yang
bersifat profan (profane).
Menurut Moerdjoko (2006), dalam
masyarakat tradisional rumah dianggap
sebagai bentuk mikro kosmos
sebagai
penjelmaan dari bentuk makro kosmos
(alam raya) yang terbagi atas tiga bagian
yaitu:
Dunia atas, adalah daerah suci sebagai
tempat para dewa
Dunia tengah, adalah daerah yang dihuni
oleh manusia
Dunia bawah, adalah daerah kotor yang
dihuni oleh binatang
Rumah Tradisional
Rumah menurut Van Romondt (1965,
dalam Said,2004) adalah suatu shelter atau
tempat
berlindung
manusia
dalam
menghadapi cuaca panas, dingin, hujan dan
angin. Dahulu, pengertian rumah tinggal
adalah sebagai tempat berlindung dari
panasnya terik sinar matahari atau serangan
binatang buas
yang menjadi musuh
manusia. Namun sekarang, selain untuk hal
tersebut di atas, juga berarti sebagai tempat
beristirahat, membina individu/keluarga,
tempat bekerja, dan sekaligus juga sebagai
lambing sosial.Bagi masyarakat primordial,
rumah merupakan tempat berlindung untuk
menghindari dari bahaya-bahaya rohani
yang mengancam.
Adapun
pengertian
rumah
tradisional, yaitu suatu bangunan dimana
struktur, cara pembuatan, bentuk, fungsi,
dan ragam hiasnya mempunyai ciri khas
tersendiri, yang diwariskan secara turuntemurun, serta dapat dipakai oleh penduduk
daerah setempat untuk melakukan aktifitas
kehidupan
dengan
sebaik-baiknya
(Said,2004).
Kata ‘tradisi’ mengandung arti suatu
kebiasaan yang dilakukan dengan cara yang
sama oleh beberapa generasi tanpa atau
sedikit sekali mengalami perubahanperubahan. Dengan kata lain, kebiasaan
yang sudah menjadi adat dan membudaya.
Dengan demikian istilah ‘rumah tradisional’
dapat diartikan sebuah rumah yang
dibangun dan digunakan dengan cara yang
sama sejak beberapa generasi.
Rumah tradisional Toraja yang
disebut Tongkonan mempunyai peranan
yang sangat penting karena berhubungan
langsung dengan kepercayaan Aluk Todolo,
terutama dalam pesta adat dan kehidupan
ritual di Tana Toraja.Penyelenggaraan pesta
adat
pada
tingkat-tingkat
tertentu,
dilaksanakan dengan mengacu pada konsep
kosmologi Toraja, dan berpedoman pada
2 keempat titik mata-angin, di mana Tonkonan
adalah sebagai titik pusat. Utara dan
Selatan digambarkan sebagai ‘kepala dunia’
dan
‘ekor
dunia’,
atau
tempat
bersemayamnya Puang Matua dan Pong
Tulakpadang, yang menjaga keseimbangan
alam raya (kosmos) (Tangdilinting,1981).
keempat arah mata-angin, dikenal pula
adanya
‘pelapisan’
dari
alam
raya
berdasarkan kosmologi Aluk Todolo yang
menganggap Tongkonan sebagai ‘alam
kecil’(mikrokosmos) dan merupakan bagian
dari ‘alam-raya’(makrokosmos).
METODOLOGI
Adat dan Kepercayaan
Adat adalah aturan-aturan tentang
kehidupan
manusia
yang
disepakati
penduduk dalam suatu daerah tertentu
untuk mengatur tingkah laku anggota
masyarakatnya sebagai kelompok sosial.
Setiap manusia yang berada dalam
lingkaran kehidupan adat merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari unit sosial
tersebut, atau dengan lain perkataan,
seluruh mekanisme kehidupan sosial bagi
semua anggota dijiwai oleh adat. Manusia
telah menerima adat secara total sebagai
sistem kehidupan sosialnya, serta percaya
bahwa hanya dengan berpedoman pada
adatlah maka ketentraman dan kebahagiaan
bagi setiap anggota masyarakat dapat
terjamin.
Kepercayaan erat hubungannya
dengan upacara-upacara religius, dan
menentukan tata ukur daripada unsur-unsur
acara serta rangkaian alat-alat yang dipakai
dalam upacara itu (Koentjaraningrat,1974).
Orang Toraja percaya segala
sesuatu yang ada dalam dunia ini
mempunyai nyawa. Nyawa manusia tetap
hidup walaupun ia sudah meninggal. Oleh
sebab itu kehidupan manusia tergantung
pada segala sesuatu yang sepanjang
pengetahuannya dapat memberi untung dan
celaka. Semuanya itu, baik makhluk hidup
ataupun benda mati, dianggap oleh orangorang Toraja mempunyai nyawa atau jin.
Oleh sebab itu sebaiknya bersatu dan
berteman karib dengahn jiwa-jiwa yang
mereka
anggap
berpengaruh
dalam
kehidupannya
(Harahap,1952
dalam
Said,2004).
Landasan Teori
Landasan teori yang digunakan dalam
membahas wujud kosmologi pada rumah
tradisional Toraja mengacu pada apa yang
dikemukakan oleh
Tangdilinting (1981)
dalam bukunya Toraja dan Kebudayaannya
yang menyatakan bahwa selain dari
klasifikasi alam raya ini yang berdasarkan
Metode penelitian yang digunakan
adalah metode deskripsi rasionalistik yang
mengacu kepada landasan teori yang telah
disusun. Bahan penelitian berupa data-data
sekunder yang diperoleh dari beberapa
literatur.
TEMUAN/KAJIAN ATAS TEMUAN
Tinjauan Geografis, Topografis dan
Administratif
Tana Toraja atau yang lebih dikenal
dengan Tator – sebutan oleh orang-orang
Toraja sendiri untuk wilayahnya – adalah
salah satu kabupaten yang terdapat di
Provinsi Sulawesi Selatan.Saat ini Saat ini
Tator secara administrasi masuk dalam
Kabupaten Toraja, terdiri dari 9 kecamatan
dan 32 desa.Luas wilayah 3178 Km2,
sebagian
besar
(40%)
terdiri
dari
pegunungan dan dataran tinggi (25%).
Wilayah Tator terletak sekitar 350 Km di
utara kota Makassar, antara 2 40'-3 25'
lintang selatan dan 119 30'-120 25' bujur
timur (Said,2004). Di tengah-tengah wilayah
berbukit-bukit tersebut mengalir dari utara ke
selatan Sungai Sa'dang yang berpengaruh
secara sosial, budaya dan ekonomi bagai
masyarakat Toraja.Istilah Toraja Sa'dang
dipakai untuk menyebut wilayah dan
kelompok etnis di kawasan Sungai
Sa'dang.Sebutan
tersebut
untuk
membedakan dengan kelompok dan tempat
dengan sebutan Toraja-Mamasa, berada di
sebelah baratnya beberapa puluh kilometer,
dipisahkan
oleh
lembah
dan
gunung.Menurut legenda, suku TorajaMamasa berasal dari suku Toraja-Sa'dang
yang merantau ke arah barat, tidak kembali
dan membentuk masyarakat Toraja di
tempatnya yang baru.
3 Gambar 1. Peta Kabupaten Tana Toraja
(Said,2004)
Di Tana Toraja terdapat dua pusat
berupa kota kembar, yaitu kota Makale
berfungsi sebagai pusat administrasi terletak
disebelah selatan, dan kota Rantepao
terletak 18 Km di sebelah utara kota Makale,
yang lebih berfungsi sebagai pusat
pelayanan dan jasa.
Asal Mula Nama Toraja
Sebelum kata Toraja dipergunakan
sebagai sebutan untuk daerah yang
sekarang dinamakan Kabupaten Tana
Toraja, sebenarnya dagulu adalah suatu
negeri yang berdiri sendiri dan dinamakan
Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo
(tondok
=
negeri;
lepongan
=
kebulatan,kesatuan; bulan = bulan; matarik
= bentuk; allo = matahari). Artinya: negeri
yang
bentuk
pemerintahan
dan
kemasyarakatannya merupakan kesatuan
yang bundar/bulat bagaikan bulan dan
matahari (Said,2004).
Beberapa pendapat lain mengenai
asal kata Toraja, yaitu:
• Berasal dari istilah yang diberikan oleh
orang
Bugis
Sidenreng
(Kerajaan
Sidenreng), yaitu toriaja. To artinya
orang, riaja artinya sebelah atas atau
bahagian utara (Said,2004). Hal ini
disebabkan negeri Tondok Lepongan
Bulan Tana Matarik Allo itu berada di
sebelah utara Kerajaan Sidenreng. Oleh
karena itu orang-orang yang berasal dari
daerah itu disebut toraja yang artinya
orang yang berasal dari ketinggian di
sebelah utara.
• Berasal dari istilah orang Bugis Luwu
(Kerajaan Luwu), yaitu to Rajang. To
artinya orang, Rajang artinya di sebelah
barat Kerajaan Luwu. Jadi Toraja
maksudnya adalah orang yang berasal
dari
daerah
sebelah
barat
(Izarwisma,1986).
Sama seperti yang dijelaskan di atas,
Jowa Imre Kis-Jovak (1988) dalam Said
(2004) juga menjelaskan seperti di bawah
ini:
Toraja may originally have been a
name given to these groups by Buginese
people, and means ‘those who live
upstream’, or people living in the mountains’.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan
di atas dapat dipahami bahwa namatoraja
lebih merujuk kepada suatu tempat yang
letaknya berada di daerah ketinggian, yang
bila dikaitkan dengan kondisi topografis
Toraja memang berada di daerah yang
tinggi.
Adat dan Kepercayaan Toraja
Masyarakat Toraja saat ini, sekitar
66% beragama Kristen, 12% Roma Katolik,
sekitar 7% Muslim, hanya 16% masih
memeluk agama adat yang disebut Aluk
Todolo (Kantor Statistik Kabupaten Tana
Toraja, 1995 dalam Said,2004). Namun
demikian, secara bersamaan masih banyak
anggota masyarakatnya melaksanakan adat
kepercayaan Aluk Tomatua upacara ritual
bagian dari Aluk Todolo. Dalam kehidupan
sehari-hari adat tersebut antara lain
terungkap dalam berbagai upacara seperti
misalnya Rambu Tuka berarti suka cita atau
dalam hal ini perkawinan, upacara
memasuki rumah baru. Menurut adat Toraja
yang paling penting adalah upacara Rambu
Solo yaitu upacara pemakaman.
Aluk Todolo kepercayaan yang dianut
oleh masyarakat Toraja artinya adalah
agama/aturan
dari
leluhur
(aluk
=
agama/aturan, todolo = nenek moyang)
(Tangdilinting,1981). Aluk Todolo menurut
penganutnya diturunkan oleh Puang Matua
atau Sang Pencipta mulanya pada leluhur
pertama Datu La Ukku' yang kemudian
menurunkan ajarannya kepada anak
cucunya (Tangdilinting,1981) . Oleh karena
itu menurut kepercayaan ini, manusia harus
4 menyembah, memuja dan memuliakan
Puang
Matua
atau
Sang
Pencipta
diwujudkan dalam berbagai bentuk sikap
hidup dan ungkapan ritual antara lain berupa
sajian, persembahan maupun upacaraupacara. Setelah Puang Matua menurunkan
Aluk kepada Datu La Ukku sebagai manusia
pertama, kemudian memberikan kekuasaan
kepada para Deata atau Dewa untuk
menjaga dan memelihara manusia. Oleh
karena itu Deata disebut pula sebagai
Pemelihara yang menurut ajaran Aluk
Todolo tidak tunggal tetapi di golongan
menjadi tiga yaitu: Deata Langi' (Sang
Pemelihara Langit menguasai seluruh isi
langitdan cakrawala), Deata Kapadanganna
(Sang Pemelihara Bumi, menguasai semua
yang ada di bumi) dan Deata Tangngana
Padang
(Sang
Pemelihara
Tanah,
menguasai isi bumi). Masing-masing
golongan terdiri dari beberapa Deata yang
menguasai bagian-bagian tertentu misalnya
gunung, sungai, hutan dan lain-lain
(Tangdilinting,1981). Selain kepada Deata
dengan kekuasaan masing-masing Puang
Mattua
atau
Sang
Penguasa
juga
memberikan kepercayaan kepada To
MembaliPuang atau Todolo (Leluhur) yang
juga diwajibkan dipuja dan disembah karena
merekalah yang memberi berkah kepada
para keturunannya (Tangdilinting,1981).
Pemujaan kepada ketiga unsur yang
masing-masing berupa kelompok Deata
tersebut, oleh masyarakat penganut Aluk
Todolo diungkapkan dalam bentuk upacaraupacara ritual dengan berbagai sajian,
persembahan atau korban.Persembahan ini
bermacam-macam bentuk, tempat dan
arahnya disesuaikan dengan ketiga unsur
tersebut di atas.
Kepada Para Deata atau Pemelihara,
dipersembahkan babi atau ayam dengan
mengambil tempat di sebelah timur
rumah/Tongkonan dan untuk Tomembali
Puang/Todolo
atau
Leluhur
sebagai
pengawas manusia dipersembahkan babi
atau ayam di sebelah barat Tongkonan atau
di tempat kuburan (Tangdilinting,1981).
Adanya kepercayaan terhadap para
Dewa tersebut terkait dengan pandangan
masyarakat Toraja terhadap tata ruang
jagad raya atau makro kosmos yang
dipandang terdiri dari tiga unsur yaitu: langi'
(sorga), lino atau padang berarti bumi dan
Deata to Kengkok atau Puang to Kebali'bi'
(Dewa Berekor) artinya bagian di bawah
bumi (Tangdilinting,1981).
Kosmologi Toraja
Menurut Tangdilintin (1981), skema
kosmologi
dari
masyarakat
Toraja
digambarkan sebagai berikut: Puang Matua
(Sang Pencipta) di Utara/atas/langit tiga
kelompok
Deata
berada
di
Timur,
Tomembali Puang/Todolo di Barat dan bumi
tempat kehidupan manusia di bawah.
Gambar 2. Kedudukan Oknum Yang Dipuja
Menurut Ajaran Aluk Todolo
(Tangdilinting,1981)
Jowa Imre Kis-Jovak peneliti dari
Belanda, membuat intepretasi kosmologi
dari Aluk Todolo dengan gambaran terlihat
dalam gambar 3.Ulluna Langi digolongkan
ke dalam dunia atas, berada di titik Zenith
atau puncak dari bola langit.Permukaan
bumi dipandang sebagai Dunia Tengah atau
dalam bahasa Toraja disebut Lino sering
pula disebut Padang, terletak pada bidang
potong tengah bola langi' yang berarti
langit.Dalam hal ini langit diartikan udara
atau Puya tempat tinggal jiwa.Di dunia
tengah inilah terdapat kehidupan manusia
termasuk di dalamnya tongkonan.Menurut
interpretasi Kis-Jovak dari hasil penelitian
antropologisnya, dunia tengah dalam hal ini
terletak di sebelah timur Gunung Bamba
Puang dan pohon-pohon palem sebagai
pintu keluar-masuk para Dewa di sebelah
barat ( Kis-Jovak, 1988 dalam Said,2004).
Dunia Bawah terdiri dari PongTulak Padang
dan roh-roh dalam tanah mendukung dunia
5 tengah rumah dan kediaman manusia di
muka bumi.
Menurut Kis-Jovak, di luar sistem bola
langit di sebelah barat terdapat Pongko',
yang dalam mitos merupakan asal orang
Toraja, dibatasi oleh tasik atau laut dengan
ketiga
bagian
dunia
tersebut
di
atas.Cakrawala adalah keseluruhan sebagai
pembungkus dunia tengah dipandang
sebagai palullungan yang artinya atap.
Dunia bawah dipikul oleh Tulakpadang
artinya Ia yang memikul bumi dengan kepala
dan pohon-pohon palem di tangannya. Ia
menjaga keseimbangan dan bermukim 12
tingkat di bawah bumi. Meskipun demikian,
kadang-kadang terjadi ketidak seimbangan
karena Indo' Ongan-ongan istrinya yang
suka bertengkar, mengganggu hingga terjadi
gempa bumi.Dunia bawah dapat dicapai
melalui lobang-lobang belahan dan jurangjurang. "rongga-rongga" dalam perut bumi
ini merupakan suatu ciptaan yang luar biasa,
mengagumkan dan ditakuti manusia ( KisJovak, 1988 dalam Said,2004)
Gambar 3. Pandangan Kosmologi Masyarakat
Toraja Berdasarkan Analisis Jowa Imre KisJovak (Jowa Imre Kis-Jovak,1988 dalam
Said,2004)
Keterangan:
a. Pangko'; b. Tasik (laut); c. Gunung Bamba
Puang; d. Puya (Tanah dari semua yang
berjiwa); e. Padang/lino Dunia Tengah/dunia
manusia; f. Langi’. g. Dunia Bawah; h. Pong
Tulak Padang; i. Roh di dalam bumi. j. Puang
Matua di Zenith atau Ulunna Langi’; k.
Tongkonan.
Rumah Tradisional Toraja
Rumah
tradisional Toraja
yang
mempunyai
fungsi
adat
dinamakan
Tongkonan yang pada saat ini tidak banyak
lagi ditempati sebagai wadah hunian oleh
pemiliknya sendiri, tapi lebih sering
digunakan untuk kebutuhan yang bersifat
publik seperti kegiatan sosial dan tempat
upacara religi bagi rumpun keluarga yang
memilikinya. Hal itu disebabkan karena
salah satu fungsi Tongkonan adalah pusat
tempat penyelenggaraan upacara-upacara
adat seperti pesta adat yang terkenal:
Rambu Tuka' dan Rambu Solo'.
Tongkon artinya duduk, mendapat
akhiran 'an' maka menjadi 'Tongkonan' yang
artinya `tempat duduk'. Maksudnya duduk
bermusyawarah, mendengarkan perintah,
atau menyelesaikan masalah-masalah adat
yang terjadi di masyarakat.Tongkonan juga
merupakan istana raja atau penguasa adat
dan pusat pertalian keluarga.
Rumah tradisional di beberapa daerah
di Asia Tenggara diakui mempunyai banyak
signifikansi.Ruang di dalam rumah yang
merupakan wadah tiga dimensional, tidak
hanya
sebagai
suatu
bagian
yang
membatasi
ruang
dengan
dunia
sekelilingnya secara fisik, tapi juga dalam
arti keberadaannya sebagai ruang yang
merupakan ungkapan simbolik.
Terdapat pengertian yang lebih luas
mengenai konsep dan struktur kosmos,
seperti strata vertikal mengenai `surga'
(dunia atas), `bumi' dan 'dunia bawah', atau
aturan- aturan horizontal yang mengacu
pada `cardinal point' (titik pusat) termasuk
juga catatan mengenai lokasi antara gunung
dan laut. Kesemuanya itu dirangkum dalam
simbolik dan divisualisasikan pada wujud
bagian-bagian
rumah.Konsep
tersebut
selalu memainkan peranan penting pada
pembangunan
sebuah
rumah,
yang
bertujuan untuk menentukan posisi rumahdi
lingkungan
alamnya.Dengan
demikian
rumah merupakan suatu miniatur kosmos
atau dapat disebut gambaran mengenai
mikrokosmos.
6 Gambar 4.Pembagian Zona Tongkonan Berdasarkan Kosmologi Toraja (Said,2004)
Tabel 1. Tinjauan Tongkonansebagai Mikrokosmos berdasarkan Pandangan Kosmologi Toraja
(Struktur Horizontal Tongkonan)
TONGKONAN
LOKASI
• Bagian Utara
• Halaman depan
rumah
FUNGSI
Tempat
bermain anakanak dan
kegiatan bagi
kaum laki-laki
Bagian
Belakang
• Bagian Selatan
• Halaman
belakang rumah
Tempat
menumbuk
padi
Bagian
Kanan
• Bagian Timur
• Halaman
samping rumah
Tempat
bermain anakanak
Bagian Kiri
• Bagian Barat
• Halaman
samping rumah
Tempat
bermain anakanak
Bagian
Depan
KONOTASI/SIMBOLIK
• Ulunna langi’ (kepala langit), sebagai tempat bersemayam
Puang Matua
• Bagian yang dianggap suci, terhormat, mewakili unsur lakilaki
• Tata hadap Tongkonan kea rah utara, sebagai ungkapan
simbolik: penghormatan kepada Puang Matua
• Pollona langi’ (ekor langit)
• Bagian yang dianggap mewakili unsur perempuan
• Tempat bombo’ (setan jahat), membuang kesialan, bagian
yang dianggap kotor
• Areal ritual Aluk Rambu Tuka’
• Rampe mataallo, penjuru tempat terbitnya matahari
• Bagian yang dianggap baik, terang, mendatangkan
kebahagiaan dan kegembiraan.
• Areal ritual Aluk Rambu Solo’
• Tempat para Deata
• Tempat para leluhur atau Tomembali Puang
• Bagian yang dianggap buruk, gelap, tempat kedukaan,
kesedihan
Sumber : Said,2004
Tongkonan
di
Toraja
selalu
menghadap ke arah utam, ke arah ulunna
lino(kepala dunia) menurut pandangan
kosmologi Toraja. Tara hadap Tongkonanitu
merupakan ungkapan simbolik sebagai
penghormatan dan pemuliaan kepada Puang Matua,sang pencipta jagad raga, yang
dipercaya bersemayam di bagian utara,
sehingga penjuru utara tidak boleh
dibelakangi, artinya Tongkonan harus selalu
menghadap ke Puang Matuaagar selalu
mendapat berkah dari-Nya.
Dengan mengacu pada sistem budaya
Toraja, maka tata letak/posisi Tongkonan
menjadi tanda indeks bagi penjuru mata
angin: Utara, Selatan, Timur, dan Barat,
yang sekaligus bermakna simbolik sebagai
penjuru utarna dalam pandangan kosmologi
Toraja.
Oleh karena itu upacara adat untuk
memuja dan memuliakan Puang Matua
dilaksanakan di depan (di bagian utara)
Tongkonan, seperti pada pesta adat dengan
upacara penyembelihan hewan kurban
sebagai
sesajen
dalam
peresmian
pembuatan atau pembaharuan (renovasi)
sebuah
Tongkonan
yang
dinamakan
mangrara banua. Hal ini dimaksudkan
sebagai ungkapan yang memuliakan Puang
Matua dan sekaligus merupakan cara
bersyukur atas berkah-Nya.
Tongkonan
merupakan
rumah
panggung yang berbentuk persegi empat
panjang.Dibuat sebagai rumah panggung,
agar penghuni tidak mudah diganggu
binatang buas maupun musuh. Ditinjau dari
sistem struktur vertikalnya, bangunan
tongkonan terbagi atas tiga bagian utama,
yaitu: (a) bagian kaki (kolong), (b) bagian
badan rumah, dan (c) bagian atas (atap).
7 Gambar 5.a.Tampak depan Tongkonan; b.Tampak potongan Tongkonan (Said,2004)
Tabel 2. Tinjauan Tongkonan sebagai Mikrokosmos berdasarkan Pandangan Kosmologi
Toraja(Struktur Vertikal Tongkonan)
TONGKONAN
BAGIAN
STRUKTUR
Bagian atas
Atas
Bagian tengah
Tengah
Bagian bawah, terdiri
dari tiang-tiang dan
kayu sulur melintang
(roroan) yang
mengikat tiang-tiang
atau sama lainnya
sehingga terbentuk
seperti kurungan
Bawah
FUNGSI
KONOTASI/SIMBOLIK
Atap rumah,
sebagai penutup
seluruh struktur
rumah
Badan rumah
(kale banua),
merupakan
wadah untuk
kegiatan
fuungsional
praktis
penghuni(tidur,
masak,makan)
• Bentuk atap dikonotasikan sebagai metafora
bentuk yang mirip ‘perahu’ atau ‘tanduk kerbau’
• Bahagian yang dianggap suci, terhormat
• Dunia atas: Langi’ (langit), tempat Puang Matua
• Wadah bagi azas-azas hidup manusia untuk
menciptakan kehidupan harmonis.
• Tempat persilangan keempat penjuru mata
angin, dan pertemuan antara ‘dunia atas’
dengan ‘dunia bawah’
• Tempat dihidangkan sajian persembahan
kepada Puang Matua, Deata-Deata, dan
Tomembali Puang
• Dunia Tengah: Lino(bumi)
• Bahagian yang dianggap terendah dan kotor
• Wadah bagi hewan, air, sungai, tanaman, yang
dimanfaatkan oleh manusia dalam menjalani
kehidupan, terutama dalam melaksanakan
upacara adat.
• Tempat Pong Tulakpadang yang dipercaya
mendukung dan member ‘spirit’pada Tongkonan
dan kehidupan manusia di bumi (lino).
• Dunia Bawah
• Kolong rumah
(sulluk banua)
• Konstruksi
penopang rumah
• Dahulu,
dipergunakan
sebagai kandang
hewan
Sumber : Said,2004
• Bagian kaki (kolong) Tongkonan
disebut sulluk banua, yaitu kolong
bangunan rumah yang terbentuk oleh
hubungan antara tiang-tiang dengan sulur
atau roroan. Dahulu berfungsi sebagai
tempat mengurung binatang (kerbau dan
babi) pada malam hari, dan tidak
mempunyai fungsi religius. Tiang-tiang
Tongkonan terbuat ari kayu, biasanya
berbentuk
segi
empat.Penggunaan
pondasi batu alam menunjukkan bahwa
mereka telah berusaha melindungi tiang-
tiang kayu dari air tanah dan mencegah
turunya bangunan karena lunaknya tanah
(Sutedjo, 1982).
Gambar 6. Denah Lantai Bawah Tongkonan
(kolong) (Said,2004)
8 • Bagian badan Tongkonan disebut kale
banua, terdiri atas ruang-ruang yang
berjejer dari utara ke selatan. Ruang di
bagian depan (utara) disebut tangdo’,
berfungsi sebagai ruang istirahat dan
tempat tidur bagi tamu keluarga, sedang
fungsi religiusnya sebagai tempat untuk
melaksanakan
upacara
pengucapan
syukur. Ruang tengah disebut sali’, lebih
luas dan agak rendah dari ruang lainnya,
berfungsi sebagai dapur, tempat makan
dan musyawarah keluarga. Bila ada
orang mati yang sedang dalam proses
pelaksanaan upacara pemakamanya
maka biasanya ditempatkan di ruang ini.
Sedang ruang belakang (selatan) atau
yang
disebut
dengan
sumbung,
dipergunakan untuk tidur oleh anggota
keluarga.
Tabel 3.Tinjauan Struktur Horizontal Badan Tongkonan (Kale Banua) menurutAluk Todolo
TONGKONAN
LOKASI
FUNGSI
• Ruang tidur, terima tamu
Bagian depan, yaitu ruang
Utara • Tempat dihidangkan sajian
depan (tangdo)
persembahan
• Dapur, ruang makan, musyawarah
keluarga.
• Tempat bagi anak menimba
Bagian tengah, yairu ruang
pengetahuan dengan
tengah (sali)
mendengarkan
wejangan,cerita,mitos,legenda,fals
afah dari orang tua
• Tempat tidur bagi anak
perempuan, dan tempat
Bagian belakang,yaitu
Selatan menyimpan pakaian/barang, yaitu
ruang belakang (sumbung)
ruang di bawah atap = rattiang.
•
Bagian samping
• Pada bagian ini ditempatkan:
kanan,yaitu sisi kanan dari
dapur (dapo’),pintu masuk dan
badan Tongkonan
tangga (eran).
pembagian ini ditandai
• Tempat sajian kurban
denga pata’ yaitu kayu
Timur
persembahan dihidangkan pada
melintang dari ruang
upacara Alur Rampe Mataallo
depan ke belakang dan
membagi badan rumah
secara simetris
• Ruang makan dan musyawarah
Bagian samping kiri badan
keluarga
Tongkonan, yaitu bagian
Barat • Tempat sajian kurban
kiri pata’ dari Tongkonan
persembahan dihidangkan pada
upacara Aluk Rampe Matampu
KONOTASI/SIMBOLIK
• Kepala rumah (ulu banua)
• Tempat pemujaan dan persembahan
kepada Puang Matua
• Pusat bumi (lino), dibagian bawah
terdapat a’riri posi’, sedang bagian
atas terdapat petuo
• Ekor rumah (pollo’ banua)
• Dianggap sebagai tempat masuknya
penyakit,sehingga orang sakit
ditempatkan di ruang ini
• Bahagian yang dianggap baik dan
tenang
• Tempat pemujaan dan persembahan
kepada Deata-deata
• Bahagian yang dianggap buruk dan
gelap
• Tempat pemujaan kepada
Tomembali Puang(todolo)
Sumber : Said,2004
Sehubungan
dengan
ritual
yang
dilaksanakan di dalam Tongkonan, menurut
Aluk Todolo, bila dihidangkan sajian upacara
di dalam Tongkonan maka harus mengikuti
arah Timur-Barat. Pada upacara rambu
tuka, sajiannya dihidangkan di bagian timur,
sedangkan sajian untuk upacara rambu solo’
dihidangkan di bagian barat dalam
Tongkonan (Said,2004).
Gambar 7. Pembagian Ruang Kale Banua
Tongkonan (Said,2004)
•
Bagian atas (atap) Tongkonan. Atap
bangunan yang paling tua, terbuat dari
bambu yang dipilah menjadi dua dan
disusun saling tumpang tindih. Sebagian
9 masyarakat Toraja menganggap bentuk
atap Tongkonan adalah abstraksi dari
bentuk ‘perahu’. Hal ini berdasarkan pada
dugaan adanya ikatan budaya ‘perahu’ yang
dibawa oleh leluhur mereka yaitu bentuk
erong yang menyerupai bentuk perahu.
Mereka
ingin
mempertahankan
atau
menggambarkan hal-hal yang berhubungan
dengan
perahu
sebagai
pengakuan
terhadap
warisan
budaya
nenek
moyangnya,
seperti
halnya
dengan
beberapa penulis lain yang menyatakan
bahwa bentuk perahu berpengaruh terhadap
bentuk atap pelana rumah di kawasan
Austronesia
(Roxana,
1990
dalam
Said,2004).
alam raya tersebut termanifestasikan dalam
bentuk pembagian ruang Tongkonan secara
horizontal, dimana utara dikonotasikan
sebagai : kepala,bagian depan,bagian yang
dihormati dan dianggap sebagai tempat
suci, selatan dikonotasikan sebagai :
kaki,bawahan,ekor,pengikut dan tempat
kotor,
timur
dikonotasikan
sebagai
‘kehidupan’,dan dianggap secara kualitas
mewakili: kebahagiaan,terang,kesukaandan
sumber kehidupan, barat merujuk pada
‘kematian’,secara kualitas mewakili unsur
gelap,kedukaan,dan semua hal-hal yang
mendatangkan kesusahan.
Secara vertikal kosmologi Toraja
mengklasifikasikan alam raya berdasarkan
‘pelapisan dunia’ yang terwujud dalam
bangunan Tongkonan dalam bentuk:
• Atap Tongkonan sebagai manifestasi
dari dunia atas
• Badan /dinding Tongkonan sebagai
manifestasi dari dunia tengah
• Kolong Tongkonan sebagai manifestasi
dari dunia bawah
KEPUSTAKAAN
Gambar 8.Atap Tongkonan sebagai abstraksi
dari bentuk perahu (Said,2004)
Sementara itu beberapa tokoh masyarakat
setempat, justru menginterpretasikan garis
dan bentuk atap sebagai gambar bentuk
tanduk kerbau. Hal ini dapat diterima melihat
sosok atau outline atap Tongkonan
mempunyai kemiripan dengan garis dari
bentuk tanduk kerbau, selain itu kerbau
adalah lambang yang berkaitan dengan
kepercayaan mereka terhadap tedong
garanto’eanan artinya: kerbau sebagai
simbol pokok harta benda (Said,2004).
Izarwisma,dkk., 1985, Arsitektur Tradisional
Daerah
Sulawesi
Selatan,
Proyek
Inventarisasi
Kebudayaan
Daerah
Sulawesi Selatan, Depdikbud, Jakarta.
Koentjaraningrat,
1974,
Pengantar
Antropologi, Rineka Cipta, Jakarta
Ilmu
Moerdjoko, 2006, Discourseto The Concept of
Place in The Vernacular Settlement,
Prosiding 3rd International Seminar on
Vernacular Settlement, Jurusan Arsitektur
Universitas Kristen Petra, Surabaya.
Rapoport,A., 1969, House, Form and Culture.
Prentice-Hall,Inc., Engelwood Cliffs, New
Jersey.
Said, A..A., 2004, Simbolisme Unsur Visual
Rumah Tradisional Toraja, Ombak,
Yogyakarta.
Gambar 9. Interpretasi atap Tongkonan dari
bentuk tanduk kerbau (Said,2004)
KESIMPULAN
Kosmologi Toraja mengklasifikasikan
alam raya ini berdasarkan ‘empat arah
mata angin’. Perwujudan pengklasifikasian
Sutedjo, S.B., 1997, Pencerminan Nilai Budaya
dalam Arsitektur di Indonesia, Penerbit
Djambatan, Jakarta.
Tangdilinting,
L.T.,
1981,
Toraja
dan
Kebudayaannya,
Yayasan
Lepongan
Bulan, Tana Toraja.
10
Download