Gereja dan Politik Studi Mengenai Sikap Politik Gereja Toraja

advertisement
BAB IV
ANALISIS
Hubungan Gereja dan Negara (politik) yang telah diuraikan pada Bab sebelumnya,
jika dikaitkan dengan konteks Gereja Toraja memperlihatkan bahwa hubungan keduanya
mencirikan model pemisahan yang ramah (menurut Wogaman). Hal tersebut nampak dalam
sikap politik Gereja Toraja seperti yang telah penulis uraikan pada Bab II, yang dinyatakan
melalui keputusan-keputusan atau sikap politis Gereja Toraja. Hubungan yang terpisah namun
ramah itu, dinyatakan dalam beberapa momentum dimana Gereja Toraja mengambil peran
dalam mengarahkan warganya
secara khusus dan warga masyarakat pada umumnya
(pendidikan politik) dalam menghadapi berbagai dinamika politik yang terjadi di Indonesia
baik pada aras lokal maupun pada aras nasional.
Menururut penulis, hubungan model pemisahan yang ramah tersebut semestinya
dilengkapi dengan model kemitraan yang profetis (menurut Ngelow). Dalam melaksanakan
sikap politiknya Gereja Toraja khususnya terhadap pelaksanaan otonomi daerah, gereja
hendaknya menghidupi
ajaran Yesus yakni mengambil jarak kepada kekuasaan, dan
mengeritik dengan tajam praktek kekuasaan duniawi sambil memperkenalkan pelayanan di
dalam kekuasaan yakni melayani seorang akan yang lain bukan menjadi penguasa (band. Mrk
10:42-45). Gereja Toraja dalam kaitannya dengan peran dalam bidang politik, hendaknya
“Cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati”. Tulus berarti tindakan yang dilandasi dengan
kasih, cerdik berarti strategi untuk mencapai visi dan misi Gereja dalam kehadirannya di
bidang politik. Ketulusan gereja hadir dalam bidang politik, akan mampu menjadi „garam dan
terang dunia” sehingga syalom dapat dirasakan oleh semua orang dan makhluk lainnya.
Sikap politik Gereja Toraja terhadap pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Tana
Toraja, merupakan bukti kesadaran politis yang mulai terbuka pasca reformasi. Kesadaran politis
yang dimaksudkan adalah memandang bidang politik sebagai medan dimana gereja dapat
memperjuangkan nilai-nilai demokrasi demi mencapai masyarakat adil dan makmur. Kesadaran
politis tersebut lahir dari semangat visi Gereja Toraja yaitu “damai sejahtera bagi semua”. Hal
ini juga tidak dapat dipisahkan dari sistem yang dianut oleh Gereja Toraja yakni sistem
presbiterial sinodal. Sistem tersebut memungkinkan jemaat-jemaat dalam lingkungan pelayanan
Gereja Toraja khususnya yang berada dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Tana Toraja
dengan pimpinan para presbiter (pendeta, penatua dan syamas/diaken) mendorong keterlibatan
jemaat di tingkat wilayah pemerintahan masing-masing.
Pada tingkat pemerintahan desa dan keluarahan, maka sangat penting bagi jajaran
presbiter untuk mengatur kehadiran personal warga gereja, terutama dalam lembaga
pemerintahan desa seperti Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Lembaga Pemberdayaan
Masyarakat Desa (LPMD), dan terutama kehadiran warga gereja dalam musyawarah
Perencanaan Pembangunan Desa (Musrembangdes) sebagai awal dari sebuah rencana
pembangunan tingkat desa yang melahirkan APBD Desa , Musrembang Kabupeten/kota yang
melahirkan APBD kabupaten/kota, musrembang provinsi yang melahirkan APBD Provinsi dan
musrembangnas yang melahirkan APBN yang dalam segala prosedur pembahasannya di DPR.
Keterlibatan warga jemaat inilah yang diharapkan mewarnai proses perencanaan pembangunan
dan penyelenggaraan pemerintahan, mulai dari tingkat desa/kelurahan sampai tingkat nasional.
Keterlibatan warga gereja tersebut merupakan bentuk atau sikap politik gereja yaitu bentuk
mempengaruhi etos (menurut Wogaman), dimana gereja mengarahkan sebuah proses politik agar
dapat terlaksana sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Namun menurut analisis penulis hal
tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal oleh Gereja Toraja, sehingga dalam hal proses
politik di kabupaten Tana Toraja belum mencapai tujuan sebagaimana yang dimaksudkan dalam
pelaksanaan otonomi daerah yakni memaksimalkan potesnsi-potensi daerah demi kemajuan dan
kemakmuran masyarakat dalam daerah tersebut. Hal ini nampak dalam beberapa wilayah di
kabupaten Tana Toraja yang masih tergolong daerah terpencil, minimnya sarana dan prasarana
pelayanan publik, misalnya jalan, pelayanan kesehatan dan pendidikan, merupakan bukti
kegagalan Gereja Toraja dalam mengimplementasikan sikap politiknya terhadap proses
pelaksanaan otonomi daerah di kabupaten Tana Toraja.
Selain itu, Gereja Toraja seharusnya menjadikan otonomi daerah sebagai bentuk
mendidik warga gereja tentang isu politik (menurut Wogaman), dimana gereja sebagai lembaga
mengambil peran serta dalam mensosialisasikan undang-undang otonomi daerah, agar warga
jemaat dan masyarakat pada umumnya pun terlibat secara aktif dalam pelaksanaan program
pemerintah, sebagai bagian dari pelaksanaan otonomi daerah. Juga seharusnya gereja mendorong
pemerintah agar mempertimbangkan kearifan lokal untuk mewarnai semangat pelaksanaan
otonomi daerah, karena hakikat dari otonomi daerah adalah memaksimalkan potensi-potensi
daerah termasuk kearifan lokal.
Pelaksanaan otonomi daerah khususnya di Kabupaten Tana Toraja, merupakan moment
dimana Gereja Toraja mendidik warga gereja tentang isu-isu tertentu (menurut Wogaman),
khususnya mengenai nilai-nilai demokrasi yang merupakan jiwa dari pelaksanaan otonomi
daerah. Peran politik gereja yang nampak melalui pendidikan warga gereja terntang isu-isu
tertentu merupakan pengejawantahan dari sikap politik gereja dalam mempengaruhi etos. Oleh
karena itu dalam proses pendidikan atau pemberdayaan warga gereja tersebut, semestinya Gereja
Toraja mendidik warganya maupun masyarakat pada umumnya tentang demokrasi, agar
pelaksanaan otonomi daerah memberi kesempatan seluas-luasnya bagi demokratisasi. Dalam hal
ini demokratisasi dipahami bahwa kepala daerah diangkat dan DPRD dibentuk berdasarkan
mandat dari rakyat daerah, bukan diangkat oleh pemerintah pusat. Demokratisasi juga berarti
bahwa DPRD mampu mengawasi jalannya pemerintahan daerah, tanpa terjebak dalam
manajemen koruptif, serta masyarakat dapat memberikan kontrol, kritik dan koreksi terhadap
proses penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
demokratisasi memerlukan transparansi maupun kepatuhan terhadap hukum yang berlaku. Tanpa
demokratisasi yang dimaksudkan tersebut, maka otonomi daerah hanya melipatgandakan dan
memindahkan otoritarianisme dari pusat ke daerah. Jadi otonomi daerah harus menjadi
kesempatan bagi pemberdayaan fungsi-fungsi pemerintahan daerah dan perlemen lokal dan
sekaligus mendorong terciptanya balance of power antara lembaga-lembaga eksekutif, legislatif,
dan yudikatif. Berkaitan dengan hal tersebut maka Gereja Toraja sebagai bagian dari lembaga
keagamaan diharapkan mampu mendidik warga gereja dan warga masyarakat pada umumnya
tentang pentingnya nilai-nilai demokrasi seperti yang telah diuraikan di atas. Walaupun Gereja
Toraja telah merumuskan demokratisasi dalam kaitannya dengan peran gereja di tengah bangsa
dan Negara, sebagimana tercantum dalam hasil Konsultasi III Pekabaran Injil Gereja Toraja,
namun hal tersebut menurut analisis penulis masih terbatas pemahaman demokrasi secara umum,
belum menggabarkan demokratisasi secara khusus menyangkut otonomi daerah seperti yang
telah diuraikan di atas.
Semantara itu, isu mayoritas dan minoritas masih merupakan sebuah persoalan dalam
Gereja Toraja. Hal tersebut berpengaruh terhadap sikap politik Gereja Toraja terhadap
pelaksanaan otonomi daerah. Pengaruh hal tersebut nampak dalam beberapa penyataan pimpinan
Sinode Gereja Toraja sebagaimana penulis telah paparkan pada Bab III. Persoalan mayoritas dan
minoritas ini, menjelma dalam apa yang disebut oleh Gerrit Singgih sebagai Minority Complex.
Yang dimaksud dengan Minority-complex adalah perasaan menganggap diri kecil sehingga
timbul semacam penyakit “ketakutan sebagai kaum minoritas”. Perasaan seperi ini
mengakibatkan dalam banyak hal pihak gereja mengambil sikap dan posisi sebagai anak manis
terhadap penguasa, dan sebagai golongan minoritas telah menyandarkan diri pada perlindungan
penguasa. Sikap seperti ini menghilangakan daya kritis gereja terhadap pemerintah. Persoalan ini
dapat saja mengubah pola hubungan Gereja dan Negara, sehingga kecenderungan gereja akan
menganut pola asimilasi (menurut Donald Jay Losher). Dengan demikian gereja hanya mampu
menerima segala kebijakan secara pasif tanpa disertai daya kritis dan peran profetis.
Faktor yang menyebabkan sikap politis Gereja Toraja hanya berada pada tataran konsep
yang ideal, tanpa dibarengi dengan langkah-langkah kongkrit adalah warisan teologi dari GZB
yang masih berkembang di kalangan warga gereja pada umumnya, sehingga mereka masih
berpandangan bahwa politik itu kotor, bernuansa kekerasan, bahkan penuh dengan tipu muslihat.
Oleh karena tidak mengherankan jika setiap momentum pesta demokrasi banyak warga yang
bersikap apatis terhadap politik. Warisan teologi yang juga berpengaruh dalam sikap politik
Gereja Toraja adalah warisan teologi kolonial. Seperti diketahui dalam teologi Kristen ada
pemahaman mengenai pemerintah sebagai pelindung. Rasul Paulus yang giat mengabarkan Injil
di dalam imperium Romawi, bisa melihat pemerintah Roma sebagai hamba Allah (Roma 13:17). Tafsiran yang bersifat kolonial seperti ini masih dipertahankan oleh gereja-gereja di
Indonesia khususnya Gereja Toraja. Hal ini menurut analisis penulis, bahwa warisan teologi
semacam inilah yang melatarbelakangi perumusan hubungan Gereja dengan pemerintah yang
tercantum dalam Pengakuan Iman Gereja Toraja sebagaimana yang telah dipaparkan pada Bab
II.
Dalam beberapa kasus, Gereja Toraja memperlihatkan pola hubungan Gereja dan Negara
yaitu pemisahan total (menurut Zakaria J. Ngelow) atau pemisahan ketat ( menurut Losher)
model ini cenderungan untuk berfokus pada ritual agama dan tidak peduli terhadap urusan
politik. Kasus ini muncul pada Kisruh PILKADA di Kabupaten Tana Toraja pada tahun 2010.
PILKADA tersebut diwarnai dengan konflik horizontal, dan BPMS Gereja Toraja sebagai
representasi dari Institusi Gereja Toraja, tidak mengambil sikap dalam mengatasi hal tersebut,
bahkan ada kecenderungan menutup mata terhadap persoalan ini walaupun pada akhirnya Gereja
Toraja mengelurkan surat penggembalaan terkait hal tersebut. Tetapi hal sangat disayangkan
bahwa ketika peristiwa ini berlangsung, Gereja hanya sibuk dengan rutinitasnya yakni dengan
“gembira ria” mengadakan kegiatan pesparawi dalam rangka pekan spiritual. Padahal moment
inilah Gereja Toraja harus menyatakan sikap politiknya secara tegas yakni membela rakyat kecil
yang menjadi korban dari elit-elit politik yang bertikai, Gereja harus berusaha untuk menjadi
mediator dalam penyelesain konflik, dan menyatakan suara profetisnya atas faktor-faktor yang
menyebabkan konflik tersebut dan “mengutuk” dengan tegas para elit-elit politik lokal yang
dengan sengaja menciptakan konflik bagi warga yang berbeda pilihan demi mencapai kekuasaan.
Download