Ekonomi Industri Periklanan

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
Ekonomi Politik
Media
Ekonomi Industri Periklanan
Fakultas
Program Studi
Pasca Sarjana
Magister Ilmu
Komunikasi
Tatap Muka
14
Kode MK
Disusun Oleh
Ponco Budi Sulistyo., S.Sos., M.Comm.,
PhD & Dr (c) Afdal Makkuraga Putra, MM,
M.Si
Abstract
Kompetensi
Modul membahas tentang sejarah
singkat industri periklanan, pasar iklan
kompetisi periklanan, regulasi dan masa
depan industri periklanan.
Mahasiswa mampu menjelaskan
sejarah singkat industri periklanan,
pasar iklan kompetisi periklanan,
regulasi dan masa depan industri
periklanan.
Ekonomi Industri Periklanan
Sejarah Singkat
Bentuk paling awal dari iklan termasuk tanda-tanda (sign) sederhana yang diletakkan
oleh para di atas pintu toko mereka untuk menginformasikan kepada publik tentang apa
yang dijual di dalam. Poster, pamflet, dan selebaran mulai muncul di Inggris setelah
penemuan tipe bergerak di Jerman sekitar tahun 1450. Iklan menjadi bagian dari surat
kabar ketika mereka pertama kali muncul di Inggris pada abad ketujuh belas dan di
Amerika pada awal abad kedelapan belas. Iklan majalah mengikuti pada awal abad
kesembilan belas.
Selama tahun 1700-an Inggris membuat kemajuan besar dalam iklan. Selebaran dan
kartu perdagangan yang umum. Berbagai macam barang yang diiklankan. Misalnya,
salah satu subjek yang paling menarik dari iklan adalah “New World”. Sejarawan telah
berkomentar bahwa poster dan selebaran memuji keajaiban “New World” mungkin telah
mempercepat emigrasi di sana.
Selama abad kedelapan belas iklan dapat ditemukan di koloni Inggris di Amerika.
Praktek itu, beberapa abad abad kemudian, mencapai tingkat yang besar dari perbaikan
dan popularitas di negara baru. Iklan di koloni tersebut, bagaimanapun, pada awalnya
memiliki dampak yang kecil. Sejak Amerika didominasi oleh negara pertanian, banyak
orang hidup dalam isolasi komparatif. Selain itu, iklan yang muncul di surat kabar sering
terbaca dan ditulis dengan buruk.
Perbaikan dalam teknologi pencetakan dan filosofi iklan baru menyebabkan kemajuan di
periklanan AS di kota-kota besar selama 1820-an dan 1830-an. Koran “Penny Press”
New York mulai membuat iklan mereka lebih dimengerti dan dapat diakses oleh
pembaca umum. Akhirnya pada tahun 1848 “New York Herald” mulai mengubah iklan
surat kabar harian. Perluasan ini menciptakan kebutuhan untuk biro iklan.
Biro iklan mulai muncul di Amerika Serikat pada tahun 1840-an. Mereka menjual ruang
di koran dan majalah untuk mendapatkan komisi. Sistem komisi memungkinkan
lembaga untuk mengumpulkan biaya untuk menempatkan iklan di koran tertentu atau
jurnal. Ini menjadi mapan bahwa lembaga yang dikompensasi oleh klien mereka, yaitu,
lembaga diwakili surat kabar dan majalah di mana iklan tersebut muncul. Pada tahun
‘13
2
Ekonomi Politik Media
Ponco Budi Sulistyo., S.Sos., M.Comm., PhD
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
1875 George Rowell, yang memelopori ruang iklan membeli dalam jumlah besar,
mengumumkan bahwa ia akan membalikkan hubungan dan bertindak atas nama
pengiklan. Tak lama kemudian, FW Ayer memperkenalkan pengaturan baru, "kontrak
terbuka," di mana hal yang samar-samar, dan lembaga itu diizinkan untuk mewakili
pengiklan melalui waktu yang tidak terbatas. Ini menciptakan situasi dinamis, hubungan
jangka panjang antara pengiklan dan lembaga yang umumnya sehat bagi industri.
Iklan sebagai industri mulai terbentuk secara formal pada akhir abad ke-19, ketika banyak
agensi iklan berdiri. Sejak itu, iklan memainkan peran yang amat penting dalam industri
media. Banyak industri media yang tergantung pada iklan.
Di Indonesia sejarah periklanan bisa dibagi menjadi sejumlah tahap: awal periklanan
Indonesia (1744-1930-an), melewati masa depresi ekonomi (1930-1942), iklan propadanda
(1942-1945), masa kemerdekaan (1945-1949), uang dan iklan memburu barang (19501972), periklanan Indonesia modern (1966-1972), dan masa ketika Persatuan Perusahaan
Periklanan Indonesia terbentuk (setelah 1972).
Pasar
Iklan merupakan industri pendukung dalam ekonomi media. Industri periklanan bekerja
dalam pasar dengan struktur kompetisi monopolistik. Ada banyak perusahaan atau agensi
iklan tetapi mereka berbeda dalam hal reputasi, tingkat pelayanan, lokasi, kapabilitas, dan
ukuran. Ada perbedaan tarif atau harga, meski struktur tarif atau harga itu relatif sama
dengan industri lain ketika dibandingkan antara industri sejenis.
Tak seperti bisnis lain, struktur harga yang berlaku dalam industri periklanan didasarkan
pada sistem komisi. Klien biasanya membayar komisi 15% untuk setiap media yang
dipasangi iklan produk mereka. Jadi, makin besar klien dan makin ambisius rencana dan
penempatan iklan, makin besar uang yang harus dibayar.
Iklan punya dua terget mendasar. Pertama, adalah khalayak konsumen (consumer
audience) yang menjadi sasaran iklan melalui berbagai tipe media. Kedua, perusahaan
barang dan jasa yang menggunakan iklan untuk menjalin komunikasi dengan konsumen
yang mengunsumsi barang dan jasa mereka serta konsumen yang potensial akan
mengonsumsi barang dan jasa mereka.
‘13
3
Ekonomi Politik Media
Ponco Budi Sulistyo., S.Sos., M.Comm., PhD
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Pengiklan
Berdasarkan data dari eMarketer yang dirilis pada bulan maret 2011, diperkirakan di
Amerika, pada kurun waktu 2009-2015, pengiklan menghabiskan lebih dari 100 miliar dolar
AS untuk menjangkau public. Jumlah tersebut tidak termasuk miliaran dolar untuk
perencanaan, produksi, dan distribusi iklan dan off-air radio serta media digital.
Table 1. Daftar Belanja Iklan di Amerika Serikat Berdasarkan Media, Tahun 2009 -2015
Tabel 2. Daftar Belanja Iklan 10 Perusahaan Terbesar di Amerika Serikat Tahun 2013
‘13
4
Ekonomi Politik Media
Ponco Budi Sulistyo., S.Sos., M.Comm., PhD
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Di Indonesia, laporan dari perusahaan periset pasar, Nielsen tahun 2013 menyebutkan,
belanja iklan media pada semester pertama tahun ini di Indonesia telah meningkat sekitar
Rp 10,3 triliun. Dari Rp 40,9 triliun menjadi Rp 51,2 triliun atau meningkat 25 persen
dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Beberapa kategori besar yang memperlihatkan pertumbuhan cukup besar di seluruh bentuk
media (TV, surat kabar, dan majalah), di antaranya iklan kopi dan teh. Dua produk itu
mengalami pertumbuhan belanja iklan sebesar 136 persen menjadi Rp 1,6 triliun. Lalu diikuti
iklan mie instan 66 persen menjadi Rp 1 triliun dan iklan partai politik serta pemerintah turut
naik 56 persen menjadi Rp 2,7 triliun.
Khusus iklan produk kopi dan teh, Nielsen menyoroti, pertumbuhan belanja iklan produk
tersebut dialokasikan ke media televisi dari 98 persen total belanja iklannya. Sebanyak 37
persen iklan mereka ditempatkan pada jam tayang utama, antara pukul 18.00 hingga 22.00.
Sementara itu, 27 persennya dialokasikan ke program series seperti sinetron dan 22 persen
di program hiburan. Bahkan porsi iklan kopi dan teh di program penayangan film, telah
tumbuh 177 persen dari tahun lalu. Adapun beberapa merek ternama yang paling besar
‘13
5
Ekonomi Politik Media
Ponco Budi Sulistyo., S.Sos., M.Comm., PhD
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
belanja iklan iklannya yakni Top Coffee Rp 204 miliar atau naik 190 pesen, diikuti dua merek
baru yakni Ayam Merak Rp 161 miliar dan Kopiko White Coffe sebesar Rp 105 milyar.
Persentase belanja iklan terbesar masih di televisi yang berjumlah 68 persen dari total
belanja iklan media. Jumlah ini lebih besar dibandingkan tahun lalu yang sebesar 64 persen,
di antaranya karena naiknya belanja iklan pada beberapa kategori besar, seperti Produk
Perawatan Rambut yang naik 21 persen menjadi Rp 2,2 triliun, Telekomunikasi yang
bertambah 20 persen (Rp 1,6 triliun), Kopi dan Teh yang lebih banyak 144 persen (Rp 1,6
triliun) dan Rokok Kretek yang naik 53 persen (Rp 1,6 triliun)
Sebaliknya, persentase belanja iklan di surat kabar dan majalah malah berkurang, masingmasing menjadi 30 persen dan 2 persen. Adapun kategori produk yang mengurangi belanja
iklannya di media cetak, di antaranya produk ibu dan bayi, turun 39 persen menjadi Rp 1,3
milyar di surat kabar dan 34 persen menjadi Rp 6,7 miliar di majalah atau tabloid. “Seiring
dengan berkurangnya belanja iklan kategori tersebut di media cetak, belanja iklannya di TV
malah bertambah 52 persen menjadi Rp 549 miliar.
Kendati porsi belanja iklan beberapa produk tertentu di surat kabar berkurang, tetapi secara
keseluruhan malah naik 15 persen dari periode sama tahun lalu sebesar 15 persen menjadi
Rp 15,5 triliun. Seperti halnya media televisi, belanja iklan untuk kategori pemerintah dan
partai politik di surat kabar turut mendominasi dengan pertumbuhan 72 persen menjadi Rp 2
milyar (www.jagatreview.com, 26 Agustus 2013).
‘13
6
Ekonomi Politik Media
Ponco Budi Sulistyo., S.Sos., M.Comm., PhD
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Khalayak
Apakah khalayak mengonsumsi iklan. Di televisi, misalnya, ketika break iklan, rating
merosot. Apalagi, khalayak acap memandang iklan sebagai pemicu perilaku konsumtif.
Khalayak lain menganggap iklan tidak menyampaikan informasi yang sebenarnya tentang
suatu produk.
Suatu penelitian menyebutkan 54 persen orang Amerika tidak mempedulikan iklan; 56
persen mengatakan mereka menghindari membeli produk yang mengiklankan diri secara
masif; 69 persen mengatakan mereka tertarik pada produk yang tidak mengiklankan diri
(Yankelovich Marketing Receptivity Studi 2006 seperti dikutip Baran, 2008). Di Indonesia,
suatu penelitian menyebutkan efektivitas iklan di media hanya 20 persen.
Martin Lindstrom, konsultan merek kelas dunia, dalam buku Brand Sense (2005),
memaparkan, di Amerika selama lima tahun pertama abad ini biaya iklan naik 8 persen tiap
tahun, rata-rata tiap konsumen terpapar iklan lebih banyak 9 persen tiap tahun di televisi,
tetapi yang bisa mereka ingat sangat sedikit. Menurut Lindstrom, bila pada 1965 rata-rata
konsumen bisa mengingat 34 persen iklan yang ditayangkan televisi, pada tahun 1990, ratarata konsumen hanya bisa mengingat 8 persen. (Kompas, 15 Februari 2009)
Namun, pengiklan berpendapat iklan penting sebagai informasi bagi khalayak. Khalayak
menggunakan iklan untuk mengumpulkan informasi sebelum memutuskan membeli produk,
barang, atau jasa. Oleh karena itu, biro iklan dituntut membuat iklan semenarik mungkin
untuk memancing khalayak menonton, membaca, atau melihat iklan sehingga pada
gilirannya khalayak membeli produk yang diiklankan.
Khalayak mengonsumsi iklan melalui media. Hubungan khalayak, media dan iklan bisa
dilihat secara teoretis-kuantitatif dan praktis-kualitatif.
Secara teoretis-kuantitatif, hubungan khalayak, media, dan iklan bisa dirumuskan sebagai
berikut:
 Makin besar khalayak suatu media, makin banyak iklan dipasang di media itu.
 Makin murah harga berlangganan media, makin banyak khalayak, dan makin banyak
iklan.
 Jika suatu media bisa dikonsumsi secara gratis, TV siaran misalnya, maka makin
besar khalayak, dan makin besar pula iklan.
 Untuk media cetak, penurunan harga langganan, membuat tarif iklan makin mahal.
Sebagai contoh The Times: penurunan harga berlangganan dari 45p menjadi 30p
menyebabkan kenaikan 10% tarif iklan untuk media tersebut.
‘13
7
Ekonomi Politik Media
Ponco Budi Sulistyo., S.Sos., M.Comm., PhD
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Secara praktis-kualitatif, hubungan khalayak, media, dan iklan bisa dirumuskan sebagai
berikut:
 Pemasang iklan mulai memperhitungkan image media.
 Pemasang iklan mulai mempertimbangkan kualitas khalayak: tingkat pendidikan,
pendapatan, status sosial-ekonomi.
Iklan dan Media
Tidak semua industri media tergantung pada iklan. Film, musik, dan buku merupakan
industri media yang tak tergantung pada iklan. Koran bisa hidup tanpa iklan selama dua
hingga tiga abad, demikian pula majalah. Majalah Reader’s Digest sejak pertama terbit
tahun 1922 hingga 1955 hidup tanpa iklan, dan hanya mengandalkan pelanggan. TV publik,
seperti BBC, tidak menayangkan iklan.
Di sisi lain, pengiklan seringkali mempengaruhi isi media. Pengiklan tak jarang mengancam
akan menarik iklan dari satu media jika media tersebut memberitakan hal-hal buruk tentang
pengiklan. Survey yang dilakukan oleh Soley dan Craig (1992) terhadap para editor
suratkabar AS menemukan bahwa 90% mengalami tekanan dari pengiklan untuk mengubah
laporan atau editorial mereka.
Tetapi kenyataannya, banyak media yang tidak bisa hidup tanpa iklan. Televisi siaran di
Indonesia, misalnya, sepenuhnya dibiayai iklan. Di Indonesia, 60 persen penghasilan
suratkabar diperoleh dari iklan.
Pengiklan menganggap media punya pengaruh yang berneda-beda terhadap efektivitas
iklan. Suatu survei di Amerika menunjukkan 82 persen pengiklan menganggap televisi
sebagai media paling berpengaruh, 67 persen menyebut surat kabar sebagai media paling
persuasif, 49 persen menilai majalah sebagai media paling otoritatif, dan 80 persen menilai
internet sebagai media paling menyenangkan (Baran, 2008).
Di Indonesia, televisi juga menjadi media favorit beriklan. Bahkan alokasi belanja iklan untuk
televisi meningkat dari tahun ke tahun.
‘13
8
Ekonomi Politik Media
Ponco Budi Sulistyo., S.Sos., M.Comm., PhD
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Sumber: Kementerian Komunikasi dan Informatika, Direktorat Jenderal penyelenggaraan Pos dan
Informatika, Direktorat Penyiaran. Data Statistik Bidang Penyiaran.
Agensi Iklan
Dunia periklanan melahirkan agensi atau biro iklan. Pengiklan memasang iklan di media
melalui agensi atau biro iklan profesional. Di Amerika terdapat sekitar 6.000 agensi iklan
yang mempekerjakan sekitar 500 ribu orang. Sejumlah agensi memperoleh keuntungan 1
juta dolar AS setiap tahun.
Banyak agensi yang memproduksi iklan serta membeli ruang atau slot iklan di berbagai
media. Agensi memperoleh ongkos produksi iklan dari pengiklan. Agensi biasanya
memperoleh konpensasi berupa komisi, biasanya sebesar 15 persen, dari media tempat
agensi membeli ruang atau slot iklan.
Di Indonesia terdapat sejumlah pemain utama atau agensi iklan dalam industri periklanan.
Tiga pemain utama dalam industri periklanan adalah Matari Advertising, Lowe Indonesia,
dan Dwi Sapta Advertising.
Matari Advertising didirikan oleh (almarhum) Ken t. Sudarto dan Paul Karmadi. Perusahaan
periklanan ini diakui sebagai pemain lokal terbesar dan merupakan biro iklan papan atas
dalam industri periklanan di Indonesia. Klien yang pernah bekerjasama dengan Matari
Advertising antara lain Bogasasi, Honda, Konimex, teh Botol Sosro, Garuda dan Telkom.
‘13
9
Ekonomi Politik Media
Ponco Budi Sulistyo., S.Sos., M.Comm., PhD
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Lowe Indonesia merupakan perusahaan periklanan multinasional dengan 90 kantor
perwakilan yang tersebar di seluruh dunia. Lowe menjadi salah satu dari 10 perusahaan
periklanan terbesar di dunia. Kliennya antara lain Unilever, Mead Johnson, Hyundai,
Johnson & Johnson, Sampoerna, ProXL, dan Bank Niaga.
Dwi Sapta Adveritsing yang berdiri pada 1981 merupakan perusahaan periklanan yang
berciri integrated advertising. Dwi Sapta menempati urutan ke-13 top agency Persatuan
Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) serta termasuk 10 top agency di stasiun televisi.
Kliennya antara lain Adem Sari, Soffek, Djarum 76, Tolak Angin, dan Vegeta.
Perusahaan Periklanan semakin banyak ditemui di Indonesia seiring berkembangnya
teknologi dan era globalisasi yang sangat padat akan perputaran bisnis. Perusahaan
periklanan dituntut untuk berfikir cepat, pintar, inovatif, dan kreatif agar klien yang sedang
ditangani merasa puas dan agency akan mendapat berbagai keuntungan dari karya-karyanya. Inilah 5 advertising agency terbesar di Indonesia: (fortuneindo.com, 8 Juni 2014)
1. Lowe Indonesia
Lowe & Partners Worldwide yang dibawahi The Interpublic Group of Companies, Inc ini
adalah salah satu agency terbesar di Indonesia untuk lebih dari 25 tahun dan sekarang
mempunyai 250 karyawan yang siap melayani klien-kliennya. Dengan mengusung
filosofiPopulist Creativity, Lowe Indonesia sudah dikenali sebagai FMCG Expert di
bidang Social Re-Engineering yang memiliki ketentuan nilai ide yang tinggi dan strategi
keefektifan dalam hubungan antara kliennya.
2. PT Fortune Indonesia Tbk
Perusahaan periklanan nasional PT Fortune Indonesia Tbk, yang sudah malangmelintang di dunia periklanan selama lebih dari 40 tahun yang menangani multinasional
dan brand lokal ini, siap menyajikan suguhan iklan yang satu paket dan sesuai dengan
yang diinginkan oleh klien-kliennya. Dan perusahaan periklanan ini telah menjadi
perusahaan periklanan Indonesia pertama yang masuk kedalam bursa efek serta
menjadi salah satu pemain yang memegang kunci dari integrasi komunikasi dalam
bidang-bidangnya.
3. Leo Burnett Group Indonesia
Leo Burnett Indonesia telah menjadi salah satu perusahaan periklanan terbesar ke 4 di
dunia dan menjadi salah satu perusahaan periklanan terbesar di Indonesia pula. Dengan
filosfi The Apple Story yang membuat perusahaan periklanan ini menjadi sebesar ini.
Leo Burnett mempunyai directory yang menjanjikan yaitu Advertising, Digital, Social
‘13
10
Ekonomi Politik Media
Ponco Budi Sulistyo., S.Sos., M.Comm., PhD
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Media, Content and Innovation, Shopper and Retail Marketing, Direct Marketing,
Activation, Reputation Management.
4. McCann Worldwide Indonesia
McCann Worldwide telah masuk menjadi 10 besar perusahaan periklanan di dunia.
McCann ternyata juga menjadi salah satu perusahaan periklanan pertama yang menjadi
partner dari perusahaan periklanan Indonesia pada 1970an. Dengan semangat Truth
We Told-nya McCann menunjukkan di Indonesia mereka dapat pula bersaing dengan
perusahaan periklanan multinasional maupun lokal.
5. Grey Worldwide Indonesia
Grey adalah 10 besar perusahaan periklanan terbesar di dunia yang juga menduduki
posisi yang sama di Indonesia. Grey Indonesia menyuguhkan karya-karyanya dengan
proses kerja yang kreatif, dan memproduksi hasil kerja yang berkualitas agar dapat
membantu klien-kliennya. Sumber: P3I Pusat Jakarta.
Regulasi
Regulasi dalam industri periklanan antara lain diberlakukan untuk menghindari dampak
negatif iklan. Di Indonesia, misalnya, ada regulasi yang membolehkan penayangan iklan
rokok di televisi mulai pukul 21.30 untuk menghindari pengaruh iklan rokok tersebut pada
anak-anak. Regulasi seperti ini diatur dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Sensor juga berlaku pada iklan yang akan ditayangkan di televisi
Di Amerika regulator yang mengatur periklanan adalah federal Trade Commission (FTC).
FTC memutuskan apakah suatu iklan menipu, berbohong, atau curang. Pada gerakan
deregulasi tahun 1980, FTC mengubah peran dari lembaga yang memutuskan apakah suatu
iklan menipu atau tidak menjadi lembaga yang mengatur dan menindak keluhan terhadap
iklan yang menipu.
Masa Depan
Di masa mendatang masyarakat makin kritis terhadap iklan. Industri periklanan dituntut
makin kreatif dalam mengemas iklan. Industri periklanan harus menjalin hubungan dengan
konsumen secara intensif. Industri periklanan juga tak boleh lagi hanya mempertimbangkan
sisi kuantitatif (jumlah penonton atau pembaca) dalam memasang iklan di media, melainkan
juga sisi kualitatif (citra media, karakteristik khalayak).
‘13
11
Ekonomi Politik Media
Ponco Budi Sulistyo., S.Sos., M.Comm., PhD
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Regulasi di masa depan kadang menganggu kreativitas orang iklan. Di Indonesia, misalnya,
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 25/PER/M.KOMINFO/5/2007 yang
mengharuskan penggunaan sumber daya dalam negeri untuk produk iklan yang disiarkan
melalui lembaga penyiaran.
Industri periklanan juga harus mengantisipasi perkembangan teknologi. Internet atau media
online serta konvergensinya menjadi saranan yang ampuh untuk beriklan.
Belanja iklan dunia memang cenderung meningkat. Namun, krisis keuangan bisa
menghambat peningkatan belanja iklan. Tetapi, di masa krisis, perusahaan semestinya tidak
berhenti beriklan, melainkan hanya selektif beriklan. Media online bisa menjadi sarana yang
murah namun efektif untuk beriklan di masa krisis
Daftar Pustaka
Albarian, Alan B, Media Economics: Understanding Markets, Industries, and Concept, Iowa:
Iowa State University Press, 1996.
Alexander, Alison et.al (ed), Media Economics: Theories and Practice, New Jersey:
Lawrence Erlbaum Associates Publishers, 1998.
Dimmick dan Rothenbuhler, The Theory of Niche: Quantifing Competition among Media
Industry, Jurnal of Communication, Winter 1984.
Kansong, Usman. Ekonomi Media : Pengantar Konsep dan Aplikasi. Jakarta: Ghalia
Indonesia. 2009.
‘13
12
Ekonomi Politik Media
Ponco Budi Sulistyo., S.Sos., M.Comm., PhD
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download