II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah

advertisement
4
II.
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah Perkembangan Kota Bogor
Perkembangan tata ruang Kota Bogor dibagi dalam tiga fase, yaitu
masa Pajajaran (1482-1579), masa pemerintahan Belanda (1684-1942), dan
masa kemerdekaan (1945-sekarang). Pada masa Pajajaran adalah fase pertama
perkembangan Kota Bogor, dimana posisi Pakuan sebagai pusat Kerajaan
Pajajaran ditandai dengan benteng berupa tebing-tebing sungai yang terjal,
berfungsi sebagai pertahanan dan batasan Pakuan (Sarilestari, 2009).
Fase kedua sejarah perkembangan Kota Bogor yaitu masa pemerintahan
Belanda. Perkembangan fisik Kota Bogor pada masa pemerintahan Belanda
terdiri dari dua periode. Periode pertama (1684-1808) dimulai sejak
dibangunnya Bogor yang belum memiliki ciri dan sifat kekotaan. Periode kedua
(1808-1942) dimulai sejak Bogor sudah memiliki ciri dan sifat kekotaan. Pada
periode pertama masa pemerintahan Belanda, tepatnya pada tanggal 28 Oktober
1763, dikeluarkan akta resmi pembentukan Kabupaten Buitenzorg. Sekitar tahun
1770, Sukahati mulai dikenal dengan sebutan Empang, dan diresmikan pada
tahun 1815 (Haan 1912, diacu dalam
Sarilestari 2009). Pemindahan pusat
pemerintahan membuat kawasan tersebut menjadi ramai, sehingga muncul pasar
yang sekarang dikenal dengan nama Pasar Bogor. Sedangkan pada periode
kedua masa pemerintahan Belanda yaitu tepatnya ketika masa pemerintahan
Gubernur Jendral Inggris, Buitenzorg ditetapkan sebagai pusat administrasi
keresidenan yang membawahi Kabupaten Buitenzorg, Cianjur, dan Sukabumi.
Pada tahun 1941, Buitenzorg secara resmi terlepas dari Batavia dan mendapat
otonominya sendiri (Sarilestari 2009).
Pada fase ketiga yaitu pada Masa Kemerdekaan, pemerintahan di Kota Bogor
(Gemeente Buitenzorg) setelah pengakuan Kedaulatan Negara Republik Indonesia,
diubah namanya menjadi Kota Besar Bogor yang dibentuk berdasarkan Undangundang Nomor 16 Tahun 1950. Selanjutnya, pada tahun 1957 nama pemerintahan
tersebut berubah menjadi Kota Praja Bogor sesuai dengan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1957 (Pemerintahan Kota Bogor 2008, diacu dalam Sarilestari 2009). Pada
periode kedua Masa Kemerdekaan, Kotamadya Bogor dibagi terdiri atas 5 kecamatan
5
(Pemerintahan Daerah Tingkat II Kotamadya Bogor 1976, diacu dalam Sarilestari
2009), yaitu:
1. Kecamatan Bogor Utara
Meliputi lingkungan Bantarjati, Babakan, dan Tanah Sareal.
2. Kecamatan Bogor Barat
Meliputi lingkungan Ciwaringin, Panaragan, Menteng, dan Kebon Kelapa
3. Kecamatan Bogor Selatan
Meliputi lingkungan Batutulis, Bondongan, dan Empang
4. Kecamatan Bogor Timur
Meliputi lingkungan Sukasari, Babakan Pasar, dan Baranag Siang
5. Kecamatan Bogor Tengah
Meliputi lingkungan Pabaton, Paledang, dan Gudang.
Luas wilayah Kotamadya Bogor pada periode ini adalah 2.156 Ha dan memiliki
kawasan terbangun seluas 1.855,603 Ha.
Kondisi perkotaan pada periode ketiga masa Kemerdekaan dimulai dari
tahun 1995- sekarang. Sejak tahun 1995 Kotamadya Daerah Tingkat II Bogor
mengalami perluasan yang awalnya hanya 2.156 Ha menjadi 11.850 Ha. Dengan
diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, nama Kotamadya Daerah Tingkat II Bogor diubah menjadi Kota Bogor.
Kondisi Kota Bogor saat ini dibagi dalam 6 Kecamatan, yaitu Bogor Barat,
Bogor Utara, Bogor Tengah, Bogor Selatan, Bogor Timur dan Tanah Sareal.
2.2
Konsep Garden City dalam Pembangunan Buitenzorg
Garden city merupakan konsep yang dikembangkan oleh Ebenezer
Howard pada tahun 1898 sebagai usulan pemecahan terhadap masalah-masalah
perencanaan kota akibat Revolusi Industri. Ebenezer Howard (1850-1928)
dalam bukunya yang berjudul To-Morrow: A Peaceful Path to Real Reform
(1989) mengemukakan mengenai konsep Garden City. Howard secara luas
mempelajari dan berfikir dalam mengenai permasalahan sosial, sehingga
menciptakan suatu kota baru dengan ukuran yang kecil, terencana, dan
dikelilingi oleh permanent belt berupa lahan pertanian. Konsep Garden City
berdasarkan Ebenezer Howard dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3.
6
Gambar 2 Konsep Garden City yang Dikemukakan oleh Ebenezer Howard
(Sumber: Sarilestari, 2009)
Gambar 3 Bagian dari Kota yang Mendeskripsikan Konsep Garden City Lebih
Detail
(Sumber: Sarilestari, 2009)
Menurut Sarilestari (2009), berdasarkan kriteria Howard (1898),
identifikasi Garden City di Buitenzorg menggunakan kriteria ukuran, struktur,
7
elemen, sistem ruang terbuka, system jalur hijau, dan Permanent Belt of
Agriculture. Buitenzorg (Kota Bogor Masa Pemerintahan Belanda) seluas 1.350
Ha memiliki konsep kota yang dikembangkan oleh Ebenezer Howard pada tahun
1898. Garden city tersebut berupa Paleis Gouverment Generaal/ Istana Bogor
dan ‘Slands Plantentuin/ Kebun Raya seluas 90 Ha dibangun di pusat
Buitenzorg dan berpola radial (Groote weg/ Jalan Ir. H. Juanda) dengan 3 buah
boulevard (Pabaton weg/ Jalan Jendral Sudirman/ Dantammer weg/ Jalan
Kapten Muslihat, dan Handels straat weg/ Jalan Surya Kencana) dengan lebar
18 meter melintang kota.
Menurut konsep Garden City, Buitenzorg terbagi ke dalam 5 zona, yaitu
(Gambar 4):
1. Zona I sebagai pusat kota
2. Zona II sebagai zona pemukiman
3. Zona III sebagai zona fasilitas umum/ fasilitas publik
4. Zona IV sebagai sub urban
5. Zona V sebagai pertanian
Zona tersebut terbentuk karena masing-masing memiliki peruntukan dan
fungsi yang berbeda-beda. Hal tersebut dilakukan agar sistem pada kota tersebut
menjadi lebih teratur dan mempermudah pengelolaan dan akses satu sama lain.
Pada zona I sebagai pusat kota, terdiri dari ruang terbuka berupa taman seluas 90
Ha, yaitu Istana Bogor beserta halamannya dan Kebun Raya Bogor. Selain
komplek istana beserta halamannya dan kebun raya, di pusat kota juga terdapat
bangunan-bangunan publik besar, seperti balaikota, perkantoran, museum, hotel,
bioskop, bangunan militer dan rumah sakit. Namun ada beberapa dari elemenelemen tersebut tidak berada di pusat kota. Hal tersebut dapat terjadi akibat
dipengaruhi sistem politik Pemerintahan Belanda pada saat itu dan kondisi
lingkungan yang dipengaruhi oleh sungai dan perbedaan topografi yang tinggi.
8
Gambar 4 Konsep Garden City Buitenzorg
(Sumber: Sarilestari, 2009)
Pada zona II yang merupakan kawasan permukiman pada masa itu. Zona
ini terbentuk akibat adanya aturan mengenai permukiman, yaitu Wijkenstelsel.
Aturan tersebut dibuat berdasarkan sebaran etnis dan kelas yang berada di
Buitenzorg pada masa itu. Pada zona ini terdapat empat ragam permukiman yang
9
berbeda-beda, baik dari
arsitekturnya maupun desainnya. Permukiman-
permukiman tersebut, yaitu permukiman Eropa, permukiman Cina, permukiman
Arab, dan permukiman Pribumi. Permukiman Eropa dihuni oleh orang Belanda,
bangsa kulit putih sebagai warga utama dan terhormat. Mereka mendapat daerah
kelas 1 yang memiliki pemandangan yang indah. Rumah Belanda bertipe besar
dan luas untuk kaum elite banyak terdapat di tepi jalan utama, sedangkan rumah
yang lebih kecil untuk tingkatan karyawan atau pengusaha biasanya tersebar di
jalan sekunder (Sopandi 2003, diacu dalam Sarilestari 2009). Rumah-rumah
tersebut masih ada yang kondisinya bertahan baik hingga saat ini, walau beberapa
diantaranya sudah berubah fungsi menjadi bangunan komersial.
Pada kawasan permukiman Cina dihuni oleh bangsa berkulit kuning
(orang-orang Tionghoa). Menurut Sarilestari (2009), pecinan pada dasarnya
terbentuk oleh dua faktor, yaitu faktor politik berupa aturan Pemerintah Belanda,
yaitu Wijkenstelsel dan faktor sosial berupa keinginan masyarakat tionghoa sendiri
untuk hidup berkelompok karena adanya perasaan aman dan saling membantu.
Dahulu kawasan pecinan ini bernama Handelstraat Weg atau Jalan Perniagaan,
dimana kawasan ini merupakan sentra ekonomi kota. Adapun masyarakat
Tionghoa tersebut menbagi hunian berdasarkan kelas sosial, yaitu (Sopandi 2003,
diacu dalam Sarilestari 2009):
1. Golongan elit cenderung menghuni bagian selatan. Rumah
mereka
menggunakan ragam bentuk bangunan Belanda dan menghuni rumah tipe vila,
mencirikan hidup yang kebarat-baratan.
2. Golongan pedagang berkumpul di sekitar Pasar Bogor.
3. Golongan bawah menghuni ruko sewa dan rumah petak di balik ruko.
Keberadaan bangunan-bangunan yang berada di kawasan ini masih
sesuai dengan bentuk penataan aslinya, namun kondisi bangunannya, baik yang
berupa permukiman, maupun ruko-ruko banyak yang tidak terawat bahkan
dibiarkan hingga hancur. Bentuk-bentuk bangunannya sudah banyak yang
berubah menjadi bentuk modern sehingga karakter bentuk arsitektur pecinan
sudah tidak asli. Hal tersebut akibat seiring perkembangan kebijakan
pengembangan ruang kota.
10
Pada masa pemerintah kolonial Belanda, pada awal abad ke-19, imigran
dari Hadralmaut berdatangan ke nusantara. Para imigran tersebut oleh pemerintah
Belanda ditempatkan dalam perkampungan khusus. Perkampungan tersebut
dikenal dengan Perkampungan Arab. Kampung tersebut berada di wilayah
Empang dan merupakan kampung Arab satu-satunya dan dikhususkan bagi etnis
keturunan Arab. Kawasan ini kemudian berkembang sebagai konsentrasi
permukiman Arab dan pribumi. Kawasan ini tumbuh pesat sebagai kawasan
komersial dan perdagangan yang unik (Sopandi 2003, diacu dalam Sarilestari
2009). Kaum pribumi sebagai kaum terendah pada masa itu, membuat Pemerintah
Belanda menempatkan kaum pribumi sebagai bangsa kelas IV yang mendiami
pelosok desa. Pola struktur ruang kaum pribumi tidak tertata dengan baik dan
berada di daerah dekat aliran sungai. Bangunan-bangunan di kawasan ini memiliki
arsitektur jawa.
Zona III pada konsep Garden City di Kota Bogor ini merupakan zona
fasilitas umum yang terdiri dari sekolah dan gereja. Zona ini tidak memiliki
batasan yang jelas, sehingga elemen-elemen pembentuk zona ini berada di zona I
dan zona II. Zona IV merupakan zona terluar kota yang terdiri dari pabrik, pasar,
lahan kayu, dan perkebunan. Elemen-elemen pada zona ini berada di depan
wilayah jalur kereta api yang mengelilingi seluruh kota. Zona terakhir, yaitu zona
V merupakan bagian luar kota yang dimanfaatkan sebagai lahan pertanian.
Konsep Garden City yang diduga merupakan konsep awal pembentukan
Kota Bogor, lambat laun mulai berubah bila melihat kondisi Kota Bogor dari
masa ke masa. Hal ini dapat dilihat dari berubahnya pusat kota dari masa ke masa.
Pada awalnya, yaitu masa penjajahan kolonial, konsep ini memiliki pusat kota di
Istana Bogor. Namun lambat laun sesuai perkembangan zaman, dimana Indonesia
sudah merdeka, Kota Bogor mengalami penambahan luas wilayah dan menurut
data dari Bappeda, pusat Kota Bogor berubah menjadi di Balaikota Bogor, sebagai
pusat pemerintahan Kota Bogor.
Pada bagian zona II yang merupakan zona permukiman sebagian besar
penggunaannya masih bertahan hingga saat ini. Etnis-etnis tertentu, seperti Cina
dan Arab masih mendiami wilayah-wilayah mereka masing-masing dari dulu
hingga kini. Ketika Indonesia merdeka, wilayah-wilayah yang dulu didiami oleh
11
bangsa Eropa, telah didiami oleh bangsa pribumi hingga saat ini. Meskipun
demikian, peninggalan-peninggalan Bangsa Eropa masih ada yang bertahan
hingga saat ini, baik dalam kondisi yang baik maupun sudah dalam kondisi yang
rusak atau mengalami sedikit perubahan, karena pengaruh zaman. Zona-zona
lainnya seperti zona fasilitas, sub urban, dan pertanian, sebagian besar sudah
berubah fungsi, terutama pada zona pertanian. Sebagian besar zona tersebut, saat
ini berubah menjadi area-area permukiman dan komersial.
2.3
Kebun Raya Bogor
Kebun Raya Bogor terletak di tengah-tengah Kota Bogor, tepatnya di
Kelurahan Paledang, Kecamatan Bogor Tengah. Kebun Raya ini didirikan pada
tanggal 18 Mei 1817 dengan nama ‘s Land Plantentuin te Buitenzorg.
Menurut Sarilestari (2009), Kebun Raya Bogor pada mulanya
merupakan bagian dari samida (hutan buatan/ taman buatan) yang sudah ada
sejak pemerintahan Sri Paduga Maharaja (Prabu Siliwangi, 1474 – 1513) dari
kerajaan Pajajaran. Fungsi dari KRB tersebut adalah untuk menjaga kelestarian
lingkungan sebagai tempat benih kayu langka.
Pada mulanya kebun tersebut hanya akan digunakan sebagai kebun
percobaan bagi tanaman perkebunan yang akan diperkenalkan ke HindiaBelanda (saat ini Indonesia). Namun pada perkembangannya juga digunakan
sebagai wadah penelitian ilmuwan sejak tahun 1880 – 1905. Kebun Raya Bogor
ini merupakan cikal bakal dari lembaga-lembaga penelitian yang ada di
Indonesia maupun di dunia internasional1 .
Pada awalnya, Kebun Raya Bogor hanya merupakan suatu bagian dari
halaman Istana Bogor, dimana pada masa itu, Istana Bogor merupakan bangunan
pertama yang dibangun pada masa kolonial, sebagai tempat peristirahatan
Gubernur Jendral Belanda (Gambar 5). Lambat laun, Kebun Raya Bogor
mengalami perubahan luasan sedikit demi sedikit, dari hanya suatu bagian
halaman istana menjadi suatu area penelitian yang sangat penting.
1)
Hasil wawancara dengan Bapak M. Nashar pada tanggal 9 Juni 2011.
12
Gambar 5 Komplek Istana Bogor pada Tahun 1809
(Sumber: Johannes Widodo, 2012)
Perkembangan Kebun Raya dimulai dari awal pembentukannya, yaitu
pada tahun 1817 hingga tahun 1927. Pada awalnya, yaitu tahun 1817, Kebun Raya
Bogor luasnya hanya sebatas Sungai Ciliwung, dapat dilihat pada Gambar 6,
dimana Kebun Raya Bogor dan Istana Bogor sebagai satu kesatuan.
13
Gambar 6 Bentuk Awal Kebun Raya Bogor
(Sumber: Koleksi Bapak M.Nashar, Bogor 100, 2011)
Saat ini Kebun Raya Bogor merupakan sebuah kebun penelitian besar
yang luasnya mencapai 87 Ha. Namun karena perkembangan Kota Bogor dari
masa ke masa, saat ini KRB memiliki luas 84 Ha, karena beberapa aset yang
dilepas dari kepengurusan KRB. KRB dan Istana Bogor merupakan satu
kesatuan lanskap walaupun kepengurusannya berbeda. KRB oleh LIPI dan
Istana Bogor oleh Kesekertariatan Negara1 . Berikut perkembangan Kebun Raya
Bogor dapat dilihat pada Gambar 7.
1)
Hasil wawancara dengan Bapak M. Nashar pada tanggal 9 Juni 2011.
14
Gambar 7 Perkembangan Kebun Raya Bogor
(Sumber: Johannes Widodo, 2012)
2.4 Pelestarian Lanskap Sejarah
Lanskap menurut Simonds dan Starke (2006), merupakan suatu bentang
alam yang memiliki karakteristik tertentu yang dapat dinikmati keberadaannya
melalui seluruh indera yang dimiliki manusia. Menurut Harris dan Dinnes
(1998), lanskap sejarah (historical landscape), secara sederhana dapat
dinyatakan sebagai bentukan lanskap tempo dulu (landscape of the past),
merupakan bagian dari suatu lanskap budaya yang memiliki dimensi waktu di
dalamnya. Lanskap sejarah ini dapat merupakan suatu bukti fisik dari
keberadaan manusia di atas bumi. Sedangkan menurut Nurisjah dan Pramukanto
(2001), lanskap sejarah merupakan bagian dari suatu bentuk lanskap budaya
15
yang memiliki dimensi waktu. Waktu yang tertera atau tercemin dalam suatu
lanskap sejarah, yang membedakan designed landscape lainnya adalah
keterkaitan pembentukan essential character dari lanskap ini pada waktu/
periode yang lalu yang didasarkan pada system periodikal yang khusus (seperti
sistem politik, ekonomi, dan sosial). Karena itu lanskap sejarah akan memainkan
peranan
penting
dalam
mendasari
dan
membentuk
berbagai
tradisi
cultural/budaya, ideologikal dan etnikal satu kelompok masyarakat.
Lanskap sejarah juga dapat dinyatakan sebagai suatu kawasan geografis
yang merupakan obyek atau susunan (setting) atas suatu kejadian atau peristiwa
interaksi yang bersejarah dalam keberadaan dan kehidupan manusia. Dalam
kenyataan umum dijumpai, setiap lanskap dapat dinyatakan sebagai lanskap
sejarah karena bentukan lanskap ini merefleksikan makna sejarah dari suatu
periode atau waktu tertentu. Hal ini merefleksikan perbedaan dalam rasa,
teknologi, dan berbagai kebutuhan masyarakat dalam periode yang berbeda di
masa lampau termasuk perbedaan antar wilayah.
Pelestarian lanskap sejarah dapat didefinisikan sebagai usaha manusia
untuk memproteksi atau melindungi peninggalan atau sisa-sisa budaya dan
sejarah terdahulu yang bernilai dari berbagai perubahan yang negatif atau yang
merusak keberadaannya atau nilai yang dimilikinya. Pelestarian suatu benda dan
juga suatu kawasan yang bernilai budaya dan sejarah ini, pada hakekatnya bukan
untuk melestarikannya tetapi terutama untuk menjadi alat dalam mengolah
transformasi dan revitalisasi dari kawasan tersebut (Nurisjah dan Pramukanto
2001).
Pelestarian lanskap sejarah dapat memberikan suatu kaitan simbolis
antara peristiwa-peristiwa terdahulu dengan peristiwa-peristiwa yang ada
sekarang dalam kehidupan (Attoe 1988). Secara spesifik, pelestarian yang
dilakukan pada lanskap sejarah adalah suatu usaha untuk melindungi nilai-nilai
warisan (heritage values) atau peninggalan budaya dan masa lampau terhadap
berbagai perubahan, dampak negatif atau segala sesuatu yang membahayakan
keberadaan dan kelestarian dalam suatu area dan lingkungan tertentu (Nurisjah
dan Pramukanto 2001).
16
Menurut Goodchild (1990), tindakan pelestarian yang dapat diterapkan
pada suatu kawasan atau bagiannya, terdiri dari satu atau campuran dari beberapa
tindakan dengan kombinasi yang berbeda. Beberapa tindakan pelestarian tersebut
antara lain :
1. Rekontruksi, yaitu mengembalikan keadaan suatu obyek atau tempat yan
pernah ada, tetapi sebagian besar telah hilang atau sama sekali hilang.
2. Preservasi, yaitu menjaga suatu obyek pada kondisi yang ada, dengan
mencegah kerusakan dan perubahan.
3. Pemberian informasi, sebagai pedoman atau saran kepada pengelola, penghuni,
dan pihak yang terkait, seperti pemerintah.
4. Meningkatkan pengelolaan dan perawatan pada tapak.
5. Perbaikan obyek, yaitu memperbaiki obyek yang telah rusak atau keadaannya
telah memburuk dengan tidak merubah karakter atau keutuhan obyek.
6. Meningkatkan karakter sejarah pada tapak melalui tindakan perbaikan,
rekonstruksi, atau pembuatan desain baru berdasarkan nilai sejarah.
7. Stabilitas dan konsolidasi, yaitu memperbaiki dan menyelamatkan obyek dari
segi struktur tanpa mengubah atau dengan perubahan yang minimal pada
penampakan dan keutuhan sejarahnya.
8. Memperbaiki karakter estetis dari tapak melalui tindakan perbaikan,
pembaharuan, rekonstruksi, atau desain baru berdasarkan nilai sejarah.
9. Adaptasi atau revitalisasi, yaitu menyesuaikan suatu obyek pada suatu kawasan
untuk keadaan atau penggunaan baru yang sesuai, yang dilakukan dengan
pemahaman yang mendalam terhadap karakter sejarah yang dimiliki obyek,
sehingga karakter dan keutuhan kawasan asli dapat tetap terpelihara.
17
Lalu Harris dan Dines (1988) mengemukakan beberapa bentuk tindakan
pelestarian lanskap sejarah yang umum, dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Tindakan Pelestarian Kawasan Bersejarah (Harris dan Dinnes 1988)
No
1
2
Pendekatan
Preservasi
Konservasi
Definisi
Mempertahankan tapak
seperti kondisi awal tanpa
melakukan penambahan
maupun merusaknya
Mencegah bertambahnya
kerusakan pada tapak atau
elemen tapak
Implikasi
 Intervensi (campur tangan)
rendah, melindungi lanskap
sejarah tanpa perusakan
 Tanpa membedakan
perkembangan tapak
 Melindungi lanskap bersejarah,
terkadang melibatkan sedikit
penambahan atau pergantian
 Pemakaian teknologi dan
3
Rehabilitasi
Meningkatkan standar
modern dengan tetap
memperkenalkan dan
mempertahankan karakter
sejarah
adanya pengujian secara
keilmuan
 Terbatasnya penelitian
mengenai sejarah untuk
mengetahui elemen yang sesuai
 Adanya kesatuan antara elemen
sejarah dan modern
 Melibatkan tingginya tingkat
intervensi, sehingga semakin
menghilangkan lanskap sejarah
4
Restorasi
Mengembalikan seperti
kondisi awal (tempo dulu)
sebisa mungkin
 Mengembangkan penelitian


5
Rekonstruksi
Menciptakan kembali
seperti kondisi awal,
dimana tapak (eksisting)
sudah tidak lagi bertahan



6
Rekonstitusi
Menempatkan atau
mengembalikan periode
(waktu), skala,
penggunaan, dan lainnya
yang sesuai

kesejarahan secara luas dan
tepat
Pada umumnya melibatkan
tingkat intervensi yang tinggi
Penggantian konstruksi dan
desain
Melakukan penelitian mengenai
sejarah dan arkeologi untuk
memperoleh ketepatan
Mengembangkan desain,
elemen, dan artifak apabila
diperlukan
Mempertimbangkan tapak
museum yang sesuai
Memperluas penelitian
kesejarahan untuk
mempertahankan karakter dan
pola yang akan dikembangkan
18
Pelestarian pada elemen-elemen sejarah, terutama pada bangunanbangunan arsitekturnya, memiliki kriteria wajah bangunannya masing-masing.
Berikut ini merupakan elemen-elemen yang biasanya terdapat di bangunanbangunan kolonial. Elemen-elemen penting dalam suatu bangunan secara umum
adalah pintu, jendela, dinding, atap, dan sun shading/luifel. Adapula elemen
lainnya sebagai pendukung bangunan berasitektural kolonial (Kier 2001, diacu
dalam Antariksa 2010), yaitu
1. Gable/gavel, berada pada bagian tampak bangunan, biasanya berbentuk
segitiga yang mengikuti bentuk atap. Berikut contoh-contoh bentuk gable
bergaya kolonial dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8 Variasi Bentuk Gable
(Sumber: Handinoto 1996 diacu dalam Samsudi 2000)
2. Menara/tower, variasi bentuknya beragam, mulai dari bulat, kotak atau segi
empat ramping, segi enam, atau bentuk-bentuk geometris lainnya, dan ada juga
yang dipadukan dengan gevel.
3. Dormer, berfungsi untuk penghawaan dan pencahayaan (Gambar 9).
Gambar 9 Ragam Bentuk Dormer yang Biasa Digunakan dalam Arsitektur
Kolonial
(Sumber: Handinoto 1996 diacu dalam Samsudi 2000)
19
4. Tympannon/Tadah
angin, merupakan
lambang
masa
prakristen
yang
diwujudkan dalam bentuk pohon hayat, kepala kuda, atau roda matahari.
Lambang masa kristen diwujudkan pada penggunaan bentukan-bentukan salib
dan hati.
5. Ballustrade, merupakan pagar yang biasanya terbuat dari beton cor yang
digunakan sebagai pagar pembatas balkon, atau dek bangunan.
6. Bouvenlicht/Lubang ventilasi, berfungsi untuk mengalirkan udara dari luar ke
dalam bangunan, dan sebaliknya.
7. Penunjuk angin, merupakan ornamen yang diletakkan di atas nok atap.
Ornamen ini berfungsi sebagai penunjuk arah angin.
8. Nok Acroterie (hiasan puncak atap), terletak di bagian puncak atap. Di
Indonesia, ornamen ini dibuat dari bahan beton atau semen.
9. Geveltoppen (hiasan puncak atap depan)
 Voorschot, berbentuk segitiga dan terletak di bagian depan rumah. Biasanya
dihias dengan papan kayu yang dipasang vertikal, dan memiliki makna
simbolik.
 Oelebord/oelenbret, berupa papan kayu berukir, digambarkan sebagai dua
angsa yang bertolak belakang yang bermakna pembawa sinar terang atau
pemilik wilayah. Selain angsa, pada bangunan indis seringkali simbol angsa
digantikan bentuk pohon kalpa;
 Makelaar, papan kayu berukir yang ditempel secara vertikal, dan
diwujudkan seperti pohon palem atau manusia.
10. Ragam hias pada tubuh bangunan, biasanya berupa:

Hiasan/ornamen ikal sulur tumbuhan yang berujung tanduk kambing;

Hiasan pada lubang angin diatas pintu dan jendela;

Hiasan pada kolom,ada tiga jenis kolom yang terkenal pada bangunan
kolonial, yaitu kolom doric, ionic, dan cornithian. Kolom-kolom ini
banyak ditemukan pada bangunan kolonial klasik dengan gaya Yunani
atau Romawi. Kolom biasanya diekspose sedemikian rupa, terutama pada
bagian serambi bangunan kolonial.
20
Selain daripada diatas, arsitektur kolonial juga khas dengan menggunakan konsol
(penyangga atap tritisan). Berikut bentuk beberapa elemen vernakular pada
bangunan arsitektur Belanda dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10 Beberapa Macam Elemen Arsitektur Vernakular Pada Bangunan
Arsitektur Kolonial
(Sumber: Handinoto 1996 diacu dalam Samsudi 2000)
2.5 Pentingnya Zona Penyangga
Zona penyangga (Buffer Zone) merupakan alat penting untuk
megkonservasi
suatu tapak dari pengaruh yang ada. Perlindungan dari
lingkungan sekitar merupakan strategi penting dari sebuah konservasi. Suatu
zona penyangga dimaksudkan untuk melindungi suatu situs atau tapak dari
pengaruh negatif. Dengan kata lain zona penyangga ini mungkin secara
universal tidak memiliki nilai tertentu. Namun dapat memberi pengaruh pada
tapak atau warisan dunia tersebut. Hal penting dari suatu lingkungan terhadap
objek tersebut harus benar-benar dipahami agar mendapatkan suatu parameter
yang cocok serta langkah-langkahnya sehingga dapat menentukan suatu zona
penyangga (UNESCO, 2009).
Menurut Goodchild (1990), konservasi merupakan suatu tindakan
manajemen yang bertanggung jawab, informatif, dan merawat sumber daya yang
berharga. Tujuan dasar dibalik konservasi warisan budaya adalah untuk
melindungi, mempertahankan dan meningkatkan sumber daya budaya.
Pada tahun 1972, UNESCO mengumumkan bahwa dikenal ada dua
macam warisan dunia, yaitu warisan alami dan warisan budaya. Oleh karena itu
lanskap sejarah dianggap sebagai suatu bagian dari warisan budaya. Namun tidak
terdapat alasan yang jelas mengapa lanskap sejarah masuk ke dalam bagian
warisan budaya (Goodchild, 1990).
21
Menurut Goodchild (1990), ada beberapa alasan mengapa suatu lanskap
sejarah harus dikonservasi, hal tersebut dikarenakan:
1.
Lanskap sejarah merupakan bagian dan kesatuan dari suatu warisan budaya.
Keberadaannya membantu dalam menentukan suatu asal usul warisan
budaya. Hal tersebut dapat menjadi poin referensi untuk dipahami dan
memberikan suatu pengalaman yang signifikan dan aktual bahkan ketika
kondisi lanskap sejarah tersebut tidak dalam kondisi yang prima.
2.
Lanskap sejarah memberikan suatu bukti fisik dan arkeologi dari sejarah
suatu warisan budaya.
3.
Berkontribusi dalam keberlanjutan perkembangan kehidupan budaya karena
lanskap tersebut ada dan dapat dikunjungi, didiskusikan, dan dipelajari.
Lanskap tersebut merupakan suatu unsur aktif bagi kehidupan saat ini dan
masa yang akan datang.
4.
Berkontribusi terhadap keberagaman suatu ketersediaan pengalaman.
5.
Memberikan kemusahan publik, tempat dimana orang-orang dapat santai,
mengembalikan semangat, dan menenangkan diri mereka atau mencari suatu
insprirasi.
6.
Mereka dapat menjadi aspek pentik bagi perekonomian sebagai suatu fasilitas
umum karena dapat menghasilkan dan mendukung pariwisata.
Dalam Brazil (2005), tujuan utama dari zona penyangga adalah untuk
melindungi keadaan visual dari sebuah situs warisan dunia, khususnya dengan
memberikan pertimbangan khusus untuk aplikasi perencanaan yang diajukan
untuk pengembangan di dalamnya. Adapun prinsip yang dapat menjadi panduan
dalam menentukan suatu zona penyangga menurut Brazil (2005), yaitu:
1.
Zona penyangga tersebut dapat melindungi view dari dalam dan luar tapak,
2.
Zona tersebut dapat melindungi hubungan aspek kesejarahan dan fisik dengan
tapaknya dari dampak,
3.
Pertimbangan yang sesuai sehingga memberikan dampak positif bagi
keberadaan dan karakter tapak tersebut dengan nilai-nilai yang ada.
Download