Rencana penataan lanskap permukiman tradisional kampung Kuin

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Permukimam Tradisional
Menurut Aryaoka (2009) rumah-rumah membentuk suatu pola perumahan
yang menempati suatu wilayah yang disebut permukiman. Masing-masing
permukiman mempunyai konsep yang berbeda-beda mulai dari aturan tentang
kehidupan, aturan tata ruang, sistem kepercayaan, dan lain-lain yang kesemuanya
ini mereka yakini dan diwarisi secara turun-temurun sehingga menjadi suatu
tradisi. Bertitik tolak dari tradisi tersebut muncullah sistem hunian yang disebut
rumah atau pemukiman tradisional.
Secara umum konsep kehidupan yang menjunjung tradisi atau bersifat
tradisional adalah keterbukaan, kekerabatan dan kepercayaan yang bersifat
religius. Mulai dari lingkungan terkecil yaitu keluarga, antar keluarga (tetangga),
dan kumpulan keluarga (warga). Keterbukaan diwujudkan dalam sedikitnya
bahkan tidak adanya batas-batas antar rumah. Bila ada, temboknya sangat rendah.
Ini untuk memudahkan mereka berinteraksi dengan rumah di sebelahnya.
Kekerabatan diwujudkan dengan adanya ruang-ruang bersama seperti dalam
lingkup keluarga ada ruang keluarga, atau dalam lingkup yang lebih luas lagi yaitu
adanya tempat pertemuan antar warga, pemandian umum, pasar, dan lain-lain.
Kepercayaan yang bersifat religius diwujudkan dengan adanya aturan-aturan tata
ruang dan tempat suci bersama (Aryaoka, 2009).
Menurut Rowe dan Kotter (dalam Priyatmono, 2006) ketinggian bangunan
di kawasan tradisional relatif rendah dan hampir mempunyai ketinggian sama
antara satu dengan yang lainnya, perkecualian di beberapa bangunan umum dan
peribadatan mempunyai massa yang lebih tinggi dan menonjol. Sebagai contoh,
Pola perkampungan suku Banjar umumnya mengelompok padat. Desa-desa pada
umumnya memanjang, yakni di sepanjang jalan raya dan sungai-sungai
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983).
Menurut Budiarjo (dalam Adriana, 1992) lingkungan permukiman harus
memenuhi persyaratan antara lain: tidak terganggu oleh polusi udara, tersedia air
bersih, memberi kemungkinan untuk berkembang, mempunyai aksesibilitas yang
baik, mudah dan aman mencapai tempat kerja, tidak di bawah air. Lingkungan
7
fisik di kota yang sedang mengalami pertumbuhan adalah memaksimumkan
struktur dan meminimumkan ruang terbuka. Selain teknis atau fisik, permukiman
berkaitan pula dengan dimensi sosial budaya, sumber daya lokal dan selera
masyarakat yang kesemuanya akan membentuk situasi apakah masyarakat akan
berperan serta atau tidak.
Arsitektur Tradisional Banjar
Menurut Idwar Saleh (dalam Wikipedia, 2009) rumah tradisional Banjar
adalah tipe-tipe rumah khas Banjar dengan gaya dan ukirannya sendiri mulai
sebelum tahun 1871 sampai tahun 1935. Umumnya rumah tradisional Banjar
dibangun dengan beranjung (ba-anjung) yaitu sayap bangunan yang menjorok dari
samping kanan dan kiri bangunan utama karena itu disebut Rumah Baanjung.
Anjung merupakan ciri khas rumah tradisional Banjar, walaupun ada pula
beberapa tipe Rumah Banjar yang tidak beranjung. Tipe rumah yang paling
bernilai tinggi adalah Rumah Bubungan Tinggi yang biasanya dipakai untuk
bangunan keraton (Dalam Sultan). Jadi nilainya sama dengan rumah joglo di Jawa
yang dipakai sebagai keraton.
Menurut Seman dan Irhamna (2001), Arsitektur Banjar, adalah arsitektur
tradisional yang memiliki karakter;
1. Bangunan dalam konstruksi bahan kayu, karena alam Kalimantan kaya akan
hutan, sementara pada saat itu belum dikenal adanya semen.
2. Rumah panggung, yaitu bangunan yang didukung oleh sejumlah tiang dan
tongkat yang tinggi dari kayu ulin (Kayu besi = Eusyderoxylon zwageri).
Menurut istilah orang Banjar, yang dimaksud dengan tiang adalah balok ulin
yang bertumpu pada dasar tanah dengan pondasi, sepanjang sampai ke
pangkal atap. Sedangkan tongkat yang bertumpu pada dasar tanah hanya
sampai dasar lantai saja.
3. Bangunan bersifat simetris, yaitu dengan konstruksi dan elemen yang sama
pada sayap kiri dan kanan, dengan demikian jumlah jendela sama banyaknya
pada sisi kiri dan kanan bangunan rumah.
4. Sebagian bangunan memiliki anjungan pada samping kiri dan kanan dengan
posisi agak ke belakang. Anjung Kiwa dan Anjung Kanan dikenal dengan
8
istilah konstruksi Pisang Sasikat. Masing-masing anjung memiliki sebuah
jendela pada sisi dinding bagian depan.
5. Atap rumah yang dipergunakan dari atap sirap yang dibuat dari kayu ulin atau
kayu besi. Ada pula bangunan rumah yang menggunakan atap daun rumbia
yang bahannya terbuat dari daun pohon sagu. Konstruksi bubungan terdapat
dalam bentuk Atap Pelana dan Atap Sengkuap
6. Hanya memiliki dua buah tangga yaitu Tangga Hadapan dan Tangga
Balakang. Tangga yang dibuat dari kayu ulin tersebut memiliki anak tangga
yang berjumlah ganjil. Pada periode berikutnya terdapat tangga hadapan
kembar dengan arah ke samping kiri dan kanan dalam posisi yang simetris.
7. Pintu (Banjar; Lawang) yang menghubungkan keluar atau masuk ke rumah
hanya terdapat dua buah, yaitu Lawang Hadapan dan Lawang Belakang.
Posisi kedua pintu tersebut terletak seimbang di tengah (depan dan belakamg)
karena bangunan yang simetris.
8. Adanya Tawing Halat (dinding pembatas) yang terletak membatasi antara
Penampik Besar dan Palidangan. Pada sisi kiri dan kanan Tawing Halat
terdapat pintu kembar dua dalam posisi yang sama dan seimbang.
Selanjutnya menurut Seman dan Irhamna (2001) delapan ciri bangunan
yang diutarakan di atas merupakan ciri tradisional dari bangunan adat Banjar di
Kalimantan Selatan yang tercatat dalam 11 tipe. Kesebelas tipe tersebut adalah
sebagai berikut.
Bubungan Tinggi, sebagai bangunan istana Sultan
Banjar Tipe ini merupakan arsitektur tertua yang
mengandung sejarah dalam kerajaan Banjar. Bentuk
bubungan
tinggi
yang
melancip
ke
atas,
menyebabkan bangunan ini dinamakan Bubungan
Gambar 2. Rumah Tipe
Bubungan Tinggi
Tinggi
9
Balai Bini, merupakan bangunan bagi para putri atau
keluarga raja pihak wanita. Rumah ini memiliki atap
dengan bagian depan tipe limas dan beranjung.
Gambar 3. Rumah Tipe
Balai Bini
Gajah Baliku, merupakan bangunan hunian bagi
para saudara Raja Banjar. Memiliki bubungan
tinggi, tetapi atap Sindang Langit (atap sengkuap)
berubah menjadi atap pelana dan memiliki anjungan
Gambar 4. Rumah Tipe
Gajah Baliku
Palimasan, suatu bangunan bagi bendaharawan
kesultanan Banjar, karena dikenal sebagai wadah
emas dan perak. Bentuk bubungan depan seperti
limas menyebabkan rumah ini dinamakan Palimasan
tetapi tidak memiliki anjungan
Gambar 5. Rumah Tipe
Palimasan
Balai Laki, Sebagai tempat hunian para punggawa
mentri dan prajurit pengawal Sultan Banjar.
Bangunan ini memiliki atap pelana dengan ujung
depan yang tajam serta ujung yang agak kecil
Gambar 6. Rumah Tipe
Balai Laki
10
Gajah Manyusu, sebagai bangunan kediaman bagi
para warit raja yaitu keturunan para gusti. Bangunan
ini tidak memiliki bubungan yang tinggi, tetapi
memiliki anjungan.
Gambar 7. Rumah Tipe
Gajah Manyusu
Palimbangan, merupakan bangunan pada periode
berikutnya sebagai hunian para pemuka agama dan
ulama serta saudagar. Bangunan ini sama besarnya
dengan Palimasan dan tidak memiliki anjungan.
Gambar 8. Rumah Tipe
Palimbangan
Tadah Alas, merupakan bangunan bagi rakyat banjar
pada periode berikutnya. Bangunan ini memiliki
atap tumpang yang membedakan dengan bangunan
yang lain dan memiliki anjungan
Gambar 9. Rumah Tipe
Tadah Alas
Lanting adalah bangunan rumah yang terapung di
pinggiran Sungai Martapura, tempat tinggal khusus
orang
Banjar
di
sepanjang
batang
banyu.
Bangunannya kecil dan sederhana, bertumpu pada
batang-batang besar sebagai pelampung.
Gambar 10. Rumah Tipe
Lanting
11
Cacak Burung atau Anjung Surung adalah rumah
bagi rakyat Banjar pada umumnya. Cacak Burung
adalah istilah Bahasa Banjar untuk tanda tambah.
Denah bangunan ini persis dengan tanda tambah,
kedua ujung kiri kanannya seperti bertumpang di
atas badan rumah.
Gambar 11. Rumah Tipe
Cacak Burung
Joglo adalah bangunan hunian bagi para Tionghoa di
Banjarmasin. Bangunan rumah yang besar ini
berfungsi pula sebagai gudang barang dagangan,
karena mereka pada umumnya adalah pedagang
Gambar 12. Rumah Tipe
Joglo
Lanskap Sungai
Menurut Simonds (dalam Nurisyah dan Pramukanto, 2004) lanskap
merupakan bentangan alam yang memiliki karakteristik tertentu yang dapat
dinikmati keberadaannya melalui seluruh indra yang dimiliki manusia. Nurisyah
dan Azis (dalam Adriana, 1992) menyatakan bahwa berdasarkan campur tangan
manusia, lanskap dapat berbentuk (1) Lanskap alami seperti lanskap pegunungan,
rawa, sungai, riverscape; (2) Lanskap buatan seperti lanskap kota (urbanscape),
lanskap permukiman penduduk kota, lingkungan pabrik dan (3) Perpaduan
harmonis antara lanskap alami dan buatan seperti suatu lanskap pedesaan dengan
permukiman manusia, terasering persawahan padi dengan pondok pelepas lelah
dan sebagainya.
Sungai merupakan salah satu bentukan lanskap yang menjadi tempat
mengalirnya air yang berasal dari air hujan pada suatu alur yang panjang di atas
permukaan bumi, dan merupakan salah satu badan air lotik yang utama. Sungai
mempunyai peranan yang sangat besar bagi perkembangan peradaban manusia di
dunia ini, yakni dengan menyediakan banyak daerah subur yang umumnya
12
terletak di bagian lembahnya, sumber air sebagai salah satu elemen kehidupan
manusia yang paling utama, dan sebagai sarana transportasi guna meningkatkan
mobilitas dan komunikasi antar manusia (Nurisyah dan Pramukanto, 2004).
Dalam perjalanan air dari mata airnya di bagian hulu yang umumnya
terletak di daerah pegunungan menuju ke hilir yang terletak di daerah yang lebih
rendah atau dataran, aliran sungai secara lambat laun akan bersatu dengan
beberapa sungai lain hingga pada akhirnya badan sungai menjadi besar. Sungai
yang memiliki daerah aliran yang panjang dan volume air terbesar disebut sebagai
sungai utama, dan cabang-cabangnya disebut anak sungai (Nurisyah dan
Pramukanto, 2004).
Menurut Malanson (dalam Aini, 2005) lanskap sungai adalah kawasan
yang berada di sepanjang aliran sungai dengan segala kehidupan dan elemen yang
ada termasuk struktur dan fungsi yang ada di dalam lingkungan tersebut. Menurut
Syahril (dalam Aini, 2005) lanskap sungai tidak terlepas dengan Daerah Aliran
Sungai (DAS) yang menjadi induknya. Daerah Aliran Sungai diartikan sebagai
suatu ruang wilayah atau kawasan yang dibatasi oleh topografi pemisah
(punggung bukit) yang berfungsi sebagai daerah resapan air hujan atau daerah
yang menampung, menyimpan dan mengalirkan air hujan yang jatuh di atasnya,
baik dalam bentuk aliran permukaan, aliran bawah permukaan, dan aliran bawah
tanah melalui sistem jaringan sungai dan bermuara ke danau atau ke lautan.
Menurut Bapedalda pada Keppres Nomor 32 Tahun 1990 dan PP No. 47
Tahun 1997 yang menetapkan lebar sempadan pada sungai besar diluar
permukiman minimal 100 meter (m) dan pada anak sungai besar minimal 50 m di
kedua sisinya. Untuk daerah permukiman, lebar bantaran adalah sekedar cukup
untuk jalan inspeksi 10-15 meter. PP No 47 tahun 1997 juga menetapkan bahwa
lebar sempadan sungai bertanggul di luar daerah permukiman adalah lebih dari 5
meter sepanjang kaki tanggul. Sedang lebar sempadan sungai yang tidak
bertanggul di luar permukiman dan lebar sempadan sungai bertanggul dan tidak
bertanggul di daerah permukiman, ditetapkan berdasarkan pertimbangan teknis
dan sosial ekonomis oleh pejabat berwenang. Gambar 2 merupakan gambar cara
menentukan lebar sempadan sungai.
13
Gambar 13. Tipe Umum Sungai dan Penentuan Lebar Daerah Sempadan Sungai
(Sumber: http://bapedal-jatim.info)
Permukiman Tepi Sungai
Tata ruang kota merupakan hal yang sangat penting dalam melakukan
pembangunan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pendirian bangunan yang tidak
sesuai dengan kondisi lingkungan kota sangat berpengaruh terhadap tata air.
Akibat adanya pengurukan kawasan sungai menyebabkan kemampuan kawasan
sungai sebagai kawasan penyangga yang mampu menyerap air di musim hujan
dan mendistribusikannya kembali di musim kemarau menjadi rusak. (Walhi,
2004)
Menurut Evert (dalam Aini, 2005) perumahan di pinggir sungai
merupakan cerminan adanya keterbatasan lahan kota sehingga tidak semua
masyarakat dapat menikmati fasilitas yang memadai dan dapat tinggal di lahan
yang sesuai. Masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar tepian sungai
merupakan masyarakat yang seeara struktural sudah tidak dapat lagi diwadahi
sehingga walaupun lahan yang mereka tempati kondisinya tidak landai. Area tepi
sungai tersebut dihuni (Guinness dalam Aini, 2005).
Menurut Putri (2008) permasalahan di permukiman tepian sungai selain
aturan yang menghendaki adanya penetapan lebar garis sempadannya,
permasalahan infrastruktur permukimannya pun lebih kompleks. Antara lain
ketersediaan lahan lebih terbatas, tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, tingkat
hunian yang tinggi, menurunnya kualitas struktur hunian, proses erosi yang
semakin melebar, serta kondisi atau pelayanan infrastruktur dasar yang buruk,
seperti halnya jaringan jalan, jaringan air bersih, jaringan saluran pembuangan air
limbah dan tempat pembuangan sampah untuk kesehatan lingkungan, jaringan
14
saluran air hujan untuk pematusan (drainase) serta pencegahan pasang/banjir
setempat dan pendangkalan sungai (erosi).
Perumahan tepian sungai sebagai salah satu pemukiman spontan terbentuk
dari kondisi awal fisik bangunan yang terlihat relatif sangat sederhana. Kondisi
awal terbentuknya permukiman spontan cenderung merupakan suatu lingkungan
hunian yang kumuh. Menurut Judohusodo dalam Aini (2005) ciri perkampungan
kumuh sebagai bentuk hunian yang tidak berstruktur, tidak berpola, minim atau
tidak tersedianya fasilitas umum, sarana dan prasarana yang kurang baik serta
bentuk fisik lingkungan yang tidak layak untuk dihuni (seperti secara berkala
terkena banjir).
Perencanaan Lanskap
Menurut Nurisyah dan Pramukanto (2008) perencanaan lanskap adalah
salah satu bentuk produk utama dalam kegiatan arsitektur lanskap. Perencanaan
lanskap merupakan suatu bentuk kegiatan penataan yang berbasis lahan (land
based planning) melalui kegiatan pemecahan masalah yang dijumpai dan
merupakan proses pengambilan keputusan berjangka panjang guna mendapatkan
ssuatu model lanskap atau bentang alam yang fungsional, estetik dan lestari yang
mendukung
berbagai
kebutuhan
dan
keinginan
manusia
dalam
upaya
meningkatkan kenyamanan dan kesejahteraan, termasuk kesehatannya. Secara
praktikal dinyatakan bahwa kegiatan merencana suatu lanskap adalh suatu proses
pemikiran dari suatu ide, gagasan atau konsep ke arah suatu bentuk lanskap atau
bentang alam yang nyata.
Proses perencanaan tapak dimulai dengan pengumpulan data dasar yang
berkaitan secara khusus dengan tapak tersebut dan daerah sekitarnya. Data ini
harus meliputi hal-hal rencana induk dan penelaahannya, peraturan penzonaan,
peta dasar dan udara, survei, data topografi, informasi geologi, hidrologi, tipe
tanah, vegetasi dan ruang terbuka yang ada. Setelah semua informasi diperoleh,
maka informasi tersebut harus diperiksa dan dianalisis. Salah satu sasarannya
adalah untuk menetapkan keunggulan serta keterbatasan tapak. Apabila ternyata
sesuai, maka data tersebut harus dianalisis lebih lanjut (Chiara dan Koppelman,
1990).
15
Sedangkan menurut Nurisyah dan Pramukanto (2008) dalam kegiatan
perencanaan lanskap proses perencanaan yang baik dinyatakan sebagai suatu
proses yang dinamis, saling terkait dan saling mendukung, satu dengan lainnya.
Proses ini merupakan suatu alat yang terstruktur dan sistematis yang digunakan
untuk menentukan keadaan awal dari suatu bentukan fisik tapak, keadaan yang
diinginkan setelah dilakukan berbagai rencana perubahan, serta cara dan
pendekatan yang sesuai dan terbaik untuk mencapai keadaan yang diinginkan
tersebut.
Pelestarian
Menurut Poerwadarmita dalam Muchamad dan Mentayani (2004)
pelestarian berasal dari kata “lestari” yang dalam bahasa Jawa berarti tetap, kekal,
dan abadi. Sedangkan menurut Adishakti (dalam Wongso, 2008) pelestarian
merupakan terjemahan dari conservation/konservasi. Pengertian pelestarian
terhadap peninggalan lama pada awalnya dititikberatkan pada bangunan tunggal
atau benda-benda seni, kini telah berkembang ke ruang yang lebih luas seperti
kawasan hingga kota bersejarah serta komponen yang semakin beragam seperti
skala ruang yang intim, pemandangan yang indah, suasana, dan sebagainya.
Menurut Adhisakti dalam Muchammad dan Mentayani (2004) konsep
pelestarian memiliki tujuan untuk tetap mempertahankan identitas suatu
lingkungan (wilayah, daerah, kawasan, kelompok warisan budaya, dll). Dengan
kata lain tekanan diletakkan pada kesinambungan dalam perubahan agar identitas
lingkungan tetap terjaga. Konsep pelestarian, kini, adalah upaya untuk menjaga
kesinambungan yang menerima perubahan dan/atau pembangunan. Suatu
pengertian yang berbeda dengan preservasi. Pelestarian bertujuan untuk tetap
memelihara identitas dan sumber daya lingkungan dan mengembangkan beberapa
aspeknya untuk memenuhi kebutuhan modern dan kualitas hidup yang lebih baik.
Konsekuensinya, perubahan yang dimaksud bukanlah terjadi secara drastis,
namun perubahan secara alami dan terseleksi (Wongso, 2008).
Menurut Muchamad dan Mentayani (2004) secara garis besar komponen
pelestarian dapat dibedakan atas :
a. Komponen Non-Hayati (Kebendaan), yaitu air, udara, tanah, bangunan.
16
b. Komponen Hayati, yaitu makhluk hidup, tumbuhan.
c. Komponen Kemasyarakatan, yaitu manusia dengan latar belakang sosial,
budaya, ekonomi, dan segala aktifitas kegiatannya. Namun tidak semua
komponen tersebut selalu ada pada obyek yang akan dilestarikan. Yang
terpenting adalah telaah dan mempertahankan komponen inti untuk dapat
diturunkan pada generasi berikutnya.
Menurut Nurisyah dan Pramukanto (2001) dalam upaya pengelolaan untuk
pelestarian lanskap terdapat beberapa tindakan teknis yang umumnya dilakukan,
yaitu:
1. Adaptive use (Penggunaan adaptif)
Mempertahamnkan dan memperkuat lanskap dengan mengakomodasikan
berbagai penggunaan, kebutuhan dan kondisi masa kini. Untuk kegiatan model
ini perlu pengkajian yang cermat dan teliti terhadap sejarah, penggunaan,
pengelolaan dan faktor-faktor lain yang berperan tehadap pembentukan lanskap
tersebut.
2. Rekonstruksi
Pembangunan ulang suatu bentuk lanskap, baik secara keseluruhan atau
sebagian dari tapak asli.
3. Rehabilitasi
Tindakan yang memperbaiki utilitas, fungsi atau penampilan dari suatu lanskap
sejarah. Dalam kasus ini maka keutuhan lanskap dan struktur atau susunannya
secara fisik dan visual serta nilai yang terkandung harus dipertahankan.
4. Restorasi
Suatu model pendekatan tindakan pelestarian yang paling konservatif, yaitu
pengembalian penampilan lanskap pada kondisi aslinya dengan upaya
mengembalikan penampilan sejarah dari lanskap ini sehingga apresiasi
terhadap karya lanskap ini tetap ada.
5. Stabilisasi
Suatu tindakan atau strategi dalam melestarikan karya atau obyek lanskap yang
ada melalui upaya memperkecil pengaruh negatif (seperti gangguan iklim dan
suksesi alami) terhadap tapak.
17
6. Konservasi
Konservasi merupakan tindakan yang bertujuan untuk melestarikan apa yang
ada saat ini, mengendalikan tapak sedemikian rupa untuk mencegah
penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan dan daya dukung serta
mengarahkan perkembangan di masa depan. Untuk memperkuat karakter
spesifik yang menjiwai lingkungan/tapak dan menjaga keselarasan antara
lingkungan lama dan pembangunan baru mendekati perkembangan aspirasi
masyarakat.
7. Interpretasi
Tindakan ini merupakan suatu usaha pelestarian yang mendasar untuk
mempertahankan lanskap asli secara terpadu dengan usaha-usaha yang juga
dapat menampung kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan baru serta berbagai
kondisi yang akan dihadapi masa kini dan yang akan datang.
8. Period setting, replikasi, imitasi
Penciptaan suatu tipe lanskap pada tapak tertentu yang original site. Usaha ini
memerlukan adanya data dan dokumentasi yang dikumpulkan dari tapak dan
lain-lain yang sama serta berbagai pengkajian akan sejarah tapaknya sehingga
pembangunan lanskap tersebut akan sesuai suatu periode yang telah ditentukan
sebelumnya.
9. Release
Suatu strategi pengelolaan yang memperbolehkan adanya suksesi alam yang
asli. Sebagai contoh adalah diperbolehkannya vegetasi menghasilkan suatu
produk tertentu secara alami pada suatu lanskap sejauh tidak merusak
keutuhan atau merusak nilai holistiknya.
10.
Replacement (penggantian)
Substitusi atas suatu komuniti biotic dengan lainnya. Contohnya adalah
penggunaan jenis tanaman penutup tanah (ground cover) yang dapat tetap
menampilkan bentukan lahan.
Menurut Muchamad dan Mentayani (2004) dalam kegiatan pelestarian
dikenal ada 2 (dua) macam gerakan pelestarian, yaitu; pertama gerakan pelestarian
kebendaan, gerakan ini umumnya dilaksanakan oleh para arsitek, pakar sejarah
18
arsitektur, perencana kota, pakar geologi, dan penulis. Kedua gerakan pelestarian
kemasyarakatan, yaitu gerakan pelestarian yang melibatkan para pakar ilmu
sosial, arsitek, pekerja sosial, kelompok swadaya masyarakat, bahkan tokoh
politik. Menurut Sidharta (dalam Wongso, 2008) kegiatan pelestarian ini bisa
berbentuk pembangunan atau pengembangan dalam bentuk upaya preservasi,
restorasi, replikasi, rekonstruksi, revitalisasi, dan/atau penggunaan untuk fungsi
baru suatu aset masa lalu.
Download