BAB II

advertisement
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kemampuan Mendengar Pada Lansia Dengan Presbikusis
2.1.1 Pengertian
Menurut kamus besar bahasa Indonesia mendengar memiliki makna dapat
menangkap suara dengan telinga, secara sadar atau tidak, tanpa unsur
kesengajaan. Proses mendengar terjadi tanpa perencanaan tetapi datang secara
kebetulan. Sedangkan kemampuan memiliki makna kesanggupan, kecakapan,
kekuatan atau kapasitas seseorang untuk melakukan suatu tugas atau pekerjaan.
Menurut pengertian di atas dapat disimpulkan kemampuan mendengar adalah
kapasitas seseorang untuk menangkap suara dengan telinga secara sadar atau
tidak, tanpa unsur kesengajaan. Apabila kemampuan seseorang dalam mendengar
kurang, dapat dipastikan dia tidak dapat mengungkapkan topik yang didengar
dengan baik.
Telinga adalah organ untuk mendengar. Saraf yang melayani indera ini adalah
saraf kranial kedelapan atau nervus auditorius. Telinga terdiri dari tiga bagian,
yaitu telinga luar, telinga tengah dan rongga telinga dalam (Pearce, 2000). Telinga
luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran timpani. Telinga
tengah berbentuk kubus dengan batas luar membran timpani, batas depan tuba
eustachius, batas bawah vena jugularis, batas belakang auditus ad antrum, kanalis
fasialis pars vertikalis, batas atas segmen timpani (meningen/otak), batas dalam
berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi sirkularis horizontal, kanalis fasialis,
9
10
tingkap
lonjong
(oval
window), tingkap
bundar
(round window)
dan
promontorium. Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua
setengah lingkaran dan vestibular yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis
(Soepardi dan Iskandar, 2000).
Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi dalam kehidupan
manusia. Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran, misalnya
kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut memutih,
gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas, pengelihatan semakin memburuk,
gerakan lambat, dan figur tubuh yang tidak proporsional (Nugroho,2008). Pada
sistem pendengaran lansia paling sering terjadi presbikusis. Presbikusis dikenal
sebagai kehilangan pendengaran neurosensori, senil, atau progresif, yang ditandai
dengan disfungsi unsur sensorik telinga simetris (sel-sel rambut) atau struktur
telinga serat saraf koklear (Subekti, 2007). Menurut
Potter dan Perry (2006)
“presbikusis adalah kehilangan ketajaman pendengaran yang progresif yang
terjadi dengan bertambahnya usia, kehilangan pendengaran yang terjadi sensorineural”.
Proses degenerasi pada sistem pendengaran menyebabkan perubahan struktur
koklea dan nervus auditorius. Pada koklea perubahan yang mencolok ialah atrofi
dan degenerasi sel-sel rambut penunjang pada organ Corti. Proses atrofi disertai
dengan perubahan vaskuler pada stria vaskularis, berkurangnya jumlah dan
ukuran sel-sel ganglion saraf (Soepardi dan Iskandar, 2000). Gangguan
sensorineural yang berkaitan dengan penuaan, atau presbikusis, adalah penyebab
paling umum dari gangguan pendengaran, biasanya terjadi bertahap, bilateral, dan
11
ditandai dengan gangguan pendengaran frekuensi tinggi.
Rentang frekuensi
biasanya menurun menjadi 50 sampai 8.000 Hz, progresif terjadi pada frekuensi 24 kHz (Guyton dan Hall, 2007).
Presbikusis adalah tuli saraf sensorineural frekuensi tinggi, terjadi pada usia
lanjut lebih dari 60 tahun (Soepardi dan Iskandar, 2000). Sedangkan menurut
Ganong (2002) presbikusis adalah “penurunan pendengaran yang terjadi bertahap
yang berkaitan dengan penuaan, mengenai lebih dari sepertiga orang yang berusia
di atas 75 tahun dan mungkin disebabkan oleh hilangnya sel rambut dan neuron
secara bertahap dan kumulatif”. Presbikusis terjadi simetris kiri dan kanan, dapat
dimulai pada frekuensi 100 Hz atau lebih (Soepardi dan Iskandar, 2000).
Keluhan utama lansia dengan presbikusis berupa berkurangnya pendengaran
secara perlahan-lahan dan progresif, simetris pada kedua telinga. Kapan
berkurangnya pendengaran tidak diketahui pasti. Keluhan lainnya adalah telinga
berdenging (tinitus nada tinggi). Penderita dapat mendengar suara percakapan,
tetapi sulit untuk memahaminya, terutama bila diucapkan dengan cepat di tempat
dengan latar belakang yang riuh (coctail party deafness). Bila intensitas suara
ditinggikan akan timbul rasa nyeri di telinga, hal ini disebabkan oleh faktor
kelelahan saraf. Dari uraian di atas dapat disimpulkan kemampuan mendengar
lansia dengan presbikusis adalah kapasitas lansia untuk menangkap suara dengan
telinga yang mengalami penurunan secara sensori neural pada usia 60 tahun atau
lebih, terjadi secara bertahap, bilateral dan kumulatif yang ditandai dengan
gangguan mendengar frekuensi tinggi, dengan rentang frekuensi menurun menjadi
50-8.000 Hz.
12
Berdasarkan perubahan patologik yang terjadi, presbikusis digolongkan menjadi 4
jenis yaitu :
a. Presbikusis sensorik
Lesi terbatas pada koklea, atrofi pada organ Corti, jumlah sel-sel rambut
dan sel-sel penunjang berkurang.
b. Presbikusis neural
Sel-sel neuron pada koklea dan jaras auditorik berkurang.
c. Presbikusis metabolik (Strial presbycusis)
Atrofi stria vaskularis, potensial microphonic menurun. Fungsi sel dan
keseimbangan biokimia/bioelektrik koklea berkurang.
d. Presbikusis mekanik (Cohlear presbycusis)
Terjadi perubahan gerakan mekanik duktus koklearis. Atrofi ligamentum
spiralis. Membran basilaris lebih kaku.
2.1.2 Proses terjadi penurunan kemampuan mendengar pada lansia
presbikusis
Getaran suara dihantarkan lewat liang telinga dan telinga tengah ke telinga dalam
melalui stapes, menimbulkan suatu gelombang berjalan di sepanjang membrana
basilaris dan organ Corti. Puncak gelombang berjalan di sepanjang membrana
basilaris yang panjangnya 35 mm tersebut, ditentukan oleh frekuensi gelombang
suara. Hal ini berakibat membengkoknya stereosilia oleh kerja pemberat
membrana tektoria, dengan demikian menimbulkan depolarisasi sel rambut dan
menciptakan potensial aksi pada serabut-serabut saraf pendengaran yang melekat
13
padanya. Disinilah gelombang suara mekanis diubah menjadi energi elektrokimia
agar dapat ditransmisikan melalui saraf kranialis ke-8 (vestibulokoklearis)
(Adams et al,1994).
Ligamentum spiralis terletak di lateral dinding tulang dari duktus koklearis.
Ligamentum merupakan jangkar lateral dari membrana basilaris dan mengandung
stria vaskularisasi, satu-satunya lapisan epitel bervaskularisasi dalam tubuh. Dua
dari tiga jenis sel pada stria vaskularisasi kaya mitokondria dan memiliki luas
permukaan yang sangat besar dibandingkan dengan volume sel. Stria merupakan
suatu sistem transport cairan dan elektrolit yang dirancang secara unik. Stria
diduga memainkan peranan penting dalam pemeliharaan komposisi elektrolit
cairan endolimfe (tinggi kalium, rendah natrium) dan sebagai baterai kedua untuk
organ Corti. Stria juga merupakan sumber potensi arus searah (80 milivolt) dari
skala media (Adams et al, 1994).
Stria vaskularisasi merupakan suatu adaptasi yang unik dimana dapat menyuplai
organ Corti dari jarak tertentu, dengan demikian memperbaiki rasio sinyal-bising
pada organ Corti. Terdapat sekitar 30.000 neuron aferen yang mensyarafi 15.000
sel rambut pada tiap koklea. Masing-masing sel rambut dalam disarafi oleh
banyak neuron. Hanya persentase kecil (skitar 10 persen) neuron aferen yang
mensyarafi sel rambut luar, akan tetapi terdapat percabangan-percabangan
sedemikian rupa sehingga tiap neuron aferen berasal dari banyak sel rambut luar
dan tiap sel rambut luar dipersyarafi oleh banyak neuron aferen.
Sekitar 500 serabut saraf eferen yang mencapai tiap koklea. Serabut-serabut ini
bercabang pula secara ekstensif sehingga tiap sel rambut luar memiliki banyak
14
ujung saraf eferen. Ujung-ujung saraf eferen dari sel rambut luar tidak seluruhnya
berasal dari satu serabut saraf eferen. Serabut-serabut saraf koklearis berjalan
menuju inti koklearis dorsalis dan ventralis. Sebagian besar serabut dari inti
melintasi garis tengah dan berjalan naik menuju kolikulus inferior kontralateral,
namun sebagian serabut tetap berjalan ipsilateral (Adams et al, 1994).
Penyilangan selanjutnya terjadi pada inti lemniskus lateralis dan kolikulus
inferior. Dari kolikulus inferior, jaras pendengaran berlanjut ke korpus
genikulatum dan kemudian ke korteks pendengaran pada lobus temporalis.
Penyilangan serabut-serabut saraf tersebut, menyebabkan lesi sentral jaras
pendengaran hampir tidak pernah menyebabkan ketulian unilateral. Serabutserabut saraf vestibularis berjalan menuju salah satu dari keempat inti
vestibularis, dan dari sana disebarkan secara luas dengan jaras-jaras menuju
medula spinalis, serebelum dan bagian-bagian susunan saraf pusat lainnya
(Adams et al, 1994).
Proses
degenarasi
menyebabkan
perubahan
struktur
koklea
dan
saraf
vestibuloklearis. Pada koklea perubahan yang mencolok adalah atrofi dan
degenerasi sel-sel rambut penunjang pada organ Corti. Proses atrofi disertai
dengan perubahan vaskular juga terjadi pada stria vaskularis. Selain itu terdapat
pula perubahan, berupa berkurangnya jumlah dan ukuran sel-sel ganglion dan
saraf. Hal yang sama juga terjadi pada myelin akson saraf (Soepardi dan Iskandar,
2000).
15
2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan mendengar pada
lansia dengan presbikusis
Umumnya diketahui bahwa presbikusis merupakan akibat dari proses degenerasi.
Diduga kejadian presbikusis mempunyai hubungan dengan faktor-faktor herediter,
pola makanan, metabolisme, arteriosklerosis, infeksi, bising, gaya hidup atau
bersifat
multifaktor.
Menurunnya
fungsi
pendengaran
secara
berangsur
merupakan efek kumulatif dari pengaruh faktor-faktor tersebut di atas. Biasanya
terjadi pada usia lebih dari 60 tahun. Progresifitas penurunan pendengaran
dipengaruhi juga oleh usia dan jenis kelamin, pada laki-laki lebih cepat
dibandingkan dengan perempuan (Soepardi dan Iskandar, 2000). Sedangkan
menurut Subekti (2007) “insiden pendengaran sensorineural meningkat seiring
dengan pertambahan usia, terpajan suara bising, diet tinggi kolesterol, hipertensi,
faktor-faktor metabolik dan herediter adalah penyebab presbikusis”. Lesi vaskuler
yang mengakibatkan hipoperfusi dapat memperburuk perubahan yang terkait
dengan usia pada telinga dan sistem saraf pusat.
2.1.4
Rehabilitasi pada pasien presbikusis
Rehabilitasi kemampuan mendengar bertujuan memperbaiki efektivitas pasien
dalam
komunikasi
sehari-hari.
Pembentukan
suatu
program
rehabilitasi
tergantung pada penilaian menyeluruh terhadap gangguan komunikasi pasien
secara individual serta kebutuhan komunikasi sosial dan pekerjaan. Partisipasi
pasien ditentukan oleh motivasinya, karena itu adalah penting bila pasien
memahami gangguan komunikasinya dan mendapat keterangan bagaimanan terapi
16
dapat membantunya dalam mengatasi dan meringankan masalah tersebut.
Komunikasi adalah masalah proses dinamik antara dua orang atau lebih, maka
mengikutsertakan keluarga atau teman dekat pasien dalam bagian-bagian tertentu
dari terapi dapat terbukti bermanfaat. Membaca gerak bibir dan latihan
mendengarkan merupakan komponen tradisional dari rehabilitasi kemampuan
mendengar. Seluruh aspek rehabilitasi kemampuan mendengar harus membantu
pasien untuk dapat berinteraksi lebih efektif dengan lingkungannya (Adams et al,
1994).
Penanganan untuk kehilangan kemampuan mendengar pada pasien presbikusis
biasanya dilakukan dengan pemasangan alat bantu dengar (hearing aid) dan
implan koklear. Alat bantu dengar dapat meningkatkan volume suara yang
dihantarkan ke organ pendengaran. Pemasangan alat bantu dengar hasilnya akan
lebih memuaskan bila dikombinasikan dengan rehabilitasi. Rehabilitasi dapat
dilakukan dengan latihan membaca ujaran (speech reading) dan latihan
mendengar (auditory training), prosedur pelatihan tersebut dilakukan bersama
ahli terapi wicara (speech therapist).
Pada penderita tuli berat dilakukan pemasangan implan koklear. Alat ini dipasang
melalui pembedahan, yang merangsang saraf auditorius, yang terdiri atas satu
buah mikrofon eksternal, satu buah transmiter, dan satu penerima yang diimplan.
Transmiter tersebut menerima sinyal dari mikrofon dan mengirim sinyal tersebut
ke penerima yang terletak dekat saraf auditorius. Sinyal tersebut berjalan di
sepanjang kabel yang diimplan ke saraf (Adams et al, 1994). Namun, tidak semua
17
pasien mampu membeli alat bantu dengar dan melakukan implan koklear karena
biaya yang mahal.
Perlu adanya upaya untuk mengatasi penurunan fungsi atau degenerasi pada
serabut-serabut saraf pendengaran, organ corti dan stria vaskularis. Proses
regenerasi serabut-serabut saraf pendengaran ini dapat dilakukan dengan
pemberian rangsangan elektris berupa terapi musik. Fisikawan memandang telinga
bagian dalam berperan sebagai transduser, yaitu suatu alat yang dapat mengubah
suatu bentuk energi ke dalam bentuk lain. Telinga bagian dalam dapat mengubah
energi mekanik (suara) menjadi lonjakan listrik pada serat saraf (Ackerman dkk,
1988).
Getaran suara musik mengakibatkan membengkoknya stereosilia oleh kerja
pemberat membrana tektoria dan menimbulkan depolarisasi sel rambut, sehingga
menciptakan potensial aksi pada serabut-serabut saraf pendengaran. Disinilah
rangsangan elektris gelombang suara musik diubah menjadi energi elektrokimia
agar dapat ditransmisikan melalui saraf vestibulokoklearis (N.VIII) menuju korteks
pendengaran pada lobus temporalis. Rangsangan elektris ini juga dapat
menciptakan potensial aksi pada serabut-serabut saraf pendengaran untuk
meningkatkan aliran darah pada stria vaskularis (baterai kedua organ korti) untuk
mengerakkan cairan endolimfe sehingga fungsinya kembali optimal (Adams et al,
1994). Terapi musik ini diharapkan dapat membangkitkan stimulus serabut-serabut
saraf pendengaran sehingga dapat berfungsi optimal guna menekan progresifitas
hilangnya kemampuan mendengar pada lansia yang mengalami presbikusis.
18
Untuk memaksimalkan fungsi kemampuan mendengar residual pada lansia,
perawat juga menyarankan cara memodifikasi lingkungan. Suara telepon dan
televisi dapat diperbesar, jam alarm yang menggoyangkan tempat tidur, atau
mengaktifkan cahaya kilat adalah alat-alat adaftif yang berguna. Cara inovatif lain
untuk kerusakan kemampuan mendengar pada lansia yang dapat meningkatkan
hidup adalah rekaman musik. Rekaman musik dengan frekuensi rendah putaran
suaranya dapat didengar oleh pasien yang mengalami kehilangan kemampuan
mendengar (Potter dan Perry, 2006).
Terapi musik adalah sebuah aktivitas terapeutik yang menggunakan musik sebagai
media untuk memperbaiki, memelihara, mengembangkan mental, fisik, dan
kesehatan emosi.Terapi musik bekerja dengan memberikan rangsangan mekanik
dan elektris pada serabut-serabut saraf pendengaran.Teori model (Trion dalam
Djohan, 2009) mengatakan bahwa aktivitas musik dapat memperkuat pola-pola
cetusan neural yang terorganisir dari kode-kode spasial temporal dalam wilayah
korteks. Pada fungsi otak, ditemukan bahwa belajar tentang nada pada dasarnya
adalah mengembalikan sel-sel korteks auditori.
Hasil penelitian Alfred Tomatis, yang menggunakan musik sebagai salah satu
media untuk menyembuhkan disfungsi audiologis dan neurologis serta
memfasilitasi fungsi tertinggi (Higher Brain Function) dari otak (Djohan, 2009).
Hal ini didukung pula oleh teori plastisitas pendengaran dimana
sistem
pendengaran dimodifikasi oleh pengalaman dan faktor lain. Peningkatan luas
daerah korteks pendengaran juga dihasilkkan oleh penggabungan rangsang
pendengaran. Contoh teori plastisitas korteks yaitu pada pemain musik , dimana
19
pada mereka terdapat peningkatan luas area auditorik yang terangsang oleh nadanada musik. Pemain musik juga memiliki serebelum yang lebih besar dari pada
mereka yang bukan pemain musik (Ganong, 2002).
2.1.5
Pemeriksaan kemampuan mendengar pada pasien presbikusis
Kemampuan pasien untuk mendengar dapat ditentukan dengan berbagai cara
mulai dari prosedur informasi hingga pengukuran tepat berstandar tinggi yang
memerlukan peralatan khusus. Dengan semakin sering atau menjadi rutinnya
pemeriksaan pendengaran dilakukan di ruang praktek, maka semakin besar
keahlian yang dapat dikembangkan pemeriksa dalam aplikasi praktis dan
penggunaanya. Untuk memeriksa pendengaran diperlukan pemeriksaan hantaran
melalui udara dan melalui tulang dengan memakai garpu tala atau audiometer
nada murni. Pemeriksaan pendengaran dilakukan secara kualitatif dengan
mempergunakan garpu tala dan kuantitatif dengan mempergunakan audiometer.
a. Tes Penala
Pemeriksaan ini merupakan tes kualitatif. Terdapat berbagai macam tes
penala, seperti tes rinne, tes weber, tes schwabach, tes bing dan tes stenger.
1) Tes Rinne ialah tes untuk membandingkan hantaran melalui udara dan
hantaran melalui tulang pada telinga yang diperiksa. Cara pemeriksaan :
penala digetarkan, tangkainya diletakkan di prosesus mastoid, setelah tidak
terdengar penala di pegang di depan telinga kira-kira 2 ½ cm. Bila masih
terdengar disebut Rinne positif , bila tidak terdengar disebut Rinne negatif.
20
2) Tes weber ialah tes pendengaran untuk membandingkan hantaran tulang
telinga kiri dengan telinga kanan. Cara pemeriksaan : penala digetarkan
dan tangkai penala diletakkan di garis tengah kepala (di vertex, dahi,
pangkal hidung, di tengah-tengah gigi seri atau dagu). Apabila bunyi
penala terdengar lebih keras pada salah satu telinga disebut Weber
lateralisasi ke telinga tersebut. Bila tidak dapat dibedakan ke arah telinga
mana bunyi terdengar lebih keras disebut Weber tidak ada lateralisasi.
3) Tes Schwabach ialah membandingkan hantaran tulang orang yang
diperiksa dengan pemeriksa
yang pendengarannya normal.
Cara
pemeriksaan : penala digetarkan, tangkai penala diletakkan pada prosesus
mastoideus sampai tidak terdengar bunyi. Kemudian tengkai penala segera
dipindahkan
pada
prosesus
mastoideus
telinga
pemeriksa
yang
pendengarannya normal. Bila pemeriksa masih dapat mendengar disebut
Schwabach
memendek,
bila
pemeriksa
tidak
dapat
mendengar,
pemeriksaan diulang dengan cara sebaliknya yaitu penala diletakkan pada
prosesus mastoideus pemeriksa lebih dulu. Bila pasien masih dapat
mendengar bunyi disebut Schwabach memanjang dan bila pasien dan
pemeriksa kira-kira sama-sama
mendengarkannya
disebut
dengan
Schawbach sama dengan pemeriksa.
4) Tes Bing (tes Oklusi). Cara pemeriksaan : tragus telinga yang diperiksa
ditekan sampai menutup liang telinga, sehingga terdapat tuli kondusif kirakira 30 dB. Penala digetarkan dan diletakkan pada pertengahan kepala
(seperti pada tes Weber). Penilaian : bila terdapat lateralisasi ke telinga
21
yang ditutup, berarti telinga tersebut normal atau tuli saraf. Bila bunyi
pada telinga yang ditutup tidak bertambah keras, berarti telinga tersebut
menderita tuli kondusif.
5) Tes Stenger : digunakan pada pemeriksaan tuli anorganik (simulasi atau
pura-pura tuli). Cara pemeriksaan : menggunakan prinsip masking.
Misalnya pada seseorang yang berpura-pura tuli pada telinga kiri. Dua
buah penala yang identik digetarkan dan masing-masing diletakkan di
depan telinga kiri dan kanan, dengan cara yang tidak kelihatan oleh yang
diperiksa. Penala pertama digetarkan dan diletakkan di depan telinga
kanan (yang normal) sehingga jelas terdengar. Kemudian penala yang
kedua digetarkan lebih keras dan diletakkan di depan telinga kiri (yang
pura-pura tuli). Apabila kedua telinga normal karena efek masking, hanya
telinga kiri yang mendengar bunyi, jadi telinga kanan tidak akan
mendengar bunyi. Tetapi bila telinga kiri tuli, telinga kanan tetap
mendengar bunyi.
b. Audiometri Nada Murni
Untuk membuat audiogram diperlukan alat audiometer. Bagian dari
audiometer yaitu : tombol pengatur intensitas bunyi, tombol pengatur
frekuensi, headphone untuk memeriksa AC (hantaran udara), bone conductor
untuk memeriksa BC (hantaran tulang). Pada pemeriksaan audiometri nada
murni perlu dipahami hal-hal sperti ini, nada murni, bising NB (narrow band)
dan WN (white noise), frekuensi, intensitas bunyi, ambang dengar, nilai nol
22
audiometrik, standar ISO dan ASA, notasi pada audiogram, jenis dan derajat
ketulian serta gap dan masking.
1) Nada murni adalah bunyi yang hanya mempunyai satu frekuensi,
dinyatakan dalam jumlah getaran per detik.
2) Bising adalah bunyi yang mempunyai banyak frekuensi, terdiri dari
(narrow band) : spektrum terbatas dan (white noise) : spektrum luas.
3) Frekuensi adalah nada murni yang dihasilkan oleh getaran suatu benda
yang sifatnya harmonis sederhana (simple harmonic motion). Jumlah
getaran per detik dinyatakan dalam hertz. Bunyi suara yang dapat
didengar oleh telinga manusia mempunyai frekuensi antara 20-18.000
Hertz. Bunyi yang mempunyai frekuensi di bawah 20 Hertz disebut
infrasonik, sedangkan bunyi yang frekuensinya di atas 18.000 Hertz
disebut suprasonik/ultra sonik (Soepardi dan Iskandar, 2000).
4) Intensitas bunyi dinyatakan dalam dB (decibel). Dikenal : dB HL (hearing
level), dB SL (sensation level), db SPL (sound pressure level). dB HL
dan dB SL
dasarnya adalah subyektif, dan inilah yang biasanya
digunakan pada audiometer, sedangkan dB SPL digunakan apabila ingin
mengetahui intensitas bunyi yang sesungguhnya secara fisika (ilmu
alam). Contoh : pada 0 dB HL atau 0 dB SL ada bunyi, sedangkan pada 0
dB SPL tidak ada bunyi, sehingga untuk nilai dB yang sama
intensitasnya dalam HL/SL lebih besar dari pada SPL.
5) Ambang dengar adalah bunyi nada murni yang terlemah pada frekuensi
tertentu yang masih dapat didengar oleh telinga seseorang. Terdapat
23
ambang dengar menurut konduksi udara (AC) dan menurut konduksi
tulang (BC). Bila ambang dengar ini dihubungkan dengan garis, baik AC
maupun BC, maka akan didapatkan audiogram. Dari audiogram akan
dapat diketahui jenis dan derajat ketulian.
6) Nilai Nol Audiometrik (audiometric zero) dalam dB HL dan dB SL, yaitu
intensitas nada murni yang terkecil pada suatu frekuensi tertentu yang
masih dapat didengar oleh telinga rata-rata orang dewasa muda yang
normal (18-30 tahun). Pada tiap frekuensi intensitas nol audiometrik
tidak sama. Telinga manusia paling sensitif terhadap bunyi dengan
frekuensi 1.000 Hz yang besar nilai nol audiometriknya kira-kira 0,0002
dyne/cm2. Ditambah 2 standar yang dipakai yaitu standar ISO dan ASA.
ISO : Internasional standard organization dan ASA : American standard
Association.
0 dB ISO = -10 dB ASA atau
10 dB ISO = 0 dB ASA
Pada audiogram angka-angka intensitas dalam dB bukan menyatakan
kenaikan linier, tetapi merupakan kenaikan logaritma secara perbandingan.
Contoh : 20 dB bukan dua kali lebih keras daripada 10 dB, tetapi : 20/10 =
2, jadi 10 kuadrat = 100 kali lebih keras.
7) Notasi pada audiogram. Untuk pemeriksaan audiogram, dipakai grafik AC,
yaitu dibuat dengan garis lurus penuh (intensitas yang diperiksa antara
125-8000 Hz) dan grafik BC yaitu dibuat dengan garis terputus-putus
24
(intensitas yang diperiksa : 250-4000 Hz). Untuk telinga kiri dipakai warna
biru, sedangkan untuk telinga kanan, warna merah.
8) Jenis dan derajat ketulian serta gap. Dari audiogram dapat dilihat apakah
pendengaran normal (N) atau tuli. Derajat ketulian dihitung dengan
menggunakan indeks fletcher yaitu :
Ambang dengar (AD) = AD 500 Hz + AD 1000 Hz + AD 2000 Hz
3
Dapat dihitung ambang dengar hantaran udara (AC) atau hantaran tulang
(BC). Pada interprestasi audiogram harus ditulis : telinga yang mana, apa
jenis ketuliannya, bagaimana derajat ketuliannya, misalnya : telinga kiri
tuli campuran sedang. Dalam menentukan derajat ketulian, yang dihitung
hanya ambang dengar hantaran udaranya (AC) saja. Derajat ketulian
menurut ISO :
0-25 dB : normal
26-40 dB : tuli ringan
41-60 dB : tuli sedang
61-90 dB : tuli berat
> 90 dB : tuli sangat berat
Dari hasil pemeriksaan audiogram disebut ada gap apabila antara AC dan
BC terdapat perbedaan lebih atau sama dengan 10 dB, minimal pada 2
frekuensi yang berdekatan. Pada pemeriksaan audiogram, kadang-kadang
perlu diberi masking. Untuk memberi masking pada pemeriksaan
audiometri, pada head phone telinga yang tidak diperiksa diberi suara
25
seperti angin (bising), supaya telinga yang tidak diperiksa tidak dapat
mendengar bunyi yang diberikan pada telinga yang diperiksa. Pemeriksaan
dengan masking dilakukan apabila telinga yang diperiksa mempunyai
pendengaran yang mencolok bedanya dari telinga yang satu lagi. Oleh
karena AC pada 45 dB atau lebih dapat diteruskan melalui tengkorak ke
telinga kontralateral, maka pada telinga kontralateral (yang tidak
diperiksa) diberi bising supaya tidak dapat mendengar bunyi yang
diberikan pada telinga yang diperiksa. Masking ada 2 yaitu : narrow
bandnoise (NB) = masking audiometri nada murni dan white noise (WN) =
masking audiometri tutur (speech).
2.2 Terapi Musik Klasik Rindik
2.2.1
Pengertian
Musik bersumber dari kata muse, kata muse yang kemudian diambil alih ke dalam
bahasa Inggris jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dapat diartikan
sebagai bentuk renungan. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, musik adalah
seni menyusun nada atau suara dalam urutan, kombinasi, dan hubungan
temporal,untuk menghasilkan komposisi (suara) yang mempunyai kesatuan dan
kesinambungan. Lebih jelas lagi Campbell (2001) mendefenisikan, musik sebagai
“bahasa yang mengandung unsur universal, bahasa yang melintasi batas usia, jenis
kelamin, ras, agama dan kebangsaan”.
Terapi musik terdiri dari dua kata yaitu “terapi” dan “musik”. Kata “terapi”
berkaitan dengan serangkaian upaya yang dirancang untuk membantu atau
26
menolong orang. Biasanya kata tersebut digunakan dalam konteks masalah fisik
dan mental. Kata “musik” dalam “terapi musik” digunakan untuk menjelaskan
media yang digunakan secara khusus dalam rangkaian terapi. Djohan (2009)
dalam bukunya psikologi musik, mendefenisikan terapi musik sebagai “sebuah
aktivitas terapeutik yang menggunakan musik sebagai media untuk memperbaiki,
memelihara, mengembangkan mental, fisik, dan kesehatan emosi”. Sedangkan
menurut Bassano (2009) menyatakan musik adalah “bentuk seni yang paling
berpengaruh terhadap pusat fisik dan jaringan saraf”. Musik juga mempengaruhi
sistem saraf parasimpatis atau sistem saraf otonom, baik secara langsung maupun
tidak langsung.
Terapi musik terdiri dari kegiatan mencipta dan mengolah musik, menggunakan
berbagai instrument dan suara manusia, sebagai cara untuk membantu seseorang
pasien mengkomunikasikan perasaan dan pemikiran mereka yang terdalam,
termasuk
kekuatiran,
ketakutan,
maupun
ganjalan-ganjalan
yang
lain.
Mendengarkan musik tidak hanya meningkatkan inteligensi, namun juga
membantu penyembuhan penyakit.
Dr. Raynond Bahr, pemimpin lembaga jantung di rumah sakit St. Agnes,
Baltimore, Amerika, mengemukakan bahwa “setengah jam mendengarkan musik
klasik memiliki efek psikis yang sama dengan minum 10 miligram valium”.
Kedengerannya memang dramatis, namun yang penting adalah pengakuannya
bahwa musik klasik bisa menenangkan kondisi psikis seseorang. Terapi musik
merupakan jenis terapi psikofisika yang berdampak langsung pada psikis maupun
fisik, dua aspek yang tak terpisahkan satu sama lain, sebab badan dan jiwa
27
merupakan satu kesatuan. Musik sejak lama sudah dianggap sebagai perangkat
misterius yang dapat menyeimbangkan kerjasama antara tubuh dan jiwa
(Mangoenprasodjo dan Hidayati, 2005).
Getaran udara (vibrasi) yang dihasilkan oleh alat musik mempengaruhi getaran
udara yang ada di sekeliling kita. Harmonisasi nada dan irama musik
mempengaruhi kesan harmoni di dalam diri. Jika harmoni musik setara dengan
irama internal tubuh, maka musik memberikan kesan yang menyenangkan,
sebaliknya jika harmoni musik tidak setara dengan irama internal tubuh, maka
musik memberikan kesan yang kurang menyenangkan.
Bunyi musik mengalir dalam gelombang elektromagnetik melalui udara dan dapat
diukur berdasarkan frekuensi dan intensitas bunyi. Frekuensi musik mengacu pada
tinggi rendahnya nada dan tinggi rendahnya kualitas suara yang diukur dalam
Hertz yaitu jumlah daur perdetik dimana gelombang bergetar. Frekuensi suara
yang dapat didengar oleh telinga normal manusia antara 20-20.000 Hertz (Guyton
dan Hall, 2007 ; Ganong, 2002).
Bunyi-bunyian dalam frekuensi tinggi (3.000-8.000 Hz), lazimnya bergetar di
otak dan mempengaruhi fungsi-fungsi kognitif seperti berfikir, persepsi, dan
ingatan. Bunyi-bunyi dengan frekuensi sedang (750-3.000 Hz) cenderung
merangsang jantung, otak, dan emosi. Sedangkan bunyi yang keluar dengan
frekuensi rendah (125-750 Hz) akan mempengaruhi gerakan-gerakan fisik. Bunyi
yang keluar dari alat musik yang dimainkan oleh seseorang yang menguasai alat
musik, memiliki nada yang beraturan dan irama tertentu. Bunyi tersebut dikenal
28
dengan musik. Alunan suara yang terdengar oleh telinga manusia ternyata mampu
memberikan stimulus yang positif bagi manusia (Campbell, 2002)
Musik merupakan sebuah rangsangan pendengaran yang terorganisir yang terdiri
dari melodi, ritme, harmoni, timbre, bentuk dan gaya. Musik memiliki kekuatan
untuk mengobati penyakit dan ketidakmampuan yang dialami oleh setiap orang.
Ketika musik diaplikasikan sebagai sebuah terapi, musik dapat meningkatkan,
memulihkan dan memelihara kesehatan fisik, mental, emosional, sosial, dan
spiritual dari setiap individu karena musik memiliki beberapa kelebihan seperti
bersifat universal, nyaman, menyenangkan, dan berstruktur. Intervensi dengan
terapi musik dapat mengubah secara efektif ambang otak kita yang dalam keadaan
stres menjadi fisiologis lebih adaptif (Djohan, 2009).
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan terapi musik merupakan salah
satu terapi non farmakologi dengan munggunakan musik dan aktivitas musik
untuk mengatasi masalah dalam aspek fisik, psikologis, emosi, kognitif, dan
kebutuhan sosial seseorang. Dalam hal ini musik sangat mempengaruhi sistem
saraf parasimpatis atau sistem saraf otonom, baik secara langsung maupun tidak
langsung untuk mengoptimalkan fungsi pendengaran. Namun perlu diperhatikan
juga bahwa kadang-kadang bermain musik justru bisa memicu gangguan
pendengaran. Di kalangan pemain musik, suara yang terlalu keras dan terus
menerus memang menjadi pemicu terbesar gangguan pendengaran terutama
tinnitus atau telinga berdenging. Karena itu jika ingin mendapat manfaat dari
bermain musik, pastikan suaranya tidak terlalu keras dan ada cukup waktu bagi
telinga untuk beristirahat (Zendel, 2011).
29
Terapi musik untuk pasien presbikusis sebaiknya diberikan dalam frekuensi 508.000Hz, sesuai dengan frekuensi yang menurun pada lansia, dengan intensitas 5570 dB, karena intensitas percakapan normal 60-70 dB dan nilai ambang batas
intensitas kebisingan adalah 85 dB (Arnon dalam Sari, 2006). Hal ini didukung
pula oleh pernyataan Sherwood (2001) “beberapa otot halus telinga tengah akan
berkontraksi secara reflek sebagai respon terhadap suara keras lebih dari 70 dB,
yang menyebabkan membran timpani meregang dan pergerakan tulang-tulang
telinga dibatasi, untuk melindungi perangkat sensorik dari kerusakan”.Suara musik
didengarkan pada jarak 1-2 meter dari telinga pasien (Arnon dalam Sari, 2006).
Jenis musik yang tepat sebagai terapi sebaiknya yang sederhana, menenangkan,
dan mempunyai tempo yang teratur. Musik jazz yang rumit dan heavy rock bukan
merupakan pilihan yang cocok. Musik yang baik dan cocok untuk pendengaran
pasien presbikusis adalah jenis musik klasik. Menurut Sudargo, (2012) seorang
musisi dan pendidik mengatakan “dasar-dasar musik klasik secara umum berasal
dari ritme denyut nadi manusia, sehingga ia berperan besar dalam perkembangan
otak, pembentukan jiwa, karakter bahkan raga manusia”. Suatu jenis musik yaitu
jenis musik klasik mengandung komponen nada berfluktuasi antara nada tinggi
dan nada rendah yang akan merangsang otak.
Musik klasik merupakan istilah luas yang biasanya mengacu pada musik yang
dibuat atau berakar dari tradisi kesenian Barat, musik kristiani, dan musik
orkestra. Musik klasik memiliki perangkat musik yang beraneka ragam, sehingga
di dalamnya terangkum warna-warni suara yang rentang variasinya sangat luas.
Variasi bunyi pada musik klasik jauh lebih kaya daripada variasi bunyi musik
30
yang lainnya, karena musik klasik meyediakan variasi stimulasi yang sedemikian
luasnya bagi pendengar. Musik klasik memiliki keunggulan akan kemurnian dan
kesederhanan bunyi-bunyi yang dimunculkan, irama, melodi, dan frekuensi pada
musik klasik merangsang pendengaran dan memberi rasa nyaman tidak saja di
telinga tetapi juga pada jiwa yang mendengarnya. Ketukan untuk musik klasik
yang berirama lambat kurang lebih 60 ketukan / menit (Mutaqin, 2008).
Peneliti tertarik menggunakan jenis musik klasik tradisional Bali jenis rindik
dalam penelitian ini karena jenis musik ini sudah familiar bagi masyarakat Bali
dan memiliki alunan suara yang khas dan tidak menimbulkan kebisingan, sesuai
dengan yang dibutuhkan pasien lansia yang mengalami presbikusis. Bunyi yang
dihasilkan alat musik rindik adalah bunyi-bunyi alam. Apabila dimainkan secara
apik dan rapi musik rindik akan menghasilkan suara yang merdu, indah, dan
harmonis yang dapat membuat pecinta rindik menikmati ketenangan apabila benarbenar dihayati (Evayadnya, 2013).
Musik rindik merupakan sebuah alat musik tradisional Bali yang terbuat dari
bambu yang berlaraskan slendro yang terdiri dari 5 nada (ndang, nding, ndong,
ndeng, ndung). Rindik terdiri dari sebuah badan (disebut dengan bumbung) dan
sumber bunyinya berasal dari don atau bilah bambu yang setengah berlubang
biasanya berjumlah 11 hingga 12 bilah dalam satu bumbung. Paling kiri pada
posisi kita memainkannya, bilah bambu terlihat sangat panjang dan lebar, namun
makin ke kanan, bilah bambu semakin pendek dan mungil. Bila dipukul dari kiri
ke kanan maka akan menghasilkan nada dari rendah semakin tinggi. Bagian musik
31
rindik ada satu yang dipasang sedikit lebih tinggi dari yang lainnya, inilah yang
menghasilkan karakteristik suara berdengung.
Rindik dimainkan dengan dua atau tiga pemukul, satu dipegang di tangan kiri, dan
satu atau dua di tangan kanan. Biasanya tangan kiri membawa melodi dan tangan
kanan memainkan pola yang saling menciptakan konfigurasi antara dua bagian
kanan (Suryanatha, 2013). Permainan dari pada rindik lebih menekankan sistem
cecandetan/pukulan yang saling bersahut-sahutan (interlocking figuration).
Ketukan dalam alat musik rindik tergantung dari jenis musik yang dimainkan,
biasanya untuk rindik dari bambu dengan 11 bilah dengan iringan biasa
ketukannya dimulai dari 30 ketukan / menit (Triguna, 1994).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan terapi musik klasik rindik
merupakan salah satu terapi non farmakologi dengan menggunakan musik dan
aktivitas musik klasik rindik yang merupakan musik tradisional Bali yang terbuat
dari bambu berjumlah 11-12 bilah, yang berlaraskan slendro terdiri dari 5 nada
dengan ketukan dimulai dari 30 ketukan / menit, untuk mengatasi masalah aspek
fisik, psikologi, emosi, kognitif, dan kebutuhan sosial seseorang.
2.2.2
Pengaruh musik klasik rindik terhadap sistem tubuh
Musik sebagai gelombang suara diterima dan dikumpulkan oleh daun telinga
masuk ke dalam meatus akustikus eksternus hingga membrana timpani. Membran
timpani bersama rantai osikule dengan aksi hidrolik dan mengungkit, energi bunyi
diperbesar menjadi 25-30 kali (rata-rata 27 kali) untuk menggerakkan medium
cair perilimfe dan endolimfe, setelah itu getaran diteruskan hingga organ Corti
32
dalam koklea dimana getaran akan diubah dari sistem konduksi ke sistem saraf
melalui nervus auditorius (N.VIII) sebagai impuls elektris.
Impuls elektris musik masuk melalui saraf dari ganglion spiralis corti menuju ke
nukleus koklearis dorsalis dan ventralis yang terletak pada bagian atas medulla.
Pada titik ini semua sinaps serabut dan neuron tingkat dua diteruskan terutama ke
sisi yang berlawanan dari batang otak dan berakhir di nukleus olivarius superior.
Setelah melalui nukleus olivarius superior, penjalaran impuls pendengaran
berlanjut ke atas melalui lemniskus lateralis kemudian berlanjut ke kolikulus
inferior, tempat semua atau hampir semua serabut ini berakhir. Setelah itu impuls
berjalan ke nukleus genikulata medial, tempat semua serabut bersinaps, dan
akhirnya berlanjut melalui radiasio auditorius ke korteks auditorius
yang
terutama terletak pada girus superior lobus temporalis (Adams et al, 1994).
Kehilangan kemampuan mendengar pada pasien presbikusis sama seperti bentuk
kehilangan pendengaran pada pasien lainnya, hal ini dapat menyebabkan masalah
fisik, emosional dan sosial, seperti : terganggunya hubungan perorangan dengan
keluarga, kompensasi tingkah laku akibat gangguan pendengaran, pemarah dan
mudah frustasi, depresi dan menarik diri dari lingkungan (introvert), merasa
kehilangan kontrol pada kehidupannya, waham curiga (paranoid), self-criticism,
berkurangnya aktivitas dengan kelompok sosial, dan berkurangnya stabilitas
emosi.
Musik merupakan sebuah rangsangan elektris pada organ pendengaran yang
terorganisir yang menghasilkan vibrasi dan harmoni. Vibrasi yang dihasilkan
mempengaruhi secara fisik, sedangkan harmoni yang dihasilkan mempengaruhi
33
secara psikis. Jika vibrasi dan harmoni musik yang digunakan tepat, pendengar
akan merasa nyaman. Jika pendengar merasa nyaman ia akan merasa tenang. Jika
metabolisme tubuhnya berfungsi maksimal ia akan merasa lebih bugar, sistem
pertahanan tubuhnya akan bekerja lebih sempurna, dan kemampuan kreatifitas
akan berkembang lebih baik (Djohan, 2009).
Musik dalam bidang kedokteran memiliki hubungan sejarah yang erat dan
panjang. Sejak zaman Yunani kuno musik digunakan sebagai sarana untuk
mengobati penyakit dan ketidakmampuan yang dialami oleh setiap orang. Ketika
musik diaplikasikan sebagai sebuah terapi, musik dapat meningkatkan,
memulihkan dan memelihara kesehatan fisik, mental, emosional, sosial, dan
spiritual dari setiap individu karena musik memiliki beberapa kelebihan seperti
bersifat universal, nyaman, menyenangkan, dan berstruktur. Intervensi dengan
terapi musik dapat mengubah secara efektif ambang otak kita yang dalam keadaan
stres menjadi fisiologis lebih adaptif. Musik memiliki sifat yang universal dan
sangat mudah diterima oleh organ pendengaran dan tidak dibatasi pula oleh fungsi
intelektual. Pada sistem saraf otonom yang berisi saraf simpatis dan parasimpatis,
musik dapat memberikan rangsangan pada kedua sistem saraf tersebut untuk
menghasilkan respon relaksasi (Djohan, 2009).
Dr. Baroody menyatakan bahwa ada musik “acid” (asam) dan “alkaline” (basa).
Musik yang menghasilkan “acid” di antaranya adalah hard rock dan rap, yang
membuat seseorang merasa marah, bingung, mudah terkejut atau tidak bisa
memusatkan pikiran. Musik yang menghasilkan “alkaline” diantaranya adalah
musik klasik yang lembut, musik instrumental, meditatif, apa yang membuat
34
seseorang merasa rileks, puas dan bahagia. Suara yang harmonis, termasuk musik
alkaline, mensinkronkan sistem saraf, organ tubuh dan kelenjar kita. Penelitian
awal yang dilakukan menunjukan bahwa musik menstimulasi sistem kekebalan
tubuh dengan menyerap pasang surutnya gelombang emosi tubuh kita. Musik
menguatkan kita secara fisik dan emosional. Musik memberi kita kedamaian dan
harapan serta cinta, dan lebih daripada yang lain, kita memerlukan sifat-sifat yang
sangat manusiawi itu untuk menjaga kesehatan sistem kekebalan tubuh kita
(Mucci dan Mucci, 2002).
Hasil penelitian Chunagi (1996) dan Siegel (1999) yang didasarkan atas teori
neuron (sel kondiktor pada sistem saraf), menjelaskan bahwa “neuron akan
menjadi sirkuit jika ada rangsangan musik, rangsangan yang berupa gerakan,
elusan,
suara
mengakibatkan
neuron
yang
terpisah
bertautan
dan
mengintegrasikan diri dalam sirkuit otak”. Semakin banyak rangsangan musik
yang diberikan akan semakin kompleks jalinan antar neuron itu.
Musik juga berperan dalam proses pematangan hemisfer otak kanan, walaupun
berpengarauh ke hemisfer kiri oleh karena adanya corpus collosum sebagai crossover dari kanan ke kiri dan sebaliknya yang sangat kompleks dari jaras-jaras
neural di otak. Hal inilah yang berpengaruh pada perkembangan linguistik
seseorang. Hal ini didukung pula oleh teori plastisitas pendengaran dimana sistem
pendengaran dimodifikasi oleh pengalaman dan faktor lain. Peningkatan luas
daerah korteks pendengaran juga dihasilkkan oleh penggabungan rangsang
pendengaran. Contoh teori plastisitas korteks yaitu pada pemain musik , dimana
pada mereka terdapat peningkatan luas area auditorik yang terangsang oleh nada-
35
nada musik. Pemain musik juga memiliki serebelum yang lebih besar dari pada
mereka yang bukan pemain musik (Ganong, 2002).
Penelitian lain mengatakan musik di kalangan tuna netra juga memiliki pengaruh
yang sangat ajaib, khususnya terhadap daya pendengaran mereka. Sehingga
banyak berpengaruh positif terhadap kualitas hidupnya. Musik dikatakan juga
mempengaruhi beberapa sistem tubuh seperti : sistem imun, sistem saraf, sistem
endokrin, sistem pernapasan, sistem metabolik, dan sistem kardiovaskuler
(Muhammadi, 2012).
Getaran suara musik yang merupakan rangsangan elektris dihantarkan lewat liang
telinga dan telinga tengah ke telinga dalam melalui stapes, menimbulkan suatu
gelombang berjalan di sepanjang membran basilaris dari organ corti. Puncak
gelombang berjalan disepanjang membran basilaris ditentukan oleh frekuensi
suara musik tersebut. Bila suara musik frekuensi tinggi mengaktivasi membran
basilaris di dekat basis koklea, dan bila frekuensi rendah akan mengaktivasi
membran basilaris di dekat apeks koklea. Hal ini akan mengakibatkan
membengkoknya stereosilia oleh kerja pemberat membrana tektoria dan
menimbulkan depolarisasi sel rambut, sehingga menciptakan potensial aksi pada
serabut-serabut saraf pendengaran yang melekat padanya (Adams et al, 1994).
Pembengkokan sel-sel rambut juga dapat merangsang ujung-ujung saraf yang
terdapat dalam organ corti (Ackerman, 1988). Disinilah rangsangan elektris
gelombang suara musik diubah menjadi energi elektrokimia agar dapat
ditransmisikan melalui saraf vestibulokoklearis (N.VIII) menuju korteks
pendengaran pada lobus temporalis (Adams et al, 1994). Pada sisi lain oleh
36
adanya rangsangan elektris tadi dapat menciptakan potensial aksi pada serabutserabut saraf pendengaran untuk meningkatkan aliran darah pada stria vaskularis
(baterai kedua organ corti) untuk mengerakkan cairan endolimfe, sehingga
fungsinya akan kembali optimal (Adams et al, 1994).
2.2.3
Teknik pemberian terapi musik
Penggunaan Terapi musik dapat dilakukan dalam berbagai cara, mulai dari
mendengarkan kaset pilihan hingga menyanyikan atau memainkan sebuah
instrumen. Sejumlah faktor harus diperhatikan seperti : jenis musik, lamanya
musik yang digunakan dan hasil yang diinginkan. Pada penentuan jenis musik
perlu perhatian yang cermat, musik yang digunakan dalam intervensi dicari musik
yang bersifat terapi yaitu memiliki irama yang teratur, pitch yang tidak ekstrim
atau dinamis serta bunyi melodi yang lembut dan mengalun-alun (Djohan, 2009).
Sebelum memberikan terapi musik, peneliti menyiapkan musik yang sesuai
dengan tujuan yang ingin dicapai yaitu peningkatan kemampuan mendengar,
kemudian menyiapkan alat yang digunakan untuk mendengarkan musik yaitu
kaset atau
Compack Disk yang akan dibawa pulang oleh responden untuk
didengarkan di rumah. Semua jenis musik sebenarnya dapat digunakan sebagai
terapi musik seperti lagu-lagu relaksasi, lagu popular, maupun lagu atau musik
klasik. Musik dengan tempo konstan, melodi sederhana yang diulang secara
teratur, dan banyak ruang untuk masuknya frekuensi alami sangatlah penting.
Sebagai tambahan, musiknya sendiri harus sesuatu yang disukai, bersifat
menyenangkan karena jika tidak, hal itu tidak akan mendatangkan efek yang
37
menguntungkan bahkan bisa memperburuk kondisi seseorang (Mucci dan Mucci,
2000).
Peneliti tertarik menggunakan jenis musik klasik tradisional Bali jenis rindik
dalam penelitian ini karena jenis musik ini sudah familiar bagi masyarakat Bali
dan memiliki alunan suara yang khas dan tidak menimbulkan kebisingan, sesuai
dengan yang dibutuhkan pasien lansia yang mengalami prebikusis. Frekuensi
yang dianjurkan sekitar 50-8.000 Hz sesuai dengan frekuensi yang menurun pada
lansia yang mengalami prebikusis. Musik diperdengarkan selama 30 menit untuk
mendapatkan efek terapi yang diinginkan, karena seseorang merespon musik
dengan baik pada menit ke 30 sampai 60 (Schwartz, 2007).
Musik klasik rindik diberikan pada intensitas 55- 70 dB, karena intensitas
percakapan normal 60-70 dB dan nilai ambang batas intensitas kebisingan adalah
85 dB (Arnon dalam Sari, 2006). Hal ini didukung pula oleh pernyataan Sherwood
(2001) “beberapa otot halus telinga tengah akan berkontraksi secara reflek sebagai
respon terhadap suara keras lebih dari 70 dB, yang menyebabkan membran timpani
meregang dan pergerakan tulang-tulang telinga dibatasi, untuk melindungi
perangkat sensorik dari kerusakan”. Suara musik didengarkan pada jarak 1-2 meter
dari telinga pasien (Arnon dalam Sari, 2006).
Berikut adalah tehnik dalam penggunaan terapi musik :
a. Pastikan responden kooperatif dan bersedia mendengarkan musik sesuai
dengan petunjuk terapi.
b. Tentukan tujuan intervensi musik yang disepakati dengan responden, dan
libatkan anggota keluarga di rumah dalam pelaksanaanya.
38
c. Siapkan peralatan yang akan digunakan dan pastikan semua dalam keadaan
baik.
d. Motivasi responden untuk melaksanakan terapi musik, setelah terapi musik
diberikan lakukan pengukuran kembali kemampuan mendengar pasien
presbikusis dengan pemeriksaan audiometri.
Download