Pemeriksaan Pendengaran

advertisement
Komang Shary K., NPM 1206238633
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
LTM Pemicu 4 Modul Penginderaan
Pemeriksaan Pendengaran
Pendahuluan
Etiologi penurunan pendengaran dapat ditentukan melalui pemeriksaan pendengaran.
Pemeriksaan ini dapat dilakukan melalui pemeriksaan hantaran udara melalui tulang (menggunakan
garpu tala) atau audiometer nada murni.[1] Namun tentu saja, seperti halnya pemeriksaan fisik pada
umumnya, semua didahului dengan anamnesis.[2] Teknik pemeriksaan beserta cara interpretasi
pemeriksaan pendengaran menjadi topik bahasan LTM ini, yang susunannya adalah sebagai berikut:
1. Anamnesis Kelainan Pendengaran
2. Teknik Pemeriksaan
2.1 Ketajaman Pendengaran
2.2 Tes Penala
2.3 Audiometri Nada Murni
Isi
1. Anamnesis Kelainan Pendengaran
1.1 Pertanyaan Pembuka
Pertanyaan-pertanyaan pembuka untuk menanyakan apakah pasien mengalami gangguan
pendengaran adalah sebagai berikut:

“Bagaimana pendengaran Anda?”

“Apakah Anda mengalami masalah dengan telinga Anda?”
Apabila pasien menyadari terdapat penurunan pendengaran (hearing loss), perlu diketahui
apakah penurunan bersifat unilateral atau bilateral, mulai tiba-tiba atau perlahan, dan bagaimana
gejala penyertanya. Perlu diingat juga bahwa penurunan pendengaran dapat bersifat kongenital,
melalui mutasi satu gen.[2]
1.2 Membedakan tuli konduktif dan tuli sensorineural
Melalui anamnesis dapat dibedakan apakah kelainan merupakan tuli konduktif (berasal dari
masalah pada telinga tengah atau eksternal) atau sensorineural (berasal dari masalah telinga dalam,
nervus koklearis, atau hubungan sentral pada otak). Pertanyaan yang dapat dilontarkan adalah:
1

“Apakah Anda mengalami kesulitan khusus memahami orang-orang berbicara?”
Pasien dengan kelainan sensorineural kesulitan memahami pembicaraan. Keluhannya
biasanya adalah orang-orang terdengar seperti bergumam.

“Apakah ada perbedaan jika Anda berada di lingkungan yang berisik?”
Lingkungan yang berisik membantu pendengaran pasien dengan tuli konduktif.[2]
1.3. Gejala-gejala pada Telinga
Gejala-gejala yang diasosiasikan dengan penurunan pendengaran dapat membantu
menentukan kemungkinan etiologi. Contohnya adalah rasa sakit pada telinga atau vertigo. Rasa
sakit pada telinga sering dijumpai, dan perlu ditanyakan apakah rasa sakit tersebut berhubungan
dengan demam, radang tenggorokan, batuk, dan infeksi saluran respirasi atas yang terakit. Rasa
nyeri menunjukkan adanya masalah di telinga luar (otitis eksterna), telinga dalam (otitis media) atau
akibat struktur lain seperti mulut, tenggorokan, atau leher. Bila dikaitkan dengan gejala infeksi
saluran respirasi, perlu diperkirakan penyebabnya adalah otitis media.[2]
Gejala lainnya yang bisa ditanyakan adalah keluarnya zat tertentu dari telinga (discharge),
terutama bila diasosiasikan dengan trauma atau rasa sakit pada telinga, misalnya akibat otitis media.
Pasien juga dapat mengalami tinnitus, atau persepsi suara yang tidak timbul dari stimulus
eksternal. Tinnitus merupakan gejala yang sering dijumpai dan frekuensinya meningkat seiring
bertambahnya usia. Tinnitus yang diasosiasikan dengan vertigo dan penurunan pendengaran
mensugesti terdapatnya Meniere’s disease.[2]
1.4. Lain-lain
Perlu ditanyakan apakah pasien mengonsumsi obat-obatan yang dapat mempengaruhi
pendengaran, misalnya aminoglikosida, aspirin, NSAID, kuinin, dan furosemide. Riwayat pajanan
terhadap suara keras juga dapat ditanyakan.[2]
2. Teknik Pemeriksaan
2.1 Ketajaman Pendengaran
Pemeriksaan ketajaman pendengaran dilakukan setelah pemeriksaan struktur telinga luar
dan telinga tengah. Cara termudah melakukannya adalah dengan mengoklusi kanal eksternal pasien
dengan tragus dan berbicara menggunakan suara kecil pada telinga yang lain. Pemeriksa
membisikkan kata-kata pada telinga yang tidak dioklusi dan menentukan apakah pasien dapat
membedakan kata-kata yang dibisikkan. Pendengaran dianggap berada dalam batas normal apabila
2
pasien dapa tmenjawab dengan benar. Menurut berbagai studi, ditemukan bahwa apabila hasilnya
normal, penurunan pendengaran yang signifikan dapat dieksklusi.[3]
2.2. Tes Penala
Tes penala merupakan pemeriksaan pendengaran kualitatif dan terdiri atas berbagai
macam tes.[1] Tes penala lebih akurat dalam mendeteksi adanya penurunan pendengaran daripada
tes bisikan dan dapat menentukan jenis tuli, apakah konduktif atau sensorineural.[2,3] Pemeriksaan
ini sebaiknya dilakukan apapun hasil dari tes bisikan.[3] Pada LTM ini, yang akan dibahas adalah tes
Rinne, tes Weber, dan tes Schwabach.
Garpu tala yang dapat digunakan berfrekuensi 512, 1024, dan 2048 Hz karena untuk
pendengaran sehari-hari yang paling efektif terdengar adalah bunyi antara 500-2000 Hz. Apabila
tidak memungkinkan penggunaan tiga garpu tala yang telah disebut, maka yang digunakan adalah
garpu tala dengan frekuensi 512 Hz. Garpu tala tersebut tidak terlalu dipengaruhi suara bising
lingkungan.[1] Interpretasi tes penala dapat dilihat pada Tabel 1.
2.2.1 Tes Rinne
Tes ini digunakan untuk membandingkan hantaran melalui udara dengan hantaran melalui
tulang. Cara melakukannya adalah dengan menggetarkan penala, lalu meletakkan tangkainya di
prosesus mastoid. Setelah suara tidak terdengar lagi oleh pasien, pegang penala di depan telinga
dalam jarak kira-kira 2,5 cm. Bila suara masih terdengar, maka tes Rinne disebut positif (+)
sedangkan bila tidak terdengar disebut RInne negatif (-).[1]
2.2.2 Tes Weber
Pada tes Weber, penala digetarkan lalu
diletakkan pada garis tengah kepala, misalnya di tengah
dahi. Pasien lalu diminta menyebutkan apakah bunyi
terdengar lebih keras di telinga tertentu. Pada orang
normal, bunyi sama-sama terdengar atau bisa juga
terdapat lateralisasi. Apabila terdapat lateralisasi,
pelaporannya adalah Weber lateralisasi ke telinga
tersebut. Bila bunyi terdengar sama kerasnya di kedua
telinga,
pelaporannya
adalah
Weber
tidak
ada
Tabel 1. Interpretasi tes penala. [1]
lateralisasi.[1]
3
2.2.3 Tes Schwabach
Setelah digetarkan, penala diletakkan di prosesus mastoideus. Ketika bunyi menghilang,
penala dipindahkan ke prosesus mastoideus pemeriksa. Apabila bunyi masih terdengar, berarti
pendengaran pasien telah mengalami pemendekan. Namun apabila bunyi sudah tidak terdengar
lagi, maka kemungkinannya adalah pendengaran pasien normal atau memanjang. Untuk
memastikannya. Dilakukan tes yang sama tapi dengan perubahan urutan; penala digetarkan mulamula pada prosesus mastoid pemeriksa, lalu setelah bunyinya hilang dipindahkan ke prosesus
mastoid pasien. Apabila pasien masih dapat mendengar bunyi, berarti pendengarannya memanjang
(Schwabach memanjang), sedangkan bila ia tidak dapat mendengar lagi maka pendengarannya
normal (Schwabach sama dengan pemeriksa).[1]
2.3. Audiometri
Pemeriksaan Rinne dan Weber merupakan pemeriksaan
skrining.
Untuk
memastikan,
diperlukan
pemeriksaan
audiometri.[3] Pengukuran pendengaran dilakukan dengan
mengamati dua komponen, yaitu frekuensi dan intensitas bunyi.
Pemeriksaan audiometri dapat mengukur dan membuat grafik
pendengaran seseorang pada berbagai frekuensi dan intensitas.
Frekuensi diukur dengan siklus gelombang perdetik [Hz]
sedangkan
intensitas
dalam
desibel
[dB].
Pemeriksaan
audiometri seringkali dilakukan oleh dokter layanan primer
Istilah-istilah pada audiometri
AC = air conduction (hantaran
udara)
BC = bone conduction (hantaran
tulang)
Gap = perbedaan AC dan BC >=
10 dB, minimal pada 2 frekuensi
yang berdekatan
Masking = pemberian distraksi
berupa suara pada telinga yang
tidak diperiksa
AD = ambang dengar, bunyi
nada murni terlemah yang masih
dapat didengar[1]
karena prosedur yang tidak kompleks dan peralatan yang tidak
banyak.[4] Pemeriksaan audiometri dapat menentukan jenis (tuli konduktif, sensorineural, atau tuli
campur) dan derajat ketulian serta gap.[1]
Ketulian dapat diukur derajatnya melalui perhitungan dengan indeks Fletcher:
AD = AD 500 Hz + AD 1000 Hz + AD 2000 Hz
3
Akan tetapi, menurut kepustakaan terbaru, perhitungan dengan ambang dengar 4000 Hz
perlu diperhitungkan karena berperan penting dalam pendengaran. Apabila ambang dengar dalam
4000 Hz juga dihitung, berarti penyebut rumus yang telah disebut di atas adalah 4.[1]
Yang dihitung pada saat menentukan derajat ketulian hanyalah ambang dengar hantaran
udara (AC).[1] Klasifikasi derajat ketulian dapat dilihat pada Tabel 2.
Normal
0-25 dB
Tuli ringan
>25 – 40 dB
4
Tuli sedang
>40 – 55 dB
Tuli sedang berat
>55 – 70 dB
Tuli berat
>70 – 90 dB
Tuli sangat berat
>90 dB
Tabel 2. Klasifikasi derajat ketulian. [1]
Jenis tuli dapat diamati melalui audiogram yang dihasilkan dari plotting pengukuran dengan
audiometri. Pada pendengaran telinga normal, AC dan BC sama atau kurang dari 25 dB. Pada tuli
sensorineural satu telinga,, AC dan BC turun lebihd ari 25 dB tetapi berhimpit. Pada tuli konduktif
unilateral, BC bisa normal atau kurang dari 25 dB, AC turun lebih dari 25 dB, dan terdapat gap pada
AC dan BC. Pada tuli campuran unilateral, BC turun lebih dari 25 dB, AC turun lebih besar dari BC dan
terdapat gap.[1] Grafik hasil audiogram dapat dilihat pada Gambar 1. Keterangan notasi audiogram
dapat dilihat pada Gambar 2.
5
Gambar 1. Audiogram.
[1]
Gambar 2. Notasi Audiogram. [1]
Kesimpulan dan Keterkaitan dengan Pemicu
Pemeriksaan pendengaran dapat dilakukan melalui pemeriksaan ketajaman pendengaran,
tes penala, dan audiometri, namun sebelum melakukan semua yang telah disebutkan tentu pasien
dianamnesis terlebih dahulu. Pada pemicu, melalui anamnesis diketahui bahwa pasien tidak
memiliki riwayat infeksi di telinga, trauma, serta tidak terpajan bising maupun obat yang
mengganggu fungsi telinga. Pemeriksaan otoskopi menunjukkan bahwa liang telinga pasien lapang,
membrana timpani utuh dan normal, serta refleks cahaya dalam batas normal pada kedua telinga.
Akan tetapi, pasien mengalami penurunan pendengaran pada telinga kiri dan Weber lateralisasi ke
telinga kanan. Hasil pemeriksaan ini dapat diinterpretasikan sebagai tuli sensorineural.
Daftar Pustaka:
1.
Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J. Gangguan Pendengaran (Tuli). In: In: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin
J, Restuti RD, editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher, Edisi Ketujuh.
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012.
2.
Bickley LS, Szilagyi PG. Bates’ Guide to Physical Examination and History Taking, Tenth Edition. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2009.
3.
Swartz MH. Textbook of Physical Diagnosis, Seventh Edition. Philadelphia: Saunders; 2014.
4.
Amundsen GA. Audiometry. In: Pfenininger JL, editor. Pfenninger and Fowler’s Procedures for Primary Care, Third
Edition. Missouri: Mosby; 2011.
6
Download