1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran, misalnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas, pengelihatan semakin memburuk, gerakan lambat, dan figur tubuh yang tidak proporsional (Nugroho, 2008). Pada sistem pendengaran lansia paling sering terjadi presbikusis. Presbikusis dikenal sebagai kehilangan pendengaran neurosensori, senil, atau progresif, yang ditandai dengan disfungsi unsur sensorik telinga simetris (sel-sel rambut) atau struktur telinga serat saraf koklear (Subekti, 2007). Proses degenerasi pada sistem pendengaran menyebabkan perubahan struktur koklea dan nervus auditorius. Pada koklea perubahan yang mencolok ialah atrofi dan degenerasi sel-sel rambut penunjang pada organ Corti. Proses atrofi disertai dengan perubahan vaskuler pada stria vaskularis, berkurangnya jumlah dan ukuran sel-sel ganglion saraf (Soepardi dan Iskandar, 2000). Gangguan sensorineural yang berkaitan dengan penuaan, atau presbikusis, adalah penyebab paling umum dari gangguan pendengaran, biasanya terjadi bertahap, bilateral, dan ditandai dengan gangguan pendengaran frekuensi tinggi. Rentang frekuensi biasanya menurun menjadi 50 sampai 8.000 Hz, progresif terjadi pada frekuensi 21 2 4 kHz (Guyton dan Hall, 2007). Presbikusis mempunyai hubungan dengan faktorfaktor herediter, pola makanan, diet tinggi kolesterol, metabolisme, arteriosklerosis, infeksi, bising, gaya hidup, hipertensi, lesi vaskuler atau bersifat multifaktor (Soepardi dan Iskandar, 2000). Jumlah lansia di Indonesia terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2005 sebanyak 18,3 juta orang (8,5%) dan tahun 2010 sebanyak 19,3 juta orang (9%) dari jumlah penduduk Indonesia (Nugroho, 2008). Di Indonesia jumlah pasien yang mengalami presbikusis pada tahun 2000 sebanyak 4,6 % dengan estimasi sebanyak 9,6 juta orang. Jumlah lansia menurut data dinas kesehatan kabupaten Badung tahun 2012 sebanyak 30.404 orang dan di kecamatan Abiansemal sebanyak 6.969 orang. Sedangkan angka kejadian presbikusis tahun 2012 di Kabupaten Badung sebanyak 171 orang. Lansia di Banjar Juwet desa Abiansemal tahun 2011 sebanyak 31 orang dan meningkat menjadi 49 orang pada tahun 2012. Presbikusis akan menyebabkan kemampuan mendengar berkurang berangsur- angsur, biasanya terjadi bersamaan pada kedua telinga. Telinga akan menjadi sakit bila lawan bicara memperkeras suara. Selain itu penderita presbikusis juga mengalami kesulitan dalam memahami percakapan terutama di lingkungan bising, hal ini disebabkan oleh berkurangnya kemampuan membedakan (diskriminasi) suku kata yang hampir mirip. Jika tidak dilakukan upaya rehabilitasi pendengaran, maka kemampuan untuk memahami percakapan akan makin terganggu. Lansia akan mengalami masalah fisik, emosional dan sosial (Soepardi dan Iskandar, 2000). 3 Upaya rehabilitasi yang sudah dilakukan selama ini dengan pemasangan alat bantu dengar (ABD) dan pemasangan implan koklear (Adams et al, 1994). Proses regenerasi serabut-serabut saraf pendengaran, juga dapat dilakukan dengan pemberian rangsangan elektris berupa terapi musik. Getaran suara musik mengakibatkan membengkoknya stereosilia oleh kerja pemberat membrana tektoria dan menimbulkan depolarisasi sel rambut, sehingga menciptakan potensial aksi pada serabut-serabut saraf pendengaran. Rangsangan elektris gelombang suara musik diubah menjadi energi elektrokimia agar dapat ditransmisikan melalui saraf vestibulokoklearis menuju korteks pendengaran pada lobus temporalis. Suara musik juga dapat menciptakan potensial aksi pada serabut-serabut saraf pendengaran untuk meningkatkan aliran darah dan menggerakkan cairan endolimfe pada stria vaskularis sehingga fungsinya kembali optimal (Adams et al,1994). Terapi musik adalah sebuah aktivitas terapeutik yang menggunakan musik sebagai media untuk memperbaiki, memelihara, mengembangkan mental, fisik, dan kesehatan emosi. Teori model (Trion dalam Djohan, 2009) mengatakan bahwa “aktivitas musik dapat memperkuat pola-pola cetusan neural yang terorganisir dari kode-kode spasial temporal dalam wilayah korteks”. Pada fungsi otak, ditemukan bahwa belajar tentang nada pada dasarnya adalah mengembalikan sel-sel korteks auditori. Hal ini didukung pula oleh teori plastisitas pendengaran, yaitu pada pemain musik terdapat peningkatan luas area auditorik yang terangsang oleh nada-nada musik. Pemain musik juga memiliki cerebelum yang lebih besar dari pada mereka yang bukan pemain musik (Ganong, 2002). 4 Salah satu musik klasik tradisional Bali adalah jenis musik rindik, dimana musik ini sudah familiar bagi masyarakat Bali dan memiliki irama yang teratur, menenangkan dan disukai oleh lansia (Evayadnya, 2013). Musik rindik memiliki alunan suara yang khas dan tidak menimbulkan kebisingan. Musik rindik merupakan sebuah alat musik tradisional Bali yang terbuat dari bambu yang berlaraskan slendro yang terdiri dari 5 nada yaitu : ndang, nding, ndong, ndeng, ndung (Evayadnya, 2013). Ketukan dalam alat musik rindik tergantung dari jenis musik yang dimainkan, biasanya untuk rindik dari bambu dengan 11 bilah ketukannya dimulai dari 30 ketukan / menit (Triguna, 1994). Musik rindik diberikan dalam frekuensi 50-8.000 Hz, sesuai dengan frekuensi yang menurun pada lansia dengan intensitas 55-70 dB. Musik diperdengarkan selama 30 menit untuk mendapatkan efek terapi yang diinginkan, karena seseorang merespon musik dengan baik pada menit ke 30 sampai 60 (Schwartz, 2007). Suara musik didengarkan pada jarak 1-2 meter dari telinga pasien (Arnon dalam Sari, 2006). Berdasarkan studi pendahuluan yang sudah dilakukan di Banjar Juwet Desa Abiansemal, dari 5 orang responden presbikusis ditemukan 3 orang mengalami tuli ringan (26-40 dB) dan 2 orang mengalami tuli sedang (41-60 dB). Terapi musik klasik rindik diberikan kepada 3 orang responden yang mengalami tuli ringan untuk didengarkan di rumah selama 30 menit/hari dalam waktu 1 minggu. Studi pendahuluan terhadap 3 orang responden tersebut menunjukkan hasil pemeriksaan kemampuan mendengar belum ada kemajuan pada grafik audiogram. Sedangkan, responden mengatakan merasa lebih tenang setelah mendengar musik klasik rindik. 5 Melihat permasalahan tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti “ Pengaruh Terapi Musik Klasik Rindik Terhadap Kemampuan Mendengar Pasien Presbikusis di Banjar Juwet Desa Abiansemal” 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah penelitian sebagai berikut: “Adakah Pengaruh Terapi Musik Klasik Rindik Terhadap Kemampuan Mendengar Pasien Presbikusis di Banjar Juwet Desa Abiansemal?“. 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui pengaruh terapi musik klasik rindik terhadap kemampuan mendengar pasien presbikusis di Banjar Juwet Desa Abiansemal. 1.3.2 Tujuan Khusus a. Mengidentifikasi kemampuan mendengar pasien presbikusis sebelum pemberian terapi musik klasik rindik b. Mengidentifikasi kemampuan mendengar pasien presbikusis setelah pemberian terapi musik klasik rindik c. Menganalisis pengaruh terapi musik klasik rindik terhadap mendengar pasien presbikusis. kemampuan 6 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Praktis a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi perawat untuk memberikan pelayanan keperawatan non farmakologi (terapi musik klasik rindik) dalam upaya meningkatkan kemampuan mendengar pasien presbikusis. b. Sebagai acuan untuk membantu meningkatkan penyembuhan pasien presbikusis dan melengkapi sarana evidence based. 1.4.2 Manfaat Teoritis a. Bagi tenaga kesehatan diharapkan dapat dijadikan sebagai wahana untuk menambah pengetahuan dan mengaplikasikan ilmu yang diperoleh. b. Dapat memberikan informasi atau data dasar bagi peneliti selanjutnya dan sebagai motivasi untuk menyadari pentingnya terapi musik klasik rindik untuk meningkatkan kemampuan mendengar pasien presbikusis. 1.5 Keaslian Penelitian Penelitian tentang “Pengaruh Terapi Musik Klasik Rindik Terhadap Kemampuan Mendengar Pasien Presbikusis di Banjar Juwet Desa Abiansemal, sepengetahuan penulis belum pernah diteliti sebelumnya, tetapi ada beberapa penelitian yang hampir sama dan mendukung penelitian ini : 7 1.5.1 Penelitian Comincini dan Piccolol (2013) dengan judul penelitian “The role of music therapy in impaired hearing recovery. Hasil penelitian menunjukan bahwa profesional kesehatan hanya sedikit mengetahui tentang efektivitas rehabilitasi terapi musik, sedangkan orang tua dari anak-anak yang mengalami tuna rungu memberikan evaluasi positif tentang manfaat psikologi, perilaku, dan linguistik bahwa terapi musik memberikan keuntungan kepada anak-anak mereka. Perbedaan penelitian Comincini dan Piccolol dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah penelitian Comincini dan Piccolol menggunakan populasi orang tua pasien yang mengalami tuna rungu dan menggunakan kuisoner untuk mengumpulkan data, sedangkan penelitian peneliti menggunakan populasi pasien presbikusis dan pengumpulan data dengan pemeriksaan audiometri. Persamaannya adalah sama-sama menganalisis pengaruh terapi musik terhadap pasien yang mengalami gangguan pendengaran. 1.5.2 Penelitian Lopez dan Gonzales, (2009) dengan judul penelitian “ patients with idiopathic sudden sensorineural hearing loss were administered steroids, piracetam and antioxidants, together with the addition of sounds by means of music and words”. Hasil pengamatan menyimpulkan pada kelompok yang mendapatkan terapi obat dan terapi tambahan suara musik mendapatkan pemulihan lebih tinggi dan sembuh sebanyak 79 %, sedangkan pada kelompok yang hanya mendapatkan terapi obat saja sembuh sebanyak 54 %. Perbedaanya adalah pada penelitian Lopez dan Gonzales menggunakan pasien tuli mendadak sebagai populasi, sedangkan 8 peneliti menggunakan pasien presbikusis. Persamaanya adalah sama-sama menganalisis pengaruh terapi musik terhadap pasien yang mengalami gangguan pendengaran. 1.5.3 Penelitian Kraus (2011) dengan judul penelitian “ Bagaimana latihan musik membantu pendengaran dalam usia lanjut”. Penelitian membuktikan bahwa memainkan alat musik meningkatkan kemampuan mendengar dan memahami apa yang kita dengar. Orang-orang yang lebih tua dalam studi itu yang mulai bermain alat musik sepanjang hidupnya ketika berusia sembilan tahun atau lebih muda mampu mengalahkan kelompok yang bukan musisi kecuali pada unsur memori visual. Perbedaannya adalah pada penelitian Kraus mengunakan dua kelompok yaitu kelompok perlakuan dan kelompok kontrol, sedangkan penelitian peneliti tanpa menggunakan kelompok kontrol. Persamaanya adalah sama-sama menganalisis pengaruh terapi musik terhadap pendengaran pada usia lanjut.