BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Teoritis 2.1.1 Budaya

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Teoritis
2.1.1 Budaya Organisasi
2.1.1.1 Pengertian Budaya Organisasi
Menurut kamus Bahasa Indonesia, kata budaya berasal dari bahasa
Sansekerta yaitu Bodhya yang berarti akal budi. Sedangkan secara terminologis
organisasi dapat diartikan sebagai kesatuan (entity) sosial yang dikoordinasikan
secara sadar dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasikan, yang
bekerja atas dasar yang relatif terus menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama
atau sekelompok tujuan.
Pendekatan budaya dimunculkan dalam teori organisasi ketika kompleksitas
perubahan lingkungan dan tingkat persaingan yang dihadapi organisasi dewasa ini
sangat tinggi. Budaya organisasi mengacu pada sebuah sistem makna bersama
yang dianut oleh para anggota yang membedakan organisasi tersebut dengan
organisasi lainnya (Robbins dan Judge, 2007:256). Budaya organisasi dapat
dibayangkan sebagai lem yang merekat organisasi menjadi satu kesatuan melalui
suatu kebersamaan dalam hal pola-pola makna. Budaya terfokus pada nilai-nilai,
keyakinan-keyakinan, harapan-harapan yang dimiliki bersama para anggota (Siehl
dan Martin dalam Kusdi, 2011:50).
Schein (dalam Satyagraha, 2010:21) mendefinisikan budaya organisasi
(organizational culture) sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
“The culture of a group can now be defined as a pattern of shared
basic assumptions that has learned by a group as it solved its problems of
external adaptation and internal integration, that has worked well enough
tobe considered valid and, therefore, to be taught to new members as the
correct way to perceive, think, and feel in relation to those problems.“
“Budaya suatu kelompok/organisasi didefinisikan sebagai (1) suatu
pola dari asumsi-asumsi dasar bersama (2) yang ditemukan, diciptakan atau
dikembangkan oleh kelompok/organisasi (3) untuk memecahkan masalahmasalah yang terkait dengan adaptasi eksternal dan integrasi internal, (4)
yang telah bekerja dengan baik sehingga dapat dianggap valid, (5) yang oleh
karena itu dapat diajarkan kepada anggota baru (6) sebagai cara yang benar
untuk memahami, berfikir, dan merasa menghadapi masalah tersebut.”
Sedangkan budaya organisasi menurut Marteen (dalam Kusdi, 2011:50)
mengacu pada:
“Pengetahuan yang oleh anggota suatu kelompok dibayangkan
sedikit-banyak dimiliki bersama, pengetahuan yang dikatakan
menginformasikan, melekat, membentuk, dan diperhitungkan dalam
aktivitas-aktivitas rutin dan tidak terlalu rutin dari para anggota kultur
tersebut. Budaya diekspresikan (atau terdiri atas) hanya melalui tindakantindakan dan kata-kata para anggota dan harus ditafsirkan, bukan diberikan
kepada seorang peneliti lapangan (field worker). Budaya tidak dapat terlihat
dengan sendirinya, tetapi hanya dapat terlihat melalui representasinya.
Dari beberapa definisi yang dikemukakan para ahli tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa budaya organisasi merupakan nilai-nilai, keyakinankeyakinan yang dianut oleh para anggota organisasi dalam memecahkan masalah
dan mencapai harapan-harapan bersama sebagai perekat dalam organisasi
sekaligus pembeda dengan organisasi lain.
2.1.1.2 Karakteristik Budaya Organisasi
Menurut Robbins dan Judge (2008:256) terdapat tujuh karakteristik utama
yang secara keseluruhan merupakan hakikat budaya sebuah organisasi, yaitu:
1. Inovasi dan keberanian mengambil risiko. Sejauh mana karyawan didorong
untuk bersikap inovatif dan berani mengambil risiko.
Universitas Sumatera Utara
2. Perhatian
pada
hal-hal
rinci.
Sejauh
mana karyawan
diharapkan
menjalankan presisi, analisis, dan perhatian pada hal-hal detail.
3. Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen berfokus lebih pada hasil ketimbang
pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut.
4. Orientasi
orang.
Sejauh
mana
keputusan-keputusan
manajemen
mempertimbangkan efek dari hasil tersebut atas orang yang ada dalam
organisasi.
5. Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan-kegiatan kerja diorganisasi pada tim
ketimbang pada individu-individu.
6. Keagresifan. Sejauh mana orang bersikap agresif dan kompetitif ketimbang
santai.
7. Stabilitas.
Sejauh
mana
kegiatan-kegiatan
organisasi
menekankan
dipertahankannya statusquo dalam perbandingannya dengan pertumbuhan.
2.1.1.3 Fungsi Budaya Organisasi
Robbins (2008:262) mengemukakan beberapa fungsi budaya suatu
organisasi, yaitu pertama budaya sebagai penentu batas-batas, artinya budaya
menciptakan perbedaan atau distingsi antara suatu organisasi dengan organisasi
lainnya. Kedua, budaya menciptakan identitas bagi para anggota organisasi.
Ketiga, budaya memfasilitasi lahirnya komitmen terhadap sesuatu yang lebih luas
daripada kepentingan individu. Keempat, budaya meningkatkan stabilitas sistem
sosial. Kelima, budaya berfungsi sebagai mekanisme sense making serta kendali
yang menuntun dan membentuk sikap dan perilaku karyawan.
Universitas Sumatera Utara
2.1.1.4 Tingkatan (level) Budaya Organisasi
Artifak
Struktur dan proses-proses organisasional
yang tampak (tetapi sulit ditafsirkan)
Nilai-nilai
Asumsi-asumsi
Strategi, tujuan, filosofi
Keyakinan, persepsi, pemikiran, dan perasaan yang
sifatnya tidak disadari, atau taken for granted.
Sumber : Schein dalam Kusdi (2011:52)
Gambar 2.1 Tingkatan Budaya
Schein (dalam Kusdi, 2011:52) menyederhanakan budaya organisasi
menjadi tiga lapisan berdasarkan tingkat “kedalamannya”, yaitu:
1. Artifak, meliputi elemen-elemen yang paling kasat mata dan berada pada lapis
terluar. Artifak merupakan aspek penting yang sering kali mendapat penekanan
khusus dalam penelitian budaya, terutama penelitian yang menggunakan
pendekatan simbolik-interpretif. Schein membagi artifak dalam kelompok
artifak fisik dan verbal, yang kemudian membaginya kedalam enam kelompok
berikut:
1. Desain dan struktur organisasi
2. Sistem-sistem dan prosedur kerja
3. Ritus-ritus dan ritual
4. Desain fisik dari ruangan, tampak luar gedung (facades), dan bangunan
5. Cerita-cerita, legenda, mitos tentang orang-orang dan peristiwa-peristiwa
yang terjadi dalam organisasi
6. Pernyataan formal tentang filosofi, nilai-nilai, dan kredo organisasi.
Universitas Sumatera Utara
2. Nilai-nilai, sifatnya lebih abstrak, tetapi masih berada dalam ruang lingkup
kesadaran pelaku. Nilai-nilai adalah dasar bagi suatu kelompok untuk
melakukan penilaian (judgement) terhadap sesuatu, apakah sesuatu itu
dipandang baik atau buruk, benar atau salah, berguna atau tidak berguna. Jika
diterapkan pada organisasi, maka nilai-nilai adalah sesuatu yang paling
diperhatikan dan didahulukan oleh organisasi tersebut dalam setiap
aktivitasnya, baik itu berupa kebebasan, demokrasi, tradisi, kesejahteraan,
maupun loyalitas.
3. Asumsi-asumsi kultural atau basic assumption yang bersifat kelaziman atau
taken for granted dan sering kali berada di luar kesadaran pelaku. Dengan
menggunakan pendekatan fungsional, Schein mengatakan bahwa setiap
organisasi di mana pun dan kapan pun akan berhadapan dengan tujuh masalah
dasar yang harus dipecahkan, yaitu:
1. hubungan organisasi dan lingkungan
2. hakikat aktivitas manusia
3. hakikat realitas dan kebenaran
4. hakikat waktu
5. hakikat manusia
6. sifat manusia
7. homogenitas versus keragaman
2.1.1.5 Tipe Budaya Organisasi
Cameron dan Quinn (dalam Kusdi, 2011:87) membagi budaya organisasi
menjadi empat tipe budaya yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1. Budaya Adhokrasi
Adhokrasi adalah suatu budaya yang sangat dinamis, dijiwai semangat
kewiraswastaan (entrepreneurship) dan kreativitas. Nilai yang diutamakan adalah
inovasi dan keberanian mengambil risiko. Ikatan yang menyatukan organisasi
adalah komitmen terhadap eksperimen dan inovasi. Tujuan jangka panjang
organisasi adalah pertumbuhan dan meraih sumber daya baru. Sukses diukur dari
penemuan produk atau jasa baru yang inovatif.
2. Budaya Market
Budaya pasar beroperasi dengan mekanisme ekonomi pasar, dengan
melakukan transaksi-transaksi yang ditujukan untuk menciptakan keunggulan
kompetitif. Budaya ini berorientasi pada hasil atau (result oriented), dimana nilainilai yang dianggap penting adalah daya saing (competitiveness) dan produktifitas
tujuan jangka panjang organisasi adalah melakukan aktifitas-aktifitas kompetitif
dan mencapai sasaran target-target yang terukur. Sukses diukur dari pangsa pasar
dan penguasaan pasar.
3. Budaya Hierarki
Merupakan suatu budaya yang sangat normal dan terstruktur dimana segala
sesuatu yang dilakukan adalah berdasarkan prosedur-prosedur yang sudah
ditentukan. Budaya ini melakukan kontrol internal terutama dengan peraturan,
spesialisasi, fungi, dan sentralisasi keputusan. Nilai yang dianggap penting adalah
efesiensi dan kelancaran jalannya organisasi. Kekuatan yang mengikat organisasi
menjadi satu adalah aturan-aturan dan kebijakan-kebijakan formal. Sukses diukur
dari produk yang bisa diandalkan, kelancaran jadwal, dan penghematan biaya.
Universitas Sumatera Utara
4. Budaya Klan
Merupakan suatu budaya yang sangat menekankan keakraban dan ikatan
emosi untuk saling berbagi, sehingga organisasi lebih seperti sebuah keluarga
besar ketimbang entitas ekonomi. Budaya klan memiliki nilai yang diutamakan
yaitu kerja tim atau (teamwork) partisipasi dan konsensus. Pemimpin organisasi
diposisikan sebagai pembimbing (mentor) atau bahkan figur orangtua. Organisasi
diikat oleh kekuatan loyalitas atau tradisi. Sukses di definisikan berdasarkan
kepekaan terhadap konsumen dan perhatian terhadap aspek manusia.
2.1.1.6 Budaya Kuat versus Budaya Lemah
Tika (2006:109) mendefinisikan budaya organisasi kuat sebagai budaya,
yang nilai-nilainya baik formal maupun informal dianut secara bersama dan
berpengaruh positif terhadap perilaku dan kinerja pimpinan dan anggota
organisasi sehingga kuat dalam menghadapi tantangan eksternal dan internal
organisasi. Menurut Robbins (2007:259), dalam budaya yang kuat (strong
culture) terdapat nilai-nilai inti organisasi yang dipegang teguh dan dijinjing
bersama. Semakin banyak anggota organisasi yang menerima nilai-nilai inti dan
semakin besarnya komitmen mereka terhadap nilai-nilai tersebut, maka akan
semakin kuat budaya tersebut dalam mempengaruhi perilaku anggota-anggota
organisasi karena kadar kebersamaan dan intensitas yang tinggi menciptakan
suasana internal berupa kendali perilaku yang sangat tinggi.
Kuat atau lemahnya suatu budaya dapat dipengaruhi oleh beberapa hal
seperti ukuran suatu organisasi, berapa lama organisasi tersebut berdiri, pewarisan
(learning process) yang dilakukan oleh pendiri atau pemilik perusahaan dalam hal
Universitas Sumatera Utara
mencetuskan nilai-nilai yang dianut perusahaannya. Secara spesifik, budaya yang
kuat dapat dilihat melalui rendahnya tingkat turn over karyawan.
2.1.1.7 Dimensi Budaya Organisasi Efektif
Dalam penelitian ini, dimensi budaya organisasi yang digunakan adalah
dimensi yang diajukan oleh Denison (dalam Satyagraha, 2010:46) yang
berdasarkan pada empat karakter budaya organisasi efektif. Digunakan dalam
penelitian mengenai manajemen pengetahuan disebabkan dimensi ini menekankan
pada dua hal utama yang diperlukan dalam penerapan manajemen pengetahuan
yaitu integrasi internal dan adaptasi eksternal menghadapi tantangan zaman yang
terus berubah.
Dimensi budaya organisasi efektif tersebut adalah sebagai berikut:
1. Keterlibatan (Involvement)
Organisasi efektif memberdayakan anggotanya, membangun tim, dan
mengembangkan kemampuan sumber daya manusia di berbagai tingkatan.
Eksekutif, manajer, dan karyawan berkomitmen terhadap pekerjaan mereka dan
merasa menjadi bagian dari organisasi. setiap orang merasa memiliki kontribusi
terhadap organisasi.
2. Misi (Mission Culture)
Organisasi yang sukses memiliki maksud dan arah yang jelas, memiliki
sasaran organisasi dan tujuan strategis serta menyatakan visi tentang organisasi di
masa yang akan datang.
Universitas Sumatera Utara
3. Adaptasi (Adaptability)
Organisasi yang efektif dalam menyediakan nilai untuk pelanggannya
adalah yang dapat beradaptasi dengan pelanggan, mengambil resiko-resiko,
belajar dari kesalahan, dan memiliki kemampuan dan pengalaman untuk
melakukan perubahan. Mereka secara terus menerus mengubah sistem yang ada
sehingga dapat meningkatkan kemampuan kolektif organisasi untuk menyediakan
nilai bagi pelanggannya.
4. Konsistensi (Consistency)
Organisasi cenderung akan efektif karena memiliki budaya yang konsisten,
terkoordinasi, terintegrasi dengan baik.
2.1.2 Manajemen Pengetahuan
2.1.2.1 Pengertian Pengetahuan
Davenport
dan
Prusak
(dalam
Nawawi,
2012:21) mengemukakan
pengetahuan bukanlah data dan bukan pula informasi, namun sulit untuk
dipisahkan. Perbedaan antara data, informasi, dan pengetahuan sering kali hanya
pada masalah derajat kedalamannya di mana pengetahuan di pandang sebagai
sesuatu yang lebih mendalam, dibandingkan informasi dan pengetahuan. Data
merupakan kumpulan transaksi-transaksi (Tiwana dalam Tobing, 2007:15).
Sedangkan Davidson dan Voss (dalam Sangkala, 2007:75) mengemukakan
informasi sebagai data yang disaring (distilled) dan dimaknai.
Drucker
(dalam
Tobing,
2007:16)
mendefinisikan
“pengetahuan
(knowledge) sebagai informasi yang mengubah sesuatu atau seseorang, hal itu
Universitas Sumatera Utara
terjadi ketika informasi tersebut menjadi dasar untuk bertindak, atau ketika
informasi tersebut memampukan seseorang atau institusi untuk mengambil
tindakan yang lebih efektif dari tindakan sebelumnya”.
Sehingga ada juga
pendapat yang mengartikan pengetahuan sebagai actionable information atau
informasi yang dapat ditindak lanjuti atau informasi yang dapat digunakan sebagai
dasar untuk bertindak, untuk mengambil keputusan dan untuk menempuh arah
atau strategi tertentu.
Adapun proses transformasi menjadi pengetahuan menurut Davenport dan
Prusak (dalam Tobing, 2007:15) melalui empat tahapan yang dimulai dengan
huruf C, yaitu:
1. Comparison: membandingkan informasi pada situasi tertentu dengan situasisituasi yang lain yang telah diketahui.
2. Consequences:
menemukan
implikasi-implikasi
dari
informasi
yang
bermanfaat untuk pengambilan keputusan dan tindakan.
3. Connections: menemukan hubungan-hubungan bagian-bagian kecil dari
informasi dengan hal-hal lainnya.
4. Conversations: membicarakan pandangan, pendapat serta tindakan orang lain
terkait informasi tersebut.
Von Krough, Ichiyo Nonaka, dan Chu Wei Coo (dalam Nawawi, 2007:21),
menyampaikan suatu ringkasan gagasan yang mendasari pengetahuan, sebagai
berikut:
1. Pengetahuan merupakan kepercayaan yang dapat dipertanggungjawabkan
(justified true believe).
Universitas Sumatera Utara
2. Pengetahuan merupakan sesuatu yang eksplisit sekaligus terpikirkan (tacit).
3. Penciptaan
inovasi
secara
efektif
bergantung
pada
konteks
yang
memungkinkan terjadinya penciptaan tersebut.
4. Penciptaan inovasi yang melibatkan lima langkah utama, yaitu: (1) berbagai
pengetahuan terpikirkan, (2) menciptakan konsep, (3) membenarkan prototype,
dan (4) melakukan penyebaran pengetahuan tersebut.
Pengetahuan berawal dan berada pada pemikiran individu. Dalam
organisasi, pengetahuan diperoleh dari individu atau sekelompok orang yang
memiliki pengetahuan atau terkadang melalui rutinitas organisasi. Pengetahuan
bukan hanya dapat diperoleh melalui media terstruktur seperti buku, dokumen
maupun sistem penyimpanan data, melainkan juga pada hubungan orang ke orang
yang berkisar dari pembicaraan ringan sampai ilmiah dalam praktek, proses,
kebiasaan, dan norma.
Pada wacana manajemen pengetahuan dalam Sangkala (2007:79),
pengetahuan dibagi ke dalam dua jenis, yaitu pengetahuan implisit (tacit
knowledge) dan pengetahuan eksplisit (explicit knowledge). Yang dimaksud
dengan tacit knowledge adalah pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang dan
sangat sulit untuk diformalisasikan, sulit dikomunikasikan atau dibagi dengan
orang lain. Tacit knowledge bersifat subjektif, bersifat sangat pribadi, susah
dibentuk, dan tidak dapat diekspresikan dalam kata-kata, kalimat, atau rumus.
Tacit knowledge berakar pada tindakan, pengalaman, ideologi, nilai dan emosi
seseorang, dimana wawasan subjektif, intuisi, dan firasat termasuk dalam kategori
ini (Nonaka dan Konno dalam Satyagraha, 2010:28). Terdapat dua dimensi dari
Universitas Sumatera Utara
tacit knowledge. Pertama, dimensi teknis yang mencakup berbagai macam
keahlian atau keterampilan teknis “know-how”. Dimensi kedua, dimensi kognitif
yang menunjuk kepada kesan atau gambaran seseorang terhadap realitas dan
visinya ke depan. Dimensi ini meliputi keyakinan, ideologi, nilai-nilai, pola pikir,
dan sikap mental.
Berbeda dengan tacit knowledge, explicit knowledge bersifat objektif.
Explicit knowledge dapat diekspresikan dalam kata-kata, dapat dijumlah, serta
dibagi dalam bentuk data, formula ilmu pengetahuan, spesifikasi produk, manualmanual, dan prinsip-prinsip universal. Pengetahuan ini dapat senantiasa ditransfer
kepada orang lain secara formal dan sistematik.
Nonaka dan Konno (Satyagraha, 2010:29) menjelaskan konsep penciptaan
pengetahuan sebagai suatu evolusi spiral yang semakin lama semakin
berkembang, melalui proses-proses seperti:
1. Socialization
Sosialisasi meliputi kegiatan berbagi tacit knowledge antar individu. Istilah
sosialisasi digunakan, karena tacit knowledge disebarkan melalui kegiatan
bersama – seperti tinggal bersama, meluangkan waktu bersama – bukan melalui
tulisan atau instruksi verbal. Sebagai contoh proses magang menjadikan seorang
karyawan baru semakin memahami cara berfikir dan merasa diri orang lain.
2. Externalization
Eksternalisasi membutuhkan penyajian tacit knowledge ke dalam bentuk
yang lebih umum sehingga dapat dipahami oleh orang lain. Pada tahap
eksternalisasi ini, individu memiliki komitmen terhadap suatu kelompok dan
Universitas Sumatera Utara
menjadi satu dengan kelompok tersebut. Dalam prakteknya, eksternalisasi
didukung oleh dua faktor kunci. Pertama, artikulasi tacit knowledge – yaitu
konversi dari tacit ke eksplisit – seperti dalam dialog. Kedua, menerjemahkan
tacit knowledge dari para ahli ke dalam bentuk yang dapat dipahami, misalnya
dokumen, manual, dan sebagainya.
3. Combination
Kombinasi meliputi konversi explicit knowledge ke dalam bentuk himpunan
explicit knowledge yang lebih kompleks. Dalam prakteknya, fase kombinasi
tergantung pada tiga proses berikut:
a) Pertama, penangkapan dan integrasi explicit knowledge yang baru –
termasuk pengumpulan data eksternal dari dalam atau luar institusi
kemudian mengkombinasikan data-data tersebut.
b) Kedua, penyebarluasan explicit knowledge tersebut melalui presentasi
atau pertemuan langsung.
c) Ketiga,
pengolahan
explicit
knowledge
sehingga
lebih
mudah
dimanfaatkan kembali – misal menjadi dokumen rencana, laporan, data
pasar, dan sebagainya.
4. Internalization
Terakhir, internalisasi pengetahuan baru merupakan konversi explicit
knowledge ke dalam tacit knowledge organisasi. Individu harus mengidentifikasi
pengetahuan yang relevan dengan kebutuhannya di dalam pengelolaan
pengetahuan tersebut. Dalam prakteknya, internalisasi dapat dilakukan dalam dua
dimensi. Pertama, penerapan explicit knowledge dalam tindakan dan praktek
Universitas Sumatera Utara
langsung sebagai contoh melalui program pelatihan. Kedua, penguasaan explicit
knowledge melalui simulasi, eksperimen, atau belajar sambil bekerja.
2.1.2.2 Pengertian Manajemen Pengetahuan
Kemampuan
organisasi
dalam
mengelola
pengetahuan
merupakan
tantangan, terutama yang sebagian besar terdapat dalam benak dan perilaku para
individu berupa tacit knowledge. Tantangan inilah yang menjadi salah satu
pendorong penerapan manajemen pengetahuan dalam organisasi. Implementasi
manajemen pengetahuan dilakukan dengan tujuan agar perusahaan dapat menjaga
pengetahuan yang dimiliki tetap terpelihara dan senantiasa tersedia untuk
dipelajari karyawan yang membutuhkan.
Manajemen pengetahuan digambarkan sebagai pengembangan alat, proses,
sistem, struktur, dan kultur yang secara implisit dapat meningkatkan kreasi,
penyebaran, dan pemanfaatan pengetahuan yang penting bagi pengambilan
keputusan.
Knowledge Transfer International (KTI) (dalam Sangkala, 2007:7)
mendefinisikan “manajemen pengetahuan sebagai suatu strategi yang mengubah
aset intelektual organisasi, baik informasi yang sudah terekam maupun bakat dari
para anggotanya ke dalam produktivitas yang lebih tinggi, nilai-nilai baru, dan
peningkatan daya saing”. Menurut definisi ini, manajemen pengetahuan mampu
mengajarkan kepada organisasi, dari mulai pimpinan sampai kepada karyawan
mengenai bagaimana menghasilkan dan mengoptimalkan keterampilan sebagai
entitas kolektif.
Universitas Sumatera Utara
Definisi manajemen pengetahuan (knowledge management) menurut Hafez
dan Abdelmeguid (dalam Satyagraha, 2010:32) adalah sebagai berikut:
“Knowledge management is any process or practice of creating, aquiring,
capturing, sharing, and using knowledge, wherever it resides, to enchance
learning and performance in organisations.”
“Manajemen pengetahuan adalah suatu proses atau praktek menciptakan,
mendapatkan, menangkap, membagi, dan menggunakan pengetahuan
dimanapun pengetahuan itu berada untuk meningkatkan pembelajaran dan
kinerja organisasi.”
Sedangkan
Horwitch
dan
Armacost
(dalam
Sangkala,
2007:6)
mendefinisikan “manajemen pengetahuan sebagai pelaksanaan penciptaan,
penangkapan, pentransferan, dan pengaksesan pengetahuan dan informasi yang
tepat ketika dibutuhkan untuk membuat keputusan yang lebih baik, bertindak
dengan tepat, serta memberikan hasil dalam rangka mendukung strategi bisnis”.
Dapat disimpulkan bahwa manajemen pengetahuan adalah suatu proses
menciptakan,
mendapatkan,
menyimpan,
membagi,
dan
menggunakan
pengetahuan secara terkendali untuk meningkatkan kinerja organisasi dalam
mendukung strategi bisnis.
2.1.2.3 Komponen Manajemen Pengetahuan
Menurut Nawawi (2012:10) diperlukan empat komponen dalam merancang
sistem manajemen pengetahuan yang dapat membantu organisasi untuk
meningkatkan kinerjanya, yaitu:
1. Aspek manusia; disarankan pada organisasi untuk menunjuk/memperkerjakan
seorang document control atau knowledge manager yang bertanggung jawab
mengelola sistem manajemen pengetahuan dengan cara mendorong para
karyawan untuk mendokumentasikan dan mempublikasikan pengetahuan
Universitas Sumatera Utara
mereka, mengatur file, menghapus pengetahuan yang sudah tidak relevan, dan
mengatur sistem reward/punishment.
2. Proses; telah dirancang serangkaian proses yang mengaplikasikan konsep
model SECI dalam pelaksanaannya.
3. Teknologi; telah dibuat usulan penambahan infrastruktur yang diperlukan
untuk menunjang berjalannya sistem manajemen pengetahuan yang efektif.
4. Isi (content); telah dirancang content dari sistem manajemen pengetahuan,
yaitu berupa database knowledge dan dokumen yang dibutuhkan karyawan
untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya.
2.1.2.4 Perspektif Manajemen Pengetahuan
Dalam konsep manajemen pengetahuan terdapat tiga perspektif manajemen
pengetahuan menurut Alavi dan Liender (dalam Satyagraha, 2010:33), yaitu
perspektif berbasis informasi, perspektif berbasis teknologi, dan perspektif
berbasis budaya.
Dalam perspektif berbasis informasi, manajer berpandangan bahwa
manajemen pengetahuan terkait dengan karakteristik informasi, seperti adanya
informasi yang mudah dibaca, informasi real-time, dan informasi yang berguna
untuk tindakan. Termasuk dalam perspektif ini adalah para manajer menaruh
perhatian dalam mengurangi informasi yang berlebih dengan memilah mana yang
berguna dan tidak berguna, dan menyediakan sejumlah besar informasi yang
berguna untuk disimpan dan disebarkan melalui teknologi informasi. Para manajer
mengharapkan mendapatkan keunggulan kompetitif dari informasi yang mereka
miliki.
Universitas Sumatera Utara
Dalam perspektif berbasis teknologi, manajer mengasosiasikan manajemen
pengetahuan dengan berbagai sistem (seperti gudang data, enterprise wide
systems, sistem informasi eksekutif, sistem pakar, dan intranet) dan juga berbagai
perangkat (seperti mesin pencari, multimedia, dan perangkat pengambil
keputusan). Secara umum perspektif ini memandang manajemen pengetahuan
sebagai infrastruktur teknologi informasi yang mengintegrasikan sistem lintas
fungsi. Keefektifannya tergantung pada ukuran organisasi dan infrastruktur teknis
yang ada.
Dan yang terakhir, perspektif berbasis budaya. Dalam perspektif ini manajer
mengasosiasikan manajemen pengetahuan dengan pembelajaran (utamanya
pembelajaran organisasi) komunikasi, dan pengembangan kekayaan intelektual.
Alavi dan Liender (dalam Satyagraha, 2010:34) mengemukakan bahwa perspektif
ini merupakan yang utama dalam memandang manajemen pengetahuan.
2.1.2.5 Dimensi Manajemen Pengetahuan
Dimensi penerapan manajemen pengetahuan dalam penelitian ini didasarkan
pada pendapat Davidson dan Foss (dalam Satyagraha, 2010:39) yang
digambarkan dalam empat fase seperti berikut ini:
1. Fase Identifikasi (Identify)
Mengidentifikasi apa yang telah diketahui untuk memulai manajemen
pengetahuan. Ini termasuk pengetahuan yang ada dipikiran/benak setiap
karyawan, laporan dan pustaka organisasi, kumpulan data dalam organisasi,
dan para supplier dan pelanggan organisasi.
Universitas Sumatera Utara
2. Fase Refleksi (Reflection)
Membuat simpanan (persediaan) dari pengetahuan yang sudah dimiliki.
Kegiatan ini memberikan kesempatan untuk mengubah tacit knowledge
karyawan menjadi explicit knowledge dan menyimpulkan pengetahuan yang
sudah ada ke dalam bentuk yang mudah dibagikan.
3. Fase Berbagi (Share)
Membuat sistem yang bertujuan membuat pengetahuan yang ada dimanapun
dalam organisasi dapat tersedia dan tersalurkan kemanapun pengetahuan itu
dibutuhkan.
4. Fase Penggunaan (Apply)
Saat suatu pengetahuan menawarkan perbaikan kinerja organisasi maka
organisasi akan menerapkannya dan menciptakan sistem yang menyertakan
pengetahuan tersebut dalam prosedur kerja sehari-hari. Hal ini pada akhirnya
akan mengubah pengetahuan menjadi modal struktural.
2.2 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu merupakan penelitian yang dilakukan oleh peneliti
sebelumnya yang akan dipergunakan sebagai referensi dalam penelitian ini.
Lili (2010) melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Budaya
Organisasi terhadap Motivasi Kerja Karyawan pada PT. Sinar Pandawa di
Medan”. Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mengetahui dan
menganalisis ada tidaknya pengaruh budaya organisasi terhadap motivasi kerja
karyawan pada PT. Sinar Pandawa di Medan. Pengujian data dilakukan dengan
menggunakan analisis statistik yaitu analisis regresi linier sederhana. Hasil dari
Universitas Sumatera Utara
penelitian ini menunjukkan bahwa secara parsial variabel budaya organisasi
berpengaruh positif dan signifikan terhadap motivasi kerja karyawan, dengan nilai
๐‘ก๐‘กโ„Ž๐‘–๐‘–๐‘–๐‘–๐‘–๐‘–๐‘–๐‘–๐‘–๐‘– tertinggi pada variabel budaya organisasi yaitu sebesar 13,531. Penelitian
menghasilkan koefisien determinasi sebesar ( ๐‘…๐‘… 2 ) sebesar 0,759 yang berarti
bahwa 75,9% variabel budaya organisasi mampu menjelaskan variabel motivasi
kerja karyawan pada PT Sinar Pandawa, sedangkan sisanya 24,1% dipengaruhi
oleh variabel bebas lain yang tidak dijelaskan oleh model penelitian ini.
Wicaksono (2010) melakukan penelitian yang berjudul “Struktur dan
Budaya Organisasi, serta Gaya Kepemimpinan Terhadap Efektivitas Organisasi
dengan Manajemen Pengetahuan sebagai Variabel Intervening (Studi Empiris di
Perusahaan Jasa yang Listing di BEI)”. Tujuan dari penelitian tersebut adalah
untuk mencari bukti empirik, yang mendukung dugaan bahwa struktur organisasi,
budaya
organisasi,
gaya
kepemimpinan,
dan
manajemen
pengetahuan
berpengaruh terhadap efektivitas organisasi perusahaan jasa. Dan juga untuk
membuktikan peran manajemen pengetahuan berpengaruh terhadap efektivitas
organisasi perusahaan jasa. Metode analisis yang digunakan adalah analisis
deskriptif dan analisis statistik. Untuk pengujian terhadap variabel budaya
organisasi dan manajemen pengetahuan, hasil dari penelitian ini menunjukkan
bahwa variabel budaya organisasi berpengaruh positif signifikan terhadap
manajemen pengetahuan, dengan nilai ๐‘ก๐‘กโ„Ž๐‘–๐‘–๐‘–๐‘–๐‘–๐‘–๐‘–๐‘–๐‘–๐‘– lebih besar daripada ๐‘ก๐‘ก๐‘ก๐‘ก๐‘ก๐‘ก๐‘ก๐‘ก๐‘ก๐‘ก๐‘ก๐‘ก yaitu
2,778 > 1,96 . Untuk model pengaruh budaya organisasi terhadap manajemen
pengetahuan menghasilkan koefisien determinasi sebesar (๐‘…๐‘… 2 ) sebesar 0,897. Hal
ini dapat diintepretasikan bahwa variabilitas konstruk manajemen pengetahuan
Universitas Sumatera Utara
yang dapat dijelaskan oleh variabilitas konstruk budaya organisasi sebesar 89,7%
dan sisanya dijelaskan oleh variabel lain diluar dari variabel yang diteliti.
2.3 Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual yang baik mengidentifikasi dan menamakan variabelvariabel penelitian dalam situasi yang relevan dengan definisi masalah. Kerangka
konseptual penelitian ini menjelaskan budaya organisasi sebagai variabel bebas
(X) dan manajemen pengetahuan sebagai variabel terikat (Y).
Budaya Organisasi adalah keyakinan, nilai-nilai, dan asumsi-asumsi dasar
yang dianut oleh anggota-anggota organisasi berikut praktek-praktek serta
perilaku yang mencontohkan dan menguatkannya (Denison dalam Satyagraha,
2010). Budaya organisasi mewakili persepsi yang sama dari anggota organisasi
yang membentuk sikap perilaku karyawan.
Manajemen Pengetahuan merupakan suatu pendekatan yang bertumpu pada
pemahaman bahwa tugas organisasi, yaitu memahami dengan baik bagaimana dan
kapan penciptaan pengetahuan harus didukung, bagaimana menggunakan
akumulasi pengetahuan yang sudah tercipta sehingga pengetahuan tersebut dapat
meningkatkan produktivitas, memahami apa itu pengetahuan, bagaimana
diciptakan dan digunakan, apa nilai dari suatu pengetahuan, bagaimana gaya
manajemen yang berbasis pengetahuan, memahami kaitan antara pengetahuan dan
tingkat motivasi organisasi (Sangkala, 2007). Peranan manajemen pengetahuan
dalam penggunaan pengetahuan dapat melahirkan inovasi.
Pengetahuan sebagian besar berada di dalam kepala manusia dalam bentuk
tacit knowledge. Tacit knowledge yang ada di dalam kepala manusia menyadarkan
Universitas Sumatera Utara
bahwa harus dilakukan pendekatan yang berpusat kepada manusia, yaitu dengan
menumbuhkan budaya yang kondusif terhadap berjalannya proses-proses
manajemen pengetahuan. Berbagi (sharing) menjadi fokus dari proses manajemen
pengetahuan, karena tanpa berbagi maka proses pembelajaran yang merupakan
proses penambahan pengetahuan akan terhambat. Budaya organisasi membentuk
budaya sharing agar pengetahuan tidak hanya dimanfaatkan oleh orang atau unit
secara terbatas (Tobing, 2007).
Dalam upaya pengembangan budaya organisasi, manajemen pengetahuan
melalui kecerdasan buatan dan/atau teknologi informasi dapat menciptakan dan
meningkatkan budaya organisasi dan performance personal maupun organisasi.
Penerapan manajemen pengetahuan yang efektif membantu anggota organisasi
memahami nilai-nilai yang dianut dalam organisasi.
Untuk mampu menerapkan manajemen pengetahuan, maka perusahaan
harus mampu menciptakan dan menerapkan budaya organisasi yang baik,
sehingga karyawan mempunyai motivasi yang tinggi untuk mendukung prosesproses manajemen pengetahuan. Sebaliknya, penerapan budaya organisasi akan
efektif jika dipengaruhi oleh manajemen pengetahuan yang baik, sebab dengan
manajemen pengetahuan, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan yang dianut organisasi
dapat disalurkan, dipahami, bahkan diterapkan oleh anggota organisasi. Dengan
demikian ada hubungan yang signifikan antara budaya organisasi dan manajemen
pengetahuan (Rahgozar et al, 2012).
Universitas Sumatera Utara
Budaya Organisasi
(X)
Manajemen
Pengetahuan
(Y)
Sumber : Tobing (2007), Rahgozar et al (2012), data diolah
Gambar 2.2
Kerangka Konseptual
2.4. Hipotesis
Hipotesis adalah hubungan yang diperkirakan secara logis diantara dua
atau lebih variabel yang diungkapkan dalam bentuk pernyataan yang dapat diuji.
Berdasarkan kerangka konseptual yang telah dikemukakan di atas maka
hipotesis penelitian ini adalah : “Budaya Organisasi memiliki hubungan dengan
penerapan Manajamen Pengetahuan pada PT X.
Universitas Sumatera Utara
Download