ujaran motivasi guru bagi siswa: perspektif bimbingan

advertisement
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
UJARAN MOTIVASI GURU BAGI SISWA:
PERSPEKTIF BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
Ranita1), Muhammad Guruh Nuary2) dan Badi’uzzaman Sa’id Haqi3)
1
Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah, IAIN Syekh Nurjati Cirebon
Email: [email protected]
2
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, IAIN Syekh Nurjati Cirebon
Email: [email protected]
3
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, IAIN Syekh Nurjati Cirebon
Email: [email protected]
Abstrak
Pendidik dalam hal ini guru seyogianya mengayomi seluruh siswa. Hal itu merupakan tanggung
jawabnya sebagai seorang pendidik. Dalam kajian Bimbingan dan Konseling, pendidik diharapkan
senantiasa memberikan motivasi yang berdampak positif dalam proses belajar mengajar semisal
dalam bentuk ujaran. Ujaran yang berkonten motivasi sudah seharusnya diberikan guna
menyemangati serta mendorong terwujudnya cita-cita pembelajaran seluruh siswa. Penelitian ini
secara kualitatif deskriptif mengkaji ujaran pendidik yang membangun motivasi dengan pendekatan
Bimbingan dan Konseling Islam. Pada penelitian ini, peneliti membuat kuesioner dan
membagikannya kepada siswa-siswi pada SMA Negeri 1 Losari di kelas 10. Peneliti mendapatkan
36 responden yang mana mereka adalah yang dipilih oleh guru Bimbingan dan Konseling untuk
mengisi kuesioner, dan kuesioner ini digunakan untuk membuktikan bahwa ujaran motivasi dari guru
merupakan hal yang penting agar lebih bersemangat dalam belajar. Sedemikian sehingga ujaran
motivasi didapati mampu menjadi pemacu sekaligus pemicu prestasi belajar siswa
Kata-kata kunci: ujaran motivasi, guru, siswa, Bimbingan dan Konseling Islam.
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan alat yang ampuh
untuk menghadapi era di serba digital ini.
Terutama untuk menghadapi kesiapan dimana
kita dihadapkan dengan era Masyarakat
Ekonomi Asean (MEA) yang sedang bergulir.
Tidak berhenti sampai di situ, pendidikan juga
merupakan syarat mutlak untuk mendapatkan
pekerjaan sesuai dengan klasifikasi yang
disyaratkan oleh perusahaan/lembaga yang
dituju.
Akan
tetapi,
bagaimana
lembaga
pendidikan beserta peserta didiknya siap
menghadapi semua itu jika para pendidiknya
abai. Disadari atau tidak, kadang mereka acuh
mengarahkan siswanya untuk senantiasa segera
mempersiapkan diri untuk menghadapi
tantangan tersebut. Dalam dunia pendidikan saat
ini, seperti sering terdengar dari sejumlah media,
guru diberitakan malah kerap menjatuhkan
mental siswanya melalui ujaran verbal.
THE 5TH URECOL PROCEEDING
Atas beberapa kejadian yang terpublikasi,
apologi bahwa guru adalah manusia biasa yang
bisa saja salah sering dijadikan alasan.
Kebiasaan lama
membanding-bandingkan
kemampuan siswa satu dengan siswa yang lain
misalnya. Padahal, dari pandangan psikolog
anak dan remaja, Zulhaqqi seperti dimuat pada
health.detik.com (dalam Sukmasari: 2014)
mengatakan bahwa “membandingkan anak satu
dengan yang lainnya merupakan tindakan
bullying”. Dalih mendidik yang mereka
ungkapkan justru berakibat kontra produktif.
Contoh tindakan di atas dapat berakibat
tidak baik untuk perkembangan fisik bahkan
psikis siswa. Sebagai contoh saat seorang siswa
dikatakan salah, bodoh, lemah ataupun dengan
berbagai ujaran lain yang mengandung makna
negatif. Perlu diingat, guru merupakan pilar
yang membangun karakter siswa. Ujaran-ujaran
tersebut tentu saja akan terekam oleh siswanya
dan besar kemungkinan akan diingat seumur
hidup.
654
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
Nah, hal itupun senada dengan apa yang
dikatakan oleh Maslow dalam teorinya yang
masih melegenda sampai dengan sekarang,
Heirarki Kehidupan (1954;23-24) yang
mengatakan bahwa “pernyataan yang diucapkan
merupakan tanggung jawab atas tiap individu”.
Begitupun yang dikatakan oleh seorang tenaga
pendidik, apa yang kemudian dilontarkan peda
muridnya, maka itu pun menjadi tanggung jawab
sebagai seorang tenaga pendidik, baik itu yang
berkenaan dengan hal yang memotivasi, ataupun
hal yang berkenaan dengan menjatuhkan
motivasi dari siswa itu sendiri.
Guru sudah semestinya mencontohkan,
membimbing dan juga mendekatkan diri secara
psikologis kepada seluruh siswanya dengan
sebaik mungkin. Dalam artian, guru harus dapat
membuat siswanya nyaman berada di kelas
selama mereka dalam menjalani proses
pembelajaran, bukan malah sebaliknya (Chatib,
2012; Salamet, 2012; Ali, 2014; Awad; 2015;
Hilal, 2015; Adam, 2015;).
Guru yang hanya mengandalkan sisi
kognitif siswa, malah dapat berpotensi
memperkeruh suasana belajar. Bukan tanpa
alasan, guru bisa saja mengabaikan sisi afektif
dan psikomotorik siswanya. Mereka bisa saja
lupa bahwa setiap siswa mempunyai
kemampuan belajar yang relatif tidak sama. Hal
ini senada dengan yang Mulyana (2010: 30)
katakan bahwa “guru harus berbuat adil tanpa
pandang bulu, tidak boleh membedakan antara
yang cerdas dengan yang biasa saja”.
Jika melihat jauh ke belakang, Nabi
Muhammad SAW adalah sosok guru profesional
yang layak menjadi panutan. Rasulullah
menunjukkan diri sebagai seorang yang bisa
berkomunikasi dengan kadar kesanggupan orang
tersebut (Adam, 2015: 130). Hal ini ditegaskan
dengan Hadist beliau yang penulis tukil dari
Adam (2015) yang artinya:
Kami para Nabi diperintahkan untuk
menempatkan manusia sesuai dengan
kedudukan mereka dan berbicara
terhadap mereka sesuai dengan tingkat
pemikiran mereka. (H.R. Abu Dawud).
Di sisi lain, Rasulullah SAW memberikan
posisi yang sangat mulia bagi para guru. Satu
diantaranya, seperti yang penulis kutip dari Ali
(2014) sebagai berikut,
THE 5TH URECOL PROCEEDING
UAD, Yogyakarta
‫رﺳﻮل ﷲ ﻋﻠﯿﮭﺎ ﻟﻠﮭﺼﻠﻰ وﺳﻠﻢ‬
‫ إِنﱠ ْاﻷَ ْﻧﺒِﯿﺎَ َء ﻟَ ْﻢ‬،ِ‫ﺛَﺔُ ْاﻷَ ْﻧﺒِﯿَﺎء‬
“para ulama (pendidik) adalah pewaris
para Nabi....” (Tirmidzi, Ahmad, AdDarimi, Abu Dawud. Dishahihkan oleh
Al-Albani).
Hadist ini jelas memposisikan guru sebagai
tugas yang mulia. Rasulullah SAW sangat peduli
dengan guru yang dianggap sepadan perannya
sebagai penerus dalam menjalankan risalah yang
dibawa oleh beliau (Ali, 2014: 86).
KAJIAN LITERATUR
Motivasi menurut KBBI (2008: 973) berarti
“usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau
kelompok orang tertentu tergerak melakukan
sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang
dikehendakinya atau mendapat kepuasan dengan
perbuatannya”. Adapun pengertian motivasi
oleh Sulistyorini dan Fathurrohman (2012: 142)
mereka berpendapat jika motivasi berkaitan erat
dengan segala sesuatu yang mendorong
seseorang untuk bertindak melakukan sesuatu
agar mendapatkan yang diinginkannya. Dengan
kata lain, motivasi mendorong siswa untuk
mencapai tujuan yang ingin mereka capai.
Ditilik dari perspektif Bimbingan dan Konseling
Islam, sudah seharusnya guru paham bahwa
ujaran motivasi sangat berpengaruh pada
semangat siswanya dalam belajar sebagai
ibadah.
Dengan kata lain, guru harus memahami
bahwa membimbing seperti yang Shertzer dan
Stone katakan dalam kutipan Anwar (2015: 2)
adalah “proses pemberian bantuan kepada
individu agar mampu memahami diri dan
lingkungannya”. Sementara konseling masih
menurutnya, merupakan proses interaksi yang
bermakna pemahaman diri dan lingkungan, serta
hasil
dari
pembentukan
dan
atau
pengklarifikasian tujuan tujuan serta nilai-nilai
perilaku masa depan.
Proses dalam Bimbingan dan Konseling
Islam mestinya sudah menjadi panggilan jiwa
setiap guru BK pada khususnya dan guru lain
pada umumnya demi terwujudnya motivasi
siswa dalam belajar sekaligus ibadah. Guru
dalam hal ini merupakan ujung tombak
pembangunan karakter bersemangat dan
pengembangan diri siswa secara optimal dan
655
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
memandirikan mereka untuk dapat menjalani
kehidupannya secara produktif (Alison dalam
Zainal Aqib, 2012: 37).
Pengembangan diri yang berkarakter
semangat tersebut bukan tanpa tujuan,
melainkan demi terwujudnya daya saing global.
Daya saing yang memperhatikan segala aspek
mulai dari kognitif, afektif dan psikomotorik.
Guru mesti sudah berpikir sejauh itu untuk
tercapainya cita-cita setiap siswanya dengan
memberi motivasi melalui ujaran-ujaran di selasela kegiatan pembelajaran (Alwasilah, 2000:
144).
Aspek-aspek teladan mental sang guru
berdampak besar pada iklim belajar dan
pemikiran siswa yang guru ciptakan. Guru harus
memahami bahwa perasaan dan sikap siswa
akan terlibat dan berpengaruh kuat pada proses
bahkan hasil belajarnya (DePorter, 2010;
Arsyad, 2013; Luneto, 2015; Ramli, 2015).
Penelitian ini mengkaji peran ujaran motivasi
guru pada siswanya dalam proses belajar
mengajar di sekolah dari persepektif Bimbingan
dan Konseling Islam.
METODE PENELITIAN
Studi ini dilakukan dengan paradigma penelitian
kualitatif deskriptif. Data diperoleh dengan cara
menyebarkan angket. Hal ini dilakukan untuk
mendapatkan persepsi siswa terhadap ujaran
motivasi dari gurunya. Data dalam penelitian ini
berupa prosentase persepsi siswa sebagai sampel
responden.
Sumber data penelitian ini merupakan
siswa-siswi dari Sekolah Menengah Atas Negeri
(SMAN) 1 Losari, Kecamatan Losari,
Kabupaten Cirebon. Data didapatkan dengan
menyebarkan angket kepada 36 responden kelas
10 di SMAN 1 Losari. Jawaban dari angket yang
disebarkan
kemudian
dikalkulasikan
prosentasenya untuk selanjutnya diinterpretasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan atas apa yang telah
disampaikan dalam pendahuluan di atas, maka
selanjutnya
akan
dipaparkan
mengenai
penemuan dan pembahasan penelitian ini. Dari
36 responden yang ada di SMAN 1 Losari,
Cirebon. Peneliti menyuguhkan lima pertanyaan
THE 5TH URECOL PROCEEDING
UAD, Yogyakarta
pada angket yang disebar. Kemudian jawaban di
tiap nomornya diinterpretasi dengan sertaan
penjelasan detail tentang apa yang dijawab oleh
para responden.
Jawaban dari pertanyaan #1 (Apakah arti
guru bagi Anda?) dijawab “guru bagi saya
adalah pahlawan tanpa tanda jasa” oleh sembilan
responden (25%). Ada juga jawaban “guru bagi
saya adalah pendidik dan pembimbing” dengan
jumlah yang sama, yaitu sembilan responden
(25%). Yang menarik di sini adalah ketika
jawaban “guru adalah pemberi ilmu dan guru
adalah motivator” memiliki jumlah responden
yang sama pula, yaitu enam responden (16,7%).
Lima responden lainnya (13,9%) menjawab
“guru adalah orangtua kedua bagi saya”.
Sisanya, sebanyak satu responden (2,7%)
menjawab bahwa “guru itu aneh”.
Lanjut ke jawaban dari pertanyaan kedua #2
(Apa arti motivasi bagi Anda?) dengan jawaban
terbanyak dari responden yaitu “motivasi
sebagai penyemangat”, dijawab oleh 13
responden (36,1%). Dua responden (5,6%)
menjawab “motivasi sebagai perbaikan diri”.
Ada juga empat responden (11,1%) menjawab
“motivasi untuk menjadi lebih baik”. Lalu tiga
responden (8,3%) menjawab “motivasi sebagai
tujuan untuk hidup”. Kemudian lima responden
(13,9%) menjawab “motivasi itu sebagai
nasihat”. Adapun dua responden (5,6%)
menjawab “motivasi itu demi kepentingan
hidup”. Data yang terakhir di jawaban nomor
dua, ada tujuh responden (19,4%) menjawab
“motivasi merupakan dorongan semangat”.
Beralih ke jawaban dari pertanyaan #3
(Apakah guru Anda pernah memotivasi Anda
atau tidak?), di jawaban nomor tiga ini rupanya
seluruh reponden menjawab dengan senada.
Dari 36 responden, semuanya menjawab ‘iya’
yang artinya mereka semua pernah diberikan
motivasi oleh gurunya.
Berlanjut ke pertanyaan #4 (Jika iya, ujaran
apa yang pernah dikatakan guru Anda ketika
memotivasi?). Dari 36 responden, semua
jawaban yang diberikan begitu bervariasi. Mulai
dari tiga responden (8,3%) menjawab guru
mereka memotivasi dengan ujaran “semangat
belajar”. Lalu lima responden (13,9%)
menjawab dimotivasi dengan ujaran “pantang
menyerah”. Jawaban selanjutnya ada empat
656
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
responden (11,1%) menjawab dimotivasi
“jangan putus asa”. Ada juga dua responden
(5,6%) menjawab dimotivasi “ilmu itu penting,
teruslah belajar”. Kemudian empat responden
(11,1%) menjawab untuk “kejarlah cita-citamu”.
Lanjut ke 11 responden (30,5%) yang menjawab
mereka dimotivasi untuk “selalu rajin belajar”.
Motivasi selanjutnya yang diberikan kepada tiga
responden (8,3%) adalah “menjadi yang
terbaik”. Yang terakhir dengan jumlah
responden yang sama yaitu satu responden
(2,7%), motivasi yang diberikan antara lain
“jadilah anak yang baik”, “hidup harus
bermanfaat bagi orang lain” dan “jangan berbuat
keburukan”. Meskipun demikian, di pertanyaan
ini satu responden (2,7%) tidak memberikan
jawaban.
Di pertanyaan terakhir #5 (Bagaimana
perasaan Anda ketika guru memberikan
motivasi?), 36 responden semakin terlihat
memberikan jawaban yang menunjukkan bahwa
mereka sangat membutuhkan motivasi. Dari 36
responden, 19 responden (52,8%) menjawab
“senang” jika diberikan motivasi. Disusul
dengan empat responden (11,1%) yang
menjawab “meningkatkan rasa percaya diri” jika
dimotivasi. Lalu tiga responden lainnya (8,3%)
menjawab “bangga” ketika diberi motivasi, dan
juga ada dua responden (5,6%) menjawab
“bersemangat”. Sisanya menjawab “merasa
diperhatikan”,
“merinding”,
“membara”,
“sedih”, “tersentuh”, “menghayati”, “terkejut”,
“termotivasi”. Masing-masing dari jawaban
tersebut mendapatkan satu responden yang
artinya didapati angka 2,7%.
Dari seluruh data yang telah dipaparkan,
semakin jelas bahwa siswa membutuhkan
motivasi sebagai dorongan semangat. Tentunya,
motivasi menjadi inspirasi bagi mereka untuk
mencapai apa yang dicita-citakan. Hal itu
menjadi
tanggungjawab
guru
untuk
melakukannya. Melalui ujaran motivasi pula
dapat menjadikan mereka disenangi dan
dibanggakan oleh para siswanya.
Dari data yang diinterpretasikan di atas,
Maslow (1954: 23-24) pun menjabarkan bahwa
manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang
harus terpenuhi, teori yang terkenal dari Maslow
adalah hirarki kehidupan yang diantaranya:
1. Kebutuhan-kebutuhan Fisiologis
THE 5TH URECOL PROCEEDING
UAD, Yogyakarta
Kebutuhan yang paling mendasar, ataupun
paling kuat dan paling jelas dari antara
keseluruhan kebutuhan manusia adalah
kebutuhannya untuk bertahan hidup secara fisik,
Maslow memberikan penjelasan tentang
kebutuhan akan makanan, minuman, tempat
berteduh, seks, tidur dan oksigen. Keseluruhan
kebutuhan tersebut berada pada posisi paling
dasar, atau bersifat yang harus dipenuhi lebih
dulu oleh seorang individu.
2. Kebutuhan akan rasa aman
Setelah kebutuhan-kebutuhan fisiologis
terpenuhi secukupnya, kemudian muncul apa
yang oleh Maslow jelaskan sebagai kebutuhankebutuhan akan rasa aman. Karena kebutuhan
akan rasa aman ini biasanya terjadi pada orangorang dewasa yang normal dan sehat. Kebutuhan
akan rasa aman ini berhubungan dengan neurotik
dan kecemasan, dimana jika kebutuhan ini tidak
terpenuhi maka individu akan bersikap seperti
layaknya orang yang cemas dan ketakutan. Maka
dalam penelitian ini juga berkaitan dengan rasa
aman yang mana tentunya ujaran yang
menyakitkan sangat tidak berkenan demi
terpenuhinya rasa aman tersebut bagi siswa.
3. Kebutuhan akan rasa dimiliki-memiliki
dan akan kasih sayang
Berikutnya orang akan mendambakan
hubungan hubungan penuh kasih sayang dengan
orang lain pada umumnya, khususnya kebutuhan
akan rasa memiliki tempat di tengah
kelompoknya dan ia akan berusaha keras
mencapai tujuan yang satu ini. Ia akan berharap
memperoleh tempat semacam itu melebihi
segala-galanya di dunia ini, bahkan mungkin
kini ia lupa bahwa tatkala ia merasa lapar ia
mencemoohkan cinta sebagai sesuatu yang tidak
nyata, tidak perlu atau tidak penting. Dan
tentunya jika apa yang disampaikan adalah hal
baik dan berdampak baik terhadap siswa, yang
kemudian berujung pada munculnya motivasi
terhadap diri siswa. Jangan sampai apa yang
disampaikan oleh guru terhadap siswa malah
membuat sakit hati dan merasa ditolak. Seperti
yang dicontohkan Maslow (1954: 23-24) “orang
ini merasa ditolak”, jika kita menambahkan
sedikit tentang perasaan ditolak tersebut, bisa
jadi karena dan sebab apa yang menyebabkan
orang tersebut ditolak merupakan pernyataan
motivasi.. Karena motivasi merupakan hal yang
657
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
konstan , tidak berakhir, fluktuatif dan
kompleks.
4. Kebutuhan akan penghargaan
Maslow menemukan bahwa setiap orang
memiliki dua kategori kebutuhan akan
penghargaan yakni, harga diri dan penghargaan
dari orang lain. Harga diri meliputi kebutuhan
akan kepercayaan diri, kompetensi, penguasaan,
kecukupan, prestasi, ketidaktergantungan dan
kebebasan. Penghargaan dari orang lain meliputi
prestise, pengakuan, penerimaan, perhatian,
kedudukan, nama baik serta penghargaan.
Seseorang yang memiliki cukup harga diri akan
lebih percaya diri serta mampu, maka juga lebih
produktif. Sebaliknya jika harga dirinya kurang
maka ia akan diliputi rasa rendah diri serta rasa
tidak berdaya, yang selanjutnya dapat
menimbulkan rasa putus asa serta tingkah laku
neurotik. Maka, di sinilah letak guru sebagai
pendidik untuk mengujarkan penghargaan bagi
siswa, tidak bisa dipungkiri bahwa pertanyaan
nomor lima yang diajukan di atas sebagai respon
yang harus dikedepankan agar belajar dan
mengajar di dalam kelas menjadi lebih hidup.
Hal senada dinyatakan oleh DePorter (2010)
mengakui setiap usaha merupakan hal yang
krusial yang dilakukan oleh guru, apapun itu
yang diusahakan oleh siswa kita, maka akui dan
hargai, baik salah ataupun benar, akui mereka
dan mereka akan melakukan transisi hingga
mudah percaya diri.
5. Kebutuhan akan aktualisasi diri
Setiap orang harus berkembang sepenuh
kemampuannya. Pemaparan tentang kebutuhan
psikologis
untuk
menumbuhkan,
mengembangkan
dan
menggunakan
kemampuan, oleh Maslow disebut aktualisasi
diri, merupakan salah satu aspek penting
teorinya tentang motivasi pada manusia. Maslow
juga secara detail menyebutkan kebutuhan ini
sebagai hasrat untuk semakin menjadi diri
sepenuh kemampuannya sendiri, menjadi apa
saja menurut kemampuannya. Maslow juga
menemukan bahwa kebutuhan akan aktualisasi
diri ini biasanya timbul sesudah kebutuhan akan
cinta dan penghargaan terpuaskan secara
memadai.
Hal inilah yang kiranya menjadikan guru
dengan latar Bimbingan dan Konseling Islam
memiliki tuntutan lebih dari guru lainnya. Selain
THE 5TH URECOL PROCEEDING
UAD, Yogyakarta
memahami secara psikologis para muridnya,
mereka juga harus mengarahkan dan
membimbing siswanya dengan kasih sayang.
Semuanya tentu dilandasai oleh kesadaran
bahwa Allah SWT tentu meridhoi apa yang
mereka lakukan.
Bentuk ikhtiar itulah yang seyogianya dapat
membekali para siswa untuk selalu belajar lebih
giat agar dapat menghadapi berbagai tantangan
kehidupan. Siswa dididik untuk siap
menyesuaikan diri dengan jaman yang berubah
begitu cepat tanpa kehilangan jati dirinya
sebagai hamba Allah. Inilah satu diantara
harapan atas ujaran motivasi yang guru berikan
kepada para siswanya di sekolah (Az-Zarnuji,
2009; Anwar, 2012; Luneto, 2015).
Ditukil dari Ali (2014) bahkan Allah SWT pun
telah menegaskan melalui isyarat yang dapat
ditemukan dalam firman-Nya berikut ini:
َ‫ﷲُ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎبَ َوا ْﻟ ُﺤ ْﻜ َﻢ َواﻟﻨﱡﺒُ ﱠﻮة‬
‫ﻣَﺎ ﻛَﺎنَ ﻟِﺒَ َﺸ ٍﺮ أَنْ ﯾُﺆْ ﺗِﯿَﮫُ ﱠ‬
ْ‫ﷲِ َو َٰﻟﻜِﻦ‬
‫س ﻛُﻮﻧُﻮا ِﻋﺒَﺎدًا ﻟِﻲ ﻣِﻦْ دُو ِن ﱠ‬
ِ ‫ﺛُ ﱠﻢ ﯾَﻘُﻮ َل ﻟِﻠﻨﱠﺎ‬
‫ﻛُﻮﻧُﻮا رَ ﺑﱠﺎﻧِﯿﱢﯿﻦَ ﺑِﻤَﺎ ُﻛ ْﻨﺘُ ْﻢ ﺗُ َﻌﻠﱢﻤُﻮنَ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎبَ وَ ﺑِﻤَﺎ ُﻛ ْﻨﺘُ ْﻢ‬
َ‫ﺗَ ْﺪ ُرﺳُﻮن‬
”Tidak wajar bagi seseorang manusia
yang Allah berikan kepadanya Al
Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia
berkata kepada manusia: “Hendaklah
kamu
menjadi
penyembahpenyembahku bukan penyembah
Allah.” Akan tetapi (dia berkata):
“Hendaklah kamu menjadi orangorang rabbani, karena kamu selalu
mengajarkan Al Kitab dan disebabkan
kamu tetap mempelajarinya.” (QS. Ali
Imran: 79).
Dari penjelasan ayat Al Quran di atas
diketahui bahwa, guru selain harus berwawasan
luas, mereka juga tidak boleh sombong atas
pengetahuan yang mereka kuasai. Itu tidak lain
karena seorang guru dikenai kewajiban untuk
mengajarkan segala apa yang telah diketahuinya
kepada para siswa. Guru semestinya tahu bahwa
bersikap peduli dan rendah hati di hadapan para
siswanya akan lebih baik di hadapan Allah SWT
daripada harus bersikap tinggi hati terhadap
mereka.
Sedemikian sehingga, siswapun niscaya
senang ketika bertemu gurunya yang peduli.
658
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
Seorang guru mesti senantiasa hirau dengan
memotivasi dan menyemangati para siswanya.
Hal ini dilakukan dengan harapan agar aspek
kognitif, afektif dan psikomotorik para siswa
sebisa mungkin matang secara bersamaan
sehingga semangat belajarnya di sekolah makin
terarah sebagai manifestasi ibadah kepada Allah
SWT (Ali, 2014 dan Ramli, 2015).
KESIMPULAN
Di sekolah, guru merupakan ujung tombak
dalam memberikan motivasi kepada siswanya.
Dari kajian Bimbingan dan Konseling Islam,
mereka sudah semestinya memberikan motivasi
yang menjadikan siswanya lebih bersemangat
dalam belajar sebagai manifestasinya dalam
beribadah sekaligus mengejar cita-citanya.
Bukan saja hanya pada sisi kognitif, tetapi juga
sisi afektif dan psikomotorik. Ujaran motivasi
yang mereka ungkapkan merupakan contoh riil
yang akan selalu diperhatikan sekaligus diingat
dan berefek positif bagi siswanya di kemudian
hari.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis ucapkan terima kasih kepada
kedua orang tua penulis yang telah
mendukung penelitian ini. Tidak lupa
kepada Kaprodi Bimbingan dan Konseling
Islam dan Tadris Bahasa Inggris IAIN Syekh
Nurjati Cirebon yang telah menginspirasi
sekaligus memotivasi penulis dalam
berkarya. Akhirnya, Penulis haturkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan bantuan baik moril maupun
materil. Semoga Allah SWT berkenan
melipatgandakan ganjaranNya, amin.
REFERENSI
Adam, S. 2015. Pendidikan Humanis dalam
Perspektif
Islam
(Konsep
dan
Implementasinya dalam Proses Belajar
Mengajar).
Jurnal
Manajemen
Pendidikan Islam. 3 (1): 128-144.
Ali,
M. 2014. Hakikat Pendidik dalam
Pendidikan Islam. Jurnal Tarbawiyah. 11
(1): 82-96.
THE 5TH URECOL PROCEEDING
UAD, Yogyakarta
Alwasilah, A. C. 2000. Politik Bahasa dan
Pendidikan. Edisi 2. PT. Remaja
Rosdakarya. Bandung.
Anwar, M. F. 2015. Landasan Bimbingan dan
Konseling
Islam.
Deepublish.
Yogyakarta.
Aqib, Z. 2012. Ikhtisar Bimbingan dan
Konseling di Sekolah. Yrama Widya:
Bandung.
Arsyad, S. A. 2013. Profesionalisme Guru dalam
Pembelajaran. Dalam Jurnal Adabiyah.
Vol. XIII (2): 203-214.
Awad, F. B. 2015. Pembelajaran Kreatif
Perspektif Bimbingan dan Konseling.
Dalam Jurnal Manajemen Pendidikan
Islam. Vol. 3 (1): 29-37.
Az-Zarnuji, S. 2009. Terjemah Ta’alim
Muta’allim. Surabaya: Mutiara Ilmu.
Chatib, M. 2012. Orangtuanya Manusia:
Melejitkan Potensi dan Kecerdasan
dengan Menghargai Fitrah Setiap Anak.
Bandung: Kaifa.
DePorter, B., dkk. 2010. Quantum Teaching:
Mempraktikkan Quantum Learning di
Ruang-Ruang Kelas. PT. Mizan Pustaka:
Bandung.
Fatimah, N. dan Arifin, Z. t.t. Strategi
Ketidaksantunan
Culpeper
dalam
Berbahasa Lisan di Sekolah. Dalam
Prosiding Seminar Nasional. Pages: 8995.
Fathurrohman, M. dan Sulistyorini. 2012.
Belajar dan Pembelajaran. Teras.
Yogyakarta.
Hilal, A. M. S. B. 2015. Menjadi Guru Pilihan.
Serawak: Borneo Media Solution.
659
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
Luneto, B. 2015. Profesionalisme Guru dalam
Perspektif
Islam.
Dalam
Jurnal
Manajemen Pendidikan Islam. Vol. 3 (1):
38-49.
Maslow, A. H. 1954. Motivation and
Personality. First edition. Harper & Row,
Publishers, Inc.
Mulyana. 2010. Rahasia Menjadi Guru Hebat.
Jakarta: Grasindo.
Ramli, M. 2015. Hakikat Pendidik dan Peserta
Didik. Dalam Tarbiyah Islamiyah. Vol. 5
(1): 61-85.
Salamet. 2012. Karakter Peserta Didik dalam
Perspektif Pendidikan Islam. Dalam
Jurnal Pelopor Pendidikan. Vol. 3 (1):
33-42.
Sukmasari, R. N. 2014. Psikolog:
Membanding-bandingkan
Anak
dengan Orang Lain Termasuk
Bullying.
Tersedia
pada
http://health.detik.com/read/2014/07/23/
161558/2646240/1301/psikologmembanding-bandingkan-anak-denganorang-lain-termasuk-bullying. Diakses
tanggal 24 November 2016.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi 3.
Jakarta: Balai Pustaka.
THE 5TH URECOL PROCEEDING
660
ISBN 978-979-3812-42-7
Download