THE 5TH URECOL PROCEEDING 18 February 2017 UAD, Yogyakarta UJARAN MOTIVASI GURU BAGI SISWA: PERSPEKTIF BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM Ranita1), Muhammad Guruh Nuary2) dan Badi’uzzaman Sa’id Haqi3) 1 Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah, IAIN Syekh Nurjati Cirebon Email: [email protected] 2 Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, IAIN Syekh Nurjati Cirebon Email: [email protected] 3 Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, IAIN Syekh Nurjati Cirebon Email: [email protected] Abstrak Pendidik dalam hal ini guru seyogianya mengayomi seluruh siswa. Hal itu merupakan tanggung jawabnya sebagai seorang pendidik. Dalam kajian Bimbingan dan Konseling, pendidik diharapkan senantiasa memberikan motivasi yang berdampak positif dalam proses belajar mengajar semisal dalam bentuk ujaran. Ujaran yang berkonten motivasi sudah seharusnya diberikan guna menyemangati serta mendorong terwujudnya cita-cita pembelajaran seluruh siswa. Penelitian ini secara kualitatif deskriptif mengkaji ujaran pendidik yang membangun motivasi dengan pendekatan Bimbingan dan Konseling Islam. Pada penelitian ini, peneliti membuat kuesioner dan membagikannya kepada siswa-siswi pada SMA Negeri 1 Losari di kelas 10. Peneliti mendapatkan 36 responden yang mana mereka adalah yang dipilih oleh guru Bimbingan dan Konseling untuk mengisi kuesioner, dan kuesioner ini digunakan untuk membuktikan bahwa ujaran motivasi dari guru merupakan hal yang penting agar lebih bersemangat dalam belajar. Sedemikian sehingga ujaran motivasi didapati mampu menjadi pemacu sekaligus pemicu prestasi belajar siswa Kata-kata kunci: ujaran motivasi, guru, siswa, Bimbingan dan Konseling Islam. PENDAHULUAN Pendidikan merupakan alat yang ampuh untuk menghadapi era di serba digital ini. Terutama untuk menghadapi kesiapan dimana kita dihadapkan dengan era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang sedang bergulir. Tidak berhenti sampai di situ, pendidikan juga merupakan syarat mutlak untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan klasifikasi yang disyaratkan oleh perusahaan/lembaga yang dituju. Akan tetapi, bagaimana lembaga pendidikan beserta peserta didiknya siap menghadapi semua itu jika para pendidiknya abai. Disadari atau tidak, kadang mereka acuh mengarahkan siswanya untuk senantiasa segera mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan tersebut. Dalam dunia pendidikan saat ini, seperti sering terdengar dari sejumlah media, guru diberitakan malah kerap menjatuhkan mental siswanya melalui ujaran verbal. THE 5TH URECOL PROCEEDING Atas beberapa kejadian yang terpublikasi, apologi bahwa guru adalah manusia biasa yang bisa saja salah sering dijadikan alasan. Kebiasaan lama membanding-bandingkan kemampuan siswa satu dengan siswa yang lain misalnya. Padahal, dari pandangan psikolog anak dan remaja, Zulhaqqi seperti dimuat pada health.detik.com (dalam Sukmasari: 2014) mengatakan bahwa “membandingkan anak satu dengan yang lainnya merupakan tindakan bullying”. Dalih mendidik yang mereka ungkapkan justru berakibat kontra produktif. Contoh tindakan di atas dapat berakibat tidak baik untuk perkembangan fisik bahkan psikis siswa. Sebagai contoh saat seorang siswa dikatakan salah, bodoh, lemah ataupun dengan berbagai ujaran lain yang mengandung makna negatif. Perlu diingat, guru merupakan pilar yang membangun karakter siswa. Ujaran-ujaran tersebut tentu saja akan terekam oleh siswanya dan besar kemungkinan akan diingat seumur hidup. 654 ISBN 978-979-3812-42-7 THE 5TH URECOL PROCEEDING 18 February 2017 Nah, hal itupun senada dengan apa yang dikatakan oleh Maslow dalam teorinya yang masih melegenda sampai dengan sekarang, Heirarki Kehidupan (1954;23-24) yang mengatakan bahwa “pernyataan yang diucapkan merupakan tanggung jawab atas tiap individu”. Begitupun yang dikatakan oleh seorang tenaga pendidik, apa yang kemudian dilontarkan peda muridnya, maka itu pun menjadi tanggung jawab sebagai seorang tenaga pendidik, baik itu yang berkenaan dengan hal yang memotivasi, ataupun hal yang berkenaan dengan menjatuhkan motivasi dari siswa itu sendiri. Guru sudah semestinya mencontohkan, membimbing dan juga mendekatkan diri secara psikologis kepada seluruh siswanya dengan sebaik mungkin. Dalam artian, guru harus dapat membuat siswanya nyaman berada di kelas selama mereka dalam menjalani proses pembelajaran, bukan malah sebaliknya (Chatib, 2012; Salamet, 2012; Ali, 2014; Awad; 2015; Hilal, 2015; Adam, 2015;). Guru yang hanya mengandalkan sisi kognitif siswa, malah dapat berpotensi memperkeruh suasana belajar. Bukan tanpa alasan, guru bisa saja mengabaikan sisi afektif dan psikomotorik siswanya. Mereka bisa saja lupa bahwa setiap siswa mempunyai kemampuan belajar yang relatif tidak sama. Hal ini senada dengan yang Mulyana (2010: 30) katakan bahwa “guru harus berbuat adil tanpa pandang bulu, tidak boleh membedakan antara yang cerdas dengan yang biasa saja”. Jika melihat jauh ke belakang, Nabi Muhammad SAW adalah sosok guru profesional yang layak menjadi panutan. Rasulullah menunjukkan diri sebagai seorang yang bisa berkomunikasi dengan kadar kesanggupan orang tersebut (Adam, 2015: 130). Hal ini ditegaskan dengan Hadist beliau yang penulis tukil dari Adam (2015) yang artinya: Kami para Nabi diperintahkan untuk menempatkan manusia sesuai dengan kedudukan mereka dan berbicara terhadap mereka sesuai dengan tingkat pemikiran mereka. (H.R. Abu Dawud). Di sisi lain, Rasulullah SAW memberikan posisi yang sangat mulia bagi para guru. Satu diantaranya, seperti yang penulis kutip dari Ali (2014) sebagai berikut, THE 5TH URECOL PROCEEDING UAD, Yogyakarta رﺳﻮل ﷲ ﻋﻠﯿﮭﺎ ﻟﻠﮭﺼﻠﻰ وﺳﻠﻢ إِنﱠ ْاﻷَ ْﻧﺒِﯿﺎَ َء ﻟَ ْﻢ،ِﺛَﺔُ ْاﻷَ ْﻧﺒِﯿَﺎء “para ulama (pendidik) adalah pewaris para Nabi....” (Tirmidzi, Ahmad, AdDarimi, Abu Dawud. Dishahihkan oleh Al-Albani). Hadist ini jelas memposisikan guru sebagai tugas yang mulia. Rasulullah SAW sangat peduli dengan guru yang dianggap sepadan perannya sebagai penerus dalam menjalankan risalah yang dibawa oleh beliau (Ali, 2014: 86). KAJIAN LITERATUR Motivasi menurut KBBI (2008: 973) berarti “usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang tertentu tergerak melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapat kepuasan dengan perbuatannya”. Adapun pengertian motivasi oleh Sulistyorini dan Fathurrohman (2012: 142) mereka berpendapat jika motivasi berkaitan erat dengan segala sesuatu yang mendorong seseorang untuk bertindak melakukan sesuatu agar mendapatkan yang diinginkannya. Dengan kata lain, motivasi mendorong siswa untuk mencapai tujuan yang ingin mereka capai. Ditilik dari perspektif Bimbingan dan Konseling Islam, sudah seharusnya guru paham bahwa ujaran motivasi sangat berpengaruh pada semangat siswanya dalam belajar sebagai ibadah. Dengan kata lain, guru harus memahami bahwa membimbing seperti yang Shertzer dan Stone katakan dalam kutipan Anwar (2015: 2) adalah “proses pemberian bantuan kepada individu agar mampu memahami diri dan lingkungannya”. Sementara konseling masih menurutnya, merupakan proses interaksi yang bermakna pemahaman diri dan lingkungan, serta hasil dari pembentukan dan atau pengklarifikasian tujuan tujuan serta nilai-nilai perilaku masa depan. Proses dalam Bimbingan dan Konseling Islam mestinya sudah menjadi panggilan jiwa setiap guru BK pada khususnya dan guru lain pada umumnya demi terwujudnya motivasi siswa dalam belajar sekaligus ibadah. Guru dalam hal ini merupakan ujung tombak pembangunan karakter bersemangat dan pengembangan diri siswa secara optimal dan 655 ISBN 978-979-3812-42-7 THE 5TH URECOL PROCEEDING 18 February 2017 memandirikan mereka untuk dapat menjalani kehidupannya secara produktif (Alison dalam Zainal Aqib, 2012: 37). Pengembangan diri yang berkarakter semangat tersebut bukan tanpa tujuan, melainkan demi terwujudnya daya saing global. Daya saing yang memperhatikan segala aspek mulai dari kognitif, afektif dan psikomotorik. Guru mesti sudah berpikir sejauh itu untuk tercapainya cita-cita setiap siswanya dengan memberi motivasi melalui ujaran-ujaran di selasela kegiatan pembelajaran (Alwasilah, 2000: 144). Aspek-aspek teladan mental sang guru berdampak besar pada iklim belajar dan pemikiran siswa yang guru ciptakan. Guru harus memahami bahwa perasaan dan sikap siswa akan terlibat dan berpengaruh kuat pada proses bahkan hasil belajarnya (DePorter, 2010; Arsyad, 2013; Luneto, 2015; Ramli, 2015). Penelitian ini mengkaji peran ujaran motivasi guru pada siswanya dalam proses belajar mengajar di sekolah dari persepektif Bimbingan dan Konseling Islam. METODE PENELITIAN Studi ini dilakukan dengan paradigma penelitian kualitatif deskriptif. Data diperoleh dengan cara menyebarkan angket. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan persepsi siswa terhadap ujaran motivasi dari gurunya. Data dalam penelitian ini berupa prosentase persepsi siswa sebagai sampel responden. Sumber data penelitian ini merupakan siswa-siswi dari Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Losari, Kecamatan Losari, Kabupaten Cirebon. Data didapatkan dengan menyebarkan angket kepada 36 responden kelas 10 di SMAN 1 Losari. Jawaban dari angket yang disebarkan kemudian dikalkulasikan prosentasenya untuk selanjutnya diinterpretasi. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan atas apa yang telah disampaikan dalam pendahuluan di atas, maka selanjutnya akan dipaparkan mengenai penemuan dan pembahasan penelitian ini. Dari 36 responden yang ada di SMAN 1 Losari, Cirebon. Peneliti menyuguhkan lima pertanyaan THE 5TH URECOL PROCEEDING UAD, Yogyakarta pada angket yang disebar. Kemudian jawaban di tiap nomornya diinterpretasi dengan sertaan penjelasan detail tentang apa yang dijawab oleh para responden. Jawaban dari pertanyaan #1 (Apakah arti guru bagi Anda?) dijawab “guru bagi saya adalah pahlawan tanpa tanda jasa” oleh sembilan responden (25%). Ada juga jawaban “guru bagi saya adalah pendidik dan pembimbing” dengan jumlah yang sama, yaitu sembilan responden (25%). Yang menarik di sini adalah ketika jawaban “guru adalah pemberi ilmu dan guru adalah motivator” memiliki jumlah responden yang sama pula, yaitu enam responden (16,7%). Lima responden lainnya (13,9%) menjawab “guru adalah orangtua kedua bagi saya”. Sisanya, sebanyak satu responden (2,7%) menjawab bahwa “guru itu aneh”. Lanjut ke jawaban dari pertanyaan kedua #2 (Apa arti motivasi bagi Anda?) dengan jawaban terbanyak dari responden yaitu “motivasi sebagai penyemangat”, dijawab oleh 13 responden (36,1%). Dua responden (5,6%) menjawab “motivasi sebagai perbaikan diri”. Ada juga empat responden (11,1%) menjawab “motivasi untuk menjadi lebih baik”. Lalu tiga responden (8,3%) menjawab “motivasi sebagai tujuan untuk hidup”. Kemudian lima responden (13,9%) menjawab “motivasi itu sebagai nasihat”. Adapun dua responden (5,6%) menjawab “motivasi itu demi kepentingan hidup”. Data yang terakhir di jawaban nomor dua, ada tujuh responden (19,4%) menjawab “motivasi merupakan dorongan semangat”. Beralih ke jawaban dari pertanyaan #3 (Apakah guru Anda pernah memotivasi Anda atau tidak?), di jawaban nomor tiga ini rupanya seluruh reponden menjawab dengan senada. Dari 36 responden, semuanya menjawab ‘iya’ yang artinya mereka semua pernah diberikan motivasi oleh gurunya. Berlanjut ke pertanyaan #4 (Jika iya, ujaran apa yang pernah dikatakan guru Anda ketika memotivasi?). Dari 36 responden, semua jawaban yang diberikan begitu bervariasi. Mulai dari tiga responden (8,3%) menjawab guru mereka memotivasi dengan ujaran “semangat belajar”. Lalu lima responden (13,9%) menjawab dimotivasi dengan ujaran “pantang menyerah”. Jawaban selanjutnya ada empat 656 ISBN 978-979-3812-42-7 THE 5TH URECOL PROCEEDING 18 February 2017 responden (11,1%) menjawab dimotivasi “jangan putus asa”. Ada juga dua responden (5,6%) menjawab dimotivasi “ilmu itu penting, teruslah belajar”. Kemudian empat responden (11,1%) menjawab untuk “kejarlah cita-citamu”. Lanjut ke 11 responden (30,5%) yang menjawab mereka dimotivasi untuk “selalu rajin belajar”. Motivasi selanjutnya yang diberikan kepada tiga responden (8,3%) adalah “menjadi yang terbaik”. Yang terakhir dengan jumlah responden yang sama yaitu satu responden (2,7%), motivasi yang diberikan antara lain “jadilah anak yang baik”, “hidup harus bermanfaat bagi orang lain” dan “jangan berbuat keburukan”. Meskipun demikian, di pertanyaan ini satu responden (2,7%) tidak memberikan jawaban. Di pertanyaan terakhir #5 (Bagaimana perasaan Anda ketika guru memberikan motivasi?), 36 responden semakin terlihat memberikan jawaban yang menunjukkan bahwa mereka sangat membutuhkan motivasi. Dari 36 responden, 19 responden (52,8%) menjawab “senang” jika diberikan motivasi. Disusul dengan empat responden (11,1%) yang menjawab “meningkatkan rasa percaya diri” jika dimotivasi. Lalu tiga responden lainnya (8,3%) menjawab “bangga” ketika diberi motivasi, dan juga ada dua responden (5,6%) menjawab “bersemangat”. Sisanya menjawab “merasa diperhatikan”, “merinding”, “membara”, “sedih”, “tersentuh”, “menghayati”, “terkejut”, “termotivasi”. Masing-masing dari jawaban tersebut mendapatkan satu responden yang artinya didapati angka 2,7%. Dari seluruh data yang telah dipaparkan, semakin jelas bahwa siswa membutuhkan motivasi sebagai dorongan semangat. Tentunya, motivasi menjadi inspirasi bagi mereka untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Hal itu menjadi tanggungjawab guru untuk melakukannya. Melalui ujaran motivasi pula dapat menjadikan mereka disenangi dan dibanggakan oleh para siswanya. Dari data yang diinterpretasikan di atas, Maslow (1954: 23-24) pun menjabarkan bahwa manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang harus terpenuhi, teori yang terkenal dari Maslow adalah hirarki kehidupan yang diantaranya: 1. Kebutuhan-kebutuhan Fisiologis THE 5TH URECOL PROCEEDING UAD, Yogyakarta Kebutuhan yang paling mendasar, ataupun paling kuat dan paling jelas dari antara keseluruhan kebutuhan manusia adalah kebutuhannya untuk bertahan hidup secara fisik, Maslow memberikan penjelasan tentang kebutuhan akan makanan, minuman, tempat berteduh, seks, tidur dan oksigen. Keseluruhan kebutuhan tersebut berada pada posisi paling dasar, atau bersifat yang harus dipenuhi lebih dulu oleh seorang individu. 2. Kebutuhan akan rasa aman Setelah kebutuhan-kebutuhan fisiologis terpenuhi secukupnya, kemudian muncul apa yang oleh Maslow jelaskan sebagai kebutuhankebutuhan akan rasa aman. Karena kebutuhan akan rasa aman ini biasanya terjadi pada orangorang dewasa yang normal dan sehat. Kebutuhan akan rasa aman ini berhubungan dengan neurotik dan kecemasan, dimana jika kebutuhan ini tidak terpenuhi maka individu akan bersikap seperti layaknya orang yang cemas dan ketakutan. Maka dalam penelitian ini juga berkaitan dengan rasa aman yang mana tentunya ujaran yang menyakitkan sangat tidak berkenan demi terpenuhinya rasa aman tersebut bagi siswa. 3. Kebutuhan akan rasa dimiliki-memiliki dan akan kasih sayang Berikutnya orang akan mendambakan hubungan hubungan penuh kasih sayang dengan orang lain pada umumnya, khususnya kebutuhan akan rasa memiliki tempat di tengah kelompoknya dan ia akan berusaha keras mencapai tujuan yang satu ini. Ia akan berharap memperoleh tempat semacam itu melebihi segala-galanya di dunia ini, bahkan mungkin kini ia lupa bahwa tatkala ia merasa lapar ia mencemoohkan cinta sebagai sesuatu yang tidak nyata, tidak perlu atau tidak penting. Dan tentunya jika apa yang disampaikan adalah hal baik dan berdampak baik terhadap siswa, yang kemudian berujung pada munculnya motivasi terhadap diri siswa. Jangan sampai apa yang disampaikan oleh guru terhadap siswa malah membuat sakit hati dan merasa ditolak. Seperti yang dicontohkan Maslow (1954: 23-24) “orang ini merasa ditolak”, jika kita menambahkan sedikit tentang perasaan ditolak tersebut, bisa jadi karena dan sebab apa yang menyebabkan orang tersebut ditolak merupakan pernyataan motivasi.. Karena motivasi merupakan hal yang 657 ISBN 978-979-3812-42-7 THE 5TH URECOL PROCEEDING 18 February 2017 konstan , tidak berakhir, fluktuatif dan kompleks. 4. Kebutuhan akan penghargaan Maslow menemukan bahwa setiap orang memiliki dua kategori kebutuhan akan penghargaan yakni, harga diri dan penghargaan dari orang lain. Harga diri meliputi kebutuhan akan kepercayaan diri, kompetensi, penguasaan, kecukupan, prestasi, ketidaktergantungan dan kebebasan. Penghargaan dari orang lain meliputi prestise, pengakuan, penerimaan, perhatian, kedudukan, nama baik serta penghargaan. Seseorang yang memiliki cukup harga diri akan lebih percaya diri serta mampu, maka juga lebih produktif. Sebaliknya jika harga dirinya kurang maka ia akan diliputi rasa rendah diri serta rasa tidak berdaya, yang selanjutnya dapat menimbulkan rasa putus asa serta tingkah laku neurotik. Maka, di sinilah letak guru sebagai pendidik untuk mengujarkan penghargaan bagi siswa, tidak bisa dipungkiri bahwa pertanyaan nomor lima yang diajukan di atas sebagai respon yang harus dikedepankan agar belajar dan mengajar di dalam kelas menjadi lebih hidup. Hal senada dinyatakan oleh DePorter (2010) mengakui setiap usaha merupakan hal yang krusial yang dilakukan oleh guru, apapun itu yang diusahakan oleh siswa kita, maka akui dan hargai, baik salah ataupun benar, akui mereka dan mereka akan melakukan transisi hingga mudah percaya diri. 5. Kebutuhan akan aktualisasi diri Setiap orang harus berkembang sepenuh kemampuannya. Pemaparan tentang kebutuhan psikologis untuk menumbuhkan, mengembangkan dan menggunakan kemampuan, oleh Maslow disebut aktualisasi diri, merupakan salah satu aspek penting teorinya tentang motivasi pada manusia. Maslow juga secara detail menyebutkan kebutuhan ini sebagai hasrat untuk semakin menjadi diri sepenuh kemampuannya sendiri, menjadi apa saja menurut kemampuannya. Maslow juga menemukan bahwa kebutuhan akan aktualisasi diri ini biasanya timbul sesudah kebutuhan akan cinta dan penghargaan terpuaskan secara memadai. Hal inilah yang kiranya menjadikan guru dengan latar Bimbingan dan Konseling Islam memiliki tuntutan lebih dari guru lainnya. Selain THE 5TH URECOL PROCEEDING UAD, Yogyakarta memahami secara psikologis para muridnya, mereka juga harus mengarahkan dan membimbing siswanya dengan kasih sayang. Semuanya tentu dilandasai oleh kesadaran bahwa Allah SWT tentu meridhoi apa yang mereka lakukan. Bentuk ikhtiar itulah yang seyogianya dapat membekali para siswa untuk selalu belajar lebih giat agar dapat menghadapi berbagai tantangan kehidupan. Siswa dididik untuk siap menyesuaikan diri dengan jaman yang berubah begitu cepat tanpa kehilangan jati dirinya sebagai hamba Allah. Inilah satu diantara harapan atas ujaran motivasi yang guru berikan kepada para siswanya di sekolah (Az-Zarnuji, 2009; Anwar, 2012; Luneto, 2015). Ditukil dari Ali (2014) bahkan Allah SWT pun telah menegaskan melalui isyarat yang dapat ditemukan dalam firman-Nya berikut ini: َﷲُ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎبَ َوا ْﻟ ُﺤ ْﻜ َﻢ َواﻟﻨﱡﺒُ ﱠﻮة ﻣَﺎ ﻛَﺎنَ ﻟِﺒَ َﺸ ٍﺮ أَنْ ﯾُﺆْ ﺗِﯿَﮫُ ﱠ ْﷲِ َو َٰﻟﻜِﻦ س ﻛُﻮﻧُﻮا ِﻋﺒَﺎدًا ﻟِﻲ ﻣِﻦْ دُو ِن ﱠ ِ ﺛُ ﱠﻢ ﯾَﻘُﻮ َل ﻟِﻠﻨﱠﺎ ﻛُﻮﻧُﻮا رَ ﺑﱠﺎﻧِﯿﱢﯿﻦَ ﺑِﻤَﺎ ُﻛ ْﻨﺘُ ْﻢ ﺗُ َﻌﻠﱢﻤُﻮنَ ا ْﻟ ِﻜﺘَﺎبَ وَ ﺑِﻤَﺎ ُﻛ ْﻨﺘُ ْﻢ َﺗَ ْﺪ ُرﺳُﻮن ”Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembahpenyembahku bukan penyembah Allah.” Akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orangorang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS. Ali Imran: 79). Dari penjelasan ayat Al Quran di atas diketahui bahwa, guru selain harus berwawasan luas, mereka juga tidak boleh sombong atas pengetahuan yang mereka kuasai. Itu tidak lain karena seorang guru dikenai kewajiban untuk mengajarkan segala apa yang telah diketahuinya kepada para siswa. Guru semestinya tahu bahwa bersikap peduli dan rendah hati di hadapan para siswanya akan lebih baik di hadapan Allah SWT daripada harus bersikap tinggi hati terhadap mereka. Sedemikian sehingga, siswapun niscaya senang ketika bertemu gurunya yang peduli. 658 ISBN 978-979-3812-42-7 THE 5TH URECOL PROCEEDING 18 February 2017 Seorang guru mesti senantiasa hirau dengan memotivasi dan menyemangati para siswanya. Hal ini dilakukan dengan harapan agar aspek kognitif, afektif dan psikomotorik para siswa sebisa mungkin matang secara bersamaan sehingga semangat belajarnya di sekolah makin terarah sebagai manifestasi ibadah kepada Allah SWT (Ali, 2014 dan Ramli, 2015). KESIMPULAN Di sekolah, guru merupakan ujung tombak dalam memberikan motivasi kepada siswanya. Dari kajian Bimbingan dan Konseling Islam, mereka sudah semestinya memberikan motivasi yang menjadikan siswanya lebih bersemangat dalam belajar sebagai manifestasinya dalam beribadah sekaligus mengejar cita-citanya. Bukan saja hanya pada sisi kognitif, tetapi juga sisi afektif dan psikomotorik. Ujaran motivasi yang mereka ungkapkan merupakan contoh riil yang akan selalu diperhatikan sekaligus diingat dan berefek positif bagi siswanya di kemudian hari. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis ucapkan terima kasih kepada kedua orang tua penulis yang telah mendukung penelitian ini. Tidak lupa kepada Kaprodi Bimbingan dan Konseling Islam dan Tadris Bahasa Inggris IAIN Syekh Nurjati Cirebon yang telah menginspirasi sekaligus memotivasi penulis dalam berkarya. Akhirnya, Penulis haturkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil. Semoga Allah SWT berkenan melipatgandakan ganjaranNya, amin. REFERENSI Adam, S. 2015. Pendidikan Humanis dalam Perspektif Islam (Konsep dan Implementasinya dalam Proses Belajar Mengajar). Jurnal Manajemen Pendidikan Islam. 3 (1): 128-144. Ali, M. 2014. Hakikat Pendidik dalam Pendidikan Islam. Jurnal Tarbawiyah. 11 (1): 82-96. THE 5TH URECOL PROCEEDING UAD, Yogyakarta Alwasilah, A. C. 2000. Politik Bahasa dan Pendidikan. Edisi 2. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung. Anwar, M. F. 2015. Landasan Bimbingan dan Konseling Islam. Deepublish. Yogyakarta. Aqib, Z. 2012. Ikhtisar Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Yrama Widya: Bandung. Arsyad, S. A. 2013. Profesionalisme Guru dalam Pembelajaran. Dalam Jurnal Adabiyah. Vol. XIII (2): 203-214. Awad, F. B. 2015. Pembelajaran Kreatif Perspektif Bimbingan dan Konseling. Dalam Jurnal Manajemen Pendidikan Islam. Vol. 3 (1): 29-37. Az-Zarnuji, S. 2009. Terjemah Ta’alim Muta’allim. Surabaya: Mutiara Ilmu. Chatib, M. 2012. Orangtuanya Manusia: Melejitkan Potensi dan Kecerdasan dengan Menghargai Fitrah Setiap Anak. Bandung: Kaifa. DePorter, B., dkk. 2010. Quantum Teaching: Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-Ruang Kelas. PT. Mizan Pustaka: Bandung. Fatimah, N. dan Arifin, Z. t.t. Strategi Ketidaksantunan Culpeper dalam Berbahasa Lisan di Sekolah. Dalam Prosiding Seminar Nasional. Pages: 8995. Fathurrohman, M. dan Sulistyorini. 2012. Belajar dan Pembelajaran. Teras. Yogyakarta. Hilal, A. M. S. B. 2015. Menjadi Guru Pilihan. Serawak: Borneo Media Solution. 659 ISBN 978-979-3812-42-7 THE 5TH URECOL PROCEEDING 18 February 2017 UAD, Yogyakarta Luneto, B. 2015. Profesionalisme Guru dalam Perspektif Islam. Dalam Jurnal Manajemen Pendidikan Islam. Vol. 3 (1): 38-49. Maslow, A. H. 1954. Motivation and Personality. First edition. Harper & Row, Publishers, Inc. Mulyana. 2010. Rahasia Menjadi Guru Hebat. Jakarta: Grasindo. Ramli, M. 2015. Hakikat Pendidik dan Peserta Didik. Dalam Tarbiyah Islamiyah. Vol. 5 (1): 61-85. Salamet. 2012. Karakter Peserta Didik dalam Perspektif Pendidikan Islam. Dalam Jurnal Pelopor Pendidikan. Vol. 3 (1): 33-42. Sukmasari, R. N. 2014. Psikolog: Membanding-bandingkan Anak dengan Orang Lain Termasuk Bullying. Tersedia pada http://health.detik.com/read/2014/07/23/ 161558/2646240/1301/psikologmembanding-bandingkan-anak-denganorang-lain-termasuk-bullying. Diakses tanggal 24 November 2016. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi 3. Jakarta: Balai Pustaka. THE 5TH URECOL PROCEEDING 660 ISBN 978-979-3812-42-7