Oligark Hitam, Jokowi, dan Revolusi dari Atas

advertisement
102
Vol.
No. 1, 2014
DIA
L 33,
OG
Prisma Prisma
A Rahman Tolleng:
Oligark Hitam, Jokowi, dan
Revolusi dari Atas
DI TENGAH maraknya pragmatisme politik belakangan ini, tak banyak politikus yang
punya kemampuan refleksi atas praktik kekuasaan. Rahman Tolleng adalah satu dari yang
sedikit itu. Dikenal sebagai tokoh eksponen Angkatan 1966, Tolleng pernah menjadi anggota
Golkar di awal pemerintahan Orde Baru. Namun, dukungannya terhadap Orde Baru sirna
setelah dia dituding terlibat peristiwa “Malapetaka 15 Januari” atau Malari 1974. Dia
sempat ditahan setahun lebih di rumah tahanan militer tanpa pengadilan.
Indonesia seusai Reformasi 1998, tak lepas dari tilikan Tolleng. Lebih dari satu
setengah dekade reformasi, demokrasi di Indonesia rupanya berjalan “sungsang.” Perlahan
tapi pasti, kata Tolleng, demokrasi akan dibajak oleh korporat dan atau kaum plutokrat.
Gejala itu, mengutip sosiolog Colin Leys, disebut Tolleng sebagai post-democracy. Mirip
pada masa awal demokrasi di Athena, sekarang, demokrasi pun kembali ke tangan orangorang berada. “Sistem politik Indonesia belakangan ini adalah perkawinan antara
demokrasi dan oligarki,” ujar mantan aktivis mahasiswa Institut Teknologi Bandung ini.
Lantas apakah makna kedaulatan rakyat di tengah oligarki politik dan ekonomi itu?
Tolleng punya jawaban menarik, meski mengaku belum mampu menyodorkan sebuah jalan
keluar. Dia tak begitu yakin dengan revolusi dari bawah, dan menawarkan sebuah
kemungkinan lain: revolusi dari atas. Sanggupkah konsep itu berpeluang sebagai sebuah
cara menerabas oligarki? Daniel Dhakidae, Harry Wibowo, dan Arya Wisesa, dari
Prisma berbincang dengan Tolleng di Jakarta pada akhir Mei 2014. Berikut petikannya:
Prisma (P): Oligarki merupakan sebuah
hukum besi (iron law) bahwa hanya segelintir
orang yang secara efektif memerintah di
manapun dan kapan pun. Bagaimana menurut
Anda?
Rahman Tolleng (RT): Sebagai sebuah
konsep dalam ilmu politik, makna oligarki cukup
membingungkan. Berasal dari tipologi Aristoteles, oligarki di situ merujuk pada bentuk
kekuasaan yang terdiri dari sedikit orang yang
dibedakan dari bentuk kekuasaan oleh satu
orang dan oleh banyak orang. Tidak heran
kalau kemudian, seperti tebersit dari pertanyaan Anda, banyak orang serta-merta meng-
artikan oligarki, sesuai dengan arti harafiahnya,
sekadar sebagai bentuk kekuasaan oleh sedikit
orang alias the few. Pemaknaan yang demikian,
menurut saya, salah kaprah.
Mengapa? Aristoteles sendiri dalam klasifikasinya membedakan oligarki dengan aristokrasi, meski keduanya merupakan bentuk
kekuasaan oleh sedikit orang. Per definisi,
aristokrasi adalah rule of the best—kekuasaan
oleh yang terbaik. Dirumuskan secara lain, the
few dalam artistokrasi berarti the best. Disebutkan bahwa jalan untuk masuk the best bisa
melalui meritokrasi, tapi bisa pula karena keturunan (dinasti). Dengan demikian, demi ketaD I A L O G
A Rahman Tolleng, Oligark Hitam, Jokowi, dan Rovolusi dari Atas
jaman klasifikasi, maka definisi oligarki sebagai
rule of the few (semata-mata) tidak dapat
dipertahankan.
Lantas pertanyaannya, siapakah yang dimaksud the few dalam oligarki? Mengikuti
penelusuran Jeffrey Winters, ternyata orang
alpa membaca uraian Aristoteles mengenai soal
ini. Di situ, dia dengan jelas menunjuk the few
sebagai the wealthy. Di mana-mana dengan
sendirinya orang kaya itu jumlahnya sangat
sedikit. Itu menurut Aristoteles.
Konsep oligarki juga diperkeruh oleh kenyataan bahwa konsep ini kerap dipertukarkan
dengan konsep lain yang kebetulan sama-sama
merupakan kelompok minoritas, alias the few,
yang bernama elite. Pencampuradukan ini sedikit banyak bersumber dari literatur-literatur
klasik tentang elite. Untuk menyebut salah satu
di antaranya adalah karya Robert Michels yang
merupakan hasil penelitiannya atas perilaku
Partai Sosial Demokrasi di Jerman. Secara
mengejutkan dia menemukan bahwa partai
sosialis yang sangat egaliter pun ternyata
dikendalikan oleh sedikit orang. Dia kemudian
merumuskan hukumnya sebagai The Iron Law
of Oligarchy. Padahal, the few yang ditemukannya itu tak lain adalah the selected (people)—
suatu gejala yang selalu terdapat dalam organisasi-organisasi yang kompleks.
Kelompok minoritas itu berhasil berada di
puncak bukan karena kekuatan kekayaannya,
melainkan sebagai hasil seleksi organisasi atas
dasar kapasitasnya memobilisasi pendukung
dan kualitas lainnya, dan mereka berhak untuk
itu. Oleh karenanya, tidak salah kalau dikatakan
bahwa Michels sesungguhnya berbicara tentang elite dan bukan tentang oligarki, sehingga
karenanya hukum besi yang ditelurkannya
seyogyanya berbunyi The Iron Law of Elitism!
Patut dicatat bahwa mereka yang disebut
elite pada umumnya tidak memiliki agenda
bersama, sementara oligarki, meski terbatas,
memiliki agenda bersama, yakni mempertahankan kekayaan dan sekaligus berkeinginan untuk
menambah pendapatan dan kekayaan mereka.
Kaum elite secara individual memiliki agenda
D I A L O G
103
masing-masing, dalam hal ini agenda partai yang
dipimpinnya, sedangkan kaum oligark, meskipun berada pada partai politik berbeda, mempunyai kesamaan agenda seperti yang telah
dirumuskan tadi.
P: Bila oligarki bisa diartikan sebagai
kekuasaan segelintir orang berdasarkan harta
kekayaan yang dimiliki, lantas apa perbedaannya dengan plutokrasi?
RT: Plutokrasi tidak lebih dari sekadar
penamaan lain. Dengan kata lain, plutokrasi
sama dan sebangun dengan oligarki. Istilah
plutokrasi memang berada di luar kerangka
tipologi Aristoteles.
P: Banyak yang mengatakan wujud oligarki
Indonesia berbeda dengan oligarki di negeri
lain. Apa komentar Anda?
RT: Per definisi, hakikat kehadiran oligarki
di mana pun tetap sama, yaitu mobilisasi kekuatan kekayaan demi mempertahankan kekayaan itu sendiri. Perwujudannya, khususnya
yang terkait dengan kekuasaan, bisa saja berbeda sesuai dengan sejarah kelahirannya dan
kondisi setempat. Di Indonesia, misalnya, kaum
oligark terjun langsung dalam dunia politik.
Mereka mendirikan dan memimpin partai politik, dan bila menang dalam pemilihan umum,
bisa menjadi presiden, menjadi menteri, dan
posisi penting lain dalam pemerintahan. Lain
halnya di Rusia, kaum oligark di negeri ini muncul sesudah tumbangnya Uni Soviet. Mereka
adalah para pengusaha yang berhasil menjalin
koneksi politik yang kuat—biasanya bersifat
tertutup. Kaum oligark ini, berkat koneksi politik mereka, bisa meraup keuntungan sangat
besar dari liberalisasi pasar dan program privatisasi di Rusia yang baru lahir. Di Amerika Serikat lain lagi wujudnya. Mereka ini, meminjam
istilah Jeffrey Winters, disebut sebagai civicoligarchy. Mereka mendesakkan pengaruhnya
pada pemerintah lebih banyak secara tidak
langsung, yaitu antara lain melalui lobi-lobi
politik, donasi kampanye kepada calon anggota
legislatif, dan pembentukan opini publik.
104
Prisma Vol. 33, No. 1, 2014
Contoh-contoh yang saya berikan itu secara
kebetulan berhubungan dengan negara-negara
demokrasi. Namun, oligarki tidak semata-mata
berurusan dengan demokrasi. Di negara tidak
demokratis pun, jika di situ terdapat stratifikasi
kekayaan yang ekstrem, niscaya akan melahirkan sejenis oligarki. Bagaimanapun juga,
saya curiga bahwa demokrasi mempunyai afinitas khusus dengan oligarki…
P: Afinitas khusus?
RT: Maksud saya, demokrasi dan kapitalisme sesungguhnya merupakan dua sisi dari
satu mata uang. Akan tetapi, hubungan itu
bersifat paradoksal. Di satu sisi, demokrasi
membutuhkan ekonomi pasar yang, selain
menyumbang efisiensi dalam kehidupan bersama, juga diharapkan dapat menciptakan
ruang dan peluang bagi terbentuknya civil
society. Namun, di sisi lain, kapitalisme itu menimbulkan ketidaksetaraan ekonomi yang bertolak belakang dengan demokrasi yang justru
didasarkan pada prinsip kesetaraan politik.
Soal itu sudah jauh hari dipermasalahkan oleh
para pemikir politik. Paling tidak sejak zaman
Aristoteles, sudah diingatkan bahwa meningkatnya ketidaksetaraan antara kaum kaya dan
miskin itu akan merintangi demokrasi berkembang secara sehat. Kenapa? Karena kaum
kaya mungkin berupaya membeli pengaruh
politik, sementara kaum yang sangat miskin
kemungkinan juga bersedia menjual suara
mereka. Yang ingin saya katakan dengan itu
semua adalah bahwa dalam sistem kapitalisme, terutama dalam kapitalisme yang tak
terkendali, munculnya oligarki hanyalah persoalan waktu.
P: Apa yang Anda maksud dengan “kapitalisme tak terkendali”?
RT: Finance capitalism salah satu contohnya. Sejak dini Karl Marx telah mempersoalkan keberingasan fincance capitalism.
Belum lama ini kita dikejutkan oleh demonstrasi besar-besaran di Amerika Serikat yang
tergabung dalam gerakan Occupy Wall Street.
Gerakan itu menggugat perilaku para bankir
dan pelaku bisnis keuangan yang dikatakan
telah mengacaukan ekonomi negeri itu. Singkat
kata, suka atau tidak suka, sistem kapitalisme
pada umumnya niscaya akan tumbuh tak terkendali jika tidak diatur atau jika tidak disertai
regulasi yang memadai…
P: Dan itu pun harus diatur serta tunduk
pada mekanisme pasar?
RT: Tentu saja diatur oleh pasar. Diatur
oleh the invisible hand, meminjam frasa Adam
Smith. Namun, pasar yang melahirkan efisiensi
itu justru memberi insentif bagi meningkatnya
ketidaksetaraan sebagaimana saya katakan
sebelumnya. Bukan hanya itu. Pasar yang tak
terkendali akan melintasi bidang kehidupan lain,
termasuk bidang politik, sehingga politik pun
pada akhirnya dijadikan komoditas for sale.
Perlahan tapi pasti, demokrasi akan dibajak
oleh korporat dan atau kaum plutokrat. Bahkan,
sosiolog Colin Leys menyebut tahap perkembangan tersebut sebagai post-democracy. Dia
melihat kehidupan demokrasi dewasa ini kembali seperti pada masa awal. Coba perhatikan
demokrasi Athena, yang mengambil bagian
melulu terdiri dari orang-orang yang memiliki
property. Sekarang, demokrasi pun kembali
berada di tangan orang-orang yang berada.
P: Bila demikian, apakah proses demokratisasi di Indonesia pasca-1998 telah beralih
rupa menjadi demokrasi oligarki?
RT: Sebenarnya, oligarki di Indonesia sudah hadir pada bagian terakhir kekuasaan
Soeharto. Namun, oligarki pada masa itu bersifat sultanistik dengan Soeharto sebagai Sultan.
Hal itu tercipta sejak awal tahun 1970-an.
Soeharto secara sadar mengembang-biakkan
sejumlah pengusaha besar—semula dari kalangan etnis Tionghoa, tetapi kemudian dari
kalangan “pribumi”—yang merupakan cikalbakal lapisan oligarki di Indonesia. Namun,
Soeharto tidak membiarkan para oligark bergerak sendiri, terlepas dari cengkeraman kekuasaannya. Soeharto berhasil menjinakkan
D I A L O G
A Rahman Tolleng, Oligark Hitam, Jokowi, dan Rovolusi dari Atas
Energi Rahman Tolleng seolah tak pernah
padam. Pada 1965-1966, dia ikut menggerakkan
Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), kini aktif
mendorong kaum muda melakukan perubahan.
Mantan Direktur Penerbitan PT Pustaka Utama Grafiti
(1991-2006) itu, juga turut membidani kelahiran
Partai Serikat Rakyat Independen (2 Mei 2011),
namun gagal untuk menjadi peserta pemilihan umum
2014. Berpolitik, menurut putra Bugis kelahiran Sinjai,
Sulawesi Selatan, 5 Juli 1937 ini, haruslah dengan
tujuan memuliakan kehidupan rakyat.
Dorongan berpolitik datang dari rasa keindonesiaan yang bersemi tatkala dia duduk di kelas 3
sekolah dasar di Watampone, Sulawesi Selatan,
pengujung 1945. Hampir setiap petang, bersama
teman sepermainan, dia “mengintip” sekelompok anak
muda yang tengah berlatih baris-berbaris di jalan
raya. Sebagian besar di antara mereka mengenakan
pakaian seragam berwarna putih dan di dada masingmasing terpasang emblem merah-putih.
Rahman Tolleng pernah mengenyam bangku
Institut Teknologi Bandung, Jurusan Apoteker (19551959), namun tidak tamat. Sempat terdaftar sebagai
salah seorang mahasiswa Universitas Padjajaran,
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, tetapi juga tidak
selesai. Pada era Orde Lama, dia menjadi buronan
politik karena menentang rezim Nasakom Soekarno.
Sesudah peristiwa Gerakan 30 September 1965, dia
bergabung ke dalam KAMI di Bandung. Mewakili
Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Mahasiswa Lokal, dia duduk sebagai salah seorang Ketua
Presidium KAMI Pusat.
Pada pertengahan 1966, bersama Riandi dan
Awan Karmawan Burhan, dia memprakarsai
penerbitan sekaligus memimpin mingguan Mahasiswa
Indonesia. Roger K Paget, salah seorang pengamat
pers Indonesia ketika itu, sempat berkomentar,
“berkat mutu dan sikap radikalnya, Mahasiswa
Indonesia dengan cepat memiliki reputasi sebagai
koran intelektual yang banyak dibaca.” Pada 1974,
Mahasiswa Indonesia diberangus rezim Orde Baru.
Menjelang Pemilu 1971, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR, 1968-1971)
ini, ikut mengambil bagian dalam proses transformasi
Sekretariat Bersama Golongan Karya menjadi
Golkar. Dia pun ditunjuk sebagai Wakil Pemimpin
D I A L O G
105
Redaksi, kemudian Pemimpin Redaksi Harian Suara
Karya, corong Golkar. Selain anggota DPR (19711974), salah satu anggota Dewan Pimpinan Pusat
Golkar ini juga menjabat Sekretaris Jenderal DPP
Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI).
Peristiwa 15 Januari 1974 merupakan titik balik
bagi dirinya. Dia dituduh terlibat dalam demonstrasi
menentang kedatangan Perdana Menteri Jepang
Kakuei Tanaka. Rahman Tolleng, bersama sejumlah
intelektual dan pemimpin mahasiswa masa itu, ditahan
selama 16 bulan di Rumah Tahanan Militer Boedi
Oetomo, Jakarta, tetapi kemudian dibebaskan tanpa
melalui proses peradilan. Salah seorang eksponen
Angkatan 1966 yang akrab disapa “Boss” oleh
teman-teman dekatnya sejak meringkuk di RTM
Boedi Oetomo itu, mulai tersingkir dari panggung
politik. Selain di-recall sebagai anggota DPR, dia juga
kehilangan jabatan di DPP Golkar dan DPP HKTI.
Pada awal tahun 1990-an, bersama sejumlah
intelektual serta aktivis, Rahman Tolleng mendeklarasikan lahirnya Forum Demokrasi (Fordem),
yang selama bertahun-tahun menjadi wadah bagi
sebagian aktivis prodemokrasi. Fordem mengajukan
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai calon
presiden alternatif menggantikan Soeharto. Gus Dur
akhirnya berhasil menjadi Presiden menggantikan BJ
Habibie. Fordem pun lambat-laun menghilang.
Namun, Rahman Tolleng tak kenal menyerah.
“Perjuangan politik adalah perjuangan nilai,” tandas
mantan Ketua Dewan Pertimbangan Fordem ini.
106
Prisma Vol. 33, No. 1, 2014
dan menundukkan mereka sampai dengan
tahun 1998. Segera sesudah runtuhnya kekuasaan Soeharto, berlangsung dua transisi di
Indonesia, sebagaimana yang direkonstruksikan Jeffrey Winters. Pertama, transisi dari
keotoriterian ke demokrasi. Kedua, transisi
dari sultanistic oligarchy menjadi rezim ruling
oligarchy...
P: Dalam konteks itu, apakah kaum oligark
bisa disebut sebagai penggerak perubahan di
Indonesia pada pertengahan 1998?
RT: Tidak juga. Ada faktor krisis ekonomi,
ada faktor gerakan mahasiswa, dan ada juga
faktor tekanan International Monetary Fund.
Bagaimanapun juga, harus diakui bahwa kestabilan rezim mulai goyah dan rapuh sejak
pertengahan 1997, karena kaum oligark yang
semula merupakan salah satu tiang penyangga
rezim, ramai-ramai meninggalkan Soeharto.
Daripada ikut tersapu, dalam arti kehilangan
segalanya, kaum oligark segera mengambil
tindakan preemptive: berpartisipasi dan mendorong, sekaligus mengerem dan membatasi
proses reformasi yang sedang berlangsung.
Nah, melalui proses transisi kedua tadi, sang
Sultan menghilang, sedangkan kaum oligark
yang kini telah menjadi reformis dapat tetap
bertahan.
P: Anda pernah mengatakan bahwa di
Indonesia terdapat berbagai jenis oligarki, satu
di antaranya “oligarki putih.” Apa maksudnya?
RT: Istilah “oligarki putih” itu sebenarnya
bersifat taktis saja, semacam eufemisme—
untuk tidak memukul rata semua orang kaya
sebagai oligark-oligark jahat. Dan sesungguhnya saya percaya, bahwa di balik oligark hitam
masih ada orang-orang kaya yang menjauhi
permainan politik dan tetap taat pada hukum
dalam arti tidak mengemplang pajak, tidak
merusak lingkungan hidup, tidak korup, dan
tidak berbuat kriminal lainnya.
P: Barangkali kata kuncinya adalah taat
hukum?
RT: Persis. Perbedaan penting dengan
kaum oligark, elite menaati hukum dan menghormati institusi-institusi. Oligark, demi mempertahankan kekayaan, terus-menerus berupaya mempermainkan hukum, dan bila perlu
merusak serta menghancurkan institusi. Disadari atau tidak, inilah yang tengah berlangsung
dalam sistem politik Indonesia belakangan ini—
sebuah sistem yang merupakan perkawinan
antara demokrasi dan oligarki.
P: Banyak orang berbicara tentang demokrasi dan oligarki di Indonesia tidak saling meniadakan, tetapi justru dapat berkohabitasi …
RT: Iya. Saya suka gunakan istilah kohabitasi antara demokrasi dan oligarki, yang
kalau diindonesiakan berarti “kumpul kebo.”
Sejak itu pula, politik uang mulai menjalar dalam
demokrasi di Indonesia, yang kian membesar
dalam dua pemilihan umum terakhir, khususnya pemilu legislatif yang baru saja dilalui. Salah
satu pemicu meningkatnya politik uang itu
adalah putusan Mahkamah Konsitusi (MK)
sebelum Pemilu 2009, yang memberlakukan
suara terbanyak dalam pemilu legislatif. Akibatnya, seorang calon anggota legislatif bukan
hanya harus bersaing dengan calon anggota
legislatif partai politik lain, melainkan juga
dengan calon anggota legislatif separtai. Apa
yang disebut treshold bagi pencalonan seorang
presiden juga tak terhindarkan menjadi insentif
bagi praktik politik uang, apalagi dalam pemilihan umum presiden tahun 2014 berlaku
treshold yang lebih tinggi, yakni 25 persen
kursi DPR atau 25 persen perolehan suara
dalam pemilu legislatif. Dan hal ini harus dipenuhi di tengah-tengah konstelasi sistem
kepartaian yang kian terfragmentasi.
P: Apakah mungkin suatu negeri tidak
memiliki kaum oligark?
RT: Indonesia sendiri, seperti telah saya
katakan, baru dirasuki oleh rezim oligarki pada
paruh kedua masa kekuasaan Soeharto. Pada
zaman Soekarno, kita belum mengenal oligarki.
D I A L O G
A Rahman Tolleng, Oligark Hitam, Jokowi, dan Rovolusi dari Atas
Sekali lagi, perlu digarisbawahi, bahwa kemunculan oligarki sebagai satu “jenis sistem
politik” adalah manifestasi dari adanya stratifikasi kekayaan yang tajam dalam masyarakat.
Tanpa stratifikasi yang demikian, dalam arti ada
konsentrasi kekayaan yang besar, negara mana
pun akan aman dari godaan oligarki.
Masalahnya yang kita hadapi, kapitalisme
itu sendiri, terutama bila tidak terkendali, lambat
laun akan menciptakan stratifikasi kekayaan
yang ekstrem. Diuraikan secara lain, pada fase
tertentu, oligarki itu adalah inheren dengan
demokrasi-kapitalisme. Yang bisa dilakukan
adalah mengendalikan kapitalisme sedemikian
rupa, sehingga ketidaksetaraan ekonomi yang
dihasilkannya tidak tampak terlampau mencolok.
Bila demikian halnya, bagaimana kalau kita
sama sekali mencampakkan kapitalisme dari
demokrasi kita, tentu dengan mengandaikan
bahwa demokrasi itu bisa diisolasi dan tetap
berjalan? Sebagaimana diketahui, sendi utama
kapitalisme adalah hak milik (pribadi)—maksud
saya property right. Menghapuskan property
right yang sudah berabad-abad merupakan hak
asasi yang melekat pada diri manusia adalah
sebuah tindakan yang tak terbayangkan. Suatu
utopia!
P: Lantas bagaimana dengan perkembangan kehidupan politik Indonesia di masa
depan bila negeri ini sungguh dikuasai segelintir orang yang memiliki harta berlimpah?
RT: Pertanyaan itu sendiri sudah merupakan jawaban. Secara diam-diam, itu berarti
hak berpolitik di Indonesia merupakan privilese
kaum oligark, sementara rakyat biasa praktis
direnggut haknya untuk berpartisipasi. Ambil
contoh, hak dan kebebasan berserikat. Melalui
undang-undang kepartaian dan undang-undang
pemilihan umum, ada pelbagai persyaratan
berat yang harus dipenuhi, sehingga tidaklah
berlebihan kalau dikatakan hanya konglomerat
yang mampu mendirikan partai. Undang-undang
kepartaian di Indonesia sekarang ini merupakan
aturan yang terkejam di dunia.
D I A L O G
107
P: Terkejam dalam hal apa?
RT: Terkejam karena menyertakan persyaratan terlampau berat. Di negeri-negeri
demokrasi lain, peluang mendirikan partai
politik jauh lebih mudah dan ringan. Cukup
diprakarsasi sebanyak 10-25 orang, dan di sanasini ditambah sedikit deposito sebagai uang
jaminan. Ironisnya, hal itu juga berlaku di
negara-negara yang kurang demokratis, seperti
Malaysia dan Myanmar. Kalau di Indonesia
salah satu persyaratannya harus diprakarsai
sedikitnya 50 orang. Itu pun di tingkat pusat.
Sementara partai politik yang didirikan itu
sudah harus memiliki cabang, lengkap dengan
pengurus dan kantornya, di seluruh wilayah di
Indonesia. Untuk memenuhi semua itu dibutuhkan uang tidak sedikit. Miliaran rupiah.
Tampak jelas, dan tanpa kita sadari, kaum
oligark berusaha keras mengangkangi sistem
politik yang resminya demokratis ini dengan
pelbagai cara, termasuk melalui aturan perundangan.
P: Beralih ke figur Joko Widodo yang
dicalonkan sebagai Presiden Republik Indonesia. Sebagian kalangan menganggap dia
bukan bagian dari oligarki, bahkan menyebut
dia sebagai fenomena non-oligarki di Indonesia.
Apa komentar Anda?
RT: Fenomena Jokowi merupakan sebuah
anomali dalam sistem politik kita yang oligarkis.
Hal itu patut diapresiasi. Namun, Jokowi bukanlah orang biasa, kalau tidak mau menyebutnya
sebagai “oligarki kecil.” Laporan harta kekayaannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) pada 2012 mendekati Rp 30 miliar. Saya
kira, tidak banyak orang Indonesia memiliki
kekayaan sebesar itu. Pengusaha mebel ini
mustahil menjadi Wali Kota Solo, dan kemudian
Gubernur DKI Jakarta, tanpa dukungan sponsor. Kini telah terungkap bahwa orang yang
mensponsorinya ialah Hashim Djojohadikusumo, adik Prabowo Subianto, yang sekarang
menjadi pesaingnya dalam pemilihan presiden
2014. Tak ada makan siang yang gratis: sponsorship itu telah “dibayar” dengan mengangkat
108
Prisma Vol. 33, No. 1, 2014
Hashim sebagai Kepala Pengawas Taman
Margasatwa Ragunan. Sudah barang tentu,
dalam upaya Jokowi menjadi presiden, juga tak
bisa dilepaskan dari bayang-bayang sejumlah
oligark di belakangnya.
P: Bagaimana dengan politik uang yang
sudah merambah ke desa-desa? Apakah ada
cara atau resep khusus melenyapkan praktik
tersebut di Indonesia?
RT: Itu karena kemiskinan karakter. Politik
uang sudah “diajarkan” kepada rakyat kecil
sejak zaman Orde Baru dengan istilah serangan
fajar. Rakyat pun menjadi terbiasa. Kemungkinan rakyat Indoensia juga ikut sakit. Ibarat
pepatah “guru kencing berdiri, murid kencing
berlari”, hanya peribahasa itu sekarang perlu
sedikit diplesetkan menjadi “Pemimpin kencing
berlari, rakyat kencing berdiri.” Politik uang dan
keliaran oligarki berkontribusi besar pada
cairnya ideologi, sehingga ikatan partai politik
menjadi longgar. Partai politik pada gilirannya
cenderung terfragmentasi dan mudah mengalami perpecahan. Bahkan, lebih jauh dari itu,
“keutamaan” (virtue), integritas, khususnya
sikap mendahulukan kepentingan umum nyaris
hancur sama sekali.
Saya tidak mempunyai resep yang menyeluruh dan komprehensif. Namun, menurut
saya, porsi terbesar biaya politik itu datang dari
pemasangan iklan politik pada media elektronik, khususnya televisi. Setahu saya di Inggris, dan juga di Jerman, sejak lama diberlakukan aturan yang melarang penyiaran iklan
politik di media elektronik, bahkan belakangan
larangan itu juga berlaku pada media cetak.
Sudah saatnya kita juga mengadopsi aturan
semacam itu. Aturan tersebut dapat sekaligus
mencakup larangan membeli jam tayang stasiun
televisi untuk keperluan kampanye politik.
Begitu pula larangan bagi stasiun-stasiun televisi
untuk menayangkan pelbagai acara yang berbau
kampanye. Itu yang pertama.
Kedua, melonggarkan syarat-syarat pendirian partai politik yang seperti telah saya
uraikan sangat memberatkan warga negara
yang ingin menggunakan hak berserikat melalui pendirian partai politik. Sudah waktunya
pula dipertimbangkan memperbesar subsidi
pemerintah untuk biaya politik bagi partai
politik.
Ketiga, khusus untuk praktik politik uang,
kita harus mempersempit ruang gerak praktik
politik uang tersebut. Untuk itu kita perlu memikirkan kembali sistem pemilihan umum yang
berlaku sekarang, bila perlu mengembalikannya
ke sistem proporsional tertutup.
Praktik politik uang juga merajalela semenjak berlakunya pemilihan langsung bagi
kepala daerah di tingkat provinsi maupun di
tingkat kabupaten/kota. Tidak sedikit orang
berpendapat bahwa pemilihan langsung untuk
kedua jabatan tersebut lebih banyak mudarat
daripada manfaatnya. Karena itu, apakah tidak
sebaiknya kalau pemilihan kedua jabatan itu
diserahkan kembali ke DPRD menurut tingkatannya masing-masing?
P: Apakah mungkin memperbaiki keadaan
yang nyaris hancur seperti itu?
RT: Kemungkinan perbaikannya harus
secara revolusioner. Namun, sekarang ini kian
sulit menciptakan revolusi dari bawah—kalau
tidak mau dikatakan hampir mustahil. Tinggal
yang tersedia adalah melalui revolusi dari atas.
Ini berarti, dengan memanfaatkan peluang
demokrasi yang sudah sangat sempit itu, kita
menampilkan seorang pemimpin dari kalangan
intelektual yang secara sadar bertekad memperbaiki semua itu. Pemimpin yang dimaksudkan memiliki wawasan yang menjangkau ke
depan, transforming, dan memiliki kualitas
kepemimpinan berupa virtue atau keutamaan
republikan. Beberapa tahun silam, saya dan
beberapa kawan melihat syarat-syarat kepemimpinan seperti itu ada pada sosok Sri
Mulyani Indrawati. Namun, sayangnya, kami
gagal…
P: Mengapa harus seorang intelektual?
RT: Kita sekarang menyaksikan redupnya
peran intelektual dari dunia perpolitikan, dan
D I A L O G
A Rahman Tolleng, Oligark Hitam, Jokowi, dan Rovolusi dari Atas
akibatnya panorama politik Indonesia pun
menjadi miskin dari gagasan-gagasan besar.
Keadaan ini kontras sekali dengan masa lalu.
Kalau menengok ke belakang, kita tahu bahwa
sejarah perjuangan kemerdekaan dipelopori
dan dipimpin oleh orang-orang yang berasal dari
kalangan intelektual. Soekarno, Hatta, Sjahrir,
Tan Malaka, Natsir dan Amir Sjarifuddin, semuanya adalah intelektual, yaitu orang-orang
yang berkecimpung dalam masalah besar bangsanya. Ketika itu, boleh dikatakan seluruh
lapisan elite politik direkrut dari kalangan
intelektual. Tradisi ini berlangsung hingga
pertengahan 1957.
Untuk tidak berpanjang lebar, Soekarno,
memporakporandakan tradisi itu. Seperti diketahui, segera sesudah Dekrit 5 Juli 1959,
Soekarno dan Nasution memperkenalkan gagasan “golongan fungsional” sebagai sumber
baru bagi perekrutan elite politik. Pemorakporandaan itu dilanjutkan Soeharto yang datang
kemudian. Walhasil, setelah melalui proses
yang rumit, sebagaimana telah diuraikan, di
penghujung kekuasaannya, Soeharto mewariskan sistem politik oligarkis, seperti yang kita
alami sekarang.
Tidak heran, kalau kaum intelektual pun
terpinggirkan. Sebagian besar kaum terpelajar
lalu lebih terdorong mengabdikan keahliannya
kepada pemerintah ataupun kepada korporat.
Sebagian lagi memilih menjadi pollster, kon-
D I A L O G
109
sultan politik, atau apa yang dikenal sebagai
media-celebrities, atau jenis pekerjaan lain yang
memerlukan keahlian.
Situasi demikian harus dibalik, dan untuk
itu siapa lagi kalau bukan kaum intelektual?
Menjadi intelektual merupakan panggilan hidup
dan oleh karenanya seorang intelektual sejati
seharusnya steril atau tidak mudah terbius oleh
guyuran uang.
P: Kaum intelektual sebagai agen perubahan? Bukankah mereka tak punya basis
massa?
RT: Itu tergantung dari posisi kelas intelektual bersangkutan. Intelektual yang dimaksud di sini tentu saja kaum intelektual yang
engaged, dan karena itu bersedia menjadi
insider dalam kehidupan politik dan bukan jenis
detached yang mengambil jarak dan lebih suka
menjadi outsider—sungguh pun jenis terakhir
ini juga sangat dibutuhkan kehadirannya dalam
masyarakat.
P: Jadi, Anda pesimistis melihat masa
depan Indonesia?
RT: Bagaimanapun beratnya tantangan
yang kita hadapi, saya kira, kita harus senantiasa
optimis. Kita harus tetap memelihara politics of
hope. Saya percaya Indonesia tidak pernah
kering dari kemungkinan perbaikan dan
pembaruan di masa depan•
Download