Uploaded by User77478

Makalah- Aliansi Bisnis-Politik, Oligarki, dan Omnibus Law

advertisement
Aliansi Bisnis-Politik Guna Mewujudkan Kepentingan Oligarki
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Secara ideal dengan pendekatan moralistik, syarat keberadaan suatu
negara adalah memiliki penduduk yang menjadi warga negara. Secara tidak
langsung, hal ini menjadi kewajiban negara untuk mempertahankan
kesejahteraan warga negaranya agar syarat yang diberlakukan mampu
dipertahankan. John Rawls memaparkan bahwa kebijakan negara harus
diarahkan untuk mengangkat harkat dan martabat seluruh warga negara.
Namun persoalan ini disalahgunakan dengan menjadikan kehendak pasaar
sebagai paradigm politis dalam pengelolaan negara. Dengan penyalahgunaan
yang demikian, terbentuk kongsi antara negara dengan kapitalisme. Solidaritas
sosial menjadi hal yang sulit ditemukan pada bentuk kapitalisme karena
preferensi pasar menjadi problematika utama penghalang adanya solidaritas
sosial dan membuka peluang bagi formasi oligarki.
Pemerintahan Soeharto mecapai titik puncak kejayaannya hingga 1998
dan lengser atas aspirasi masyarakat Indonesia melalui suara mahasiswa.
Banyak terjadi tragedy menyakitkan yang masih belum bisa terungkap
kebenarannya secara pasti karena peristiwa tersebut. Duduknya Soeharto di
puncak tahta tertinggi Indonesia selama 32 tahun melahirkan warisan
otoritarianisme yang masih bertahan hingga saat ini. Upaya Soeharto saat itu
untuk terus mempertahankan eksistensi kekuasaannya adalah dengan
membaingkai relasi diplomatik dengan junta militer Myanmar berrdasar pada
dalih persamaan nasib.
Keadaan politik Indonesia pada 1980 tersentralisir pada kepemimpinan
personal Soeharto sehingga demokrasi seperti hilang ditelan bumi. Konsep
pemahaman yang demikian menggiring opini masyarakat untuk bergerak
melengserkan Soeharto dari tahtanya. Hingga akhirnya pada Mei 1998
Soeharto lengser dari jabatannya dan mencipatakan optimisme bagi masyarakat
Indonesia atas terbukanya pintu reformasi kelembagaan demokrasi. Namun,
seiring berjalannya waktu optimisme ini lambat laun menjadi muram.
Muramnya keadaan yang demikian tercermin dari pembangunan konsolidasi
politik yang tidak semudah dengan apa yang diekspektasikan dan bahkan
menjadi lebih pelik karena pilar – pilar pondasi demokrasi harus dibangun di
sela – sela pilar otoritarianisme yang berdiri kokoh dan tak tergoyahkan.
Permasalahn ini membawa kita untuk mengkaji satu persatu permasalahan
dengan pokok bahasan bagaimanakah prospek demokratisasi dan aliansi bisnispolitik di Indonesia pasca era Soeharto.
1.2
Rumusan Masalah
1.2.1
Bagaimana hambatan yang ditimbulkan warisan relasi kekuasaan terhadap
reformasi kelembagaan birokrasi?
1.2.2
Bagaimana problem relasi kekukasaan dan aliansi bisnis-politik birokrasi
tampil dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo?
1.2.3
Bagaimana mekanisme hadirnya Omnibus Law secara politis?
1.3
Tujuan Penulisan
1.3.1
Untuk mengetahui pokok persoalan demokrasi di Indonesia saat ini serta
implikasi yang terjadi bagi kapasitas politis rakyat sebagai bentuk hambatan
yang ditimbulkan warisan relasi kekuasaan terhadap reformasi kelembagaan
birokrasi
1.3.2
Untuk menganalisis problematika relasi kekuasaan dan aliansi bisnis-politik
yang tampil dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo
1.3.3
Untuk menganalisis aktor – aktor formulasi dan implementasi Omnibus Law
yang mendapat keuntungan dan atau kerugian serta mengetahui mekanisme
hadirnya Omnibus Law secara politis
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Penelitian Terdahulu
Winters (2013) dalam jurnalnya yang berjudul “Oligarchy and
Democracy in Indonesia” memaparkan bahwa titik awal untuk memahami
politik
Indonesia
kontemporer
dapat
diketahui
melalui
pengamatan
ketimpangan material yang ekstrem dan berimbas pada ketimpangan politik
yang ekstrem pula. Penelitian ini menganalisa demokrasi atau sistem otoriter,
ketidakmerataan distribusi kekayaan, serta kektimpangan kekuatan dan
pengaruh individu yang memiliki kesenjangan materi hingga mewarnai motif
dan tujuan politik oligarki. Teori oligarki menangkap dengan baik kekuatan dan
politik dari konsentrasi kekayaan ekstrim dalam ekonomi politik Indonesia dan
membawa perannya dalam pembentukan negara berdasar sosial. Di Indonesia,
oligarki diyakini memberikan dampak yang lebih kuat daridapa kekuatan
material karena ada beberapa batasan efektif pada penggunaan uang untuk
tujuan politik. Kekuatan oligarki sangat hebat pengaruhnya terhadap politik
negara dan bersifat menyimpang. Ironisnya, karena banyak cara yang tersedia
bagi oligarki untuk mengekspresikan kekuasaan mereka dalam demokrasi
Indonesia, peran mereka bisa dibilang lebih besar sejak jatuhnya Soeharto
daripada sebelum transisi. Tidak ada yang permanen tentang dominasi oligarkis
ini. Tetapi untuk saat ini, oligarki memegang tempat utama dalam analisis
politik Indonesia
Pratikno (1998) mengaitkan otritarianisme Orde Baru yang mengalami
keretakan dengan prospek demokratisasi di Indonesia bergargumen atas dua
alasan utama terjadinya keretakan orotitarianime Orde Baru, yaitu a) negara
pada rezim Orde Baru mengalami krisis sumber kekuasaan politik secara
signifikan sehingga memiliki keterbatasan sumber daya untuk melakukan
control terhadap masyarakat, dan b) peningkatan ketidakpuasaan masyarakat
pada saat itu mendorong proses pelembagaan politik di tingkat masyarakat
untuk melakukan resistensi dan perlawanan terbuka tehadap negara. Namun
demikian, demokrasi tdak secara serta-merta menggantikan otoritarianisme
yang mengalami kerekatakan. Aktor yang memiliki kekuasaan alam menjada
proponen kelangsungan rezim Orde Baru. Melalui sumber daya ekonomi dan
akses kepada kekuasaan negara “aktor kekuasaan’ ini membangun wacana
tandangian terhadap wacana demokrasi dan membeli loyalitas rakyat.
Sejalan dengan pemikiran Pratikno, Yuki Fukuoka (2012) dalam jural
karangannya yang berjudul “Politics, Business and the State in Post-Soeharto
Indonesia” mengungkapkan bahwa transisi demokrasi telah menyebabkan
naiknya bisnis di arena politik. Angka pengusaha yang beralih menjadi politisi
menjadi meningkat setiap waktunya. Berdasarkan pada litaretur yang
dipergunakan, penulis juga mencantumkan naiknya bisnis asertif secara politis
yang seringkali dilakukan melalui demokratisasi atau kelembagaan demokrasi.
Jurnal oleh Yuki Fukuoka ini juga menyajikan kerangka kerja alternative untuk
lebih memamahami perubahan aliansi bisnis-politik di Indonesia dimana
menurut pendapat penulis, jatuhnya rezim Soeharto di Indonesia memiliki efek
yang memfasilitasi transformasi negara patrimonial1, dari negara administrasi
patrimonial menjadi negara oligarki patrimonial. Kelembagaan demokrasi telah
mengubah hierarki aliansi bisnis-politik atas distibusi patronase2. Di Indonesia
pasca-Suharto, elit bisnis tidak lagi bergantung pada elit birokrasi, karena aktor
lama menikmati akses langsung ke sumber daya negara.
1
2
Patrimonial adalah jabatan atau susunan birokrasi yang didasarkan pada hubungan personal/pribadi
Patronase adalah penggunaan sumber daya publik dalam pertukaran partikularistik dan langsung antara
klien dan politisi atau fungsionaris partai
2.2
Kajian Literatur
2.2.1
Demokrasi
Istilah demokrasi diartikan sebagai suatu sistem politik yang menempati
stratum teratas dan dianggap oleh banyak negara sebagai faktor atau komponen
yang mampu mengatur dan menyelesaikan hubungan sosial dan politik, baik
kepentingan antar individu dalam masyaraat, hubungan antar masyarakat,
masyarakat dengan desa ataupun dengan negara. Demokrasi sebagai ideology
berkembang dan menyebar secara cepat karena adanya wacana kritis terhadap
gagalnya praktik otoritarianisme.
Sebagai sebuah konsep, demokrasi memliki permkanaan yang
kompleks. David Lechmann (1989) dalam (Nugroho, 2015) mendefinisikan
demokrasi sebagai sebuah mekanisme untuk memilih pemimpin politik dengan
memberi kesempatan bagi warga negara untuk menetukan pilihannya terhadap
pemimpin yang mencalonkan diri melalui persaingan suara. Dengan kata lain,
demokrasi dapat dikatakan sebagai sebuah metode untuk mengatur
kelembagaan guna mencapai keputusan politik. Persaingan ini dituntut untuk
tetap menjunjung tinggi etika normative yang mengarah pada keseimbangan
sosial sehingga tercipta kesantunan politik demokrasi.
2.2.2
Oligarki
Perkembangan teori oligarki di Indonesia banyak mengadaptasi teori
pada studi yang dilakukan oleh Richard Robinson dan Vedi. R Hadiz, serta
Jeffrey A. Winters. Perubahan politik pasca Orde Baru menjadi sebagian dari
proses demokratisasi dengan tidak menyingkirkan kekuasaan oligarki yang
tercipta sejak rezim Soeharto. Winters menfasirkan oligarki sebagai politik
pertahanan kekayaan antar aktor yang memiliki sumber daya material
berlimpah. Selain itu, Wimters juga menitikberatkan analisisnya pada sejumlah
individu yang terkadang tidak bertindak kolektif dalam upaya mempertahankan
kekayaannya.
Oligarki dapat disebut sebagai relasi kekuasaan di antara sekolompok
elit yang menguasai sumber daya ekonomi dan politik untuk kepentingan
pribadi dana tau golongan. Robison dan Hadiz (2014) dalam (Ananta, 2017)
menggambarkan oligarki sebagai sistem relasi kekuasaan yang memungkinkan
adanya konsentrasi kekayaan dan otoritas serta sikap pertahanan bersama atas
konsentrasi kekayaan. Oligraki dapat dipahami sebagai bentuk relasi kekuasaan
yang merupakan koalisi atau kombinasi dari business-politic guna memperkaya
diri dengan memanfaatkan sumber daya publik. Menurut Robison dan Hadiz
(2014) dalam (Ananta, 2017) oligarki Orde Baru memiliki tiga karakteristik.
Pertama, suatu oligarki kapitalis yang mampu menguasai dan “secara
instrumental” (tidak sekadar struktural) memanfaatkan kekuasaan negara dan
lembaga-lembaganya berikut dengan kekuatan koersifnya untuk kepentingan
mereka sendiri. Kedua, hubungan negara dan masyarakat yang ditandai dengan
disorganisasi sistematis terhadap kelompok civil society. Ketiga, suatu sistem
patronase yang luas dan kompleks yang dipersonifikasikan oleh Soeharto
sendiri dengan poros di Cendana. Sistem patronase ini menjalar dan menembus
ke semua lapisan masyarakat dan bertransformasi dengan mengikuti
perubahan-perubahan politik untuk tetap menguasai sumber daya material.
Upaya reorganisasi oligarki terus menerus berlangsung dalam bidang
ekonomi dan politik. Keberhasilan dari reorganisasi oligarki bergantung pada
kelenturan jaringan otoritas politik dan kepentingan ekonomi yang menopang
dan mencirikan oligarki serta menjalari institusi negara itu sendiri yang dalam
hal ini adalah kelembagaan demokrasi. Mekanisme berlangsungnya kehidupan
praktik oligarki adalah dengan memanfaatkan sumber daya atau kekayaan
material yang berlimpah sehingga aktor kekuasaan ini mampu menempatkan
kekuasaan mutlak pada partai politik atau kelembagaan demokrasi dengan
melakukan permainan seperti politik uang. 2010, 160-166). Dengan ciri
tersebut, jejaring kekuasaan oligarki dapat dikatakan tetap menjadi kekuatan
sosial yang dominan di Indonesia pasca Orde Baru.
2.2.3
Omnibus Law
Omnibus Law, merupakan salah satu teknik dalam rangka penataan
regulasi di Indonesia. Sebenarnya banyak cara yang bisa dilakukukan dalam
rangka penataan regulasi tersebut. Hal-hal yang wajar atau sering ditempuh,
mulai dari yang dimungkinkan yaitu Pencabutan/ Pembatalan suatu Undangundang. Kemudian ada juga Modifikasi Undang-undang. Sebagai missal
Modifikasi Undang-undang Pemilu, yaitu menyatukan beberapa undangundang yang isinya hampir sama dalam hal Pemilu, kemudian menyatukannya
dalam satu Undang-undang. Mulai dari UU Pemilu Presiden, Pemilu Legislatif,
Penyelenggaraan Pemilu, baik mengenai kode etik penyelenggaraan Pemilu
atau yang lainnya kemudian ditentukan dalam UU Pemilu.
Omnibus Law pernah diterapkan di Indonesia, yaitu ketika Tap MPR
No. 1 tahun 2003 dimana dalam pembahasannya dimonopoli oleh Pemerintah
sehingga minim partisipasi dari publik. Omnibus Law lebih dikenal di negaranegara seperti Amerika, Inggris, Filipina, maupun Australia. Di Indonesia
penerapan Omnibus Law perlu diperdebatkan lagi, karena Indonesia menganut
sistem Civil Law. Ciri-ciri Omnibus Law antara lain,
1. Di satu bentuk berangkat dari problem regulasi. Bila tidak ada problem
regulasi, penerapan Omnibus Law tidak memenuhi syarat.
2. Merambah banyak sektor, kemudian mencabut beberapa Undang-undang.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1
Problematika Demokrasi di Indonesia dan Implikasinya
Krisis kepercayaan terhadap praktik penyelenggaraan demokrasi
semakin berkembang luas di kalangan masyarakat yang ditunjukkan dengan
banyaknya keluh kesah dan kekecawaan masyarakat terhadap kinerja lembaga
– lembaga politik demokrasi seperti yang partai politik, dewan perwakilan,
serta skateholder dalam tubuh kabinet atau pemerintahan. Tingginya angka
penyalahugunaan wewenang dan kekuasaan dalam lingkup politik seperti
korupsi menjadi salah satu bukti konkret atas kecewanya publik terhadap para
elite politik. Salah satu faktor yang menyebabkan hal ini terjadi adalah adanya
warisan relasi kekuasaan atau patronase kelembagaan politik. Dengan
bermodalkan sumber daya publik, patronase merupakan jalan pintas untuk
mengumpulkan asset sehingga menyebabkan inefisiensi ekonomi dan
terjadinya korupsi yang sistemik (Kadz dan Crotty: 2014, 311-318) dalam
(Trijono, 2011).
Seiring arus globaliasasi, peran negara dalam perekonomian berkurang
hingga menyebabkan pergeseran dalam corak politik distributive sumber daya.
Elite politik membentuk relasi dengan kolega terdekat atau bahkan dalam
lingkup keluarga untuk memudahkan aliran sumber daya antara bidang satu
dengan bidang lainnya. Hal ini menjadi faktor bergesernya makna kapasitas
politik rakyat. Dengan kekuasaan yang saling terhubung satu sama lain, aspirasi
rakyat hanya menjadi angin lalu bagi elite politik. Kebijakan yang diambilnya
menjadi keputusan mutlak tanpa mempertimbangkan suara rakyat dengan dalih
apa yang diputuskan adalah untuk kesejahteraan dan kebaikan bersama.
Namun, dibalik dalih tersebut ada tujuan terselubung untuk mengeruk sumber
daya rakyat guna dijadikan asset sumber daya kepentingan pribadi dan atau
golongan.
Demokratisasi mempunya tujuan agar sistem politik dapat lebih terbuka
dengan artian setiap kelompok politik dapat menjadi input dalam formulasi
kebijakan sehingga siasumsikan setiap warga negara memiliki kesempatan
untuk terlibat dalam pembuatan keputusan politik. Sedangkan, desentralisasi
tujuan utamanya adalah untuk mencegah adanya kekuasaan yang tersentralisasi
pada segelinitir orang (oligraki) yang diyakini pada akhirnya akan selalu
melakukan tindak pidana korupsi atau patronase.Prinsip yang mendasari
desentralisasi adalah, akuntabilitas, responsiveness dan partisipasi aktif rakyat
(Hadiz, 2005: 290-292) dalam (Solihah, 2016). Dengan memberlakukan
praktik desentralisasi, diharapkan pemenrintah mampu menekan angka
korupsi/patronase.
Namun, dalam kenyataannya berdasar pada data Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa adanya peningkatan angka korupsi pada
periode
200-2014
(per
31
Maret
2014)
(http://acch.kpk.
go.id/statistik/Rekapitulasi-Penindakan-PidanaKorupsi/). Hal ini menunjukkan
bahwa KKN yang diharapkan dapat disapu bersih setalah runtuhnya Orde Baru
belum terjadi. Problematika ini penting untuk diamati sebagai bagian dari pola
aliansi bisnis-politik karena pada dasarnya tindakan – tindakan yang demikian
merupakan masalah sistemik yang melibatkan politik dan perekonomian.
Pemangku kepentingan di kursi politik dan perekonomian Indonesai
bertindak sebagai sebuah keputusan besar yang memberikan dampak besar pula
terhadap nasib rakyat Indonesia. Jika terjadi pola relevansi antara pihak politik
dan ekonomi dengan didasari keinginan atau hasrat untuk mencari keuntungan
maka hal ini dapat mebhayakan nasib rakyat yang kapasitas politiknya memang
tidak dijadikan acuan oleh elite – elite politik. Kapasitas politik rakyat yang
diabaikan memang dikarenakan adanya kesinambungan antara elite satu
dengan lainnya sehingga jika ada beberapa pihak yang memenuhi kapasitas
poltik rakyat maka keputusan besar yang menyangkut banyak pihak elite bisnispolitik terancam mengalami perubahan atau bahkan ditiadakan.
3.2
Aliansi Bisnis-Politik Birokrasi dalam Pemerintahan Joko Widodo
Film Dokumenter berdurasi 88 menit karya Dhandy Laksono yang
berjudul “Sexy Killers” dan diproduksi oleh WatchDoc, banyak menceritakan
tentang eksploitasi batu bara yang sebelumnya belum pernah muncul di media
Indonesia. Sinematografi film menunjukan banyaknya bekas penggalian
sebagai akibat dari ekploitasi dan pembangunan industri PLTU. Selain itu,
beberapa pihak yang terlibat di balik eksploitasi batu bara juga dibongkar dalam
plot film ini. Perjuangan setiap orang dalam mempertahankan haknya yang
terenggut akibat pengeksplotasian alam ini juga ditunjukkan dalam film
dokumenter yang menggemparkan ini.
Film Sexy Killers sesungguhnya mengungkapkan bahwa pembangunan
raksasa seperti PLTU, tambang, bandara, jalan tol dan lai – lain tidak hanya
diperuntukkan untuk kepetingan masyarakat dan hukum yang melegitimasi
namun juga diperuntukkan untuk kepentingan ekonomi politik segelintir ‘elite’.
Dengan ber-atas namakan kehendak pasar, pembangunan ini berwajah
kapiltalistik dengan mengangkat tujuan pembangunan untuk kepentingan
umum, pertumbuhan ekonomi, bahkan kesejahteraan rakyat, Namun, seperti
yang sudah disebutkan sebelumnya, Sexy Killers menunjukkan wajah
kepentingan yang alih – alih hanya demi kepentingan rakyat, namun juga
menyangkutpautkan kepentingan segolongan oligarki.
Secara ideal dengan pendekatan moralistik, syarat keberadaan suatu
negara adalah memiliki penduduk yang menjadi warga negara. Secara tidak
langsung, hal ini menjadi kewajiban negara untuk mempertahankan
kesejahteraan warga negaranya agar syarat yang diberlakukan mampu
dipertahankan. John Rawls memaparkan bahwa kebijakan negara harus
diarahkan untuk mengangkat harkat dan martabat seluruh warga negara.
Namun persoalan ini disalahgunakan dengan menjadikan kehendak pasaar
sebagai paradigm politis dalam pengelolaan negara. Dengan penyalahgunaan
yang demikian, terbentuk kongsi antara negara dengan kapitalisme hingga yang
ditakutkan adalah negara secara tidak sadar bertransformasi menjadi negara
kapitalis. Dalam konsep kapitalisme, F. Budi Hardiman dalam bukunya yang
berjudul ‘Moncong Oligarki’, memaparkan bahwa pasar loyal hanya pada uang
bukan pada bangsa. Solidaritas sosial menjadi hal yang sulit ditemukan pada
bentuk kapitalisme karena preferensi pasar menjadi problematika utama
penghalang adanya solidaritas sosial dan membuka peluang bagi formasi
oligarki.
Secara factual, dengan konsep preferensi pasar yang demikian,
sejumlah kebijakan negara menggunakan produk hukum yang bersifat represif
dimana karakternya berupa hukum sub-ordinat terhadap politik kekuasaan,
kritik dilihat sebagai ketidaksetiaan dan substansi hukum dibuat sesuai dengan
selera pejabat melalui perspektif resmi dimana para penguasa mengindentikkan
kepentingganya dengan kepentingan masyarakat. Kebijakan ekonomi yang
diimplementasikan dewasa ini juga sudah cukup untuk disebut ekstratif, dimana
hal ini ditunjukkan dengan sumber daya alam yang dimanfaatkan secara terus
menerus dalam jumlah yang besar dan dalam tempo yang cukup singkat.
Kepemilikan tambang batu bara yang didokumentasikan dalam film
Sexy Killers tersebut dikaitkan dengan dua nama calon Presiden periode 20192024. Hal ini menunjukkan keberadaan busuknya praktik ekonomi, politik, dan
hukum di Indonesia. Bisnia aliansi-politik ini tampil dengan memanfaatkan
preferensi pasar yang mengatasnamakan kepentingan rakyat dan bekerja sama
dalam aliansi untuk menciptakan asset bai oligarki. Jika hal ini terus menerus
berlangsung maka sumber daya dan potensi ekonomi rakyat menjadi tergerus
habis di tangan elite politik yang memiliki kekuasaan karena kekuatan
ekonomi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bahwa pada masa
demokrasi ini, masih terdapat pola relasi bisnis dan poltik yang dilakukan oleh
aktor bisnis dan aktor pollitik/pemerintahan sebagaimana dilakukan pada masa
Orde Baru. Dalam kata lain, pola relasi bisnis-politik yang masih ada hingga
sekrang merupaka warisan dari masa – masa sebelumnya. Pola relasi bisnispolitik yang demikian dicirikan dengan adanya aktor ekonomi (pebisnis) yang
berusaha melindungi kepentingannya dan meuwujudkan tujuannya dengan
menjalin relasi informal (secara individual) terhadap aktor pemerintahan
politik. Dalam pola relasi antara kedua aktor tersebut, masih terlihat adanya
pola transaksional yang bersifat predatoris dan bersifat patro-klien dimana
model transaksi ini memiliki kemiripian dengan apa yang terjadi di masa Orde
Baru (Solihah, 2016).
Bila dicermati berdasarkan konsep tersebut, sulit untuk menentuka
siapa yang paling diuntungkan atas pertukaran – pertukaran kemanfaatan
tersebut, dan bisa saja hal terebut berlangsung secara seimbang. Patro (pihak
pemimpin) /aktor politik menyediakan kebaikan, pekerjaan, perlindungan atau
bahkan jabatan sedangkan klien (dalam hal ini adalah aktor ekonomi)
memberikan penghormatan dan dukungan politik. Sehingga jika dicermati
kembali relasi bisnis-politik yang demikian, sulit untuk membedakan “siapa
yang memanfaatkan siapa” karena pada dasarnya masing – masing pihak
mendapatkan sesuatu yang diharapkannya atau yang menjadi tujuannya
(Muhaimin: 1990, hal 25) dalam (Fadiyah & Zakiyah, 2018).
3.3
Omnibus Law
Pada pidato pelantikan Presiden Republik Indonesia periode 20192024, Presiden terpilih Joko Widodo menyinggung tentang konsep hukum
perundang-undangan yang disebut Omnibus Law. Hal ini disinggung dan akan
dilakukan seagai media penyederhanaan kendala regulasi yang saat ini berbelit
dan terlalu panjang sekaligus untuk merivisi Undang – Undang yang telah
diberlakukan. Perencanaan Omnibus Law ini rencananya akan membahas tiga
Undang – undang besar yang dilaksanakan antara DPR dengan Presiden. Ketiga
Undang – undang tersebut adalah Undang – Undang tentang Perpajakan, UU
Cipta Lapangan Kerja dan UU tentang Pemberdayaan UMKM (Usaha
Menengah Kecil dan Mikro).
Bidang ketenagakerjaan adalah salah satu faktor yang bisanya menjadi
pertimbangan investor dalam melakukan investasi di Indonesia. Salah satu
faktor
yang
dipertimbangkan
tersebut
adalah
fleksibilitas
sistem
ketenagakerjaan. Oleh karena itu, Pemerintah saat ini mengkaji sejimalah
aturan fleksibilitas jam kerja hingga proses rekrutmen mampun dalam hal
pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal – hal tersebut masuk ke dalam
Rancangan Undang – Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja
sebagai respon atas sering terjadinya permasalahn upah di Indonesia. Menteri
ketenagakerjaan Indonesia periode 2019-2024 berargumen bahwa hambatan
pembahasan Omnibus Law adalah sulitnya mempertemukan kepentingan
pengusahan dan butuh/tenaga kerja.
Menurut Kamus Hukum Merrian-Webster, istilah Omnibus Law berasal
dari Omnibus Bill, yakni Undang – Undang yang mencakup berbagai isu atau
topik kenegaraan. Kekhawatiran masyarakat atas rencana pemberlakuan
konsep hukum ini adalah di masa yang akan datang ditakutkan hal ini akan
menganggu sistemm ketatanegaraan Indonesia karena sistem hukum yang
dianut Indonesia sampa saat ini adala Civil Law. Tujuan dari Omnibus Law
sendiri adalah untuk meningkatkan data saing dan mendorong pihak luar untuk
melakukan investasi di Indonesia. Pemerintah mengasumsikan hambatan utama
dalam peningkatan investasi adalah terlalu banyak regulasi baik tingkat pusat
maupun daerah akibat dari diterapkannya desentralisasi. Dampak yang akan
terjadi dari penerapan Omnibus Law adalah akan adanya revisi 82 Undang –
Undang yang terdiri dari 1194 pasal.
Keterlibatan para pengusaha dalam satgas omnibus law memang lah
suatu keharusan karena merekalah sebagai pihak yang akan memanfaatkan atau
terdampak dari omnibus law ini. Namun demikian, keberadaan pekerja dan
buruh tentunya tidak bisa diabaikan karena merekalah yang nantinya pasti
akan merasakan dari kebijakan ini, karena mereka memang setiap waktu selalu
berada pada posisi yang marginal.
Dikaitkan dengan teori Oligarki, Omnibus Law nampaknya tidak dapat
terhindar dari kepentingan elite aliansi bisnis-politik sehingga kapasitas politik
publik semakin terancam dengan adanya kebijakan konsep hukum ini.
Angkatan kerja nasional menilai omnibus law bukan cara terbaik inti
meningkatkan investasi dan meminimalisir pengangguran atau untuk
menciptakan lapangan kerja. Hal ini dinilai malah akan menghancuekan
kesejahteraan masyarakat dengan didasari kenyataan bahwa Omnibus Law akan
menghilangkan upah minimum. Hal ini terlihat dari keinginan pemerintah yang
hendak menerapkan sistem upah per-jam sehingga pekerja yang bekerja kurang
dari 40 jam seminggu secara otomatis upahnya akan berada di bawah angka
upah minum. Penerapan sistem upah ini akan mendorong perusahaan untuk
memperkejajakan buruhnya hanya beberapa jam dalam sehari sesuai dengan
kebutuhan perusahaan. Selain itu, di dalam Omnibus Law ada istilah baru
pengganti pesangon yaitu tunjangan PHK dimana jumlah tunjangan ini
besarnya sebanyak 6 bulan upah berbeda dengan UU No.13 tahun 2003 yang
menetapkan pesangon sebesar 9 atau 16 bulan upah. Omnibus Law
memperkenalkan fleksibilitas pasar kerja/outsourcing dan pengangkatan
karyawan tidak tetap (PKWTT) dan hal ini dibebaskan pada semua lini
produksi sehingga masa depan buruh menjadi tidak jelas dan sangat mudah
untuk di-PHK. Dengan demikiam, jaminan sosial menjadi terancam
esksistensinya karena dengan skema sebagaimana tersebut di atas jaminan
sosial terancam hilang, khususnya hari tua dan jaminan pensiun. Hal ini bisa
terjadi karena adanya sistem kerja yang fleksibel tadi karena sebagaimana
diketahui bahwa untuk mendapatkan jaminan pensiun dan jaminan hari tua
harus ada kepastian pekerjaan (Efendi, 2020).
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1
Kesimpulan
Menguatnya ikatan patronase dalam perpolitikan di Indonesia memang
benar adanya. Hal tersebut membuktikan bahwa gejala patronase di Indonesia
masih tetap eksis berakar dalam perpolitikan di Indonesia, meskipun
perpolitikan kita semakin hari kian terkesan modern ataupun kekinian misalnya
dengan menggunakan media sosial sebagai basis kampanye, tetapi kita tetap
bisa menafikkan bahwa model-model lama seperti patronase juga tetap berhasil
eksis di dalam dunia politik. Eksistensi patronase kemungkinan didasari oleh
semakin menguatnya rasa ketergantungan ataupun saling menggantungkan
kepentingan antara elit politik dengan berbagai unsur yang menunjang
keberhasilan elit tersebut. Simbiosis mutualisme itu muncul semakin besar
menjelang adanya pemilihan, baik itu pemilihan daerah maupun pusat. Hal ini
didukung oleh berbagai kasus patronase yang terjadi di Indonesia belakangan
ini. Oleh karena itu, menguatnya patronase di Indonesia semakin hari kian
membuktikan kebenarannya dengan didukung data-data yang sudah dijabarkan
dibab sebelumnya. Bagaimanapun keadaan perpolitikan di Indonesia saat ini,
tidak menghilangkan pola patronase yang sudah ada sejak dahulu, bahkan
semakin menguatnya pola tersebut belakangan ini. Dengan demikian, penulis
meyakini bahwa patronase tidak akan pernah pudar dari perpolitikan di
Indonesia.
Terkait Omnibus Law yaitu salah satu teknik Penyederhanaan UndangUndang dengan mencabut beberapa Undang- Undang maka hal ini membutuh
kan perhatian dari kita semua, terkait bagaimana Undang-undang tersebut
dirumuskan oleh Pemerintah. Omnibus Law pernah diterapkan di Indonesia,
yaitu ketika Tap MPR No. 1 tahun 2003 ditetapkan dimana dalam pembahasan
isinya dimonopoli oleh Pemerintah dan minim partisipasi dari publik. Ciri-ciri
Omnibus Law antara lain:
a. Di satu bentuk berangkat dari problem regulasi. Bila tidak ada problem
regulasi, penerapan Omnibus Law tidak memenuhi syarat.
b. Merambah banyak sektor, kemudian mencabut beberapa Undang-undang.
Omnibus Law, dalam pembahasannya biasanya berlangsung cepat.
Karena gagasannya dimonopoli oleh Pemerintah dan DPR. Kemudian waktu
pengesahannya ditentukan oleh 2 (dua) aktor tersebut. Bahkan dapat diputuskan
hanya dalam satu Sidang Putusan. Hal ini yang merupakan ancaman bagi
demokrasi, karena:
a. Bisa melanggar beberapa formalitas tahapan pembentukan Undangundang. Kita ketahui terdapat 5 (lima) tahapan dalam pembentukan
undang-undang,
yaitu:
Perencanaan,
Penyusunan,
Pembahasan,
Pengesahan dan Pengundangan. Tahapan Perencanaan Undang-Undang,
harus melibatkan partisipasi publik. Namun terkait issu Omnibus Law yang
saat ini sedang ramai, kita tidak temui Naskah, Draft, maupun Daftar
Inventaris Masalahnya. Bahwa kemudian kabarnya, saat ini sudah terdapat
1000 pasal yang sudah dibatalkan melalui Omnibus Law ini, dan
dimungkinkan masih dapat bertambah. Namun hal tersebut sampai dengan
hari ini tidak dapat diakses oleh publik. Hal tersebut yang merupakan
bahaya bagi Negara Hukum Demokrasi seperti Indonesia.
b. Bisa melanggar prinsip keterbukaan dan partisipasi.
4.2
Saran
1. Perlu adanya lembaga yang menekan angka patronase untuk memimalisir
penyelewangan pemanfaatan sumber daya publik dengan menelisik hubungan
instansi politik-bisnis satu dengan lainnya dan melibatkan partisipiasi publik
dalam menuntut elite politik untuk menjadikan ideologi sebagai dasar penentu
program dan strategi perjuangan politik-bisnis tersebut; melembagakan
kaderisasi dan rekrutmen politik yang transparan dan berdasarkan merit system;
melembagakan aturan main politik yang konsisten dalam regulasi secara
internal dan regulasi dari negara; serta mendorong terciptanya aliansi bisnispolitik yang terbuka dalam regenerasi di tingkat internal maupun eksternal.
2. Sertifikasi tenaga kerja yang dipersyaratkan dunia usaha akan menjadi
tantangan berat pemerintah ke depan, sementara itu, tenaga kerja asing (TKA)
akan terus bertambah. Untuk itu, Pemerintah perlu memperkuat sertifikasi
dengan meningkatkan keahlian dan keterampilan pekerja nasional sehingga
benar-benar bisa bersaing. Pemerintah dengan kebijakan nasional Kartu Pekerja
hendaknya dapat dipercepat penganggarannya sehingga calon tenaga kerja
Indonesia dapat segera dilatih.
3. Jika Ombibus Law diterapkan makan pemerintah perlu membentuk suatu
Badan Khusus Pusat Legislasi Nasional (BKPLN) yang kredibel dan memiliki
kapabilitas untuk melaksanakan konsep hukum tersebut serta menjadi tempat
untuk mengonsolidasikan norman dan Undang – Undang agar dapat berjalan
secara terencana dan tepat sasaran dengan menerapakan transparansi serta
memperhatikan kapasitas politik publik.
DAFTAR PUSTAKA
Ananta, D. D. (2017). Politik Oligarki dan Perampasan Tanah di Indonesia: Kasus
Perampasan Tanah di Kabupaten Karawang Tahun 2014. Jurnal Politik, 2(1), 101.
https://doi.org/10.7454/jp.v2i1.83
Efendi. (2020). Omnibus Law dan Ketenagakerjaan Nasional. Jurnal Social Security.
http://www.jurnalsocialsecurity.com/jurnal/omnibus-law-dan-ketenagakerjaannasional.html
Fadiyah, D., & Zakiyah, U. (2018). Menguatnya Ikatan Patronase dalam Perpolitikan
Indonesia. Jurnal Politik Dan Sosial Kemasyarakatan, 10(2), 75–88.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Fukuoka, Y. (2012). P. Contemporary Southeast Asia, 34(1), 80-100. Retrieved March
23, 2020, from www.jstor.org/stable/41446245
Nugroho, H. (2015). Demokrasi dan Demokratisasi: Sebuah Kerangka Konseptual
Untuk Memahami Dinamika Sosial-Politik di Indonesia. Jurnal Pemikiran
Sosiologi, 1(1), 1. https://doi.org/10.22146/jps.v1i1.23419
Pratikno. (1998). Keretakan Otoritarianisme Orde Baru dan Prospek Demokratisasi.
Jurnal Ilmu Sosial Dan Politik 1998, 2(2), 18–33.
Solihah, R. (2016). Pola Relasi Bisnis Dan Politik Di Indonesia Masa Reformasi: Kasus
Rent
Seeking.
Jurnal
Wacana
Politik,
1(1),
41–52.
https://doi.org/10.24198/jwp.v1i1.10546
Trijono, L. (2011). Reaktualisasi Politik Demokrasi : Politik Agensi dan Revitalisasi
Kelembagaan Demokrasi. 15(November), 93–110.
Winters, J. A. (2013). Oligarchy and democracy in Indonesia. Indonesia,
2013(96Special Issue), 11–33. https://doi.org/10.5728/indonesia.96.0099
Download