Menimbang Konsep Omnibus Law Bila Diterapkan di Indonesia Meski Indonesia menganut sistem civil law, namun konsep omnibus law mungkin diterapkan dengan beberapa syarat. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil pernah melontarkan tentang konsep omnibus law. Konsep ini juga dikenal dengan omnibus bill yang sering digunakan di Negara yang menganut sistem common law seperti Amerika Serikat dalam membuat regulasi. Regulasi dalam konsep ini adalah membuat satu UU baru untuk mengamandemen beberapa UU sekaligus. Pernyataan tersebut muncul karena tumpang tindihnya regulasi, khususnya menyoal investasi. Sofyan mencontohkan, ketika ada usulan memperbaiki regulasi di bidang kehutanan maka yang harus direvisi adalah UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Namun, masih ada ganjalan dalam beleid lain, semisal UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) atau UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Jika dilihat, penggunaan konsep omnibus law sepertinya mampu menjawab persoalan tumpang tindih aturan perundang-undangan di Indonesia. Masalahnya, apakah konsep omnibus law ini bisa diterapkan di Indonesia yang menganut sistem civil law? Pakar Hukum Tata Negara, Jimmy Z Usfunan, berpendapat pada dasarnya ada persoalan konflik antara penyelenggara pemerintahan, saat ingin melakukan inovasi atau kebijakan yang kemudian berbenturan dengan peraturan perundang-undangan. Sehingga konsep omnibus law menjadi salah satu jalan keluar yang mungkin bisa diambil oleh pemerintah. Akan tetapi, omnibus law haruslah dilakukan dalam tingkatan UU. Meski Indonesia menganut sistem civil law, Jimmy berpendapat konsep ini bisa digunakan oleh pemerintah Indonesia untuk mengatasi dua hal. Pertama, persoalan kriminalisasi pejabat Negara. Selama ini, katanya, banyak pejabat pemerintah yang takut menggunakan diskresi dalam mengambil kebijakan terkait penggunaan anggaran karena jika terbukti merugi, bisa dijerat dengan UU Tipikor. “Masalahnya antara UU Administrasi Pemerintah dan UU Tipikor itu ada konflik, karena dalam UU tipikor itu tidak ada elemen yang menunjukkan adanya niat jahat atau mens rea. Oleh sebab itu, aparat penegak hukum selalu melihat dari kaca mata positivis hanya untuk perbuatan ketika perbuatan ini dilakukan dan ada kerugian Negara maka di situ kena, sedangkan di UU Administrasi Pemerintah dibolehkan adanya diskresi,” Menurutnya, jika pemerintah ingin menggunakan omnibus law untuk mengatasi persoalan ini, bisa saja dibuat UU baru dengan konsep omnibus law. Selama ini, antara diskresi dan tindak pidana korupsi memang terus menimbulkan persoalan bagi pengambil kebijakan, namun tidak semua diskresi selalu mengandung tindak pidana korupsi. UU baru bisa menegaskan tentang mensrea atau niat jahat dari pengambil diskresi. Omnibus law menjadi pelindung bagi pejabat daerah yang ingin melakukan inovasi dan kreasi untuk kemajuan ekonomi dan investasi Namun, Jimmy mengingatkan bahwa jika sudah dibentuk UU baru untuk mengharmonisasikan dua aturan ini, maka jangan sampai UU baru justru disalahgunakan untuk melindungi kepentingan koruptor dan tidak sesuai dengan semangat UU yang diharmonisasi, misalnya pemberantasan korupsi dari UU Tipikor Kedua, omnibus law bisa digunakan di Indonesia untuk penyeragaman kebijakan pusat dan daerah dalam menunjang iklim investasi. Berkenaan dengan hal ini, lanjutnya, omnibus law bisa menjadi cara singkat sebagai solusi peraturan perundang-undangan yang saling berbenturan, baik secara vertical maupun horizontal. Hanya saja, kata Jimmy, persoalan yang akan muncul adalah mengenai kedudukan UU hasil omnibus law ini. Secara teori perundang-undangan di Indonesia, kedudukan UU dari konsep omnibus law belum diatur. Jika melihat sistem perundang-undangan di Indonesia, UU hasil konsep omnibus law bisa mengarah sebagai UU Payung karena mengatur secara menyeluruh dan kemudian mempunyai kekuatan terhadap aturan yang lain. Tetapi, Indonesia justru tidak menganut UU Payung karena posisi seluruh UU adalah sama. “Hanya saja menjadi persoalan secara teori peraturan perundang-undangan mengenai kedudukannya, sehingga kedudukannya harus diberikan legitimasi dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Harus direvisi,” jelas Dosen Universitas Udayana ini. Bagaimana jika tidak dilakukan revisi terhadap UU No. 12 Tahun 2011? Menurut Jimmy, harus dilihat bagaimana isi ketentuan di dalam UU Payung tersebut, apakah bersifat umum atau detail seperti UU biasa. Jika bersifat umum, maka tidak semua ketentuan yang dicabut melainkan hanya yang bertentangan saja. Tetapi jika ketentuannya umum, akan menjadi soal jika dibenturkan dengan asas lex spesialis derogat legi generalis (aturan yang khusus mengesampingkan aturan yang umum. Oleh sebab itu, harus diatur dalam hierarki perundang-undangan perihal kedudukannya. “Dan perlu dipahami bahwa terdapat keinginan kuat dari pusat terhadap peningkatan investasi, tapi bagaimanapun ada investasi tertentu yang tidak bisa diterima oleh daerah karena dianggap dapat memudarkan nilai kultural masyarakat setempat. Sehingga perlu hati- hati mengaturnya,” tambah Jimmy. Selain itu Jimmy mengatakan meski omnibus law dimungkinkan di Indonesia, ia mengingatkan jangan sampai omnibus law memunculkan persoalan dalam penghormatan terhadap otonomi daerah yang menekankan pada kehendak daerah mengatur daerahnya. Karena dengan adanya omnibus law, maka secara otomatis peraturan tingkat daerah juga harus mematuhi aturan baru dari konsep omnibus law. Kemudahan Berinvestasi Seperti diketahui, salah satu tujuan konsep omnibus law yang digaungkan Sofyan Djalil adalah untuk memudahkan investor untuk menanamkan modal di Indonesia. Terkait hal ini, Menteri Koordinator dan Perekonomian Darmin Nasution mengingatkan bahwa kemudahan berusaha di Indonesia atau Ease of Doing Business (EODB) secara berangsur-angsur sudah menunjukan perbaikan menjadi peringkat 91 dari peringkat 106 pada tahun 2016 . Untuk mencapai target yang lebih baik itulah, maka pemerintah harus melakukan terobosan. “Kita harus membuat terobosan. Kalau perbaikan yang kita lakukan hanya sedikit atau sama dengan tahun lalu, bisa jadi peringkat kita malah turun. Sebab negara lain membaik lebih cepat,” kata Darmin. Menurut Darmin, Indonesia harus melakukan usaha yang lebih keras pada bidang-bidang yang peringkatnya di atas 100 agar bisa turun ke arah peringkat 80-an. Salah satu caranya adalah dengan merancang perbaikan-perbaikan, seperti portal-portal dalam Indonesia National Single Window (INSW). “Kalau tidak semua bisa dijadikan satu, ada beberapa kegiatan sejenis yang berhubungan bisa digabungkan. Kita harus bergerak ke online,” tutur Darmin. Dengan menggabungkan beberapa prosedur dan perizinan, diharapkan dapat memangkas waktu pengurusan maupun biaya yang harus dikeluarkan. Ambil contoh untuk indikator starting a business, saat ini rata-rata pengurusan izinnya harus melalui 11 prosedur, dengan waktu sekitar 24 hari dan biaya Rp 2, 78 juta. Target yang baru, pemerintah akan memangkas prosedur hingga menjadi 9 prosedur, dengan lama pengurusan 9 hari dan biaya menjadi Rp1,58 juta. Menata Undang-Undang dengan Omnibus Law Oleh: Jimmy Z. Usfunan*) Pemerintah dan DPR perlu mengoptimalkan penggunaan metode Omnibus Law terbatas ala Indonesia dengan mulai menyusun program legislasi nasional berdasarkan tema-tema, dengan tetap mempertimbangan nilai-nilai keadilan. Keluhan Presiden Jokowi beberapa waktu lalu perihal banyaknya undang-undang akhirnya menambah keruwetan pekerjaan pemerintah, bahkan memperlambat kinerja dalam mewujudkan pembangunan perekonomian negara. Patut dicarikan jalan keluar bersama. Secara faktual, pemerintah telah menempuh kebijakan pemangkasan regulasi yang dianggap menghambat investasi. Melalui Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) sampai saat ini, sudah di tahap PKE ke 16. Upaya penyederhanaan regulasi (deregulasi) telah dilakukan oleh pemerintah terhadap kurang lebih 222 regulasi. Dengan pola memunculkan peraturan baru yang dirumuskan dalam rangka percepatan investasi, yang berdampak pada dicabutnya beberapa peraturan terkait. Hanya saja cakupan PKE masih terbatas pada Peraturan Pemerintah (PP) ke bawah (Peraturan Presiden, dan Peraturan Menteri), belum mencakup Undang-Undang. Pola penyederhanaan regulasi ini sebenarnya menggunakan metode Omnibus Law yang telah dipraktikkan di beberapa negara seperti Amerika, Canada, Suriname, Irlandia, dan lainnya. Omnibus law secara sederhana, dipahami sebagai metode penyusunan aturan, yang dalam satu peraturan terdapat beberapa materi/substansi (yang biasanya dibuat secara terpisah dalam beberapa aturan) dan ketika peraturan ini diundangkan maka akan mencabut peraturan atau materi-materi dalam peraturan lainnya yang sudah diatur. Lebih lanjut dalam Black Law Dictionary, (Black Law Dictionary, Eight Edition, Thomson West: 2004:175) mengartikan Omnibus Bill sebagai berikut: A single bill containing various distinct matters. Drafted in this way to force the executive either to accept all the unrelated minor provisions or to veto the major provision. (Suatu undang-undang yang berisikan beragam materi, yang dibentuk untuk memaksa eksekutif menerima semua ketentuan yang tidak terkait atau untuk memveto ketentuan utama) Secara implementasi, Omnibus Law yang sudah diterapkan dalam PKE ini mudah diaktualisasikan karena Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri dibuat oleh kekuasaan eksekutif (di bawah kekuasaan Presiden). Berbeda halnya dengan undangundang yang dibuat bersama DPR. Sehingga alur koordinasi lebih panjang, ditambah dengan proses tarik ulur politik. Mungkinkah Omnibus Law dalam level UU dipraktkkan di Indonesia? Praktik pembentukan undang-undang di Amerika dilakukan dengan cara membuat satu paket kebijakan, misalnya yang berkaitan dengan penanaman modal, maka tidak hanya mengatur soal prosedur penanaman modal, melainkan juga mengatur proses perijinan, tenaga kerja, proses pengalihan tanah, dan sebagainya. Sehingga hak dan kewajiban investor dapat ditemukan dalam satu dokumen hukum itu, dengan jumlah Pasal yang banyak. Namun, apabila pola tersebut disadur ke Indonesia secara sama persis, tentunya tidak semudah membalikkan telapak tangan, mengingat Indonesia memiliki hirarki peraturan perundangundangan. Sehingga 1 persoalan bisa dilihat dalam berbagai regulasi, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Misalnya dalam hal penanaman modal, maka akan bersentuhan dengan UU 13/2003 Ketenagakerjaan, UU 5/1960 Agraria, UU 23/2014 Pemda, UU Pajak, belum lagi Peraturan-Peraturan Daerah yang terkait. Mengingat jangka waktu dibuatnya regulasi terkait itu berbeda-beda, maka sudut pandang pemikiran filosofis dan sosiologi dari masing-masing undang-undang dan peraturan daerah terkait juga berbeda. Hal ini akan berdampak pada potensi yang besar pertentangan diantara undang-undang tersebut. Inilah yang menjadi kesulitan bila menggunakan metode omnibus law tanpa batas. Contohnya paradigma UU Penanaman Modal lebih pada peningkatan investasi sebanyak-banyaknya dengan memberikan kemudahan kepada investor (perhatikan Dasar Menimbang huruf c dan d Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal). Sedangkan UU Ketenagakerjaan, kepada perlindungan hak-hak tenaga kerja (lihat Dasar Menimbang huruf c dan d, Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Kemudian regulasi di bidang perijinan lebih pada perlindungan lingkungan, UU Pemda memberikan keleluasaan ke Daerah untuk mempertimbangkan kondisi di wilayahnya masingmasing. Memang secara praktik pola ini belum pernah digunakan di Indonesia. Kendati demikian, bisa saja pembentuk undang-undang kedepan membuat UU Omnibus seperti ini. Hanya saja, UU Omnibus ini lebih mengedepankan penggunaan asas lex posterior derogate legi priori (aturan yang baru mengenyampingkan aturan sebelumnya) dengan diikuti pengaturan dalam “ketentuan penutup” untuk membatalkan undang-undang yang hendak dibatalkan. Akan tetapi, UU Omnibus ini akan menghilangkan keberlakuan asas lex spesialis derogate legi generalis (aturan yang khusus mengenyampingkan yang umum), karena UU Omnibus ini dapat dikatakan mengatur lebih umum. Di samping itu, yang perlu dipertimbangkan dalam membentuk UU Omnibus adalah jangan sampai undang-undang baru dibuat hanya semata-mata pada satu sudut pandang, misalnya dalam peningkatan investasi saja tanpa mempertimbangkan perlindungan lingkungan, hak-hak tenaga kerja, kondisi daerah, aspek-aspek lainnya sebagai pertimbangan filosofi dari undangundang yang akan terkena dampak pencabutan nantinya. Tidak hanya itu, akan berbahaya juga nantinya, jika UU Omnibus ini mengandung banyak kepentingan, sehingga rawan disalahgunakan. Mengingat kedahsyatannya yang akan melululantahkan bangunan-bangunan nilai-nilai keadilan dari UU sebelumnya. Sebagaimana pengalaman yang terjadi di Amerika maupun di Canada dalam beberapa dekade silam. Omnibus Law Terbatas ala Indonesia Berbeda halnya ketika menggunakan metode Omnibus Law terbatas, yang sebenarnya secara praktik sudah dilakukan. Salah satu pola pembentukan undang-undang yaitu menggabungkan 2 atau 3 bahkan lebih materi muatan yang diatur dalam UUD NRI 1945. Misalnya Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3). Adapun, penggabungan substansi yang diatur masih tergolong dalam 1 tema besar (terbatas). Bahkan kehadiran UU Pemda, berdampak pada 4 undang-undang yang sudah ada sebelumnya, (mencabut 2 UU yakni UU No. 5/1962 tentang Perusahaan Daerah, dan UU No. 32/2004 tentang Pemda) serta mencabut beberapa ketentuan dalam UU MD3 dan UU No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah). Begitu pula Undang No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mencabut 6 Ordonansi dan 9 undang-undang. Pola Omnibus Law terbatas ini, merupakan mekanisme yang jauh lebih aman dan sangat dimungkinkan secara praktik. Mengingat dalam kelembagaan eksekutif, terbagi menjadi beberapa kementerian yang masing-masing telah memiliki tugas dan fungsi berdasarkan bidangbidangnya. Begitu juga di DPR yang telah terbagi menjadi beberapa komisi. Dengan adanya Omnibus terbatas maka memudahkan penentuan kementerian yang menjadi leader dalam pembentukan undang-undang, begitu pula penentuan komisi di DPR yang menangani. Ketimbang, membentuk UU Omnibus yang tidak terbatas. Melalui pembentukan undang-undang dengan pembatasan paradigma dalam 1 tema besar, akan memudahkan pengaturan nantinya. Misalnya UU 32/2004 tentang Pemda lebih menekankan pada otonomi yang sangat luas kepada Kabupaten/Kota sedangkan UU 23/2014 tentang Pemda menarik sebagian otonomi itu ke Provinsi. Sehingga semua ketentuan akan didasarkan pada paradigma baru tersebut. Untuk itu, sebaiknya Pemerintah dan DPR perlu mengoptimalkan penggunaan metode Omnibus Law terbatas ala Indonesia dengan mulai menyusun program legislasi nasional berdasarkan tema-tema, sembari juga merevisi undang-undang yang sudah lama, guna menyesuaikan dengan perkembangan keadaan saat ini. Tentunya, dengan tetap mempertimbangan nilai-nilai keadilan pada saat undang-undang itu dibuat. *)Dr. Jimmy Z. Usfunan, SH.,MH adalah Penulis, Pengajar HTN Fakultas Hukum, Universitas Udayana, Bali. kemudahan berusaha di Mahkamah Agung (MA) Dalam beberapa tahun terakhir, Mahkamah Agung (MA) turut berperan meningkatkan kemudahan berusaha (easy of doing business) di Indonesia. Wujudnya, MA menerbitkan sejumlah kebijakan dalam bentuk Surat Keputusan Ketua MA (SK KMA), Peraturan MA (PERMA), atau Surat Edaran MA (SEMA) sebagai perangkat hukum memadai yang memberi kepastian, keamanan, dan jaminan lebih baik dalam berusaha . Peran peradilan dalam kemudahan berusaha terutama ketika para pelaku usaha dan atau pihak terkait terjadi perselisihan hak melibatkan pengadilan. Setidaknya, ada dua parameter kemudahan berusaha yang beririsan dengan kewenangan peradilan yakni penegakan kontrak (enforcing contract) dan penyelesaian kepailitan (resolving insolvency). “Di bidang kemudahan berusaha, MA turut berkontribusi dengan menerbitkan beberapa kebijakan yang mendukung kemudahan berusaha,” ujar Ketua MA M. Hatta Ali dalam sidang pleno istimewa Penyampaian Laporan Tahunan (Laptah) MA Tahun 2016 di Gedung MA Jakarta, Kamis (9/2) kemarin. Hatta menyebutkan beberapa diantaranya SEMA No. 2 Tahun 2016 tentang Peningkatan Efisiensi dan Transparansi Penanganan Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di Pengadilan. “Ini sebagai tindak tindak lanjut dari regulasi sebelumnya yakni PERMA No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Gugatan Sederhana Intinya, SEMA No. 2 Tahun 2016 ini untuk lebih mempercepat proses penyelesaian perkara niaga. Sebab, selama ini proses penyelesaian perkara niaga di Pengadilan Niaga masih memakan waktu 3-6 bulan. Tahapan dan jangka waktu penyelesaian perkara niaga lebih disederhanakan, lebih cepat terutama dalam hal pemberesan boedel pailit. PERMA Gugatan Sederhana juga mempercepat proses penyelesaian perkara perdata dan tahapannya lebih sederhana. Penyelesaian gugatan perkara sederhana ini maksimal 25 hari sudah diputus (putusan final) dengan hakim tunggal dan nilai objek gugatannya di bawah Rp200 juta. Seperti gugatan perdata biasa, gugatan sederhana ini menetapkan kriteria sebagai perkara cidera janji (wanprestasi) dan atau perbuatan melawan hukum (PMH). Sebelumnya, terbit pula SEMA No. 1 Tahun 2015 tentang Barang Bukti Kapal dalam Perkara Pidana Perikanan. SEMA No. 1 Tahun 2015 ini sebagai pelaksanaan Pasal 69 ayat (4) UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, mengatur teknis hukum pemusnahan kapal dalam perkara pidana perikanan. Aturan ini bentuk dukungan MA terhadap Pemerintah yang menginginkan adanya efek jera bagi terdakwa, perusahaan pemilik kapal, atau operator kapal yang melakukan pidana perikanan di wilayah Indonesia. Pemberian efek jera ini dengan menenggelamkan atau pemusnahan barang bukti kapal yang digunakan melakukan kejahatan pencurian ikan. Belum lama ini, MA juga menerbitkan PERMA No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi. PERMA ini sebagai pedoman penanganan (hukum acara) bagi aparat penegak hukum menjerat entitas korporasi. Sebab, selama ini maraknya kejahatan yang melibatkan korporasi sangat minim diproses hingga ke pengadilan. Padahal, berbagai UU telah menempatkan korporasi sebagai subjek hukum yang dapat dipidana lantaran merugikan negara dan atau masyarakat, mulai pidana denda, uang pengganti, ganti rugi, hingga penutupan korporasi. Di tengah pesatnya industri ekonomi syariah, MA juga menerbitkan PERMA No. 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah. Aturan ini mengatur prosedur penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Pengadilan Agama diantara para pelaku ekonomi syariah yang terikat perjanjian akad syariah atas dasar prinsip-prinsip syariah . Perkara sengketa ekonomi syariah ditangani hakim peradilan agama yang telah mengantongi sertifikat hakim ekonomi syariah sesuai syarat-syarat yang ditentukan Perma No. 5 Tahun 2016 tentang Sertifikasi Hakim Ekonomi Syariah. Aturan ini mengatur prosedur sengketa ekonomi syariah yang lebih sederhana, cepat, dan biaya ringan . Hal terpenting substansi PERMA ini, perkara ekonomi syariah dapat diajukan dalam bentuk gugatan sederhana (small claim court) atau gugatan acara biasa baik secara lisan maupun tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Agama yang berwenang. Adapun prosedur hukum acara gugatan sederhana mengacu Perma No. 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana. Tenggang waktu penyelesaian perkara ekonomi syariah ini mengacu SEMA No. 2 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding. Untuk penyelesaian perkara tingkat pertama dan banding paling lambat masing-masing 5 bulan dan 3 bulan.