Tulisan-LAPUT-2-Rizal

advertisement
Menakar Kemungkinan Membangun Partai Politik Alternatif
Menjelang Pemilu 2019, wacana pembangunan partai politik alternatif yang berasal
dari organisasi gerakan rakyat kembali bergeliat. Wacana yang diusung oleh organisasiorganisasi gerakan rakyat ini bertujuan untuk memajukan kualitas perlawanan, dari tuntutan
ekonomi menjadi perjuangan politik. Inisiatif pembangunan partai politik alternatif dari
gerakan rakyat mulai dilakukan oleh beberapa organisasi gerakan rakyat, seperti Konfederasi
Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI), Rumah Rakyat Indonesia (RRI) dan Organisasi Rakyat
Indonesia (ORI). Walaupun inisiatif ini telah berjalan namun proses di dalamnya masih
menemui sejumlah tantangan dan hambatan. Tidak dapat dipungkiri, masih banyak
organisasi-organisasi gerakan rakyat yang tidak melihat wacana ini sebagai tujuan strategis
dari perjuangan mereka. “Tidak sedikit organisasi rakyat cenderung masih anti terhadap
pembangunan partai politik dan apolitis,” ujar Ketua Majelis Pengarah Organisasi KPRI
Sapei Rusin.
Padahal di sisi lain, wacana pembangunan partai politik alternatif dari gerakan rakyat
ditujukan untuk melawan dominasi kekuatan oligarki di arena politik. Hingga saat ini, partaipartai politik dikuasai oleh kekuatan pemilik modal yang ingin mempertahankan kekuasaan
dan kekayaannya. Menurut Dosen FISIP UI Irwansyah, kecenderungan anti terhadap
pembangunan partai politik dan apolitis dari organisasi rakyat justru melemahkan upaya
untuk melawan kaum pemodal yang menguasai arena politik. “Kelompok-kelompok yang
berbenturan dengan kepentingan pemilik modal dan oligarki itu tidak terkonsolidasi.
Sehingga mereka selalu gagal menyatukan dalam suatu partai,” ujar dosen dan aktivis yang
akrab dipanggil Jemi itu. Oleh karena itu, menurut Jemi, strategi organisasi rakyat dalam
menghadapi Pemilu selalu saja sama. “Mereka selalu hanya menitipkan suara di partai yang
ada atau memboikot dan tidak terlibat sama sekali,” sambungnya. Di sisi lain, konsolidasi
gerakan rakyat untuk membangun partai politik alternatif bukan menjadi perjuangan utama
dari kebanyakan gerakan-gerakan rakyat yang ada saat ini.
Terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi belum terkonsolidasinya perlawanan
gerakan rakyat yang terpisah-pisah. Di gerakan buruh, menurut Presiden Konfederasi Serikat
Nasional (KSN) Koswara, persoalan pembangunan politik alternatif masih belum menjadi
strategi politik agar buruh sejahtera. Gerakan buruh, lanjutnya, masih berkutat pada tuntutantuntutan ekonomi, seperti upah. “Banyak sekali kaum buruh ketika bicara partai politik
seakan masih alergi. Kesadaran kaum buruh lebih kepada kesadaran ekonomi, hanya
mempersoalkan bagaimana upah bisa naik,” kata aktivis buruh yang juga menjadi Ketua
Umum Federasi Serikat Buruh Karya Utama (FSBKU).
Alergi terhadap perjuangan dengan membangun partai politik salah satunya
disebabkan karena ketidakpercayaan dengan partai politik yang berada di parlemen saat ini.
Sudah terbukti berkali-kali bahwa partai politik beserta elit-elitnya hanya membutuhkan
rakyat pada saat ini momentum Pemilihan Umum (Pemilu). Sementara setelah kontestasi
pemilu usai, janji-janji partai politik beserta elit-elitnya kepada rakyat hilang begitu saja.
Hal tersebut, menurut aktivis Himpunan Serikat Perempuan Indonesia (Hapsari) Riani
menyulitkannya untuk meyakinkan dan mengajak orang untuk membangun partai politik
alternatif yang berasal dari gerakan rakyat. “Masyarakat cenderung tidak percaya terhadap
partai politik, sehingga sangat sulit untuk meyakinkan bahwa rakyat juga bisa membuat
partai,” tutur Riani. Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Partai Hijau Indonesia (PHI) John
Muhammad menilai keengganan untuk berpartai ini menunjukkan bahwa masyarakat sipil
terjebak pada zona nyamannya sehingga cenderung sebatas menuntut dan malas untuk
terlibat dalam pembuatan kebijakan. Tidak adanya kesadaran mengenai pentingnya persatuan
gerakan rakyat untuk membangun partai politik alternatif tentunya menjadi hambatan terbesar
untuk melawan dominasi kekuatan pemilik modal di ranah politik.
Selain tidak adanya kesadaran, persoalan fragmentasi atau keterpecahan gerakan juga
melemahkan persatuan kekuatan perlawanan dari gerakan rakyat untuk membangun partai
politik alternatif atau memperbesar kekuatannya. Pada gerakan buruh misalnya, serikat buruh
di Indonesia dicirikan oleh kerentanan terhadap perpecahan. Indrasari Tjandraningsih dalam
artikelnya
yang
berjudul
“Serikat
Buruh/Serikat
Pekerja
di
Indonesia”
(2007)
mengungkapkan bahwa perpecahan serikat sering kali disebabkan oleh perbedaan yang
sifatnya pragmatis dari pada hal-hal yang sifatnya prinsipil dan ideologis. Perpecahan
tersebut kemudian diikuti dengan perebutan atau pembagian anggota, yang kadang kala
membingungkan anggotanya sendiri.
Perebutan anggota di antara serikat-serikat yang pecah tersebut menunjukkan bahwa
sebenarnya tidak ada penambahan jumlah buruh yang menjadi anggota di beberapa serikat.
Serikat-serikat yang pecah tersebut sibuk memperebutkan buruh yang sudah berserikat,
padahal di sisi lain jumlah buruh yang belum menjadi anggota serikat lebih besar. “Rasio
jumlah buruh berserikat saat ini baru sekitar 6-10%, sementara itu di tingkat pabrik sering
kali ada lebih dari satu serikat karena adanya upaya pengusaha melakukan kooptasi
terhadap serikat,” kata Irwansyah yang saat ini tengah menulis disertasi tentang gerakan
buruh di Bekasi. Kondisi di gerakan buruh ini, sebenarnya juga bisa menjadi cerminan bagi
gerakan-gerakan lainnya. Belum adanya kesadaran untuk membangun partai politik alternatif
dan perpecahan organisasi juga masih dialami oleh gerakan-gerakan rakyat lainnya, selain
gerakan buruh.
Penyempitan Ruang Demokrasi dan Kekuasaan Politik Negara
Bertahun-tahun pasca rezim otoritarianisme Soeharto, rakyat pekerja terus
mengalami penyingkiran (eksklusif) dari kekuasaan politik negara. Di masa otoritarianisme
Soeharto, penyingkiran tersebut mengandalkan represi atau kekerasan negara. Namun di saat
ini, penyingkiran tersebut dilakukan melalui penyempitan ruang demokrasi.
Penyingkiran terhadap rakyat pekerja ini dilakukan oleh jaringan oligarki yang
berkuasa dan pemilik modal untuk menghindari perlawanan rakyat yang radikal. Maka dari
itu, rakyat diarahkan ke dalam sektarianisme yang penuh dengan potensi konflik horizontal
antara rakyat. Mereka menghidupkan kembali nasionalisme-chauvinis yang semu dan anti
kelas pekerja serta anti humanisme/kemanusiaan, sebagaimana yang telah dipraktekkan di
masa Orde Baru. Saat ini, kelas pemodal dan jaringan oligarki ini bekerja nyaris tanpa ada
kekuatan politik progresif dari gerakan rakyat yang menandinginya. Perlawanan harian di
luar negara tidak berkembang menjadi kekuatan politik ekstra-negara yang punya kapasitas
menandingi negara dan memaksa perubahan sosial politik dari luar.
Untuk memastikan tidak adanya perlawanan dari gerakan rakyat, maka jaringan
oligarki yang berkuasa bersama kelas pemodal juga mempersempit ruang demokrasi elektoral
atau Pemilu bagi gerakan rakyat terlibat membangun partai politik. Penyingkiran dilakukan
dengan berbagai strategi dan taktik legal-formal yang mempersulit ruang bergerak kelas
pekerja di arena elektoral. Strategi tersebut dimulai dari membuat aturan main elektoral yang
sangat menyulitkan pertumbuhan partai elektoral kelas pekerja hingga pembusukan sistematis
arena elektoral yang menumbuhkan frustrasi dan antipati pada perjuangan elektoral.
Akibatnya masyarakat dan gerakan rakyat memiliki kesadaran bahwa tidak ada alternatif lain
selain partai-partai politik yang telah ada saat ini.
Pembangunan partai politik alternatif bukan sama sekali tidak pernah dilakukan oleh
gerakan rakyat. Dalam pengalamannya, dalam Pemilu 2004 pernah diinisiasi pembangunan
partai politik yang bernama Partai Oposisi Rakyat (Popor). Sementara di Pemilu 2009,
gerakan rakyat juga pernah menginisiasi pembangunan Partai Persatuan Pembebasan
Nasional (Papernas) dan Partai Perserikatan Rakyat (PPR). Namun upaya partai-partai politik
yang dibangun oleh gerakan rakyat tersebut selalu terbentur dengan aturan legal-formal yang
dirumuskan oleh jaringan oligarki dan pemilik modal. Partai-partai politik alternatif tersebut
tidak lolos verifikasi sebagai partai politik yang berbadan hukum.
Secara administratif, kegagalan tersebut dikarenakan beban syarat pendaftaran
sebagai partai politik berbadan hukum yang harus dipenuhi. Untuk menjadi peserta pemilu,
partai politik harus berbadan hukum. Dalam aturan legal-formalnya, ada dua mekanisme
verifikasi yang harus dilalui sebelum partai politik ikut serta dalam Pemilu. Untuk ikut serta
dalam Pemilu, sebuah partai politik harus berbadan hukum dan verifikasinya dilakukan oleh
Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Jika partai politik telah berbadan hukum,
maka partai politik tersebut harus mengikuti verifikasi yang dilakukan Komisi Pemilihan
Umum (KPU) untuk ikut serta dalam Pemilu. Keseluruhan verifikasi tersebut mengharuskan
adanya kepengurusan di seluruh wilayah provinsi, 75% di kabupaten/kota dan 50% di
kecamatan serta mengantongi akta notaris. Sepanjang sejarahnya, undang-undang yang
mengatur syarat ini terlihat semakin memberatkan.
Tabel 1
Perbandingan Syarat Pembentukan Partai Politik
Menurut UU Parpol Tahun 1999, 2002, 2008 dan 2011
Syarat Berbadan Pendirian dan Pembentukan
Hukum
UU No. 2 Tahun Pasal 2 (1)
Paling sedikit 50 orang WNI
1999
yang telah berusia 21 tahun
Pasal 2 (1)
UU No. 31 Tahun Paling sedikit 50 orang WNI
2002
yang telah berusia 21 tahun
dengan akta notaris.
Pasal 2 (1)
UU No. 2 Tahun Paling sedikit 50 WNI yang
2008
telah berusia 21 tahun dengan
akta notaris.
Kepengurusan
(tidak ada)
Pasal 2 (3)
mempunyai kepengurusan minimal
 50% dari jumlah provinsi,
 50% dari jumlah
kabupaten/kota di setiap
provinsi yang bersangkutan,
dan
 25% dari jumlah kecamatan
di setiap kabupaten/kota
yang bersangkutan
Pasal 3 (2)
mempunyai kepengurusan minimal
 60% dari jumlah provinsi,
 50% dari jumlah
kabupaten/kota di setiap
provinsi yang bersangkutan,
dan
 25% dari jumlah kecamatan di
setiap kabupaten/kota yang
bersangkutan
Pasal 3 (2)
mempunyai kepengurusan minimal
 100% dari jumlah provinsi,
Pasal 2 (1)
 75% dari jumlah
UU No. 2 Tahun Paling sedikit 30 WNI yang
kabupaten/kota di setiap
2011
telah berusia 21 tahun di setiap
provinsi yang bersangkutan,
provinsi
dan
 50% dari jumlah kecamatan di
setiap kabupaten/kota yang
bersangkutan
Syarat-syarat administrasi tersebut tentu saja akan sangat memberatkan gerakan
rakyat untuk membangun partai politik, khususnya dari segi biaya. Tidak mudah dan murah
bagi gerakan rakyat untuk dapat memenuhi syarat di atas. “Rakyat akan kesulitan
merealisasikan syarat itu, kecuali ditopang modal besar. Ya hanya partai borjuis itu yang
mampu memenuhi syarat administrasi,” kata Damar Panca Mulya, Sekretaris Jenderal
Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), salah satu unsur dalam Rumah Rakyat
Indonesia (RRI).
Dalih yang sering digunakan terkait penambahan syarat pembentukan parpol di atas
adalah untuk meningkatkan kualitas partai politik. Namun, dalih tersebut tidak sesuai
kenyataan melihat betapa korupnya partai politik yang ada saat ini. Berdasarkan catatan
Indonesia Corruption Watch (ICW) selama 2005-2015 ada sekitar 82 politisi yang terjerat
korupsi. Melihat syarat yang semakin berat, maka patut dicurigai ada upaya sistematis untuk
mengekang kebebasan berorganisasi dalam hal membangun partai politik
Penyempitan ruang pembangunan partai politik alternatif ini disinyalir untuk
memperkuat konsolidasi oligarki dalam arena politik demokrasi. “Ini menjadi upaya untuk
mempertahankan sumber daya oligarki. Oligarki itu ingin pemilu melalui beragam instrumen
penyederhanaan partai politik,” kata peneliti Puskapol UI Dirga Ardiansyah. Transaksi
politik juga menjamur di antara partai-partai politik untuk mempertahankan sumber daya
oligarki tersebut.“Itu dilakukan atas nama penguatan sistem presidensialisme. Supaya bagibagi jatah kursi menteri itu lebih mudah. Mereka ingin lebih mudah dalam bertransaksi,”
lanjutnya.
Sementara di sisi lain, menurut Irwansyah, pengetahuan gerakan rakyat tentang politik
elektoral selama ini cenderung rendah. Aturan legal-formal mengenai sistem elektoral di
Indonesia belum menjadi perhatian serius bagi gerakan rakyat. Untuk itu, Dirga melihat
kalangan gerakan perlu memposisikan UU Parpol dan UU Pemilu sebagai bagian tuntutan
politik gerakan. Sikap tersebut gunanya untuk mempengaruhi dan mengubah syarat pendirian
partai politik dan juga kepesertaan pemilu. Upaya ini penting agar setidaknya gerakan rakyat
mempunyai daya tahan dalam pertarungan politik. “Parpol alternatif harus punya
kemampuan bertahan selama mungkin. Bukan hanya untuk menang atau mendapatkan
kuantitas suara sebanyak mungkin, tetapi justru bagaimana caranya memastikan kekuatan
itu terakumulasi secara bertahap,” lanjutnya.
Untuk dapat menghadapi perlawanan balik dari kaum pengusaha yang berupaya untuk
mempersempit ruang gerak demokratis gerakan rakyat, menurut Damar yang perlu dilakukan
saat ini adalah peningkatan kesadaran politik gerakan rakyat. “Untuk memajukan kesadaran
ekonomis itu, rakyat harus belajar di dalam partai,” sambung Damar.
Peningkatan kesadaran politik ini dapat dimulai dengan memaknai ulang arti politik,
partisipasi politik, dan partai politik. Menurut Dirga, politik harus dimaknai sebagai cara
untuk merebut sumber daya, bukan hanya mempertahankan, misalnya sumber daya petani
dari perampasan lahan atau upah buruh dari politik upah murah negara. Kemudian, partisipasi
politik harus dimaknai sebagai semua upaya melibatkan diri pada perebutan sumber daya,
bukan hanya sebatas ikut mencoblos.
Menurut Dirga, partai politik itu sendiri harus dimaknai sebagai saluran merebut
sumber daya. “Bagaimana mungkin berpolitik tanpa berpartai karena ruang-ruang
perebutan sumber daya bukan di ruang jalanan, tapi adanya di parlemen itu kan. Itu kan
level pertarungan yang tidak akan menangkan di jalanan,” jelas Dirga yang juga mengajar
Ilmu Politik di Universitas Indonesia.
Salah satu instrumen untuk meningkatkan kesadaran politik ini adalah dengan
melakukan agregasi kepentingan—atau istilah lainnya, penyerapan aspirasi. Agregasi
kepentingan ini dapat dilakukan melalui metode survey warga. Proses ini menjadi penting
sebab merupakan hasil rumusan dari bawah (bottom-up).
Agresi kepentingan melalui metode survey tersebut berguna untuk melawan strategi
oligarki yang menguasai kesadaran masyarakat mengenai demokrasi elektoral. “Strategi
oligarki sekarang adalah berusaha memisahkan antara kepentingan dengan sosok,
kepentingan dipinggirkan karena sosok lebih dipentingkan,” kritik Dirga. Penyerapan
aspirasi melalui metode survey menitikberatkan pentingnya keterlibatan partisipasi
masyarkaat. Seharusnya partisipasi masyarakat menjadi salah satu unsur terpenting dalam
perencanaan pembangunan. Namun hingga saat ini, pemerintah tidak pernah mengusung
prinsip partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan, termasuk perencanaan
anggaran.“Pernah tidak selama ini pemerintah bertanya kepada masyarakat dalam
merumuskan kebijakan atau mengalokasikan anggaran,” lanjutnya.
Melalui survey, warga diminta untuk mengidentifikasi apa saja yang menjadi
kebutuhannya serta tawaran solusinya. Hasil survey itu kemudian menjadi bukti untuk
merepresentasikan posisi warga terhadap perumusan kebijakan tertentu. Pada gilirannya,
hasil survey itu dapat didorong untuk mempengaruhi proses penganggaran dan legislasi.
“Karena melalui dua proses itulah distribusi sumber daya dilakukan,” ujar Dirga. Dengan
melatih warga untuk merumuskan apa yang menjadi kepentingannya, maka kesadaran warga
dengan sendirinya akan meningkat. “Masyarakat di situ jadi belajar untuk berkomitmen pada
hasil agregasi kepentingannya, menjadi sadar akan kepentingannya. Sehingga masyarakat
dapat terus mengawal kepentingannya,” lanjutnya.
Berdasarkan pengalaman Pusat Kajian Politik (Puskapol) UI terkait Pilkada DKI
Jakarta tahun 2012, hasil survey yang dilakukan Puskapol UI mampu untuk merumuskan
lima masalah utama dan lima solusi yang ditawarkan oleh warga. Sayangnya, hasil survey
tersebut tidak dapat didorong lebih jauh. “Tidak ada ruang yang kuat untuk mengontrol dan
mengawal karena itu kan hasil kajian dari lembaga akademik, bukan organisasi massa,”
jelas Dirga.
Untuk itu, menurut Dirga, agregasi kepentingan perlu dilakukan oleh kelompok
gerakan seperti KPRI yang berupaya untuk membangun kekuatan politik alternatif. “Kalau
survey ini menggunakan jaringan KPRI misalnya, menduplikasi survey warga di setiap
Pilkada, sebagai bagian dari parpol alternatif, maka KPRI mempunyai bukti untuk
melakukan klaim representasi,” lanjut Dirga. Hal ini, yang menurut Dirga salah satu yang
membedakan antara partai politik alternatif dengan partai politik yang saat ini berada di
parlemen. “Parpol alternatif dalam hal ini mengisi ruang representasi kepentingan yang
selama ini tidak pernah dilakukan oleh partai politik elite,” sambungya.
Selain melakukan pendidikan politik melalui metode survey warga, upaya
membangun partai politik alternatif juga perlu dilakukan dengan melakukan konsolidasi antar
organisasi. Upaya ini penting untuk dapat membentuk serta menguji kepercayaan secara terus
menerus. Proses ini diyakini dapat mengikis ketegangan relasi antar organisasi yang sering
kali menjadi faktor perpecahan gerakan rakyat.
Langkah progresif ini mulai dirasakan oleh Damar dalam prosesnya bekerja sama
dengan KSPI. Menurutnya, terdapat keraguan di antara anggota KPBI untuk menjalin kerja
sama dengan kelompok KSPI atau KSPSI yang dianggap sebagai serikat yang reformis dan
menjalin relasi transaksional dengan elite politik. Meskipun demikian, keraguan itu perlahanlahan mulai hilang seiring dengan pendewasaan dalam berorganisasi.
“Penyelesaiannya harus lewat diskusi yang objektif dan ilmiah, juga mengkonkretkan
kerja di lapangan, misalnya konsolidasi, mendorong konferensi politik dan mendorong
program untuk dimenangkan di ruang konsolidasi. Itu menjawab keraguan teman-teman di
bawah yang merasa kita tidak bisa bekerja sama dengan KSPSI atau KSPI,” kata Damar
yang biasa dipanggil Oncom ini.
Download