Sejumlah Catatan Awal bagi Partai Politik Alternatif di Indonesia* *Penulis: Iqra Anugerah, kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University. Bertarung dalam kancah politik elektoral merupakan suatu kesempatan sekaligus dilema yang terus mengemuka bagi gerakan rakyat pekerja di dunia. Seruan “tolak pemilu borjuis!” saja tidaklah cukup. Meskipun partisipasi dalam pemilu borjuis bagaikan meniti jalan yang terjal, penuh onak duri, dan aral yang melintang, dalam kondisi-kondisi tertentu strategi tersebut dapat memperluas dan memperdalam ruangruang demokrasi bagi penerapan agenda-agenda politik progresif yang prokepentingan rakyat pekerja. Oleh karena itu, partai politik alternatif diperlukan sebagai wadah perjuangan politik bagi gerakan-gerakan sosial yang mewakili berbagai elemen rakyat pekerja. Serikat-serikat rakyat – mulai dari sektor buruh, tani, nelayan, miskin kota, masyarakat adat, perempuan, dan kaum muda – sejauh ini memang telah menunjukkan kiprah dan kontribusinya yang penting bagi rakyat pekerja, tetapi itu saja tidak cukup. Proses dan hasil dari perjuangan tersebut perlu dikoordinasikan dan dikonsolidasikan bagi pemajuan kepentingan rakyat pekerja di Indonesia. Jelas sudah, kita memerlukan partai politik alternatif, yang bisa melawan dominasi dan hegemoni elit selama ini. Sebagai bagian dari upaya melaksanakan strategi tersebut, pertama-tama kita perlu melihat sejarah perkembangan sistem kepartaian dan implikasinya bagi partisipasi elektoral gerakan rakyat. Di masa awal perkembangan sistem kepartaian di sejumlah kawasan, seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat misalnya, ada sejumlah tantangan yang dihadapi oleh gerakan kelas pekerja, seperti absennya hak pilih universal (universal suffrage), dominasi partai-partai elit dan borjuis, dan peraturan pemilu yang belum sempurna. Mobilisasi yang militan dari gerakan kelas pekerja akhirnya berhasil memberikan tekanan politik bagi rezim-rezim yang berkuasa pada waktu itu. Strategi ini kemudian melahirkan kesempatan politik, yang akhirnya dimanfaatkan oleh kelas pekerja untuk membuat partai-partai yang mewakili kepentingannya. Di Asia, terutama Indonesia, ada perbedaaan dalam hal tantangan yang dihadapi oleh gerakan rakyat pekerja untuk masuk ke dalam politik elektoral. Yang paling mendasar, secara struktural, terutama di masa-masa awal pembangunan ekonomi, jumlah kelas buruh industrial di Asia lebih sedikit dibandingkan negaranegara kapitalis maju. Dengan demikian, untuk membangun partai berbasis gerakan rakyat kelas buruh harus membangun aliansi multi-sektoral dengan gerakan-gerakan sosial lainnya. Kedua, tingkat represifitas di rezim-rezim birokratik-otoriter di Asia cenderung tinggi. Tatkala negara-negara kapitalis maju mulai masuk ke fase tatanan politik yang bersifat liberal-demokratik, yang memberikan ruang-ruang kebebasan politik bagi gerakan-gerakan rakyat untuk berpolitik (meskipun kebebasan tersebut tentu saja semu dan terbatas dan karenanya tidak sejati), negara-negara Asia justru berada dalam fase negara pembangunan (developmental state), suatu tatanan ekonomi-politik yang menjanjikan percepatan pertumbuhan ekonomi dengan “ongkos” yang tidak murah – pengekangan atas kebebasan politik bagi gerakangerakan rakyat yang dalam praktiknya tidak jarang menggunakan kekerasan. Ini tidak hanya terjadi di Indonesia di masa Orde Baru, tetapi juga di negara lain, seperti Korea Selatan di masa kediktatoran misalnya. Ketiga, konteks kelembagaan pemilu dan sistem kepartaian di Asia yang cenderung kurang terinstitutionalisasi. Pemilu di Indonesia misalnya meskipun sudah dilaksanakan sesuai dengan kaidah pemilu yang demokratis tetapi peraturannya masih saja bias terhadap partai-partai yang tidak memiliki sumber daya finansial yang memadai. Kemudian, sistem kepartaian di Indonesia cenderung terkartelisasi – partai-partai borjuasi yang ada sekarang cenderung susah dibedakan secara ideologis antara satu sama lain dan hanya berfungsi sebagai wadah untuk melakukan penggerogotan sumber-sumber dana negara di luar anggaran resmi dan membangun jejaring patronase (Ambardi, 2009). Beban sejarah tersebut, ditambah semakin maraknya kebijakan neoliberal seperti privatisasi, pemangkasan anggaran-anggaran sosial, dan perluasan logika ekonomi pasar di berbagai ranah kehidupan yang semakin melemahkan kekuatan dan solidaritas gerakan rakyat, membuat amanat untuk membangun partai politik alternatif yang memperjuangkan kepentingan rakyat pekerja menjadi suatu tugas yang sangat berat. Inilah tantangan yang sedang kita hadapi di Indonesia. Tetapi persis karena alasan itulah, di tengah-tengah dominasi partai borjuis yang menguasai aturan dan kancah politik elektoral dan hegemoni neoliberalisme yang menyeruak bahkan ke praktik-praktik gerakan sosial, kebutuhan untuk membangun partai politik rakyat pekerja menjadi semakin relevan. Karena, jelas sudah, bahwa kita tidak bisa berharap lagi dengan rezim-rezim yang sudah ada di Indonesia ini setelah reformasi. Tidak bisa tidak, gerakan rakyat pekerja harus membangun partainya sendiri. Tetapi apa saja tantangan kita depan? Dalam hemat saya, ada lima persoalan yang harus kita jawab: kenyataan ekonomi-politik neoliberal, fragmentasi dalam tubuh gerakan, bahaya borjuisasi gerakan, ketidakmampuan membaca konstelasi politik elit, dan kurangnya basis pengetahuan. Yang pertama dan paling penting untuk kita pahami adalah tatanan ekonomi-politik neoliberal sebagai epos sejarah yang khas dari zaman kita dan kita alami saat ini. Neoliberalisme melalui berbagai salurannya – mulai dari program-program pembangunan di pedesaan hingga pendanaan untuk organisasiorganisasi masyarakat sipil – berupaya untuk melapangkan jalan bagi masuknya kapital dan investasi besar serta logika ekonomi pasar dalam berbagai ranah kehidupan, mulai dari aktivitas-aktivitas ekonomi hingga sosial (De Angelis, 2005). Pendek kata, neoliberalisme mempromosikan reproduksi relasi sosial kapitalis dalam bentuk-bentuk baru di berbagai lini. Akibatnya, himpitan hidup bagi rakyat pekerja semakin meningkat dan pembangunan solidaritas sosial dan politik menjadi semakin menantang. Tantangan yang kedua adalah fragmentasi dalam tubuh gerakan sosial itu sendiri. Secara umum, terdapat lebih dari satu federasi atau konfederasi di sejumlah sektor gerakan rakyat, seperti buruh, tani, dan masyarakat adat misalnya. Ini merupakan tantangan tersendiri bagi cita-cita unifikasi gerakan yang merupakan salah satu prasyarat pembangunan partai politik alternatif. Yang ketiga adalah tantangan borjuisasi (embourgeoisement) gerakan dalam konteks politik elektoral. Logika politik elektoral yang bertumpu pada perolehan suara mensyaratkan partai-partai untuk mendulang suara dari sebanyak-banyaknya dari para pemilih. Dengan demikian, ada resiko bahwa rakyat pekerja akan memilih bukan sebagai kelas melainkan sebagai kumpulan individu-individu, seperti yang terjadi dengan partai-partai pekerja di Eropa Barat (Przeworski & Sprague, 1986). Dengan kata lain, adalah suatu tantangan tersendiri bagi partai politik alternatif kedepannya untuk menjaga blok suara yang kohesif dan membangun aliansi luas yang efektif – termasuk aliansi lintas kelas dengan faksi progresif dari kelas menengah. Selanjutnya, yang keempat adalah kekurangmampuan, jikalau bukan ketidakmampuan, membaca konstelasi politik elit. Memang benar bahwa kelas borjuasi dan para penyokongnya – termasuk birokrasi dan aparatus kekerasan negara – pada prinsipnya memiliki kepentingan untuk mempertahankan kekuasaannya. Tetapi, ada kondisi-kondisi struktural dan momen-momen politik tertentu yang memungkinkan terbukanya peluang politik yang lebih luas, misalnya perbedaan preferensi kebijakan ekonomi di antara para elit borjuasi, krisis ekonomi, atau kondisi politik yang genting. Di dalam konteks tersebut, gerakan rakyat yang kuat, yang diwakili oleh partai politik alternatif, perlu memiliki kemampuan untuk membaca konstelasi politik elit, untuk mengetahui konflik terbatas di antara para elit tersebut, dan memanfaatkan kesempatan untuk melakukan perundingan-perundingan politik – dengan kata lain, melakukan transformasi sosial “dari atas” untuk melengkapi proses transformasi sosial “dari bawah.” Ini mensyaratkan kemampuan analisa politik elit yang tajam dan cermat, yang masih harus kita asah. Tantangan yang terakhir tetapi tidak kalah penting adalah masih kurangnya basis pengetahuan sebagai dasar teoretik untuk pembangunan partai alternatif. Sudah waktunya bagi kita semua, para pegiat gerakan sosial di Indonesia, untuk membuang dikotomi antara “teori” dan “praktik”, dan menyadari bahwa dikotomi itu sesungguhnya merupakan sebentuk propaganda borjuis. Pembangunan basis pengetahuan yang tepat bagi partai politik alternatif haruslah memperhatikan konteks keIndonesiaan, dan praktik politik gerakan rakyat di Indonesia haruslah bertumpu kepada abstraksi dari pengalaman historis perjuangan rakyat pekerja selama ini. Baik “kerja kobar” – kerja-kerja pembangunan organisasi dan partai rakyat pekerja – maupun “kerja tekun” kerja-kerja teoretik yang tidak selalu nampak ke permukaan – sesungguhnya sama-sama penting dan mendukung satu sama lain. Adakah jawaban untuk sejumlah tantangan ini? Atau, setidaknya, adakah jalan keluar dari sejumlah permasalahan ini. Tentu saja, kita tidak bisa berpretensi bahwa kita memiliki jawaban final atas persoalan-persoalan penting tersebut. Tetapi, setidaknya kita bisa mulai memikirkan dan memberikan jawaban sementara untuk hal-hal tersebut. Dari segi teknis kepemiluan, ini berarti memikirkan dan merumuskan strategi yang berkaitan dengan pemenuhan syarat- syarat keikutsertaan dalam pemilu, seperti pemahaman atas aturan perundangundangan, pemenuhan persyaratan jumlah keanggotaan dan kepengurusan, pendanaan yang cukup, legal, dan berkelanjutan bagi operasional partai, dan lain sebagainya. Dari dimensi lain, ini berarti memperkuat pembangunan basis organisasi di tingkat akar rumput dan mendorong pendidikan politik kader-kader gerakan dan partai politik rakyat pekerja secara lintas sektor. Dua langkah ini, kerapihan organisasi dan pembentukan kader-kader yang militan, sangatlah penting bagi pembangunan partai. Satu jawaban lain yang bukan hanya tidak kalah penting tetapi juga merupakan salah satu jawaban kunci bagi persoalan-persoalan di atas adalah pengorganisasian ekonomi yang dilakukan secara kolektif dan demokratis yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota dan membangun gerakangerakan rakyat dan partai politik alternatif. Strategi ekonomi seperti ini sangatlah penting terutama di dalam konteks negara kapitalis seperti Indonesia, di mana tata cara pemilu dan aturan main dalam berpolitik masih dikuasai oleh para elit borjuasi, sehingga kancah politik elektoral masih saja didesain untuk menguntungkan kepentingan mereka. Ini diperparah dengan penguasaan sektorsektor ekonomi – tidak hanya dari segi produksi tetapi juga distribusi dan konsumsinya – oleh para elit borjuasi tersebut. Sehingga, untuk mengatasi persoalan biaya operasional yang tinggi dalam politik elektoral dan himpitan hidup yang semakin meningkat karena ekspansi kapitalisme, maka pengorganisasian ekonomi mutlak dilakukan. Strategi ini tidak hanya sekedar untuk keperluan pembiayaan aktivitas partai – lebih dari itu, strategi tersebut perlu menjadi salah satu tulang punggung yang utama, yaitu pembangunan ekonomi yang berbasis solidaritas, yang mencakup secara komprehensif aspek produksi, distribusi, dan konsumsi. Ini mensyaratkan sejumlah hal, seperti perumusan strategi atau kebijakan ekonomi gerakan yang memperhatikan perimbangan antara pembangunan desa dan kota, identifikasi sektor-sektor ekonomi potensial, pembangunan jaringan distribusi dan pasar alternatif, hingga strategi pemasaran dan kerjasama lintas sektoral – misalnya antar sektor buruh, tani, dan nelayan yang merupakan sektor-sektor yang kaya dengan basis produksi. Demikian sejumlah catatan awal bagi pembangunan partai politik alternatif di Indonesia. Tentu saja, pemaparan ini bukanlah merupakan jawaban final atas tantangan-tantangan yang akan kita hadapi kedepannya. Tetapi, setidaknya ini dapat menjadi semacam panduan atau referensi bagi perbincangan dan perdebatan yang lebih mendalam mengenai dilema partisipasi elektoral bagi gerakan-gerakan sosial dan serikat-serikat rakyat di Indonesia. Kedepannya, tantangan kita akan semakin berat: kita dituntut untuk bisa semakin taktis tanpa kehilangan prinsip. Persis di titik itulah, terang sudah bahwa berpolitik bukan hanya merupakan sains melainkan juga seni. Dan partai politik alternatif, yang berkarakter kelas, militan, dan demokratik, yang memperjuangkan kepentingan segenap rakyat pekerja, perlu menguasai kemampuan itu.*** Referensi Ambardi, K., 2009. Mengungkap Politik Kartel. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. De Angelis, M., 2005. The Political Economy of Global Neoliberal Governance. Review, 28(3), pp.229-57. Przeworski, A. & Sprague, J., 1986. Paper Stones: A History of Electoral Socialism. Chicago: University of Chicago Press. *Penulis: Iqra Anugerah, kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University.