PARTAI ISLAM DI BIMA PADA PEMILU 2009 Oleh: Dr. Syarifuddin Jurdi Dosen Sosiologi Politik UIN Yogyakarta Pernah dimuat di Koran Suara Mandiri Pekan keempat bulan Pebruari 2009 Kalau ditelusuri dalam sejarah politik Indonesia, eksistensi partai Islam telah diterima luas, mulai dengan pergerakan Sarekat Islam (1912), diteruskan oleh Partai Islam Indonesia (1937), Majelis Islam A’la Indonesia (1937), Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi bentukan Jepang 1942), Masyumi hasil KUI 7-8 Nopember 1945 dan seterusnya partai Islam eksis, bahkan pada pemilu 1955, Masyumi dan NU keluar sebagai dua dari empat partai besar (PNI, Masyumi, NU dan PKI). Demikian pula dengan partai Islam pada masa Orde Baru, meski pemilu pada masa itu hanya formalitas, tapi “fanatisme” sebagian kalangan Islam terhadap PPP sangat besar. Lalu bagaimana kita membaca eksistensi partai Islam pasca Orde Baru? Sejak pemilu 1999, partai-partai Islam muncul dalam jumlah yang sangat banyak dengan beragam motif dan kepentingan, mulai dari kepentingan yang bersifat pragmatis hingga cita-cita politik yang paling ideal seperti isu mendirikan negara Islam, khilafah dan lain sebagainya. Motif dan kepentingan yang tampak kuat dari berdirinya partai Islam pasca Orde Baru lebih banyak dipicu oleh eforia politik yang dominan, nafsu berkuasa, perlakuan rezim sebelumnya terhadap umat Islam dan klaim diri sebagian elite Islam sebagai tokoh yang memiliki pengikut. Klaim memiliki basis massa tersebut pada pemilu 1999 dan 2004 tidak terbukti, pada pemilu 1999 hanya ada dua partai Islam yang loloh ambas batas minimal 2 persen suara (PPP dan PBB), demikian juga pemilu 2004 (PPP dan PKS), padahal jumlah partai Islam sangat banyak, lalu bagaimana dengan pemilu 2009? Partai Islam pada pemilu 2009 menurut hasil survei dan analisis sebagian pengamat belum banyak mengalami perubahan, artinya partai yang dominan masih ditempati oleh partai-partai nasionalis (baca: Partai Golkar, PDIP), sementara posisi partai Islam masih berada pada urutan terbelakang partai besar (baca: PPP, PKS) yang berada pada urutan kelima dan ketujuh pada pemilu 2004. Sedangkan pada pemilu 2009, partai Islam yang lolos ambang batas 2,5 persen parliamentary threshold tidak jauh berbeda dengan hasil yang diperoleh partai Islam pada pemilu 1999 dan 2004, barangkali dua sampai tiga partai Islam dengan struktur dan kultur masyarakat Indonesia dapat dipandang cukup, meski tidak ideal, hanya pemilu-lah yang akan melegitimasinya. Apabila elite-elite Islam masih terlena dengan model dan gaya berpolitik model lama, tentu saja tidak akan banyak membawa hasil, rakyat telah semakin cerdas dalam menentukan pilihannya. Isu-isu normatif dan idealis kurang menarik diusung di tengah masyarakat mengalami keterpurukan akibat melambungnya harga sejumlah kebutuhan pokok dan krisis ekonomi global, mereka butuh program dan janji politik yang realistis dan langsung menyentuh persoalan hidup rakyat sehari-hari. Isu seputar syariat Islam dalam arti dan maknanya yang paling esensial tidak menjadi masalah bagi siapapun umat Islam, hanya saja isu seperti itu terkesan memanipulasi agama untuk melegitimasi kepentingan politik kaum elite, karena elite politik dalam praktek politik sehari-hari tidak menunjukkan moral dan akhlak politik yang Islami, dengan kata lain, isu syariat Islam tidak menarik bagi masyarakat yang sedang mengalami persoalan sosial ekonomi yang makin sulit. Tapi ironisnya, dalam berbagai poster dan iklan kampanye partai-partai Islam dan elite-elite Islam pada pemilu 2009 ini masih banyak yang “menjual” agama untuk menarik perhatian pemilih. Di berbagai sudut jalan di Bima, iklan politik menghiasi berbagai jalan-jalan utama, mulai dari Baliho hingga stiker-stiker kecil yang biayanya tidak sedikit, bahkan perang iklan antar partai di berbagai daerah sudah semakin gencar dilakukan. Penonjolan diri para caleg dan kadang-kadang ada caleg yang TIDAK PERCAYA DIRI UNTUK MENJADI WAKIL RAKYAT, SUPAYA KREN DISAMPINGNYA DIPASANGLAH TOKOH NASIONAL (elite partai berpengaruh di pusat) sebagai patronnya dengan harapan agar rakyat dapat memilih dirinya. Sangat sedikit para caleg kita yang secara terbuka mengadu visi, misi dan program mereka. Barangkali sudah menjadi watak partai politik, untuk merebut, menjalankan dan mempertahankan kekuasaan, segala strategi dapat dipergunakan untuk meraih dukungan pemilih, karena dalam politik tidak berlaku rumus “hitamputih”, yang ada adalah kepentingan, kalau sikap politik pragmatis dianggap menguntungkan secara politik, maka sikap itu sah dan tidak perlu diperdebatkan, tinggal rakyat yang menilainya, apakah elite politik tersebut layak dipilih atau tidak. Dalam politik tidak ada musuh yang abadi, juga tidak ada ideologi politik yang kaku, tidak ada pula “jualan” yang tidak mungkin dalam lapangan politik, semua dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pragmatis termasuk partai-partai Islam. Bahkan ada statemen yang mengatakan bahwa menjadi sukses dalam politik diperlukan sejumlah kelihaian, kelicikan, pandai memanfaatkan peluang dan kesempatan, kemampuan merumuskan permasalahan yang kompleks menjadi mudah dan sederhana tapi meyakinkan, bersikap pragmatis, untuk memakai kesempatan yang dibuka lawan, untuk tidak dihalang-halangi oleh nostalgia, dan berbagai kemungkinan lainnya. Dalam politik tidak ada yang disebut ideal dan normatif, karena yang ideal dan normatif ketika bertemu dengan ekonomi dan kekuasaan akan menjadi cair dan elastis, sesuai dengan tarikan ekonomi dan kekuasaan itu. Ketika kontestasi untuk memperebutkan dukungan suara, sikap idealisme kurang lagi diperhatikan, cita-cita politik yang adiluhung tertukar oleh keinginan dan nafsu ingin berkuasa. Mereka yang di masa lalu merasa dirinya aktivis dan seringkali bersuara kritis atas persoalanpersoalan politik (pusat dan daerah), ketika bertarung untuk memperebutkan dukungan rakyat, itu segera “diabaikan” dan bahkan ketika berkuasa nanti dicampakkan, karena yang ideal itu hanya alat dan bumbu untuk meraih kekuasaan. Saya memandang bahwa partai-partai Islam khususnya di Bima yang mengklaim dirinya sebagai komunitas religius dan masyarakat Islam, segera merubah cara memengaruhi massa dalam pemilu 2009 ini, misalnya penonjolan isu-isu simbolik seperti kami memperjuangkan syariat Islam, kami memperjuangkan tegaknya izul Islam wal-Muslimin dan lain sebagainya, itu semua terkesan menjadi ajang “penipuan” bagian rakyat. Kita semua setuju bahwa syariat Islam harus kita perjuangkan secara bersama, minimal kita tunaikan dalam kehidupan pribadi, keluarga dan komunitas terkecil dimana kita eksis. Kadang-kadang beberapa caleg dengan entengnya menulis di spanduk atau umbul-umbul yang mereka buat, misalnya kalimat berikut “pilihlah [kami] yang jujur, amanah, cerdas, sederhana, bijak dan seterusnya”. Kalimat-kalimat ini hanya muncul dari klaim diri sang calon, bulan hasil penilaian obyektif pihak lain, oleh karena itu, kita memandang ini hanya alat saja atau bahkan hanya menipu rakyat saja, mereka sendiri tidak menunjukkan bahwa layak dipilih, coba caleg itu tunjukkan program yang konkret, kalau terpilih menjadi wakil rakyat mau berbuat apa bagi rakyat yang diwakilinya, bukan mengumbar bahwa dirinya jujur, sederhana, amanah, cerdas dan sebagainya? Wallahu a’lam bi shawab