Kampanye di Televisi - Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

advertisement
MENGATUR IKLAN KAMPANYE POLITIK DI TELEVISI
Oleh : Bambang EC Widodoi
Hari-hari berikut pasca penetapan peserta pemilu 2014 oleh KPU akan menjadi hari-hari
penuh “iklan politik” di televisi kita. Kampanye menurut UU No. 8 tahun 2012, dimulai sejak 3 hari
setelah penetapan peserta pemilu sampai dengan menjelang pemungutan suara. Dalam jadwal yang
ditetapkan oleh KPU adalah mulai 11 Januari 2013 sampai dengan 5 April 2014, suatu periode waktu
kampanye yang panjang yang membutuhkan biaya besar sekaligus daya tahan partai politik yang
luar biasa.
Iklan kampanye di media cetak dan elektronik dibatasi waktunya hanya 21 hari menjelang
pemungutan suara. Disinilah masalahnya dimulai, 21 hari yang dicanangkan KPU itu pastilah akan
dirasa sangat kurang, apalagi ada pembatasan berupa larangan blocking segment, atau blcoking time
untuk kampanye. Disamping itu juga ada larangan berupa batas maksimum pemasangan iklan
kampanye politik sebanyak sepuluh (10) spot berdurasi paling lama 30 detik untuk setiap stasiun
televisi, setiap hari selama masa kampanye. Pembatasan ini tidak lain adalah agar televisi kita tidak
kebanjiran iklan kampanye, sekaligus untuk memberi ruang yang sama bagi partai politik
memanfaatkan media cetak dan elektronik untuk kampanye, dan menghindari terjadinya monopoli
media oleh kekuatan-kekuatan ekonomi politik tertentu.
Mendefinisikan Kampanye
Upaya mendefinisikan pengertian kampanye, seringkali gagal memberikan batasan yang
jelas mana yang masuk kategori kampanye, mana yang bukan . Kampanye dalam peraturan KPU di
definisikan sebagai kegiatan peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi,
misi, dan program peserta pemilu, termasuk mengajak memilih seseorang atau partai politik
tertentu. Berdasarkan peraturan tersebut batasan sebuah kegiatan disebut kampanye ada 4 unsur
yaitu, kegiatan peserta pemilu, adanya upaya meyakinkan pemilih, menawarkan visi,misi, dan
program, adanya ajakan memilih seseorang atau partai politik.
Keempat unsur yang membentuk pengertian kampanye itu sering menimbulkan perdebatan
antara peserta pemilu dengan pengawas pemilu maupun dengan penyelenggara pemilu. Kegiatan
peserta pemilu misalnya merupakan batasan yang sangat luas, bisa meliputi dan tidak terbatas pada
kegiatan peringatan hari ulang tahun partai, perlombaan olah raga, istighotsah, tablig akbar, bazaar,
atau kegiatan lainnya yang bersifat memobilisasi massa. Pengertian meyakinkan pemilih seringkali
dilakukan secara implisit. Sementara menawarkan visi, misi dan program,dilakukan melalui kemasan
iklan yang canggih. Ajakan memilih juga tidak perlu ditunjukkan secara eksplisit. Jika keempat unsur
kampanye tersebut harus bersifat kumulatif maka akan sangat sulit menemukan kegiatan peserta
pemilu yang termasuk kategori kampanye, sehingga akan sulit juga menyatakan kegiatan itu
melanggar larangan kampanye.
Kampanye di Televisi
Kampanye di televisi, suka ataupun tidak merupakan salah satu metode kampanye yang
dianggap paling efektif dalam mempengaruhi pemilih. Pemilih Indonesia lebih banyak mengakses
informasi politik melalui televisi. Televisi juga sumber informasi yang murah, setidaknya tidak perlu
berlangganan , walaupun sudah ada televisi berbayar. Tidak seperti media cetak yang harus membeli
dan berlangganan, atau media online yang memerlukan komputer atau smartphone dan jaringan
internet untuk mengaksesnya, siaran broadcast televisi bisa menyentuh semua lapisan masyarakat,
sehingga kampanye bisa sangat efektif.
Menurut penulis sedikitnya ada dua masalah besar terkait kampanye di media televisi saat
ini. Pertama, keadilan dan kesempatan yang sama pada semua peserta pemilu. Pembatasan
kampanye pemilu seperti yang dijelaskan diatas, hanya membatasi iklan kampanye politik, padahal
“iklan” dapat dilakukan juga melalui liputan kegiatan partai politik yang luas tadi, tanpa menyebut
visi,misi dan program juga tanpa ajakan memilih seseorang ataupun partai politik. Redaksi
pemberitaan dapat saja berdalih, kegiatan satu parpol diliput karena mempunyai nilai berita
sementara yang lain kurang mempunyai nilai berita. Sehingga pemberitaan kegiatan peserta pemilu
bisa jadi iklan “gratis” dari stasiun televisi tersebut untuk yang bersangkutan. Kedua, kepemilikan
stasiun televisi yang tumpang tindih dengan kepengurusan partai politik. Masalah ini mempunyai
potensi tidakseimbangnya porsi pemberitaan pemilik dengan yang bukan pemilik, maupun juga
potensi ketidakseimbangan dalam pembentukan opini publik tentang suatu masalah yang
menyangkut kepentingan politik pemilik media. Pada titik inilah membatasi iklan politik di televisi
menjadi persoalan kita semua.
i
Bambang EC Widodo, dosen Ilmu Pemerintahan Fisipol, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Anggota
Bawaslu 2008 – 2012.
Download