Akhdian Elfi Adumsari Heby Hara Octabrian Salmi Nurhidayah Wendy Romadhona 1410832004 1410831019 1410832023 1410832013 Perilaku Memilih Sosiologycal Approach Pendekatan Sosiologis Mazhab sosiologis adalah yang terawal muncul dalam tradisi perilaku memilih. Mazhab ini berkembang di Eropa dan di Amerika pada tahun 1950-an dan dibangun dengan asumsi bahwa perilaku memilih ditentukan oleh karakteristik sosiologis para pemilih, terutama kelas sosial, agama, dan kelompok etnik/kedaerahan/bahasa. Model sosiologis untuk voter turnout telah dikembangkan secara canggih dengan apa yang disebut sebagai model SES (Social Economic Status), lalu disempurnakan dalam apa yang disebut Civic Voluntary Model. Inti kedua model ini ialah bahwa seseorang berpartisipasi dalam pemilu karena kesadaran tentang arti penting pemilu bagi kepentingan dirinya dan masyarakat banyak. Status Sosial Ekonomi Dalam status sosial ekonomi terdapat beberapa indikator, yaitu pendidikan, pendapatan, dan jenis pekerjaan. Hasil pemilu akan menentukan kebijakan publik yang akan berkaitan dengan semua warga Negara, termasuk dirinya. Orang yang punya kesadaran ini biasanya orang yang relatif berpendidikan. Oleh karena itu, dibanding yang kurang berpendidikan, mereka yang berpendidikan lebih mungkin ikut pemilu status pekerjaan juga dianggap mempengaruhi keikutsertaan seseorang dalam pemilu. Orang yang bekerja lebih mungkin ikut pemilu dibandingkan dengan orang yang sedang mencari pekerjaan. Alasannya, perhatian orang yang tak memiliki pekerjaan lebih terfokus pada upaya mencari pekerjaan, dan karena itu kemungkinan besar ia akan absen dalam kegiatan–kegiatan politik seperti pemilu. Jenis pekerjaan juga dipercaya memengaruhi keikutsertaan dalam pemilu. Orang yang bekerja di sektor yang rentan terhadap kebijakan pemerintah, cenderung ikut serta dalam pemilu ketimbang sebaliknya Terkait dengan pendidikan dan jenis pekerjaan ini adalah tingkat pendapatan. Orang dengan pendapatan yang lebih baik memiliki kemungkinan lebih tinggi ikut serta dalam pemilu karena mereka mempunyai akses lebih luas terhadap informasi yang berkaitan dengan kebijakan publik. Orang dengan pendapatan lebih baik terbiasa hidup dalam lingkungan dengan norma – norma tertentu, sehingga memandang positif keikutsertaan dalam pemilu, dan memandang negatif absen dalam pemilu. Orang yang mempunyai status soial ekonomi yang lebih baik, memiliki kemungkinan lebih kuat untuk ikut dalam pemilu hanya bila ia berada dalam jaringan sosial yang memungkinkan terjadinya proses mobilisasi politik. Kelas Sosial Seorang pemilih dengan latar belakang kelas bawah (dilihat dari jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, pendapatan, dan kesadaran akan posisi kelas sosial) cenderung akan memilih partai politik dan pejabat publik yang dipandang memperjuangkan perbaikan kelas sosial mereka. Ex: di eropa, buruh dipercaya cenderung memilih partai buruh atau partai sosialis ketimbang partai konservatif atau partai liberal. Agama Faktor sosiologis lain yang dipercaya penting memengaruhi keputusan seseorang untuk memilih partai politik atau seorang calon pejabat adalah agama. Partai politik atau calon pejabat publik yang memiliki platform keagamaan yang sama dengan pemilih cenderung akan dipilih oleh oleh pemilih tersebut. Sentimen kedaerahan dan etnis Selanjutnya faktor yang dianggap berpengaruh dalam perilaku memilih yaitu sentimen kedaerahan. Pemilih akan cenderung memilih calon pejabat yang berasal dari daerah mereka dan yang berasal dari etnis yang sama dengan pemilih. Calon pejabat publik yang punya asal–usul atau keterikatan dengan daerah tertentu cenderung akan dipilih dan didukung oleh pemilih dari daerah yang bersangkutan. Seorang pejabat publik yang yang tinggal, atau biasa memperjuangkan kepentingan suatu daerah tertentu, cenderung akan dipilih dan didukung oleh pemilih dari daerah bersangkutan Umur Umur adalah faktor demografis yang diyakini bukan hanya berpengaruh terhadap pilihan presiden dan anggota DPR atau partai, tetapi juga partisipasi politik. Dalam hubungannya dengan partisipasi politik, Milbrath berpendapat bahwa partisipasi politik secara bertahap meningkat sesuai dengan umur, mencapai puncaknya dan menajam pada umur 40-an dan 50-an, tetapi kemudian secara bertahap menurun ketika mencapai umur 60-an. Sumber Mujani, Saiful, dkk. 2012. Kuasa Rakyat. Jakarta: Mizan Media Utama