Mudurnya Suharto dan Apa yang Terjadi Setelah Itu Kini Indonesia tak diragukan lagi adalah sebuah negeri yang demokratis. Fragmentasi elite memberi sumbangan bagi terjadinya perubahan besar setelah mundurnya Soeharto pada 1998, tetapi protes massa terhadap privilese elite dan tekanan yang terus-menerus dari berbagai daerah untuk melaksanakan desentralisasi adalah penentu yang sesungguhnya. Sampai sebegitu jauh demokrasi masih bisa bertahan. Untuk pertama kalinya sejak setengah abad yang lalu ketika (Feith, 1957) menyatakan bahwa demokrasi konstitusional Indonesia merosot, saat ini hampir semua pengamat menulis tentang demokrasi di Indonesia sebagai suatu kenyataan. Presiden Soeharto dipaksa mundur di tengah-tengah demonstrasi massal dan kerusuhan Mei 1998. Penggantinya, B.J. Habibie, menjalankan serangkaian pembaruan populer. Yang paling terkenal antara lain adalah pemilihan umum yang demokratis (1999) dan program desentralisasi, serta banyak kebijakan lain yang langsung mempengaruhi basis institusional Orde Baru: reformasi militer, sistem peradilan, pers, serikat buruh, amendemen konstitusi, dan referendum Timor Timur. Meskipun demikian ada juga beberapa kegagalan dalam situasi pasca-otoritarian. Prosekusi atas kejahatan HAM masa lalu dan korupsi dilawan habis-habisan oleh kekuatan-kekuatan lama. Kekerasan komunal terjadi di banyak tempat. Parlemen yang kuat terbentuk melalui pemilu ternyata mulai mempraktikkan "politik uang". Kualitas demokrasi menjadi banyak menjadi perhatian. Banyak sekali buku tentang sistem pemilu, korupsi, kekerasan, kemungkinan bangkitnya kembali otoritarianisme, serta perlunya lebih banyak agama dan lebih sedikit westernisme dalam politik.