Konsolidasi Gerakan Sosial, Saatnya Rakyat Membangun Partai Politik Alternatif Membangun partai politik alternatif bagi gerakan sosial merupakan jalan dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Setelah 18 tahun reformasi, banyak partai politik yang bermunculan. Masing-masing dari partai politik memiliki visi ideologi, strategi dan program yang berbeda dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat. Meski terlihat berbeda tetapi partai politik yang ada belum mampu menciptakan perbedaan yang mendasar. Lihat saja bagaimana kebijakan-kebijakan yang dimunculkan oleh partai-partai politik dan elitnya. Hampir semua kebijakan yang dimunculkan hanya mengutamakan kepentingan elit dan jaringan oligarki, sedangkan rakyat selalu dirugikan melalui kebijakan-kebijakan tersebut. Untuk melawan kondisi tersebut, maka gagasan pembangunan partai politik alternatif muncul. Upaya gerakan rakyat untuk membangun partai politik alternatif bukannya tidak ada sama sekali. Namun beberapa kali pengalamannya, upaya tersebut kandas di tengah jalan akibat strategi dan taktik legal-formal dari jaringan oligarki untuk mempersulit ruang bergerak kelas pekerja di arena elektoral. Walaupun beberapa kali kegagalan dalam upaya pembangunan partai politik alternatif dialami oleh gerakan rakyat, namun gagasan itu sendiri tidak pernah padam. Demi menerabas taktik legal-formal yang dibuat jaringan oligarki untuk terlibat dalam arena elektoral, maka dibutuhkan persatuan seluruh gerakan rakyat untuk membangun partai politik alternatif. Penyatuan visi perjuangan dalam membangun partai politik alternatif menjadi salah satu agenda terpenting bagi gerakan rakyat. Namun yang lebih terpenting lagi adalah gagasan pembangunan partai politik alternatif tersebut juga didukung oleh seluruh elemen gerakan rakyat serta masyarakat secara umum. Untuk itu, menciptakan kesadaran mengenai pentingnya pembangunan partai politik alternatif merupakan agenda utama dari seluruh gerakan rakyat. Iklim politik reformasi telah memberi harapan bagi semua elemen gerakan sosial untuk mengalami perubahan di segala bidang, termasuk kebebasan berserikat dan berkumpul serta berpolitik. Kebebasan tersebut disambut oleh kalangan aktifis dan elemen gerakan sosial untuk membangun macam-macam organisasi sosial termasuk partai politik di dalamnya. Jumlah partai politik yang sebelumnya dibatasi oleh pemerintahan rezim Orde Baru, kini semakin banyak yang bermunculan. Beberapa diantaranya berhasil memenangkan pemilu tahun 1999, di mana pemilu di tahun tersebut dianggap sebagai pelaksanaan pemilu demokrasi pertama setelah Orde Baru tumbang. Hingga saat ini, pemilu sudah berlangsung selama empat kali dan perubahan mulai tampak pada aspek kebebasan untuk berorganisasi, berekspresi dan mengemukakan pendapat di muka umum. Tetapi kenyataannya pergantian kekuasaan dari tahun ke tahun belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di semua sektor. Walaupun angka kemiskinan mengalami pasang surut, namun hingga tahun 2015 angka kemiskinan tetap berada di kisaran 11%. Sementara daerah pedesaan tetap menjadi daerah termiskin jika dibandingkan dengan daerah perkotaan. Di daerah pedesaan banyak petani yang sudah tidak memiliki tanah akibat kebijakan pemerintah untuk menarik investor dan akhirnya berpindah pekerjaan menjadi buruh-tani. Selain itu, juga banyak penduduk desa memilih berganti pekerjaan menjadi buruh pabrik atau perkantoran di kota. Namun sayangnya, pembangunan di perkotaan pun pada akhirnya menyingkirkan penduduk yang bermigrasi sehingga beberapa dari mereka tinggal di perkampungan kumuh. Aktivitas penggusuran terhadap masyarakat yang tinggal di perkampungan kumuh oleh pemerintah setempat pun menjadi ancaman yang nyata bagi mereka. Situasi itulah yang menjadi salah satu gambaran dari penyingkiran terhadap rakyat pekerja akibat kebijakan jaringan oligarki dan pemilik modal. Masih adanya hubungan yang timpang antar kelompok di dalam masyarakat pada proses penentuan keputusan menyebabkan kelompok yang tidak memiliki modal tersingkir. Padahal kelompok yang tidak memiliki kekuatan modal tersebut atau bisa dibilang rakyat merupakan jumlah yang sangat mayoritas. Sementara di sisi lain ada kelompok masyarakat yang dari segi jumlahnya minoritas tetapi memiliki kekuasaan yang besar dengan ditopang modal atau kapital dan dilegitimasi oleh sistem ekonomi neoliberal yang mereproduksi kebijakan politik untuk memihak mereka. Kelompok ini bahkan menguasai sistem politik di Indonesia dengan membangun partai politik serta menguasai arena elektoral. Hal tersebut menyebabkan mereka memiliki kekuasaan yang berlebih dan mampu memproduksi kebijakan-kebijakan yang menguntungkan bagi mereka. Terkait kondisi tersebut di atas, menurut Deputi Ketua BPH Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Barat Glorio Sanen, kebijakan politik yang dibuat penguasa tidak lepas dari partai politik. Ironisnya, tambahnya, kebijakan politik yang dibuat sangat bergantung dengan kepentingan partai politik penguasa. “Sehingga kepentingan rakyat secara umum yang berjumlah mayoritas menjadi terabaikan. Kebijakan politik yang dibuat oleh partai politik yang berkuasa tidak banyak mengalami perubahan sampai saat ini,” sambung Sanen yang juga aktif sebagai Praktisi Hukum. Senada dengan Sanen, Presiden Konfederasi Serikat Nasional (KSN) Koswara mengungkapkan bahwa kebijakan partai politik saat ini tidak memihak kepada rakyat. Menurutnya kebijakan yang dimunculkan oleh pemerintah maupun partai politik tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat. “Kami melihat bahwa hari ini kepentingan kaum modal yaitu kaum pengusaha yang menjadi agenda besar kepentingan mereka. Jadi belum ada yang mewakili kepentingan kaum rakyat khususnya kaum buruh,” ujar Koswara. Kesadaran tentang kepentingan partai politik yang tidak sejalan dengan kepentingan dengan rakyat bukan hanya dirasakan di sektor masyarakat adat ataupun di sektor buruh. Dalam sebuah diskusi di sekretariat bersama KPRI, Erni Kartini yang merupakan aktivis Serikat Petani Pasundan (SPP) juga menyatakan hal yang serupa terkait tingkah laku partai politik yang tidak mensejahterakan rakyat. “Petani sadar bahwa sampai saat ini petani hanya menjadi alat pendulang suara momentum pemilihan umum. Itu artinya bahwa partai politik yang ada sekarang belum bisa mengakomodir kepentingan petani,” tutur Erni dalam diskusi di bulan Agustus lalu. Kesadaran akan tingkah laku partai politik yang semakin merugikan bagi kepentingan rakyat mulai tumbuh di hampir seluruh lapisan masyarakat. Namun sayangnya, kesadaran tersebut tidak dibarengi dengan perumusan kerangka perjuangan gerakan rakyat yang politis. Sampai saat ini, menurut Sekretaris Jenderal Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Damar Panca Mulya, gerakan rakyat masih dalam kerangka perjuangan yang ekonomistik dan belum masif dalam konteks perjuangan politik. Meningkatnya kesadaran politik rakyat untuk melawan sistem kapitalisme-neoliberal, menurutnya harus dilanjutkan dengan pembangunan partai politik alternatif agar tidak tersebar atau masuk partai politik yang bukan miliknya. “Belajar dari pengalaman gerakan sosial yang hari ini berlawan, meskipun kesadaran rakyat untuk berlawan semakin meningkat, namun kelemahan dalam perjuangan politik tidak ada partai pelopornya. Sehingga strategi yang hari ini diyakini bisa memajukan gerakan ternyata gagal,” ujarnya. Hal senada juga diungkapkan Sekretaris Jenderal Partai Hijau Indonesia (PHI) John Muhammad yang mengungkapkan gerakan sosial akan terus stagnan apabila tidak merebut sumber daya untuk mencapai kekuasaan. Strategi merebut sumber daya untuk mencapai kekuasaan tersebut tentunya harus dirumuskan bersama oleh gerakan rakyat, sehingga nantinya bersesuaian dengan kepentingan rakyat. Salah satunya, John menyoroti intervensi gerakan rakyat di Pemilu 2014 lalu oleh para relawan. Menurutnya, saat ini banyak aktivis sebagai relawan politik yang terjebak dalam kebijakan yang dibuat oleh penguasa, misalnya dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu. “Sangat sulit bila ingin membuat kebijakan penyelesaian pelanggaran ham, tetapi di sisi lain kebijakan itu dibuat bersama dengan pelaku yang masih memiliki kasus pelangaran ham di masa lalu. Dengan kolaborasi seperti ini menjadi sulit untuk berharap. Maka gerakan rakyat harus terus mengkritik dan melawan. Satu-satunya cara kita tidak bisa sekadar menjadi relawan pendukung namun tetap memperlakukan rezim Jokowi secara sama dengan rezim-rezim sebelumnya dalam penyelesaian kasus HAM,” ungkapnya. POLITIK DIASPORA BUKAN ALTERNATIF Selain strategi aktivis mengintervensi kekuasaan melalui perannya sebagai relawan, strategi yang lainnya adalah melalui politik diaspora. Namun jalan ini sepertinya juga menemui jalan buntu karena tidak ada satupun hasil yang menggembirakan dari strategi politik diaspora yang dijalankan. Sebagian aktivis yang memilih politik diaspora malah terjatuh ke dalam oportunisme. Alih-alih membawa kepentigan rakyat ke dalam negara, sebagian malah terkooptasi menjadi aparatus negara borjuasi. Ini karena mereka masuk ke negara bukan sebagai bagian dari kekuatan politik progresif, sehingga mereka tidak punya kekuatan dan tidak ada yang mengontrol. Perlunya mengevaluasi strategi politik diaspora pada akhirnya menjadi sebuah tuntutan bagi gerakan rakyat. Menurut Damar, politik diaspora dengan mengirimkan orang atau kader terbaik ke partai politik borjuis tidak menghasilkan apapun. “Evaluasinya, sudah banyak kader maju di dalam gerakan rakyat yang justru direkrut partai borjuis. Itu artinya harus segera dievaluasi di dalam tubuh gerakan rakyat.” tambah Damar. Hal senada juga ditegaskan oleh Dirga Ardiansa, dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI, dalam artikelnya yang berjudul Strategi Alternatif Politik Alternatif (Bagian Kedua) (2016), yang mengungkapkan politik diaspora elit perlu dirombak total. Pasalnya, hampir tidak ada capaian yang berarti hingga saat ini semenjak strategi diaspora elit dijalankan untuk masuk ke dalam partai politik oligarki, kementerian, atau lembaga negara lainnya. Dirga menilai diaspora elit justru lebih menjadi instrumen kekuatan oligarki melemahkan gerakan agar tidak pernah mencapai konsolidasinya, ketimbang apa yang diyakini sebagai strategi mempengaruhi dan mengubah. Hal ini juga dikarenakan diaspora elit menggunakan pendekatan yang sangat elitis. Bagi Dirga, perombakan atau revisi yang dibutuhkan adalah mensinergikan strategi diaspora elit dengan strategi pembangunan politik alternatif. Strategi diaspora elit yang masuk ke dalam berbagai partai politik dan lembaga negara tersebut seharusnya dimanfaatkan untuk membuka ruang politik yang luas untuk membangun partai politik alternatif yang berasal dari gerakan rakyat. Namun menurut Irwansyah, yang juga dosen Ilmu Politik di FISIP UI, mensinergikan strategi politik diaspora elit dengan strategi pembangunan partai politik alternatif akan menemui jalan terjal. Hal ini disebabkan karena partai-partai politik di Indonesia sudah ada pemiliknya atau bahkan sudah terbangun suatu dinasti politik di partai politik tersebut. Partai tempat berdiaspora sejatinya hanya sebagai properti milik privat, yang pemiliknya punya kepentingan berbeda. Secara logika sudah lemah dan secara ujicoba eksperimen sudah terbukti gagal. Apa yang ingin dipertahankan dengan diaspora?” jelas Irwansyah, yang saat ini sedang menempuh pendidikan untuk Program Doctoral di Murdoch University, Australia. Hal inilah yang menurut aktivis Himpunan Serikat Perempuan Indonesia (HAPSARI) Riani, politik diaspora hanya dijadikan alat penjajakan bagi elit-elit organisasi gerakan rakyat, bukan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat yang diwakilinya. “Kenyataannya orang yang berdiaspora pada akhirnya mengikut arus dari sistem kebijakan yang ditetapkan partai borjuis yang bukan miliknya,” ungkapnya. GAGASAN MEMBANGUN PARTAI POLITIK ALTERNATIF Politik diaspora sampai saat ini masih dipakai sebagai strategi politik alternatif di gerakan sosial. Namun di sisi lain hal tersebut sekaligus menunjukkan kekuatan gerakan rakyat belum terkonsolidasi, karena kader-kader yang terlibat dalam politik diaspora tidak mampu mengubah kebijakan dari dalam. Berbagai hambatan di atas, tentunya harus menjadi pemicu bagi gerakan rakyat untuk membangun partai politik alternatif. Partai politik alternatif menjadi solusi untuk melawan dominasi kekuatan oligarki untuk mempertahankan dalam demokrasi elektoral. Untuk itu, kekuatan oligarki memiliki kepentingan agar gerakan rakyat tidak dapat terlibat secara langsung untuk bertarung dalam arena elektoral. Pentingnya gerakan rakyat untuk membangun partai politik alternatif karena gerakan rakyat memiliki representasi yang lebih jelas dari partai-partai politik yang ada saat ini. Oleh karena itu, menurut Dirga, upaya membangun partai politik alternatif ini juga sekaligus mengatasi problem representasi politik. “Hasil pemilu selalu memunculkan ketimpangan representasi, di mana selalu meminggirkan kelompok rentan dan marjinal. Bisa dipastikan anggota parlemen sebagai miniatur populasi, yang berjumlah 550 orang itu tidak merepresentasikan identitas dan kepentingan kelompok marjinal, partai mana yang merepresentasikan kelompok buruh, partai mana yang merepresentasikan petani,” ujar Dirga yang juga peneliti di Pusat Kajian Politik UI. Masalah lanjutan dari hal tersebut menurut Dirga adalah rakyat disuguhkan dengan keterbatasan pilihan dalam Pemilu. Partai politik atau individu yang dicalonkan oleh partai politik tidak mewakili sektor atau kepentingan rakyat. “Jadi seseorang dipaksa untuk memilih yang terbaik dari yang terburuk. Itu akan berimplikasi menghasilkan representasi yang tidak utuh,” ujarnya. Berbagai permasalahan itu sebenarnya semakin menunjukkan akan kebutuhan partai politik alternatif. Partai politik alternatif tentunya harus berbeda dengan partai partai-partai politik yang saat ini berkuasa. Representasi dan agregasi (menyerap) aspirasi kepentingan rakyat juga diakui sebagai langkah yang serius jika ingin membangun sebuah partai politik alternatif. Menurut John Muhammad, partai politik alternatif harus dibangun berdasarkan partisipasi dan kepentingan warga. “Pertama, partai dibangun harus berbasis anggota, Kedua partai harus dibangun berdasarkan agregasi kepentingan warga. Praktek partisipasi anggota yang memiliki semangat ini yang seharusnya dibangun untuk memiliki partainya sendiri” kata John. Menurut John, agregasi kepentingan warga merupakan hal yang utama bagi basis perjuangan partai politik alternatif. Selama ini, tambahnya, jaringan oligarki politik hanya memanfaatkan partai untuk kepentingan pribadi elit atau kekuasaan, bukan untuk kepentingan warga. “Bila praktek politik seperti ini dilestarikan, semakin tertutup dan kesadaran palsu akan semakin meluas. Ke depannya hanya dari orang-orang yang punya kapital besar saja yang bisa masuk ke politik. Padahal agregasi kepentingan politik partai yah berasal dari anggota atau warga, bukan orang-orang yg punya kapital besar,” sambung John. Tidak adanya representasi politik yang diusung oleh partai-partai politik saat ini juga disinggung oleh Riani. Khusus mengenai keterwakilan perempuan, ia mengungkapkan aturan keterwakilan perempuan dengan kuota 30% hanya dipandang sebagai aturan formal belaka oleh partai-partai politik saat ini. Namun pada kenyataannya, partai-partai politik tersebut tidak mengangkat kepentingan kaum perempuan. Sementara menurut koordinator Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO) KPRI Sapei Rusin, partai politik alternatif yang dibangun oleh gerakan rakyat harus berbeda dengan partai-partai politik yang lainnya. Hal ini yang menunjukkan partai politik alternatif yang dibangun oleh gerakan rakyat lebih baik daripada partai-partai politik yang saat ini berkuasa. “...partai politik borjuasi sama sekali tidak memiliki tujuan untuk merombak corak produksi dan struktur masyarakat yang tidak adil. Sementara partai politik berbasis organisasi rakyat tujuan utamanya memperjuangkan kepentingan kelas massa rakyat yang selama ini menjadi korban dari ketidakadilan dalam corak produksi dan strukutr sosial yang ada,” ujarnya. Selain tujuan dari partai politik itu sendiri, yang jelas membedakan antara partai politik alternatif dan partai politik yang berkuasa saat ini adalah unsur pembentuk partai politik itu sendiri. Riani mengingatkan agar partai politik alternatif benar-benar dibangun berbasis organisasi-organisasi rakyat. Ia juga mengungkapkan para pemimpin partai politik alternatif di tingkat daerah juga harus berasal dari daerah-daerah yang bersangkutan. “Itu artinya calon pemimpin dari partai politik alternatif adalah orang yang berasal dari daerah tersebut dan dipercaya oleh masyarakat setempat.” sambungnya. Senada dengan hal itu, Sapei juga mengungkapkan partai-partai politik yang saat ini berkuasa hanya mengandalkan ketokohan dari mereka yang memiliki modal. Untuk itu, Sapei juga menekankan pentingnya unsur-unsur yang membentuk partai politik alternatif. “Partai borjuasi dibentuk oleh sekelompok kecil elit-elit dalam masyarakat dan dibesarkan dengan mengandalkan pada ketokohan mereka yang punya modal atau hak istimewa lainnya dalam sistem sosial. Sementara partai politik rakyat dibentuk, dibesarkan dan dikontrol oleh kekuatan perjuangan kolektif massa rakyat bersama berbagai kekuatan yang hendak merombak tatanan lama tersebut,” tambah Sapei. Untuk itu dibutuhkan dibutuhkan suatu instrumen agar keputusan atau kebijakan yang dimunculkan oleh partai politik alternatif nantinya tidak lagi mengandalkan ketokohan. Instrumen tersebut harus mampu untuk menyerap aspirasi anggota, atau bahkan rakyat secara keseluruhan. Menurut Dirga, memperkuat partisipasi warga dalam bentuk survey untuk mengakomodasi kebutuhan rakyat di dalam partai politik alternatif bisa menjadi suatu solusi. “Survey warga bisa dilakukan sebagai instrument kepentingan warga, sebab karena dia melakukan klaim representasi untuk mempengaruhi budgeting dan legislasi. Yang harus dilakukan sekarang adalah memastikan agregasi itu didorong jauh sampai ke ruang legislasi dan anggaran. Yang bisa masuk ke legislasi dan anggaran, kalau tidak melalui partai politik, maka tidak mungkin,” ujar Dirga. Membangun isu bersama untuk mencapai kesejahteraan juga menjadi penting untuk dirumuskan, mengingat unsur pembentuk partai politik alternatif berasal dari berbagai sektor. Untuk itu, menurut Irwansyah, perumusan agenda multi sektor di organisasi-organisasi gerakan rakyat yang ingin membangun partai politik alternatif menjadi sangat penting. “Organisasi dan serikat rakyat di partai politik alternatif harus menjahit agenda multisektor seperti agenda reforma agraria dan industrialisasi nasional di bawah kontrol rakyat. Hal ini harus menjadi pembicaraan utama di masa kampanye atau sesudah kampanye,” kata Irwansyah.