BAB II NARASI TEMPAT, IDENTITAS KULTURAL DAN SIMBOL

advertisement
BAB II
NARASI TEMPAT, IDENTITAS KULTURAL DAN SIMBOL
Kematian adalah bagian yang tak terhindarkan dari kehidupan manusia. Setiap manusia
pasti akan mengalami yang namanya kematian. Sekalipun kematian merupakan suatu hal yang
dialami oleh manusia tetapi kematian pasti menyebabkan kesedihan bagi keluarga yang
mengalaminya. Setiap agama dan budaya memiliki tata cara dalam memperlakukan suatu
kematian baik itu mulai perlakuan terhadap orang yang meninggal bahkan ritual di sekitar
peristiwa kematian itu sendiri terhadap orang yang meninggal maupun terhadap keluarga yang
ditinggalkan. Dalam pemahaman yang demikian maka ritual kematian memiliki fungsi ganda
yaitu bagi orang yang meninggal adalah untuk mengantarkan orang yang telah meninggal agar
dapat tenang di alamnya. Sementara fungsi ritual kematian untuk orang yang masih hidup adalah
agar mereka dapat mengatasi krisis yang diakibatkan oleh kematian.
Salah satu ritual kematian yang dilakukan oleh orang Sabu diaspora adalah pebale rau
kattu do made. Ritual kematian ini dilakukan oleh orang-orang Sabu yang lahir di Sabu tetapi
karena tuntutan hidup dan pekerjaan harus merantau. Dalam perantauannya jika orang Sabu
diaspora tersebut meninggal maka keluarga dari orang yang meninggal harus melakukan ritual
tersebut. Untuk dapat memahami ritual kematian tersebut maka dalam bab II ini akan dijelaskan
beberapa teori yang berkaitan dengan Narasi Tempat, Identitas Kultural dan Simbol.
2.1. Diaspora dan Narasi Tempat
Untuk dapat memahami suatu narasi tempat oleh masyarakat diaspora maka terlebih
dahulu penulis akan menguraikan tentang apa itu diaspora? Istilah diaspora berasal dari kata
Yunani, istilah ini pertama kali digunakan untuk merujuk pada penyebaran paksa orang Yahudi,
dalam terjemahan Yunani dari Alkitab Ibrani sekitar tahun 200 SM. Dalam sebuah artikel,
12
William Safran mendefinisikan orang-orang yang merupakan diaspora dengan menampakkan
enam ciri utama: mereka (atau nenek moyang mereka) yang tersebar dari satu pusat asli untuk
dua atau lebih lokasi asing, memiliki memori kolektif tentang tanah asli mereka, mereka tidak
sepenuhnya percaya dan mereka tidak sepenuhnya diterima oleh masyarakat tuan rumah mereka,
menganggap tempat asal mereka sebagai rumah mereka yang sebenarnya (mereka atau keturunan
mereka akhirnya akan kembali), secara kolektif berkomitmen untuk pemeliharaan tanah air
mereka, dan terus berhubungan dengan tanah air yang dalam satu atau lain cara.1
Istilah diaspora ini digunakan secara lebih luas untuk menunjukan hubungan budaya yang
terus dipelihara oleh orang-orang yang sudah menyebar di seluruh dunia.2 Hal ini diperkuat oleh
Sheffer yang mendefinisikan diaspora modern sebagai emigran yang berasal dari kelompok etnis
yang menetap di negara tempat tinggal (host country), namun masih menjaga hubungan
sentimental yang kuat dengan negara asal dan kampung halamannya. 3 Istilah diaspora digunakan
untuk merujuk pada penyebaran kelompok agama atau kelompok etnis dari tanah air mereka,
baik dipaksa maupun dengan sukarela. Kata ini juga digunakan untuk merujuk pada penyebaran
orang-orang sebagai kelompok kolektif dan masyarakat. Sejarah manusia menunjukkan sejumlah
diaspora. Tercabut dari tanah kelahiran dan budaya, bisa menjadi suatu peristiwa besar bagi
seseorang atau sekelompok orang. Diaspora berasal dari istilah Yunani Kuno yang berarti
“menyebarkan atau menabur benih”, diaspora berbeda dengan imigrasi. Diaspora mengharuskan
anggota suatu masyarakat pergi bersama dalam periode waktu yang singkat, bukan pergi
perlahan-lahan dalam waktu lama meninggalkan kampung halaman.4
1
Yolanda Covington-Ward, Transforming Communities, Recreating Selves: Interconnected Diasporas,
Perfomance in the Shaping Liberian Immigrant Identity, Jurnal Ebsco (Africa Today) seri 1,vol.60, (2013): 5
2
Devi Riskianingrum, Studi Dinamika Identitas di Asia dan Eropa (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014),
103.
3
G. Sheffer, A New Field of Study: Modern Diasporas in International Politics (Croom Helm, London and
Sydney, 1986), p. 1-15.
4
http://www.amazine.co/25264/apa-itu-diaspora-fakta-sejarah-informasi-lainnya/ diakses 3 Agustus 2016
13
Masyarakat yang melakukan diaspora juga dicirikan dengan usaha mereka untuk
mempertahankan budaya, agama, dan kebiasaan lainnya di tempat baru. Mereka biasanya hidup
berkelompok dengan sesamanya, dan kadang tidak mau berinteraksi dengan warga lokal. Salah
satu contoh diaspora yang terkenal dalah diaspora Yahudi yang dimulai pada tahun 600 SB.
Orang-orang Yahudi sering contoh klasik diaspora karena telah berpindah beberapa kali, dengan
banyak diantaranya melalui paksaaan. Meskipun beberapa kali berpindah tempat, orang Yahudi
yang mengalami diaspora tetap berusaha mempertahankan ikatan komunitas yang kuat beserta
dengan tradisi, budaya dan agama mereka.5
Masyarakat diaspora dalam suatu negara dapat dikategorikan sebagai masyarakat
minoritas. Sering kali dalam situasi mayoritas-minoritas ada perasaan curiga bahwa kelompok
minoritas tidak memiliki kesetiaan apapun, dan mereka mengajukan agendanya sendiri, yang
kalau diterima dan diberi kesempatan akan mengganggu keamanan dan melenyapkan stabilitas.
Sering juga kita menganggap kelompok minoritas sebagai kelompok yang lemah, yang
membutuhkan perlindungan dari yang mayoritas. Perlindungan tersebut sering dalam bentuk
kemurahan yang berubah-ubah, bahkan bisa menjadi suatu penganiayaan. Semakin kelompok
minoritas ditekan, semakin pula anggotanya memberi diri untuk mempertahankan eksistensi
kelompoknya.6
Memang tidak ada batasan tentang “minoritas” yang disepakati secara umum.
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengupayakan suatu definisi kerja yang menyatakan bahwa
“minoritas adalah hadirnya suatu kelompok manusia yang secara kuantitas lebih kecil
dibandingkan dengan populasi yang ada dalam suatu negara dan dalam kedudukan yang tidak
dominan, yang anggotanya – yang kewargaannya berasal dari berbagai bangsa – berasal dari
5
6
http://www.amazine.co/25264/apa-itu-diaspora-fakta-sejarah-informasi-lainnya diakses 3 Agustus 2016
Hans Ucko, Akar Bersama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999),36
14
etnis dan disertai dengan ciri agama dan bahasa yang membedakannya dari sebagaian besar
populasi dalam negara itu, dan kelompok (minoritas) itu menunjukkan, sekalipun secara tersirat,
suatu perasaan solidaritas yang ditujukan demi terpeliharanya kebudayaan, tradisi-tradisi, agama
dan juga bahasa.” Sepanjang sejarah PBB anggota-anggotannya merasa bahwa suatu dukungan
menyeluruh pada terhadap kelompok minoritas dapat menciptakan ancaman terhadap kesatuan
dan integritas struktur suatu negara yang masih rapuh. Jadi, mereka lebih condong memilih
penyelesaian masalah di atas melalui upaya peningkatan kesadaran tentang hak-hak asasi dari
setiap individu.7 Dalam pemahaman masyarakat diaspora adalah masyarakat minoritas maka
kehadirannya dalam sebuah masyarakat mayoritas dianggap sebagai suatu ancaman.
Gerakan Oikumene juga menaruh kehati-hatian yang sama. Sidang Dewan Gereja-gereja
Se-dunia di Uppsala (1968) menghasilkan pernyataan yang menegaskan bahwa “hampir semua
bangsa memiliki kelompok minoritas, baik karena etnis, budaya dan keagamaan”. Minoritas tadi
memiliki hak memilih gaya hidup mereka sendiri sepanjang pilihan tersebut tidak merugikan
pilihan yang sama yang juga dimiliki kelompok lain . . . Namun, . . . hak-hak kelompok
minoritas itu dapat . . . menganggu stabilitas dan keberadaan suatu bangsa.8
Umat Yahudi hampir selalu hidup dalam suasana minoritas. Sejak zaman perbudakan
Mesir sampai pada keadaan tertawan dan diasingkan di Babil, sebagai minoritas dalam setiap
negera di Eropa, dan di banyak bagian lain di dunia ini. Memang ada masa toleransi terhadap
kehadiran minoritas Yahudi, bahkan pernah diterima dengan baik; namun lebih sering orang
bersikap toleran atas kehadiran mereka tanpa sikap penerimaan yang tulus. Seorang anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Prancis, Clermont-Tonnere, menciptakan suatu ungkapan di
masa pasca-revolusi Prancis: Tout accorder aux Juifs, en tant qui
7
8
Ucko, Akar Bersama. 37
Ucko, Akar Bersama. 37
15
„individus, rien en tant que nation (sebagai individu setiap orang Yahudi memiliki haknya, tetapi
bukan sebagai suatu bangsa). Sebagai minoritas orang Yahudi telah hidup dalam kemurahan hati
dari pihak mayoritas, yang sering berlanjut menjadi ketiadaan sama sekali kemurahan hati.
Mudah sekali bagi orang Yahudi untuk mengenang trauma masa lalu mereka: Perang Salib,
siksaan di masa “maut hitam” (sakit sampar yang menular pada abad ke-14), masa-masa
inkuisisi, pengusiran dari Spanyol, pengasingan hidup mereka dalam ghetto, pemusnahan
terorganisasi yang dilancarkan orang Rusia terhadap mereka, dan akhirnya pemusnahan dan
pembakaran dalam syoah/holocaust yang baik orang Yahudi sekuler maupun yang taat
beragama.9
Yudaisme dalam banyak aspek adalah agama dari umat yang hidup dengan suatu ingatan
atau kenangan akan sejarah. Ia adalah suatu agama yang mengenang. Salah satu kunci dalam
Yudaisme adalah perintah Zakor! “Ingatlah”! Ingatlah masa ketika diperbudakan dan dalam
kurungan! Ingatlah bahwa engkau dibawa keluar dari perbudakan! Ingatlah kesulitan-kesulitan
dalam perjalanan di padang gurun! Ingatlah bahwa engkau menjadi umat Tuhan ketika berada di
gurun pasir. Ingatlah bahwa engkau dibebaskan agar menjadi umat yang terpilih! Ingatlah
identitasmu sebagai umat yang terpilih. 10
Perintah untuk mengingat inilah yang biasa dikenal dengan nama menyimpan memori.
Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan orang Israel yaitu ketika mereka meninggal di tanah diaspora
maka mereka harus membawa pulang sesuatu ke kampung halaman mereka. Sebagai contoh, ada
kisah dari keluarga Yakub atau Israel di mana di akhir hidupnya ia meminta kepada anak-cucu di
Mesir tepatnya di wilayah Gosyen yang subur agar suatu hari nanti Yakub di bawa pulang ke
Kanaan. Bahkan ia meminta dibuat sebuah janji atau sumpah. Demikian juga Yusuf melakukan
9
Ucko, Akar Bersama. 37-38.
Ucko, Akar Bersama. 38.
10
16
hal yang sama agar ia pun dibawa pulang untuk menikmati persekutuan dengan para leluhurnya
di Kanaan. Bukankah Mesir lebih mewah dibanding Kanaan? Yakub meminta Yusuf untuk
memenuhi kerinduannya seperti ini: “ketika hampir waktunya bahwa Israel akan mati,
dipanggilnya anaknya Yusuf, dan berkata kepadanya: “jika aku mendapatkan kasihmu,
letakkanlah kiranya tanganmu di bawah pangkal pahaku, dan bersumpahlah, bahwa engkau akan
menunjukkan kasih dan setiamu: jangan kiranya kuburkan aku di Mesir, karena aku mau
mendapat perhentian bersama-sama dengan nenek moyangku. Sebab itu angkutlah aku dari
Mesir dan kuburkanlah aku dalam kubur mereka. Jawabnya: “aku akan berbuat seperti katamu
itu. Kemudian kata Yakub: “bersumpahlah kepadaku”. Maka Yusuf pun bersumpah kepadanya
(Kejadian 47:29-31). Demikian juga Yusuf melakukan hal sama seperti Yakub kepada anakanaknya; meskipun membutuhkan waktu yang panjang untuk membawa Yusuf ke Kanaan
melalui tragedi penindasan dari Firaun dimana Allah sendiri menolong. Melepaskan serta
membawa mereka melalui peristiwa Paskah. Kehadiran anak-anak dan cucu ini adalah kehadiran
Yusuf sendiri seperti nyata dalam doanya di Kejadian 50:24-25: “Tidak lama lagi aku akan mati;
tentu Allah akan memperhatikan kamu dan membawa kamu keluar dari negeri ini, ke negeri
yang dijanjikan-Nya dengan sumpah kepada Abraham, Ishak dan Yakub; pada waktu itu kamu
harus membawa tulang-tulangku dari sini”. Rindu ke rumah dan berkumpul dengan keluarga,
tanah dan air adalah semangat dari permintaan bapak leluhur Israel. Harapan itu dilegalkan
menjadi wadah ziarah tiap generasi ke tanah air perjanjian yang telah diwariskan kepada anak
cucu mereka.
Penggambaran Mazmur 137 adalah sebuah ajakan untuk mengingat Sion. Khususnya
dalam ayat 1-4 ditekankan tentang ingatan akan penderitaan di pembuangan Babel. Mazmur ini
dibuat dengan suatu kisah derita, kisah penderitaan orang-orang di Babel. Penderitaan ini sudah
17
lewat dan terjadi di tempat yang jauh, tetapi lukanya masih dalam membekas. Di Babel, di tepi
saluran-saluran irigasi dari sungai Efrat (Bnd. Yeh 1:1; 3:15) mereka kerap duduk menangis
setiap kali mereka mengingat “Sion” (ay 1; bnd. Mzm 42:5 tentang lukisan kesedihan serupa).
Apakah kata-kata “duduk-menangis-mengingat” menunjuk kepada suatu perayaan ratapan untuk
mengenang keruntuhan Yerusalem seperti yang dilakukan pada zaman nabi Zakharia (Mzm 7:114) tidaklah pasti. Bagaimanapun juga yang terjadi di Babel ialah: mengingat Sion berarti derita.
Segala hal yang dikatakan tentang Sion dari masa yang lampau (bnd Maz 87:3) sekarang tinggal
kenangan.11
Tindakan mengingat seperti yang dilakukan oleh bangsa Israel adalah tindakan
yang juga dilakukan oleh orang-orang diaspora saat mereka berada di negara baru mereka.
Masyarakat diaspora adalah penyebaran suatu kelompok agama atau kelompok etnis dari
tanah air mereka baik secara paksa maupun secara sukarela dan masyarakat diaspora ini juga
tidak akan kembali ke negeri asal mereka, dan menganggap negara atau tanah air mereka yang
baru sebagai tanah air kedua. Merujuk pada pengertian diaspora yang demikian maka akan
dilihat perbedaan antara diaspora dan pengungsi. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, pengungsi
diartikan sebagai “Orang yang mencari tempat yang aman ketika daerahnya ada bahaya yang
mengancam.12 Dalam terminologi bahasa Indonesia pengungsi tidak mencakup baik
geografisnya maupun prasyarat penyebabnya. Hal lain yang perlu mendapat catatan dalam
konteks Indonesia, pengungsi sering disebut dengan “imigran illegal” atau imigran gelap”.13
Direktur Jesuit Refuge Service Indonesia, Adrianus Suyadi berpendapat bahwa penyebutan
11
Barth-Frommel, Maria Claire & Pareira, B.A, Tafsiran Alkitab: Kitab Mazmur 73-150, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2013), 440-441
12
Yus Badudu, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan, 1994), 54.
13
Wagiman, S.Fil, Hukum Pengungsi Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 97
18
“imigran ilegal” atau “imigran gelap” di Indonesia ditujukan terhadap mereka yang tidak
memiliki identitas resmi berupa paspor dan visa.14
Ada 2 (dua) pendapat ahli sehubungan dengan pengertian atau batasan dari istilah
pengungsi. Malcom Proudfoot memberikan pengertian pengungsi dalam perspektif pasca Perang
Dunia II. Pengungsi merupakan suatu kelompok orang-orang yang terpaksa pindah ke tempat
lain akibat adanya penganiayaan, deportasi secara paksa atau atau pengusiran orang-orang dan
perlawanan politik pemerintah yang berkuasa. Dapat pula dalam bentuk pengembalian etnik
tertentu ke negara asal mereka atau provinsi baru yang timbul akibat perang atau perjanjian atau
penentuan tapal batas secara sepihak sebleum perang terjadi. Perpindahan penduduk sipil secara
besar-besaran akibat adanya tekanan atau ancaman. Perpindahan secara paksa penduduk dari
wilayah pantai atau daerah pertahanan berdasarkan perintah militer serta pemulangan tenaga
kerja paksa untuk ikut dalam perang.15
Sementara itu, Pietro Verri dalam mendefinisikan pengungsi merujuk pada pasal 1
Konvensi 1951 khususnya pada kalimat “applies to many person who has fled the country of his
nationality to avoid persecution or the threat of persecution”.16 Pada pandangan Pietro Verri
pengungsi merupakan seseorang atau sekelompok orang yang meninggalkan negaranya karena
adanya ketakutan yang tidak terhingga serta adanya kemungkinan atau potensi terjadinya
penyiksaan. Pengungsi dalam pengertian yang umum adalah orang yang dipaksa keluar dari
wilayah negaranya. Paksaan yang dilakukan terhadapnya disebabkan oleh kondisi yang tidak
memungkinkan adanya rasa aman atau jaminan keamanan atas dirinya oleh pemerintah.17
Terminologi pengungsi menurut Konvensi tahun 1951 adalah seseorang yang oleh karena rasa
14
Adrianus Suyadi, Pengungsi Bukan Imigran Gelap, artikel dimuat pada Harian Umum Kompas tanggal
21 Juni 2010.
15
Wagiman, Hukum Pengungsi Internasional. 98.
16
Achmad Romsan, Pengantar Hukum Pengungsi Internasional, (Bandung: Sanic Offset, 2003), 36.
17
Wagiman, Hukum Pengungsi Internasional. 98.
19
takut yang wajar akan dianiaya berdasarkan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada suatu
kelompok sosial tertentu, atau pandangan politik, berada di luar negeri kebangsaannya, dan tidak
dapat atau, karena rasa takut itu tidak berkehendak berada di dalam perlindungan negaranya.18
Seseorang dikatakan sebagai pengungsi ketika seseorang keluar secara terpaksa dari tempat
asalnya selama 2-3 tahun dan ketika tempat asal tidak terjadi konflik maka pengungsi akan
kembali ke tempat asalnya. Sementara seseorang dikatakan diaspora ketika seseorang keluar dari
tempat asalnya, bekerja dan menetap selama 5-6 tahun atau lebih. Persamaan antara diaspora dan
pengungsi adalah mereka sama-sama memiliki kerinduan untuk kembali ke tanah air atau tempat
asal mereka. Kerinduan untuk pulang ke tanah air atau tempat asal karena mereka di tempat
rantau mengalami penindasan sehingga romantisme kehidupan di tanah leluhur menjadi suatu
kerinduan untuk dapat kembali ke tempat asal mereka.
Dalam kehidupan sebagai masyarakat diaspora ada sebuah kerinduan agar suatu saat
nanti dapat kembali ke tanah air atau tempat asal mereka. Tempat asal bagi masyarakat diaspora
merupakan komponen penting bagi rasa identitas diri mereka sebagai subjek. Dengan adanya
tempat, masyarakat dapat menemukan budaya. Oleh karena itu, tempat tidak dapat dipahami di
luar konteks budaya.19 Makna tempat dan ruang dikonseptualisasikan, sebagai ruang kebebasan
manusia untuk dapat melekat pada identitas satu dengan yang lainnya.20
Tempat asal itu berhubungan dengan tempat di mana seseorang dilahirkan. Tempat asal
juga sering digambarkan sebagai sebuah tempat di mana banyak memori tersimpan di
dalamnya.21 Tempat asal juga menawarkan berbagai kenangan dan keramahan hidup. Seperti
hidup dalam kondisi alam yang masih alami, suasana persahabatan antar tetangga yang masih
18
Wagiman, Hukum Pengungsi Internasional. 99.
Anastasia Christou, Narratives of Place, Culture and Identity (Amsterdam: 2006), 32.
20
Christou, Narratives of Place . 33.
21
Bell Hook, Belonging: A Culture of Place. (New York: Routledge, 2009), 5.
19
20
dipelihara dan sosialisasi dalam persekutuan sebagai masyarakat. 22 Tempat juga hanya dapat
dipahami dalam terang ras, asal ras dan semua itu menandakan seperti sesuatu yang lazim atau
sifat yang dominan.23 Gambaran mengenai tempat dapat didefinisikan melalui penggunaan
bahasa umum, simbol dan pengalaman.24 Keputusan untuk kembali ke tempat asal adalah suatu
cara agar seseorang tidak mengalami hubungan yang terputus dengan tempat asalnya, untuk tetap
terikat dengan budaya asalnya dan dengan bahasa yang digunakan di tempat asal. Sekalipun
seseorang telah pergi lama untuk merantau di suatu tempat namun ketika ia pulang kembali ke
tempat asal maka ia akan disambut oleh keluarganya. Kedatangan kembali ke tempat asal
menggambarkan bahwa seseorang kembali ke dalam cinta kasih keluarganya.25
2.2. Identitas Kultural
Istilah identitas yang dipakai oleh Richard Jenkins adalah ia mengambil definisi dari The
Oxford English Dictionary, di mana Bahasa Latin yang menjadi akar dari “Identity” adalah
“identitas”, yang terdiri dari idem, yang berarti “sama” atau “kesamaan” (the same) dan dua
makna dasar: (1) the sameness of object, as in A1 is identical to A2 but not to B1; (2) the
consistency or continuity over time that is the basis for esthabiling and grasping the definiteness
and distinctiveness of something. Jadi, tema utama yang dibahas oleh Jenkins “tentang Identitas”
– yang berasal dari definisi tersebut adalah “persamaan” dan “perbedaan”.
26
Secara harafiah
identitas adalah ciri-ciri, tanda-tanda, atau jati diri seseorang yang melekat pada sesuatu atau
seseorang yang membedakannya dengan yang lain, baik secara fisik maupun secara non-fisik.
22
Hook, Belonging: A Culture of Place…24
William W. Falk, Rooted in Place, (London: Rutgers University Press, 2004), 19.
24
Christou, Narratives of Place. 32.
25
Hook, Belonging: A Culture of Place. 24.
26
Richard Jenkins, Social Identity (London and New York: Routledge Taylor & Group, 2008), 17.
23
21
Sementara itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan bahwa identitas
sebagai ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang.27
Menurut Richard Jenkins, apapun identitas itu, dalam dirinya sendiri, dapat dipastikan
menyebabkan tindakan.28 Dalam hubungan yang telah dikemukakan oleh Jenkins ini tampaknya
ia mengandaikan identitas sebagai sebuah kategori, entah sebagai individual ataupun sosial, yang
menuntut seseorang untuk berperilaku sesuai dengan identitas yang ia miliki. Pada sisi lain
mungkin juga hubungan ini memahami identitas adalah peran yang dimainkan oleh seseorang
dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk memahami tentang identitas lebih mendalam lagi, maka perlu terlebih dahulu
menjelaskan apa yang dimaksud dengan identitas secara paling sederhana dan mendasar.
Menurut Richard Jenkins, identitas merupakan pemahaman akan siapa kita, dan siapa orang lain,
serta secara resiprokal, pemahaman orang lain akan diri mereka sendiri dan orang lain.
Sedangkan, identitas sosial adalah ciri-ciri atau keadaan khusus sekelompok masyarakat.
Identitas ini menunjukkan cara-cara di mana individu dan kolektivitas-kolektivitas dibedakan
dalam hubungan mereka dengan individu dan kolektivitas lain.29 Penekanan relasi antara
identitas individual dan identitas sosial menjadi semakin jelas ketika memperhatikan pendapat
Jenkins bahwa seluruh identitas manusia ditentukan oleh definisi identitas sosial.30
Dalam pemahaman Richard Jenkins, ia menyatakan bahwa identitas manusia selalu
merupakan identitas sosial karena selalu berkaitan dengan keberadaan orang lain yang ada
disekitar. Mengidentifikasi diri sendiri, atau mengidentifikasi orang lain, adalah persoalan
27
1.
Devi Riskianingrum, Studi Dinamika Identitas di Asia dan Eropa (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2014),
28
Jenkins, Social Identity. 5.
Jenkins, Social Identity. 18.
30
Jenkins, Social Identity. 4.
29
22
pemaknaan.
Selanjutnya,
pemaknaan
selalu
melibatkan
interaksi,
persetujuan
atau
ketidaksetujuan, perjanjian, inovasi, komunikasi, dan negosiasi.31
Terdapat dua perspektif yang berbeda dan sangat berpengaruh dalam pembahasan tentang
identitas, yaitu konsep Barth yang berlatar belakang antropologi sosial, dan konsep Tajfel yang
berlatar belakang psikologi sosial. Menurut Barth, bahwa identifikasi dan kolektifitas itu
dihasilkan atau muncul dari proses transaksi dan negosiasi individu dalam memenuhi
kepentingannya. Orang-orang melakukan sesuatu berdasarkan identitas mereka, khususnya
keanggotaan mereka dalam kelompok atau budaya tertentu, misalnya garis keturunan, klan, dan
suku.32 Pada pihak lain, Tafjel berpendapat bahwa keanggotaan kelompok adalah cukup dalam
dirinya sendiri untuk menghasilkan identifikasi dengan kelompok tersebut dan meneruskan
perilaku terhadap anggota kelompoknya untuk melawan yang bukan anggota kelompok. Hal ini
mengikuti pemahaman psikologi sosial yang menekankan persaingan yang realistis dan konflik
kepentingan sebagai dasar bagi kerja sama dan pembentukkan kelompok.33
Menarik untuk dilihat pemahaman identitas dalam masa postmodernis. Tokoh
postmodernis yang mengemukakan tentang identitas adalah Medan Sarup. Medan Sarup melihat
identitas dari aspek kesejarahan yang membentuk identitas. Dua model identitas menurut Sarup
yaitu: (1) dari sudut pandang tradisional, bahwa keseluruhan dinamika identitas seperti kelas,
gender, dan ras beroperasi secara smultan menghasilkan identitas yang utuh, kebersatuan dan
tetap; (2) sudut pandang terkini, bahwa identitas di fabrikasi, konstruksi, dalam proses, dan
karenanya harus dipertimbangkan aspek psikologi dan faktor psikologi.34
31
Jenkins, Social Identity. 17.
Jenkins, Social Identity. 7.
33
Richard Jenkins, Social Identity. 7.
34
Madan Sarup, Identity, Culture and The Postmodern World, (New York: The Univeersity of Georgia
Press, 1996), 14
32
23
Dalam buku karya Manuel Castells “The Power of Identity”, khususnya dalam sub bab
“The Construction of Identity. Castells mengungkapkan bahwa identitas adalah sumber makna
dan pengalaman orang.35 Proses konstruksi makna atas dasar atribut budaya, di mana
diprioritaskan di atas sumber-sumber pemaknaan yang lain. Akibatnya, kejamakan identitas
menjadi sumber tekanan dan kontradiksi baik dalam self-representation maupun social action.
Ini yang menyebabkan mengapa identitas harus dibangun, seperti yang umum disebutkan para
sosiolog, sebagai peran, dan seperangkat peran (role, and role-sets).36 Meskipun demikian,
Castells berpendapat bahwa identitas lebih dominan sebagai pemaknaan dari pada peran.
Identitas dikonstruksikan oleh aktor melalui sebuah proses yang disebut individuisasi
(individuation), terkait dengan identitas sebagai sumber makna bagi aktor itu sendiri.37 Atau
dalam pandangan Giddens identitas sebagai sebuah proyek.38 Dengan kata lain, aktor atau agen
tersebut tidak bisa dilepaskan dari struktur yang ada – yang diperkuat dengan pernyataan
Connoly terkait masyarakat jaringan dan struktur bahwa kehidupan politik identitas dalam
masyarakat modern tidak dapat lepas dari struktur politik global.
Lebih lanjut, Castells berpendapat bahwa identitas itu juga dapat berasal dari lembaga
yang dominan, hanya ketika dan jika aktor sosial menginternalisasi mereka, dan membangun
makna yang ada melalui proses internalisasi.39 Dalam masyarakat jaringan terdapat identitas
kolektif. Hal itu dapat dilihat bahwa dalam masyarakat jaringan pemaknaan individu melewati
ruang dan waktu – terpintal dalam suatu jaringan. Tanpa mengabaikan fakta bahwa identitas
kolektif tersebut – seperti dalam masyarakat jaringan – merupakan pintalan dari identitas
35
Manuel Castells, The Power of Identity, (London: Blackwell Publishing, 2010), 6.
Castells. The Power of Identity. 6
37
Castells. The Power of Identity. 7
38
Anthony Giddens, Modernity and Self Identity, (Cambridge: Polity Press, 1991), 75
39
Castells. The Power of Identity. 7
36
24
individu.40 Dengan kata lain, dilihat dari bentuknya identitas dapat dipilah menjadi dua yaitu
identitas individu dan identitas kolektif. Kemudian Castells setuju, berdasarkan fakta dan dalam
perspektif sosiologi, bahwa semua identitas adalah terkonstruksi (dikonstruksikan, dibentuk).
Konstruksi identitas menggunakan sejarah, letak geografis, biologi, institusi-institusi produktif
dan reproduktif, memori kolektif dan fantasi personal, serta dari kekuasaan aparatur-aparatur dan
wahyu agama.41 Terakhir, Castells merumuskan bangunan identitas berdasarkan bentuk dan asalusulnya menjadi tiga, yaitu: (1) Legitimizing identity, atau identitas yang sahih, seperti otoritas
(authority) dan dominasi; (2) Resistance identity, atau identitas perlawanan, sebagai bentuk
perlawanan atas dominasi, contohnya adalah politik identitas; (3) Project Identity, atau identitas
proyek, seperti feminisme – ketika aktor-aktor sosial dengan sumber daya kulturalnya
membangun sebuah identitas baru untuk mendapatkan kembali posisinya di masyarakat.42
Konsep identitas juga bersifat dinamis seperti yang diungkapkan oleh Anthony Giddens,
bahwa memahami identitas diri merupakan suatu keahlian bernarasi tentang diri dan
menceritakan perasaan yang konsisten tentang kontinyuitas biografi. Seperti cerita identitas yang
mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis: apa yang dikerjakan? Bagaimana melakukan?
Siapa yang menjadi? Seseorang berusaha mengkonstruksikan cerita identitas dengan saling
bertalian dimana diri seseorang membentuk lintasan suatu perkembangan dari pengalamanpengalaman di masa lalu menuju ke masa depan.43 Sementara itu, konstruksi identitas harus
dilihat sebagai konstruksi makna dan representasi terhadap dirinya sendiri maupun orang lain.
Identitas yang dikonstruksi oleh individu atau kelompok tertentu memiliki dampak positif dan
40
Castells. The Power of Identity. 7
Castells. The Power of Identity. 7
42
Castells. The Power of Identity. 8
43
Anthony Giddens, Modernity and Self-Identity (London: Cambridge Polity Press, 1991), 75.
41
25
negatif atas mereka yang menggunakannya.44 Identitas juga terkait dengan persoalan apa yang
dimiliki, atau tentang apa yang menjadi kebiasaan dan apa yang membedakan seorang individu
dengan individu lain, atau etnik yang satu dengan etnik yang lain.45
Letak perbedaan antara karya Castells dengan Burke dan Stets sebenarnya terletak pada
fokus kajiannya. Burke dan Stets memfokuskan kajiannya pada identitas personal, sedangkan
Castells merambatkan kajiannya pada identitas kolektif. Dari situ secara implisit memberikan
pemahaman bahwa seorang individu mempengaruhi masyarakat melalui tindakan individual.
Misalnya, membuat kelompok, organisasi, jaringan kerja, dan lembaga. Demikian juga
sebaliknya masyarakat mempengaruhi seorang individu melalui berbagi bahasa, makna, dan
struktur yang telah tersedia, sehingga memampukan seseorang untuk memainkan peran ketika
bertemu dengan orang lain, ikut serta dalam interaksi sosial, dan merefleksikan diri orang lain
sebagai objek. Hal ini sejalan dengan pemaknaan bahwa identitas sosial itu pada dasarnya adalah
pemahaman seseorang bahwa dirinya menjadi bagian dari sebuah kategori sosial atau kelompok.
Sebuah kelompok sosial adalah sejumlah individu yang berpegang pada identifikasi sosial yang
sama atau memandang diri mereka sebagai anggota dari sebuah kategori sosial.46 Kategori sosial
yang dimaksudkan adalah identitas dari masyarakat diaspora.
2.3. Simbol
2.3.1. Ritual
Menurut Van Gennep, ritus-ritus berkaitan dengan peralihan warga masyarakat atau
kelompok warga masyarakat ke dalam keadaan baru seperti misalnya, kehamilan, kelahiran,
44
Yance Z. Rumahuru, Ritual Ma‟atenu sebagai Media Konstruksi Identitas Komunitas Muslim Hatuhaha
di Pelauw Maluku Tengah, Program Studi Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana UGM. Vol.2 No. 1,
April 2012, 36-47.
45
Cris Weedon. Identity and Culture: Narative of Difference and Belonging, (UK: Open University Press,
2004).
46
Jan E. Stets and Peter J. Burke, Identity Theory and Social Identity Theory. (New York: Oxford
University Press, 2009), 8-9.
26
perkawinan dan pemakaman. Dalam masyarakat seperti itu peralihan status merupakan suatu
peralihan yang suci. Orang memasuki tahap baru dalam kehidupan masyarakatnya. Setiap
peralihan status diiringi dengan ritus untuk menghindari adanya sesuatu yang tidak diinginkan.
Dalam hal ini dipercayai bahwa orang akan diganggu oleh roh leluhur. 47 Peralihan dari satu
status ke status lainnya dilihat sebagai peristiwa ekstensial, karena ia diingatkan lagi pada
permulaan dan akhir yang memberikan kesempatan untuk merefleksi dan merenungkan lagi
kehidupannya. Eksistensial di sini menunjuk pada keberadaan manusia, menyangkut
pengalamannya yang paling mendasar.48
Van Gennep mencoba mengumpulkan pola-pola upacara yang mengiringi peralihan dari
satu situasi ke situasi lain, dan juga dari dunia kosmis yang satu ke dunia kosmis yang lain.
Peralihan itu diiringi dengan ritus peralihan (rites of passage). Ada tiga proses dalam ritus
peralihan yaitu pertama, ritus pemisahan (ritus separation); kedua, ritus transisi; ketiga, ritus
inkorporasi. Ritus pemisahan menonjol dalam upacara pemakaman, karena di sini manusia
benar-benar dipisahkan dengan orang yang meninggal. Dalam hal ini terjadi pemisahan dari satu
cara hidup ke cara hidup yang lain. Ritus inkorporasi menonjol dalam upacara perkawinan,
karena di sini peran suami dan istri sangat ditekankan: dua menjadi satu untuk membangun satu
keluarga baru. Sedangkan ritus-ritus peralihan menonjol dalam upacara-upacara yang mengiringi
kehamilan, kelahiran dan inisiasi. Di sini terasa adanya peralihan dari satu status ke status
lainnya, dari satu situasi sosial tertentu ke situasi sosial lainnya. Peralihan itu menyebabkan dia
diterima dalam masyarakat dan status sosial tertentu.49
Ritus pemisahan diartikan sebagai ritus yang diadakan sebagai tanda adanya pemisahan
dengan dunia sebelumnya. Subjek ritual dipisahkan dari dunia fenomenal yang ada, kemudian
47
Y.W. Wirtaya Winangun, Masyarakat Bebas Struktur, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 32
Wirtaya Winangun, Masyarakat Bebas Struktur… 32
49
Wirtaya Winangun, Masyarakat Bebas Struktur… 33
48
27
masuk ke dunia yang lain. Dalam hal ini kita bisa membedakan antara situasi yang satu dengan
situasi yang lain. Upacara itu sendiri mencerminkan adanya suatu keterpisahan itu. Nampaklah
keterpisahan yang nyata.50
Ritus liminal (ritus transisi) dialami sesudah ritus pemisahan. Dalam hal ini situasinya
menjadi ambigu. Maksudnya, situasi dialami sebagai “tidak di sini, dan tidak di sana”. Situasi
ambang pintu dialami sebagai situasi keterpisahan. Ditegaskan oleh Van Gennep bahwa upacara
liminal sendiri bukanlah upacara penyatuan, tetapi upacara-upacara persiapan untuk persatuan.
Untuk menjelaskan hal ini Van Gennep mengibaratkan dengan ambang pintu hanya merupakan
bagian dari pintu. Jadi, berada di ambang pintu berarti belum masuk kamar itu sendiri.
Menyebrangi ambang pintu itu berarti menyatukan dirinya dengan dunia baru. Hal ini nampak
dalam upacara perkawinan, pengangkatan anak, tahbisan dan pemakaman.51
Ritus inkorporasi berarti tindakan-tindakan yang mengiringi adanya penyatuan dari satu
status ke status lainnya. Dengan ritus inkorporasi subjek ritual menjadi manusia baru dalam
hidupnya. Akhirnya Van Gennep menyebut ritus separasi atau pemisahan sebagai ritus
preliminal, ritus selama dalam tahap transisi sebagai ritus liminal, dan ritus inkorporasi ke dalam
dunia baru sebagai ritus pascaliminal.52
Ritus-ritus pemakaman, dan praktik-praktik dukacita yang menyertainya, berpusat di
sekitar hasrat paradoksal ini baik untuk memelihara ikatan berhadapan dengan kematian maupun
dengan segera dan sama sekali memutuskan ikatan itu, dan menjamin dominasi kehendak untuk
hidup atas kecenderungan untuk berputus asa. Ritus-ritus kematian menjaga kelangsungan
kehidupan manusia dengan mencegah orang-orang yang berdukacita dari penghentian entah
dorongan untuk lari terpukul-panik dari keadaan itu atau sebaliknya, dorongan untuk mengikuti
50
Wirtaya Winangun, Masyarakat Bebas Struktur… 33-34
Wirtaya Winangun, Masyarakat Bebas Struktur… 34
52
Wirtaya Winangun, Masyarakat Bebas Struktur… 34
51
28
almarhum ke kubur.53 Itu berarti bahwa praktik-praktik ritus kematian sebagai ekspresi cinta
kasih keluarga terhadap orang yang meninggal dan untuk mencegah keluarga dari dorongan
perasaan untuk mengikuti orang yang meninggal ke kubur. Selain itu juga praktik ritus kematian
juga untuk menghindari agar keluarga terhindar dari roh-roh orang yang meninggal atau leluhur
jika tidak melaksanakan ritual tersebut.
Van Gennep berpendapat bahwa memperlakukan kematian sebagai salah satu dari
sejumlah krisis siklus hidup yang memerintahkan ketaatan ritual.54 Itu berarti ritual kematian
menjadi suatu hal yang harus diperhatikan agar keluarga yang mengalami dapat mempersiapakan
diri untuk berkabung dalam periode yang ditentukan. Kematian adalah suatu krisis yang sangat
penting. Kematian menimbulkan dalam diri orang yang berdukacita suatu tanggapan ganda cinta
dan segan, sebuah ambivalensi emosional yang sangat mendalam dari pesona dan ketakutan yang
mengancam baik dasar-dasar psikologis maupun sosial eksistensi manusia. Orang-orang yang
berdukacita ditarik ke arah almarhum oleh rasa kasih sayang kepadanya, disentakkan ke
belakang darinya oleh perubahan yang menakutkan yang ditimbulkan oleh kematian.
Dalam masa perkabungan, semua jenis kegiatan kehidupan secara sosial ditangguhkan
khusus untuk semua mereka yang terkena dampak itu. Waktu perkabungan ditentukan oleh
kedekatan dalam hubungan sosial (misalnya, untuk para janda, kerabat) dan juga mencakup
status sosial yang dimiliki oleh orang yang telah meninggal. Jika seorang yang meninggal
tersebut memiliki status sosial yang tinggi seperti pemimpin dalam masyarakat maka ia juga
mendapat perlakuan dalam hal masa perkabungan.55 Selain itu juga, dalam perlakuan terhadap
upacara pemakaman terhadap seorang yang meninggal juga memiliki perbedaan yaitu tergantung
53
Clifford Geertz, Agama dan Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 96
Milton Cohen, Death Ritual:Antropological, Jurnal Antropologi, 1
55
Van Gennep, The Rites of Passage, ( ), 146
54
29
pada jenis kelamin, usia, dan posisi sosial dari almarhum.56 Selama masa berkabung, para
pelayat merupakan kelompok yang khusus, yang berada diantara dunia hidup dan dunia orang
mati. Seberapa cepat mereka meninggalkan masa perkabungan tergantung pada kedekatan
hubungan dengan orang yang meninggal. Tampaknya yang termasuk dalam golongan janda dan
duda harus memiliki waktu yang lebih panjang dalam masa perkabungan. Mereka hanya dapat
meninggalkan masa perkabungan melalui ritual yang tepat.57
2.3.2. Simbol
Simbol merupakan kata yang mempunyai arti dan peran yang sangat penting dalam
kehidupan manusia. Signifikansi dalam pernyataan ini ditunjukkan oleh R.M. Maclver,
sebagaimana dikutip oleh Dillistone, yang mengatakan bahwa:
Kesatuan sebuah kelompok, seperti semua nilai budayanya, pasti diungkapkan dengan
memakai simbol… Simbol sekaligus merupakan sebuah pusat perhatian yang tertentu,
sebuah sarana komunikasi, dan landasan pemahaman bersama… Setiap komunikasi,
dengan bahasa atau sarana yang lain, menggunakan simbol-simbol. Masyarakat hampir
tidak mungkin ada tanpa simbol-simbol.58
Berdasarkan etimologinya, kata simbol berasal dari bahasa Yunani symbolon dari kata
symballo yang berarti menarik kesimpulan, memiliki arti dan atau memberi kesan. 59 Padanan
yang paling dekat dalam bahasa Latin adalah kata signum atau symbolium (tanda).60 Simbol dan
tanda dianggap sepadan karena masing-masing menunjuk pada sesuatu yang lain di luar dirinya.
Sekalipun begitu, ada beberapa ahli membedakan simbol dan tanda secara terminologis. Dua
diantaranya adalah Paul Tillich dan Victor Turner. Tillich dengan relatif ekstrim membedakan
56
Van Gennep, The Rites of Passage, 146
Van Gennep, The Rites of Passage, 147
58
R.M. Maclver, Society, (Macmillan, 1950), 340 dalam W. Dillistone, The Power of Symbols, Ibid., 15.
59
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: PT Gramedia, 2000), 1007.
60
Ibid. Ada beberapa kata yang memiliki hubungan dengan kata simbol dalam kerangka semiotika
(khususnya dalam semiotika arsitektur) yakni: ikon (icon) dan indeks (index, indice), Kedua kata ini diartikan: ikon
adalah tanda yang menyerupai objek yang diwakilinya atau menggunakan kesamaan cirri-ciri dengan apa yang
dimaksudkan. Sedangkan indeks merupakan sesuatu yang mempunyai hubungan menyatu dan bersebab akibat
antara signifier (pemberi tanda) dengan signified (pesan yang terkandung). Lih., Agus Dharma “Semiotika dalam
Arsitektur”, http://staffsite.gunadarma.ac.id/agus_dh/
57
30
kedua hal tersebut. Menurut Paul Tillich, simbol mirip dengan tanda-tanda dalam satu hal yang
menentukan. Simbol dan tanda-tanda juga dipakai untuk menunjuk sesuatu yang melampaui
dirinya sendiri. Seperti contoh lampu merah di sudut jalan bukan menunjuk pada diri lampu
tersebut tetapi menunjuk pada perlunya mobil berhenti.61 Dalam hal ini, simbol dan tanda
memiliki identitas - mereka menjadi penting di luar diri mereka sendiri.62 Perbedaan mendasar
dari tanda dan simbol menurut Paul Tillich, tanda tidak berpartisipasi dengan cara apapun dalam
realitas dan yang mana titik kekuatannya. Sedangkan simbol, meskipun mereka tidak sama
dengan simbol yang ditunjukkannya, namun simbol berpartisipasi dalam makna dan kekuatan.
Perbedaan antara simbol dan tanda adalah partisipasi dalam realitas yang dilambangkan,
karakteristik simbol, dan tidak berpartisipasi dalam menunjuk realitas yang mencirikan tanda.63
Misalnya, huruf-huruf alfabet karena mereka yang ditulis, "A" atau "R" tidak berpartisipasi
dalam suara mereka sendiri; di sisi lain, bendera berpartisipasi dalam kekuasaan raja atau negara
yang berdiri dan yang melambangkan.
Victor Turner mendefinisikan simbol sebagai “sesuatu yang dianggap, dengan
persetujuan bersama, sebagai sesuatu yang memberikan sifat alamiah atau mewakili atau
mengingatkan kembali dengan memiliki kualitas yang sama atau dengan membayangkan dalam
kenyataan dan pikiran.” Perbedaan yang cukup jelas terlihat adalah bahwa simbol itu
merangsang pikiran seseorang, sedang tanda tidak mempunyai sifat merangsang. Simbol
berpartisipasi dalam arti dan kekuatan yang disimbolkan, sedang tanda tidak berpartisipasi dalam
61
Fredik Barth dalam Michael Peterson, Philosophy of Religion, (New York: Oxford University Press,
1996), 358.
62
Peterson, Philosophy of Religion. 358.
63
Peterson, Philosophy of Religion. 358.
31
realitas yang ditandakan. Perbedaan lain yang menjadi ciri khas simbol adalah cenderung
multivokal (menunjuk pada banyak arti), sedang tanda univokal.64
Dalam pemahaman Victor Turner, simbol memiliki semacam kemiripan (baik itu bersifat
metaphor, maupun bersifat metonomia) antara hal yang ditandai dan maknanya, sedangkan
tanda-tanda tidak memiliki kemiripan seperti itu. Bagi Turner, tanda-tanda hampir selalu ditata
dalam sistem-sistem “tertutup”, sedangkan simbol-simbol (khususnya simbol yang dominan) dari
dirinya sendiri bersifat “terbuka” secara semantis. Makna simbol tidaklah sama sekali tetap.
Makna-makna baru dapat saja ditambahkan oleh kesepakatan kolektif pada wahana-wahana
simbolis yang lama. Lagi pula, menurut Turner, individu-individu dapat menambahkan makna
pribadi pada makna umum sebuah simbol.65
Menurut Turner simbol ritual dilihat dan dipahami sebagai manifestasi yang tampak dari
ritus. Melalui simbol-simbol orang dapat mengungkapkan dan mengalami sesuatu yang
transenden. Simbol ritual bagi Turner tidak hanya berperan sebagai istilah atau abstraksi saja,
tetapi harus dilihat juga sebagai sesuatu yang hidup, terlibat dalam proses hidup sosial, kultural
dan religius. Bagi Turner simbol ritual merupakan faktor dalam tindakan sosial, struktur dan sifat
adalah entitas dinamis. Simbol ini merupakan kekuatan yang independen dengan dirinya sendiri
adalah produk dari pasukan lawan banyak. Konsepsi dinamisme, menghasilkan tindakan, adalah
pusat dari analisis simbolis Turner. Simbol menarik tindakan, menghasilkan emosi yang kuat.66
Simbol mempunyai arti yang sangat penting dalam kehidupan manusia. manusia berpikir,
berperasaan, dan bersikap dengan ungkapan-ungkapan yang simbolis, bahkan tubuh manusia
64
Y.W. Wirtaya Winangun, Masyarakat Bebas Struktur: Liminalitas dan Komunitas Menurut Victor
Turner., 18-19.
65
Dillistone, The Power of Symbols. 114.
66
As Turner states, the ritual symbol is a factor in social action; its structure and properties are those of
dynamic entities. The symbol is an independent force with itself is the product of many opposed forces. This
conception of dynamism, of generating action is central to Turner’s symbolis analysis. Symbol entice action,
generate strong emotions. H. Barbara Boudewijnse, The Ritual studies of Victor Turner: An Antropological
Approach and It’s Psychological Impact, 6
32
dengan bagian-bagiannya dimuati oleh simbolisme kultural, seksual, moral dan sebagainya.67
Ernest Cassirer membangun penafsirannya terhadap kebudayaan di atas pengakuan bahwa
manusia adalah “animal symbolicum”. Hanya dengan menggunakan simbol-simbol, manusia
dapat mencapai potensi dan tujuan hidupnya yang tertinggi.68
Mengutip pemikiran Victor Turner, Rafael Raga Maran dalam bukunya yang berjudul
Manusia
dan
Kebudayaan,
menuliskan
bahwa
simbol
adalah
sesuatu
yang
dapat
mengekspresikan atau memberikan makna – sebuah salib atau patung Buddha, bendera dan
sebagainya. Banyak simbol berupa objek-objek fisik yang telah memperoleh makna kultural dan
dipergunakan untuk tujuan yang lebih bersifat simbolik dari pada tujuan instrumental. Sebuah
bendera misalnya, hanyalah sepotong kain berwarna namun dihormati dengan suatu upacara
yang khusuk dan bisa menbangkitkan rasa kebanggan, patriotisme, dan persaudaraan. Dalam
masa perang, bendera musuh bisa menimbulkan rasa benci atau amarah yang hebat. Simbolsimbol seperti bendera atau salib menampakkan kepercayaan, nila-naili dan norma-norma
kultural serta mengandung banyak arti.69
Di dalam kamus umum bahasa Indonesia susunan W.J.S. Poerwadaminta, simbol adalah
sesuatu seperti tanda: lukisan, perkataan dan sebagainya yang menyatakan sesuatu hal atau
mengandung maksud tertentu, misalnya warna putih sebagai lambang kesucian dan gambar padi
sebagai lambang kemakmuran.70 Dalam bukunya yang berjudul Sekitar Theologia Simbolisme
Sebagai Dasar Komunikasi Kristen, Robert R. Boehlke mendefinisikan simbol sebagai sebuah
kata, objek, barang atau benda, tindakan, peristiwa yang mewakili, menggambarkan,
mengisyaratkan, menandakan, atau menyampaikan sesuatu yang lebih besar, lebih tinggi, lebih
67
Anthony Synnott, Tubuh Sosial- Simbolisme, Diri dan Masyarakat (Yogyakarta: Jalasutra, 2007), 1.
Dillistone, The Power of Symbols. 10
69
Rafael Raga Maran, Manusia & Kebudayaan dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2007), 47.
70
Budi Herusatoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa, (Yogyakarta: PT Hanindita, 1984), 10-11.
68
33
luhur dari pada objek yang melambangkannya. Misalnya, cincin perkawinan. Cincin perkawinan
bukan sekedar tanda atau perhiasan tetapi menunjuk pada hal yang lebih luhur, yakni kehidupan
perkawinan. Simbol disinonimkan dengan kata lambang. Lambang dibuat oleh kecerdasan
intelek. Lambang mewakili suatu soal tertentu. Seni dan mitos juga berdasarkan pada lambang
yang memiliki sifatnya sendiri yang khas. Pengetahuan, bahasa, seni, dan mitos semuanya
mewakili fungsi-fungsinya sendiri, masing-masing membuat lambangnya sendiri. Lambang
membantu mempertahankan suatu arti dan memungkinkan arti itu digunakan jikalau manusia
menghendakinya.71
Di atas telah diberikan uraian singkat tentang pengertian simbol secara etimologis.
Namun adalah baik pula jika di sini diuraikan beberapa pengertian atau terminologi dari kata
tersebut menurut persepktif dari beberapa ahli untuk memperdalam pemahaman dan
memperkaya wawasan kita terhadap simbol. Beberapa tokoh yang akan diuraikan pandangannya
di sini adalah: A.N. Whitehead, Goethe, Coleridge, Arnold Toynbee, dan Erwin Goodenough.
A.N. Whitehead dalam bukunya Symbolism, sebagaimana yang dikutip oleh Dillistone,
mengungkapkan bahwa:
Pikiran manusia berfungsi secara simbolis apabila beberapa komponen pengalamannya
menggugah kesadaran, kepercayaan dan gambaran mengenai komponen-komponen lain
pengalamannya. Perangkat komponen yang terdahulu adalah “simbol” dan perangkat
komponen yang kemudian membentuk “makna” simbol. Keberfungsian organis yang
menyebabkan adanya peralihan dari simbol kepada makna itu disebut referensi.72
Berbeda dengan Whitehead, Goethe mengartikan bahwa “dalam simbolisme sejati, yang
khusus mengungkapkan yang universal bukan sebagai impian atau bayangan, melainkan sebagai
wahyu yang hidup, dari yang tidak dapat diduga.73 Singkatnya, bagi Goethe, simbol adalah
71
J. Van Baal, Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya, (Jakarta: PT Gramedia, 1988), 44-45.
Dillistone, The Power of Symbols. 18.
73
Dillistone, The Power of Symbols. 18.
72
34
sesuatu yang menggambarkan yang universal. Sedangkan Coleridge menandaskan bahwa sebuah
simbol sebenarnya berpartisipasi dalam realitas yang membuatnya dapat dimengerti.74
Pandangan Coleridge ini dipahami dalam pembahasan Dillistone sebagai “substansi”, yang mana
sebuah simbol dipahami jauh melebihi sebuah tanda lahir dan terlihat yang arbitrer untuk sebuah
konsepsi yang abstrak; nilanya yang tertinggi terletak dalam suatu substansi bersama dengan ide
yang disajikan.75
Dari sekian konsepsi tentang simbol yang bersifat mistis atau rohani di atas, Arnold
Toynbee memilih untuk melihat simbol dengan memfokuskan diri pada dunia intelek. Bagi
Toynbee, simbol dimaksudkan bukan untuk merepro objeknya, tetapi untuk meneranginya.76
Toynbee, sebagaimana dikutip oleh Dillistone, menyatakan:
Pengujian yang menunjukkan bahwa sebuah simbol berhasil atau gagal bukan karena
simbol merepro atau tidak merepro dengan setia objek yang ditunjuknya; pengujiannya
ialah apakah simbol itu memberikan terang atas objek itu atau mengaburkan pemahaman
kita tentangnya. Simbol yang efektif adalah simbol yang memberi terang, dan simbol
yang efektif merupakan bagian mutlak perlengakapan intelektual kita. Jika sebuah simbol
harus bekerja dengan efektif sebagai alat atau tindakan intelektual-artinya, sebagai
“model”- simbol itu harus disederhanakan dan dipertajam sehingga menjadi seperti
sesuatu yang mirip peta sketsa dari sebuah realitas yang hendak diwakili oleh simbol
sebagai pemandu.77
Pandangan Toynbee tentang simbol ini berbanding terbalik dengan pandangan Erwin
Goodenough. Goodenough mendefinisikan simbol sebagai “barang atau pola yang, apapun
sebabnya, bekerja pada manusia, dan berpengaruh pada manusia, melampaui pengakuan sematamata tentang apa yang disajikan secara harfiah dalam bentuk yang diberikan”. 78 Menurut
Goodenough, simbol mempunyai maknanya sendiri atau nilainya sendiri dan bersama dengan ini
74
Dillistone, The Power of Symbols. 18
Dillistone, The Power of Symbols. 19
76
Dillistone, The Power of Symbols. 19
77
Dillistone, The Power of Symbols. 19
78
Dillistone, The Power of Symbols. 19
75
35
simbol pun memiliki kekuatannya untuk menggerakkan kita,79 Singkatnya bagi Goodenough
referensi yang bersifat intelektual semata-mata tidak diterima, karena kekuatan simbol itu
bersifat emosif, yang merangsang orang untuk bertindak; dan perihal inilah yang dipandang
sebagai ciri hakikinya.80
Pada bagian sebelumnnya telah dijelaskan tentang pengertian simbol dan selanjutnya akan
dibahas mengenai fungsi simbol. Fungsi pertama yang tersirat dalam simbol adalah fungsi
perwakilan. Simbol merupakan sesuatu yang tidak berdiri sendiri, namun ada kekuatan dan
makna yang berpartisipasi didalamnya. Ini adalah fungsi dasar dari setiap simbol, dan oleh
karena itu, jika kata yang belum digunakan dalam banyak cara lainnya, salah satu bisa mungkin
bahkan menerjemahkan "simbolis" sebagai " perwakilan," tapi untuk beberapa alasan yang tidak
memungkinkan.81 Fungsi utama dari simbol yaitu pembukaan tingkat realitas yang dinyatakan
tersembunyi dan tidak dapat dipahami dengan cara yang lain.
82
Setiap simbol membuka tingkat
realitas non-simbolik yang berbicara tidak memadai. Contoh yang dipakai adalah fungsi seni
untuk membuka realitas seperti puisi, seni visual dan musik.
Kesimpulan
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masyarakat diaspora adalah masyarakat yang
berpindah dari suatu negara ke negara lain dengan tujuan mencari pekerjaan, menetap atau
paksaan. Ketika masyarakat diaspora itu berpindah mereka juga membawa identitas dari negera
asalnya, baik itu identitas secara pribadi maupun sosial. Dalam komunitas masyarakat diaspora
tersebut mereka tetap memelihara budaya dari negara asal mereka sebagai wujud mereka tetap
79
Dillistone, The Power of Symbols. 19
Dillistone, The Power of Symbols. 19
81
Peterson, Philosopy of Religion. 359.
82
Peterson, Philosopy of Religion. 359.
80
36
terhubung dengan negara asal mereka. Itu berarti bahwa masyarakat diaspora tetap menjaga
identitas kultural sekalipun mereka jauh dari negara asal mereka.
Dalam menjaga identitas kulutural masyarakat diaspora adalah dengan tetap
melaksanakan berbagai ritual baik itu di tempat diaspora maupun di tempat asal masyarakat
diaspora. Ritual-ritual itu dapat dilaksanakan baik ketika seseorang masyarakat diaspora selama
perjalananan kehidupan manusia maupun pada peristiwa kematian. Ritual yang dilaksanakan
pada waktu kematian dapat dilakukan oleh keluarga dari masyarakat diaspora. Dalam
pelaksanaan setiap ritual tentunya melibatkan simbol-simbol. Simbol akan tetap hidup jika ia
tetap digunakan dalam suatu ritual.
37
Download