2011 memo 6 sosiologi politik

advertisement
2011
SOSIOLOGI POLITIK
MEMO 6
Kelompok :
 Alma Karimah
 Annisa Meutia Ratri
 Muhammad Khairul Imam
 Raditia Wahyu Supriyanto
 Rahardhika Arista
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia
Depok - 2011
Review
Partsipasi Politik dalam Konteks Negara Berkembang1
Partisipasi politik yang menjadi pembahasan utama dalam ulasan ini merujuk pada tanda
dalam konteks political modernization. Sebelumnya, partisipasi politik hanya menyoroti
pengaruh elit politik terhadap kebijakan pemerintah. Namun dalam kerangka partisipasi
politik, aktivitas warga negara secara individu pun dapat mempengaruhi keputusan yang
dibuat oleh pemerintah. Pertanyaan mendasar mengenai mekanisme baru ini adalah
bagaimana mekanisme partisipasi politik ini dapat berjalan? Warga negara dapat aktif
dalam kegiatan politkk dengan berperilaku medukung, misalnya dengan memiliki
pemahaman dalam politik, berminat dengan politik. Selanjutnya berperan sesuai dengan
statusnya di masyarakat misalnya dengan mengetahui perannya sebagai pemilih dalam
pemilu untuk memberikan suaranya dalam bilik suara. Aktivitas partisipasi pada dasarnya
merupakan aktivitas yang bertujuan untuk mempengaruhi pemerintah. Ruang partisipasi
politik dapat disediakan oleh pihak lain dan warganegara dapat memanfaatkan berbagai
hal itu untuk mempengaruhi kebijakan negara. Sebagai contoh negara memberi ruang
partisipasi dengan pemilu, maka seharusnya kesempatan ini di pergunakan dengan
pemahaman dan perilaku politik yang tepat.
Huntington dan Nelson (1976:4) menyoroti lima hal penting mengenai partisipasi politik.
Pertama, partisipasi politik merupakan bentuk kegiatan dan bukan hanya sikap. Kedua,
kegiatan tersebut merupakan peran dari warganegara. Ketiga, partisipasi politik hanya
dibatasi pada bentuk aktifitas yang didesain untuk mempengaruhi keputusan pemerintah.
Keempat, segala aktifitas dengan tujuan mempengaruhi pemerintah adalah termasuk
partisipasi politik, baik yang memiliki dampak maupun yang tidak. Kelima, partisipasi
politik tidak hanya berlaku sebagai aktifitas yang didesain oleh aktor tertentu, namun
siapapun dapat mengadakannya untuk mempengaruhi pemerintah.
Partisipasi politik dimakanai secara berbeda pada masyarakat yang berbeda pula. Hal ini
disebabkan karena pada setiap masyarakat memiliki tujuan yang partikular. Setiap jenis
tujuan untuk mempengaruhi pemerintah juga memiliki biaya dan pertukaran yang
beragam levelnya dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. Berikut akan diulas
mengenai bagaimana dinamika partisipasi politik, khususnya pada masyarakat di negara
berkembang.
Partisipasi politik pada sebuah sistem politik sangat dipengaruhi oleh perilaku elit
politiknya dalam memandang partisipasi politik itu sendiri. Karena elit merupakan pihak
yang memainkan peran dalam membentuk dan menyusun struktur politik dalam sebuah
sistem politik yang berjalan. Pada masyarakat tradisional, partisipasi politik agaknya
kurang dihargai. Hal ini disebabkan karena memang pada sistem ini, belum disadari arti
pentingnya pembangunan dengan keikut sertaan masyarakat itu sendiri.
Dalam kondisinya, elit yang berusaha mempertahankan posisinya dalam struktur politik
akan berusaha mengurangi partisipasi politik. Pada sisi lain jalan paling sederhana dalam
membentuk keseimbangan kekuatan dalam sebuah sistem politik adalah dengan
memasukan aktor baru dalam sistem tersebut, dan hal ini dilakukan dengan model
partisipasi politik. Pada negara yang tengah mencapai kondisi perkembangan tertentu,
1
Diulas dari Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson. (1976). No Easy Choice: Political Participating
in Developing Countries. Cambridge: Harvard University Press.
akan dihadapkan pada pilihan untuk memilih antara “partisipasi politik” dan
“pertumbuhan ekonomi”. Pada negara yang berorientasi pertumbuhan ekonomi, akan
memilih untuk memperkecil nilai partisipasi demi mendapatkan stabilitas sebagai syarat
dalam pembangunan. Sementara negara yang memilih perkembangan sosio-politik maka
akan mementingkan aspek “partisipasi politik” meskipun yang demikian akan
mengorbankan stabilitas politik itu sendiri. Hal yang menjadi permasalahan adalah bahwa
terkadang mereka yang memiliki kemauan dalam memajukan partisipasi politik, ternyata
tidak memiliki kapasitas. Sementara mereka yang tidak tertarik akan aspek partisipasi
adalah ternyata mereka yang memiliki kapabilitas dan kemampuan dalam
merealisasikannya.
Hubungan diantara ketiga variabel ini sering kali dijelaskan dengan hipotesis berikut :
semakin tinggi tingkat socio-economy development, maka semakin tinggi tingkat
pertisipasi politiknya ; semakin tinggi kesetaraan sosio-ekonomi, maka semakin tinggi
tingkat partisipasinya. Hal ini dijelaskan dengan beberapa alasan, diantaranya terkait
dengan modernisasi, wilayah, dan status sosial ekonomi (SSE) dengan variabel-variabel
pembentuknya. Hipotesis lain menyatakan bahwa masyarakat modern cenderung lebih
tinggi tingkat partisipasinya daripada masyarakat tradisional. Hal ini dijelaskan dnegan
status sosial ekonomi suatu masyarakat, munculnya ketegangan-ketegangan antar
kelompok yang akhirnya menimbulkan group conciousness, banyaknya organisasi yang
bermunculan sebagai tanda modernisasi, dan peran pemerintah dalam masyarakat.
Namun demikian, di beberapa kasus dalam negara-negara tertentu, hipotesis-hipotesis ini
tidak berlaku. Misalnya, ternyata di Perancis, Turki, Jepang, dan Filipina, partisipasi
politik dalam hal voting oleh masyarakat rural lebih besar dari pada partisipasi voting
pada masyarakat perkotaan. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis-hipotesis ini tidak
bersifat universal, walaupun dalam banyak kasus, hipotesis-hipotesis ini lebih sering
terbukti.
Di dalam penjelasan mengenai partisipasi politik di negara berkembang, Hutington dan
Nelson menjelaskan secara rinci bahwa faktor pendidikan dan pendapatan atau
penghasilan seseorang memiliki kaitan yang paling erat dengan partisipasi politik.
Bahwa mereka yang berpendidikan lebih tinggi, berpenghasilan lebih besar dan
mempunyai status pekerjaan yang lebih tinggi biasanya lebih partisipatif dari pada
mereka yang miskin, tidak berpendidikan dan memiliki pekerjaan berstatus rendah. Pada
umumnya, penghasilan dan pendidikan seseorang sangat berkaitan erat dengan
partisipasi politik. Walaupun faktor-faktor tersebut mempunyai korelasi erat satu sama
lain tetapi studi-studi menunjukkan bahwa setiap faktor memiliki efek independen yang
berbeda-beda terhadap partisipasi politik.
Status mempengaruhi partisipasi politik karena individu yang memiliki status lebih tinggi
berkaitan dengan perasaan memiliki efektivitas dan kompetensi politik. Bila efektivitas
dan kompetensi ini tinggi maka kemungkinan untuk berpartisipasi akan lebih tinggi pula
dibandingkan dengan mereka yang memiliki perasaan tingkat efektivitas dan kompetensi
yang rendah. Dengan pendidikan yang tinggi maka individu juga akan merasa bahwa
adalah sebagai suatu kewajiban bagi mereka selaku warga negara untuk berpartisipasi
politik.
Download