SITUASI JUGA BERPERAN MENCIPTAKAN STABILITAS SOSIAL Oleh: GPB Suka Arjawa Posisi kedua pasangan kandidat gubernur Bali saat ini, mungkin paling pantas apabila dikatakan seimbang, sampai dengan diumumkannya realcount oleh KPU Bali tanggal 27 Mei mendatang. Namun demikian, posisi itulah yang membuat banyak pihak merasa khawatir. Penafsiran bisa muncul bermacam-macam. Misalnya, apakah akan terjadi konflik, ketidakpuasan, manipulasi suara, upaya penyuapan dan sebagainya. Lantas bagaimana makna keseimbangan suara tersebut bagi perkembangan sosial-politik Bali ke depan. Kekhawatiran-kekhawatiran masyarakat seperti ini wajar apabila dilihat sejarah politik Bali di masa lalu yang tidak terlalu bagus. Di awal dekade enampuluhan, ribuan masyarakat tewas dalam konflik politik G 30 S PKI. Setelah itu ada tekanantekanan di masa Orde Baru yang membuat ideologi seseorang tidak mampu diungkapkan secara bebas. Unjuk rasa terhadap golongan Tionghoa juga pernah terjadi di Bali. Ketika Megawati tahun 1999 kalah dalam perebutan presiden dengan Gus Dur, pohon-pohon di jalan utama Denpasar-Gilimanuk ditumbangkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab, berbagai bangunan publik di Denpasar dan Tabanan di hancurkan. Tidak boleh dilupakan juga, sanksi-sanksi sosial yang bebasis adat, sampai sekarang masih saja dirasakan keras. Ini memunculkan kekhawatiran bagi masyarakat yang suka mengkaitkaitkan dengan kondisi politik yang terjadi pada pilkada kali ini dengan masalah adat. Untuk meredam hal seperti itu, sudah seharusnyalah para elit di Bali, tidak hanya elit politik juga elit-elit yang lain mampu meredam hal ini agar tidak memunculkan ketegangan psikologis. Dalam tataran teori konflik, terutama chicken games, kondisi hasil pilkada ini justru memunculkan suasana yang kondusif. Artinya tidak akan terjadi konflik meskipun kondisinya menegangkan. Suasana tanpa konflik ini bisa terjadi karena kedua belah pihak mempunyai power dan sumber daya yang sama. Oleh beberapa lembaga survei, kedua kandidat masing-masing di klaim menang juga diklaim kalah, dengan margin yang sangat tipis. Margin kekalahan dan kemenangan di bawah dua atau satu persen oleh lembaga survei merupakan kondisi yang tidak bisa disimpulkan. Artinya lembaga itu tidak mampu memprediksi kemenangan atau kekalahan. Artinya untuk saat ini kondisinya imbang dan hanya KPU lah yang akan mampu menentukan pemenangnya berdasarkan perhitungan yang manual. Sumber daya yang dimiliki oleh kedua kandidat juga sama, yakni jutaan pemilih yang telah memilih masing-masing kendidat tersebut. Power pun demikian juga. Disini pemilih mempunyai power atau kekuatan sendiri untuk membela masing-masing kanidat, termasuk juga misalnya kalau terjadi bentrokan. Dalam teori chicken game, apabila terjadi konflik diantara dua pihak yang power dan sumber dayanya sama-kuat, hasil akhirnya akan sama-sama hancur atau sebaliknya samasama kuat. Jadi, pilihan rasional yang harus dilakukan oleh dua pihak yang sama-sama kuat ini adalah menghindari konflik. Justru seharusnya yang terjadi adalah bersalamsalaman, mengakui kekuatan masing-masing pihak. Melihat konteks sejarah sosial dan sejarah politik yang terjadi di Bali di masa lalu, maka wajib hasil pilkada yang terjadi saat ini disikapi dengan salam-salaman. Konflik antara dua pihak hanya akan menghancurkan tataran sosial saja. Sedangkan saling mengakui, apalagi mampu mengagumi kelebihan masing-masing pihak justru akan mampu membuat tatanan sosial itu menjadi positif. Orang Bali secara tradisional sangat percaya dengan apa yang disebut phalakarma. Dan tradisi itu masih hidup dan dipercaya sampai sekarang. Kalau dicoba ditanyakan pada masyarakat akar rumput, banyak yang menyebutkan bahwa orang-orang yang melakukan kerusuhan di masa lalu itu, kini posisinya telah nungkalik (terbalik) di masyarakat. Hukum kharmaphala ini kalau dikaitkan dengan posisi pilkada Bali saat ini akan sangat mampu mempengaruhi kondisi sosial yang membuat Bali kondusif. Dengan cara pandang inilah bisa dikatakan bahwa suasana sosial di Bali tetap akan aman-aman saja nanti. Hukum kharma itu mempunyai korelasi dengan chicken game, terutama manakala dikaitkan dengan kondisi sama kuat dari masing-masing kandidat. Siapa yang membuat keoonaran dari kondisi yang sama kuat ini, akan menuai kerugian sendiri. Suasana tegang terjadi karena beberapa kekhawatiran. Mungkin para akhli psikologi lah yang paling berhak menjawab soal ketegangan ini. Namun, suasana menegangkan juga sangat berkaitan dengan kondisi sosial dan struktural yang ada di masyarakat. Pemilihan gubernur merupakan tindakan politis karena gubernur menupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat di daerah. Tetapi pemilihan inipun amat berkaitan dengan partai politik dan kemampuan untuk menanam dan menarik pengaruh di masyarakat karena rakyat memilih secara langsung. Karena itu ketegangan-ketegangan ini sangat berkaitan dengan perjenjangan struktural. Pada tataran elit politik, terutama tokoh partai, ketegangan ini berkait dengan kegalauan mereka atas posisi partai politiknya di masyarakat. Menurunnya jumlah keterikatan masyarakat kepada partai politik akan membuat reputasi para elit partai itu menurun di kalangan birokrasi partainya. Menurunnya reputasi akan membuat kepercayaan kepada elit yang bersangkutan bisa juga ikut menurun. Hal ini pasti akan mempunyai pengaruh pada posisi, misal perannya sebagai anggota legislatif terusik atau jabatan dalam struktur partai akan goyang. Atau jangan-jangan kelak posisi sebagai pemegang kepada daerah tingkat II juga bisa goyang. Karena penggalangan massa pada partai politik berlangsung secara berjenjang, maka kegagalan pihak yang diatas akan menurun dalam bentuk kekecewaan kepada elit-elit yang berjenjang di bawah, sampai yang paling dasar. Pada tataran elit ekonomi, ketegangan ini berkait dengan ketakutan pada kebijakan politik dari gubernur. Meski gubernur merupakan perpanjangan pemerintah pusat di daerah, untuk seterusnya disampaikan kepada bupati sebagai pihak yang paling memahami kondisi akar rumput, tetapi seni dan strategi penyampaian pemerintah pusat itulah yang ikut mempengarui kebijakan di daerah tingkat II. Pelaku ekonomi bisa saja khawatir apabila misalnya orientasi kebijakan pusat itu ternyata tidak sesuai dengan platform apa yang terjadi di Bali sebelumnya. Atau justru pelaku ekonomi menginginkan kebijakan baru sesuai dengan keahliannya. Bisa saja misalnya pola pembangunan Bali tidak lagi diarahkan oleh pemerintah pusat pada titik berat pariwisata budaya tetapi lebih pada wisata konfrensi. Mereka yang mempunyai kepentingan pada masing-masing pihak ini dibuat tegang oleh adanya kondisi sama kuat dari masing-masing kandidat gubernur Bali. Selalu ada yang diuntungkan oleh munculnya pemimpin baru atau pemimpin lama di suatu wilayah karena masing-masing pemimpin mempunyai seni dan strategi tersendiri. Pada tingkat akar rumput, ketegangan yang dikhawatirkan adalah munculnya konflikonflik pada pendukung kandidat. Tetapi seperti yang telah diutarakan diatas, dalam situasi sama kuat seperti sekarang, teori chikens games memperlihatkan bukan konflik yang terjadi tetapi justru suasana yang kondusif. Mudah-mudahan suasana kondusif itu tercipta dengan praksis saling mengagumi power dan sumber daya masing-masing pihak sehingga menimbulkan suasana saling menghormati. Inilah yang diperlukan di Bali. Siapapun yang kelak terpilih menjadi gubernur, ia harus hati-hati membuat kebijakan karena kompetitornya mempunyai sumber daya dan kekuatan yang sama. Jadi, kedua pasangan gubernur ini kelak tidak usah saling ”bermusuhan”, karena saling diskusi, saling memberi masukan itu justru akan menciptakan Bali yang lebih aman dari sebelumnya. Jadi, jaga, kawal dan wujudkan kejujuran saat melakukan raelcount di KPU, gunakan saluran yang benar dalam melakukan gugatan apabila tidak puas. Jika ini bisa dipeliharan, Bali aman tidak perlu khawatir akan ada konflik akibat politik. **** Penulis adalah staf pengajar sosiologi, FISIP, Universitas Udayana