BAB V PENUTUP Pasar sebagai tempat (marketplace) dan pasar sebagai sistem, duaduanya menjadi arena bagi kepentingan elit ekonomi politik sepanjang masa sejak kelahirannya. Secara historis dan sosiologis, pasar-pasar sebagai tempat bertransaksi antara penjual dan pembeli baik dalam satu komunitas maupun di luar komunitas, tumbuh alamiah seiring dengan perkembangan masyarakat setempat, bukan dibentuk by-design. Para pembentuk komunitas pasar pada akhirnya bersepakat untuk menetapkan waktu dan tempat untuk melakukan transaksi tidak terbatas pada transaksi ekonomi jual-beli, tetapi juga transaksi dalam bentuk lain. Jika di awal mereka tidak terorganisir, namun seiring dengan perkembangan waktu dan jumlah peserta yang bergabung, mau tidak mau harus menjalankan semacam norma dan aturan yang terbentuk dan melembaga. Didukung oleh sistem sosial budaya di wilayah tersebut, termasuk masuknya sistem budaya lain karena adanya perkembangan sistem pertukaran, akhirnya menghasilkan bentuk komunitas pasar yang “unik”. Lahirlah pasar-pasar di Jawa misalnya, dalam bentuknya, pon, wage, kliwon, legi, dan pahing, secara bergiliran sesuai kesepakatan. Pasar merupakan wilayah publik, sehingga berbagai aturan diputuskan secara demokratis lokal. Fungsi pemerintah setempat lebih banyak untuk aspek ketertiban umum dan keamanan, sebagai timbal balik biasanya menyediakan layanan berupa tanah, pengelolaan bangunan, air, penerangan, sampah, dan lain-lain, agar pemerintah punya kas. Di era setelah terbentuknya negara, birokrasi pemerintahan memiliki kepentingan untuk mengembangkan masyarakatnya termasuk memungut pajak untuk membangun fasilitas umum. Pasar pada fase itu diposisikan sebagai by-design dengan tetap mempertahankan ciri-ciri aslinya, dan menempatkannya tetap pada wilayah publik dengan tetap menggunakan 123 pungutan retribusi bukan pajak. Berbagai kebijakan menyangkut pasar, dilakukan dalam rangka kepentingan negara untuk melindungi dan mengembangkan warga negara. Sebagai bangsa bekas jajahan, pada era Orde Baru, dan Orde sebelumnya berbagai kebijakan dan program digulirkan dan menempatkan negara sebagai pelaku aktif dalam ekonomi politik pembangunan. Dalam hal pengembangan sistem pasar dalam negeri, pemerintah/negara mengambil peran untuk melindungi sekaligus mengembangkan warga masyarakatnya menggunakan berbagai instrumen yang ada. Seperti diketahui, ada dua hal pokok dalam penentuan harga di pasar, pertama melalui “mekanisme negara” dan “mekanisme pasar”. Pilihan pada yang pertama pada era Orde Baru dan Orde Lama, mendorong pemerintah menempatkan produk-produk tertentu yang penting bagi rakyat (sembako), diletakkan dalam kerangka sistem pasar dengan “mekanisme negara” sebagai penggeraknya. Dalam era ini, sirkulasi barang di pasar diatur, ada BULOG untuk menstabilkan harga bahan pokok. Dalam hal pengembangan warga pasar, pemerintah membuat program-program, mulai dari pengembangan bangunan fisik (INPRES Pasar), pengembangan SDM, menata agar barang aman dikonsumsi, tepat ukuran, harga wajar, dan lainlain. Secara teoritis dalam era itu, masyarakat diharapkan dapat meningkatkan modal-modal yang mereka miliki untuk dapat berkembang, meningkat kesejahteraan (modal materi, modal pengetahuan, modal sosial) agar mereka maju seperti warga negara di negara-negara yang telah maju. Sayangnya, pada era ini gagasan peningkatan kesejahteraan melalui kebijakan negara tidak mewujud di antaranya yang terpenting karena elitisme dalam pengambilan kebijakan dan implementasinya. Dengan habitus dan berbekal pada modal sosial, modal budaya, modal ekonomi dan modal simbolik yang di miliki elit politik negara atau pemerintah, aktor-aktor elit tersebut melakukan berbagai strategi dan memanfaatkan lembaga-lembaga yang ada (birokrasi, partai politik, lembaga legislatif, asosiasi, dan lain-lain) 124 untuk melanggengkan kekuasaan, sehingga mereka mendominasi hampir semua aspek termasuk yang di pasar-pasar. Dominasi itu dalam penelitian ini ditunjukkan dengan elemen-elemen pengembangan pasar yang dalam istilah 5P yang ada di pasar, yaitu aspek sumberdaya manusia (People), Aspek pengembangan produk lokal (Product), Aspek stabilitas harga (Price), Aspek lokasi dan tempat (Place), dan aspek pemanfaatan ruang untuk promosi (Promotion/space). Berdasarkan elemen-elemen itu, elit pusat dan daerah dengan habitus dan potensi yang dimiliki tidak memberi kesempatan kepada rakyat untuk bisa meningkatkan akses terhadap 5P yang ada di pasar. Asosiasi-asosiasi seperti halnya asosiasi pedagang pasar, asosiasi pengelola pasar (asosiasi lurah pasar), asosiasi petani, asosiasi pengusaha, dan lain-lain, justru dimanfaatkan oleh elit politik untuk melanggengkan kekuasaannya, membagi-bagikan kekuasaan, atau menjadi sarana eksklusif untuk mengakumulasikan modal-modal yang telah dimiliki mereka. Koperasi pedagang pasar, yang sedianya menjadi pintu masuk bagi pedagang pasar untuk meningkatkan kemampuan dan daya tawar atas berbagai elemen di atas secara kolektif, justru menjadi gambaran atas habitus dan modus operandi elit penguasa dalam mendapatkan legitimasi atau mencari dukungan pada saat pemilu. Tekanan kekuatan ekonomi politik pasar global pada akhir 1990an, menyebabkan negara dipaksa menyesuaikan mengganti “mekanisme negara” sebagai dasar berfungsinya pasar-pasar (perdagangan dan konsumsi dalam negeri), dengan dengan “mekanisme pasar”. Peran negara menjadi hanya terbatas kepada hal-hal yang menyangkut aspek-aspek jaminan sosial, keamanan, hubungan luar negeri, dan agama. Pada era ini, pemain pasar tidak boleh diatur-atur, siapapun bebas melakukan usaha dagang di dalam maupun luar negeri. Menjamurlah aktor-aktor pemodal-pemodal besar dari luar negeri ke Indonesia dan muncullah isu “pasar modern” dan “pasar tradisional” pada era 2000an. 125 Seiring dengan itu, ada pergeseran sistem politik dari sentralistik menjadi desentralistik, ternyata tidak membawa banyak perubahan terhadap nasib pedagang di pasar-pasar. Pedagang secara individu maupun kolektif masih menjadi pihak yang tidak berdaya. Era desentralisasi yang diharapkan mampu mendorong perkembangan pasar rakyat dan produk-produk lokal ternyata tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Di era desentralisasi ini, kebijakan menyangkut pasar-pasar rakyat ternyata tetap hanya menjadi arena pertarungan dari elite-elite lokal yaitu penguasa, elite pengusaha dan elite politik di DPRD maupun elite-elite partai politik. Kebijakan pemerintah pusat tentang penataan dan pembinaan pasar tradisional, yang munculnya “terlambat” setelah berbagai ketidakpuasan muncul, hanya menjadi stempel legitimasi keterlanjurnan, bukan sebagai dasar perlindungan dan pengembangan warga pasar. Sementara aspirasi dan kondisi obyektif yang berkembang di masyarakat termasuk pedagang, tetap mengharapkan negara berperan aktif memberi perlindungan sekaligus membantu pengembangan. Aspirasi ini memang memiliki landasan yang kuat dalam konstitusi negara, yang “berhasil” diamandemen oleh elit politik pendukung “kekuatan pasar” pada tahun 2002. Pada era itu muncul pula istilah bahwa para pemimpin yang duduk atau akan duduk di pemerintahan harus diterima pasar (market friendly). Bagi masyarakat Bantul yang secara historis sosiologis memiliki orientasi ekonomi politik pada akar ideologi Nasionalis dan Islam membuat para elit mau tidak mau mencari jalan mengambil hati agar legitimasinya sebagai pemimpin dapat terpenuhi untuk tetap berada pada posisi yang dominan. Pasar sebagai salah satu tempat menggantungkan hidup bagi mayoritas penduduk menjadi sumber-sumber penting bagi basis legitimasi. Ada yang mirip antara habitus dan kepemilikan modal yang dimiliki oleh aktor-aktor pada era sentralistik dan era desentralistik. Dalam upaya mencari 126 dukungan politis, strategi elit politik lokal menggunakan langkah-langkah seperti era sebelumnya seperti revitalisasi pasar tradisional dengan memanfaatkan asosiasi-asosiasi termasuk kelembagaan dalam birokrasi. Posisi studi ini adalah untuk menguji tesis bahwa arena pasar tradisional berada pada arena subordinasi dan karena itu didominasi oleh elit ekonomi politik penguasa baik yang berasal dari “negara” maupun dari “swasta”. Elit politik, elit ekonomi, dan elit budaya, bekerjasama untuk senantiasa mendominasi arena pertarungan di pasar. Wacana kepedulian terhadap pasar tradisional dan program revitalisasi pasar menjadi instrumen dominasi yang cukup ampuh untuk memperoleh legitimasi dukungan dari berbagai pihak. Bersama dengan itu, penguasa juga memanfaatkan asosiasi pedagang pasar untuk memperlancar program-program pemerintah sekaligus untuk memberikan legitimasi bahwa penguasa memiliki kepedulian besar terhadap kemajuan pasar. Kampanye anti beroperasinya mall dan supermarket di Bantul ditambah dengan peraturan Bupati yang membatasi beroperasinya toko-toko modern seperti AM dan IM, makin menguatkan keyakinan rakyat dan karena itu dapat digunakan untuk modal bagi elit mendapatkan dukungan dari masyarakat termasuk pedagang. Berdasarkan uraian pada bab-bab terdahulu berikut berbagai argumentasi yang dibangun untuk menguji tesis penelitian ini, sebenarnya dapat memberikan kontribusi pemahaman baik kepada pengambil kebijakan pengembangan pasar tradisional baik pusat maupun daerah, maupun bagi masyarakat luas, yang selama ini menjadi obyek bagi penetrasi kepentingan elit ekonomi politik untuk mengejar dan melanggengkan kekuasaannya. Peran aktor ekonomi politik lokal maupun nasional dalam arena pengembangan sistem pasar seharusnya menyadari bahwa kepentingan mereka dalam jangka jangka panjang akan juga terpinggirkan jika mereka tidak berkolaborasi dengan masyarakat untuk menghadapi kepentingan kapitalisme global. 127