Partai Politik Alternatif dan Pemilu Hingga saat ini, kekuatan pemodal raksasa (kapital monopoli) dan negara-negara imperialis sebagai agen politiknya, melalui konsesi dengan berbagai faksi borjuasi dalam negeri yang berkuasa, tetap mendesakkan kebijakan neoliberalnya. Hasilnya adalah rezim oligarki yang korup dengan garis kebijakan neoliberal yang menghancurkan kehidupan rakyat. Sampai sekarang, rezim oligarki-neoliberal ini beroperasi tanpa ada kekuatan politik progresif yang menandinginya. Namun upaya pembangunan partai politik alternatif bukannya tidak pernah dilakukan sama sekali oleh gerakan rakyat. Sayangnya partai-partai politik alternatif yang dibangun oleh gerakan rakyat tersebut selalu mengalami kegagalan masuk ke arena politik formal. Akibatnya gerakan rakyat terus didesak ke dalam posisi defensif dan marjinal oleh rem oligarki-neoliberal. Pengalaman tersebut menunjukkan keberhasilan rezim oligarki-neoliberal untuk meredam upaya perlawanan dari gerakan rakyat. Jika dibandingkan dengan masa pemerintahan Orde Baru dan rezim pasca Orde Baru, ada perbedaan dalam upaya membungkam gerakan rakyat untuk tidak terlibat dalam arena elektoral. Di era otoritarianisme Soeharto, pembungkaman terhadap gerakan rakyat dilakukan melalui praktek kekerasan. Namun di masa kekuasaan oligarki-neoliberal saat ini, pembungkaman tersebut menggunakan kombinasi kekerasan dan aturan-aturan legal-formal yang memaksa rakyat untuk menyetujuinya. Walaupun menggunakan cara yang berbeda, namun pada prinsipnya kedua cara tersebut memiliki tujuan yang sama, yakni berupaya untuk menyingkirkan rakyat pekerja dari ruang demokrasi elektoral. Upaya untuk mempersulit rakyat terlibat dan berkompetisi dalam arena elektoral merupakan salah satu agenda dari kekuatan oligarki agar tetap dapat mendominasi demokrasi elektoral di Indonesia. Dominasi kekuatan oligarki dipertahankan melalui aturan legal-formal untuk membangun partai politik serta terlibat dalam pemilu. Hal ini yang membuat proses pemilu di Indonesia terbilang cukup rumit secara aturan administrasi. Untuk memperlancar hal tersebut bahkan negara yang dikuasai kekuatan oligarki ini beberapa kali membuat perubahan regulasi pemilu. Pada akhirnya aturan-aturan untuk turut terlibat dalam arena elektoral tersebut hanya bisa dipenuhi oleh partai-partai borjuis. Untuk mengikuti pemilu, partai politik harus sudah terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) sesuai dengan UU No 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Sementara dalam UU tersebut, ada beberapa syarat agar partai politik dapat didaftarkan ke Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), yaitu partai politik harus didirikan oleh setidaknya 30 orang WNI yang telah berusia 21 tahun atau sudah menikah dari setiap provinsi. Artinya, jika saat ini terdapat 34 provinsi di Indonesia maka diperlukan minimal 1.020 orang pendiri partai politik yang tersebar secara merata di seluruh provinsi. Syarat ini lebih berat jika dibandingkan dengan UU Partai Politik sebelumnya, yang hanya memerlukan 50 WNI dan sudah berusia 21 tahun sebagai pendiri partai politik. Sementara syarat lainnya dalam UU No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik adalah setiap partai politik yang hendak didaftarkan tersebut harus sudah memiliki kepengurusan di 100% provinsi, 75% kabupaten/kota di tiap provinsi serta 50% kecamatan dari kabupaten/kota yang bersangkutan. Aturan ini lebih juga lebih berat jika dibandingkan UU sebelumnya yang hanya mensyaratkan kepengurusan di 60% provinsi, 50% kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan serta 25% kecamatan dari kabupaten/kota yang bersangkutan. Untuk memenuhi seluruh syarat yang dicantumkan dalam UU tersebut tentunya membutuhkan sumber daya dan biaya yang sangat besar. Sekali lagi, hanya partai-partai politik borjuis yang memiliki modal yang besarlah yang mampu memenuhi syarat-syarat administrasi pembentukan partai politik tersebut. Namun di sisi lain, seluruh aturan legal-formal pembentukan partai politik ini tidak boleh menyurutkan upaya dari gerakan rakyat untuk membangun partai politik alternatif. Karena hanya dengan membangun partai politik alternatiflah maka dominasi kekuatan oligarki di negeri ini dapat dilawan. Persyaratan di atas hanya berlaku bagi pembangunan partai politik baru. Jalan lain untuk terlibat dalam arena politik elektoral adalah menggunakan taktik mengakuisisi partai politik yang sudah berbadan hukum. Hingga tahun 2016 ini, sudah ada 73 partai politik yang sudah berbadan hukum dan terdaftar di Kemenkumham. Tidak semua partai politik yang terdaftar tersebut akan ikut dalam arena politik elektoral, khususnya di dalam Pemilu 2019. Untuk menentukan partai politik yang akan menjadi peserta Pemilu, partai-partai politik tersebut harus menjalani verifikasi terlebih dahulu yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Persyaratan dalam verifikasi partai politik yang dilakukan oleh KPU ini kurang lebih sama dengan persyaratan untuk pembentukan partai politik baru. Menurut peneliti Pusat Kajian Politik UI (Puskapol UI) Dirga Ardiansa, peluang bagi gerakan rakyat untuk terlibat dalam arena politik elektoral masih belum tertutup rapat. Mengingat waktu yang sangat sempit dalam upaya membangun partai politik alternatif, menurutnya cara yang paling mudah bagi gerakan rakyat untuk terlibat dalam arena politik elektoral adalah dengan mengakuisisi partai politik yang telah terdaftar di Kemenkumham. Namun selain pemenuhan kelengkapan administrasi tersebut, Dirga juga mengingatkan pentingnya eksistensi partai politik yang dibangun oleh gerakan rakyat. “Tapi yang penting adalah eksistensi sebagai partai agar setiap kebijakan bisa direspon dan membangun struktur di wilayah,” ujarnya. Pembangunan partai politik alternatif tentunya akan sangat identik dengan Pemilu. Menjelang Pemilu 2019, geliat membangun partai politik alternatif juga mulai terlihat dilakukan oleh beberapa kelompok gerakan rakyat. Untuk menerabas aturan yang mempersulit gerakan rakyat membangun partai politik alternatif tentunya dibutuhkan persatuan dari seluruh gerakan rakyat yang sepakat dan memiliki agenda pembangunan partai politik alternatif. Hal ini juga merupakan salah satu jalan untuk menkonsolidasikan kembali gerakan rakyat yang terpecah-pecah. Persatuan atau unifikasi antar gerakan rakyat untuk membangun partai politik alternatif menjadi agenda yang terpenting dalam menghadapi Pemilu 2019. “Idealnya partai politik harus dibangun dan dikontrol oleh persatuan organisasi-organisasi rakyat,” kata Koordinator Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO) KPRI Sapei Rusin Partai politik alternatif juga harus punya kemampuan bertahan selama mungkin, bukan hanya untuk menang atau mendapatkan kuantitas suara sebanyak mungkin, tetapi justru bagaimana caranya memastikan kekuatan itu terakumulasi secara bertahap. “Kuncinya adalah partai politik alternatif memang harus hadir lewat konteks persatuannya, agregasi kepentingannya harus sama. Bisa dibilang, problem riil untuk menghadirkan parpol alternatif adalah problem untuk selesai dengan figur, dia harus mulai dari proses mencari tahu kebutuhan dan kepentingan kelompok marjinal,” kata Dirga. Selain persatuan atau unifikasi gerakan rakyat untuk membangun partai politik alternatif, hal yang juga penting dilakukan adalah memperluas pengetahuan organisasi gerakan rakyat mengenai politik elektoral. Harus diakui bahwa saat ini pengetahuan organisasi gerakan rakyat mengenai politik elektoral masih sangat rendah. Pengetahuan tersebut tidak merata di seluruh anggota dan hanya berada di tingkat pimpinan-pimpinan organisasi. Maka tidak aneh, biasanya gerakan rakyat hanya bicara pemilu pada saat menjelang Pemilu. Hal ini sebenarnya menunjukkan bahwa politik elektoral tidak dipersiapkan dengan baik. Persoalan ini pada akhirnya juga menyebabkan apatisme rakyat pada persoalan politik. Bahkan tidak sedikit organisasi-organisasi gerakan rakyat yang masih anti terhadap pembangunan partai politik alternatif serta masih sangat apolitis. Menurut Sekretaris Jenderal Partai Hijau Indonesia (PHI) John Muhammad, persepsi politik di tengah masyarakat masih sangat buruk dan harus segera diatasi. “Jangan sampai apastisme itu membuat kerja-kerja kita semakin berat,” katanya. Untuk itu, ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk mengatasi permasalahan apatisme masyarakat. Pemaknaan ulang terhadap politik, partisipasi politik, pemilu dan partai politik harus dilakukan di tingkat basis-basis organisasi gerakan rakyat. Pada dasarnya politik itu sendiri merupakan cara merebut sumber daya, bukan hanya untuk mempertahankan sumber daya. Untuk itu, dibutuhkan partisipasi politik dari seluruh rakyat. Partisipasi politik sendiri merupakan upaya melibatkan air pada perebutan sumber daya. Maka partisipasi politik jangan hanya dimaknai sebagai ikut pemilu saja, namun partisipasi politik merupakan segala aktivitas masyarakat dalam merebut sumber daya. Pemilu itu sendiri harus dimaknai bukan hanya sebatas suksesi dari A ke B, namun harus dimaknai sebagai momentum strategis untuk agregasi dan pemetaaan kebutuhan. Untuk itu, dibutuhkan partai politik guna menjalankan seluruh aktivitas politik tersebut. Selain pemaknaan ulang terhadap berbagai istilah politik tersebut, Sapei Rusin juga menekankan pentingnya mempropagandakan ideologi dan program yang bersumber dari cita-cita kemerdekaan Indonesia, yakni Sosialisme Indonesia. Menurutnya, ideologi dan program dari sosialisme Indonesia tersebut bertujuan untuk merombak tatanan politik, ekonomi dan sosial budaya yang melanggengkan penjajahan pemilik modal atas rakya pekerja dalam berbagai aspek. Sementara menurut dosen Ilmu Politik FISIP UI Irwansyah, apapun ideologi dan program yang mengatasi pesimisme itu, harus mampu mengubah tatanan sistem hubungan kekuasaan di masyarakat. Menurutnya, ideologi dan program itu juga harus menjelaskan secara sederhana kondisi sosial tersebut ke masyarakat dan mengubah sistem itu. “Ketimpangan dari keadilan sosial harus berubah, persentase orang yang menikmati kesejahteraan harus berubah. Cara membagikan kesejahteraan juga harus berubah,” jelasnya. Ia juga menekankan pentingnya untuk menjelaskan ke masyarakat bahwa keadilan sosial bukanlah takdir, namun sesuatu yang bisa berubah dari kekuasaan-kekuasaan yang terjadi di masyarakat. “Itulah ideologi yang diperjuangkan. Program-programnya adalah tindakan-tindakan yang memungkinkan yang lemah menjadi kuat ke depannya. Sesuai slogan KPRI, itulah visi masyarakat, adil, setara dan sejahtera,” sambungnya. Dalam waktu dekat terkait Pemilu, Dirga menyarankan agar gerakan rakyat juga mulai terlibat dalam mempengaruhi atau mengubah kebijakan pembangunan partai politik di Indonesia. Menurutnya respon dari gerakan rakyat terhadap seluruh upaya penutupan ruang politik bagi munculnya partai politik baru atau terlibat dalam arena politik elektoral. Saat ini penutupan ruang politik tersebut sedang diupayakan melalui RUU Pemilu yang sedang dibahas. Untuk itu, tambahnya, penting bagi gerakan rakyat untuk mempengaruhi atau mengubah ruang pendirian partai politik dan juga ruang kontestasi kepesertaan pemilu. “Itu prasyarat, kalau tidak ya pasti tidak akan punya daya tahan untuk hidup kalau tidak mempengaruhi ruang untuk berdirinya parpol. Syarat kepesertaan pemilu juga harus berubah, karena yang mampu untuk berkontestasi adalah oligarki yang mempunyai modal cukup besar karena syarat UU Pemilu dan Parpol itu sangat material, dalam arti ada sekretariat kepengurusan. Itu kan sangat memberatkan untuk level kekuatan jaringan akar rumput yang mengelola dengan swadaya,” papar Dirga.