1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam dan kaum muslimin punya peranan penting dalam perjalanan bangsa Indonesia. Datang sejak abad pertama hijriah Islam memberikan inspirasi yang besar dalam mengantar bangsa ini menjadi Indonesia. Dimana saja lahan dakwah terbuka, kaum muslim selalu berkiprah dengan maksimal dan optimal. Tak terkecuali dalam lahan partai politik, sejak mula Indonesia berdiri umat Islam Indonesia telah turut berperan dalam percaturan politik nasional. Peran umat Islam dalam kancah politik telah mempunyai konstribusi tersendiri. Pada tahun 1920 sebuah organisasi yang merangkumi berbagai gerakan Islam berdiri dengan nama Partai Sarikat Islam ( PSI ) gabungan dari berbagai organisasi–organisasi Islam seperti Muhammadiyah, Persatuan Islam dan organisasi Islam lainnya. Pembentukan partai politik Islam Masyumi pada masa kemerdekaan Indoneia telah dirintis oleh umat Islam Indonesia sejak masa penjajahan Belanda, masa pendudukan Jepang. Pada masa penjajahan Belanda umat Islam dan juga golongan–golongan lain merasakan ketidakadilan dari praktik kekuasaan pemerintah kolonial Belanda terhadap bangsa Indonesia di bumi Indonesia sendiri. Pada masa pendudukan Jepang kekuatan umat Islam masih terpecahpecah menjadi beberapa gerakan dan organisasi. Beberapa pemimpin Islam mengambil inisiatif untuk membentuk wadah yang dapat mempersatukan 1 2 kekuatan dan aspirasi umat Islam, oleh karena itu dibentuk MIAI. Berdirinya satu organisasi Islam, yaitu Majelis Islam A’laa Indonesia ( MIAI ) persatuan dalam MIAI dipandang dapat menjawab tantangan keadaan waktu itu. MIAI merupakan Dewan Islam Indonesia tertinggi yang didirikan di Surabaya pada tanggal 21 September 1937, atas usaha K.H. Abdul Wahab, K.H. Ahmad Dahlan, dan W. Wondoamiseno1. Terbentuk sebagai hasil konggres-konggres Al – Islam yang berlangsung sejak tahun 19212. Organisasi ini adalah suatu permusyawaratan, suatu badan perwakilan yang terdiri dari wakil-wakil atau utusan dari beberapa perhimpunan-perhimpunan yang berdasarkan agama Islam di seluruh Indonesia. MIAI sebagai organisasi Islam, dalam perkembangannya mendapatkan simpati luar biasa dari kalangan umatnya. Hal ini mengakibatkan pihak Jepang waspada terhadap pertumbuhan organisasi tersebut yang semakin pesat dan besar. Pada bulan Oktober 1943, akhirnya MIAI dibubarkan karena MIAI bagi Jepang masih kurang memuaskan karena tidak memenuhi harapannya yaitu memegang kontrol terhadap ulama ditolak. Pembubaran MIAI diikuti dengan terbentuknya organisasi baru bernama Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau Masyumi yang diberi status hukum langsung pada hari didirikannya, yaitu tanggal 22 November 1943,3 merupakan kemenangan politik Jepang terhadap Islam di Indonesia. Jepang berhasil menghapuskan bayangan federasi anti kolonial. Masyumi merupakan sebuah badan federatif perjuangan umat Islam Indonesia yang beranggotakan semua Organisasi Umat Islam di Indonesia dibawah pimpinan K.H. Hasyim 1 H.Aboebakar, 1957, Sejarah Hidup K.H.A.Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, Jakarta: Panitia Peringatan Almarhum K.H.A.Wahid Hasyim, halaman 311. 2 3 H.Aboebakar, Ibid., halaman 309. George Mc.Turnan Kahin, 1997, Nasionalime dan Revolusi di Indonesia, Surakarta: Sebelas Maret University Press dan Pustaka Sinar Harapan, halaman 139-141. 3 Asy’ari, sejak saat itu Masyumi memegang peranan aktif dalam menggerakkan rakyat untuk melawan kaum penjajah4. Masyumi adalah gabungan dari 4 perkumpulan besar yang bernafaskan Islam yakni; Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, Perserikatan Umat Islam dan Persatuan Ummat Islam Indonesia. Kegiatan semua partai tersebut diatas kemudian menjadi landasan untuk terbentuknya pola sistem Multi partai di Zaman Merdeka. Masyumi menjadi wahana bagi partisipasi muslim. Tindakan ini telah meletakkan dasar untuk kegiatan politik Islam yang akan diselenggarakan bersama-sama yang nanti akan menjadi suatu kekuatan politik utama selama Revolusi kemerdekaan, dan menjadikan pemimpin mereka bagian dari elite Indonesia, sangat bertentangan dengan polis kolonial Belanda. Masyumi umumnya tidak berbeda dengan kegiatan organisasi pendahulunya MIAI, seperti mengadakan kegiatan sosial untuk menolong fakir miskin dan pengumpulan dana, dan kegiatan dakwah dan pengembangan hidup beragama, ceramah-ceramah keagamaan, penerbitan majalah Soeara Moeslimin Indonesia5. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Soekarno atas nama bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Proklamasi itu merupakan perwujudan formal dari salah satu gerakan revolusi Indonesia untuk menyatakan baik kepada diri sendiri maupun kepada dunia luar, bahwa mulai saat 4 M.Rusli Karim, 1983, Perjalanan Partai Politik di Indonesia, sebuah potret pasang surut,Jakarta: Rajawali, halaman 70. 5 M.Ali Haidar, 1994, Nahdatul Ulama dan di Indonesia, Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama , halaman 102. 4 itu nasib tanah air di dalam tangan bangsa sendiri, yaitu mendirikan Negara termasuk di dalamnya adalah menentukan Tata Negara6. Salah satu esensi dari munculnya Negara baru adalah adanya suatu pemerintahan. Langkah pertama yang dilakukan para pemimpin nasional adalah melembagakan Negara. Pada tanggal 18 Agustus 1945 PPKI mengadakan sidangnya yang kemudian berhasil memilih Soekarno sebagai Presiden dan Moh. Hatta wakilnya. Dalam masa revolusi fisik sampai tercapainya kemerdekaan, partai–partai politik yang ada semakin memperoleh ruang dalam pemerintahan. Ini semakin dikokohkan dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 3 November 1945 tentang anjuran pembentukan partai – partai politik. Partai–partai tersebut digunakan sebagai sarana perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan masyarakat. Partai politik memainkan peran sentral dalam kehidupan politik dan proses pemerintahan. Maklumat yang menghapuskan sistem satu partai nasional dan melalui maklumat itulah lahir banyak partai politik yang mewakili berbagai aliran ideologi politik yang tumbuh berkembang di tengah masyarakat7. Beberapa hari setelah maklumat wakil presiden itu dikeluarkan partai–partai lama maupun baru bermunculan. Salah satu perkembangan di dalam kehidupan politik setelah berdirinya Negara Republik Indonesia, ialah kebijaksanaan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah 3 November 1945 tentang anjuran pembentukan partai–partai politik. 6 Joenrato, 1986, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, halaman 2. 7 Samsuri, 2004, Politik Islam Anti Komunis pergumulan Masyumi dan PKI di Arena Demokrasi Liberal, Yogyakarta: Safiria Insani Press dan Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia, halaman 2. 5 Maklumat Pemerintah ini mendapat tanggapan yang hangat dengan kemunculan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI) dipimpin oleh dr. Sukiman Wirdjosandjoyo. Dengan adanya ketentuan tersebut, hal itu membawa perubahan pula bagi Masyumi yang telah dibentuk pada masa Jepang. Berbeda dengan Masyumi buatan Jepang yang semula merupakan federasi dari organisasi Islam yang ada, demi menjaga kedudukan Jepang di Indonesia, akhirnya berubah menjadi partai politik pada tanggal 7 – 8 November 19458 melalui kongges umat Islam di Yogyakarta. Pembentukan Masyumi sebagai hasil kongges di Yogyakarta dimotivasi oleh keinginan untuk menjadikan Masyumi sebagai partai politik tunggal Islam yang dapat menyalurkan aspirasi politik umat, sebagai cerminan potensi mereka yang sangat besar dan kongkrit. Menurut pengamatan pada masa itu, suatu masa kongkrit tanpa pimpinan partai politik yang berasaskan Islam akan mudah jatuh ke tangan mereka yang sudah sejak semula menentang implementasi syari’ah dalam kehidupan bernegara pada pasca kemerdekaan Indonesia9. Munculnya Masyumi pada tahun 1945 dapat pula dipandang sebagai jawaban positif umat terhadap manifesto politik Wakil Presiden Hatta tertanggal 3 November 1945 yang mendorong pembentukan partai–partai, seperti halnya MIAI atau Masyumi “ buatan jepang “ maka masyumi bentukan kongres Yogyakarta ini mendapat dukungan yang luar biasa dari para ulama modernis dan tradisional disamping dari pemimpin umat non ulama Jawa – Madura. 8 9 Samsuri, Ibid., halaman 2. Ahmad Syafii Maarif, 1985, Studi tentang Percaturan dalam Konstituante Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, halaman 111. 6 Masyumi lahir sebagai partai politik ketika Indonesia berada pada masa revolusi. Pada masa ini dituntut perjuangan dalam dua hal bidang, yakni pertempuran bersenjata, khususnya dalam berhadapan dengan Belanda dan Jepang. Kedua perjuangan politik, partai Masyumi adalah merupakan partai politik terbesar masa demokrasi liberal. Partai politik merupakan alat yang ampuh bagi manusia dalam mencapai tujuan politiknya. Perkembangan partai telah menampakan sejarahnya dalam kurun waktu dan tempat tertentu, tergantung kebudayaan yang dianut oleh suatu masyarakat. Sejalan dengan diterapkannya system pemerintahan parlementer di tahun 1950, partai politik menjadi sangat dominan dalam periode tersebut. Periode ini dapat disebut sebagai satu–satunya masa yang mendukung bagi tumbuh dan berkembangnya partai politik. Pada masa ini pula terlihat berbagai gejolak politik terutama dikabinet dan parlemen. Panggung politik Indonesia menjadi semakin dikuasai oleh ketegangan antara tiga golongan terkemuka diantaranya adalah golongan Nasionalis , Organisasi Islam, dan golongan Komunis. Masa Demokrasi Liberal diwarnai banyaknya partai politik dan semakin meningkatnya pertentangan pendapat atau ideologi tersebut, menjadikan demokrasi liberal sebagai suatu sistem yang jauh dari stabil 10. Dinamika politik selama masa demokrasi Liberal terlihat dari jumlah pergantian kabinet yang demikian cepat dari kabinet satu ke kabinet yang lain. Keadaan yang demikian banyak menimbulkan masalah baik dibidang sosial, ekonomi, politik dan militer. Pada masa demokrasi liberal ini dua partai besar yakni masyumi dan PNI secara silih berganti memegang peranan yang penting baik didalam pemerintahan. 10 Alfian, 1981, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia Kumpulan Karangan, Jakarta: PT. Gramedia, halaman 4. 7 Kurun waktu antara tahun 1949 hingga 1950 dapat disebut sebagai suatu periode yang relative memiliki persatuan dalam perjuangan. Tujuan utama setiap orang, juga bagi kalangan Islam adalah membela kemerdekaan dan kebebasan menghadapi musuh bersama dari luar. Masyumi bertujuan untuk menegakkan kedaulatan Republik Indonesia dan Agama Islam, dan melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan. Pengertian tersebut merupakan suatu keinginan untuk dapat mewujudkan susunan Negara yang berdasarkan keadilan menurut ajaran–ajaran Islam. Oleh karenanya, dalam mewujudkan masyarakat dan Negara Islam tersebut perlu memperkuat dan menyempurnakan asas-asas pada undang – undang dasar, yaitu Pancasila Rencana untuk mengadakan pemilihan umum nasional diumumkan pada tanggal 5 Oktober 1945. badan pekerja KNIP menyetujui undang-undang yang menetapkan sistem pemilihan umum tidak langsung berdasarkan perwakilan proporsional dan memberikan hak pilih kepada semua warga Negara yang berusia 18 tahun11. Kabinet Burhanudin Harahap berhasil menjalankan pemilu yang telah direncanakan pada tahun 1946. Pemilihan Umum kedua yang berlangsung pada bulan September dan Desember 1955 ini sangat menarik perhatian12. Hal ini dikarenakan pemilu 1955 merupakan konsensus tertinggi yang pertama kali dicapai pada pasca revolusi nasional. 11 Herbert Feith, 1999, Pemilihan Umum 1955 di Indonesia, Jakarta: Keputusan Populer Gramedia, halaman 2. 12 Arsip Pidato Perdana Menteri atau Menteri Pertahanan Republik Indonesia Mr.Burhanuddin Harahap, Pengumuman Pelaksanaan Pemilu 1955, Arsip tersimpan di Perpustakaan Mandala Bhakti Semarang. 8 Alasan penulis untuk mempelajari dan mengkaji masalah Partai Masyumi di Surakarta didasari pada keinginan untuk melihat sejauh mana perkembangan partai politik Masyumi di Surakarta walaupun Surakarta bukan merupakan tempat lahir gerakan tersebut maupun pusat kedudukan organisasi pergerakan tersebut, namun di Surakarta partai politik Masyumi itu ada dan berkembang dengan baik hingga Indonesia merdeka. Partai politik Masyumi mampu merebut kursi terbanyak dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sejak tahun 1946 hingga 1949 partai Masyumi menempati 6 kursi disusul PNI dengan jumlah 5 kursi.13 Pemilu 1955 di Surakarta partai politik Masyumi dan PKI saling serang menyerang dalam bentuk pamlet untuk menarik massa sehingga sering terjadi ketegangaan didalam masa kampaye. Sikap permusuhan Masyumi terhadap PKI antara lain ditujukan pada sikap politik yang berbeda. PKI dengan menghalalkan segala cara, dan prinsip-prinsip komunisme yang dianut PKI berlawanan secara diametral dengan prinsip-prisip keagamaan yang dianut oleh Masyumi. Serangan anti komunis para tokoh Masyumi gencar dilakukan, baik di lapangan kampaye maupun perdebatan di media cetak. Sjarif Usman, ketua dewan redaksi Suara Masyumi dan ketua bidang penerangan di DPP Masyumi, di depan massa Islam Kota Surakarta pada 10 April 1955 menyerukan kepada orang-orang Islam yang menjadi anggota PKI, SOBSI atau organisasi-organisasi Komunis yang lainnya agar meninggalkan partai atau organisasi Komunis dan kembali ke dalam partai atau organisasi Islam. Majelis Syuro Pusat Masyumi mengeluarkan fatwa hokum Islam tentang komunisme yang diputuskan dalam muktamar VII Masyumi pada 13 Panitia Peringatan Hari Jadi Kodya Surakarta, tanpa tahun, Peringatan Hari Jadi Kodya Surakarta ke – 16, Surakarta: Pemerintah Daerah Surakarta, halaman 5. 9 3 - 7 Desember 1954 di Surabaya antara lain menyatakan bahwa komunisme menurut hukum Islam adalah kufur.14 Partai Masyumi di Surakarta mendapatkan suara yang cukup banyak dengan peringkat ke 3 setelah PNI, PKI, sedangkan Masyumi tidak memperoleh kemenangan, Masyumi memiliki basis di seluruh kabupaten. Artinya walaupun tidak menang tapi memperoleh suara yang cukup siginifikan. Hal ini ditambah karakteristik masyarakat Surakarta yang berbeda dengan masyarakat lainnya, terutama dalam hal aspirasi politik. Surakarta sejak tahun 1946 telah menjadi kota oposisi dengan konflik politik dan ketegangan yang terus berlangsung. Surakarta dijadikan basis kekuatan politik oleh berberapa organisasi politik dan kepartaian, sehingga kecenderungan dan gejala yang terjadi sama seperti pusat jadi juga terlihat pertentangan antara kelompok nasionalis, agama, dan komunis. Hasil pemilu 1955 ternyata tidak membawa perubahan kearah yang lebih baik bagi perjalanan politik nasional. Peta politik Indonesia secara dratis, yaitu dengan semakin berkurangnya peranan partai-partai politik kecuali yang dekat dengan Presiden Sukarno. Masa jatuh bangun partai politik dalam pemerintahan, dijadikan senjata untuk melumpuhkan partai politik yang tidak sehaluan dengan Presiden Sukarno. Ekonomi negara makin tak terurus, ketidakpuasan makin meluas dan puncaknya negara dihadapkan pada kenyataan tercetusnya pergolakan di daerahdaerah antara kurun waktu 1957-1958. Di mulai dengan dibentuknya kabinet Djuanda pada tahun 1957-1958 untuk mengatur partai politik agar supaya partai 14 Samsuri, op.cit., halaman 79. 10 politik dapat dikendalikan dalam menjaga “stabilitas politik” oleh Presiden Sukarno. Masyumi mengecam pembentukan kabinet ini yang dianggapnya melanggar konstitusi.15 Puncaknya dengan meletusnya pemberontakan PRRI di Bukittinggi pada bulan Februari-Maret 1958, di sini beberapa tokoh Masyumi Pusat ikut terlibat walaupun keterlibatan tokoh-tokoh itu bersifat perorangan, namun akibatnya sampai pula pada partai. Pada titik inilah Presiden Sukarno kemudian menemukan jalan bagi campur tangannya secara langsung dalam pemerintahan dengan mengesampingkan peranan partai-partai yang semakin tersingkir tahun-tahun setelah itu menunjukkan bahwa frekwensi campur tangan Presiden mengarahkan pada apa yang digagaskannya sebagai Demokrasi Terpimpin. Sebuah tatanan yang lebih mengarahkan sifat kepimpinan yang diktator ketimbang sebuah citra demokrasi yang sehat. Masyumi yang memang sejak semula selalu menempuh cara-cara konstitusional dalam memecahkan persoalan, dengan terus terang menampilkan sikap kritis terhadap move-move politik Presiden Sukarno yang cenderung bergeser ke kiri, sejak saat itulah jurang perbedaan antara Presiden Sukarno yang mulai berkoalisi dengan PKI di satu pihak dari Masyumi dengan kelompok-kelompok pro-demokrasi dan anti PKI dilain pihak makin tak terjembatani. Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang menyerukan untuk kembali kepada UUD 1945 dan membubarkan dewan konstituante. Sejak saat itu secara resmi sistem parlementer terlempar dari sistem politik Indonesia digantikan oleh Demokrasi Terpimpin. Dalam sistem 15 SU.Bajasut, 1972, Alam Pikiran dan Djejak Perjuangan Prawoto Mangkusasmito, Surabaya: Documenta, halaman 78. 11 pemerintahan yang baru ini Soekarno membentuk DPR-GR yang semua anggotanya diangkat oleh Presiden. Masyumi adalah satu-satunya partai Islam yang paling keras melancarkan kritik. Ketegangan politik antara Soekarno dan Masyumi berpuncak pada dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 200 / 1960 yang diumumkan pada 17 Agustus 1960. B. Rumusan Masalah Berkaitan dengan hal tersebut, studi penelitian ini berusaha untuk mengungkap masalah Partai Masyumi Cabang Surakarta pada tahun 1955-1960. Berdasarkan latar belakang yang telah diungkapkan di atas maka masalah utama dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana keadaan sosial politik di Surakarta pada tahun 1954 - 1960 ? 2. Bagaimana perkembangan Partai Masyumi Cabang Surakarta pada tahun 1954 -1960 ? 3. Bagaimana Dinamika Hubungan Partai Cabang Masyumi dengan Organisasi Massa Islam di Surakarta pada tahun 1954 -1960 ? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian yang berjudul Partai Masyumi Cabang Surakarta Pada Tahun 1954 -1960 adalah: 1. Untuk mengetahui bagaimana keadaan sosial politik di Surakarta pada tahun 1954 -1960. 12 2. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan Partai Masyumi Cabang Surakarta pada tahun 1954 -1960. 3. Untuk mengetahui Dinamika hubungan Partai Masyumi Cabang Surakarta dengan Organisasi Massa Islam di Surakarta pada tahun 1954 -1960. D. Manfaat Penelitian Maksud manfaat atau kegunaan penelitian adalah manfaat langsung ataupun tidak langsung yang diperoleh dari penerapan penelitian. Adapun yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi peminat sejarah Partai Masyumi Cabang Surakarta pada masa orde lama. 2. Sebagai tambahan referensi bagi peminat masalah-masalah Sejarah Partai Islam di Indonesia. E. Kajian Teori dan Tinjauan Pustaka Tema studi ini adalah sejarah Partai Masyumi. Oleh karena pokok permasalah dalam tema ini kompleks, maka konsep-konsep dan teori ilmu lain dipergunakan untuk menerangkan peristiwa yang sedang ataupun telah terjadi. Disamping itu, konsep-konsep dapat dipergunakan sebagai alat pemahaman dalam membantu penganalisaan pada uraian-uraian dari bab-bab yang dikembangkan dalam penelitian. Untuk menjelaskan permasalahan yang berkaitan dengan tema yang diambil, maka mengunakan literatur dan referensi yang relevan dan menunjang 13 tema yang diangkat. Literatur tersebut dijadikan media untuk mengkaji, menelusuri dan nengungkap pokok permasalahan. Manusia menurut Plato dan Aristoteles, tidak dapat dipisahkan dari politik karena manusia adalah “Zoon Politicon” atau makhluk berpolitik. Orang yang tidak dapat hidup berkelompok dan dengan modal kebebasannya tidak mempunyai kebutuhan politik adalah sama dengan binatang. Sifat politik adalah kekhususan manusia. Setiap manusia adalah politisi dan setiap manusia yang tidak mengerti politik bukan lagi manusia dalam arti yang sesungguhnya. Sejarah manusia berawal dari kegiatan yang brcorak politik. Istilah politik sendiri berasal dari bahasa Belanda yaitu “politiek” asal katanya dari bahasa yunani yaitu kata “polis” yang artinya negara atau kota. Hal ini disebabkan karena kegiatan yang dilakukan manusia senantiasa berkisar pada kegiatan kenegaraan.16 Dalam buku Pendidikan Politik Ikwanul Muslimin karya Ruslan Utsman Abdul Muis, tahun 2000. Disebutkan bahwa politik menurut Islam adalah akitivitas yang terorganisir dan efektif yang dilakukan oleh umat secara keseluruhan negara dan masyarakat yang sejalan dengan ideologi mayoritas rakyatnya, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan saling bantu antara pemerintah dan individu dalam aspek sosial, ekonomi, dan budaya agar politik memberikan pengaruhnya yang konkret pada realitas sosial, yang membawa pada perubahan bingkai kultur dalam sebuah orientasi yang menumbuhkan kecerdasan bangsa secara harmonis.17 16 17 Prisma, 12 November 1981, halaman 3. Ruslan Utsman Abdul Muis, 2000, Pendidikan Politik Ikwanul Muslimin, Surakarta: Era Intermedia, halaman 79 14 Dalam buku Partai Islam di Pentas Nasional tahun 1945-1965 Karya Deliar Noer, tahun 1987. Menjelaskan mengenai berdirinya partai-partai Islam pada masa merdeka. Salah satunya Partai Politik Islam Masyumi yang didirikan pada tanggal 7 November 1945 pada kongres umat Islam di Yogyakarta. Menurut Deliar Noer dalam buku ini agama dan politik tidak bisa dipisahkan, oleh karena berpolitik itu adalah bagian dari ibadah. Pemikiran ini dapat dikembangkan bahwa kehidupan kenegaraan harus diwarnai agama sebagai bagian dari ibadah. Nilainilai hidup yang diberikan Islam tidak hanya tuntunan hidup perorangan tapi juga tuntunan hidup bermasyarakat dan bernegara. Ada beberapa buku yang digunakan sebagai bahan acuan dalam pengkajian masalah sistem partai di Indonesia, diantaranya adalah sebuah buku yang ditulis oleh Miriam Budiardjo, tahun 1996 yang berisi tentang sistem kepartaian. Partai politik telah muncul jauh sebelumnya sebagai sarana partisipasi bagi beberapa kelompok masyarakat, yang kemudian meluas menjadi partisipasi seluruh masyarakat dewasa. Dengan meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor utama yang perlu diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses pemilu, maka partai politik lahir secara spontan dan berkembang menjadi penghubung antara rakyat disatu pihak dan pemerintah dipihak lain. Partai politik umumnya dianggap sebagai manifestasi dari suatu sistem politik yang sudah modern atau yang sedang dalam proses memodernisasikan diri. Di negara-negara jajahan partai-partai politik sering didirikan dalam rangka pergerakan nasional di luar dewan perwakilan rakyat, setelah kemerdekaan dicapai dan dengan meluasnya proses urbanisasi, komunikasi massa serta pendidikan umum, maka bertambah 15 kuat kecenderungan untuk berpartisipasi dalam proses politik melalui partai. Partai politik pada hakekatnya merupakan suatu organisasi yang terdiri dari sekelompok orang yang mempunyai cita-cita, tujuan-tujuan dan orientasi-orientasi yang sama, dimana organisasi ini berusaha untuk memperoleh dukungan dari rakyat dalam rangka usahanya memperoleh kekuasaan dan kemudian mengendalikan atau mengontrol jalannya pemerintahan, yang kesemuannya itu pada gilirannya sebagai pangkal tolak organisasi tersebut, dalam usahanya merealisir atau melaksanakan program-programnya yang telah ditetapkan. Partai politik di Indonesia pertama-tama lahir dalam zaman kolonial sebagai manisfestasi bangkitnya kesadaran nasional. Dalam suasana itu semua organisasi, apakah bertujuan sosial, politik, dan agama memainkan peranan yang penting dalam berkembangnya pergerakan nasional. Perkembangan kepartaian masa pendudukan Jepang banyak mengalami hambatan semua partai lama dibubarkan dan setiap kegiatan politik dilarang. Hanya golongan Islam diperkenakan membentuk organisasi sosial yang dinamakan Masyumi, disamping beberapa organisasi baru diprakasai oleh penguasa.18 Di Indonesia sistem kepartaiannya dapat dilihat sistem kepartaian kontemporer di tanah air dari segi jumlahnya, maka klasifikasi dari Maurice Duverger dapat digunakan. Maurice Duverger cenderung melihat sistem kepartaian dari segi jumlahnya dan membagi tiga bagian: yaitu sistem partai tunggal (one party system), sistem dwi partai (two party system) dan sistem multi 18 Miriam Budiardjo, 1996, Demokrasi di Indonesia Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, halaman 217. 16 partai ( multi party system).19 Di Indonesia pola kepartaian massa menunjukan keanekaragaman, pola dalam masa merdeka dalam bentuk sistem multi partai. Menurut Sartori memiliki derajat relevasi yang tinggi, karena melihat sistem kepartaian berdasarkan jarak ideologi dan membagi tiga bagian: pluralisme sederhana, pluralisme moderat dan pluralisme ekstrem, sehingga bermunculan partai-partai politik dengan ideologi yang tidak seragam. Dengan demikian kepartaian kembali ke pola multi partai yang telah dimulai dalam zaman kolonial. Banyaknya partai tidak menguntungkan berkembangnya pemerintahan stabil. Pemilihan umum yang diadakan pada tahun 1955 membawa penyerderhanaan dalam jumlah partai dalam arti bahwa jelas telah muncul empat partai besar, yakni Masyumi, PNI, NU, dan PKI. Herbert Feith dalam bukunya Pemilihan Umum 1955 di Indonesia tahun 1999. Secara ekstensif membahas mengenai pemilu pertama tahun 1955, yang diharapkan pemilu yang merupakan obat mujarab terwujudnya kestabilan politik di Indonesia. Pemilu 1955 dipandang paling demokratis karena diikuti oleh banyak partai. Pemilihan umum yang dilaksanakan pada tahun 1955 dalam masa demokrasi liberal mempunyai arti sangat penting dan membawa perubahanperubahan besar pada fungsi partai politik. Partai politik mengubah kegiatankegiatannya yang sangat ditentukan oleh percaturan politik tingkat nasional di ibu kota, menjadi kegiatan-kegiatan yang membuka saluran-saluran komunikasi massa dengan jalan mengorganisasi diri secara luas sampai tingkat desa. Pembahasan pertama dalam buku ini adalah hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya pemilu sampai pada pembuatan Undang-Undang Pemilu yang isinya 19 Zainal Abidin Amir, 2003, Peta Islam Politik (Pasca-Soeharto), Jakarta: Pustaka LP3ES, halaman 23. 17 seperti mengenai organisasi penyelenggaraan pemilu, siapa saja yang berhak mengajukan sebagai calon dan pendaftaran pemilih. Pembahasan yang kedua adalah membahas mengenai tahap kampanye. Herbeith dalam bukunya ini berpendapat bahwa ada dua hal menandai dimulainya kampanye (DPR) yaitu kampanye tahap pertama dimulai sejak disahkannya RUU Pemilu dan kampanye tahap kedua dimulai sejak pengesahan tanda gambar. Pertarungan yang sengit antara PKI dan Masyumi juga dibahas. Selanjutnya pembahasan mengenai pemungutan suara dan menganalisis hasil-hasil pemilu tersebut. Analisis Herbert di dalamnya ada pembahasan mengenai perkembangan aliran-aliran di Indonesia. Konsep berdasarkan pola aliran menjadi menonjol, tatkala kehidupan politik dalam masyarakat bukan didasarkan pada ideologi politik belaka, melainkan antar hubungan organisasi-organisasi sosial dengan kehidupan dari suatu sistem sosial yang kompleks (dari suatu infrastuktur sosial dan kebudayaan di pedesaan dan perkotaan). Terbentuk suatu aliran politik yang terformulasikan melalui istilah-istilah yang lebih bersifat ideologis. Buku ini menerangkan lima aliran politik yang berkembang di Indonesia yaitu: komunisme (PKI), nasionalisme radikal (PNI), Islam (Masyumi, NU), tradisionalisme jawa (PNI, PKI) dan sosialisme demokrat (PSI). Penggolongan demikian ini menurut Herbert Feith dianggap mampu mendobrak kesemrawutan pandangan ideologi yang muncul di Indonesia pada awal kemerdekaan, sehingga mampu berkembang menjadi kelompok-kelompok pemikiran yang berarti dan harmonis. Partai politik pada pemilu 1955 yang secara ideologis menonjol dan mampu mendapatkan dukungan mayoritas dari pemilih dalam pemilu 1955, adalah: PNI, Masyumi, PKI, dan NU. 18 Buku karya Samsuri berjudul Politik Islam Anti Komunis Pergumulan Masyumi dan PKI di Arena Demokrasi Liberal,tahun 2004. Beisi mengenai politik nasional di masa demokrasi liberal yang memperlihatkan peran Partai Masyumi menghadapi Partai Komunis Indonesia antara tahun 1950 sampai dengan 1957. Selama era demokrasi liberal tersebut terjadi pergumulan penting yang dilakukan kelompok muslim dengan kelompok komunis. Sikap permusuhan Masyumi terhadap PKI antara lain ditujukan pada sikap politik PKI yang telah menghalalkan segala cara, dan prisip-prisip komunisme yang dianut PKI berlawanan secara diametral dengan prisip-prisip keagamaan yang dianut oleh Masyumi. Perang pamflet dan perkelahian antara pendukung Masyumi dan PKI mewarnai dalam masa kampaye pemilu 1955. Buku Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi karya Syaifullah, tahun 1997. Menjelaskan mengenai hubungan formal dan langsung secara menyolok terjadi ketika terlibat dalam pembentukan Masyumi pada 7 November 1945 di Yogyakarta dan bahkan menjadi salah satu pilar utama dan anggota istimewa dalam Masyumi. Intesitas hubungannya dengan Masyumi sangatlah tinggi, hal itu ditunjukkan oleh sikap setia kepada Masyumi sampai partai ini membubarkan diri. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam modernis sejak awal kelahirannya telah memilih jalan pergerakan di wilayah sosial-keagamaan yang memusatkan perhatian pada cita-cita pembentukan masyarakat yang utama. Kendati Muhammadiyah lebih memposisikan dalam menempatkan diri sebagai gerakan sosial-keagamaan yang non-politik, organisasi Islam ini dalam perkembangan sejarahnya memiliki keterlibatan dalam kehidupan politik nasional dan aktif dalam kegiatan-kegiatan politik yang bersifat langsung dalam 19 perjuangan kekuasaan untuk memperebutkan posisi-posisi politik dalam pemerintahan. Keterlibatan yang bersifat formal, langsung dan praktis itu maka Muhammadiyah pada era Masyumi banyak mengalami gesekan dan pertentangan dengan kelompok Lain secara politik. Sementara itu kebaradaan Muhammadiyah dalam Masyumi sendiri tidaklah mulus yaitu ditandai dengan hubungan yang mesra antara tahun 1945 sampai dengan 1953 dan hubungan yang renggang antara tahun 1956 sampai dengan 1959. Hubungan itu putus sama sekali bersamaan dengan bubarnya Masyumi. Kehadiran Muhammadiyah dalam Masyumi secara politik tentu menguntungkan Muhammadiyah, selain bagi umat Islam pada umumnya. Muhammadiyah dalam tempo yang cukup mendominasi kebaradaan Masyumi baik dalam keanggotaan maupun dalam memberikan sumbangan kader-kadernya dalam pemerintahan. F. Metode Penelitian Penelitian mengenai Partai Masyumi Cabang Surakarta Pada Tahun 1954 1960 ini menggunakan metode penelitian sejarah. Metode penelitian sejarah adalah mengumpulkan, menguji, dan menganalisa secara kritis rekaman-rekaman, peninggalan masa lampau serta usaha untuk melakukan sintesa dari data-data masa lampau tersebut menjadi kajian yang dapat dipercaya20. Langkah-langkah yang digunakan dalam metode penelitian sejarah ini terdiri dari empat langkah ; pertama, heuristik yaitu kegiatan atau suatu proses pengumpulan sumber-sumber sejarah. Dalam langkah ini dilakukan pengumpulan 20 Louis Gottschalk, 1983, Mengerti Sejarah,, Jakarta: Universitas Indonesia Press, halaman 32. 20 sumber data sebanyak-banyaknya tetapi sumber data tersebut masih dalam cakupan tema dan permasalahan penelitian. Kedua, kritik sumber atau penilaian data, merupakan suatu proses menilai atau mengkritik sumber baik secara intern maupun ekstern. Kritik intern dipergunakan untuk mengetahui kredibilitas informasi yang diperoleh. Sedangkan kritik ekstern dipergunakan untuk mengetahui otentisitas informasi yang diperoleh. Ketiga, interpretasi, dilakukan untuk menafsirkan keterangan yang saling berhubungan secara kronologis dengan fakta-fakta yang diperoleh dan telah lulus kritik. Keempat, historiografi atau penulisan sejarah. Pada langkah ini disajikan hasil penelitian yang berupa penyusunan fakta-fakta dalam suatu sintesa kisah yang bulat. Kisah itu isinya terbagi dalam bab-bab, sub-sub, dan butir-butir, dari sub-bab yang didasarkan atas prinsip “serialisasi”. Oleh sebab itu laporan disusun menurut teknik penulisan sejarah. 1. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data Sumber data terdiri dari sumber primer dan sekunder. Sumber primer diperoleh melalui studi dokumen atau arsip sedangkan sumber sekunder diperoleh melalui studi pustaka (Library research). a. Studi Bahan Dokumen atau Arsip Dokumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Berita Partai Politik Islam Masyumi, Anggaran Dasar Partai Masyumi, Membetulkan Tujuan Masyumi dalam Wajah baru, Cita-cita Masyumi, Buletin Dewan Pimpinan Wilayah Masyumi Jawa Tengah, Pamflet Masyumi, Pengurus Pusat Panitia Masyumi Surakarta Koochi, Mosi Masyumi daerah 21 Surakarta, Pidato Perdana Menteri Burhanuddin Harahap tentang pelaksanan pemilu 1955, Peta Politik Jawa Tengah Tahun 1956, Hasil Sementara Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Selain itu juga sumber majalah dan koran sejaman. b. Wawancara Wawancara dilakukan dengan beberapa orang yang mampu memberikan informasi sesuai dengan tema yang diambil. Dalam wawancara penulis berangkat dari informasi pangkal yang selanjutnya akan diperoleh informan-informan lain yang merupakan pelaku dari peristiwa tersebut. Informan pangkal dari penelitian ini adalah H.Achmad Sulaiman yang selanjutnya berdasarkan informasi tersebut penulis mendapatkan informan lain. Wawancara penelitian ini adalah wawancara individu secara langsung. Artinya, penulis mendatangi informan satu persatu. Dalam kunjungan tersebut penulis menanyakan permasalahan yang dibahas. c. Studi Pustaka (Library research) Sebagai pendukung dan pelengkap sekaligus sebagai kerangka dasar teori, maka penelitian ini menggunakan sumber-sumber pustaka berupa buku-buku karya ilmiah dan buku-buku pengetahuan. Beberapa buku yang dijadikan sebagai acuan diperoleh dari Perpustakaan Nasional di Jakarta, Perpustakaan Mandala Bakti di Semarang, Perpustakaan Daerah Kotamadya Surakarta, Perpustakaan Islam Surakarta, Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa. 22 2. Teknik Analisa Data Analisa data merupakan suatu proses pencarian dan perancangan sistematika semua data yang terkumpul agar peneliti mengetahui makna yang telah ditemukan dan disajikan kepada orang secara bebas. Analisa dalam penelitian ini adalah analisa kualitatif21, artinya data-data yang terkumpul selanjutnya diintegrasi atau ditafsirkan, kemudian dianalisa secara kualitatif. Analisis kualitatif adalah suatu analisa yang mendasarkan sebab akibat dari suatu permasalahan atau fenomena histories yang dimaksudkan supaya peneliti ini tidak hanya menjawab apa, kapan, dan dimana penelitian terjadi tetapi juga mampu menjelaskan gejala-gejala sejarah sebagai kausalitas. Analisa ini kemudian disajikan dalam bentuk penulisan diskriptif analisis. G. Sistematika Penulisan Penjabaran dari sistematika skripsi ini, diuraikan secara garis besar dalam bentuk bab perbab. Penjabaran tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran jelas terhadap isi keseluruhan isi skripsi ini. Dalam skripsi ini terdapat lima bab yang keseluruhannya merupakan satu kesatuan yang saling kait mengkait. Bab pertama mengemukan latar belakang masalah yang kemudian dijelaskan juga mengenai rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian teori dan tinjauan pustaka, metode penelitian serta sistematika penulisan. Bab kedua menjelaskan tentang Sejarah Pemerintahan Kota Surakarta, gambaran umum Kota Surakarta, mulai dari kondisi geografis yang meliputi letak dan batas, keadaan wilayah, kondisi demografis, yang meliputi jumlah kepadatan 21 Sartono Kartodirdjo, 1982, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia, Jakarta: Gramedia, halaman 58. 23 penduduk, sampai pada keanekaragaman penduduk. Bab dua juga menjelaskan tentang kondisi sosial politik yang dimulai munculnya partai di Kota Surakarta. Bab ketiga menjelaskan tentang kodisi Partai Masyumi Cabang Surakarta pada tahun 1954-1960. Sistem kepartaian yang mendukung kehidupan demokrasi liberal mendapat ruang geraknya setelah maklumat pemerintah yang ditandatangani Mohammad Hatta, dikeluarkan pada tanggal 3 November 1945, tentang pembentukan partai-partai di Indonesia. Melalui maklumat itulah lahir banyak partai politik yang mewakili berbagai aliran ideologi politik yang tumbuh berkembang di tengah masyarakat. Bagi umat Islam, maklumat tersebut merupakan peluang untuk membentuk partai politik Islam. Dibentuklah Partai Masyumi yang direncanakan sebagai satu-satunya partai politik Islam berdasarkan keputusan konggres umat Islam di Yoyakarta pada tanggal 7-8 November 1945. sebelumnya pernah berdiri Masyumi buatan Jepang pada bulan Oktober 1943. berbeda dengan Masyumi buatan Jepang yang oleh pemerintah pendudukan Jepang dijadikan sebagai alat untuk mengkooptasi umat Islam demi kepentingan sendiri. Masyumi hasil konggres Yogyakarta dimotivasi oleh keinginan untuk menjadikan Masyumi sebagai partai politik tunggal Islam yang dapat menyalurkan aspirasi politik umat. Bab ketiga ini juga menjelaskan mengenai perkembangan Masyumi baik lingkup kota Surakarta maupun lingkup nasional. Bab keempat menjelaskan tentang Dinamika Hubungan Partai Masyumi Cabang Surakarta dengan Organisasi Massa Islam di Surakarta pada tahun 19541960. Bab ketiga ini juga menjelaskan mengenai Sejarah berdirinya Pimpinan daerah Muhammadiyah di Surakarta, Muhammadiyah dalam politik. Dinamika hubungan Muhammadiyah dengan Masyumi, dan hubugan Masyumi dengan anak 24 organisasi pendukungnya yaitu: Sarekat Buruh Islam Indonesia, Gerakan Pemuda Islam Indonesia dan Muslimat Masyumi dan Hubungan Partai Masyumi Cabang Surakarta dengan Nahdatul Ulama. Bab kelima merupakan kesimpulan yang ditarik dari uraian-uraian sebelumnya yang sekaligus jawaban dari permasalahan-permasalahan pokok penelitian ini.