REPRESENTASI CITRA MILITER DALAM PEMBERITAAN MAJALAH TEMPO (Analisis Wacana Citra Militer Pada Pemberitaan Majalah Tempo Liputan Khusus Pengakuan Algojo 1965 Edisi 1-7 Oktober 2012) Dede Suprayitno Adolfo Eko Setyanto Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract Military Representation Image In The News of Tempo Magazine (Discourse Analysis of Military image in Tempo Magazine Special Coverage of Pengakuan Algojo 1965 Edition 1-7 October 2012), Thesis, Communication Study Program, Faculty of Social and Politics. Sebelas Maret University, 2014, 258 pages. Military has important role in facing 30 September Movement. That past military discourse appears again in the news of Tempo Magazine edition Special Coverage of Pengakuan Algojo 1965. This research focus is for looking at how that military image is being presented again trough the report of Tempo Magazine. In doing analysis, the researcher used Teun A. Van Dijk’s knife discourse analysis which consists of three main pillars, that are text level analysis, social cognition level analysis (journalist), and social context level analysis. After did the text level analysis, it is acquired conclusion that military figurs play role both directly and indirectly in process of PKI mass assassination. Whereas toward the social cognition level (journalist) it is derived conclusion that news text is produced as the effort for implementing social justice. Toward social context level, it is derived conclusion that power and access determine how that military image is formed. Keyword: Image, Military, Indonesian Communist Party Pendahuluan Salah satu ideologi yang pernah masuk di Indonesia adalah komunisme. Komunisme menjejakkan sejarahnya di Indonesia dengan torehan rapor merah. Tercatat dalam sejarah Indonesia, komunisme—terutama kelompok radikal—dua kali melakukan coup atau pemberontakan yang didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Pemberontakan pertama terjadi di Madiun pada 1948 dan 1 pemberontakan kedua terjadi di Jakarta pada 30 September 1965. Tahun 1948, PKI melakukan pemberontakan yang pertama terhadap pemerintahan SoekarnoHatta. Sekalipun nampak bayangan tentang tujuan-tujuan komunis ini, partai itu mendapatkan 13 dari 232 kursi dalam parlemen pertama Republik Kesatuan tahun 1950.1 Saat kelompok-kelompok radikal melancarkan aksi-aksi pemberontakan, selalu terjadi pertumpahan darah. Indonesia di awal masa kelahirannya selalu dirundung pergulatan ideologi hingga nyawa saudara sebangsa menjadi taruhan. Puncaknya terjadi saat munculnya pembantaian besar-besaran orang-orang PKI maupun orang-orang yang dituduh PKI. Pembantaian PKI itu dilakukan secara sistematis dengan pola bervariasi dari suatu daerah ke daerah lain serta di dukung beberapa faktor. Pertama, budaya amuk yang dipercayai, paling tidak oleh pengamat barat, sebagai unsur penopang kekerasan. Kedua, konflik di daerah-daerah antara golongan komunis dan nonkomunis terutama para kiai sudah mulai tampak sejak tahun 1960-an. Ketiga, militer diduga berperan dalam menggerakkan massa. Keempat, faktor provokasi oleh media massa yang menyebabkan masyarakat geram.2 Jutaan nyawa akhirnya menjadi korban dari gejolak politik Indonesia di tahun 1965. Militer menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam sejarah pembunuhan besar-besaran tahun 1965 tersebut. Sebagai salah satu kelompok sosial yang ada di masyarakat, militer dianggap turut menggerakkan massa untuk melakukan penumpasan. Jejak sejarahnya tercatat dengan dibentuknya Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) oleh Soeharto. Kopkamtib mendapat pijakan hukum setelah Soekarno meneken Surat Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi/Komando Operasi Tertinggi ABRI pada 1 November 1965 yang isinya tentang pemulihan keamanan dan ketertiban pasca-30 September.3 1 Edward C. Smith. Sejarah Pembredelan Pers di Indonesia, terj. Atmakusumah, dkk. (Jakarta: PT. Temprint). Hal. 97. 2 Asvi Warman Adam. Membongkar Manipulasi Sejarah, Kontroversi Pelaku dan Peristiwa (Jakarta: Penerbit Buku Kompas). Hal. 169. 3 Majalah Tempo edisi 1-7 Oktober 2012. Hal. 94. 2 Pada edisi khusus 30 September 2012, Tempo menerbitkan majalah yang berjudul Pengakuan Algojo 1965. Tempo menghadirkan sisi pemberitaan (angle) yang menarik, sensitif, dan belum pernah ada berita yang ditulis dengan angle ini. Tempo menghadirkan informasi dengan narasumber utama para algojo pembunuhan peristiwa Gerakan 30 September (G30S) yang dikupas dari beberapa sudut pemberitaan. Dalam pemberitaan tersebut muncul aspek komunikasi diantaranya adalah media dan pesan. Media sebagai alat untuk menyebarkan informasi berperan penting dalam menciptakan wacana di masyarakat melalui pesan-pesan yang disampaikan. Pesan yang diproduksi oleh media tersebut kemudian diserap oleh komunikan dan memunculkan wacana. Fenomena tersebut, seperti ditulis John Fiske dalam bukunya berjudul Cultural and Communication Studies (2011) seperti menggambarkan dua mahzab utama dalam kajian komunikasi, yakni mahzab proses dan mahzab semiotika. Proses komunikasi dapat terjadi dari terbitnya pemberitaan majalah Tempo tersebut. Dari terbitnya pemberitaan tersebut dapat dilihat bagaimana komunikasi itu didefinisikan sebagai sebuah proses penyampaian pesan, selain itu, komunikasi juga dapat didefinisikan sebagai cara untuk menumbuhkan makna melalui wacana pemberitaan. Aspek yang ditekankan dalam penelitian ini adalah kajian mahzab semiotika yang mengukur sejauh mana pesan-pesan yang diproduksi mampu menumbuhkan makna baru. Melalui metode analisis teks, peneliti mendeskripsikan citra militer yang hadir dalam pemberitaan. Rumusan Masalah Bagaimana citra militer di level teks, dengan analisis Teun A. Van Dijk, itu dihadirkan dalam pemberitaan Majalah Tempo liputan khusus Pengakuan Algojo 1965 edisi 1-7 Oktober 2012? 3 Tujuan Mendeskripsikan bagaimana citra militer di level teks, dengan analisis Teun A. Van Dijk, itu dihadirkan dalam pemberitaan Majalah Tempo liputan khusus Pengakuan Algojo 1965 edisi 1-7 Oktober 2012. Tinjauan Pustaka 1. Definisi Komunikasi John Fiske dalam bukunya berjudul Cultural and Communication Studies (2011) membagi studi komunikasi menjadi dua mazhab utama. Mazhab pertama melihat komunikasi sebagai transmisi pesan. Mazhab ini tertarik dengan bagaimana pengirim dan penerima mengkonstruksi pesan (encode) dan menerjemahkannya (decode), dan dengan bagaimana transmiter menggunakan saluran dan media komunikasi. Mazhab ini melihat komunikasi sebagai suatu proses yang dengannya seorang pribadi mempengaruhi perilaku atau state of mind pribadi yang lain.4 Mazhab kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Mazhab ini berkenaan dengan bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang-orang dalam rangka menghasilkan makna; yakni, ia berkenaan dengan peran teks dalam kebudayaan. Bagi mazhab ini, studi komunikasi adalah studi tentang teks dan kebudayaan.5 Mahzab kedua ini digunakan oleh peneliti dalam mengkaji pertumbuhan makna yang terjadi dari objek penelitian. Masing-masing mazhab menafsirkan definisi komunikasi sebagai interaksi sosial melalui pesan dengan caranya sendiri. Mazhab pertama mendefinisikan interaksi sosial sebagai proses yang dengannya seorang pribadi berhubungan dengan yang lain, atau mempengaruhi perilaku, state of mind atau respons emosional yang lain, dan demikian pula sebaliknya. Sementara mazhab semiotika (mazhab kedua) mendefinisikan interaksi sosial sebagai yang membentuk individu sebagai anggota dari suatu budaya atau masyarakat tertentu.6 4 John Fiske. Cultural and Communication Studies. (Yogyakarta: Jalasutra). Hal. 8. Ibid. hal. 9. 6 Ibid. 5 4 Kedua mahzab tersebut juga berbeda dalam pemahaman atas apa yang membentuk pesan. Pada satu sisi, mazhab proses melihat pesan sebagai sesuatu yang ditansmisikan melalui proses komunikasi. Kebanyakan pengikutnya percaya bahwa tujuan (intention) merupakan suatu faktor yang krusial dalam memutuskan apa yang membentuk sebuah pesan.7 Bagi semiotika, pesan merupakan suatu konstruksi tanda yang melalui interaksinya dengan penerima, menghasilkan makna. Penekanan bergeser pada teks dan bagaimana teks itu “dibaca.” Dan, membaca adalah proses menemukan makna yang terjadi ketika pembaca berinteraksi atau bernegosiasi dengan teks. Negosiasi ini terjadi karena pembaca membawa aspek-aspek pengalaman budayanya untuk berhubungan dengan kode dan tanda yang menyusun teks. Pembaca dengan pengalaman sosial berbeda atau dari budaya berbeda mungkin menemukan makna yang berbeda pada teks yang sama.8 2. Pengantar Jurnalistik Secara etimologis, jurnalistik berasal dari kata journ. Dalam bahasa Perancis, journ berarti catatan atau laporan harian. Secara sederhana jurnalistik diartikan sebagai kegiatan pencatatan atau pelaporan setiap hari. Dengan demikian jurnalistik bukanlah pers, bukan pula media massa. Jurnalistik adalah kegiatan yang memungkinkan pers atau media massa bekerja dan diakui eksistensinya. Curtis D. MacDougall menyebutkan bahwa journalisme adalah kegiatan menghimpun berita, mencari fakta, dan melaporkan peristiwa. Jurnalisme sangat penting di mana pun dan kapan pun, jurnalisme sangat diperlukan dalam suatu negara demokratis. Tak peduli apa pun perubahan-perubahan yang terjadi di masa depan—baik sosial, ekonomi, politik maupun yang lain-lainnya. Tak dapat dibayangkan, akan pernah ada saatnya ketika tiada seorang pun yang fungsinya mencari berita tentang peristiwa dan menyampaikan berita tersebut kepada khalayak ramai, dibarengi dengan penjelasan tentang peristiwa itu.9 7 Ibid. hal. 10 Ibid. 9 MacDougall, dalam Kusumaningrat. Jurnalistik: Teori dan Praktik. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya). Hal. 15. 8 5 3. Teori Citra Citra adalah dunia menurut persepsi kita, atau pictures in our head (Water Lippman, 1965), yang merupakan gambaran tentang realitas, mungkin saja—tidak sesuai dengan realitas. Citra terbentuk berdasarkan informasi yang diterima melalui berbagai media, utamanya media massa cetak dan elektronik, yang bekerja membentuk, mempertahankan, atau meredefinisikan citra. Dari sudut pandang ilmu sosial, salah satu pendekatan teoritik tentang penciptaan citra adalah impression management -manajemen kesan- dimana citra dipandang sebagai kesan seseorang atau suatu organisasi terhadap orang atau organisasi lain.10 Menurut Nimmo (1978), citra adalah segala hal yang berkaitan dengan situasi keseharian seseorang; menyangkut pengetahuan, perasaan dan kecenderungannya terhadap sesuatu. Sehingga citra dapat berubah seiring dengan perjalanan waktu. Teori image building menyebutkan bahwa, citra akan terlihat atau terbentuk melalui proses penerimaan secara fisik (panca indra), masuk ke saringan perhatian (attention filter), dan dari situ menghasilkan pesan yang dapat dilihat dan dimengerti (perseived message), yang kemudian berubah menjadi persepsi dan akhirnya membentuk citra.11 4. Sejarah Partai Komunis Indonesia Paham komunisme datang dari luar negeri dan mulai ditanamkan di bumi Indonesia pada masa sebelum Perang Dunia I yaitu dengan datangnya seorang Pemimpin Buruh Negeri Belanda bernama H.J.F.M. Sneevliet. Ia adalah seorang anggota Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP) atau Partai Buruh Sosial Demokrat.12 Seiring berjalannya waktu, pemikiran Sneevliet mulai memengaruhi tokohtokoh pergerakkan yang ada di Indonesia, diantaranya adalah Muso dan Semaoen. Tokoh-tokoh ini kemudian bergerak secara radikal hingga akhirnya lahir Partai Komunisme Indonesia pada 1914, dengan nama awal Indische SociaalKamaruddin Hasan. “Komunikasi Politik dan Pencitraan: Analsis Teoritis Pencitraan Politik di Indonesia”. (Jurnal, Universitas Malikussaleh Lhokseumawe NAD, Indonesia, 2009). Hal. 7. 11 Ibid. 12 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia V. (Jakarta: Balai Pustaka). Hal. 198. 10 6 Democratische Vereeniging (ISDV) (atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda) yang merupakan cikal bakal dari Partai Komunisme Indonesia (PKI). PKI merupakan partai yang berbasis pada nilai-nilai komunisme. Perjuangan yang diusung PKI kerap melibatkan masyarakat kelas bawah, dalam hal ini adalah para buruh dan petani, maka dengan waktu yang realtif singkat PKI memperoleh dukungan massa yang banyak dari kalangan rakyat kelas menengah ke bawah. Hal ini karena cita-cita komunisme menyangkut kepentingan buruh dan rakyat kecil. 5. Sejarah Militer Indonesia Negara Indonesia pada awal berdirinya sama sekali tidak mempunyai kesatuan tentara. Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dibentuk dalam sidang PPKI tanggal 22 Agustus 1945 dan diumumkan oleh Presiden pada tanggal 23 Agustus 1945 bukanlah tentara sebagai suatu organisasi kemiliteran yang resmi. Akhirnya, melalui Maklumat Pemerintah tanggal 5 Oktober 1945 (hingga saat ini diperingati sebagai hari kelahiran TNI), BKR diubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada tanggal 7 Januari 1946, Tentara Keamanan Rakyat berganti nama menjadi Tentara Keselamatan Rakyat. Kemudian pada 24 Januari 1946, diubah lagi menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Saat itu di Indonesia terdapat barisan-barisan bersenjata lainnya di samping Tentara Republik Indonesia, maka pada tanggal 5 Mei 1947, Presiden Sukarno mengeluarkan keputusan untuk mempersatukan Tentara Republik Indonesia dengan barisan-barisan bersenjata tersebut menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Penyatuan itu terjadi dan diresmikan pada tanggal 3 Juni 1947. 6. Analisis Wacana Wacana muncul dari penggunaan bahasa sehari-hari. Bahasa tersebut telah terpengaruhi oleh konteks sosial yang ada. “Discourse is a form of language use, and Discourse Analysis (DA) is the analytical framework which was created for studying actual text and talk in the communicative context. Fitch (2005) believes that the early DA focused on the internal structure of texts. With the emergence of SystemicFunctional Linguistics (Hallliday, 1978)”13 13 Forough Rahimi and Mohammad Javad Riasati. “Critical Discourse Analysis: Scrutinizing IdeologicallyDriven Discourse”. (Jurnal, Shiraz Branch, Islamic Azad University, Iran, 2011). Hal. 1. 7 Menurut Littlejohn, analisis wacana adalah studi tentang struktur pesan dalam komunikasi, lebih tepatnya telaah mengenai aneka fungsi (pragmatik) bahasa. Analisis wacana lahir dari kesadaran bahwa persoalan yang terdapat dalam komunikasi bukan terbatas pada penggunaan kalimat atau bagian kalimat, fungsi ucapan, tetapi juga mencakup struktur pesan yang lebih kompleks dan inheren yang disebut wacana.14 Menurut Alex Sobur, pengertian wacana sebagai rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan suatu hal (subjek) yang disajikan secara teratur, sistematis, dalam satu kesatuan yang koheren, dibentuk oleh unsur segmental maupun nonsegmental bahasa.15 Metodologi Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan wacana representasi (discourse of representation). Pawito (2007) menjelaskan wacana representasi bersifat positivistik modernisme. Peneliti terpisah dari objek yang diteliti dan mempersepsi objek serta membuat representasi realitas dalam bentuk pengungkapan bahasa.16 Sumber data penelitian ini adalah Majalah Mingguan Tempo yang memuat edisi khusus tentang pengakuan algojo dalam peristiwa pembantaian pada tahun 1965 di Indonesia. Edisi khusus tersebut diterbitkan pada edisi tanggal 1-7 Oktober 2012. Selain itu, salah satu wartawan Tempo yakni kepala proyek edisi liputan khusus Pengakuan Algojo 1965, Kurniawan menjadi objek wawancara oleh peneliti. Peneliti melakukan pengumpulan data dengan memilih berita mana saja yang mengandung informasi peristiwa pembantaian PKI di tahun 1965. Selain itu, peneliti juga melakukan wawancara mendalam kepada Kepala Proyek Liputan Khusus Pengakuan Algojo 1965, Kurniawan di Kantor Redaksi, Kebayoran Centre Blok A11-A15, Jalan Kebayoran Baru, Mayestik, Jakarta. 14Alex Sobur. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya). Hal. 48. 15 Ibid. hal. 11. 16 Pawito. Penelitian Komunikasi Kualitatif. (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara). Hal. 174. 8 Peneliti melengkapi data-data tersebut dengan melakukan penelusuruan literatur yang berkaitan dengan peristiwa pembantaian PKI tahun 1965. Literatur pendukung itu antara lain seperti gambaran aktivitas militer serta kebijakan sosialpolitik pada waktu peristiwa pembantaian terjadi. Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan model analisis Teun A. Van Dijk untuk level teks. Model yang diperkenalkan oleh Teun A. Van Dijk ini sering disebut sebagai kognisi sosial. Pendekatan ini tidak hanya didasarkan atas teks semata, namun juga perlu melihat bagaimana suatu teks itu diproduksi sehingga dapat memperoleh pengetahuan mengapa teks bisa di produksi demikian.17 Terdapat tiga pilar utama dalam analisis Teun A. Van Dijk ini, diantaranya analisis teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Peneliti menganalisis berita pada tataran mikro dengan menggunakan analisis teks yang terdiri dari enam elemen, yakni elemen tematik, skematik, semantik, sintaksis, stilistik, dan retoris. Selanjutnya peneliti melengkapi dengan analisis kognisi sosial dan analisis konteks sosial. Sajian dan Analisis Data A. Analisis Level Teks 1. Analisis Elemen Tematik Elemen tematik menunjuk pada gambaran umum dari suatu teks. Bisa juga disebut sebagai gagasan inti, ringkasan, atau yang utama dari suatu teks.18 Berdasarkan peran dan interaksi yang terjadi pada militer dalam pemberitaan Majalah Tempo, peneliti membagi aksi lembaga tersebut menjadi tiga bagian yaitu: aksi militer terhadap massa non-PKI, aksi militer terhadap massa PKI, dan aksi massa PKI terhadap militer. Pada tema aksi militer terhadap massa non-PKI terdapat tiga bagian sub-tema aksi militer yang terdapat dalam pemberitaan, diantaranya aksi militer tersebut menggambarkan peran militer sebagai fasilitator pembantaian, militer sebagai pelindung massa, dan militer sebagai penggerak massa. 17 18 Ibid. hal. 221. Eriyanto. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. (Yogyakarta: LKiS Group). Hal. 229-230. 9 Dalam aksi militer terhadap massa PKI terdapat sub-tema lainnya yang muncul, yaitu Aksi pembunuhan oleh militer, Menjatuhi hukuman tanpa proses pengadilan, Memancing keluar rumah, lalu menembaknya, Tentara menyerbu desa, Menumpas di sekitar pesantren, Menolak permintaan penangguhan eksekusi, Tindakan brutal tanpa proses hukum, Menciduk pada malam hari, Membenturkan relasi antar warga, Memicu aksi pembunuhan di masyarakat, Intimidasi lewat pembagian kelas, Intimidasi militer kepada pihak tertentu, militer berperan untuk menangkap anggota PKI maupun diduga PKI, militer berperilaku cabul, militer sebagai sosok yang kejam, dan militer sebagai pencegah terjadinya pembunuhan. Sedangkan pada aksi PKI, dalam pemberitaan militer juga menjadi korban kekejaman PKI direpresentasikan lewat pembunuhan tujuh jenderal. 2. Analisis Elemen Skematik Teks atau wacana umumnya mempunyai skema atau alur dari pendahuluan sampai akhir. Alur tersebut menunjukkan bagaimana bagian-bagian dalam teks disusun dan diurutkan sehingga membentuk kesatuan arti.19 Dalam pemberitaan, skema berita mengarahkan pembaca kepada penekanan-penekanan tertentu. Di antaranya adalah penekanan untuk mengusung upaya-upaya rekonsiliasi, mendeskripsikan kronologi suatu peristiwa, menceritakan pengalaman tokoh, dan penuturan kesaksian atau sudut pandang tokoh. Penulisan berita menggunakan sudut pandang orang ketiga dan sudut pandang orang pertama. Hal tersebut di dasari untuk menimbulkan kesan tertentu. Misalnya penulisan dengan sudut pandang orang pertama akan memberikan kesan kedekatan dan emosional antara pembaca dan tokoh yang diceritakan. 3. Analisis Elemen Semantik Semantik dalam skema Van Dijk dikategorikan sebagai makna lokal (local meaning) yakni makna yang muncul dari hubungan antarkalimat, hubungan antarproposisi yang membangun makna tertentu dalam suatu bangunan teks.20 Dalam elemen semantik, dibagi lagi menjadi elemen latar, elemen detil, elemen maksud, dan elemen praanggapan. 19 20 Eriyanto. Op.Cit., Hal. 231-232. Alex Sobur. Op.Cit., Hal. 78. 10 Terdapat beberapa elemen latar yang terdapat dalam pemberitaan, diantaranya latar sejak kedatangan kesatuan militer, tonggak awal penumpasan besar-besaran, Peristiwa Kanigoro dianggap melecehkan kaum muslim, Motif dalam melakukan pembunuhan, kecurigaan yang terpendam lama, berkobarnya semangat jihad, hubungan yang telah lama negatif, aksi pembunuhan yang tertunda, sikap petinggi militer, pembantaian sebagai acara seremonial, besarnya pengaruh TNI, kekhawatiran tersiar kabar pembantaian, pembantaian dilakukan bersama-sama, pasrah dalam menjalani masa tahanan, Kopkamtib melahirkan rezim Orde Baru, pentingnya mendapatkan informasi berita acara, tidak segan-segan ketika menyiksa, masyarakat di doktrin tentara, keterlibatan warga sipil dalam pembantaian, saksi peristiwa pembantaian, dan tahanan yang berlatar belakang militer. Dalam elemen detil terdapat dua poin pembagian, pertama, yakni kesan penumpasan yang sistematis, kedua, kesan kejam dan tidak manusiawi. Pada kesan penumpasan yang sistematis terdapat hasil temuan berupa wacana Peran aktif tentara dalam menggerakkan massa, dukungan militer terhadap sipil, PKI mempersiapkan serangannya, data-data jumlah korban penumpasan anggota PKI, dan intimidasi melalui surat pemberitahuan. Sedangkan kesan kejam dan tidak manusiawi terdapat temuan berupa aksi pembunuhan adik gubernur, persiapan menghadapi aksi penumpasan, bekal sebelum menumpas, penyiksaan yang dialami tahanan, dan perjuangan yang dijalani tahanan, 4. Analisis Elemen Sintaksis Sintaksis merupakan strategi untuk menampilkan diri sendiri secara positif dan lawan secara negatif.21 Elemen ini terdiri dari tiga poin pokok, diantaranya koherensi, bentuk kalimat, dan kata ganti. Dalam koherensi masih dibagi lagi menjadi koherensi setara, koherensi kondisional (penjelas), koherensi pembeda, dan koherensi pengingkar. Dalam pemberitaan, misalnya terdapat kata ganti korban, algojo dan tahanan. Penggunaan kata tersebut dapat menggiring pembaca kepada pemahaman tertentu. 21 Ibid. Hal. 80. 11 Salah satu elemen ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi keberpihakan media terhadap isu yang diangkat. 5. Analisis Elemen Stilistik Elemen ini menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia.22 Pilihan kata yang tersedia itu dapat menjadi penanda bagaimana media menempatkan suatu objek pemberitaan. Dalam teks, ditemukan penggunaan kata pembantaian, pembersihan, pemberantasan, penumpasan, kebrutalan, menghancurkan, dimusnahkan, budak, perlawanan, santapan, nasib yang kelam, antek, menyeret, pembumihangusan, menghabisi, menciduk, dan mengamankan. Penggunaan kata tersebut memiliki makna dan penekanan tertentu sehingga dari membaca pilihan kata tersebut, pola berpikir pembaca dapat dipengaruhi. Hal tersebut merupakan kekuatan media dalam membentuk suatu wacana. 6. Analisis Elemen Retoris Strategi dalam level retoris ini adalah gaya yang diungkapkan ketika seseorang berbicara atau menulis.23 Dalam analisis elemen retoris terdapat dua poin kajian utama yaitu metafora dan grafis. Metafora merupakan gaya bahasa, kiasan, ungkapan yang digunakan untuk memberikan bumbu-bumbu pada berita. Dalam pemberitaan ditemukan gaya bahasa metafora berupa penggunaan kata dan kalimat berikut ini: menghabisi sampai akar-akarnya, menghabisis, membersihkan, pembersihan, tertuang, bersentuhan, dan santapan. Selain metafora juga terdapat gaya bahasa spesialisasi, diantaranya nampak pada kata budak. Gaya bahasa ameliorasi pada frasa menutup belangnya. Gaya bahas hiperbola pada kalimat membuat panas wilayah Jembrana. Gaya bahasa asosiatif pada frasa motor penumpasan. Selain elemen gaya bahasa, juga ditemukan elemen grafis. Pada elemen grafis ditemukan penekanan-penekanan melalui desain tulisan yang berwarna merah. Misalnya kalimat yang berwarna merah ditemukan pada tulisan judul, paragraf berita, dan caption foto. 22 23 Eriyanto. Op.Cit., Hal. 255 Alex Sobur. Op.Cit., hal. 84. 12 B. Analisis Level Kognisi Sosial Kognisi sosial memiliki dua arti. Pertama, menunjukkan bagaimana proses teks tersebut diproduksi wartawan/media, kedua, menggambarkan nilai-nilai yang ada di masyarakat itu diserap oleh wartawan dan akhirnya digunakannya untuk membuat teks berita.24 Ada tiga temuan dalam analisis level kognisi sosial: 1. Proses Penerbitan Edisi Liputan Khusus Ide liputan tersebut bermula dari munculnya film berjudul The Act of Kiling garapan Joshua Oppenheimer. Dalam film tersebut dibahas mengenai kisah salah satu algojo pembantaian anggota PKI di Medan yang bernama Anwar Congo. Munculnya film ini memicu keinginan redaksi untuk menghadirkan liputan yang lebih luas, dalam, dan menarik. Selain itu, pihak redaksi juga mendapat surat khusus dari Associate Professor, Australian National University, Ariel Heryanto, yang menyebutkan bahwa film ini mampu mengubah paradigma masyarakat Indonesia terkait peristiwa 1965. Maka diambillah isu tersebut dalam skala nasional dalam menyoroti sisi para algojo. 2. Militer Berperan Penting dalam Penumpasan Dalam pemberitaan ditemukan informasi bahwa militer berperan penting dalam proses penumpasan. Hal tersebut didasari oleh terbitnya surat perintah untuk membentuk Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Setelah dibentuk, Kopkamtib memerintahkan masyarakat untuk menumpas PKI sampai akar-akarnya. Selain terbitnya surat perintah Kopkamtib itu, terbit pula serangkaian aturan lain yang membatasi ruang gerak paham komunis, diantaranya adalah TAP MPRS XXV/1966. Dalam TAP MPRS itu dicitrakan bahwa paham komunisme dapat mengancam kedudukan Pancasila, sehingga komunisme halal untuk ditumpas. Militer bertanggung jawab atas pembantaian yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Hal tersebut didasari oleh misi dibentuknya Kopkamtib yang menginginkan penumpasan anggota PKI. Militer juga menciptakan mekanisme yang sama selama melakukan proses penumpasan. Mereka menggunakan massa sebagai garda depan untuk menumpas PKI dan keterlibatan militer tidak secara 24 Eriyanto, Op.Cit., hal. 222. 13 langsung. Umumnya militer memberikan fasilitas berupa persenjataan dan alatalat transportasi untuk mengangkut para tahanan. 3. PKI menjadi Korban Politik Pasca peristiwa pemberontakan, PKI muncul sebagai golongan yang tertuduh bertanggungjawab atas pembunuhan tujuh jenderal. Maka gejolak politik pun tidak dapat dihindarkan dan mulai ditandai dengan pembunuhan besar-besaran anggota PKI maupun yang tertuduh PKI di seluruh wilayah Indonesia. Mereka yang terlibat langsung maupun yang tidak terlibat langsung ikut dilibas. Mereka dibunuh, diasingkan, dan dihilangkan hak-haknya hingga memunculkan gejolak sosial dalam waktu yang cukup lama. Mereka hadir menjadi korban kebiadaban politik yang tidak diakui hak-haknya sebagai warga negara. Pada umumnya para korban terdiri dari golongan rakyat kecil yang pada dasarnya tidak memahami permasalahan sebenarnya. Mereka menjadi korban kekejaman politik dan harus menanggung derita dalam waktu yang cukup lama. Maka berbagai upaya pun dilakukan untuk menyelesaikan persoalan bangsa yang telah lama berlarut-larut tersebut, termasuk pemberitaan yang ditulis oleh Tempo. C. Analisis Level Konteks Sosial Sedangkan berdasarkan penelusuran literatur yang berkaitan dengan konteks sosial saat wacana tersebut diproduksi ditemukan bahwa militer memiliki kekuasaan (power) dan akses. Kekuasaan yang dimiliki militer mampu mengontrol pihak lain sehingga mampu menciptakan suatu wacana tertentu. Aktivitas mengontrol ini bersifat langsung dan persuasif yang dapat mengakibatkan timbulnya stigma sesuai yang dicitrakan. PKI dicitrakan sebagai pihak yang harus disingkirkan karena menganut nilai-nilai yang bertentangan dengan Pancasila. Stigma negatif tersebut hadir melalui propaganda-propaganda yang dilakukan oleh pemerintah saat itu. Presiden Soeharto yang berlatar belakang militer menjadi penanggung jawab atas kebijakan tersebut. Selain memiliki kekuasaan (power) militer juga memiliki akses. Akses ini semakin lebar ketika pemerintah mengesahkan kebijakan Dwifungsi ABRI. 14 Dalam kebijakan tersebut, tentara memiliki wewenang sebagai eksponen yang duduk di kursi sosial politik terlepas dari fungsi awalnya sebagai alat pertahanan negara. Kebijakan ini membuat jabatan-jabatan sosial politik juga diisi oleh militer. Seiring berjalannya waktu, dalam penerapan kebijakan ini ditemukan pelanggaran-pelanggaran pada pihak militer, selain itu, pemerintah Orde Baru juga menggunakannya untuk melanggengkan kekuasaan. Maka, pada masa Reformasi, kebijakan ini dihapus dan militer kembali kepada fungsi dasarnya sebagai alat pertahanan negara. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian terhadap berita di Majalah Tempo edisi khusus Pengakuan Algojo 1965 periode 1-7 Oktober 2012 menunjukkan bahwa citra militer yang dihadirkan dalam pemberitaan cenderung terkesan negatif. Militer digambarkan sebagai sosok yang kejam atas perannya sebagai fasilitator maupun algojo pembantaian. Militer juga terbukti berperan dalam menciptakan mekanisme pembantaian dan menyebarkan propaganda negatif kepada pihakpihak yang tertuduh sebagai anggota PKI. Hal ini berdasarkan analisis struktur teks yang ditemukan melalui elemen tematik, skematik, semantik, sintaksis, stilistik, dan retoris. Dari analisis kognisi wartawan pada pemberitaan Pengakuan Algojo 1965 ditemukan bahwa berita tersebut dihadirkan sebagai upaya untuk tidak melupakan sejarah bangsa Indonesia. Bahwa di masa lalu, bangsa Indonesia pernah melakukan kesalahan dan harus diselesaikan meskipun harus membuka luka lama. Melalui pemberitaannya Tempo menawarkan adanya upaya rekonsiliasi nasional dan dibentuknya pengadilan adhoc untuk mengatasi kasus tersebut. Sedangkan berdasarkan penelusuran literatur yang berkaitan dengan konteks sosial saat wacana tersebut diproduksi ditemukan bahwa militer memiliki kekuasaan (power) dan akses. Kekuasaan yang dimiliki militer mampu mengontrol pihak lain sehingga mampu menciptakan suatu wacana tertentu. Aktivitas mengontrol ini bersifat langsung dan persuasif yang dapat mengakibatkan timbulnya stigma sesuai yang dicitrakan. PKI dicitrakan sebagai 15 pihak yang harus disingkirkan karena menganut nilai-nilai yang bertentangan dengan Pancasila. Stigma negatif tersebut hadir melalui propaganda-propaganda yang dilakukan oleh pemerintah saat itu. Presiden Soeharto yang berlatar belakang militer menjadi penanggung jawab atas kebijakan tersebut. Selain memiliki kekuasaan (power) militer juga memiliki akses. Akses ini semakin lebar ketika pemerintah mengesahkan kebijakan Dwifungsi ABRI. Dalam kebijakan tersebut, tentara memiliki wewenang sebagai eksponen yang duduk di kursi sosial politik terlepas dari fungsi awalnya sebagai alat pertahanan negara. Kebijakan ini membuat jabatan-jabatan sosial politik juga diisi oleh militer. Seiring berjalannya waktu, dalam penerapan kebijakan ini ditemukan pelanggaran-pelanggaran pada pihak militer, selain itu, pemerintah Orde Baru juga menggunakannya untuk melanggengkan kekuasaan. Maka, pada masa Reformasi, kebijakan ini dihapus dan militer kembali kepada fungsi dasarnya sebagai alat pertahanan negara. Saran Berdasarkan temuan peneliti, dalam analisis teks elemen stilistik ditemukan pengulangan kata pembantaian pada pemberitaan. Kata pembantaian memiliki arti pembunuhan yang dilakukan secara kejam dengan korban lebih dari seorang. Secara tidak langsung penggunaan kata tersebut sekaligus mengarahkan bahwa subjek pelaku pembantaian memiliki karakter kejam. Korban pembantaian diposisikan sebagai pihak yang tertimpa musibah, nasib buruk, dan penanggung derita. Hal tersebut dapat menciptakan image bahwa mereka yang menjadi korban harus diperjuangkan hak-haknya dan para pelaku dituntut perbuatannya. Selain kata pembantaian, Tempo juga menggunakan kata pembersihan, pemberantasan, dan penumpasan. Kata-kata tersebut dapat memberikan arti bahwa PKI adalah subjek kejahatan (evil) sehingga harus disingkirkan. Penggunaan kata-kata tersebut juga mengandung penekanan-penekanan tertentu dan dapat menciptakan image tertentu. Sebaiknya, dalam menuliskan berita Majalah Tempo dapat menggunakan diksi yang lebih netral atau setidaknya menggunakan kata yang tidak mengandung 16 penekanan-penekanan tertentu. Agar kata tersebut tidak menggiring pembaca kepada image tertentu dan memposisikan Tempo sebagai media yang independen. Daftar Pustaka Adam, Asvi Warman. (2009). Membongkar Manipulasi Sejarah, Kontroversi Pelaku dan Peristiwa. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Eriyanto. (2012). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS Group. Fiske, John. (2011). Cultural and Communication Studies. Yogyakarta: Jalasutra. Hasan, Kamaruddin. (2009). “Komunikasi Politik dan Pencitraan: Analsis Teoritis Pencitraan Politik di Indonesia.” Jurnal, Universitas Malikussaleh Lhokseumawe NAD, Indonesia. Kusumaningrat, Hikmat dan Purnama Kusumaningrat. (2006). Jurnalistik: Teori dan Praktik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Pawito. (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. (1993). Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka. Rahimi, Forough and Mohammad Javad Riasati. (2011). “Critical Discourse Analysis: Scrutinizing Ideologically-Driven Discourse.” Jurnal, Islamic Azad University, Iran. Smith, Edward C. (1983). Sejarah Pembredelan Pers di Indonesia, terj. Atmakusumah, dkk. Jakarta: PT. Temprint. Sobur, Alex. (2009). Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 17