BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ini adalah daerah kekuasaan kami Jangan lewati batas ini jangan campuri apa yang terjadi di sini Karena kalian penonton kalian adalah orang luar Jangan rubah cerita yang telah kami susun Jangan belokkan jalan cerita yang telah kami rencanakan Karena kalian adalah penonton Kalian adalah orang luar Kalian harus diam Panggung seluas ini hanya untuk kami Karena kalian adalah penonton, kalian harus diam! (Batas Panggung - Wiji Thukul) Wiji Thukul, seorang aktivis yang cukup membuat pemerintahan Orde Baru ketar-ketir. Ia hilang pada saat kerusuhan tahun 1998. Ia juga menjadi salah satu dari para aktivis yang sama sekali tidak diketahui keberadaannya. Apakah masih hidup? Atau sudah meninggal? Sampai sekarang tidak ada sama sekali kabar tentang dirinya. Puisi di atas adalah buah tangan Wiji Thukul, sindiran kerasnya terhadap para penguasa membuatnya menjadi salah satu musuh bagi Orde Baru dan rezimnya kala itu. “Batas Panggung” menunjukkan bahwa, menurut Wiji Thukul, memang benar sudah ada alur cerita yang disiapkan oleh para penguasa. Banyak hal yang terjadi dalam sejarah negeri ini adalah skenario para penguasa. Para “bukan penguasa” dianggap hanya sebatas penonton. Bukan aktor yang aktif membentuk cerita dalam suatu babak. Penonton tidak 1 punya hak untuk mengubah jalan cerita suatu pertunjukan. Mereka hanya bisa diam dan berkomentar dengan sembunyi-sembunyi kalau jalan ceritanya tidak sesuai dengan harapan mereka atau para aktornya melakukan hal yang tidak mereka inginkan. Tidak ada banyak pilihan ketika seseorang sudah di-PKI-kan. Orang itu harus mengalami kejadian yang buruk. Hal semacam itu dapat muncul karena keberhasilan suatu rezim dalam menginternalisasi suatu stereotype. Bahwa PKI adalah jahat, PKI adalah pembunuh dan Gerwani adalah gerakan wanita pelacur yang menjalin kerja sama antagonis dengan PKI. Stereotype tentang PKI dan orang-orang yang dianggap terlibat semacam ini direproduksi dalam banyak cara1. Saat ini para “penonton” itu sudah tidak lagi pasif. Mereka lebih memiliki kesadaran untuk kritis dan aktif dalam pembentukan cerita dalam hidupnya. Mereka sadar jika memiliki hak untuk menciptakan sendiri suatu pertunjukan yang sesuai dengan harapan mereka. Salah satunya ditunjukkan oleh Papermoon Puppet Theater. Kelompok teater boneka ini dua tahun belakangan secara aktif membuat karya yang berusaha mengungkapkan cerita tentang sejarah abu-abu Indonesia menurut versi mereka, bukan versi yang dipengaruhi oleh penguasa. Indonesia adalah salah satu Negara yang belum dapat menerima sejarah kelam yang pernah dialaminya. Indonesia melakukan penolakan atas sejarah kelam yang 1 Salah satunya adalah beredarnya cerita bahwa di madiun ada patung Ulama disiksa oleh orang yang membawa clurit (clurit = lambang PKI). Tanpa harus menunjuk siapa pelakunya tetapi peran simbol dalam hal ini clurit langsung membuat identitas menjadi jelas. Reproduksi stigma adalah alat politik. Soeharto dianggap pahlawan karena dia berhasil mereproduksi stigma terhadap PKI tersebut. Padahal belum tentu sejarah benar 2 pernah dialaminya. Tidak pernah ada monumen yang dibangun oleh pemerintah Indonesia untuk menghormati korban kekerasan di sekitar tahun 1965. Hanya ada museum Lubang Buaya sebagai penghormatan untuk 8 tokoh pahlawan revolusi. Tetapi bukan untuk para korban yang jatuh pasca September 1965. Padahal tidak sedikit pula mereka yang kehilangan nyawa karena terlibat atau dituduh terlibat dengan Partai Komunis Indonesia yang bertanggung jawab atas kematian 8 tokoh tentara bersenjata Indonesia. Berbeda misalnya dengan di Jerman. Ada banyak bangunan atau tempat yang khusus dibuat untuk memperingati salah satu peninggalan atas sejarah kelam yang pernah terjadi di sana. Holocaust, pembunuhan besar-besaran orang ras Yahudi atas perintah Der Fuehrer. Salah satunya adalah Sachsenhausen. Sachsenhausen dulunya adalah kamp konsentrasi milik Nazi. Kamp konsentrasi ini mulai aktif pada tahun 1936. Selama kurun waktu sekitar 9 tahun, ribuan orang Yahudi dikurung di sana. Mereka dipaksa bekerja tanpa diberi makanan yang layak. Ribuan jiwa juga yang berakhir pada kematian, karena penyakit, kelaparan, atau “dimandikan”2. Saat ini, Sachsenhausen tetap dipertahankan keberadaannya dengan sedikit renovasi, tempat ini dijadikan sebagai pengingat tentang apa yang pernah terjadi dalam sejarah kelam Jerman. Masa di mana nyawa manusia tidak berharga ketika 2 Istilah mandi digunakan untuk membawa orang-orang Yahudi yang ditahan tersebut masuk ke dalam suatu ruangan, ruang asap. Mereka dibunuh dengan asap beracun dalam sebuah ruangan. Orang-orang ini tidak mengetahui apa yang akan terjadi pada mereka. Satu hal yang mereka ketahui adalah mereka akan diberi kesempatan untuk mandi, karena mereka diperintahkan untuk melepas semua pakaian mereka sebelum kemudian masuk ke ruang asap beracun. 3 mereka menjadi berbeda dengan mereka para penguasa. Sebuah monumen dibangun di tengah-tengah lapangan luas dan dipersembahkan untuk mereka para korban yang jatuh pada masa pemerintahan Nazi, pimpinan der fuehrer, Adolf Hitler. Pertunjukan yang dibuat dan ditampilkan oleh Papermoon Puppet Theater ini adalah salah satu bentuk penghormatan dan bentuk kepedulian terhadap banyaknya nyawa yang harus dicabut dan segala bentuk kehilangan atas nama pembelaan Negara, atas nama dasar Negara dan cerita yang disiapkan oleh para penguasa Negara. Teater boneka dan Papermoon sendiri memiliki target penikmat karya seni pertunjukan ini. Dari banyak penonton Mwathirika tidak sedikit yang baru saja mendengar tentang kesedihan dan kesengsaraan korban paska 1965 ketika menyaksikan pertunjukan itu. Hal inilah yang penting bagi karya ini, memberi lebih banyak informasi tentang sejarah kelam bangsa ini. Karena “ingatan tidak hanya sekadar luka goresan tapi mengenali luka bekas goresan tersebut”. Artinya sejarah bukan hanya sebatas diingat, tapi juga diperlukan pemaknaan atas suatu kejadian di masa lampau untuk lebih dapat dikatakan berhasil “mengingat”. Mengutip kata-kata dari Paul Ricoeur, “and the tiniest way of paying out debt is to tell and retell what happened.. by remembering and telling, we’re not only prevent forgetfulness from killing the victims twice, we also prevent their life stories from becoming banal., and the events from appearing as necessary” 4 A.1. Tentang Papermoon Puppet Theater Papermoon, lewat teater boneka “Mwathirika” berusaha menceritakan kembali sejarah kelabu Indonesia tahun 1965 dari sudut pandang lain dari versi yang diceritakan oleh Negara. Sejarah Indonesia tahun 1965 merupakan hal yang sangat menarik bagi Papermoon untuk dieksplorasi. Pertunjukan ini merupakan hasil dari riset dan refleksi peribadi anggotanya dalam waktu yang tidak sebentar. Papermoon adalah sebuah teater boneka. Basisnya di Yogyakarta, mereka menjadi semacam aliran baru bagi seni pertunjukan dengan menggunakan boneka atau wayang di Indonesia. Dalam kurun waktu hampir tiga tahun belakangan, Papermoon selalu membuat pertunjukan dengan latar belakang sejarah, khususnya sejarah yang berkenaan dengan kejadian tahun 1965. Sejarah tentang PKI dan terutama dampaknya paska tragedi 1965. Teater boneka tanpa kata menjadi lebih menarik karena dibutuhkan penafsiran ulang dari para penonton pertunjukannya. Dengan penafsiran yang berbeda kemudian Papermoon mencegah terjadinya “penyusunan” cerita yang dipaksakan pada penontonnya. Kekuatan lainnya adalah pertunjukan ini menjadi sangat universal. Gesture manusia adalah bahasa yang paling universal. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Abraham Mehrebian pada tahun 1968 dan Bob Birdwhistle tahun 1970 diungkapkan bahwa gesture tubuh berperan sebesar 55% dalam pemahaman manusia ketika bertukar informasi dan efektivitas intonasi sebesar 38%. Sedangkan kekuatan 5 kata hanya 7% saja. Karya Papermoon yang satu ini bisa mendunia karena bahasa tubuh yang digunakan dapat dipahami oleh semua orang tidak terbatas pada kata-kata saja. Center Stage dari Amerika Serikat mengundang tim Papermoon untuk melakukan tur di 7 kota di AS. “Mwathirika”, sebagai judul pertunjukan teater boneka ini diambil dari bahasa Swahili, sebuah suku di Afrika. Artinya, Korban. Pada waktu tragedi 1965 itu pecah semua pihak bisa menjadi korban. Mereka yang PKI dan dituduh PKI menjadi korban karena kehilangan nyawa di tangan para algojonya. Mereka yang bisa selamat harus juga menjadi korban diskriminasi di masa Orde Baru. Para algojo pun menjadi korban sistem yang memang dibuat oleh pihak tertentu demi keuntungannya. Pertunjukan ini ingin menceritakan bahwa korban bukan hanya mereka yang harus kehilangan nyawa. Mereka yang mengalami rasa kehilangan pun juga bisa menjadi korban. Anak kecil, orang dewasa, laki-laki dan perempuan semua bisa menjadi korban dalam suatu peristiwa. Papermoon kemudian memiliki arti sendiri untuk menjelaskan tentang “korban” menurut versi mereka di masa kini, “Korbannya adalah mereka, orang muda yang tidak tahu cerita sejarah ini. Bukan lagi mereka yang dibunuh, bukan yang hilang” (Iwan Effendi, 2012). Untuk itulah pertunjukan ini dibuat dan didedikasikan untuk para korban pembantaian paska peristiwa G30S di Indonesia. B. RUMUSAN MASALAH Masih banyak orang di Indonesia khususnya anak muda yang masih terpaku pada satu versi cerita tentang sejarah kelam Indonesia. Sejarah tentang kehilangan dan 6 kehilangan sejarah di Indonesia terkait kejadian Gerakan 30 September 1965. Ketidaktahuan mengenai tragedi 1965 kemudian dapat berakibat panjang pada kelangsungan hidup negara Republik Indonesia. Kebencian yang ditanamkan oleh rezim Orde Baru pada semua hal yang berbau komunis, ditambah lagi dengan sedikit kognisi mengenai kejadian tersebut bisa melanggengkan strategi politik rezim Orde Baru. Untuk mencegah hal itu, maka penceritaan kembali sejarah dari berbagai versi dibutuhkan. Rememorasi dibutuhkan untuk menyadarkan bahwa dalam sejarah yang tidak kalah penting adalah dampak dari sejarah tersebut. Bukan hanya bagaimana sejarah itu bisa terjadi, siapa tokohnya. Papermoon Puppet Theater menyadari hal itu dan mulai membuat karya yang menceritakan tentang kejadian-kejadian paska G30S meletus. Daripada hanya menggunakan tulisan, Papermoon menggunakan media boneka untuk menyampaikan gagasannya tentang sejarah 1965 versi lain dari yang selama ini dipercaya dan digunakan oleh pemerintah Indonesia. Dari gambaran tersebut, muncul pertanyaan sebagai berikut Bagaimana rememorasi tentang peristiwa terkait tragedi 30 September 1965 dalam versi berbeda bisa dimunculkan dalam sebuah teater boneka? C. TUJUAN PENELITIAN Adapun tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui cerita sejarah versi berbeda dari yang selama ini diakui kebenarannya oleh negara 7 2. Menjelaskan pentingnya penceritaan kembali sejarah kelam Indonesia, bukannya mencoba menghilangkan atau melupakannya, untuk menghindari akibat buruk yang bisa terjadi 3. Menjelaskan tentang kemungkinan-kemungkinan akibat buruk yang dapat terjadi jika masyarakat tidak dapat memaknai dan belajar dari sejarah 4. Menjelaskan peranan dan posisi teater boneka sebagai sarana rememorasi tragedi sejarah Indonesia tahun 1965 5. Menambah wacana baru tentang cara penceritaan kembali sejarah melalui pertunjukan kesenian, khususnya teater boneka D. TINJAUAN PUSTAKA Nadia, Ita F. Suara Perempuan Korban Tragedi ’65. 2008. Yogyakarta : Galang Press Daripada menceritakan tentang apa yang dilakukan oleh Gerwani pada saat menyiksa para Dewan Djenderal pada malam 30 September 1965, seperti yang selalu muncul selama Orde Baru, buku ini lebih mengungkapkan pada apa yang dialami oleh para perempuan yang dituduh memiliki kedekatan dengan PKI. Baik itu Gerwani, istri PKI, dan perempuan-perempuan lain yang kebetulan saat itu berkegiatan bersama PKI. Buku ini adalah tesis yang dilakukan Ita F Nadia untuk menyelesaikan pendidikan S2 di University of Amsterdam, Belanda. Kemudian, tesis ini dibukukan dan dipublikasikan secara umum penerbit Galang Press, Yogyakarta.. 8 Diungkapkan juga tentang kebohongan yang diciptakan oleh Soeharto tentang Gerwani yang menari telanjang, dan memperkosa para Dewan Djenderal sebelum akhirnya membunuhnya dengan kejam. Menyayat kulitnya, memotong penisnya, dan mencungkil mata korbannya. Semua berita yang muncul ke masyarakat dikonstruksi sedemikian rupa sehingga kebencian kepada Partai Komunis Indonesia timbul dalam pemikiran masyarakat. Pada waktu itu, malam 30 September 1965 puluhan perempuan anggota organisasi pemuda, dari serikat buruh dan barisan tani, beberapa saja anggota Gerwani sedang dikumpulkan di Lubang Buaya untuk mengikuti Kampanye anti-Malaysia, bagian dari gerakan Ganjang Malaysia yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno. Pada tengah malam ketika tengah tertidur, para perempuan ini dikagetkan oleh adanya puluhan tentara yang masuk sambil berteriak-teriak murka, dan menyuruh para perempuan ini keluar dari barak. Tanpa alasan yang jelas tentara-tentara ini mengumpulkan para perempuan peserta pelatihan Ganjang Malaysia ini di tengah lapangan Lubang Buaya. Para perempuan itu kemudian dipaksa menari-nari telanjang di depan tentara tersebut dan dipaksa untuk mengakui bahwa mereka adalah pembunuh para Dewan Djenderal. Selain kontroversi tentang kejadian malam 30 September 1965. Buku ini lebih banyak lagi mengungkapkan pengalaman para perempuan eks-tapol. Mereka yang pernah mengalami masa gelap, disiksa dan diperkosa, yang bisa selamat dan berani menceritakan kembali pengalaman buruknya tersebut. “Akhirnya Pemerkosa Itu Jenderal Pensiun”, “Membangun Kekuasaan di Atas Perkosaan”, “Mengapa 9 Perempuan Harus Punya Vagina dan Payudara?”, “Saya Tinggal Sebatang Jasad” adalah beberapa judul tulisan hasil wawancara yang termuat dalam buku ini. Juduljudul yang sangat menunjukkan rasa frustrasi dari para narasumbernya. Cerita-cerita yang muncul pun terkadang sangat jauh dari akal sehat. Sangat tidak terbayang bagaimana manusia, sebangsa, sebahasa tega memperlakukan sesamanya sebegitu kejam. Para perempuan Eks-tapol ini semuanya mengalami kekerasan dari banyak orang. Mereka adalah orang-orang yang merasa pantas untuk menyiksa dan membunuh orang-orang yang ada hubungan dengan PKI. Kekerasan fisik dan siksaan seksual tidak berhenti ketika para perempuan ini ditahan di penjara. Pembebasan dari penjara menjadi cobaan lain bagi mereka. Keluarga, teman dan saudara yang mereka kenal sudah banyak yang tidak mau menerima mereka lagi. Cap sebagai pelacur dan pembunuh terlanjut lekat pada diri mereka. Dekat dan kenal dengan perempuan ekstapol ini bukan hanya menjadi sumber rasa malu tapi juga awal dari ketidaktenteraman hidup. Keluarga, saudara dan teman yang mereka kenal dan mau menerima dengan apa adanya adalah sesama penghuni tahanan. Keluar dari penjara bisa jadi kelegaan sekaligus sumber ketakutan baru untuk mereka. Tidak jarang, ketika keluar dari tahanan, petugas penjara menawarkan “kebaikan” dengan mengajak untuk tinggal dan bekerja di rumahnya sebagai pembantu rumah tangga. Tetapi kebaikan itu hanyalah muslihat. Selain dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga, para perempuan ini juga dijadikan pemuas libido. 10 Kisah tutur yang dituliskan dalam buku ini bukan sekadar berhenti pada pemaknaan penderitaan yang dirasakan oleh para korban. Lebih jauh dari itu, kisahkisah ini seharusnya menjadi pelatuk bagi usaha untuk mengakhiri “politik pembisuan” bagi para korban paska tragedi G30S, pun menjadi usaha untuk mengembalikan martabat kemanusiaan dan mencegah potensi kekerasan dan diskriminasi semacam ini terulang lagi. Schaefer, Bernd ; Baskara, T. Wardaya. 1965: Indonesia dan Dunia. 2013. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Sekitar tiga minggu setelah peristiwa di Jakarta, pada malam 30 September 1965, pembunuhan massal mulai terjadi di provinsi Jawa Tengah. Banyak orang di Jawa Tengah yang dibunuh begitu saja oleh gerombolan massa dengan dukungan personel militer. Mereka begitu saja dibunuh dengan tuduhan bahwa mereka adalah komunis, dan menjadi yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada Dewan Djenderal pada peristiwa di akhir September tahun itu. Bulan November 1965, pembunuhan ribuan orang yang lebih parah juga terjadi di Jawa Timur. Kemudian di bulan Desember, pembunuhan serupa menjalar ke Pulau Bali. Pembunuhan-pembunuhan tersebut juga terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, tetapi intensitasnya tidak sebesar yang terjadi di Jawa dan Bali. Total, diperkirakan ada sekitar 500.000 sampai 1.000.000 jiwa melayang dibunuh tanpa alasan yang jelas. Mereka yang dituduh komunis namun bisa selamat dari pembunuhan dibawa ke penjara di berbagai tempat di seluruh Indonesia. Ada tidak kurang dari 10.000 orang 11 dikirim untuk diasingkan di Pulau Buru, Kepulauan Maluku. Para tahanan perempuan dibawa ke penjara di Desa Plantungan, Jawa Tengah. Tidak hanya berhenti di situ, anggota keluarga dan sanak saudara dari orang-orang yang dibunuh dan atau dipenjarakan itu disingkirkan dari kehidupan masyarakat. Mereka dianggap sudah tercemar oleh komunisme, dan karena itu tidak diperbolehkan untuk bekerja di instansi pemerintahan atau militer. Hal ini terus berlanjut bahkan sampai waktu yang sangat lama setelah peristitwa 1965 terjadi. Ada satu versi yang mengungkapkan bahwa sebetulnya pada tahun 1965 tersebut, sebenarnya para militer Angkatan Darat lah yang merencanakan sebuah kudeta terhadap Presiden Soekarno. Soekarno kala itu sedang sangat dekat dengan Partai Komunis Indonesia. Partai yang memiliki sangat banyak pengikut semenjak menjadi lima besar partai pemenang Pemilu pertama, tahun 1955. Lewat Nasakomnya, Presiden Soekarno ternyata membuat takut para pegiat politik Indonesia kala itu. Angkatan Darat dan partai-partai yang berlatar belakang agama terutama merasa tidak aman posisinya. PKI kala itu harus memanfaatkan kedekatannya dengan Presiden, sang Panglima Tertinggi Indonesia. Oleh karena itu, mendengar rencana kudeta yang akan dilancarkan oleh para Dewan Djenderal Angkatan Darat, PKI merasa bertanggung jawab untuk melindungi nyawa dan kekuasaan yang dimiliki Presiden Soekarno. Singkatnya, PKI dan Angkatan Darat sama-sama saling menunggu waktu yang tepat untuk melancarkan rencananya masing-masing. Sampai pada waktunya, PKI 12 merasa waktunya sudah tepat untuk menyerang Angkatan Darat, dimulai dengan para pimpinan kudeta, yaitu para Dewan Djenderal, malam 30 September 1965. Ternyata di luar dugaan, tokoh baru muncul, Soeharto yang kala itu tidak masuk dalam rencana PKI mengambil alih Angkatan Darat dan berhasil membalikkan keadaan. Semua berita yang beredar, semua paham yang menyebar membuat PKI tersudut. Mulai dari saat itu, serangan balik Soeharto pada PKI menjadi awal usahanya sampai bisa menduduki kursi kepresidenan tidak sampai setahun setelah kejadian tersebut. Sebetulnya banyak faktor yang melatarbelakangi peristiwa yang terjadi di September 1965 tersebut. Sangat banyak sudut pandang yang memandang peristiwa tersebut dari sudut pandang yang berbeda. Tetapi pemerintahan era Soeharto lebih suka untuk memberikan narasi tunggal pada masyarakat. Menurut versi pemerintah, tidak diragukan lagi jika orang-orang komunis lah yang menjadi pelaku tunggal pembunuhan para jenderal. Kurniawan et al. Pengakuan Algojo 1965. 2013. Jakarta : Tempo Publishing Instruksi pemerintah untuk “bersih lingkungan” menyulut pembunuhan dan pembantaian yang muncul di Jawa dan Bali. Dalam beberapa waktu setelahnya kejadian itu menyebar ke daerah lain. Para algojo bermunculan. Atas nama dendam pribadi, keyakinan dan ketakutan, para algojo tersebut menunaikan “tugasnya” untuk memusnahkan mereka yang dicap PKI. 13 Tidak sedikit dari para algojo tersebut yang tidak menyesal atas apa yang pernah dilakukannya. Nyawa puluhan bahkan ratusan orang telah dicabutnya, empat puluhan tahun yang lalu. Ada yang mengatakan bahwa membunuh PKI adalah tugasnya, karena PKI itu iblis, darahnya halal. Ada yang menyatakan bahwa mereka membunuh PKI sebelum mereka yang dibunuh PKI, tidak ada pilihan lain. Tragedi Kanigoro, pertama kalinya massa PKI melakukan serangan besarbesaran di Kediri. Pada pertengahan Januari 1965, PKI menuntut balas atas pembunuhan sejumlah kader PKI di Madiun dan Jombang yang terjadi pada akhir tahun 1964. PKI melakukan penyerangan pada sebuah Pondok Pesantren Al-Jauhar di Desa Kanigoro, Kecamatan Kras Kediri. PKI menyerbu pondok pesantren pada dini hari. Mereka mengumpulkan ratusan peserta pelatihan mental Pelajar Islam Indonesia, lalu menggiring sebagian besar di antaranya ke kantor polisi untuk diserahkan. Meski tidak ada korban jiwa, kejadian ini menimbulkan trauma dan kemarahan kalangan pesantren dan anggota Ansor Kediri. Kala itu, para santri dan anggota Ansor ini tidak langsung membalas, tetapi seperti bom waktu kemarahan mereka tinggal menunggu waktu untuk meledak. Kiai Idris Marzuki, pengasuh pesantren Lirboyo, mengakui jika ketegangan antara PKI dan santri sudah berlangsung sebelum pembantaian. Setiap kali berpapasan kedua pihak saling melotot, menunjukkan dominasi satu sama lain. Tragedi Kanigoro menjadi penguat tekad kaum pesantren dan anggota Ansor Kediri untuk menghabisi PKI. Pembantaian mencapai puncaknya ketika pemerintah mengumumkan bahwa PKI adalah anggota terlarang. 14 Walau ada banyak dari algojo yang tidak merasa bersalah telah menghabisi banyak nyawa orang yang dicap PKI, selalu ada trauma yang ditimbulkan. Supardi, 71 tahun, mantan algojo PKI sekarang harus menghabiskan hidupnya terpasung oleh rantai sepanjang dua meter yang mengunci kakinya. Kejiwaannya terganggu hanya berselang 3 tahun setelah pembantaian. Emosinya sering tidak terkendali, lebih-lebih jika mendengar pembicaraan tentang PKI. Ketika “kumat”, ia sering membawa senjata tajam dan menakuti penduduk di sekitar tempat tinggalnya. Supardi, dulunya adalah seorang pendekar di Tulungagung, Jawa Timur. Ia disegani karena tubuhnya yang tinggi besar dan juga menguasai ilmu bela diri. Kehebatannya dalam ilmu bela diri itulah yang membuat Pengurus Gerakan Pemuda Ansor, Tulungagung merekrutnya menjadi algojo dalam pembantaian anggota PKI pada 1965. Buku ini mencoba melihat peristiwa paska G30S dari sudut pandang para algojo tanpa niat menyudutkan pelakunya. Politik Indonesia pada masa itu sangat kompleks. Menjelang tragedi 1965, ketegangan antara PKI dan partai lainnya memanas. PKI yang kala itu merasa berada di posisi yang lebih baik menekan penduduk yang tidak sealiran. Ketika keadaan berbalik, arus kemarahan akan pembalasan jadi tidak terkendali. Pembunuhan direstui oleh sesepuh masyarakat dan tokoh agama. “Masa 1965-1966 tak bisa dinilai dengan norma dan nilai-nilai masa kini. Membaca sejarah kelam Indonesia pada masa itu hanya dapat dilakukan dengan memperhatikan konteks sosial-ekonomi pada masa itu pula” 15 Roosa, John. 2009. Dalih Pembunuhan Massal : Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto. Jakarta: Hasta Mitra Ditulis oleh seorang peneliti Indonesia dari Universitas Cornell, Amerika Serikat. Buku ini sempat diterbitkan oleh penerbit Hasta Mitra, Jakarta, pada tahun 2008. Dua tahun setelahnya, buku ini dilarang terbit lagi oleh pemerintah. Sebagai perlawanan, penerbit dan penulis setuju untuk mengunggah versi e-book secara bebas di internet. Buku karya John Roosa ini disebut sebagai sumber yang memuat analisis dan data mengenai kejadian seputar G30S paling lengkap dan bisa dpercaya validitasnya. Selama kurang lebih 7 tahun, penulisnya tinggal di Indonesia dan melakukan banyak riset serta wawancara pada pelaku langsung dan saksi. Buku-buku yang terbit setelah Dalih Pembunuhan Massal biasanya tidak memuat kebaruan dalam penemuan seputar kasus G30S. Banyak penelitian akademis yang juga menjadikan buku ini sebagai referensi. Begitu pula dengan Papermoon, Ria dan Iwan mendapatkan ide berawal dari perkenalannya dengan buku ini ketika sedang menjalani residensi seniman di Amerika Serikat. Buku ini membahas tentang beberapa kemungkinan di balik kejadian G30S tahun 1965, salah satunya adalah kemungkinan adanya peran Soeharto untuk bisa mengambil kekuasaan dari tangan Presiden Soekarno. Kejadian G30S yang sangat kompleks dapat dijelaskan dengan runtut. Fakta-fakta yang semrawut dipaparkan dengan menggunakan sumber-sumber dokumen yang terpercaya. 16 Ada empat penjelasan utama skenario yang mungkin terjadi dari data-data yang diperoleh. Pertama, “G-30-S Sebagai Usaha Kudeta PKI”. Versi ini yang paling lumrah diketahui oleh masyarakat Indonesia. Sedari awal Soeharto memang sudah menyebut bahwa PKI adalah penanggung jawab utama dalam gerakan penculikan dan pembunuhan para perwira Angkatan Darat. Alasan inilah yang membuat tragedi paska 30 September 1965 menjadi semakin buruk. Gelombang sakit hati dan balas dendam masyarakat disebut sebagai gerakan independen yang memang menuntut balas atas kematian para perwira itu. Kedua, “G-30-S Sebagai Pemberontakan Perwira Muda”. Dalam versi ini, Gerakan 30 September direncanakan bukan oleh para pemikir dalam tubuh PKI. Gerakan 30 September yang dilakukan oleh militer ini dikatakan sebagai bentuk perlawanan perwira muda terhadap para petingginya di militer yang dianggap korup dan tunduk pada elite ekonomi asing. Ketiga, “G-30-S Sebagai Persekutuan Antara Perwira Angkatan Darat dan PKI.” PKI dan perwira disebut bersekongkol. Cerita-cerita yang menyatakan bahwa pihak militer hanya menjalankan instruksi dari pihak PKI tidak terbukti. Kedua pihak sama-sama memiliki peran setara. Keempat, “G30-S Sebagai Konspirasi PKI”. Ini adalah versi yang paling rumit. Banyak tokoh yang terlibat di dalamnya, termasuk Letjend Soeharto yang kala itu menjadi pahlawan bagi penggagalan Gerakan 30 September di Jakarta tahun 1965. E. KERANGKA KONSEPTUAL Dalam konteks penelitian ini, pentas teater boneka karya Papermoon Puppet Theater, Mwathirika, yang disutradarai oleh Maria Trisulistyani atau yang akrab 17 disebut Ria Papermoon ini mengangkat kisah tentang kehilangan yang dirasakan oleh orang-orang yang disebut terhubung dengan komunisme dan PKI. Pentas ini didedikasikan pada mereka yang hilang, dan kehilangan. “Mwathirika” berasal dari bahasa Swahili, sebuah suku di Afrika. Artinya korban. Pentas ini memang ingin menunjukkan bahwa siapapun pihaknya yang terlibat pada peristiwa itu adalah menjadi korban. Bahkan sampai jauh setelah peristiwa itu terjadi, korban-korban yang dimaksud masih merasakan kehilangan yang bisa jadi sama. Seperti yang terdoumentasikan dalam film “40 Years of Silence”, sampai dengan tahun 2000an masih ada beberapa keluarga yang didiskriminasi oleh lingkungan sekitarnya karena orang tuanya atau sanak saudaranya menjadi mantan tahanan politik di Era Orde Baru. Teater boneka tanpa kata menjadi lebih menarik karena dibutuhkan penafsiran ulang dari para penonton pertunjukannya. Dengan penafsiran yang berbeda kemudian Papermoon mencegah terjadinya “penyusunan” cerita yang dipaksakan pada penontonnya. Kekuatan lainnya adalah pertunjukan ini menjadi sangat universal. Gesture manusia adalah bahasa yang paling universal. Menurut suatu penelitian, gesture tubuh berperan sebesar 55% dalam pemahaman manusia ketika bertukar informasi. Sedangkan kekuatan kata hanya 7% saja. Karena alasan inilah, karya Papermoon yang satu ini adalah yang paling mendunia. Center Stage dari Amerika Serikat mengundang tim Papermoon untuk melakukan tur di 7 kota di AS. Dengan gesture juga, teater boneka lebih dapat digunakan untuk “menyerang” perasaan dan emosi penontonnya. Sejarah tragedi 1965 ini melibatkan sangat banyak 18 perasaan oleh karena itu teater boneka menjadi salah satu cara yang tepat untuk merangsang penontonnya untuk ikut merasakan hal-hal yang sebenarnya terjadi dalam rangkaian cerita sejarah yang tidak terceritakan oleh rezim Orde Baru. E.1. Politik Sejarah 30 September 1965, satu waktu yang menjadi salah satu penanda bagi sejarah perjalanan Republik Indonesia. Salah satu penanda waktu berdirinya Orde Baru oleh Soeharto sekaligus kejatuhan Soekarno lewat keruntuhan paham komunisme di Indonesia. Harus diakui kalau masih banyak orang Indonesia, khususnya anak muda yang memahami tragedi di tahun 1965 tersebut hanya sebatas yang diajarkan di sekolah saja. Hanya sebatas buku cetak wajib siswa atau film “Pengkhianatan G30S-PKI” yang setiap tanggal 30 September selalu ditayangkan di seluruh saluran televisi. Ini yang dinamakan dengan “politics of memory” Sumber sejarah yang seragam seperti inilah yang kemudian menjadi “senjata” bagi reproduksi kebencian bagi masyarakatan Indonesia. Sumber pengetahuan yang disediakan oleh negeri ini kurang cukup untuk menyediakan pilihan bagi masyarakatnya. Ada banyak peristiwa dalam sejarah yang tidak terceritakan. Hingga saat ini masih banyak orang yang hanya mengerti “fakta” tentang rangkaian kejadian G30S itu dari satu sudut pandang saja. Sudut pandang Orde Baru. Cerita-cerita yang dibangun oleh Soeharto dan rezimnya yang direproduksi untuk menjaga stabilitas pemerintahan Orde Baru. 19 Political scientist Herbert Hirsch argues, “The control of memory is a type of political power. Persons in a position to manipulate memory, and with it the valued symbols of a society or group, hold, by my definition, political power.” (diakses dari http://www.yale.edu/macmillan/ocvprogram/conf_papers/Verovsek pada hari Kamis, 29 Mei 2014, pukul 9.59) Kesamaan ingatan masyarakat ini terjadi karena ada usaha penyeragaman. Ada muatan politis tertentu yang direncanakan oleh mereka yang memiliki kedudukan dalam pemerintahan. Tujuannya bisa beragam, tetapi biasanya selalu berkaitan dengan kekuasaan yang lebih besar dalam suatu masyarakat. Kasus tentang sejarah Indonesia yang hanya dijadikan satu versi ini merupakan contoh dari legitimate power. Dasar negara ini dimulai dari sejarah yang dilegitimasi oleh pemerintahnya. Semua cerita mengenai tragedi 1965 yang tidak sesuai dengan versi pemerintah dilarang untuk disebarluaskan. Hal ini bertujuan melegitimasi keputusan-keputusan aktor penguasa untuk mencapai keuntungan di masa depan. Politicians frequently make references to the events of the past, or rather to myths created within memory, to justify their decisions and standpoints on a variety of issues, both foreign and domestic. They seek to gain political advantage by monumentalizing group-specific understandings of the past in order to legitimize their actions in the present to gain an advantage in the future. (diakses dari http://www.yale.edu/macmillan/ocvprogram/conf_papers/Verovsek pada hari Kamis, 29 Mei 2014, pukul 9.59) E.2. Rememorasi “Mengulang pendapat sejarawan Perancis, Pierre Nora, pada acara peluncuran buku Robert Cribb, Pembantaian PKI di Jawa Bali 1965-1966, di PAU-UGM, Bulaksumur, Yogyakarta 16 Oktober 2003, Budiawan menyatakan antara lain, "penulisan sejarah yang lebih menaruh perhatian pada akibat daripada sebab 20 suatu atau serangkaian kejadian itu disebut rememoration. Sebagai satu jenis historiografi, rememoration menafsirkan sejarah secara simbolik. Ia kurang berminat pada memori sebagai ingatan semata-mata..." (Budiawan. Hal 15) Rememorasi adalah sebuah pandangan mengenai sejarah, salah satu cara menceritakan sebuah sejarah (historiografi). Menurut seorang pemikir Perancis, Pierre Nora, rememorasi menafsirkan sejarah secara simbolik. Cara ini lebih condong pada bagaimana sejarah tersebut digunakan atau disalahgunakan pada masa kini daripada mencari tahu kejadian seperti apa sebenarnya yang terjadi pada waktu itu. Cara menceritakan sejarah yang lebih fokus pada akibat dan pengaruh dari suatu kejadian daripada penyebab peristiwa terjadi. Mengutip kalimat , Ashis Nandi, ahli sejarah dari India, “Rememorasi juga menjadi upaya meningkatkan kesadaran korban-korban sejarah”. Secara garis besar, rememorasi inilah yang menjadi bingkai teori bagi penelitian ini. Papermoon lewat Mwathirika, memposisikan diri sebagai pencerita, bukan semata-mata menyalahkan pelaku dan membela korban. Penceritaan ini menjadi penting supaya tragedi ini tidak akan pernah terlupa. Karena saat ini, korbannya adalah para generasi muda yang masih terkungkung dalam pengetahuan tunggal tentang sejarah kelam bangsanya sendiri. Penceritaan menjadi senjata dalam perang mencegah lupa. 21 F. METODE PENELITIAN Inspirasi penelitian ini muncul dari pengalaman pribadi penulis membantu proses produksi beberapa pementasan dari Papermoon Puppet Theater. Penelitian ini dilakukan untuk berusaha membahas lakon teater boneka yang dipentaskan oleh Papermoon sebagai wacana baru dalam cara penceritaan sejarah. Penelitiain ini membahas mengenai isi dalam lakon “Mwathirika”. Tentang halhal yang menarik untuk dikaji dalam hubungannya dengan rememorasi sejarah tragedi 1965 di Indonesia. Untuk itu maka studi mengenai isi digunakan dalam penelitian ini. Ada dua aliran dalam studi isi yang biasa digunakan dalam penelitian ilmiah: aliran transmisi dan aliran produksi dan pertukaran makna. Aliran transmisi ini melihat komunikasi sebagai bentuk pengiriman pesan. Dalam hal ini, penerima pesan dianggap sebagai subjek yang pasif yang hanya menerima pesan yang disampaikan oleh subjek aktif. Sedangkan aliran produksi dan pertukran makna kedua subjek dianggap memiliki peran yang aktif untuk menciptakan dan menukar makna. Perbedaan utama antara kedua aliran ini adalah pada definisi tentang pesan dan makna. Pada aliran transmisi, kata kuncinya adalah pesan. Pesan adalah apa yang pengirim sampaikan pada khalayak. Pesan merupakan isi yang statis, dalam arti bentuk yang pesan adalah sama seperti yang pengirim sampaikan. Sedangkan aliran produksi dan pertukaran makna, kata kuncinya adalah makna. Makna bukanlah apa yang dikirimkan, melainkan apa yang dikonstruksi dan dibaca. Makna bukan sesuatu yang fisik dan statis seperti pandangan transmisi, tetapi justru merupakan produk konstruksi dan interaksi antara pengirim dan penerima (Eriyanto. 2011. Hal 11) 22 Pada praktiknya, aliran produksi dan pertukaran makna, menghasilkan beragam metode analisis seperti analisis framing, wacana, semiotika, dan naratif. Semua metode ini mempunyai satu kesamaan, yaitu menekankan pada penafsiran dan pemaknaan teks. Peneliti tidak memusatkan perhatian (hanya) pada apa yang tampil di dalam teks tetapi lebih pada makna yang tersirat dari teks tersebut. Teks yang digunakan bukan hanya teks yang ditemui dalam buku-buku atau dokumen tertulis lainnya. Tentu saja karena objek penelitian ini sebuah pementasan teater boneka tanpa kata. Konsep tentang teks bukan hanya menunjuk kepada kata-kata tertulis, meski ini adalah salah satu inderanya, melainkan semua praktik yang memiliki makna. Ini termasuk pembentukan makna melalui berbagai citra, bunyi, objek dan aktivitas (semacam tari dan olahraga) (Eriyanto. 2011. Hal 11) Dari dua aliran tentang studi isi tersebut penulis menggunakan aliran produksi dan pertukaran makna. Penulis menganggap bahwa teater boneka tanpa kata hanya dapat dimaknai dengan adanya interaksi antara pemain boneka, boneka itu sendiri, dan penonton. Penonton bukan subjek yang pasif. Penonton bisa menciptakan maknanya sendiri ketika berhadapan dengan lakon “Mwathirika”, baik secara langsung menyaksikan maupun melalui media rekaman DVD. Secara garis besar penelitian ini menggunakan pendekatan “cultural studies”. Chris Barker dalam bukunya Cultural Studies: Teori dan Praktik menempatkan cultural studies dalam jajaran metodologi. Peneliti menggunakan metodologi ini dengan ditopang oleh metode-metode lain yang dibutuhkan. Cultural studies adalah suatu arena interdisipliner di mana perspektif dari para disiplin yang berlainan secara 23 efektif dapat diambil dalam rangka penguji hubungan antara kebudayaan dan kekuasaan (Barker, Chris. 2004. Hal 7). Dalam penelitian ini subjek utama penelitiannya adalah sebuah lakon teater boneka Papermoon yang berjudul “Mwathirika”. Disiplin ilmu sejarah, sosiologi dan seni dibutuhkan bersama untuk melihat hal-hal baru yang bisa ditemukan dalam Mwathirika. Bagian terbesar cultural studies terpusat pada pertanyaan tentang representasi, yaitu bagaimana dunia ini dikonstruksi dan direpresentasikan secara sosial kepada dan oleh kita. Hal ini mengharuskan penggunanya untuk mengeksplorasi pembentukan makna tekstual. Dibutuhkan juga penyelidikan tentang cara dihasilkannya makna pada beragam konteks. Cultural studies cenderung menggunakan metode kualitatif daripada kuantitatif. Kualitatif dianggap lebih dapat menunjukkan fungsi representasi dari teks. Dengan metode kualitatif juga proses pemaknaan lebih bisa dijelaskan. Ada tiga macam cara analisis yang biasa digunakan dalam karya cultural studies: • Seperangkat pendekatan tekstual, yang cenderung mengambil dari semiotika • Serangkaian studi resepsi (reception study), yang akar teoretisnya bersifat eklektis. (Barker, Chris. 2004. Hal 29) Cultural studies tidak berbicara mengenai objektivitas peneliti. Keberpihakan peneliti dalam bingkai cultural studies tidak dilarang. Dalam penelitian ini, Mwathirika berpihak pada para korban pasca tragedi Gerakan 30 September, dari berbagai sudut pandang. Korban bisa jadi siapa saja dalam penelitian ini, korban-korban ini adalah mereka yang dirugikan dalam drama politik kepentingan yang dimainkan oleh pihak yang berkuasa. 24