BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ini adalah daerah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ini adalah daerah kekuasaan kami
Jangan lewati batas ini jangan campuri apa yang terjadi di sini
Karena kalian penonton kalian adalah orang luar
Jangan rubah cerita yang telah kami susun
Jangan belokkan jalan cerita yang telah kami rencanakan
Karena kalian adalah penonton
Kalian adalah orang luar
Kalian harus diam
Panggung seluas ini hanya untuk kami
Karena kalian adalah penonton, kalian harus diam!
(Batas Panggung - Wiji Thukul)
Wiji Thukul, seorang aktivis yang cukup membuat pemerintahan Orde Baru
ketar-ketir. Ia hilang pada saat kerusuhan tahun 1998. Ia juga menjadi salah satu dari
para aktivis yang sama sekali tidak diketahui keberadaannya. Apakah masih hidup?
Atau sudah meninggal? Sampai sekarang tidak ada sama sekali kabar tentang dirinya.
Puisi di atas adalah buah tangan Wiji Thukul, sindiran kerasnya terhadap para penguasa
membuatnya menjadi salah satu musuh bagi Orde Baru dan rezimnya kala itu. “Batas
Panggung” menunjukkan bahwa, menurut Wiji Thukul, memang benar sudah ada alur
cerita yang disiapkan oleh para penguasa. Banyak hal yang terjadi dalam sejarah negeri
ini adalah skenario para penguasa. Para “bukan penguasa” dianggap hanya sebatas
penonton. Bukan aktor yang aktif membentuk cerita dalam suatu babak. Penonton tidak
1
punya hak untuk mengubah jalan cerita suatu pertunjukan. Mereka hanya bisa diam
dan berkomentar dengan sembunyi-sembunyi kalau jalan ceritanya tidak sesuai dengan
harapan mereka atau para aktornya melakukan hal yang tidak mereka inginkan.
Tidak ada banyak pilihan ketika seseorang sudah di-PKI-kan. Orang itu harus
mengalami kejadian yang buruk. Hal semacam itu dapat muncul karena keberhasilan
suatu rezim dalam menginternalisasi suatu stereotype. Bahwa PKI adalah jahat, PKI
adalah pembunuh dan Gerwani adalah gerakan wanita pelacur yang menjalin kerja
sama antagonis dengan PKI. Stereotype tentang PKI dan orang-orang yang dianggap
terlibat semacam ini direproduksi dalam banyak cara1.
Saat ini para “penonton” itu sudah tidak lagi pasif. Mereka lebih memiliki
kesadaran untuk kritis dan aktif dalam pembentukan cerita dalam hidupnya. Mereka
sadar jika memiliki hak untuk menciptakan sendiri suatu pertunjukan yang sesuai
dengan harapan mereka. Salah satunya ditunjukkan oleh Papermoon Puppet Theater.
Kelompok teater boneka ini dua tahun belakangan secara aktif membuat karya yang
berusaha mengungkapkan cerita tentang sejarah abu-abu Indonesia menurut versi
mereka, bukan versi yang dipengaruhi oleh penguasa.
Indonesia adalah salah satu Negara yang belum dapat menerima sejarah kelam
yang pernah dialaminya. Indonesia melakukan penolakan atas sejarah kelam yang
1
Salah satunya adalah beredarnya cerita bahwa di madiun ada patung Ulama disiksa oleh orang yang
membawa clurit (clurit = lambang PKI). Tanpa harus menunjuk siapa pelakunya tetapi peran simbol
dalam hal ini clurit langsung membuat identitas menjadi jelas. Reproduksi stigma adalah alat politik.
Soeharto dianggap pahlawan karena dia berhasil mereproduksi stigma terhadap PKI tersebut. Padahal
belum tentu sejarah benar
2
pernah dialaminya. Tidak pernah ada monumen yang dibangun oleh pemerintah
Indonesia untuk menghormati korban kekerasan di sekitar tahun 1965. Hanya ada
museum Lubang Buaya sebagai penghormatan untuk 8 tokoh pahlawan revolusi.
Tetapi bukan untuk para korban yang jatuh pasca September 1965. Padahal tidak
sedikit pula mereka yang kehilangan nyawa karena terlibat atau dituduh terlibat dengan
Partai Komunis Indonesia yang bertanggung jawab atas kematian 8 tokoh tentara
bersenjata Indonesia.
Berbeda misalnya dengan di Jerman. Ada banyak bangunan atau tempat yang
khusus dibuat untuk memperingati salah satu peninggalan atas sejarah kelam yang
pernah terjadi di sana. Holocaust, pembunuhan besar-besaran orang ras Yahudi atas
perintah Der Fuehrer. Salah satunya adalah Sachsenhausen.
Sachsenhausen dulunya adalah kamp konsentrasi milik Nazi. Kamp
konsentrasi ini mulai aktif pada tahun 1936. Selama kurun waktu sekitar 9 tahun, ribuan
orang Yahudi dikurung di sana. Mereka dipaksa bekerja tanpa diberi makanan yang
layak. Ribuan jiwa juga yang berakhir pada kematian, karena penyakit, kelaparan, atau
“dimandikan”2. Saat ini, Sachsenhausen tetap dipertahankan keberadaannya dengan
sedikit renovasi, tempat ini dijadikan sebagai pengingat tentang apa yang pernah terjadi
dalam sejarah kelam Jerman. Masa di mana nyawa manusia tidak berharga ketika
2
Istilah mandi digunakan untuk membawa orang-orang Yahudi yang ditahan tersebut masuk ke dalam
suatu ruangan, ruang asap. Mereka dibunuh dengan asap beracun dalam sebuah ruangan. Orang-orang
ini tidak mengetahui apa yang akan terjadi pada mereka. Satu hal yang mereka ketahui adalah mereka
akan diberi kesempatan untuk mandi, karena mereka diperintahkan untuk melepas semua pakaian
mereka sebelum kemudian masuk ke ruang asap beracun.
3
mereka menjadi berbeda dengan mereka para penguasa. Sebuah monumen dibangun di
tengah-tengah lapangan luas dan dipersembahkan untuk mereka para korban yang jatuh
pada masa pemerintahan Nazi, pimpinan der fuehrer, Adolf Hitler.
Pertunjukan yang dibuat dan ditampilkan oleh Papermoon Puppet Theater ini
adalah salah satu bentuk penghormatan dan bentuk kepedulian terhadap banyaknya
nyawa yang harus dicabut dan segala bentuk kehilangan atas nama pembelaan Negara,
atas nama dasar Negara dan cerita yang disiapkan oleh para penguasa Negara. Teater
boneka dan Papermoon sendiri memiliki target penikmat karya seni pertunjukan ini.
Dari banyak penonton Mwathirika tidak sedikit yang baru saja mendengar tentang
kesedihan dan kesengsaraan korban paska 1965 ketika menyaksikan pertunjukan itu.
Hal inilah yang penting bagi karya ini, memberi lebih banyak informasi tentang sejarah
kelam bangsa ini. Karena “ingatan tidak hanya sekadar luka goresan tapi mengenali
luka bekas goresan tersebut”. Artinya sejarah bukan hanya sebatas diingat, tapi juga
diperlukan pemaknaan atas suatu kejadian di masa lampau untuk lebih dapat dikatakan
berhasil “mengingat”.
Mengutip kata-kata dari Paul Ricoeur, “and the tiniest way of paying out debt
is to tell and retell what happened.. by remembering and telling, we’re not only prevent
forgetfulness from killing the victims twice, we also prevent their life stories from
becoming banal., and the events from appearing as necessary”
4
A.1. Tentang Papermoon Puppet Theater
Papermoon, lewat teater boneka “Mwathirika” berusaha menceritakan kembali
sejarah kelabu Indonesia tahun 1965 dari sudut pandang lain dari versi yang diceritakan
oleh Negara. Sejarah Indonesia tahun 1965 merupakan hal yang sangat menarik bagi
Papermoon untuk dieksplorasi. Pertunjukan ini merupakan hasil dari riset dan refleksi
peribadi anggotanya dalam waktu yang tidak sebentar.
Papermoon adalah sebuah teater boneka. Basisnya di Yogyakarta, mereka
menjadi semacam aliran baru bagi seni pertunjukan dengan menggunakan boneka atau
wayang di Indonesia. Dalam kurun waktu hampir tiga tahun belakangan, Papermoon
selalu membuat pertunjukan dengan latar belakang sejarah, khususnya sejarah yang
berkenaan dengan kejadian tahun 1965. Sejarah tentang PKI dan terutama dampaknya
paska tragedi 1965.
Teater boneka tanpa kata menjadi lebih menarik karena dibutuhkan penafsiran
ulang dari para penonton pertunjukannya. Dengan penafsiran yang berbeda kemudian
Papermoon mencegah terjadinya “penyusunan” cerita yang dipaksakan pada
penontonnya. Kekuatan lainnya adalah pertunjukan ini menjadi sangat universal.
Gesture manusia adalah bahasa yang paling universal. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Abraham Mehrebian pada tahun 1968 dan Bob Birdwhistle tahun 1970
diungkapkan bahwa gesture tubuh berperan sebesar 55% dalam pemahaman manusia
ketika bertukar informasi dan efektivitas intonasi sebesar 38%. Sedangkan kekuatan
5
kata hanya 7% saja. Karya Papermoon yang satu ini bisa mendunia karena bahasa
tubuh yang digunakan dapat dipahami oleh semua orang tidak terbatas pada kata-kata
saja. Center Stage dari Amerika Serikat mengundang tim Papermoon untuk melakukan
tur di 7 kota di AS.
“Mwathirika”, sebagai judul pertunjukan teater boneka ini diambil dari bahasa
Swahili, sebuah suku di Afrika. Artinya, Korban. Pada waktu tragedi 1965 itu pecah
semua pihak bisa menjadi korban. Mereka yang PKI dan dituduh PKI menjadi korban
karena kehilangan nyawa di tangan para algojonya. Mereka yang bisa selamat harus
juga menjadi korban diskriminasi di masa Orde Baru. Para algojo pun menjadi korban
sistem yang memang dibuat oleh pihak tertentu demi keuntungannya.
Pertunjukan ini ingin menceritakan bahwa korban bukan hanya mereka yang
harus kehilangan nyawa. Mereka yang mengalami rasa kehilangan pun juga bisa
menjadi korban. Anak kecil, orang dewasa, laki-laki dan perempuan semua bisa
menjadi korban dalam suatu peristiwa. Papermoon kemudian memiliki arti sendiri
untuk menjelaskan tentang “korban” menurut versi mereka di masa kini, “Korbannya
adalah mereka, orang muda yang tidak tahu cerita sejarah ini. Bukan lagi mereka yang
dibunuh, bukan yang hilang” (Iwan Effendi, 2012). Untuk itulah pertunjukan ini dibuat
dan didedikasikan untuk para korban pembantaian paska peristiwa G30S di Indonesia.
B. RUMUSAN MASALAH
Masih banyak orang di Indonesia khususnya anak muda yang masih terpaku
pada satu versi cerita tentang sejarah kelam Indonesia. Sejarah tentang kehilangan dan
6
kehilangan sejarah di Indonesia terkait kejadian Gerakan 30 September 1965.
Ketidaktahuan mengenai tragedi 1965 kemudian dapat berakibat panjang pada
kelangsungan hidup negara Republik Indonesia.
Kebencian yang ditanamkan oleh rezim Orde Baru pada semua hal yang berbau
komunis, ditambah lagi dengan sedikit kognisi mengenai kejadian tersebut bisa
melanggengkan strategi politik rezim Orde Baru. Untuk mencegah hal itu, maka
penceritaan kembali sejarah dari berbagai versi dibutuhkan. Rememorasi dibutuhkan
untuk menyadarkan bahwa dalam sejarah yang tidak kalah penting adalah dampak dari
sejarah tersebut. Bukan hanya bagaimana sejarah itu bisa terjadi, siapa tokohnya.
Papermoon Puppet Theater menyadari hal itu dan mulai membuat karya yang
menceritakan tentang kejadian-kejadian paska G30S meletus. Daripada hanya
menggunakan tulisan, Papermoon menggunakan media boneka untuk menyampaikan
gagasannya tentang sejarah 1965 versi lain dari yang selama ini dipercaya dan
digunakan oleh pemerintah Indonesia.
Dari gambaran tersebut, muncul pertanyaan sebagai berikut Bagaimana
rememorasi tentang peristiwa terkait tragedi 30 September 1965 dalam versi
berbeda bisa dimunculkan dalam sebuah teater boneka?
C. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui cerita sejarah versi berbeda dari yang selama ini diakui
kebenarannya oleh negara
7
2. Menjelaskan pentingnya penceritaan kembali sejarah kelam Indonesia,
bukannya mencoba menghilangkan atau melupakannya, untuk
menghindari akibat buruk yang bisa terjadi
3. Menjelaskan tentang kemungkinan-kemungkinan akibat buruk yang
dapat terjadi jika masyarakat tidak dapat memaknai dan belajar dari
sejarah
4. Menjelaskan peranan dan posisi teater boneka sebagai sarana rememorasi
tragedi sejarah Indonesia tahun 1965
5. Menambah wacana baru tentang cara penceritaan kembali sejarah
melalui pertunjukan kesenian, khususnya teater boneka
D. TINJAUAN PUSTAKA
Nadia, Ita F. Suara Perempuan Korban Tragedi ’65. 2008. Yogyakarta : Galang
Press
Daripada menceritakan tentang apa yang dilakukan oleh Gerwani pada saat
menyiksa para Dewan Djenderal pada malam 30 September 1965, seperti yang selalu
muncul selama Orde Baru, buku ini lebih mengungkapkan pada apa yang dialami oleh
para perempuan yang dituduh memiliki kedekatan dengan PKI. Baik itu Gerwani, istri
PKI, dan perempuan-perempuan lain yang kebetulan saat itu berkegiatan bersama PKI.
Buku ini adalah tesis yang dilakukan Ita F Nadia untuk menyelesaikan
pendidikan S2 di University of Amsterdam, Belanda. Kemudian, tesis ini dibukukan
dan dipublikasikan secara umum penerbit Galang Press, Yogyakarta..
8
Diungkapkan juga tentang kebohongan yang diciptakan oleh Soeharto tentang
Gerwani yang menari telanjang, dan memperkosa para Dewan Djenderal sebelum
akhirnya membunuhnya dengan kejam. Menyayat kulitnya, memotong penisnya, dan
mencungkil mata korbannya. Semua berita yang muncul ke masyarakat dikonstruksi
sedemikian rupa sehingga kebencian kepada Partai Komunis Indonesia timbul dalam
pemikiran masyarakat.
Pada waktu itu, malam 30 September 1965 puluhan perempuan anggota
organisasi pemuda, dari serikat buruh dan barisan tani, beberapa saja anggota Gerwani
sedang dikumpulkan di Lubang Buaya untuk mengikuti Kampanye anti-Malaysia,
bagian dari gerakan Ganjang Malaysia yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno. Pada
tengah malam ketika tengah tertidur, para perempuan ini dikagetkan oleh adanya
puluhan tentara
yang masuk sambil berteriak-teriak murka, dan menyuruh para
perempuan ini keluar dari barak. Tanpa alasan yang jelas tentara-tentara
ini
mengumpulkan para perempuan peserta pelatihan Ganjang Malaysia ini di tengah
lapangan Lubang Buaya. Para perempuan itu kemudian dipaksa menari-nari telanjang
di depan tentara tersebut dan dipaksa untuk mengakui bahwa mereka adalah pembunuh
para Dewan Djenderal.
Selain kontroversi tentang kejadian malam 30 September 1965. Buku ini lebih
banyak lagi mengungkapkan pengalaman para perempuan eks-tapol. Mereka yang
pernah mengalami masa gelap, disiksa dan diperkosa, yang bisa selamat dan berani
menceritakan kembali pengalaman buruknya tersebut. “Akhirnya Pemerkosa Itu
Jenderal Pensiun”, “Membangun Kekuasaan di Atas Perkosaan”, “Mengapa
9
Perempuan Harus Punya Vagina dan Payudara?”, “Saya Tinggal Sebatang Jasad” adalah beberapa judul tulisan hasil wawancara yang termuat dalam buku ini. Juduljudul yang sangat menunjukkan rasa frustrasi dari para narasumbernya. Cerita-cerita
yang muncul pun terkadang sangat jauh dari akal sehat. Sangat tidak terbayang
bagaimana manusia, sebangsa, sebahasa tega memperlakukan sesamanya sebegitu
kejam.
Para perempuan Eks-tapol ini semuanya mengalami kekerasan dari banyak
orang. Mereka adalah orang-orang yang merasa pantas untuk menyiksa dan membunuh
orang-orang yang ada hubungan dengan PKI. Kekerasan fisik dan siksaan seksual tidak
berhenti ketika para perempuan ini ditahan di penjara. Pembebasan dari penjara
menjadi cobaan lain bagi mereka. Keluarga, teman dan saudara yang mereka kenal
sudah banyak yang tidak mau menerima mereka lagi. Cap sebagai pelacur dan
pembunuh terlanjut lekat pada diri mereka. Dekat dan kenal dengan perempuan ekstapol ini bukan hanya menjadi sumber rasa malu tapi juga awal dari ketidaktenteraman
hidup. Keluarga, saudara dan teman yang mereka kenal dan mau menerima dengan apa
adanya adalah sesama penghuni tahanan. Keluar dari penjara bisa jadi kelegaan
sekaligus sumber ketakutan baru untuk mereka.
Tidak jarang, ketika keluar dari tahanan, petugas penjara menawarkan
“kebaikan” dengan mengajak untuk tinggal dan bekerja di rumahnya sebagai pembantu
rumah tangga. Tetapi kebaikan itu hanyalah muslihat. Selain dipekerjakan sebagai
pembantu rumah tangga, para perempuan ini juga dijadikan pemuas libido.
10
Kisah tutur yang dituliskan dalam buku ini bukan sekadar berhenti pada
pemaknaan penderitaan yang dirasakan oleh para korban. Lebih jauh dari itu, kisahkisah ini seharusnya menjadi pelatuk bagi usaha untuk mengakhiri “politik pembisuan”
bagi para korban paska tragedi G30S, pun menjadi usaha untuk mengembalikan
martabat kemanusiaan dan mencegah potensi kekerasan dan diskriminasi semacam ini
terulang lagi.
Schaefer, Bernd ; Baskara, T. Wardaya. 1965: Indonesia dan Dunia. 2013.
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Sekitar tiga minggu setelah peristiwa di Jakarta, pada malam 30 September
1965, pembunuhan massal mulai terjadi di provinsi Jawa Tengah. Banyak orang di
Jawa Tengah yang dibunuh begitu saja oleh gerombolan massa dengan dukungan
personel militer. Mereka begitu saja dibunuh dengan tuduhan bahwa mereka adalah
komunis, dan menjadi yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada Dewan
Djenderal pada peristiwa di akhir September tahun itu.
Bulan November 1965, pembunuhan ribuan orang yang lebih parah juga terjadi
di Jawa Timur. Kemudian di bulan Desember, pembunuhan serupa menjalar ke Pulau
Bali. Pembunuhan-pembunuhan tersebut juga terjadi di berbagai wilayah di Indonesia,
tetapi intensitasnya tidak sebesar yang terjadi di Jawa dan Bali. Total, diperkirakan ada
sekitar 500.000 sampai 1.000.000 jiwa melayang dibunuh tanpa alasan yang jelas.
Mereka yang dituduh komunis namun bisa selamat dari pembunuhan dibawa
ke penjara di berbagai tempat di seluruh Indonesia. Ada tidak kurang dari 10.000 orang
11
dikirim untuk diasingkan di Pulau Buru, Kepulauan Maluku. Para tahanan perempuan
dibawa ke penjara di Desa Plantungan, Jawa Tengah. Tidak hanya berhenti di situ,
anggota keluarga dan sanak saudara dari orang-orang yang dibunuh dan atau
dipenjarakan itu disingkirkan dari kehidupan masyarakat. Mereka dianggap sudah
tercemar oleh komunisme, dan karena itu tidak diperbolehkan untuk bekerja di instansi
pemerintahan atau militer. Hal ini terus berlanjut bahkan sampai waktu yang sangat
lama setelah peristitwa 1965 terjadi.
Ada satu versi yang mengungkapkan bahwa sebetulnya pada tahun 1965
tersebut, sebenarnya para militer Angkatan Darat lah yang merencanakan sebuah
kudeta terhadap Presiden Soekarno. Soekarno kala itu sedang sangat dekat dengan
Partai Komunis Indonesia. Partai yang memiliki sangat banyak pengikut semenjak
menjadi lima besar partai pemenang Pemilu pertama, tahun 1955. Lewat Nasakomnya, Presiden Soekarno ternyata membuat takut para pegiat politik Indonesia kala itu.
Angkatan Darat dan partai-partai yang berlatar belakang agama terutama merasa tidak
aman posisinya.
PKI kala itu harus memanfaatkan kedekatannya dengan Presiden, sang
Panglima Tertinggi Indonesia. Oleh karena itu, mendengar rencana kudeta yang akan
dilancarkan oleh para Dewan Djenderal Angkatan Darat, PKI merasa bertanggung
jawab untuk melindungi nyawa dan kekuasaan yang dimiliki Presiden Soekarno.
Singkatnya, PKI dan Angkatan Darat sama-sama saling menunggu waktu yang
tepat untuk melancarkan rencananya masing-masing. Sampai pada waktunya, PKI
12
merasa waktunya sudah tepat untuk menyerang Angkatan Darat, dimulai dengan para
pimpinan kudeta, yaitu para Dewan Djenderal, malam 30 September 1965.
Ternyata di luar dugaan, tokoh baru muncul, Soeharto yang kala itu tidak masuk
dalam rencana PKI mengambil alih Angkatan Darat dan berhasil membalikkan
keadaan. Semua berita yang beredar, semua paham yang menyebar membuat PKI
tersudut. Mulai dari saat itu, serangan balik Soeharto pada PKI menjadi awal usahanya
sampai bisa menduduki kursi kepresidenan tidak sampai setahun setelah kejadian
tersebut.
Sebetulnya banyak faktor yang melatarbelakangi peristiwa yang terjadi di
September 1965 tersebut. Sangat banyak sudut pandang yang memandang peristiwa
tersebut dari sudut pandang yang berbeda. Tetapi pemerintahan era Soeharto lebih suka
untuk memberikan narasi tunggal pada masyarakat. Menurut versi pemerintah, tidak
diragukan lagi jika orang-orang komunis lah yang menjadi pelaku tunggal pembunuhan
para jenderal.
Kurniawan et al. Pengakuan Algojo 1965. 2013. Jakarta : Tempo Publishing
Instruksi pemerintah untuk “bersih lingkungan” menyulut pembunuhan dan
pembantaian yang muncul di Jawa dan Bali. Dalam beberapa waktu setelahnya
kejadian itu menyebar ke daerah lain. Para algojo bermunculan. Atas nama dendam
pribadi, keyakinan dan ketakutan, para algojo tersebut menunaikan “tugasnya” untuk
memusnahkan mereka yang dicap PKI.
13
Tidak sedikit dari para algojo tersebut yang tidak menyesal atas apa yang
pernah dilakukannya. Nyawa puluhan bahkan ratusan orang telah dicabutnya, empat
puluhan tahun yang lalu. Ada yang mengatakan bahwa membunuh PKI adalah
tugasnya, karena PKI itu iblis, darahnya halal. Ada yang menyatakan bahwa mereka
membunuh PKI sebelum mereka yang dibunuh PKI, tidak ada pilihan lain.
Tragedi Kanigoro, pertama kalinya massa PKI melakukan serangan besarbesaran di Kediri. Pada pertengahan Januari 1965, PKI menuntut balas atas
pembunuhan sejumlah kader PKI di Madiun dan Jombang yang terjadi pada akhir
tahun 1964. PKI melakukan penyerangan pada sebuah Pondok Pesantren Al-Jauhar di
Desa Kanigoro, Kecamatan Kras Kediri. PKI menyerbu pondok pesantren pada dini
hari. Mereka mengumpulkan ratusan peserta pelatihan mental Pelajar Islam Indonesia,
lalu menggiring sebagian besar di antaranya ke kantor polisi untuk diserahkan.
Meski tidak ada korban jiwa, kejadian ini menimbulkan trauma dan kemarahan
kalangan pesantren dan anggota Ansor Kediri. Kala itu, para santri dan anggota Ansor
ini tidak langsung membalas, tetapi seperti bom waktu kemarahan mereka tinggal
menunggu waktu untuk meledak.
Kiai Idris Marzuki, pengasuh pesantren Lirboyo, mengakui jika ketegangan
antara PKI dan santri sudah berlangsung sebelum pembantaian. Setiap kali berpapasan
kedua pihak saling melotot, menunjukkan dominasi satu sama lain. Tragedi Kanigoro
menjadi penguat tekad kaum pesantren dan anggota Ansor Kediri untuk menghabisi
PKI. Pembantaian mencapai puncaknya ketika pemerintah mengumumkan bahwa PKI
adalah anggota terlarang.
14
Walau ada banyak dari algojo yang tidak merasa bersalah telah menghabisi
banyak nyawa orang yang dicap PKI, selalu ada trauma yang ditimbulkan. Supardi, 71
tahun, mantan algojo PKI sekarang harus menghabiskan hidupnya terpasung oleh
rantai sepanjang dua meter yang mengunci kakinya. Kejiwaannya terganggu hanya
berselang 3 tahun setelah pembantaian. Emosinya sering tidak terkendali, lebih-lebih
jika mendengar pembicaraan tentang PKI. Ketika “kumat”, ia sering membawa senjata
tajam dan menakuti penduduk di sekitar tempat tinggalnya.
Supardi, dulunya adalah seorang pendekar di Tulungagung, Jawa Timur. Ia
disegani karena tubuhnya yang tinggi besar dan juga menguasai ilmu bela diri.
Kehebatannya dalam ilmu bela diri itulah yang membuat Pengurus Gerakan Pemuda
Ansor, Tulungagung merekrutnya menjadi algojo dalam pembantaian anggota PKI
pada 1965.
Buku ini mencoba melihat peristiwa paska G30S dari sudut pandang para algojo
tanpa niat menyudutkan pelakunya. Politik Indonesia pada masa itu sangat kompleks.
Menjelang tragedi 1965, ketegangan antara PKI dan partai lainnya memanas. PKI yang
kala itu merasa berada di posisi yang lebih baik menekan penduduk yang tidak sealiran.
Ketika keadaan berbalik, arus kemarahan akan pembalasan jadi tidak terkendali.
Pembunuhan direstui oleh sesepuh masyarakat dan tokoh agama.
“Masa 1965-1966 tak bisa dinilai dengan norma dan nilai-nilai masa kini.
Membaca sejarah kelam Indonesia pada masa itu hanya dapat dilakukan dengan
memperhatikan konteks sosial-ekonomi pada masa itu pula”
15
Roosa, John. 2009. Dalih Pembunuhan Massal : Gerakan 30 September dan
Kudeta Soeharto. Jakarta: Hasta Mitra
Ditulis oleh seorang peneliti Indonesia dari Universitas Cornell, Amerika
Serikat. Buku ini sempat diterbitkan oleh penerbit Hasta Mitra, Jakarta, pada tahun
2008. Dua tahun setelahnya, buku ini dilarang terbit lagi oleh pemerintah. Sebagai
perlawanan, penerbit dan penulis setuju untuk mengunggah versi e-book secara bebas
di internet.
Buku karya John Roosa ini disebut sebagai sumber yang memuat analisis dan
data mengenai kejadian seputar G30S paling lengkap dan bisa dpercaya validitasnya.
Selama kurang lebih 7 tahun, penulisnya tinggal di Indonesia dan melakukan banyak
riset serta wawancara pada pelaku langsung dan saksi. Buku-buku yang terbit setelah
Dalih Pembunuhan Massal biasanya tidak memuat kebaruan dalam penemuan seputar
kasus G30S. Banyak penelitian akademis yang juga menjadikan buku ini sebagai
referensi. Begitu pula dengan Papermoon, Ria dan Iwan mendapatkan ide berawal dari
perkenalannya dengan buku ini ketika sedang menjalani residensi seniman di Amerika
Serikat.
Buku ini membahas tentang beberapa kemungkinan di balik kejadian G30S
tahun 1965, salah satunya adalah kemungkinan adanya peran Soeharto untuk bisa
mengambil kekuasaan dari tangan Presiden Soekarno. Kejadian G30S yang sangat
kompleks dapat dijelaskan dengan runtut. Fakta-fakta yang semrawut dipaparkan
dengan menggunakan sumber-sumber dokumen yang terpercaya.
16
Ada empat penjelasan utama skenario yang mungkin terjadi dari data-data yang
diperoleh. Pertama, “G-30-S Sebagai Usaha Kudeta PKI”. Versi ini yang paling
lumrah diketahui oleh masyarakat Indonesia. Sedari awal Soeharto memang sudah
menyebut bahwa PKI adalah penanggung jawab utama dalam gerakan penculikan dan
pembunuhan para perwira Angkatan Darat. Alasan inilah yang membuat tragedi paska
30 September 1965 menjadi semakin buruk. Gelombang sakit hati dan balas dendam
masyarakat disebut sebagai gerakan independen yang memang menuntut balas atas
kematian para perwira itu. Kedua, “G-30-S Sebagai Pemberontakan Perwira Muda”.
Dalam versi ini, Gerakan 30 September direncanakan bukan oleh para pemikir dalam
tubuh PKI. Gerakan 30 September yang dilakukan oleh militer ini dikatakan sebagai
bentuk perlawanan perwira muda terhadap para petingginya di militer yang dianggap
korup dan tunduk pada elite ekonomi asing. Ketiga, “G-30-S Sebagai Persekutuan
Antara Perwira Angkatan Darat dan PKI.” PKI dan perwira disebut bersekongkol.
Cerita-cerita yang menyatakan bahwa pihak militer hanya menjalankan instruksi dari
pihak PKI tidak terbukti. Kedua pihak sama-sama memiliki peran setara. Keempat, “G30-S Sebagai Konspirasi PKI”. Ini adalah versi yang paling rumit. Banyak tokoh yang
terlibat di dalamnya, termasuk Letjend Soeharto yang kala itu menjadi pahlawan bagi
penggagalan Gerakan 30 September di Jakarta tahun 1965.
E. KERANGKA KONSEPTUAL
Dalam konteks penelitian ini, pentas teater boneka karya Papermoon Puppet
Theater, Mwathirika, yang disutradarai oleh Maria Trisulistyani atau yang akrab
17
disebut Ria Papermoon ini mengangkat kisah tentang kehilangan yang dirasakan oleh
orang-orang yang disebut terhubung dengan komunisme dan PKI. Pentas ini
didedikasikan pada mereka yang hilang, dan kehilangan.
“Mwathirika” berasal dari bahasa Swahili, sebuah suku di Afrika. Artinya
korban. Pentas ini memang ingin menunjukkan bahwa siapapun pihaknya yang terlibat
pada peristiwa itu adalah menjadi korban. Bahkan sampai jauh setelah peristiwa itu
terjadi, korban-korban yang dimaksud masih merasakan kehilangan yang bisa jadi
sama. Seperti yang terdoumentasikan dalam film “40 Years of Silence”, sampai dengan
tahun 2000an masih ada beberapa keluarga yang didiskriminasi oleh lingkungan
sekitarnya karena orang tuanya atau sanak saudaranya menjadi mantan tahanan politik
di Era Orde Baru.
Teater boneka tanpa kata menjadi lebih menarik karena dibutuhkan penafsiran
ulang dari para penonton pertunjukannya. Dengan penafsiran yang berbeda kemudian
Papermoon mencegah terjadinya “penyusunan” cerita yang dipaksakan pada
penontonnya. Kekuatan lainnya adalah pertunjukan ini menjadi sangat universal.
Gesture manusia adalah bahasa yang paling universal. Menurut suatu penelitian,
gesture tubuh berperan sebesar 55% dalam pemahaman manusia ketika bertukar
informasi. Sedangkan kekuatan kata hanya 7% saja. Karena alasan inilah, karya
Papermoon yang satu ini adalah yang paling mendunia. Center Stage dari Amerika
Serikat mengundang tim Papermoon untuk melakukan tur di 7 kota di AS.
Dengan gesture juga, teater boneka lebih dapat digunakan untuk “menyerang”
perasaan dan emosi penontonnya. Sejarah tragedi 1965 ini melibatkan sangat banyak
18
perasaan oleh karena itu teater boneka menjadi salah satu cara yang tepat untuk
merangsang penontonnya untuk ikut merasakan hal-hal yang sebenarnya terjadi dalam
rangkaian cerita sejarah yang tidak terceritakan oleh rezim Orde Baru.
E.1. Politik Sejarah
30 September 1965, satu waktu yang menjadi salah satu penanda bagi sejarah
perjalanan Republik Indonesia. Salah satu penanda waktu berdirinya Orde Baru oleh
Soeharto sekaligus kejatuhan Soekarno lewat keruntuhan paham komunisme di
Indonesia. Harus diakui kalau masih banyak orang Indonesia, khususnya anak muda
yang memahami tragedi di tahun 1965 tersebut hanya sebatas yang diajarkan di sekolah
saja. Hanya sebatas buku cetak wajib siswa atau film “Pengkhianatan G30S-PKI” yang
setiap tanggal 30 September selalu ditayangkan di seluruh saluran televisi. Ini yang
dinamakan dengan “politics of memory”
Sumber sejarah yang seragam seperti inilah yang kemudian menjadi “senjata”
bagi reproduksi kebencian bagi masyarakatan Indonesia. Sumber pengetahuan yang
disediakan oleh negeri ini kurang cukup untuk menyediakan pilihan bagi
masyarakatnya. Ada banyak peristiwa dalam sejarah yang tidak terceritakan. Hingga
saat ini masih banyak orang yang hanya mengerti “fakta” tentang rangkaian kejadian
G30S itu dari satu sudut pandang saja. Sudut pandang Orde Baru. Cerita-cerita yang
dibangun oleh Soeharto dan rezimnya yang direproduksi untuk menjaga stabilitas
pemerintahan Orde Baru.
19
Political scientist Herbert Hirsch argues, “The control of memory is
a type of political power. Persons in a position to manipulate memory,
and with it the valued symbols of a society or group, hold, by my
definition,
political
power.”
(diakses
dari
http://www.yale.edu/macmillan/ocvprogram/conf_papers/Verovsek pada
hari Kamis, 29 Mei 2014, pukul 9.59)
Kesamaan ingatan masyarakat ini terjadi karena ada usaha penyeragaman. Ada
muatan politis tertentu yang direncanakan oleh mereka yang memiliki kedudukan
dalam pemerintahan. Tujuannya bisa beragam, tetapi biasanya selalu berkaitan dengan
kekuasaan yang lebih besar dalam suatu masyarakat. Kasus tentang sejarah Indonesia
yang hanya dijadikan satu versi ini merupakan contoh dari legitimate power. Dasar
negara ini dimulai dari sejarah yang dilegitimasi oleh pemerintahnya. Semua cerita
mengenai tragedi 1965 yang tidak sesuai dengan versi pemerintah dilarang untuk
disebarluaskan. Hal ini bertujuan melegitimasi keputusan-keputusan aktor penguasa
untuk mencapai keuntungan di masa depan.
Politicians frequently make references to the events of the past, or
rather to myths created within memory, to justify their decisions and
standpoints on a variety of issues, both foreign and domestic. They
seek to gain political advantage by monumentalizing group-specific
understandings of the past in order to legitimize their actions in the
present to gain an advantage in the future. (diakses dari
http://www.yale.edu/macmillan/ocvprogram/conf_papers/Verovsek pada
hari Kamis, 29 Mei 2014, pukul 9.59)
E.2. Rememorasi
“Mengulang pendapat sejarawan Perancis, Pierre Nora, pada
acara peluncuran buku Robert Cribb, Pembantaian PKI di Jawa
Bali 1965-1966, di PAU-UGM, Bulaksumur, Yogyakarta 16
Oktober 2003, Budiawan menyatakan antara lain, "penulisan
sejarah yang lebih menaruh perhatian pada akibat daripada sebab
20
suatu atau serangkaian kejadian itu disebut rememoration.
Sebagai satu jenis historiografi, rememoration menafsirkan
sejarah secara simbolik. Ia kurang berminat pada memori sebagai
ingatan semata-mata..." (Budiawan. Hal 15)
Rememorasi adalah sebuah pandangan mengenai sejarah, salah satu cara
menceritakan sebuah sejarah (historiografi). Menurut seorang pemikir Perancis, Pierre
Nora, rememorasi menafsirkan sejarah secara simbolik. Cara ini lebih condong pada
bagaimana sejarah tersebut digunakan atau disalahgunakan pada masa kini daripada
mencari tahu kejadian seperti apa sebenarnya yang terjadi pada waktu itu. Cara
menceritakan sejarah yang lebih fokus pada akibat dan pengaruh dari suatu kejadian
daripada penyebab peristiwa terjadi. Mengutip kalimat , Ashis Nandi, ahli sejarah dari
India, “Rememorasi juga menjadi upaya meningkatkan kesadaran korban-korban
sejarah”. Secara garis besar, rememorasi inilah yang menjadi bingkai teori bagi
penelitian ini.
Papermoon lewat Mwathirika, memposisikan diri sebagai pencerita, bukan
semata-mata menyalahkan pelaku dan membela korban. Penceritaan ini menjadi
penting supaya tragedi ini tidak akan pernah terlupa. Karena saat ini, korbannya adalah
para generasi muda yang masih terkungkung dalam pengetahuan tunggal tentang
sejarah kelam bangsanya sendiri. Penceritaan menjadi senjata dalam perang mencegah
lupa.
21
F. METODE PENELITIAN
Inspirasi penelitian ini muncul dari pengalaman pribadi penulis membantu
proses produksi beberapa pementasan dari Papermoon Puppet Theater. Penelitian ini
dilakukan untuk berusaha membahas lakon teater boneka yang dipentaskan oleh
Papermoon sebagai wacana baru dalam cara penceritaan sejarah.
Penelitiain ini membahas mengenai isi dalam lakon “Mwathirika”. Tentang halhal yang menarik untuk dikaji dalam hubungannya dengan rememorasi sejarah tragedi
1965 di Indonesia. Untuk itu maka studi mengenai isi digunakan dalam penelitian ini.
Ada dua aliran dalam studi isi yang biasa digunakan dalam penelitian ilmiah:
aliran transmisi dan aliran produksi dan pertukaran makna. Aliran transmisi ini melihat
komunikasi sebagai bentuk pengiriman pesan. Dalam hal ini, penerima pesan dianggap
sebagai subjek yang pasif yang hanya menerima pesan yang disampaikan oleh subjek
aktif. Sedangkan aliran produksi dan pertukran makna kedua subjek dianggap memiliki
peran yang aktif untuk menciptakan dan menukar makna.
Perbedaan utama antara kedua aliran ini adalah pada definisi tentang pesan dan
makna. Pada aliran transmisi, kata kuncinya adalah pesan. Pesan adalah apa yang
pengirim sampaikan pada khalayak. Pesan merupakan isi yang statis, dalam arti bentuk
yang pesan adalah sama seperti yang pengirim sampaikan. Sedangkan aliran produksi
dan pertukaran makna, kata kuncinya adalah makna. Makna bukanlah apa yang
dikirimkan, melainkan apa yang dikonstruksi dan dibaca. Makna bukan sesuatu yang
fisik dan statis seperti pandangan transmisi, tetapi justru merupakan produk konstruksi
dan interaksi antara pengirim dan penerima (Eriyanto. 2011. Hal 11)
22
Pada praktiknya, aliran produksi dan pertukaran makna, menghasilkan beragam
metode analisis seperti analisis framing, wacana, semiotika, dan naratif. Semua metode
ini mempunyai satu kesamaan, yaitu menekankan pada penafsiran dan pemaknaan teks.
Peneliti tidak memusatkan perhatian (hanya) pada apa yang tampil di dalam teks tetapi
lebih pada makna yang tersirat dari teks tersebut.
Teks yang digunakan bukan hanya teks yang ditemui dalam buku-buku atau
dokumen tertulis lainnya. Tentu saja karena objek penelitian ini sebuah pementasan
teater boneka tanpa kata. Konsep tentang teks bukan hanya menunjuk kepada kata-kata
tertulis, meski ini adalah salah satu inderanya, melainkan semua praktik yang memiliki
makna. Ini termasuk pembentukan makna melalui berbagai citra, bunyi, objek dan
aktivitas (semacam tari dan olahraga) (Eriyanto. 2011. Hal 11)
Dari dua aliran tentang studi isi tersebut penulis menggunakan aliran produksi
dan pertukaran makna. Penulis menganggap bahwa teater boneka tanpa kata hanya
dapat dimaknai dengan adanya interaksi antara pemain boneka, boneka itu sendiri, dan
penonton. Penonton bukan subjek yang pasif. Penonton bisa menciptakan maknanya
sendiri ketika berhadapan dengan lakon “Mwathirika”, baik secara langsung
menyaksikan maupun melalui media rekaman DVD.
Secara garis besar penelitian ini menggunakan pendekatan “cultural studies”.
Chris Barker dalam bukunya Cultural Studies: Teori dan Praktik menempatkan
cultural studies dalam jajaran metodologi. Peneliti menggunakan metodologi ini
dengan ditopang oleh metode-metode lain yang dibutuhkan. Cultural studies adalah
suatu arena interdisipliner di mana perspektif dari para disiplin yang berlainan secara
23
efektif dapat diambil dalam rangka penguji hubungan antara kebudayaan dan
kekuasaan (Barker, Chris. 2004. Hal 7). Dalam penelitian ini subjek utama
penelitiannya adalah sebuah lakon teater boneka Papermoon yang berjudul
“Mwathirika”. Disiplin ilmu sejarah, sosiologi dan seni dibutuhkan bersama untuk
melihat hal-hal baru yang bisa ditemukan dalam Mwathirika.
Bagian terbesar cultural studies terpusat pada pertanyaan tentang representasi,
yaitu bagaimana dunia ini dikonstruksi dan direpresentasikan secara sosial kepada dan
oleh kita. Hal ini mengharuskan penggunanya untuk mengeksplorasi pembentukan
makna tekstual. Dibutuhkan juga penyelidikan tentang cara dihasilkannya makna pada
beragam konteks. Cultural studies cenderung menggunakan metode kualitatif daripada
kuantitatif. Kualitatif dianggap lebih dapat menunjukkan fungsi representasi dari teks.
Dengan metode kualitatif juga proses pemaknaan lebih bisa dijelaskan. Ada tiga
macam cara analisis yang biasa digunakan dalam karya cultural studies:
• Seperangkat pendekatan tekstual, yang cenderung mengambil dari semiotika
• Serangkaian studi resepsi (reception study), yang akar teoretisnya bersifat
eklektis. (Barker, Chris. 2004. Hal 29)
Cultural studies tidak berbicara mengenai objektivitas peneliti. Keberpihakan
peneliti dalam bingkai cultural studies tidak dilarang. Dalam penelitian ini, Mwathirika
berpihak pada para korban pasca tragedi Gerakan 30 September, dari berbagai sudut
pandang. Korban bisa jadi siapa saja dalam penelitian ini, korban-korban ini adalah
mereka yang dirugikan dalam drama politik kepentingan yang dimainkan oleh pihak
yang berkuasa.
24
Download