Tonggak Perjalanan Bangsa Oleh Sulastomo Senin, 1 Oktober 2001 Tidak terasa, kita sudah melewati peristiwa G30S/PKI selama 36 tahun lalu. Peristiwa itu, dapat di dikatakan sebagai sebuah peristiwa yang layak kita kenang sebagai sebuah tonggak perjalanan bangsa ini. Sebab, peristiwa itu telah mengantar kehidupan bangsa ini memasuki era baru, yang di waktu itu di harapkan memberi harapan baru yang lebih cerah. Ada peluang besar untuk melaksanakan Pancasila dengan murni dan konsekuen, mewujudkan cita-cita kemerdekaan, masyarakat yang adil dan makmur, oleh karena hambatan ideologis, idiil telah diatasi, dengan di bubarkannya partai Komunis Indonesia. Peristiwa G30S/PKI, dapat dikatakan adalah sebuah peristiwa yang menandai puncak konflik politik internal bangsa ini. Sebelum peristiwa itu terjadi, bangsa ini nyaris terbelah dua, antara kekuatan pendukung PKI dan Non PKI. Sifat idelogis dari konflik itu sangat jelas, sebagai sarana untuk ke puncak kekuasaan politik. Dan karena sarana konflik adalah ideologis, maka luka-luka yang terjadi adalah sangat dalam dan tajam. Ideologi Komunis yang tidak mengenal Tuhan, sudah tentu merupakan gambaran ibarat sebuah mimpi buruk bagi kalangan umat beragama, seandainya PKI dapat memenangkan konflik itu. Umat beragama, sesungguhnya hanya merespons sikap-sikap Partai Komunis Indonesia, yang seolah-olah sudah merasa dapat memenangkan konflik itu. Sebab, dari penguasaan isu politik di tingkat nasional, PKI memang telah berhasil menanamkan pengaruhnya yang sangat besar. Misalnya tuduhan terhadap lawan-lawan politiknya sebagai "kontrarevolusioner", implementasi konsep Nasakom, kelahiran Manipol, yang kesemuanya itu dianggap sebagai jalan kearah puncak kekuasaan politik PKI. Karena itu, ketika G30S/PKI di mulai dengan aksi kekerasan yang luar biasa, di luar batas peri kemanusiaan, dengan penculikan dan pembunuhan 7 pahlawan revolusi, reaksi rakyatpun juga luar biasa. Eksesnya, terjadi korban yang sangat besar pada rakyat, yang sebagian besar mungkin kita menyadari akan terjadi peristiwa seperti itu. Catatan hitam seperti ini sebagaimana juga peristiwa pemberontakan PKI yang pertama di tahun 1949, yang dikenal sebagai peristiwa Madiun, yang juga mengorbankan banyak jiwa dan harta benda, sekarang di pertanyakan, siapa yang bertanggung-jawab? Saya berpendapat, bahwa apapun yang terjadi di masa silam, adalah tanggung jawab kita bersama sebagai bangsa. Konflik-konflik yang selama ini terjadi, yang menjadi lembaran hitam sejarah bangsa ini, adalah konflik antar kita. Konflik itu telah kita selesaikan, dengan tentunya ada yang kalah dan menang, dengan cara kita sendiri, yang telah kita pilih sebagai penyelesaian konflik se saat. Kita bisa keliru menangani konflik di saat itu, apalagi kalau dengan ukuran nilai-nilai sekarang. Tetapi, kalau kita hanya pandai selalu mempersoalkan diri kita sendiri di masa yang lalu, kita mungkin akan gagal melihat masa-depan yang demikian kompleks, yang harus kita lalui dengan kebersamaan seluruh potensi bangsa. Karena itu, di dalam mengenang peristiwa G30S/PKI, saya ingin lebih mengajak kita semua untuk melihat ke depan, dengan mempelajari kekeliruan-kekeliruan kita yang sangat relevan sebagai modal melihat masa depan itu, dengan semangat untuk tidak mengulangi yang jelak dan (sebaliknya) melanjutkan yang telah baik. Ukurannya, sudah tentu dari cita-cita kita bersama, buat apa sebenarnya kita menentukan cita-cita berbangsa dan bernegara kita, sebagaimana tercantum dalam UUD 1945, yang dalam hal ini hendak kita laksanakan dengan murni dan konsekuen, sejak awal Orde Baru. didalam menilai kekeliruan ataupun keberhasilan kita, marilah semuanya itu kita lihat dari esensi cita-cita berbangsa dan bernegara kita. Dr Sulastomo, adalah mantan Ketua Umum PB HMI Tahun 1963 - 1966