Uploaded by User4702

Tantangan Negara Preman

advertisement
Tantangan Negara Preman
R William Liddle, Profesor Emeritus Ilmu Politik, Ohio State University, AS
Opini – Kompas, 18 September 2013
The Act of Killing, tindakan pembunuhan, film dokumenter baru tentang pembantaian massal
1965-1966 di Indonesia, sedang ditayangkan di seantero Amerika Serikat.
Pengambilan gambar di Indonesia dilakukan antara 2005 dan 2009. Saya menonton di
Columbus, di bioskop dekat kampus Ohio State University, terdorong oleh perhatian
pengamat politik dan film yang makin meningkat.
The Act of Killing diciptakan produser muda, Joshua Oppenheimer, yang berwarga
negara Amerika dan Inggris, tetapi fasih berbahasa Indonesia. Film itu menggambarkan,
melalui mata sejumlah pelaku di Medan, betapa kejam dan sadis tindakan orang antikomunis
zaman itu. Namun, klaim utamanya adalah pelaku tersebut, dan penerus mereka, masih
berkuasa hingga sekarang.
Reaksi pertama saya sebagai orang yang sudah lama mengikuti perkembangan politik
Indonesia adalah jengkel pada pembuatnya, baik mengenai tafsiran sejarah maupun analisis
kontemporernya. Namun, setelah direnungkan, saya pun harus mengakui kemampuan
Oppenheimer membuktikan betapa kuat pengaruh segi buruk Orde Baru pada Indonesia
masa kini.
Distorsi Besar
Pertama, The Act of Killing jelas merupakan distorsi besar terhadap sejarah yang sebenarnya.
Yang paling mengecewakan, penonton sama sekali tak diberi tahu tentang politik Indonesia
sebelum 1 Oktober 1965 tatkala Partai Komunis Indonesia menjadi partai komunis terbesar
di dunia setelah Uni Soviet dan RRC.
Lagi pula, PKI adalah calon kuat dan pesaing utama tentara menggantikan rezim
Demokrasi Terpimpin yang dikuasai Presiden Soekarno. Sayangnya, kepada para penonton
hanya disajikan kalimat singkat pada adegan awal yang mengklaim bahwa Pemerintah
Indonesia digulingkan tentara pada 1965. Implikasinya: Demokrasi Terpimpin merupakan
pemerintahan yang sah.
Selain membaca buku-buku sejarah yang lebih berimbang, saya menyaksikan langsung
apa yang terjadi di Sumatera Utara pada tahun 1962-1964 ketika saya tinggal di Pematang
Siantar, tempat saya mengumpulkan bahan- bahan untuk disertasi S-3 saya. Dalam rangka itu,
saya mengikuti kegiatan semua partai politik dan organisasi massa, termasuk PKI, dan
mewawancarai pemimpinnya. Saya juga berkenalan dengan ratusan tokoh masyarakat dan
warga biasa di seluruh Kabupaten Simalungun yang saya kunjungi berkali-kali.
Kesan kuat saya: masyarakat nonkomunis di Siantar dan Sima- lungun waktu itu merasa
teramat gelisah melihat kemajuan pesat PKI. Sebagai daerah perkebunan, Simalungun
merupakan lahan subur bagi mobilisasi PKI berdasarkan perbenturan kelas. Selain itu, orang
beragama meyakini, PKI adalah partai ateis. Orang terdidik yang mengikuti perkembangan
internasional percaya bahwa Uni Soviet dan RRC adalah pemerintahan totaliter yang terbukti
membunuh jutaan warganya sendiri setelah partai komunis berkuasa di sana.
Fakta ini kiranya berlaku di banyak daerah di Indonesia. Hal itu tentu tidak memaafkan
perbuatan jahat yang kemudian dilakukan pemerintah Orde Baru bersama sebagian dari
masyarakat Indonesia. Apalagi mengingat bahwa rencana penculikan para jenderal pada 1
Oktober 1965 dirahasiakan pemimpin pucuk PKI dari anggotanya sendiri. Namun, sebuah
penelusuran moral harus mulai dengan kenyataan itu, bukan dengan klaim kosong dan
ahistoris bahwa Pemerintah Indonesia yang sah digulingkan tentara yang sewenang-wenang.
Perihal masa kini, klaim The Act of Killing yang paling keliru adalah Pemuda Pancasila
beranggota 3 juta orang. Klaim fantastis seperti itu adalah hal biasa dalam dunia organisasi
dan politik Indonesia, tetapi orang luar perlu bersikap skeptis. Dalam hal Pemuda Pancasila,
meski angka tepat sulit ditemukan dalam penelitian sarjana, angka puluhan ribu mungkin
lebih cermat ketimbang jutaan.
Tanpa angka akurat, penonton awam tak mungkin meletakkan peran Pemuda Pancasila
dalam konteks yang benar. Namun, siapa pun yang menonton film ini sulit menghindari
kesimpulan bahwa para politisi masa kini bersikap dan bertindak terlalu lunak kepada sebuah
ormas yang membanggakan jati dirinya selaku kumpulan kaum preman.
Cukup Memprihatinkan
Setidaknya empat pejabat menggantungkan diri melalui wawancara dengan Oppenheimer
atau lewat pidato dan perbuatan yang direkam langsung. Mereka terdiri atas anggota DPRD
tingkat provinsi mewakili Golkar, Gubernur Sumatera Utara, pejabat Kementerian Pemuda
dan Olahraga, dan Wakil Presiden Republik Indonesia ketika filmnya dibuat. Semuanya
memuji Pemuda Pancasila sebagai organisasi patriotik, telah mengabdi kepada bangsa, dan
perlu dipelihara buat masa depan.
Apakah Indonesia merupakan negara preman sebagaimana digambarkan dalam film
ini? Bagi saya, masih terlalu jauh menyimpulkan begitu, tetapi gejala-gejalanya cukup
memprihatinkan.
Download