PEMILU DAN PERTANGGUNGJAWABAN POLITIK WAKIL RAKYAT1 “Penguatan Sistem Pemilu Proporsional Daftar Terbuka” Jakarta, 15 Juni 2016 di Gedung KWI, Jln. Cut Meutia 10. Oleh : YR. Edy Purwanto Pr2 Pengantar “Keadilan adalah tujuan dan karena itu juga merupakan tolok ukur segala politik. Politik itu lebih daripada teknik penataan ruang publik: Asal dan tujuannya ialah keadilan, dan ini bersifat etis. Demikianlah Negara mau tak mau selalu berhadapan dengan soal: bagaimana keadilan dapat diwujudkan sekarang dan di sini (hic et nunc)? Tetapi pertanyaan ini mengandaikan pertanyaan lain yang lebih mendasar: Apakah keadilan itu? Ini adalah soal akal budi praktis: tetapi agar akal budi dapat berfungsi dengan baik, haruslah ia terus-menerus dimurnikan, karena penumpulan etis oleh pengaruh kepentingan dan kekuasaan, yang membutakan akal budi, merupakan bahaya yang tak dapat sama sekali disisihkan” (DCE, 28).3 Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa tatanan kemasyarakatan dan kenegaraan yang adil merupakan tugas sentral politik. Negara yang tidak diperintah dengan keadilan, adalah gerombolan besar perampok, sebagaimana dikatakan oleh Agustinus “Remota itaque iustitia sunt regna nisi magna latrocinia4”. Dalam terang prinsip dasar tersebut di atas, maka kita dapat membaca dan memaknai betapa perlu dan pentingnya hadir lembaga-lembaga politik yang memiliki kualitas moral etis dan kualitas kerja yang optimal dalam perannya sebagai kepanjangan tangan rakyat. Lembagalembaga politik yang diharapkan untuk itu utamanya adalah Partai Politik dan Dewan Perwakilan Rakyat (lembaga legislatif). Namun bagaimana faktanya, khususnya lembaga legislatif, sudahkah mereka hadir sebagai lembaga politik yang menjalankan tugas pokok dan fungsinya secara baik dan benar serta professional melalui mekanisme-mekanisme pertanggungjawaban kepada rakyat secara terbuka? Ataukah masih bersembunyi di balik dalih-dalih dan pembenaran diri yang sebenarnya hanya mau lari dari tuntutan untuk mempertanggungjawabkan apa yang dikerjakannya kepada rakyat? Catatan disampaikan dalam Serial Seminar putaran keempat tentang Pemilu dengan tema “Penguatan Sistem Pemilu Proporsional Daftar Terbuka” di Gedung KWI lantai 4, Jl. Cut Meutia 10, Menteng Jakarta Pusat, 15 Juni 2016. 2 Sekretaris Eksekutif Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), tinggal di Jakarta. 3 Ensiklik “Deus Caritas Est” (Allah adalah Kasih), Paus Benedictus XVI, 25 Desember 2005. Seri Dokumen Gerejawi No. 83, diterbitkan oleh Bagian Dokumentasi dan Penerangan (Dokpen) KWI, April 2006. 4 Dalam “De Civitate Dei”, IV, 4: CCL 47,102. 1 1 Pemilihan Umum5 Pemilihan Umum merupakan mekanisme pelibatan seluruh warga negara untuk ambil bagian dalam menentukan arah kehidupan bersama sebagai bangsa. Dalam mewujudkan keterlibatan politik itu sikap kritis dalam menentukan pilihan akan memberi bobot terhadap proses demokrasi yang akan/sedang dilaksanakan. Dengan itu diharapkan keputusan-keputusan yang menentukan kehidupan bersama akan diambil berdasarkan pada pertimbangan publik yang luas. Demokrasi yang semakin matang akan mengurangi ketidakadilan dan membuat pengorganisasian kehidupan bersama semakin menjamin kebebasan warganegara dan mendorong terciptanya tatanan yang lebih adil, termasuk dalam memberantas pola-pola pelanggengan politik dinasti, politik uang, dan korupsi politik serta politik korupsi. Pemilihan Umum diharapkan akan menghasilkan wakil rakyat dan pemimpin yang mempunyai visi, peduli terhadap penderitaan dan peka akan kehendak serta kebutuhan rakyat, mempunyai komitmen terhadap perbaikan nasib rakyat yang dicerminkan dalam hidup sederhana. Pemilihan Umum adalah kesempatan penting untuk melakukan pendidikan politik bagi seluruh warga negara. Pemilihan Umum adalah suatu perangkat demokrasi, dengan demikian merupakan hak rakyat yang harus dilindungi. Politik adalah urusan bersama, maka seluruh rakyat wajib berperan-serta. Peranserta itu tidak terbatas pada saat Pemilihan Umum saja, melainkan juga pada seluruh proses kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan segala pertimbangan tersebut, halhal berikut perlu diperhatikan: Pertama, perlu disadari dan ditekankan bahwa melalui peristiwa Pemilihan Umum hak asasi manusia setiap warga negara di bidang politik, diwujudkan. Oleh karena itu baik keikutsertaan maupun penolakan dalam Pemilihan Umum dapat menjadi ungkapan tanggung jawab politik. Pemilihan Umum pada dasarnya adalah bagi rakyat untuk membuat suatu kontrak politik dengan politisi dalam lembaga legislatif maupun mengoreksinya. Keinginan dan cita-cita perubahan serta perbaikan dapat ditempuh antara lain dengan memperbaharui dan mengubah susunan para penyelenggara negara kita. Sistem Pemilihan Umum proporsional daftar terbuka membuka peluang untuk mewujudkan cita-cita perubahan dan perbaikan itu, dengan memilih orang-orang yang paling tepat, yakni orang-orang yang dapat diharapkan memenuhi tuntutan etika politik. Kedua, perlu disadari bahwa undang-undang Pemilihan Umum yang setiap menjelang Pemilu direvisi, pelaksanaannya kerapkali sulit dan bisa membingungkan bagi kebanyakan orang. Karena itu perlu dibentuk kelompok penyuluh pada tataran akar rumput yang mendampingi masyarakat akar rumput agar mereka dapat memilih dan mengungkapkan pilihan politik mereka dengan benar dan baik. Calon-calon wakil rakyat yang dikenal bersih, berjuang untuk kepentingan dan kebaikan bersama perlu diperkenalkan kepada para pemilih. Dalam Pemilihan Umum sistem proporsional daftar terbuka, pemilih mendapat kesempatan untuk memberikan Bdk. Nota Pastoral KWI 2003 “Keadilan Sosial bagi Semua”. Nota Pastoral adalah rangkuman hasil pemikiran dan analisa yang dilakukan oleh para Waligereja (para Uskup) untuk didiseminasikan bagi umat sebagai sarana pembelajaran bersama oleh umat, sehingga umat dapat memahami persoalan-persoalan aktual yang perlu dijadikan bahan pengayaan hidup beriman dan bermasyarakat. 5 2 suaranya untuk calon wakil yang dikenal memenuhi syarat sebagai calon yang baik dan juga partai asal calon tersebut. Ketiga, masyarakat perlu didorong untuk terus-menerus mengontrol mekanisme demokrasi supaya aspirasi rakyat sungguh mendapat tempat. Sistem perwakilan yang menjadi tata cara pengambilan keputusan nyatanya sering meninggalkan aspirasi warga negara yang diwakili. Hal ini bisa disebabkan karena para politisi wakil rakyat itu sangat mungkin mempunyai tujuan, kepentingan atau nilai sendiri. Mereka juga tidak jarang melakukan tindakan yang tidak semuanya dapat diamati dan dipantau oleh rakyat banyak. Selain itu tidak sedikit dari antara para politisi yang ingin terpilih karena dengan jabatannya itu mereka memperoleh keuntungan. Etika Politik dan Tanggungjawab Politik Wakil Rakyat Politik merupakan tugas luhur untuk mengupayakan dan mewujudkan kesejahteraan bersama. Tugas dan tanggungjawab itu dijalankan dengan berpegang pada prinsip-prinsip etika politik yaitu hormat terhadap martabat manusia, kebebasan, keadilan, solidaritas, subsidiaritas, fairness6, demokrasi, kesetaraan dan cita rasa tanggung jawab dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tetapi dalam banyak bidang prinsip-prinsip itu tampaknya makin diabaikan bahkan ditinggalkan oleh banyak orang, termasuk oleh para politisi, pelaku bisnis, dan pihak-pihak yang punya sumberdaya serta berpengaruh di negeri ini. Yang berlangsung sekarang, politik kerap hanya dipahami sebagai sarana untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan, atau menjadi ajang pertarungan kekuatan dan perjuangan untuk memenangkan kepentingan kelompok. Kepentingan ekonomi atau keuntungan finansial bagi pribadi dan kelompok menjadi tujuan utama. Rakyat seringkali hanya digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan dan mempertahankan kepentingan dan kekuasaan tersebut. Politik kekuasaan semacam itu dengan sendirinya akan mengorbankan tujuan utama, yakni kesejahteraan bersama yang mengandaikan kebenaran dan keadilan. Penegakan hukum juga terabaikan. Akibatnya, kasus-kasus korupsi dan pelanggengan politik dinasti tidak ditangani secara serius, bahkan makin merajalela di berbagai wilayah, lebih-lebih sejak pelaksanaan program otonomi daerah. Otonomi daerah yang dimaksudkan sebagai desentralisasi kekuasaan, kekayaan, fasilitas dan pelayanan ternyata menjadi desentralisasi korupsi, antara lain karena kurang tepat saat, laju dan cakupannya. Politik kekuasaan tidak bisa dipisahkan dari politik uang. Politik uang yang sebetulnya merupakan bentuk kejahatan, dijadikan alat utama untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan. Dengan politik uang itu rakyat ditipu, kepercayaan rakyat dikhianati, justru oleh orang-orang yang mempunyai otoritas politik dan ekonomi untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Bukankah dengan demikian martabat bangsa tidak dihormati dan kedaulatan rakyat dirampas untuk menjamin kepentingan pribadi atau kelompok? 6 Fairness : Prinsip fairness atau sikap fair tidak mudah diungkapkan dalam bahasa Indonesia. Prinsip fairness menjamin terciptanya aturan yang adil dan sikap taat padanya (ada kepatuhan terhadap keputusan dan kesepakatan bersama); dihormatinya pribadi dan nama baik lawan politik; dijaganya pembedaan wilayah privat dari wilayah publik; disadari dan dilaksanakannya kewajiban sebagai pemenang suatu kontestasi politik untuk memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. 3 Bukankah dengan demikian kedaulatan rakyat diganti dengan kekuasaan uang? Uang menentukan segala-galanya dan membusukkan politik. Berhadapan dengan gejala-gejala tersebut, cita-cita untuk ikut membangun masa depan yang lebih baik perlu ditumbuh-kembangkan. Perasaan sebangsa menghidupkan semangat untuk mencapai tujuan bersama itu. Cita-cita proklamasi, kesepakatan nasional dan tujuan negara yang terwujud dalam kehendak untuk merdeka serta perjuangan untuk merebut kemerdekaan itu, perlu terus-menerus disadari kembali. Kesepakatan nasional para pendiri negara adalah Pancasila yang merupakan landasan bersama dalam kehidupan berpolitik. Agar visi etika politik bisa dilaksanakan dalam penyelenggaraan kehidupan bersama, dibutuhkan nilai-nilai dan pemahaman sejarah suatu komunitas. Kesadaran politik yang peduli terhadap etika tidak pernah bisa dipisahkan dari sejarah komunitas. Penerimaan Pancasila sebagai landasan politik bernegara tidak hanya menjadi peristiwa politik, tetapi juga peristiwa moral. Peristiwa itu ditandai dengan usaha setiap kelompok komponen bangsa untuk mengatasi sekat-sekat agama dan kedaerahan masing-masing. Ini adalah bentuk kesadaran moral yang merupakan rasa hormat terhadap hakhak, nilai-nilai, dan prinsip-prinsip yang disepakati bersama demi kesejahteraan umum. Salah satu unsur dari etika politik sebagaimana tersebut di depan yang harus diperhatikan dan dilaksanakan oleh anggota DPR/D adalah tanggungjawab. Apa sebenarnya prinsip tanggungjawab itu? Bertanggung-jawab berarti mempunyai komitmen penuh pengabdian dalam pelaksanaan tugas. Tanggung jawab atas disertai dengan tanggung jawab kepada. Bagi anggota DPR/D tanggung jawab berarti kinerja yang sebaik-baiknya demi tercapainya tujuan negara, dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas itu kepada rakyat. Tanggung jawab hanya bisa dituntut bila kebijakan umum yang berlaku terumus jelas dalam hal prioritas, program, metode dan pendasaran filosofisnya. Atas dasar kebijakan umum ini wakil rakyat dan kelompokkelompok masyarakat bisa membuat evaluasi pelaksanaan kinerja dewan dan menuntut pertanggungjawaban. Sementara itu bagi warganegara, tanggung jawab berarti berperan serta dalam mewujudkan tujuan negara sesuai dengan kedudukan masing-masing. Salah satu tugas pokok seorang wakil rakyat (anggota legislatif) adalah menyerap aspirasi rakyat (konstituen) yang dilaksanakan melalui kunjungan kerja secara berkala. Penyerapan aspirasi dari masyarakat tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 sebagai implementasi dari Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 (yang kemudian ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014) tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang menyebutkan bahwa kewajiban anggota DPR/DPRD antara lain : Pertama, menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala. Kedua, menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat. Ketiga, memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya. Bagaimana tugas dan kewajiban ini sudah dipenuhi oleh para anggota dewan terhormat itu ada begitu banyak pembahasan dan bahkan penelitian. Sebenarnya yang sekarang menjadi lebih penting adalah perlu adanya political will (kehendak politik) dari anggota dewan itu sendiri untuk benar-benar menjalankan apa yang menjadi tugas dan kewajibannya sesuai undang-undang yang berlaku serta terus dikontrol oleh kesadaran moral serta rambu-rambu etika yang harus 4 terus dihayati. Tanpa kemauan yang kuat untuk mewujudkannya, maka semua yang baik hanya akan menjadi utopi. Kalau ditanyakan: mengapa perilaku politik itu tidak banyak berubah dan menjadi lebih baik? Alasannya ada beberapa: pertama, iman tidak lagi menjadi sumber inspirasi bagi kehidupan nyata. Penghayatan iman lebih berkisar pada hal-hal lahiriah, simbol-simbol dan upacara keagamaan. Dengan demikian kehidupan politik di Indonesia kurang tersentuh oleh iman itu. Salah satu akibatnya ialah lemahnya pelaksanaan etika politik, yang hanya diucapkan di bibir tetapi tidak dilaksanakan secara konkrit. Politik tidak lagi dilihat sebagai upaya mencari makna dan nilai atau jalan bagi pencapaian kesejahteraan bersama. Maka diperlukan pertobatan, yaitu perubahan dan pembaharuan hati serta budi. Kedua, kerakusan akan kekuasaan dan kekayaan yang menjadi daya pendorong politik kepentingan yang amat membatasi ruang publik, yakni ruang kebebasan politik dan ruang peran-serta warganegara sebagai subyek. Ruang publik disamakan begitu saja dengan pasar. Yang dianggap paling penting adalah kekuatan uang dan hasil ekonomi. Ketiga, bertindak berdasarkan dalil tujuan menghalalkan segala cara. Ketika tujuan menghalalkan cara, terjadilah kerancuan besar, karena apa yang merupakan cara diperlakukan sebagai tujuan. Dalam logika ini, ukuran adalah hasil. Intimidasi, kekerasan, politik uang, politik pengerahan massa, teror dan cara-cara imoral lainnya dihalalkan karena memberi hasil yang diharapkan. Kriminalisasi politik menghasilkan politisasi kriminalitas. Akibatnya tidak sedikit pelaku kejahatan politik, provokator dan koruptor menikmati tiadanya sanksi hukum. Lemahnya penegakan hukum mengaburkan pemahaman nilai baik dan buruk yang pada gilirannya menumpulkan kesadaran moral dan perasaan bersalah. Kalau hal-hal itu tidak disadari, orang menjadi tidak peka dan menganggap semua itu wajar saja. Kerusakan hidup bersama juga disebabkan dan sekaligus menghasilkan penumpulan hati nurani. Penutup Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk memberikan petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan bagaimana seorang anggota DPR/D harus memberikan laporan pertanggungjawaban kepada para konstituen, namun lebih mengingatkan bahwa mereka mempunyai kewajiban moral dan etis serta praktis akan tanggungjawab politik mereka. Ada banyak lembaga yang telah mempersiapkan alat (tools) atau sarana untuk membantu bagaimana anggota dewan mempertanggungjawabkan hasil kerja dan kinerjanya sebagai wakil rakyat. Juga sudah banyak hasil penelitian yang dipublikasikan sehubungan dengan ‘apakah para anggota wakil rakyat itu telah benar-benar menjalankan tugas dan perannya dengan semestinya7’. Semoga di kalangan para wakil rakyat terwujud habitus baru dalam melayani aspirasi masyarakat. Jakarta, 15 Juni 2016 7 Salah satu kajian dan analisanya pernah dibuat oleh Bappenas yang dipublikasikan dalam karya tulis berjudul: “Akuntabilitas Wakil Rakyat Masih Rendah: Perlu Penyusunan Indikator Demokrasi dan Perbaikan Perundangundangan” oleh Direktorat Politik, Komunikasi dan Informasi, Depputi Bidang Polhankamnas, Bappenas. Kajian tersebut dimaksudkan untuk menyusun indikator demokrasi, terutama akuntabilitas wakil rakyat/anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap para pemilih (konstituen) mereka. Kemudian menganalisis faktor-faktor penyebab akuntabilitas anggota DPR; serta mengajukan rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan akuntabilitas tersebut. 5